Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA

PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS

(Dosen Pengampu: Ns. Endang Supriyanti,. M. Kep)

Disusun Oleh:
Madalena Xafier Do Rego (1705021)
Maike Iswayanti (1705022)
Mia Arumsari (1705023)
Muhammad Fajar Sidiq (1705014)
Fradika Wulansari (1505015)

PROGAM STUDI D3 KEPERAWATAN


WIDYA HUSADA SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah-nya kepada kita semua, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien Dengan Trauma
Medula Spinalis ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami
berterima kasih kepada Ns. Endang Supriyanti M.Kep,. selaku pembimbing akademik yang
telah membimbing tugas kami.
Kami sangat berharap Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang “Trauma Medula
Spinalis”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Semarang, 30 Januari 2020

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Tujuan

BAB II : LANDASAN TEORI


A. Definisi
B. Klasifikasi
C. Etiologi
D. Patofisiologi
E. Pathways
F. Manifestasi klinis
G. Pemeriksaan penunjang
H. Komplikasi
I. Penatalaksanaan
J. Pengkajian fokus
K. Diagnosa yang mungkin muncul
L. Fokus Intervensi

BAB III : PENUTUP


A. Simpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakan lalu lintas. Apabila trauma itu mengenai daerah
L1-L2 dan atau dibawahnya maka akan mengakibatkan hilangnya fungsi defekasi dan
berkemih (Oman dkk, 2011).
Trauma medula spinalis adalah trauma yang mengenai servikalis vertebralis
dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma
medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000
sampai 500.000 orang hampir disetiap negara, dengan perkiraan 10.000 cedera baru
yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar
75% dari seluruh cedera. Setelah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor, selain itu banyak akibat dari jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka
tembak (Batticaca, 2012).
Vertebra yang sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah
servikal ke-5, 6 dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah paling
rentan karena ada rentang mobilitas yang sering besar dalam kolumna vertebral pada
area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita
karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita
lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause). Pasien yang mengalami trauma medula spinalis
khususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam
pemenuhan kebutuhan hidup dan pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Di Inggris
George Ridoch, mengobati penderita trauma medula spinalis pada suatu unit khusus
yang dikenal sebagai unit trauma spinal. Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, olahraga
(misal menyelam), kecelakaan industri, luka tembak dan luka bacok, ledakan bom
merupakan penyebab trauma medula spinalis (Harsono, 2010)
Berdasarkan uraian diatas diharapkan dengan adanya makalah yang berjudul
“Trauma Medula Spinalis” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat
meningkatkan mutu asuhan keperawatan kegawatdaruratan.
B. Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk memberikan penjelasan asuhan kegawatdaruratan pada pasien dengan
trauma medula spinalis.
b. Tujuan khusus
1. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi definisi
2. Mendeskripsikan konsep teori trauma medula spinalis meliputi jenisnya
3. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi etiologi
4. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi patofisiologi
5. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi pathways
keperawatan
6. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi manifestasi
klinik
7. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi pemeriksaan
penunjang
8. Mendeskrisipkan konsep teori trauma medula spinalis meliputi komplikasi
9. Mendeskrisipkan konsep teori cedera medula spinalis meliputi
penatalaksanaan
10. Mendeskrisipkan konsep teori asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada
pasien dengan trauma medula spinalis meliputi pengkajian fokus, diagnosa
keperawatan, dan fokus intervensi.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi
Medula spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang
terletak didalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian atas
region lumbalis. Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi
fiksasi ringan yang terjadi akbat benturan secara mendadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Batticaca,
2012).
Trauma medula spinalis biasanya terjadi setelah trauma langsung pada tulang
dan ligamen yang membentuk kolumna vertebra, yang berfungsi melindung medula
spinalis (Kneale & Peter, 2011).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakan lalu lintas. Apabila trauma itu mengenai daerah
L1-L2 dan atau dibawahnya maka akan mengakibatkan hilangnya fungsi defekasi dan
berkemih (Oman dkk, 2011).
Trauma medula spinalis merupakan trauma tulang belakang yang di sebabkan oleh
berbagai kecelakan diantaranya kecelakaan kerja, lalu lintas dan lain sebagainya.
B. Klasifikasi
Klasifikasi medula spinalis menurut Batticaca (2008) sebagai berikut :
1. Cedera tulang
a. Stabil
Bila kemampuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemampuan untuk
bergeser lebh jauh selain yang terjadi saat cidera. Komponen arkus neural
intak serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, trauma
ligamen longitudinal posterior tidak robek. Trauma stabil disebabkan oleh
tenaga fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang
belakang dan paling sering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbal
(fraktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi akut
pada tulang belakang).
b. Tidak stabil
Fraktur mempengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh. Hal ini
disebabkan oleh adanya elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi
yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun
oleh dislokasi sendi apofiseal.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis.
b. Disertai defisit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal
spinal terkecil terdapat di daerah ini.
Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme cedera, jenis
cedera vertebrata, level cedera, atau penyebab cedera. Ttrauma medula spinalis
menurut Morton (2009) sebagai berikut :
1. Mekanisme cedera
Benturan mekanisme yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis meliputi
hiperfleksi, hiperekstensi, pembebanan aksial (kompresi), dan benturan rotasi :
a. Hiperfleksi, disebabkan oleh deselerasi mendadak kepala dan leher. Cedera
hiperfleksi biasanya tampak pada pasien yang mengalami trauma terus
menerus akibat tabrakan pada bagian depan kendaraan bermotor atau
kecelakaan saat menyelam. Area servikal paling sering terkena, terutama pada
tingkat C5-C6.
b. Hiperekstensi adalah jenis cedera yang paling umum. Cedera hiperekstensi
dapat disebabkan oleh jatuh, tabrakan dibagian belakang kendaraan bermotor,
atau dipukul pada bagian kepala (mis: selama pertandinagn tinju).
Hiperekstensi kepala dan leher dapat menyebabkan kontusio dan iskemia
medula spinalis tanpa kerusakan kolumna vertebra. Cedera salah urat pada
leher adalah akibat hiperekstensi.
c. Pembebanan aksial (axial loading), disebut juga kompresi khususnya terjadi
jika individu mendarat ke tanah dengan kaki atau bokong setelah jatuh atau
melompat dari ketinggian. Kolumna vertebra mengalami mompresi,
meyebabkan fraktur yang mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis.
d. Cedera rasional terjadi akibat kekuatan yang menyebabkan kepala dan leher
mengalami terpelintir atau fleksi lateral yang eksterm. Fraktur atau dislokasi
vertebra juga dapat terjadi.
2. Jenis Cedera Vertebra
Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan berdasarkan segmen medulla
spinalis yang mengalami gangguan :
a. Cedera servikal atas (C1-C2) (fraktur atlas, subluksasi atlantoaksial, fraktur
adontoid, dan fraktur hangman)
b. Cedera servikal bawah (C3-C8)
c. Cedera toraks (T1-T12)
d. Cedera lumbal (L1-L5)
e. Cedera sacral (S1-S5)
Derajat penyembuhan fungsional bergantung pada lokasi dan luasnya cedera.
Level cedera medulla spinalis ditentukan oleh efek cedera pada fungsi
sensorik dan motoric. Retensi pada semua atau beberapa fungsi motoric atau
sensorik di bawah level cedera menunjukkan bahwa lesi tidak komplet.
Kehilangan total kontrol otot volunteer dan sensasi di bawah level cedera
menunjukkan bahwa lesi komplet. Lesi komplet yang melibatkan area
medulla spinalis C1 sampai T1 menyebabkan tetraplegia. Lesi komplet yang
mengenai area medulla spinalis T2 samapi L1 menyebabkan paraplegia.
C. Etiologi
1. Kecelakaan dijalan raya (penyebab paling serius).
2. Olahraga .
3. Menyelam pada air yang dangkal.
4. Luka tembak atau luka tikam.
5. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan miyelopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar, mielitis akibat
proses inflamasi infeksi maupun non infeksi, osteoporosi yang disebabkan oleh
fraktur kompresi pada vertebra, siring miemia, tumor infiltrasi maupun kompresi
dan penyakit vaskuler.
D. Patofisiologi
Trauma medula spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat trauma pada
vertebra. Medula spinalis yang mengalami trauma biasanya berhubungan dengan
akselerasi, deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh berbagai tekanan yang
mengenai tulang belakang. Tekanan trauma pada medula spinalis mengalami
kompresi, tertari, atau merobek jaringan. Lokasi trauma umumnya mengenai C1 dan
C2, C4, C6, dan T11 atau L2. Mekanisme terjadinya trauma medula spinalis dapat
dilihat pada figur 3-3. Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai
servikal pada C5 dan C6. Jika nmengenai spina thorakolumbal, terjadi pada T12-L1.
Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada tulang belakang bagian bawah.
Benruk trauma ini mengenai ligamen, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah,
dan mengakibatkan iskemia pada medula spinalis. Hiperekstensi. Jenis trauma ini
umumnya mengenai klien dengan usia dewasa yang memiliki perubahan degeneratif
vertebra, usia muda yang mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengenderai
kendaraan, dan usia muda yang mengalami trauma leher saat menyelam. Jenis trauma
ini menyebabkan medula spinalis bertentangan dengan ligamentum flafa dan
mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari
medula spinalis dapat mengikutu trauma hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula
spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah lesi dan
kehilangan fungsi reflekpada isolasi padamedula spinalis. Kompresi. Trauma
kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat dari ketinggian, dengan
posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan memngakibatkan fraktur vertebra dan
menekan medula spinalis. Diskus dan fragmen tulang dapat masuk ke medula
spinalis. Lumbal dan thoraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta
menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medula spinalisn mengakibatkan
kehilangan fungsi sensasi.
E. Pathways
Kecelakaan di jalan raya, olahraga,
menyelam pada air yang dangkal, luka
tembak atau luka tikam dan gangguan lain

Trauma mengenai tulang belakang

Cedera kolumna vertebralis,


cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipatetik Perdarahan mikroskopik Blok saraf parasimpatis


desending
Reaksi peradangan
Kelumpuhan otot
pernapasan
Kehilangan Terputus
Edema Reaksi anestetik
kontrol tonus jaringan Syok spinal
pembengkakan Iskemia
vasomotor saraf
persarafan medula Respons nyeri dan
simpatis ke spinalis hebat dan akut Penekanan saraf dan Ileus paralitik, hipoksemi
jantung pembuluh darah gangguan fungsi a
rektum dan kandung
Paralisis dan kemih
paraplegi Nyeri Pola napas tidak
Refleks Resiko ketid ak
spinal efektifan perfusi efektif
jaringan perifer
Hambatan
Aktivasi mobilitas fisik
sistem saraf hipoventilasi
simpatis
Kelemahan fisik
Penurunan Gagal napas
umum
Kontriksi tingkat
pembuluh darah kesadaran
kematian

Resiko infark pada


miokard Resiko
trauma
(cedera)

Kemampuan Defisit
batuk menurun perawatan
diri

Adanya sekret
yang bertahan Asupan
nutrisi tidak
adekuat
Bersihan jalan
napas tidak efektif
F. Manifestasi klinis
Pada trauma medulla spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan
fungsi saraf. Terdapat fase awal dari syok spinal, yaitu hilangnya reflek pada segmen
di bawah lesi, termasuk bulbokavernous, kremasterika, kontraksi perianal (tonus
spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Makin berat cedera medulla spinalis dan
makin tinggi level cedera, durasi syok spinal makin lama dan makin besar pula.
Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada
lesi. Pada trauma medulla spinalis tipe inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di
bawah lesi, sehingga prognasisnya lebih baik. Fungsi medulla spinalis dapat kembali
seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara
bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma [ CITATION Hid18 \l 1033 ].
Manifestasi trauma medula spinalis berdasarkan mekanisme cederanya. Trauma
tulang belakang dapat primer atau sekunder. Trauma belakang primer terjadi pada saat
cedera sebagai akibat dari mekanisme awal. Cedera sekunder merupakan respon
progresif, patologis yang disebabkan oleh hipoperfusi dan hipoksia spinal akibat dari :
1. Depresi atau kegagalan pernafasan
Cedera tulang belakang khususnya cedera pada regio cervical, dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi respirasi. Derajat kegagalan respirasi
menghasilkan derajat cedera. Pertimbangan tambvahan yang berhubungan dengan
fungsi pernafasan meliputi :
a. Cedera paru-paru yang terjadi bersamaan (pneumothorak, kontusio pulmonal)
b. Riwayat penyakit disfungsi pernafasan (penyakit paru okstruktif kronis)
c. Berhubungan dengan cedera kepala
d. Adanya intoksikasi.
2. Syok
Syok pada pasien dengan trauma tulang belakang dapat berupa syok hemoragi
(kehilangan volume intravaskular), neurogenik (kehilangan respon simpatis), atau
spinal (kehilangan reflek).
a. Syok hemoragik
Seperti pada pasien trauma, syok hipovolemi hemoragi dapat menyebabkan
ketidakadekuatan perfusi pada organ vital. Hipoperfusi pada medula spinalis
merupakan penyebab umum injuri sekunder pada pasien dengan trauma
tulang belakang.
b. Syok neurogenik
Dapat terjadi pada T-6 atau diatasnya. Jarak simpatis desenden terpengaruh,
menghasilkan kehilangan tonus vasomotor dan stimulasi simpatis.
Tanda-tanda klasik syok neurogenik :
1) Hipotensi.
2) Bradikardi.
3) Vasodilatasi periver.
4) Hipotermi
5) Kehilangan respon berkeringat pada bawah bagian yang mengalami
cedera.
c. Syok spinal merupakan hilangnya kemampuan motorik, sensorik dan fungsi
reflek sementara pada bawah bagian yang mengalami kerusakan.
1) Onset biasanya berlangsung mndadak akan tetapi dapat terjadi selama
beberapa hari setelah cedera dan berakhir sampai beberapa hari sampai
beberapa minggu.
2) Tingkat kerusakan akan menentukan intensitas dan durasi syok spinal.
3) Presentasi klinis meliputi paralisis flacit atau kelemahan, arefleksia atau
tidak adanya reflek dan kehilangan fungsi bowl dan bledder.
3. Defisit neurologis.
Defisit neurologis dapat merupakan hasil dari cedera primer dan sekunder, defisit
tersebut dapat sementara atau permanen.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Hidayati (2018) pada pasien dengan Trauma Medula
Spinalis meliputi :
1. Laboratorium
a. Darah perifer lengkap
b. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatining
2. Radiologi - radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir
gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan
semua vertebra.
3. Neurofisiologi klinik
a. EMG (elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi
fungsi saraf dan otot dengan cara menekan aktivitas listrik yang dihasilkan
oleh otot – otot skeletal.
b. NCV (Nerve conduction velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk
melihat bagaimana sinyal – sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf.
c. SSEP (somato senseric evoked potential) merupakan pemeriksaan yang
digunakan untuk melihat atau mempelajari lesi – lesi yang letaknya lebih
proksimal, sepanjang jaras somato – sensorik (tidak terjangkau dengan EMG).
4. Magnetic resonance imaging (MRI) – digunakan untuk mencurigai lesi medulla
spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak lain atau patologi. Modalitas
pencitraan ini harus digunakan untuk mengevaluasi lesi nonosseus, seperti tulang
belakang ekstradural; abses atau tumor, perdarahan pada sumsum tulang, memar,
dan / atau edema.
5. Computed Resonance (CT) Scanning – dicadangkan untuk menggambar kelainan
tulang atau fraktur dapat digunakan ketika radiografi polos tidak memadai atau
gagal untuk menvisualisasikan segmen kerangka aksial. [ CITATION Fra12 \l 1033 ].
H. Komplikasi
Menurut Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa mengakibatkan berbagai
macam komlplikasi diantaranya :
1.  Syok hipovolemik.
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Pendarahan Mikroskopik.
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-perdarahan
kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan pembengkakan
dan edema dan mengakibatkan terjaginya peningkatan tekanan di dalam dan
disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran darah
sehingga terjadi hipoksia dan secara drastic meningkatkan luas cidera korda.
Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf di darah tersebut terhambat atau terjerat.
3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setting dan di
bawah cidera korda lenyap. Hilsngnya senua reefleks disebut syok spinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen
diatas kedua cidera. Dengan demikian lenyapnya fungsi sensorik dan motoric
serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal
biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motoric akan
tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia
yang parah.
4. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segmen
diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang adalah refleks yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah dan
pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua
muatan toknik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang
bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks. Syok spinal biasanya berlangsung
antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat
timbul hiperrefleksia, yang ditandai oleh spastisitas otot serta refleks.
Pengosongan kandung kemih dan rektum.
5. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secara refleks,
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah Hiperrefleksia otonom dapat
timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri
disalurkan ke korda spinalis dan mencetuskan suatu refleks yang melibatkan
pengaktifan system saraf simpatis. Dengan diaktifkannya system simpatis, maka
terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan peningkatan tekanan darah
sistem. Pada orang yang korda spinalisnya utuh, tekanan darahnya akan segera
diketahui oleh baro reseptor. Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,
pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis ke jantung
sehingga kecepatan denyut jantung melambat, demikian respon saraf simpatis
akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah. Respon parasimpatis dan
simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah ke normal. Pada
individu yang mengalami lesi korda, pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera
namun saraf desenden tidak dapat melewati lesi korda sehingga vasokontriksi
akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung. Pada
hiperrefleksia otonom, tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg
sistolik, sehingga terjadi strok atau infark miokardium. Rangsangan biasanya
menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rectum
atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri.
6. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada transeksi
korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralitis ekstremitas atas dan bawah
terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih dan disebut kuadriplegia.
Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan
disebut paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka
dapat terjadi hemiparalisis. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan
tetraplegia komplit adalah sebagai berikut :
a. Pneumonia (60,3 %).
b. Ulkus akibat tekanan (52,8 %).
c. Trombosis vena dalam (16,4 %)
d. Emboli pulmo (5,2 %),
e. Infeksi pasca operasi (2,2 %).
7. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan
fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.
8. Pengkajian Lengkap
a. Identitas Pasien
1) Identitas klien meliputi nama, usia, status perkawinan,alamat rumah,
pekerjaan, agama, pendidikan, suku, sumber biaya, tanggal masuk rumah
sakit, jam, dan tanggal pengkajian.
2) Identitas penanggung jawab meliputi nama, usia, status dengan pasien,
pekerjaan, pendidikan, suku,alamat rumah.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama.
2) Riwayat Penyakit Sekarang.
3) Riwayat Penyakit Dahulu.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera tulang belakang sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan.
4) Riwayat Penyakit Keluarga.
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi
dan diabtes melitus.
c. Pengkajian Primer
1) Airway
Hasil yang muncul pada saat pemeriksaan airways :
a) Jalan napas klien tidak paten
b) Klien terdapat benda asing (sputung)
c) Klien ada suara gurgling (kumur-kumur).
d) Adanya benda asing sputum, darah, dan lendir.
e) Adanya stidor.
Diagnosa keperawatan : bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang
tertahan
2) Breathing
Perubahan pada sistem pernafasan bergantung pada gradasi blok syaraf
pada simpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernafasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat
trauma akibat pada trauma tulang belakang sehingga mengalami terputus
jaringan syaraf dimedula spinalis. Pada beberapa keadaan trauma sumsum
tulang belakang pada daerah servikal dan thorakal hasil dari pemriksaan
fisik dari sistem ini akan didapatkan hal-hal sebagai berikut.
a. Inspeksi umum. Didapatkan klien batuk,peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatn frekuensi
pernafsan. Terdapat retraksi interkostalis, pengembangan paru tidak
simetris. Ekspansi dada: dinilai penuh atau tidak penuh, dan
kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya
atelektasi, lesi pada paru, obstruksi padabronkus, fraktur tulang iga, dan
pnemothorak. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinail : retraksi
dari otot-otot interkostal, substernal, pernafasan abdomen, dan respirasi
paradok (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini dapat terjadi jika
otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding dada akibat
adanya blok syaraf para simpatis.
b. Palpasi. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apbila melibatkan trauma pada rongga thorak.
c. Perkusi. Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thorak atau hemathorak.
d. Auskultasi. Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stredor, ronci
pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk
yang menurun yang sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang
dengan penurunan tingkat kesadaran, koma. Pada klien cedera tulang
belakang dengan frakture dislokasi vertebra lumbal dan protrusi diskus
intervertebralis el-5 dan s-1 pemeriksaan pada sistem pernafasan inspeksi
pernafasan tidak mengalami kelainan. Pada palpasi thorak didapatkan
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan
bunyi nafas tambahan.
Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
cedera medulla spinalis
3) Circulation
a) Cek capillary refill.
b) Kaji denyut nadi (pols) pasien apakah nadi positif, tentukan apakah nadi
adekuat.
c) Pertimbangkan : defibrilator, RJP, control perdarahan,elevasi kaki
(kecuali pada spinal injury)
Hasil pemeriksaan circulation didapatkan :
1) Klien pucat hingga sianosis.
2) Turgor kulit menurun, mukosa bibir kering, akral dingin, CRT >3
3) Terdapat pendarahan.

Diagnosa keperawatan : Gangguan perfusi jaringan perifer b.d kurang


pengetahuan tentang faktor pemberat (trauma)

4) Disability
Kaji singkat trauma neurologis, cek kemampuan gerak ekstremitas, cek GDS,
letrasi pupil/reflek pupil : isokor, reflek cahaya,dilatasi, dilakukan stabilisasi.
Hasil pemeriksaan disability di dapatkan:
a) Klien kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak.
b) Terdapat refleks patologis.
c) Pada ekstermitas terjadi kelemahanKelemahan otot.
d) Klien kehilangan sensasi.
Diagnosa Keperawatan : Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan
neuromuskular,
5) Exposure
Kaji pasien dari kepala sampai kaki, lepaskan pakaian pasien agar dapat
mengkaji lebih baik untuk mencari trauma di tempat lain.
Hasil pemeriksaan exposure didapatkan:
Adanya deformitas medula spinalis (tulang belakang)
Diagnosa Keperawatan : Resiko tinggi trauma berhubungan dengan
penurunan kesadaran, kerusakan mobilitas fisik, Nyeri akut berhungan dengan
agen cedera fisik.
d. Pengkajian sekunder
1. Vital signs.
2. Pemeriksaan fisik (head to toe).
3. Pemeriksaan SAMPLE
- Sign/symptom : tanda dan gejala
- Allergies : alergi
- Medication obat yang diminum saat ini)
- Past medical history/ past illines
- Last meal (makan minum terakhir)
- Event (keadaan atau mekanisme kecelakaan)

9. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang
tertahan
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan cedera medulla spinalis
c. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang factor pemberat (trauma).
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
e. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran, kerusakan
mobilitas fisik.
f.Nyeri akut berhungan dengan agen cedera fisik.
10. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi
yang tertahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam pasien terkondisi
dan mampu melaksankan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil :
1) Mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah.
2) Irama nafas dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal.
3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas.
Intervensi :
1. Kaji dan dokumentasikan hal – hal barikut ini; ketidakefektifan pemberian
oksigen dan terapi terapi lain, frekuensi, kedalaman, dan upaya
pernapasan. Faktor yang berhubungan seperti nyeri , batuk tidak efektif,
mukus kental, dan keletihan
2. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan
atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan
3. Tentukan penghisapan oral atau trakea
4. Pantau status oksigen pasien (SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik
(tingkat MAP [mean arterial pressure] dan irama jantung) segera sebelum,
selama, sesudah, dan setelah penghisapan catat jenis dan jumlah sekret
yang dikumpulkan
5. Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal
rongga dada (mis., bagian kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat
kecuali ada kontra indikasi
6. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi dan
peralatan pendukung.
7. Beritahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal
b. Diagnosa :Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan cedera medulla
spinalis.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam pasien terkondisi
dan mampu melaksankan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil :
1.) RR klien dalam rentang normal (16-20 kali permenit)
2.) Ritme respirasi klien teratur.
3.) Tidal volume sesuai kebutuhan (500cc), saturasi oksigen klien dalam
rentang normal.

Intervensi :
1. Monitor kondisi pasien yang mengindikasikan untuk pemasangan
ventilator mekanik non invasif (pada pasien trauma tulang belakang yang
menyebabkan kelemahan otot pernafasan/diafragma).

2. Monitor kontra indikasi pemasangan ventilator mekanik non invasif.


3. Observasi kesadaran pasien terlebih dahulu sebelum memutuskan
memasang alat ventilator mekanik.
4. Secara rutin cek kepatenan alat ventilator mekanik.
5. Secara teratur evaluasi evfek pemasangan ventilator mekanik.

c. Diagnosa : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan


dengan kurang pengetahuan faktor pemberat (trauma).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam diharapkan risiko
perfusi jaringan perifer berkurang dengan .
Kriteria hasil :
1) Haluaran urin dalam batas normal
2) Rubor atau palor tidak dependen
3) Tidak ada edema
Intervensi :
1. Kaji nadi perifer secara bilateral, gunakan stetoskop dopler jika tidak
dapat merasakan nadi. Beritahu dokter jika nadi tidak ada
2. Kaji warna dan suhu kulit
3. Periksa pengisian kapiler
4. Jelaskan manfaat latihan fisik teratur(sesuai dengan toleransi aktivitas)
d. Diagnosa : Resiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran,
kerusakan mobilitas fisik.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam pasien terkondisi dan
mampu melaksankan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil :
4) Menghindari perilaku berisiko tinggi
5) Menghindari cedera fisik.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan aktivitas motorik pasien.
b. Konultasikan dengan terapi fisik dengan rencana ambulasi dengan rencana
ambulasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan pasien.
c. Bantu klien mengubah posisinya stiap 2 jam sekali.
d. Ajarkan pasien cara merubah posisi dan berikan bantuan dan dampingi klien
saat melakukan mobilisasi.
e. Latih apsien ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot.
f. Monitoring TTV sebelum dan sesudah melakukan latihan dan lihat respon
klien saat latihan.
e. Diagnosa : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam pasien terkondisi dan
mampu melaksankan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya dengan
kriteria hasil : .
- Kekuatan otot meningkat.
- Pasien ammpu menggerakan anggota badan dan melakukan perpindahan
secara bertahap.
Intervensi :

a. Kaji kebutuhan bantuan dan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan


terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama
b. Ajarkan pasien tentang penggunaan alat bantu mobilitas (mis., tongkat, walker,
kruk, atau kursi roda)
c. Kaji kebutuhan belajar pasien
d. Dukung latihan ROM aktif atau pasif, jika diperlukan
e. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh yang
benar saat melakukan aktivitas
f. Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman
g. Atur posisi pasien dengan kejajaran tubuh yang benar
h. Pantau ketepatan pemasangan traksi
f. Diagnosa : Nyeri akut berhungan dengan agen cedera fisik.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam nyeri pasien dapat
teratasi dengan
Kriteria hasil :
6) Melaporkan kenyamanan fisik.
7) Melaporkan adanya nyeri.
8) Frekuensi nyeri berkurang.
Intervensi :
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik serta
onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya, nyeri dan faktor-
faktor presipitasi.
b. Observasi isyarat-isyarat nonverbal dan ketidaknyamanan, khusunya dalam
ketidak mampuan untuk komunikasi secara efektif.
c. Anjurkan teknik relaksasi nafas dalam.
d. Berikan analgetik sesuai anjuran.
e. Evaluasi ketidakefektifan dari mengontrol nyeri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Medula spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang
terletak didalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian atas
region lumbalis. Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi
fiksasi ringan yang terjadi akbat benturan secara mendadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia.Trauma
medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali
oleh kecelakan lalu lintas. Apabila trauma itu mengenai daerah L1-L2 dan atau
dibawahnya maka akan mengakibatkan hilangnya fungsi defekasi dan berkemih.
Klaifikasi trauma tulang dan trauma neurologis. Trauma medula spinalis disebabkan
oleh hipoperfusi dan hipoksia spina akibat dari depresi atau kegagalan pernafasan,
syok, defisit neurologis, kecelakaan dijalan raya (penyeab paling serius), olah raga,
menyelam pada air yang dangkal, luka tembak atau luka tikam, dan gangguan lain
yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis.
Komplikasi dari trauma medula spinalis antara lain adalah syok hipovolemik,
pendarahan mikroskopik, hilangnya sensasi, kontrol motorik, refleks, syok spinal,
hiperrefleksia otonom, dan paralisis. Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien
trauma medula spinalis adalah
B. Saran
Pemahaman mahasiswa keperawatan terhadap bidang ilmu kegawat daruratan dalam
hal trauma medulla spinalis harus terus ditingkatkan dengan proses pembelajaran
yang kontinyu selain untuk meningkatkan pemahaman yakni sebagai upaya
meningkatkan disiplin ilmu yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan dan selalu
berfikir kritis terhadap ilmu pengetahuan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai