Anda di halaman 1dari 3

Wabah virus Corona (COVID-19) yang saat ini melanda dunia menimbulkan sejumlah kekhawatiran

pasar. Jika berlanjut dalam jangka panjang akan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia.
Meskipun sektor pariwisata memiliki kontribusi yang relatif rendah terhadap pendapatan domestik
bruto (PDB) dan Indonesia juga tidak terlalu terhubung pada rantai pasok global (global value chain),
pandemik ini bisa menempatkan Indonesia dalam posisi yang meresahkan, terutama terkait sektor
perdagangan ekspor dan kegiatan impor.

Bagaimanapun, China adalah mitra dagang terbesar Indonesia selama 7 tahun terakhir dan sejak 2008
kita mengalami defisit perdagangan. Berdasarkan data perdagangan 2018 dan pengelompokan
komoditas berdasarkan standar internasional Harmonized System (HS), ekspor Indonesia ke China
(US$27,1 miliar) didominasi bahan bakar mineral (HS-27), seperti batubara, minyak dan gas bumi, lignit
32,4%, diikuti oleh lemak dan minyak hewani atau nabati (HS-15: 12,0%) seperti minyak kelapa sawit,
baja (HS-72: 9,6%); bijih, terak dan abu logam (HS-26: 7,3%) seperti bijih tembaga dan aluminium, dan
bubur kertas (HS-47: 7%).

Kelima ekspor utama ini menyumbang kurang lebih dua per tiga dari total ekspor Indonesia ke China.
Sementara, total impor Indonesia dari negara itu selama 2018 adalah US$45,5 miliar, dimana 55,7%
antara lain berasal dari mesin dan peralatan elektrik (HS-85: 22,1%), mesin dan peralatan mekanik (HS-
84: 21,7%), besi (HS-72: 4,8%), plastik (HS-39: 3,8%) dan bahan kimia organik (HS-29: 3,4%).

Dengan banyaknya kegiatan ekonomi di China yang terhenti karena wabah COVID-19, ekspor komoditas
utama Indonesia, khususnya batubara (HS-27) dan minyak sawit mentah (HS-15) mengalami penurunan.
Walaupun Indonesia bisa memanfaatkan peluang ekspor obat-obatan (HS-30), hal itu tidak mampu
mengimbangi eksposur negatif ekspor komoditas utama, karena obat-obatan hanya menyumbang
0,02% dari total ekspor.

Untuk mengurangi dampak negatif, Indonesia masih berpeluang meningkatkan tujuan ekspor ke negara
lain yang memiliki eksposur terbatas terhadap wabah COVID-19 seperti Korea Selatan, Amerika Serikat,
Taiwan, Italia, Spanyol dan Belanda. Negara-negara tersebut termasuk dalam kategori 10 besar tujuan
ekspor dan lima importir teratas dunia yang memiliki permintaan tinggi untuk kelima komoditas ekspor
utama Indonesia ke China.
Sebagai contoh, Indonesia bisa menekan dampak ekspor batubara (HS-2701) dan ekspor gas bumi (HS-
2711) dengan melakukan peneterasi pasar ke Korea Selatan mengingat kedua negara telah terikat
dengan Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK CEPA) pada 2019. Dalam perjanjian
tersebut Indonesia dan Korea Selatan akan memprioritaskan kerja sama ekonomi, antara lain
meningkatkan jumlah perdagangan dan akses terhadap pasar minyak sawit mentah. Selain itu, Indonesia
juga dapat memperdalam hubungan bilateral dengan AS yang merupakan negara tujuan ekspor terbesar
ke-2 setelah China. Sementara hubungan dengan Taiwan, Italia, Spanyol dan Belanda bisa diperkuat
dengan memanfaatkan momentum Economic Cooperation Agreement (ECA) dan Indonesian European
Union-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) yang saat ini masih dalam proses
negosiasi.

Kelima negara tersebut dapat dijadikan tujuan ekspor alternatif selain China, antara lain untuk
komoditas gas bumi (HS-2711), minyak sawit (HS-1513), baja (HS-7219) dan tembaga (HS-2603).
Meskipun demikian, Indonesia tidak dapat menghindari penurunan jumlah ekspor beberapa komoditas
lain seperti lignit (HS-2702) dan bijih/konsentrat aluminium (HS-2606), karena permintaan negara-
negara lain masih jauh lebih rendah dibandingkan permintaan China.

Meninjau dampak COVID-19 terhadap impor Indonesia, hampir setengah komoditas impor yang berasal
dari negeri Panda merupakan mesin dan perlengkapan elektrik (HS-85), antara lain telepon genggam
dan barang modal seperti mesin (HS-84). Namun, impor makanan dalam bentuk sayuran (HS-07) seperti
bawang merah, bawang putih, daun bawang (HS-0703) serta buah-buahan (HS-08) yaitu apel dan pir
(HS-080) dengan nilai total impor masing-masing US$527 juta dan US$ 741 juta pada 2018. Eksposur
makanan berprotein dalam bentuk hewan hidup (HS-01), daging (HS-02) dan produk susu (HS-04) masih
tergolong sangat rendah karena sumber negara impor utama Indonesia untuk komoditas tersebut
adalah Australia, AS, India dan Selandia Baru.

Walaupun impor barang modal dan mesin yang lebih lambat memberi pertanda baik untuk defisit
transaksi berjalan, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa menurunnya impor makanan dalam bentuk
sayuran dan buah-buahan akan memberikan tekanan inflasi ekonomi dalam negeri. Dengan
melambatnya pertumbuhan ekspor komoditas utama, Indonesia akan membutuhkan waktu untuk
melakukan diversifikasi ke negara tujuan ekspor lainnya. Dalam skenario kami, wabah COVID-19
diperkirakan teratasi dalam enam bulan atau lebih cepat dengan dampak pertumbuhan PDB berkurang
sebesar 0,1%-0,2% pada 2020 (proyeksi dasar pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2%). Risiko
melambatnya pertumbuhan ekspor utama Indonesia bisa berakibat pada menurunnya tingkat
pendapatan masyarakat dan kepercayaan konsumen, sehingga konsumsi menjadi tertunda.

Faktor yang dapat memitigasi risiko tersebut adalah kebijakan fiskal ekspansif tahun ini dan kebijakan
moneter yang tetap akomodatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kementerian Keuangan tentang
kebijakan percepatan pengeluaran surat utang di awal atau front loading untuk mempercepat distribusi
anggaran, terutama ke daerah demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Kami berharap COVID-19 akan segera teratasi sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi lebih stabil pada
semester II/2020, karena pasar domestik yang besar masih berpeluang untuk meredam dampak dari
wabah tersebut. Sementara Indonesia masih dalam pembenahan reformasi struktural, pandemik ini
akan menjadi pengingat dan juga kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses
reformasi kebijakan (seperti pengesahan UU Omnibus yang mengatur perpajakan dan cipta lapangan
kerja untuk menarik investasi asing).

Selain itu Indonesia juga perlu memperhatikan strategi diversifikasi ekspor-impor Indonesia untuk
mengurangi ketergantungan berlebihan pada China.

Anda mungkin juga menyukai