Anda di halaman 1dari 37

“MAKALAH PBL ANSIETAS,KEHILANGAN/BERDUKA,WAHAM,RESIKO

BUNUH DIRI DAN DEFISIT PERAWATAN DIRI”


Ditujukan untuk memenuhi mata kuliah Blok Kejiwaan

DI SUSUN OLEH
Desi Christin Saragih 165070201111032

KELOMPOK 4 REGULER 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
ANSIETAS

1. Definisi

 Ansietas adalah keadaan mood yang berorientasi dan berkenaan akan


persiapan untuk menghadapi kemungkinan peristiwa uruk yang akan terjadi
di masa depan (Craske, 2009).

 Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi, tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus oleh situasi
(Videbeck, 2008).

 Ansietas adalalah respon emosional terhadap penilaian intelektual mengenai


sesuatu yang berbahaya (Keliat, 2012).

2. Jenis/macam

Menurut Stuart & Sundeen (2007), ada empat tingkat kecemasan, yaitu:

a. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang


menjadi waspada dan meningkatkan persepsi atas keadaan yang dialaminya.

b. Kecemasan sedang

Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan


mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun
dapat melakukan sesuatu yang terarah.

c. Kecemasan berat

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci
dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain.

d. Panik

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali.
Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

3. Tanda dan gejala

Menurut Hawari (2008), tanda dan gejala ansietas menurut jenisnya, yaitu:

a. Kecemasan ringan

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi
meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku
sesuai situasi.
b. Kecemasan sedang

Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut
jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume
tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan
konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah
ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.

c. Kecemasan berat

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak
dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau
belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan
kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.

d. Panik

Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil,
palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah
yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.

4. Fase

Menurut Suliswati (2005), fase pada ansietas dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Fase 1

Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan. Pada fase ini tubuh merasakan tidak
enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin. Oleh
karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan,
terutama di otot-otot dada, leher dan punggung.  Pada fase ini kecemasan merupakan
mekanisme peningkatan dari sistem syaraf bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal
mengolah informasi yang ada secara benar.

b. Fase 2

Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan
tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada
motivasi diri. Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang
beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres
mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat
menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua.

c. Fase 3

Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor tetap saja
berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Gejala kecemasan pada fase tiga
umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat
kaitannya dengan stres.  Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi dengan
rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya telah
mampu ditolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan
kepribadian.

5. Psikopatologi

Faktor yang mempengaruhi kecemasan:


Stressor, rasa takut yang berlebihan, ingatan atau
mimpi buruk yang berulang

Mekanisme koping

Rentang Respon Kecemasan

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

6. Pemeriksaan dan pengkajian

Menurut Direja (2011), pemeriksaan ansietas berupa:

a. Pengukuran kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat,
atau berat sekali (panik) orang menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan
nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok
gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik.
Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya
adalah:

 0 = Tidak ada gejala atau keluhan

 1 = Gejala ringan

 2 = Gejala sedang
 3 = Gejala berat

 4 = Gejala berat sekali atau panik

Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh tenaga kesehatan atau orang yang telah
dilatih untuk menggunakannya melalui teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai
angka (score) dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan
tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu:

Total nilai (score):

 < 14 = Tidak ada kecemasan

 14 – 20 = Kecemasan ringan

 21 – 27 = Kecemasan sedang

 28 – 41 = Kecemasan berat

 42 – 56 = Kecemasan berat sekali atau panik

Alat ukur HRS-A ini bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa gangguan cemas.
Diagnosa gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh dokter (psikiater),
sedangkan untuk mengukur derajat berat ringannya gangguan cemas itu digunakan alat ukur
HRS-A (Hawari, 2008).

b. Pengkajian

Menurut Nurjanah (2004), pengkajian pada klien ansietas adalah sebagai berikut:

 Identitas klien

 Keluhan utama atau alasan masuk

 Faktor predisposisi (berkaitan erat dengan faktor etiologi)

 Perilaku

Produktivitas menurun, mengamati dan waspada, kontak mata, melihat sekilas sesuatu,
ungkapan perhatian berkaitan dengan merubah peristiwa dalam hidup, insomnia, perasaan
gelisah.

 Afektif

Ditemukan rasa menyesal, iritabel, kesedihan mendalam, takut, gugup, suka cita berlebihan,
nyeri dan ketidakberdayaan meningkat secara menetap, kekhawatiran meningkat, fokus pada
diri sendiri, ketakutan, distressed, khawatir, prihatin dan mencemaskan.

 Fisiologis
Suara bergetar, gemetar/tremor tangan, respirasi meningkat, nadi meningkat, dilasi pupil,
nyeri abdomen, gangguan tidur, perasaan geli pada ekstrimitas, eksitasi kardiovaskuler, peluh
meningkat, wajah tegang, anoreksia, jantung berdebar-debar , diarhea, mulut kering,
kelemahan, nadi berkurang, tekanan darah menurun mual, pingsan, sukar bernafas, tekanan
darah meningkat.

7. Implementasi

STRATEGI PELAKSANAAN : ANSIETAS

A.    Kondisi Klien

 Petugas mengatakan bahwa klien sering menyendiri di kamar


 Klien sering ketawa dan tersenyum sendiri
 Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang membisiki dan isinya tidak
jelas serta melihat setan-setan.

B.     Diagnosa Keperawatan : Ansietas

C.    Tujuan

Tujuan Umum      : mengatasi gangguan ansietas klien.

Tujuan Khusus     :

1.      Pasien mampu membina hubungan saling percaya

2.      Pasien mampu mengenal ansietas

3.      Pasien mampu mengatasi ansietas melalui teknik relaksasi

4.      Pasien mampu memperagakan dan menggunakan teknik relaksasi untuk mengatasi


ansietas

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

SP 1 Pasien : membantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan


perasaannya,menjelaskan situasi, penyebab ansietas, menyadari perilaku ansietas,
Mengajarkan pasien teknik relaksasi nafas dalam untuk meningkatkan kontrol dan rasa
percaya diri : pengalihan situasi.

Fase Orientasi

Salam Terapeutik

“Assalamu’alaikum, Selamat pagi pak! Saya perawat yang bertugas pada pagi ini, nama
saya ima.  Saya adalah mahasiswa dari Unversitas Respati Yogyakarta. Nama bapak
siapa?”

“bapak senangnya dipanggil apa?”


Evaluasi/validasi

“Bagaimana perasaan bapak hari ini? semalam tidurnya nyenyak?”

Kontrak :

Topik

“Bagaimana jika sekarang  kita berbincang-bincang tentang kecemasandan latihan cara


mengontrol cemas dengan latihan relaksasi pak”

Waktu

“Berapa lama ibu punya waktu untuk berbincang-bincang dengan saya? Bagaimana


kalau 15 menit saja”

Tempat

“Dimana ibu mau berbincang-bincang dengan saya? Ya sudah, Bagaimana


jika diruangan ini saja kita berbincang-bincang”

Tujuan

“Agar ibu dapat mengetahui kecemasan yang ibu rasakan serta cara mengatasinya”

Fase Kerja

“Sekarang coba ibu ceritakan apa yang bapak rasakan saat ini”

“Coba bapak ceritakan pada saya”

Ouw jadi bapak merasa takut jika ketakutan bapak terhadap botol diketahui oleh murid-
murid bapak.  Jika boleh saya tahu, bagaimana cara bapak mengatasi ketakutan tersebut”

“Saya mengerti bagaimana perasaan bapak. Setiap orang akan memiliki perasaan yang
sama jika diposisi bapak. Tapi saya sangat kagum sama bapak Karena bapak mampu
menahan semua cobaan ini. Bapak  adalah orang yang luar biasa. Yang perlu bapak
ketahui adalah bapak saat ini berada pada tingkat kecemasan yang sedang. Untuk itu,
bapak perlu melakukan terapi disaat bapak merasakan perasaan cemas yang berat.
Terapi ini akan membantu menurunkan tingkat kecemasan bapak. Bagaimana kalau
sekarang kita coba mengatasi kecemasanbapak dengan latihan relaksasi dengan cara
tarik nafas dalam, ini merupakan salah satu cara  untuk mengurangi kecemasan
yang bapak rasakan”

“Bagaimana kalau kita latihan sekarang, Saya akan lakukan, bapak perhatikan saya, lalu
bapak bisa mengikuti cara yang sudah saya ajarkan. Kita mulai ya pak.bapak silakan
duduk dengan posisi seperti saya. Pertama-tama, bapak tarik nafas dalam perlahan-
lahan, setelah itu tahan nafas dalam hitungan tiga setelah itubapak  hembuskan udara
melalui mulut dengan meniup udara perlahan-lahan.Sekarang coba ibu praktikkan”
“Bagus sekali, bapak sudah mampu melakukannya. bapak bisa melakukan latihan ini
selama 5 sampai 10 kali sampai bapak merasa relaks atau santai. Selain cara tersebut
untuk mengatasi kecemasan bapak, bapak bisa melakukan dengan metode pengalihan
yaitu dengan bapak melepas kecemasan dengan tertawa, berolahraga, menulis
kecemasan bapak disebuah kertas,bersantai seperti jalan-jalan atau bapak juga bisa
mengatasinya dengan mendengarkan musik.

Fase Terminasi

Evaluasi

Subyektif

“Bagaimana perasaan bapak setelah kita ngobrol tentang masalah yangbapak rasakan


dan latihan relaksasi?”

Obyektif

“Coba bapak ulangi lagi cara yang sudah kita pelajari.”

Rencana Tindak Lanjut (RTL)

“Jam berapa bapak akan berlatih lagi melakukan cara ini?”

“Mari, kita masukkan dalam jadwal harian bapak. Jadi, setiap bapakmerasa


cemas, bapak bisa langsung praktikkan cara ini”

Kontrak yang akan datang

Topik

“Cara yang kita praktikkan tadi baru mengurangi sedikit kecemasan yang bapak rasakan,
bagamana jika kita latihan kembali besok pak? Jangan lupa bapak mencoba teknik yang
lain untuk mengurangi kecemasan bapak ya”

Waktu

“Bagaimana kalau kita latihan cara yang kedua ini besok, dengan jamyang sama seperti
hari ini. Berapa lama bapak punya waktu untuk berbincang-bincang dengan saya besok?
Bagaimana kalau 20 menit saja”

Tempat

“Dimana bapak akan latihan dengan saya besok? Ya sudah, bagaimana kalau besok kita
melakukannya disini saja”

DAFTAR PUSTAKA
Direja, Ade Herman. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika.

Hawari, D., 2008. Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Keliat, Budi Anna. 2012. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta Nurjannah,
I., 2004, Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa Manajemen, Proses Keperawatan dan
Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, Yogyakarta : Penerbit MocoMedia.

Stuart, G., W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Suliswati, dkk., 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC.

Videbeck, S.J., 2008, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC.

KEHILANGAN/BERDUKA
1. Definisi
Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan
harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap
kehilangan, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan
masalah.
Lambert mengatakan bahwa: kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan.Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu
selama rentang kehidupan cenderung mengalami kembali walaupun dalam bentuk berbeda.
Berduka merupakan respon emosi terhadap kehilangan yangdimanifestasikan dengan adanya
perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan
respon normal yang terjadi pada semua kejadian kehilangan (Nurhalimah, 2016).
2. Jenis
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu :
a. Kehilangan aktual atau nyata. Kehilangan ini sangat mudah dikenal atau diidentifikasi
oleh orang lain, seperti hilangnya anggota tubuh sebahagian, amputasi, kematian orang
yang sangat berarti / di cintai.
b. Kehilangan persepsi. Kehilangan jenis ini hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk
dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan
perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun (Nurhalimah, 2016).

Terdapat 5 jenis kehilangan menurut Nurhalimah (2016), yaitu:


a. Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai, dan sangat bermakna atau orang yang
berarti merupakana salah satu jenis kehilangan yang paling mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan. Kematian akan berdampak menimbulkan kehilangan bagi orang yang
dicintai. Karena hilangnya keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau
jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak
emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
b. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self) Bentuk lain dari kehilangan adalah
kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Kehilangan ini meliputi
kehilangan perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kehilangan kemampuan fisik dan
mental, serta kehilngan akan peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari
aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau seluruhnya. Beberapa aspek
lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia
muda, fungsi tubuh.
c. Kehilangan objek eksternal Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan benda milik
sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang
dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan
benda tersebut.
d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal Kehilangan diartikan dengan terpisahnya
individu dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang
keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara menetap. Misalnya pindah
kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
e. Kehilangan kehidupan/ meninggal Seseorang dapat mengalami mati baik secara
perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada
kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

NANDA membagi menjadi dua tipe berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.
a. Berduka diantisipasi merupakan suatu status pengalaman individu dalam merespon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek
atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam
batas normal.
b. Berduka disfungsional adalah suatu status individu dalam merespon suatu kehilangan
dimana respon kehilangan dibesar-besarkan padaa saat individu kehilangan secara aktual
maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-
kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
3. Tanda dan Gejala
Gejala yang timbul pada pasien dengan kehilangan menurut Nurhalimah (2016) antara
lain:
a. Adaptasi terhadap kehilangan yang tidak berhasil
b. Depresi, menyangkal yang berkepanjangan
c. Reaksi emosional yang lambat
d. Tidak mampu menerima pola kehidupan yang normal

Tanda yang mungkin dijumpai pada pasien kehilangan antara lain:


a. Isolasi sosial atau menarik diri
b. Gagal untuk mengembangkan hubungan/ minat-minat baru
c. Gagal untuk menyusun kembali kehidupan setelah kehilangan

Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan menurut


Yusuf Ah., dkk. (2015) sebagai berikut.
a. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.
b. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
c. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan menangis,
keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
d. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
e. Mengalami perasaan berduka.
f. Mudah tersinggung dan marah.

4. Fase
Rentang Respon Kehilangan dan Berduka (Yusuf Ah., dkk., 2015).
Gambar Rentang Respon Ansietas

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam
rentang yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.
Rentang Respon Kehilangan (Nurhalimah, 2016).
Denial —–> Anger —–> Bergaining ——> Depresi —— > Acceptance
a. Fase denial
1) Merupakan reaksi pertama pada fase ini adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
2) Ungkapan verbal pada fase ini biasanya individu mengatakan itu tidak mungkin, ―
saya Sdak percaya itu terjadi .
3) Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung
cepat, menangis, gelisah.
b. Fase anger / marah
1) Individu mulaimenyadari akan kenyataan yang terjadi
2) Tibul respon marah diproyeksikan pada orang lain
3) Reaksi fisik yang timbul adalah; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal, serta perilaku agresif.
c. Fase bergaining / tawar- menawar.
Ungkapan secara verbal pada fase ini adalah; kenapa harus terjadi pada saya ? , kalau
saja yang sakit bukan saya,seAndainya saya hati-hati .
d. Fase depresi
1) Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
2) Gejalapada fase ini individu menolak makan, mengeluh suslit tidur, letih, dorongan
libido menurun.
e. Fase acceptance
1) Pikiran pada objek yang hilang mulai berkurang.
2) Ungkapan verbal pada fase ini adalah” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat
sembuh, yah, akhirnya saya harus operasi”

Proses berduka menurut Engel (1964) dalam Nurhalimah (2016) mempunyai beberapa
fase yang dapat
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Individu yang berada pada fase ini seringkali menolak menerima kenyataan akan
kehilangan yang dialami. Individu mungkin menarik diri dari lingkungan sekitar, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi fisik yang timbul pada fase ini adalah pingsan,
diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Individu mulai merasakan adanya kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami
putus asa,marahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi)
Individu berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong,
pada fase ini individu kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d. Fase IV
Indiduvu mulai menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa
lalu terhadap almarhum.
e. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari. Pada fase ini individu harus mulai menyadari arti
kehilangan. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya.
Kesadaran baru telah berkembang.

5.Psikopatologi

Faktor predisposisi:
Genetik (riwayat keluarga depresi), kesehatan
fisik, kesehatan mental, pengalaman kehilangan
masa lalu

Faktor presipitasi:
Stres nyata atau imajinasi, kehilangan bersifat
bio-psiko-sosial, kehilangan kesehatan, PHK,
kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan
peran dalam keluarga

Mekanisme koping

Respon Adaptif Rentang Respon Respon Maladaptif

6.Pemeriksaan dan pengkajian


Penyangkalan Marah (anger) Tawar Depresi Penerimaan
(Denial) menawar (acceptance)
(bergaining)
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien, apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku. Beberapa
percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar mengetahui apa yang mereka pikir dan
rasakan adalah :
 Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
 Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
 Perilaku koping yang adekuat selama proses
 Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
 Faktor Genetic
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
 Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik
 Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi
yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa
depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
 Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-kanak akan
mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa
 Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa
percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
 Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapatmenimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-
sosial antara lain meliputi;
- Kehilangan kesehatan
- Kehilangan fungsi seksualitas
- Kehilangan peran dalam keluarga
- Kehilangan posisi di masyarakat
- Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
- Kehilangan kewarganegaraan
 Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara
lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.
Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan
patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat.
 Respon Spiritual
1) Kecewa dan marah terhadap Tuhan
2) Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
3) Tidak memilki harapan; kehilangan makna
 Respon Fisiologis
1) Sakit kepala, insomnia
2) Gangguan nafsu makan
3) Berat badan turun
4) Tidak bertenaga
5) Palpitasi, gangguan pencernaan
6) Perubahan sistem imune dan endokrin
 Respon Emosional
1) Merasa sedih, cemas
2) Kebencian
3) Merasa bersalah
4) Perasaan mati rasa
5) Emosi yang berubah-ubah
6) Penderitaan dan kesepian yang berat
7) Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau
benda yang hilang
8) Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan keputusasaan
9) Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
 Respon Kognitif
1) Gangguan asumsi dan keyakinan
2) Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan
3) Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
4) Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.
 Perilaku
1) Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti :
2) Menangis tidak terkontrol
3) Sangat gelisah; perilaku mencari
4) Iritabilitas dan sikap bermusuhan
5) Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang
yang telah meninggal.
6) Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal ingin
membuangnya
7) Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol
8) Kemungkinan melakukan gestur, upaya bunuh diri atau pembunuhan
9) Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase reorganisasi
Data yang dikaji
a. Data objektif
a. Klien tampak sedih dan menangis
b. Klien tampak putus asa dan kesepian
c.  Adanya perubahan dalam kebiasaan makan,pola tidur,tingkat aktivitas.
d.  Reaksi emosional klien tampak melambat
e.  Klien tampak marah berlebihan
b. Data subjektif
a.  Mengingkari kehilangan
b.  Kesulitan mengekspresikan perasaan
c.  Konsentrasi menurun
d.  Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
e.  Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
f.   Reaksi emosional yang lambat
7.Implementasi

STRATEGI PELAKSANAAN
Masalah utama   : kehilangan dan berduka
Pertemuan ke      : 1
(respon mengingkari terhadap kematian anak)
a.proses keperawatan
1.Kondisi             :  klien tampak menangis terus dan tampak lemah
2.Diagnosa           :  Duka cita
3.TUK                  :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien mampu mengungkapkan perasaan berduka
Tindakan keperawatan :
a. Bina hubungan saling percaya
b. Jelaskan proses berduka
c. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaan nya
d. Mendengarkan dengan penuh perhatian
e. Secara verbal dukung pasien,tapi jangan dukung pengingkaran yang dilakukan
f. Teknik komunikasi diam dan sentuhan
g. Perhatikan kebutuhan dasar pasien

 Strategi pelaksanaan
1.     Fase pra interaksi
Perawat melihat data-data pasien meliputi identitas pasien , alamat , pekerjaan ,
pendidikan , agama , suku bangsa ,riwayat kesehatan (RKS,RKD.RKK).Perawat telah siap
melakukan tugas nya tanpa ada masalah pribadi yang terbawa-bawa.
2.     Fase orientasi
”selamat pagi, bu ani. Saya perawat roma.bagaimana perasaan ibu sekarang? Saya
akan menemani ibu sampai kemakam sampai prosesi pemakaman nya selesai ya bu.”
3.     Fase kerja
“apakah ibu mau menyampaikan sesuatu? Baiklah ibu saya paham dengan perasaan
ibu saat ini,ibu sedih dan kita semua disini juga sedih, tapi semua itu sudah kehendak dari
yang kuasa, kita sebagai manusia hanya bisa berserah diri dan menerima semua ini, ibu mau
minum? Saya ambilkan... ya. Bagaimana dengan makan?coba sedikit ya bu,agar ibu tidak
lemas,”apakah ibu mau kemakam? Baiklah akan saya temani ya bu...
4.     Fase terminasi
“setelah kembali dari makam ,bagaimana perasaan ibu? Ibu masih tampak tampak
sedih .saya akan pulang dulu ya bu. Usahakan ibu makan,minum,dan istirahat ya.nanti,dua
hari lagi saya akan datang kesini lagi ya bu,dijam yang sama.kita.baiklah bu,sampai jumpa.”

Daftar Pustaka

Stuart, G., and Laraia, M., (2005) The Principle and Practise of Psychiatric Nursing . Elsevier
Mosby, St Louis Missouri.

NANDA. (2012). Nursing Diagnose: Definition & Classification 2007 – 2008

Nurhalimah.2016. Bahan Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kemenkes RI.


Stuart & Laraia. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC

Yusuf Ah., dkk.. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

WAHAM
1. Definisi
 Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain, keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien dimana sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000).
 Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan wlaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen,
1998).
 Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan Penilaian realitas yang
salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses
interaksi/ informasi secara akuat (Yosef, 2011).
2. Jenis/macam
Menurut Direja (2011), waham dapat diklasifikan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Waham kebesaran adalah keyakinan secara berlebihan bahawa dirinya memiliki
kekuatan khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Waham agama adalah keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
c. Waham curiga adalah keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang mau
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
d. Waham somatik adalah keyakinan seseorang bahwa tubuh atau sebagian tubuhnya
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
e. Waham nihlistik adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulangulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
3. Tanda dan gejala
Menurut Kusumawati (2010) yaitu :
 Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasia
bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial).
 Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi.
 Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi
berlebihan, ambivalen.
 Fungsi motorik
Impulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik gerakan yang diulang-
ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
 Fungsi sosial kesepian
Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
 Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang sering muncul adalah
gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.
Tanda dan gejala Menurut Direja, (2011) yaitu terbiasa menolak makan, tidak ada
perhatian pada perawatan diri, Ekspresi wajah sedih dan ketakutan, gerakan tidak
terkontrol, mudah tersinggung, isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan
kenyataan, menghindar dari orang lain, mendominasi pembicaraan, berbicara kasar,
menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan.
4. Fase
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
 Fase of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat tinggi.
 Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal
dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
 Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan keyataan,
tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal.
 Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
 Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering
disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien
sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
 Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
5. Psikopatologi
Keliat (2009)
Merasa terancam, kecemasan, dan timbul
perasaan bahwa sesuatu yang tidak
menyenangkan akan terjadi

Berusaha terhadap persepsi diri dan obyek


realita melalui manifestasi, lisan terhadap suatu
kejadian

Dilanjutkan dengan memproyeksikan pikiran dan perasaaan


lingkungannya, sehingga pikiran, perasaan, dan keinginan yang
negatif, dan tidak dapat diterima akan terlihat datangnya dari dirinya

Memberikan alasan atau rasional tentang interpretasi


personal (diri sendiri) terhadap realita kepada diri sendiri dan
orang lain

Rentang respon

Respon adaptif Respon Maladaptif

Pikiran logis, Pikiran kadang Gangguan proses pikir:


persepsi akurat, menyimpang, reaksi waham, halusinasi,
emosi konsisten emosional kerusakan emosi,
dengan pengalaman, berlebihan, perilaku perilaku tidak sesuai,
perilaku sosial, tidak sesuai, ketidakteraturan isolasi
hubungan sosial menarik diri sosial

6. Pemeriksaan dan pengkajian


Pengkajian, berupa:
 Identitas klien
 Keluhan utama atau alasan masuk
 Faktor predisposisi (berkaitan erat dengan faktor etiologi)
 Aspek sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap gangguan psikotik. Seseorang
yang diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham (Direja,
2011).
 Aspek psikososial
a) Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi yang dapat
menggambarkan hubungan klien dan keluarga, masalah yang terkait dengan
komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh.
b) Konsep diri
o Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian yang
disukai dan tidak disukai.
o Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien
terhadap status dan posisinya dan kepuasan klien sebagai laki-
laki/perempuan.
o Peran: tugas yang diemban dalam keluarga / kelompok dan masyarakat
dan kemampuan klien dalam melaksanakan tugas tersebut.
o Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas, lingkungan dan
penyakitnya.
o Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian dan penghargaan
orang lain terhadap dirinya, biasanya terjadi pengungkapan kekecewaan
terhadap dirinya sebagai wujud harga diri rendah.
o Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
o Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah.
 Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik
klien, alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir), afek klien, interaksi selama
wawancara, persepsi klien, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori,
tingkat konsentasi dan berhitung, kemampuan penilaian dan daya tilik diri.
 Masalah psikososial dan lingkungan
Dari data keluarga atau klien mengenai masalah yang dimiliki klien.
 Aspek medik
Terapi yang diterima oleh klien: ECT, terapi antara lain seperti terapi psikomotor,
terapi tingkah laku, terapi keluarga, terapi spiritual, terapi lingkungan.

7. Implementasi
STRATEGI PELAKSANAAN (SP)
Tindakan Keperawatan
Interaksi Ke : I (Pertama)
Tanggal Pertemuan :………………..
A. Kondisi Klien
Klien terlihat gelisah, curiga terhadap orang yang berada di sekelilingnya, kadang-kadang
klien berbicara sendiri dan berkata bahwa dirinya adalah Imam Mahdi yang tahu bahwa
kapan dunia akan kiamat, perhatian terhadap lingkungan sekitar menurun.
B. Diagnosa Keperawatan
Perubahan proses pikir
C. Tujuan Khusus 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan orang lain
D. Tindakan Keperawatan :
a. Bina hubungan saling percaya
b. Perkenalan diri dengan klien secara sopan
c. Sapa klien dengan ramah
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur & tepati janji
f. Beri perhatian kepada klien
g. Tunjukkan sikap empati kepada klien
E. Strategi Komunikasi
1. Fase Orientasi :
Salam Terapeutik:
Selamat pagi,pak. Assalamu’alaikum, perkenalkan nama saya Andika, bapak bisa panggil
saya Dika (sambil mengulurkan tangan kepada klien untuk berjabat tangan), saya perawat
disini yang akan membantu bapak selama dirawat di sini. Nah sekarang saya yang bertanya
ya pak? nama Bapak siapa?….,Oh Suwarno namanya bagus sekali, saya boleh panggil apa?
…., Baiklah akan saya panggil pak Imam.
Evaluasi/validasi :
Bagaimana perasaan bapak hari ini? Bapak terlihat segar, tetapi apa yang membuat bapak
terlihat begitu curiga terhadap saya? Ceritakan apa yang mengganjal di pikiran bapak
sekarang? Baiklah semoga setelah bertemu dengan saya masalah bapak akan teratasi. Begitu
ya pak?
Kontrak:
Bapak, tujuan saya menemui bapak saat ini adalah ingin mengenal lebih dekat pak Imam
sehingga kita bisa saling kenal dan bapak bisa menceritakan segala masalah bapak selain itu
saya dapat membantu apa yang bapak disini. Bagaimana pak? Apakah bapak setuju? Baiklah
bagaimana kalau kita duduk di kursi teras depan? Berapa lama bapak mempunyai waktu
dengan saya? Bagaimana kalau 20 menit, cukup? Baiklah kalau begitu 15 menit saja ya pak?

2. Fase Kerja :
Nah, tadi saya sudah menyebutkan nama saya, coba ulangi siapa nama saya? Lupa? Masih
sebentar kok sudah lupa? Saya ulangi lagi nama saya Andika, bapak bisa memanggil saya
Dika ya pak? Baiklah semoga bapak bisa mengenal saya, begitu pula sebaliknya sehingga
bapak bisa merasa nyaman bercerita kepada saya.
Bapak, mengapa bapak terlihat gelisah serta selalu berbicara sendiri tentang Imam Mahdi?….
oh begitu ya pak? saya mengerti apa yang bapak maksudkan. Coba jelaskan darimana bapak
mendapatkan ilham bahwa bapak adalah seorang Imam Mahdi?

3. Fase Terminasi :
Evaluasi Subyektif :
Baiklah, saya rasa bapak sudah mulai terbuka dan merasa nyaman dengan kehadiran saya,
sekarang bagaimana perasaan bapak setelah bertemu dan bercerita dengan saya? Bagus, rasa
berharap bapak lebih bisa mengungkapkan perasaan bapak dan lebih terbuka dengan harapan
agar masalah bapak dapat teratasi.
Evaluasi Obyektif :
Nah, sekarang coba sebutkan lagi siapa nama saya? Bagus sekali. Mulai sekarang kalau
ketemu saya jangan lupa panggil saya dengan? Bagus.
Tindak Lanjut :
Baiklah, saya rasa perkenalan kita cukup sekian, kita sudah cukup saling mengenal saat ini,
Saya berharap setiap bapak bertemu dengan saya dan saat memerlukan bantuan saya, bapak
mau memanggil saya supaya selama bapak di sini dapat bekerjasama dengan saya serta bapak
mampu sembuh kembali.
Kontrak yang akan datang :
Sekarang 15 menitnya sudah habis, berarti pertemuan kita disini juga sudah selesai. Nanti
pukul 11.00 sebelum makan siang saya akan datang kembali menemui bapak untuk
mendiskusikan masalah yang sedang bapak hadapi sekarang, nanti dimana kita bisa bertemu
kembali? Baiklah nanti kita bertemu lagi disini ya pak? Assalamualaikum

Daftar Pustaka

Direja, Ade Herman. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Kusumawati, F. & Hartono, Y. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Refika Aditama, Jakarta.
Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
RESIKO BUNUH DIRI
1. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat mengancam
kehidupan (Stuart, 2006).
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres
yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah
saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh
diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan
keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar
pasien tidak melakukan tindakan bunuh diri (Yusuf Ah., dkk., 2015).
2. Jenis/macam
Menurut Keliat (2009) tahapan bunuh diri adalah sebagai berikut:
a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun cenderung untuk bunuh diri
karena indentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut
sangat mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan
masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak
memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala orang berisiko bunuh diri menurut Fitria (2009), yaitu:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Impulsive
d. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
e. Mendekati orang lain dengan ancaman
f. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
g. Latar belakang keluarga

4. Fase
Rentang Respon Resiko Bunuh Diri (Yusuf Ah., dkk., 2015)

Gambar Rentang Respon Protektif Diri


Keterangan
a. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat.
b. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
c. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan
fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti perilaku merusak,
mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam rekreasi yang berisiko tinggi,
penyalahgunaan zat, perilaku yang menyimpang secara sosial, dan perilaku yang
menimbulkan stres.
d. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang dilakukan
dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa bantuan orang lain,
dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku
pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau
anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan.

5.Psikopatologi
Penyebab:
Kegagalan beradaptasi, perasaan terisolasi,
perasaan marah, cara untuk mengakhiri
keputusasaan

Penyebab:
perasaan marah, cara untuk mengakhiri
keputusasaan

Penilaian stressor

Sumber koping

Mekanisme koping

Respon Adaptif Rentang Respon Respon Maladaptif

Peningkatan diri Pertumbuhan Perilaku melukai Bunuh diri


peningkatan diri tak langsung
pengambilan
resiko

6.Pemeriksaan dan pengkajian


a. Pengkajian, berupa:
 Identitas klien
 Keluhan utama atau alasan masuk
 Faktor predisposisi (berkaitan erat dengan faktor etiologi)
 Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.
1) Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri.
2) Riwayat keluarga terhadap bunuh diri.
3) Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia.
4) Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
5) Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid,
antisosial.
6) Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka.
 Konsep diri
Pada umumnya pasien mengatakan hal yang negatif tentang dirinya, yang
menunjukkan harga diri yang rendah).
 Alam perasaan
Rasa sedih, putus asa, ketakutan, gembira berlebihan. Pasien pada umumnya
merasakan kesedihan dan keputusasaan yang sangat mendalam.
 Interaksi selama wawancara
Tidak kooperatif, kontak mata berkurang, mudak tersinggung, curiga. Pasien
biasanya menunjukkan kontak mata yang kurang.
 Afek
Datar, labil, tumpul, tidak sesuai. Pasien biasanya menunjukkan afek yang datar
atau tumpul.
 Mekanisme koping maladaptive
Minum alkohol, bekerja berlebihan, reaksi lambat, mencederai diri, menghindar.
Pasien biasanya menyelesaikan masalahnya dengan cara menghindar dan
mencederai diri.
 Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah dengan dukungan keluarga dan masalah dengan lingkungan.
7.Implementasi
Penatalaksanaan Medis

Pada semua kasus, keinginan bunuh diri harus diperiksa. Apakah orang mengisolasi dirinya
sendiri waktu kejadian sehingga ia tidak ditemukan atau melakukan tindakan agar tidak
ditemukan. Pada kasus bunuh diri membutuhkan obat penenang saat mereka bertindak
kekerasan pada diri mereka atau orang lain, dan pasien juga lebih membutuhkan terapi
kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.

Sasaran tindakan adalah untuk meningkatkan transmisi dopamine. Tetapi obat-obatan


mencakup antihistamin, antikolinergik, amantidin, levodopa, anhibitormmonoamin oksodasi
(MAO), dan antidepresi. Beberapa obat-obat ini menyebabkan efek samping psikiatrik pada
lansia meliputi:

a. Antihistamin
Antihistamin mempunyai efek sedative dan antikolinergik pusat ringan, dapat
membantu dalam menghilangkan tremor.
b. Terapi antikolinergik
Agen antikolinergik (triheksifenidil, prosiklidin, dan benzotropin mesilat) efeksif
untuk mengontrol tremor dan kekakuan Parkinson. Amantadin hidrokhlorida
c. Amantadin hidrokhlorida (symmetrel), agen antivirus yang digunakan pada awal
pengobatan penyakit Parkinson untuk menurunkan kekakuan, tremor, dan
bradikinesia. Agen ini diperkirakan bekerja melalui pelepasan dopamine dari
daerah penyimpanan didalam saraf.
d. Terapi levodopa
Walaupun levodopa bukan untuk pengobatan, saat ini merupakan agen tang
paling efektif untuk pengobatan penyakit Parkinson.
e. Derivate Ergoet-Agonis Dopamin
Agen-agen ini (bromoktriptin dan pergolid) dianggap sebagai agonis reseptor
dopamine. Agen ini bermanfaat bila ditambahkan pada levodopa dan pada klien
yang mengalami reaksi on-off terhadap fruktuasi klinis yang ringan.
f. Inhibitor MAO
g. Eldepril adalah salah satu perkembangan dalam farmakoterapi penyakit
Parkinson. Obat iniu menghambat pemecahan dopamine. Sehingga peningkatan
jumlah dopamine tercapai, tidak seperti bentuk terapi lain, agen ini secara nyata
memperlambat kemajuan penyakit.
h. Antidepresen
Antidepresen trisiklik dapat diberikan untuk mengurangi depresi yang juga
terbiasa terjadi pada penyakit Parkinson.

Penatalaksanaan keperawatan

Terapi Lingkungan pada Kondisi Bunuh Diri

a) Ruangan aman dan nyaman, terhindar dari alat yang dapat digunakan untuk
mencederai diri sendiri atau orang lain.
b) Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan
terkunci.
c) Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keselur4uhan ruanagn mudah dipantau
oleh petugas kesehatan.
d) Ruangan yang menarik, misalnya dengan warna  cerah, ada poster dll.
e) Hadirkan musik yang ceria, televisi, film komedi, bacaan ringan dan lucu.
f) Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang pribadi klien.
g) Lingkungan sosial: komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa
pasiien sesering mungkin, memberikan penjelasan setiap akan melakukan tindakan
keperawatan atau kegiatan medis lainnya, menerima pasien apa adanya tidak engejek
atau merendahkan, meningkatkan harga diri pasien, membantu menilai dan
meningkatkan hubungan social secara bertahap, membantu pasien dalam berinteraksi
dengan keluarganya, sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan
biarkan pasien sendiri dalam waktu yang lama. (Yosep, 2010)

- Tindakan keperawatan untuk keluarga

1) Tujuan: Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah rasa ingin
bunuh diri.

2)Tindakan keperawatan: Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang ingin bunuh
diri adalah :

a) Membina hubungan saling percaya.


1. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
2. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
b) Membantu pasien untuk mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
2. Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien.
3. Utamakan pemberian pujian yang realitas.
c) Membantu pasien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri
sendiri dan keluarga.
1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah.
d) Melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan.
1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan.
2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
3. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
e) Memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
1. Beri  pendidikan  kesehatan  pada keluarga tentang caramerawat klien.
2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

-TindakanKeperawatan untuk Pasien

Tujuan    : Pasien tetap aman dan selamat 

Tindakan : Melindungi pasien

Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka saudara
dapat melakukan tindakan berikut:

 Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat yang aman
 Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang)
 Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien
mendapatkan obat
 Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri
Daftar Pustaka

Keliat. B.A, (2009). Tingkah Laku Bunuh Diri. Jakarta, EGC.

Nita Fitria., (2009), Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).Jakarta : Salemba Medika

Stuart, G., and Laraia, M., (2005) The Principle and Practise of Psychiatric Nursing . Elsevier
Mosby, St Louis Missouri.

Yusuf Ah., dkk.. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Definisi

 Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan melakukan aktivitas yang


terdiri dari mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting atau kebersihan diri
secara mandiri (Nanda, 2006).

 Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian / berhias, makan dan BAB
/ BAK (toileting) (Fitria, 2009).

 Defisit perawatan diri adalah dimana keadaan individu mengalami kerusakan


fungsi motorik atau fungsi kognitif yang menyebabkan penurunan kemampuan
untuk melakukan masing-masing dari kelima aktivitas perawatan diri (makan,
mandi atau higiene, berpakaian atau berhias, toileting, instrumental) (Carpenito,
2001).

2. Jenis/macam

Lingkup defisit perawatan diri menurut Yusuf Ah., dkk. (2015):


a. Kebersihan diri
Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, pakaian kotor, bau badan, bau napas,
dan penampilan tidak rapi.
b. Berdandan atau berhias
Kurangnya minat dalam memilih pakaian yang sesuai, tidak menyisir rambut, atau
mencukur kumis.
c. Makan
Mengalami kesukaran dalam mengambil, ketidakmampuan membawa makanan dari
piring ke mulut, dan makan hanya beberapa suap makanan dari piring.
d. Toileting
Ketidakmampuan atau tidak adanya keinginan untuk melakukan defekasi atau berkemih
tanpa bantuan.

3. Tanda dan gejala

Menurut Santosa (2005) kurang perawatan diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut:

 gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit bau,
kuku panjang dan kotor

 ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut acak - acakan,


pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan
 ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya

 ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB atau BAK
tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB atau
BAK

4. Fase

Menurut Fitria (2009), fase pada defisit perawatan diri adalah

a. Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu untuk
berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
dapat melakukan perawatan diri.

b. Perawatan diri kadang tidak seimbang, saat klien mendapatkan stressor kadang-
kadang tidak memperhatikan perawatan dirinya.

c. Tidak melakukan perawatan diri, saat klien mendapatkan stressor lalu mengatakan
tidak peduli dan tidak bisa melakukan perawatan diri.

5. Psikopatologi

Faktor predisposisi:
Penyakit kronis, kurangnya dukungan dan latian perawatan diri, klien
dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang yang
menyebabkan ketidakpedulian pada dirinya dan lingkungan

Penilaian stressor

Sumber koping

Mekanisme koping

Respon Adaptif Rentang Respon Respon Maladaptif

Pola perawatan diri Kadang perawatan diri Tidak melakukan


seimbang kurang seimbang perawatan diri
6. Pemeriksaan dan pengkajian

Menurut Santosa (2005), pengkajian, berupa:

 Identitas klien

 Keluhan utama atau alasan masuk

 Faktor predisposisi (berkaitan erat dengan faktor etiologi)

 Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan

 Pola kebersihan tubuh

 Pemeriksaan fisik

a. Rambut: keadaan kesuburan rambut, keadaan rambut yang mudah rontok,


keadaan rambut kusam, keadaan tekstur

b. Kepala: adanya ketombe, berkutu

c. Mata: memeriksa kebersihan mata, mata gatal dan mata merah

d. Hidung: melihat kebersihan hidung, membran mukosa

e. Gigi: melihat apakah ada karang gigi, karies, kelengkapan gigi

f. Telinga: melihat apakah ada kotoran, ada lesi atau infeksi

g. Kulit: melihat kebersihan, adanya lesi, warna kulit, tekstur, pertumbuhan bulu

7.Implementasi

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Proses Keperawatan

Kondisi Pasien

Tn. A mengalami defisit perawatan diri, klien selalu BAB dan BAK di sembarang tepat dan
tidak mau di ajak ke WC atau ke kamar mandi. Klien juga tidak membersihkan diri/cebok
setelah BAB dan BAK.

Data Subjektif

 Klien mengatakan tidak mau BAB dan BAK di kamar mandi


 Kien mengatakan tidak mengerti cara BAB dan BAK di kamar mandi.

Data Objektif

 Klien tidak mau diajak BAB dan BAK di kamar mandi.


 Klien tidak mebersihkan diri setalah BAB dan BAK
Diagnosa Keperawatan Defisit Perawatan Diri

Tujuan Khusus

 Makukan kebersihan diri sendiri secara mandiri


 Mekukan berhias atau berdandan secara baik.
 Makukna akan dengan baik.

Tindakan keperawatan

 Melatih pasien secara perawatan kebersihan dengan cara


 Mnjeaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
 Menjeaskan aat-aat untuk enjaga kebersihan
 Menjeaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
 Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
 Membantu pasien atihan berhias

Latihan berhias pada pria berhias harus dibedakan dengan wanita. Pada pasien laki-laki,
latihan meiputi latihan berpakaian, menyisiir rambut dan bercukur sedangkan pada pasien
perepuan latihan meliputi latihan berpakaian, menyisir rambut dan berdandan

 Melatih pasien akan secara andiri dengan cara


 Menjeaskan cara mempersiapkan makan
 Menjeaskan cara akan yang tertib
 Menjeaskan cara merapikan peraatan akan seteah akan
 Mempraktikkan cara akan yang baik.
 mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara andiri
 Menjeaskan tepat BAB/BAK yang sesuai
 Menjeaskan cara mebersihkan diri setaah BAB/BAK
 Menjeaskan cara mebersihkan tepat BAB/BAK
 Strategi komunikasi pelaksanaan tindakan

SP 1 pasien : mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara merawat diri dan


melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan diri.

Orientasi

Salam terapeutik

“Selamat pagi, perkenalkan nama saya A, saya mahasiswa yang dinas di ruangan ini “

“Boleh tau, nama bapak siapa? Senangnya dipanggil apa?”

“Saya dinas pagi di ruangan ini dari jam 7 pagi sapai2 siang, selama di rumah sakit ini saya
yang akan merawat bapak B. “

Evaluasi
“Dari tadi, saya lihat menggaruk-garuk badannya, gatal ya”?

Kontrak

“Bagaimana kalau kita bicara tentang kebersihan diri ?”

“Berapa lama kita bicara ? 20 menit ya… ? mau dimana.. ? disini saja ya?”

Kerja

“Berapa kai B mandi dalam sehari ?”

“ Apakah B sudah mandi hari ini ?” “menurut B apa kegunaan mandi ?”

“Apa alasan B sehingga tidak biasa merawat diri ?

“ Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik seperti apa ? badan gatal,
mulut bau, apa agi.. ? kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut B
yang bias muncul ? betul ada kudis, kutu.

Bagaimana kalau kita sekarang k kamar mandi, saya akan membimbing bapak A
melakukannya. Bagus sekali, sekarang buka pakaian dan gantung. Sekarang bapak B siram
seluruh tubuh bapak B termasuk rambut lalu ambil sampo gosokkan pada kepala bapak B
sampai berbusa lalu bilas sampai bersih. Bagus sekali. Selanjutnya ambil sabun, gosokkan di
seluruh tubuh secara merata lalu siram dengan air bersih, jangan lupa sikat gigi pakai odol..
gosok seluruh gigi bapak B mulai dari depan sampai belakang, atas dan bawah. Bagus lalu
kumur-kumur sampai bersih.. terakhir siram lagi seluruh tubuh bapak B sampai bersih lalu
keringkan dengan handuk. Bagus sekali melakukannya. Selanjutnya bapak B pakai baju yang
bersih, bagus sekali, mari kita ke kaca dan sisir rambutnya, nah bapak B rapi dan bersih.

Terminasi

 Evaluasi subyektif
 Bagaimana perasaan B setelah mandi dan mengganti pakaian ?
 Evaluasi Obyektif
 Coba sebutkan lagi, apa saja cara mandi yang baik yang sudah B ketahui ?
 Kontrak
 Topik

Baik pak sekarang bincang bincangnya sudah selesai, bagai mana kalau besok jam 8 saya
kembali lagi untuk latihan berias

Tempat

Kita akan melakukan di kamar , bagaimana menurut bapak ? Apakah bapak setuju ? atau
ganti di tempat lain ?

Waktu
Waktunya berapa lama pak ? baiklah 5 menit saja.

Rencana tindak lanjut

Bagaimana kalau latihan ini kita memasukkan dalam jadwal kegiatan sehari-hari?

Untuk selanjutnya saya berharap bpak dapat melakukan cara-cara pasien berhias.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan Jiwa. Jakarta

Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Nita Fitria., 2009, Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.

Nurjanah, Intansari S.Kep. 2004. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta :
Momedia

Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 – 2006. Jakarta : Prima
Medika.

Yusuf Ah., dkk.. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai