Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua
buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain
adalah satu-satunya jalan penyaluran biologis yang disah kan oleh agama. Dari sudut
pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia
bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki
keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus
disalurkan.

Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenar
nya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan
untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan,
pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan
makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa
pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu
ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana
penyaluran kebutuhan biologis namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan
perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di
dalam nya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani
dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksut dengan pernikahan.?
2. Apa hukum pernikahan.?
3. Apa rukun dan syarat penikahan.?
4. Apa hikmah dan tujuan pernikahan.?
5. Bagaimana hukukm nikah berbeda agama.?
6. Bagaimana hukum nikah dengan wanita hamil.?
7. Bagaimana hukum nikah via internet.?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERNIKAHAN

Pernikan berasal dari kata nikah, secara bahasa artinya bersatu atau
berkumpul. Menurut istilah syara’, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan biologis antara keduanya dengan dasar
suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

B. HUKUM PERNIKAHAN
Hukum asal pernikahan adalah mubah, namun ada hal yang menyebabkan
hukum pernikahan berubah. Ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan
pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
1. Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan
tidak berdosa.
2. Sunah
Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah
dan berkehendak untuk nikah.
3. Wajib
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan
faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang
sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi
dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk
yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
4. Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan
telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai
bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
5. Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti
perempuan yang dinikahinya.

2
C. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN

1. Mempelai laki-laki
Syaratnya: bukan dari mahram dari calon istri, tidak terpaksa atas kemauan sendiri,
jelas orangnya, calon suami, beragama islam, benar-benar pria,tidak sedang ihram
haji atau umrah.

2. Mempelai perempuan
Syaratnya: tidak ada halangan syar’i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya, beragama
Islam, benar-benar perempuan, tidak sedang ihram haji atau umrah.

3. Wali (wali si perempuan) keterangannya adalah sabda Nabi Saw:

‫أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل‬

“Barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka
pernikahannya batal” (Riwayat Empat Ahli Hadis kecuali Nasa’i)

Syaratnya: laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka


(tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah
yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya. Nabi
Muhamad saw bersabda:
Dari Aisyah ra, Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah
tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali
An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung,bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak
ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim.

Sabda Nabi Muhammad saw :


Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali
dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)

4. Dua orang saksi


)‫ال نكاح إال بولي وشاهد عدل (رواه أحمد‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil” (HR. Ahmad)

Syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan


melihat, bebas (tidak dipaksa), memahami bahasa yang digunakan ijab qabul.

3
5. Sighat (akad)
Yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan
kamu dengan anak saya bernama……………..” jawab mempelai laki-laki “Saya
terima menikahi……………………”, boleh juga didahului perkataan dari pihak
mempelai seperti “Nikahkanlah saya dengan anakmu” jawab wali “Saya nikahkan
engkau dengan anak saya………………..” karena maksudnya sama.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari
keduanya. Sabda Rasulullah Saw:

)‫اتقوا هللا في النساء فإنكم أخذتموهن بأمانة هللا واستحللتم فروجهن بكلمة هللا (رواه مسلم‬

“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil


mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan
kalimat Allah” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kalimat “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an, dan
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij) maka
harus dituruti agar tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz akad tersebut ma’qul
ma’na, tidak semata-mata ta’abbudi.

D. HIKMAH DAN TUJUAN PERNIKAHAN

Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh
terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi
syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada
umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan
mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan
jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai
kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin,
kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Dibawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.

1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman


Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan
rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan
jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada
kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga
sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan
kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina
ketenangan, ketentraman dan kasih sayang keluarga.

4
2. Pernikahan dapat melahirkan keturunan yang baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh
adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang
shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya, Rasulullah saw bersabda : Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam,
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara


Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik.
Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan
teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang
shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya
melaksanakan setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan
Allah Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya,
maka hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)

4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita


Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan
mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Pernikahan merupakan
cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah,
keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan
terhormat pula. Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bergaulah dengan mereka
menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)

5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan


Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu
seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat,
dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah
dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka
akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh
agama. Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32: Dan janganlah kamu mendekati
zina;sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.(QSAl-Isra/17:32)

E. HUKUM NIKAH BERBEDA AGAMA

Seringkali kita menjumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda agama,
baik yang laki-laki atau perempuannya yang muslim, apa sah atau tidak menurut
Islam ?”. Pertanyaan ini sering muncul terutama ketika kita berada di sebuah negara
yang mayoritas penduduknya non muslim, seperti di Australia,china,hongkong, dll.
Ada 2 jenis menikah beda agama:

5
a. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-
Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan
menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al
Baqarah(2):221.
Yang artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Jadi, wanita muslimah dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim,
apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa
dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki
non Islam, maka akan dianggap berzina.

b. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam


Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas
2 macam:
1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan
Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5.
Yang artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi.”
2. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab.
Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al
Baqarah(2):221.
Yang artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.”
Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan
Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg
sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini.
Untuk kasus ini, yg dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api,
dan sejenisnya.

6
Dari sebuah literatur,  dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau
Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy
(bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah
kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh
mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan
isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang
mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman
keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim,
Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa
dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril
dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab
samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm,
mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud
dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari
keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab.
Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan
dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi
demikian :
-Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
-Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
-Suami ahli kitab, istri Islam = haram
-Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
 

F. HUKUM MENIKAH DENGAN WANITA HAMIIL

Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:

1. Perempuan yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil.


Adapun perempuan hamil yang diceraikan suaminya, tidak boleh dinikahi
sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana
dalam firman Allah Subhanahu Wata'ala: "Dan perempuan-perempuan yang hamil
waktu 'iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya". (QS. Ath-Tholaq : 4).

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah
kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya". (QS.
Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : "Yaitu jangan
kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya". Kemudian beliau berkata :
"Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah". Lihat :

7
Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan
Zadul Ma'ad 5/156.

2. Perempuan yang hamil karena melakukan zina


Adapun perempuan hamil karena zina, hal itu perlu dirinci lebih luas.
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam
hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat
dikalangan para 'ulama.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan untuk sahnya nikah
dengan perempuan yang berzina.

-Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109: "Menikahi
perempuan pezina adalah haram sampai ia bertobat, apakah yang menikahinya itu
adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan".
Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla: "Laki-laki yang berzina
tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik.
Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin".
(QS. An-Nur : 3)

-Telah lepas 'iddah.


Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, merupakan
syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua
pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy,
Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin
Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu
Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut
Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina
dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu
adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima'
dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri.
Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh
melakukan akad nikah tapi tidak boleh
ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu
kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

G. HUKUM NIKAH VIA INTERNET ATAU ONLINE

Agar suatu pernikahan bisa sah harus terpenuhi rukun dan saratnya,
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu adanya calon suami-istri, adanya
wali dari pihak perempuan, adanya saksi sekurang-kurangnya dua orang, dan ijab-
kabul. Pada konteks pernikahan via-online kesemua rukun diatas telah terpenuhi dan
kedua mempelai siap untuk dinikahkan. Dan di dalam syarat sahnya suatu pernikahan
terdapat akad nikah yang harus dilakukan diantara kedua belah pihak. Adapun syarat
sahnya suatu akad antara lain: (1) Shoriih al-Ijab atau Jelasnya dalil ijab atas kabul

8
(2)muwafiq al-Qabul li al-Ijab atau Qabul yang sesuai dengan Ijab (3) Fi mauqi’in
wahidin  atau Akad dilakukan pada satu majelis (waktu).
Pada pelaksanaan akad nikah,pengucapan ijab dan qabul diharuskan
dilakukan secara sharih atau jelas dan dapat dimengerti oleh semua yang hadir.
Kalimat yang digunakan diharuskan diucapkan secara langsung dan tidak
menggunakan istilah ataupun perumpamaan-perumpamaan yang sulit dipahami.
Selain itu jawaban qabul harus sesuai dengan ijab yang telah diucapkan oleh wali dari
calon istri dan jawaban qabul harus segera diucapkan setelah pelaksanaan ijab.
Adapun yang terakhir adalah pelaksanaan akad harus dalam satu majlis.
Dalam hal akad nikah,para ulama fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah
harus dilakukan dalam satu majlis. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam
menginterpretasi dan memahami makna dari ungkapan dalam satu majlis tersebut.
Dalam madzhab as-Syafi’iyyah ungkapan dalam satu majlis ini dimaknai secara
dhahiriyyah, dalam arti semua pihak yang melaksanakan akad harus berada pada satu
tempat yang secara tidak langsung tentu harus dilakukan dalam satu waktu yang sama.
Sedangkan para ulama madzhab hanbali memahami ungkapan dalam satu majlis itu
dengan satu waktu,dalam arti pelaksanaan akad tidak mamperdulikan keterikatan
tempat.
Jika dititik tolakkan pada kedua pendapat di atas dan dilihat dari syarat sahnya
suatu akad maka,disinilah sebenarnya letak titik permasalahan yang ada dalam
pernikahan yang dilaksanakan secara via-online. Pada era teknologi yang serba
canggih ini, khususnya dalam penggunaan  fasilitas internet secara via-online , kita
dapat bertatap muka dan berkomunikasi dengan lawan bicara kita seperti halnya kita
bertemu dan berkomunikasi dengan lawan bicara kita secara langsung. Menurut
pandangan madzhab hanbali,hal ini tentu tidak akan mengurangi syarat sahnya suatu
akad nikah seperti yang telah dijelaskan diatas, karena pada intinya ijab dan qabul
dalam hal ini dapat dilakukan secara jelas asalkan dilaksanakan pada satu waktu dan
calon istri, wali serta para saksi bisa melihat kehadiran calon suami  secara via-online.
Sedangkan menurut pendapat ulama syafi’iyyah, pernikahan yang dilaksanakan secara
via-online ini tentu belum memenuhi syarat sahnya suatu akad nikah,karena pada
intinya akad nikah yang dilakukan dengan cara yang seperti ini tidak terikat tempat
(tidak dalam satu tempat) dan orang yang bersangkutan tidak ber-
talaqqi dan musyafahah (tidak bertemu dan mengucapkan akad nikah secara
langsung) dalam pelaksanaan akad tersebut.
Jadi dilihat dari rangkaian pendapat para ulama terkait permasalahan ini dapat
disimpulkan bahwa, dalam menetapkan hukum pernikahan secara via-online, dari
kalangan ulama fiqhiyyah terbagi menjadi dua pendapat, pendapat pertama
mengatakan bahwa jenis pernikahan seperti ini  hukumnya sah-sah saja dengan dasar
kata “majelis” dimaknai dengan “satu waktu”, dalam arti, yang terpenting akad nikah
masih dalam satu waktu tanpa harus terikat dengan suatu tempat .Sementara pendapat
yang kedua mengatakan bahwa jenis pernikahan seperti ini  hukumnya tidak sah
dengan dasar kata “majlis” dimaknai dengan “suatu tempat”. Dalam arti, akad harus
dilakukan dalam satu tempat di mana kedua belah pihak bisa saling bertemu secara
langsung.

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pengertian Pernikahan
Pernikan berasal dari kata nikah, secara bahasa artinya bersatu atau
berkumpul. Menurut istilah syara’, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan biologis antara keduanya dengan dasar
suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
2. Hukum Pernikahan
Mubah, sunah, makruh, wajib, haram
3. Rukun dan syarat nikah
-Mempelai laki-laki
-Mempelai perempuan
-Wali
-Saksi (minimal dua orang)
-Sighat (aqad)
4. Hikmah dan tujuan pernikahan
-Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman
-Pernikahan dapat melahirkan keturunan yang baik
-Pernikahan dapat memilihara agama
-Pernikahan dapat memelihara ketinggian martabat seorang wanita
-Perrniikahan menjauhkan diri dari perbuatan zina
5. Hukum menikah berbeda agama
a. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
b. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
6. Hukum menikah dengan wanita hamil
7. Hukum menikah via internet atau online

10
DAFTAR PUSAKA

http://islammakalah.blogspot.co.id/p/blog-page_27.html
http://najmadanzahra.blogspot.co.id/2014/01/akad-nikah-via-online.html
http://www.facebook.com/von.e.alouisci
https://hukum-islam.net/hukum-menikah-karena-terlanjur-hamil-duluan/

11

Anda mungkin juga menyukai