Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas
empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar). Lapisan
mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di
ujung atas, epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan esofagus
dngan lambung (garis Z) dan menjadi epitel toraks selapis. Mukosa esofagus dalam
keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam.
Lapisan sub mukosa mengandung sel-sel sekretori yang memproduksi mukus. Mukus
mempermudah jalannya makanan waktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera
akibat zat kimia. Lapisan otot lapisan luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam
tersusun sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian atas esofagus adalah otot rangka,
sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot polos. Bagian di antaranya terdiri
dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan bagian saluran cerna
lainnya, tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun
selaput peritonium, melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang
menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan. Tidak adanya
serosa menyebabkan semakin cepatnya penyebaran sel-sel tumor (pada kasus kanker
esofagus) dan meningkatnya kmungkinan kebocoran setelah operasi.
(Sjamsuhidayat, 2005)
Persarafan utama esofagus dipasok oleh serabut-serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus,
yang dianggap sebagai saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis masih kurang
diketahui.
Selain persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala-jala serabut saraf intramural
intrinsik di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus Auerbach atau
mienterikus), dan tapaknya berperan dalam pengaturan peristaltik esofagus normal.
Jala-jala saraf intrinsik kedua (pleksus Meissner) terdapat di sub mukosa saluran
gastrointestinal, tetapi agak tersebar dalm esofagus. (Sjamsuhidayat, 2005)
Fungsi sistem saraf enterik tidak bergantung pda saraf-saraf ekstrinsik.
Stimulasi sistem simpatis dan parasimpatis dapat mengaktifkan atau mnghambat fungsi
gastrointestinal. Ujung saraf bebas dan perivaskular juga ditemukan dalam submukosa
esofagus dan ganglia mienterikus. Ujung saraf ini dianggap berperan sebagai
mekanoreseptor, termoosmo, dan kemoreseptor menerima rangsangan mekanis seperti
5
Menelan
Menelan merupakan suatu aksi fisiologis kompleks ketika makanan atau cairan
berjalan dari mulut ke lambung. Menelan merupakan rangkain gerakan otot yang sangat
terkoordinasi, dimulai dari pergerakan voluntar lidah dan diselesaikan dengan
serangkaian refleks dalam faring dan esofagus. Bagian aferen refleks ini merupakan
serabut-serabut yang terdapat dalam saraf V, IX, dan X. Pusat menelan atau deglutisi
terdapat pada medula oblongata. Dibawah koordinasi pusat ini, impuls-impuls berjalan
ke luar dalam rangkaian waktu yang sempurna melalui saraf kranial V, X, dan XII
menuju ke otot-otot lidah, faring, laring dan esofagus. (Sjamsuhidayat, 2005)
hernia hiatus atau esofagitis. Nyeri ulu hati merupakan keluhan lazim selama
kehamilan. (Sjamsuhidayat, 2005)
Odinofagi didefinisikan sebagai nyeri telan dan dapat terjadi bersama dengan
disfagi. Odinofagi dapat dirasakan sebagai sensasi ketat atau nyeri membakar, tidak
dapat dibedakan dari nyeri ulu hati di bagian tengah dad. Odinofagi dapat disebabkan
oleh spasme esofagus akibat peregangan akut, atau dapat terjadi sekunder akibat
peradangan mukosa esofagus. (Sjamsuhidayat, 2005)
Regurgitasi adalah aliran balik isi lambung ke dalam rongga mulut. Bedanya
dengan muntah adalah karena regurgitasi tidak membutuhkan tenaga dan tidak disertai
oleh mual. Gangguan ini dirasakan dalam tenggorokan sebagai rasa asam atau cairan
panas yang pahit. Regurgitasi tanpa tenaga ini cukup sering terjadi pada bayi akibat
perkembangan sfingter esofagus bawah yang tidak sempurna. Pada orang dewasa,
regurgitasi mencerminkan adanya inkompetensi sfingter esofagus bagian atas untuk
bertindak sebagai sawar regurgitasi. Water brash merupakan refleks hipersekresi saliva
akibat adanya esofagitis peptik atau disfagi, da tidak sama dengan regurgitasi. Water
brash terjadi pada sekitar 15% dari waktu pada saat seseorang menderita disfagi.
(Sjamsuhidayat, 2005)
.
10
1. Barret`s esophagus
Barret’s esofagus ialah suatu kondisi dimana terjadinya metaplasia epitel
kolumnar yang menggantikan epitel skuamous pada distal esofagus. Pada sebagian
besar kasus merupakan lanjutan dari refluk esofagitis, yang merupakan faktor risiko
terhadap adenokarsinoma esophagus dan adenoma gastro-esofageal junction. (Spechler
SJ, 2003)
Epidemiologi
Angka kejadian Barret esofagus pada populasi umum diperkirakan berkisar
antara 1,6 -1,7 %. Pada sensus tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan hampir
mencapai 3,3 juta individu yang mengalami kondisi seperti ini. Pada penderita GERD
angka kejadian Barret Esofagus lebih tinggi, mencapai kurang lebih 5-10%. Penderita
GERD berat seperti esofagitis erosif, angka kejadian barret esophagus mencapai 10%,
sedangkan penderita striktur peptik esofagus angka kejadiannya hampir 30%. Barret
esofagus lebih banyak mengenai pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan rasio
3:1.
Barret’s esofagus paling banyak dijumpai pada kelompok umur 55 sampai 65
tahun, penyakit ini lebih sering dijumpai pada ras kulit putih. Obesitas, perokok dan
peminum alcohol merupakan faktor risiko untuk terjadinya barrett’s esofagus.
Identifikasi dan terapi barrett’s esofagus saat ini masih menjadi perdebatan yang
menarik. Barret’s esofagus berkaitan erat dengan gastroesofageal refluk dan merupakan
factor risiko yang paling banyak terhadap adenokarsinoma esofagus. Penderita barret’s
11
esofagus mempunyai risiko 40 kali lebih besar jika dibandingkan dengan populasi
umum.
Kanker Barret’s esofagus berkembang sangat cepat disebagian Negara Barat. Di
Negara Asia, sebagian besar kanker esofagus berupa karsinoma sel squamous bukan
adenokarsinoma. Saat ini peningkatan jumlah kasus barret’s esofagus yang berlanjut
menjadi kanker barret’s semakin tinggi di Negara asia, seiring dengan peningkatan
jumlah kasus Barret’s esofagus di Negara Asia. (Anwar SA, 2009)
Faktor Risiko
a. Umur
Barret’s esofagus merupakan kelainan yang di dapat, dengan demikian insiden
barret’s esofagus bertambah sesuai dengan umur. Rerata umur pada saat diagnosis
klinis ditegakkan ialah 63 tahun. Barret’s esofagus long segmen jarang ditemukan
pada anak-anak. Penelitian kohor baru-baru ini mendapatkan 8 dari 166 anak yang
mendapatkan terapi jangka panjang penghambat pompa proton menderita barret’s
esofagus, sebagian besar anak yang usianya lebih dari 11 tahun yang menderita
kelainan status mental atau refluk gastroesofageal yang disertai faktor predisposisi
seperti Down’s Syndrome atau Serebral Palsi.
Pada penelitian yang dilakukan, didapatkan perubahan angka kejadian Barret’s
esofagus (dimana 99% ialah Barret’s esofagus short-segment) berkaitan dengan
umur, dimana paling banyak dijumpai pada pasien yang berumur diatas 70 tahun
dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Dari penemuan ini diduga bahwa
patofisiologi barret’s esofagus mungkin berbeda antara pasien di Negara asia
(Terutama short-segment) dengan pasien di Negara Barat (terutama Long-segment).
12
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian di Mayo Clinic pada pasien yang dilakukan endoskopi antara
tahun 1976 sampai dengan tahun1989, mendapatkan bahwa barret’s esofagus long
segmen lebih banyak dua kali pada pria dibandingkan wanita. Penelitian multisenter
Italian Study dari tahun 1987 sampai 1989, barret’s esofagus 2,6 kali lebih sering
dijumpai pada pria dibandingkan pada wanita.
d. Refluk
Sekitar 15 sampai 20 % orang dewasa di Amerika Serikat dilaporkan pernah
mangalami heartburn paling tidak sekali dalam seminggu, dan sekitar 7 %
mengalami gejala seperti ini setiap hari. Pada orang yang mempunyai gejala GERD ,
3 sampai 7 % didapati barret’s esofagus long segmen pada saat dilakukan endoskopi.
Namun sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai gejala GERD hanya 1% yang
didapati barret’s yang osefagus long segmen.
Dari suatu penelitian yang dilakukan terhadap semua pasien yang mengeluhkan
heartburn paling kurang dua kali dalam seminggu, didapati barret’s esofagus short
segmen pada 7 pasien dari 378 pasien (1,8%) yang dilakukan endoskopi. Pada suatu
penelitian potong-lintang didapati pasien dengan barret’s esofagus short segmen lebih
sering mengeluhkan gejala refluk. (DeMeester TR, 1998)
mukosa. Refluk asam lambung tidak merupakan pencetus utama terhadap metaplasia
intestinal tetapi berperan terhadap metaplasia kolumnar. Material duodenal seperti
enzim pancreas, garam empedu serta lysolesitin diyakini memegang peranan penting
terhadap terjadinya metaplasia intestinal dan degenerasi malignan. Pengaruh kerusakan
mukosa dari refluk duodenal pada mukosa esofagus didapat dari studi-studi klinis dan
eksperimental. Mekanisme kerusakan mukosa oleh pepsin dan tripsin berkaitan dengan
sifat proteolitiknya. Pepsin dan tripsin sangat cocok dalam lingkungan PH asam ang
mempengaruhi subtansi intersel sehingga menyebabkan kerontokan sel epitel. Asam
empedu terutama mempengaruhi membran sel dan organ intrasel. Tampaknya asam
diperlukan untuk mengaktifkan material perusak seperti pepsinogen atau memperkuat
kemampuan garam empedu memasuki mukosa. Hal ini terlihat jelas pada observasi
terhadap pasien yang mengalami refluk ganda dari asam lambung dan asam material
dari duodenal mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap kerusakan mukosa esofagus.
Pada lingkungan PH yang netral garam empedu dekonyugasi lebih merusak
dibandingkan dengan yang konyugasi. Terapi supresi asam mengakibatkan
berkembangnya bakteri yang mencetuskan dekonyugasi asam empedu di lambung.
Pada asam yang normal asam empedu tidak terkonyugasi mengendap, namun pada saat
supresi asam lambung terjadi, asam empedu tidak terkonyugasi berbentuk cairan dan
berkontribusi terhadap kerusakan mukosa esofagus. (DeMeester TR, 1998)
Inflamasi yang disebabkan oleh refluk kronik bisa jadi berperan penting
terjadinya lingkungan disekitar sel dimana Barret’s esofagus timbul. Mukosa esofagus
dirusak oleh asam dan garam empedu yang umumnya diinfiltrasi oleh sel-sel inflamasi.
Infiltrasi oleh sel inflamasi akut diikuti oleh limfosit T terutama di daerah metaplasia.
Infiltrasi sel T selalu ada pada Barret’s Esofagus yang dilakukan endoskopi terapi
ablasi, namun tidak dijumpai pada epitel skuamus yang baru. Dengan demikian diduga
limfosit T merupakan bagian yang penting dalam mempertahankan jaringan metaplasia.
Infiltrasi sel inflamasi mengakibatkan timbul produksi reactive oxygen species (ROS),
walaupun produksi ROS sudah dikenal pada mukosa pasien dengan Barret’s esophagus
dan ataupun esofagitis, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
ROS dapat mengakibatkan pengaruh biologis yang berlebihan pada sel termasuk sel
yang berperan terhadap siklus perkembangan sel, tranduksi sinyal, degradasi protein
serta penghancuran DNA. ROS merangsang produksi sitokin yang mengstimulasi
proliferasi epitel, survival serta migrasi. Sitokin dihasilkan oleh sel inflamasi epitel
15
barret’s melalui respon inflamasi yangberupa growt factor-β, interleukin-1β, IL-10, IL-
4, interferon-γ serta TNF-α. Hal ini mungkin dikarenakan profil spesifik sitokin
mungkin terlibat pada respon mukosa terhadap refluk. Individu yang mengalami
esofagitis akan memberikan respon inflamasi akut dimana terdapatnya sitokin
proinflamasi tipe Th-1 dengan peningkatan kadar IL-1β, IL-8 dan IFN-γ. Jenis respon
ini berkaitan dengan respon imun seluler terhadap infeksi serta keganasan. Sitokin tipe
Th-2 meningkatkan IL-10 dan IL-4 yang berkaitan dengan barret’s esofagus. IL-4
merangsang metaplasia sel goblet dan gene musin pada sel epithelial saluran
pernapasan. (Pascu O, 2004)
Gejala klinis
Barret’ esofagus sendiri sebenarnya tidak menimbulkan gejala. Gejala Barret’s
esofagus berkaitan dengan gejala GERD, seperti heartburn atau regurgitasi. Sangat sulit
membedakan pasien dengan gejala GERD menderita Barret’s esofagus berdasarkan
gejala. dari penelitian yang dilakukan berdasarkan penemuan endoskopi didapat bahwa
penderita yang mengalami gejala lebih dari dari lima tahun kemungkinan besar
menderita Barret’s esofagus dibandingkan dengan penderita yang gejalanya kurang dari
lima tahun. Dengan demikian kronisitas gejala lebih penting dalam memprediksi
barre’s esofagus dibandingkan keparahan gejala. Dengan alasan ini dianjurkan pada
penderita GERD yang lebih dari lima tahun dilakukan skrining endoskopi guna
mendiagnosis Barret’s esofagus.
Rex dkk (2003) mendapatkan hampir 8 % pasien Barret’s esofagus mempunyai
riwayat heart burn dibandingkan dengan yang tidak mengalami gejala GERD yang
hanya 6 %. Sedangkan Ward dkk (2006) mendapatkan 20 % Barret’s esofagus pada
penderita yang mempunyai gejala GERD dibandingkan dengan Barret’s esofagus tanpa
gejala GERD yang hanya 15%. Cook dkk (2005) mendapatkan pada penelitian meta-
analisis 8-20 % Barret`s esofagus dengan gejala refluk. (Morales TG, 1999)
Diagnosis
Radiografi gastrointestinal atas dengan barium enema tidak sensitive untuk
mendeteksi barret esofagus. Diagnosis Barret’s esofagus masih berpedoman pada
biopsy dengan endoscopi. Kemampuan kapsul endoskopi dalam mendiagnosis barret’s
esophagus telah dilakukan dan menghasilkan sensitivitas 67 % serta spesifisitasnya
16
1. Akalasia
Akalasia adalah gangguan motilitas yang jarang di mana obstruksi relatif pada
sambungan gastroesofagus menjadi lebih jelek karena tidak adanya gelombang
peristaltik pada esophagus. Keadaan ini terutama mengenai remaja dan orang dewasa,
anak di bawah 4 tahun kurang dan 5% penderita. Ganglion sering kali menurun
jumlahnya dan dikelilingi oleh sel-sel radang; meningginya respons esofagus terhadap
methakholin telah diartikan sebagal bukti adanya degenerasi hipersensitivitas. Hanya
pada penyakit khas penyebabnya telah diketahui. (Arvin Klirgman Behrman, 1999)
Pengobatan.
Nifedipin, suatu penyekat saluran kalsium. akan memperbaiki pengosongan
esofagus tetapi hanya dianjurkan bila ada indikasi penundaan sebentar terapi definitif.
Penyuntikan toksin botulisme intrasfingter juga dapat memberikan pengurangan gejala
selama 6 bulan. Pcnyembuhan permanen gejala-gejaIa biasanya terjadi pasca dilakukan
operasi pembelahan serabut otot pada sambungan gastroesofagus (miotomi Heller).
Alternatif lain, sfingter dilebarkan secara paksa dengan kateter balon di bawah
18
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Anwar SA, Kanthan SK, Riaz AA. 2009. Current Management of Barrett’s Oesofagus
Volume 2. Bri J of Med Prac.
Arvin Klirgman Behrman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson volume 2. EGC: Jakarta.
Isselbacher J, Kurt dkk. 1999. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
volume 1. EGC: Jakarta.
Spechler SJ. 2003. Gastroesophageal Reflux Disease & Its Complication. Current Diagnosis
& Treatment in Gastroenterology. 2nd Ed. McGraw-Hill Pub.
Sudoyo, A.W 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. EGC: Jakarta.
20