Pendahuluan
Daulah Bani Abbasiyah adalah pemerintahan Islam terlama dalam sejarah
Islam. Selama lebih dari lima abad (750-1258 M/132-656 H) pemerintahan ini
telah mengadministrasi wilayah yang telah menerima Islam sebagai agama yang
mempengaruhi kebudayaan di wilayah-wilayah tersebut. Wilayah itu mencakup
daerah-daerah yang sudah terkenal sejak lama sebagai daerah yang sudah
memiliki peradaban yang maju, antara lain Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia,
Turki, dan India. Wilayahnya memanjang mencapai perbatasan Cina di sebelah
timur dan Perancis Selatan di sebelah barat, termasuk Andalus.
Dari segi garis waktu (time line) sejarah Islam, Daulah Bani Abbasiyah
adalah pelanjut pemerintahan Islam yang sebelumnya diampu oleh Khulafa’ al
Rasyidin (632-661 M), Daulah Bani Umayyah (661-750 M). Artinya, Daulah
Bani Abbasiyah secara total telah mewarisi wilayah yang telah tunduk kepada
kekuasaan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dari sisi ini, Daulah Bani
Umayyah sesungguhnya juga telah mewarisi tugas yang berat.
Praktis, Daulah Bani Umayyah berhadapan dengan persoalan yang sama
sekali berbeda dan penuh tantangan. Persoalan keagamaan yang kompleks,
kehidupan ekonomi, berbedanya ras dan suku bangsa pendukung peradaban Islam
adalah di antara tantangan nyata daulah ini. Belum lagi tantangan dari luar Islam.
Negeri-negeri Eropa Barat dan Timur yang bernaung dalam kekuasaan Byzantium
merupakan rival politik potensial yang mengancam setiap waktu. Dalam situasi
seperti disebut di atas itulah Daulah Bani Abbasiyah bertahan dalam jangka waktu
yang cukup lama, lima abad lebih. Bahkan dalam waktu itu, umat Islam di bawah
Bani Abbasiyah telah memberi kontribusi besar dalam pembangunan peradaban
dunia secara umum.
1
Jauh sebelumnya, dari kelompok pendukung Ali bin Abu Thalib di Kufah
(kaum Alawiyah) juga mengkampanyekan klaim yang sama. Namun kelompok
pendukung Ali bin Abi Thalib ini tidak beruntung. Setiap pemberontakan mereka
melawan pemerintah Bani Umayyah selalu berakhir gagal. Tokoh-tokoh mereka
yang merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib tercatat dibunuh dengan kejam. Di
antaranya, Hasan, Husein, Ja’far ash-Shadiq, Musa al-Khazim dan Ali Ar Ridha.
Kelompok pendukung Ali ini dianggap kelompok yang paling kuat dalam
menentang Khalifah Bani Umayyah. Tidak mengherankan jika keluarga Nabi dari
jalur Abbas bin Abdul Muthalib merasa perlu mendapatkan dukungan dari kaum
Alawiyah.
Perkembangan berikutnya, kedua kelompok ini menyatu melawan
pemerintah Bani Umayyah. Bersama mereka juga ikut kelompok orang-orang
Persia yang berbasis di Khurasan. Gerakan politik keluarga Abbas ini semakin
membesar dengan dukungan dari kelompok Mawali. Kaum Mawali merujuk
kepada kelompok Muslim non Arab, di antaranya di luar Persia yaitu Mesir dan
Turki.4 Kaum Mawali selama pemerintahan Bani Umayyah dianggap sebagai
warga kelas dua dan tidak berhak mendapatkan jabatan tinggi dalam pemerintahan
Bani Umayyah. Orang-orang Mawali ini membangun basis di Khurasan bersama-
sama muslim Persia.
2
tokoh ini mesti disebut secara bersamaan mengingat signifikanya peran mereka
dalam revolusi Abbasiyah.
Abu Muslim al Khurasani berjasa dan mempunyai andil dalam mendirikan
Daulah Abbasiyah. Sebelum bergabung dengan gerakan oposisi yang hendak
menumbangkan Daulah Umaiyah, gerakan itu hanya merupakan gerakan bawah
tanah. Setelah ia bergabung, gerakan itu berubah menjadi gerakan terang-
terangan. Pada tahun 128H/745M., Abū Muslim ditugaskan oleh Ibrahim al-Imam
(kakak Abul Abbas al Safah) menjadi propagandis di Khurasan, tanah
kelahirannya. Dalam usianya ke-19 tahun ketika menerima tugas tersebut, dia
menampakkan keberanian dan kepemimpinan yang luar biasa dan mencapai
sukses besar di Khurasan. Ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk
Khurasan untuk bergabung dengan gerakan oposisi tersebut. Di daerah ini dia
berkampanye mengobarkan sentimen anti Bani Umaiyah. 7 Abū Muslim mengajak
penduduk Khurasan bekerja sama dengan gerakan Bani Hasyim untuk
mengembalikan kekhalifahan kepada keluarga Bani Hasyim, baik dari keturunan
Bani Abbas, paman Nabi, maupun dari keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib.
Pada tahun 129 H/747 M Ibrāhīm al-Imām memerintahkan kepada Abū
Muslim untuk merebut Khurasan dan menghancurkan orang-orang Arab yang
mendukung Bani Umaiyah di Khurasan. Abū Muslim mengumpulkan seluruh
kelompok yang menentang Daulah Umaiyah di Khurasan dan memanfaatkan
pertentangan antara sesama orang Arab; yaitu orang Yaman dan orang Mudar di
Khurasan. Ia minta bantuan orang Yaman untuk menjatuhkan gubernur Daulah
Umaiyah di Khurasan yaitu Naşr ibn Sayyar dari orang Mudar. Gubernur Naşr
dapat dikalahkan. Usai menaklukkan Khurasan, pada tahun 750, Kufah juga
berhasil direbut. Penguasa Bani Umayyah di Kufah, yaitu Yazid bin Umar bin
Hubairah dan diusir ke Wasit.8 Kejatuhan Kufah dan Khurasan menjadi
gelombang air bah yang mengarah ke istana Bani Umayyah di Damaskus.
Abul Abbas Al Safah sendiri tercatat dalam sejarah sebagai khalifah
pertama Bani Abbasiyah. Ia dinobatkan pada tahun 750 M. Pada awalnya,
revolusi Abbasiyah berada dalam kendali Imam Ibrahim. Di tengah kecamuk
revolusi, ia tertangkap oleh penguasa Umayyah lalu dieksekusi mati. Sebelum
dihukum mati, Imam Ibrahim meminta Abul Abbas al Safah pindah dari
Humaimah ke Kufah dan mengendalikan revolusi dari Kufah. Praktis sejak saat
itu, Abul Abbas al Safah menjadi pemimpin revolusi dan saat kejatuhan Bani
Umayyah, ia berhak atas jabatan Khalifah pertama Bani Abbasiyah.
Julukan al Safah (si Penumpah Darah) menurut al Mawardi disematkan
dibelakang namanya disebabkan banyaknya darah keluarga Bani Umayyah yang
ditumpahkannya.9 Di sisi lain, dapat dipahami julukan itu jika dilihat dari
alasannya memburu dan membunuh sisa-sia kerabat dan pendukung Bani
Umayyah adalah sebagai bentuk kuatnya tekad Abul Abbas untuk menjamin
otoritas dan loyalitas tunggal umat Islam kepada kekuasan pemerintahan yang
baru ia bentuk.
3
secara turun temurun (monarchy heredities). Berbeda dengan Bani Umayyah,
pemerintah Bani Abbasiyah mengadopsi besar-besaran kebudayaan Persia ke
dalam tubuh kekhalifahan.10 Khalifah dalam sistem ini memiliki kekuasaan yang
besar dalam bidang keagamaan dan politik.
Periode Kekuasaan
Dalam rentang lima abad kekuasaannya, Bani Abbasiyah mengalami
beberapa periode kekuasaan. S.M.Amin menyatakan, perubahan pola
pemerintahan yang diterapkan Bani Abbasiyah mengikuti perubahan politik sosial
dan budaya.13 Secara umum periodisasi kekuasaan tersebut menunjukkan faksi
politik yang menopangnya. Tingkat kemajuan dan kemunduran dapat dilihat
dalam setiap periode tersebut. Ali Hasjmy (1993) membagi pemerintahan Daulah
Bani Abbasiyah menjadi empat periode, yaitu:
1. Masa Abbasiyah I (132 H/750 M - 232 H/847 M)
2. Masa Abbasiyah II (232 H/847 M - 334 H/946 M)
3. Masa Abbasiyah III (334 H/945 M - 447 H/1055 M)
4. Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M - 656 H/1258 M).14
Badri Yatim (2006: 49-50) yang mengutip Bojena Gajane Stryzewska membagi
kepada lima periode, yaitu:
1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Persia pertama.
Pada periode ini, orang-orang Persia yang memiliki referensi langsung
dalam mengelola sistem kerajaan berperan besar dalam menentukan corak
dan arah kemajuan Daulah Bani Abbasiyah. Salahsatu kebijakan
terpenting yang mengangkat moral bangsa Persia adalah ketika Abu Ja’far
al Mansur (136 – 158 H) mengangkat Khalid Ibnu Barmak dari Persia
sebagai Wazir yang membawahi departemen– departemen. Hal yang baru
dari sistem wazir ini adalah pemberian kekuasaan resmi kepada orang-
orang yang ditunjuk sebagai wazir.15 Periode pertama ini juga tercatat
sebagai periode emas Daulah Bani Abbasiyah.
Para khalifah yang memerintah pada era ini adalah Abu al-Abbas
Abdullah bin Muhammad As-Saffah, (750-754 M), Abu Ja'far Al-
Manshur, (754-775 M), Abu Abdullah Al-Mahdi, (775-785 M), Abu
Muhammad Al-Hadi, (785-786 M), Harun Al-Rasyid,(786-809 M), Abu
Musa Al-Amin (809-813 M), Abu Abbas Al-Ma'mun, (813-833 M), Abu
Ishaq Al-Mu'tasim, (833 M-842 M), Abu Ja'far Al-Watsiq (842- 847 M).
4
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh
Turki pertama.
Rekam jejak bangsa Turki dalam peradaban Islam cukup kentara.
Rasulullah SAW pernah berperang bersama mereka di beberapa
peperangan, seperti Perang Khaibar (629 M), meski jumlah mereka tak
banyak. Perlahan masyarakat keturunan Turki memeluk Islam, terutama
pascapenaklukkan Persia (644 M) oleh Umar bin al-Khatab dan jumlahnya
kian membeludak saat Ubaidillah bin Ziyad, khalifah Dinasti Umayyah
berkuasa.
Peranan bangsa Turki pada pemerintahan Abbasiyah dimulai pada
masa pemerintahan al Mu’tashim Billah (833-842 M) sampai pada
pemerintahan Al-Watsiq Billah (842-847 M). Al-Mu'tashim merupakan
tokoh bermental militer. Tubuhnya kekar dan kuat. Untuk menghadapi
Byzantium, al Mu’tashim membutuhkan orang-orang Turki yang terkenal
kuat dan bersemangat dalam berperang. Selain itu, bangsa turki terkenal
ahli militer dan ahli strategi perang. Pengaruh Turki ini menguat pada dua
khalifah ini dan bertahan hingga masa khalifah al Watsiq.
Para khalifah yang berkuasa pada era ini adalah: Abu Fadl Ja’far al-
Mutawakkil (232-247H), Abu Ja’far Muhammad al-Muntashir (247-248
H), Abu al-‘Abbas Ahmad al Musta’in (248-252 H/862-866 M), Abu
‘Abdillah Muhammad al-Mu’taz (252-255 H/866-869 M),16 Abu Ishaq,
Muhammad al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M), Ahmad al-Mu’tamid
(256-279 H/870-892 M)17, Abu al-‘Abbas Ahmad al-Mu’tadhid (279-289
H/892-902 M), Abu Muhammad al-Muktafi (289-295 H/902-908 M), Abu
alFadl Ja’far al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M), Abu Manshur
Muhammad al-Qahir (320-322 H/932-934 M), Abu al’Abbas Ahmad al-
Radhi (322-329 H/934-940 M), Abu Ishaq Ja’far al-Muttaqi (329-333
H/940-944 M), Abu al-Qasim ‘Abdillah al-Mustakfi (333-334 H/944-946
M).18
Meski setelah Khalifah al Watsiq tentara berbangsa Turki ini tidak
disukai karena keangkuhan dan sikap arogansi militeristiknya, mereka
tetap dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan wilayah Abbasiyah yang luas.
Termasuk untuk menghadapi gejolak dalam negeri yang disebabkan
revolusi bangsa Arab dan golongan Alawiyah.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti
Bani Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Kekuasaan Bani
Buwaih dimulai dari seorang sekretaris khalifah al-Mustakfi (333-334
H/944-946 M) yang bernama Ahmad ibn Buwaih. Ibn Buwaih masuk ke
Baghdad pada 334 H dan khalifah memberinya gelar al-Mu’idz al-Daulah,
saudaranya, Ali ibn Buwaih diberi gelar Imad al-Daulah, dan saudaranya
yang lain, Hasan ibn Buwaih mendapat gelar Rukn al Daulah.
Yusuf al’ Isy (2012) menjelaskan situasi yang terjadi pada masa
pengaruh Bani Buwaih sebagai berikut. Pertama, Negara Buwaih telah
menyerang Dinasti Abbasiyah, dengan begitu, negara Islam yang sangat
5
luas tersebut menjadi tanggung jawab dinasti Bani Buwaih. Kedua,
serangan tersebut tidak disertai latihan yang memadai untuk memimpin
atau memerintah sebuah negara yang sangat luas wilayahnya. Ketiga, Bani
Buwaihi tidak memiliki sosok pemimpin yang sangat kuat untuk
memimpin seluruh negara. Mereka hanya memiliki tiga bersaudara dari
Bani Buwaihi masing-masing memiliki kekuasaan terhadap kerajaan. Ibu
kota kekuasaan mereka adalah Baghdad, Rayy, dan Syiraz. Pada awalnya
mereka bisa rukun, namun generasi setelahnya mulai melakukan perebutan
kekuasaan. Keempat, tentara kekhalifahan tidak terdiri dari satu suku,
tetapi terdiri dari dua kelompok yaitu angkatan darat Dailam dan angkatan
berkuda Turki. Kelima, kedua kelompok berbeda dalam hal madzhab.
Orang Dailam bermazhab Syiah Zaidiyyah sementara orang-orang Turki
beraliran Sunni. Keenam, Bani Buwaihi selain mewarisi sebuah negara
yang luas, mereka juga mewarisi kondisi ekonomi negara yang sedang
sulit.19
Pada periode ini, khalifah hanyalah simbol kekuasaan semata.
Sedangkan kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Amir al Umara’.
Jabatan amir al-umara’ adalah sebuah jabatan militer senior di
Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-10. Setelah Khalifah al Muqtadir
(908-932 M), jabatan Wazir diganti dengan jabatan amir al umara’,
jabatan panglima tertinggi yang dipegang kelompok militer. Berikutnya,
jabatan ini dipegang oleh keluarga Dinasti Buwaihi.20
Para penguasa dari Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara
langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan
ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M),
al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030
M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa.
Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-
masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya.
Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi,
pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Para khalifah yang menjabat adalah: Abu al-Qasim al Fadl al-Muthi’
(334-363 H M/946-974), Abu Bakr ‘Abd al-Karim al-Tha’i (363-381
H/974-991 M), dan Abu ‘Abbas Ahmad al-Qadir (381-422 H/991-1031
M).
6
Oghuz pindah ke arah barat melalui dataran tinggi Siberia ke Laut Arab
dan sebagian ke wilayah Rusia.
Nama dinasti Saljuk diambil dari sebuah nama seorang tokoh yang
berasal dari keturunan Turki yaitu Saljuk bin Tuqaq.berasal dari kabilah
kecil keturunan Turki, yakni kabilah Qunuq. Kabilah ini bersama dua
puluh kabilah kecil lainnya bersatu membentuk rumpun Ghuz. Semula
gabungan kabilah ini tidak memiliki nama, hingga muncullah tokoh Saljuk
putra Tuqaq yang mempersatukan mereka dengan memberi nama suku
Saljuk.21 Suku Saljuk memeluk agama Islam pada sekitar akhir abad ke-4
H/ 10 M, dengan barmazhab Sunni.22 Bani Saljuk menguasai dan
memerintah di Baghdad selama sekitar 93 tahun yaitu dari tahun 429
H/1037 M hingga tahun 522 H/1127 M.
Dinasti Saljuk memiliki hubungan baik dengan khalifah Abbasiyah
yang berbeda halnya dengan dinasti Buwaih, hal ini disebabkan kesamaan
dalam mazhab, yaitu sama-sama berpegang kepada mazhab Sunni.23
Saljuk selalu bersikap hormat, sopan, berlaku baik dan lembut
sebagaimana tercermin dari ucapan Tughrul Bek ketika menghadap
khalifah; “aku pelayan Amirul Mu’minin, bertindak atas perintah dan
larangannya, berbuat sesuai mandatnya. Hanya kepada Allah aku meminta
pertolongan dan taufik”24 Kedekatan antara bani Saljuk dan imperium
Abbasiyah semakin erat ketika al-Qaim menikahi khadijah yang
merupakan keponakan Tughrul Bek, sementara Tughrul Bek menikahi
putri al-Qaim pada tahun 454 H/1062 M.
Para Khalifah yang memerintah pada periode ini adalah Abu Ja’far
‘Abdillah al-Qaim (422-467 H/1031-1075 M), Abul Qasim Al-Muqtadi,
(1075-1094 M), Abul Abbas Al-Mustazhir, (1094-1118 M), Abul Mansur
Al-Mustarsyid, (1118-1135 M), Abu Ja'far Ar-Rasyid (1135-1136 M),
Abu Abdullah Al-Muqtafi (1136-1160 M), Abul Muzaffar Al-Mustanjid
(1160-1170 M), Hasan Al-Mustadi (1170-1180 M), Abul Abbas An-Nasir,
(1180-1225 M).
7
Kemajuan Peradaban Islam pada masa Abbasiyah
Selama lima abad lebih Bani Abbasiyah berkuasa telah memberi pengaruh
besar terhadap peradaban Islam dan peradaban dunia. Bani Abbasiyah telah
memberi model bagi pengembangan masyarakat dan kebudayaan manusia.
Karakternya yang terbuka dan kosmopolitan menjadi salah satu kekuatan dasar
dinasti ini.
Gelombang disintegrasi memang telah memperkecil wilayah Abbasiyah.
Namun di balik itu, dengan berdirinya negara-negara Islam yang memisahkan diri
dari kekuasaan politik khalifah Abbasiyah di Baghdad justru memberi peluang
besar bagi negara-negara mandiri tersebut untuk berkembang sesuai dengan
karakter masyarakat dan potensi yang ada pada masyarakat tersebut. secara umum
dapat diatakan, masa pemerintahan kekhalifahan Bani Abbasiyah merupakan
masa kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi bangsa-bangsa muslim non Arab di
berbagai penjuru dunia.
Beberapa hal yang dilakukan Abbasiyah (750–1258 M) dalam menampilkan
diri sebagai Dinasti yang berkuasa adalah dengan memberikan berbagai kebijakan
sebagai berikut :
1. Menampilkan diri sebagai pelindung agama. Khalifah adalah bayang-
bayang Tuhan di muka bumi. Mereka menggunakan gelar agamis seperti,
al-Hadi, al-Rasyid, al-Ma’mun, al-Amin, dan sebagainya.
2. Islam mengajarkan persamaan, tiada beda antara Arab dan Non-Arab,
bahkan orang Persia yang menjadi tulang punggung Negara dan wazir dari
keluarga Barmaki.
3. Abbasiyah menghentikan perluasan wilayah, bahkan otonomi daerah
semakin diperbesar, yang bisa dikatakan federasi “Negara” muslim.
Mulailah dikenal istilah Malik dan Sultan sebagai penguasa yang dilantik
oleh Khalifah.
4. Al-Ma’mun menjadikan pemikiran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara.
Hal ini berimplikasi luas, yaitu proses masuknya pemikiran intelektual
Yunani ke dalam dunia Islam. Di sinilah mulai kebangkitan peradaban dan
intelektual Islam, sehingga dunia barat belajar banyak dari Islam.
Badri Yatim menyebutkan, paling tidak ada dua hal yang ikut menentukan
kemajuan Bani Abbasiyah, pertama, asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-
bangsa lain yang lebih dulu mengalami kemajuan di bidang pengetahuan.
Misalnya, bangsa Persia yang maju dan berminat dalam bidang ilmu pengetahuan,
filsafat dan sastra. Bangsa India yang maju dalam bidang kedokteran, matematika
dan astronomi, serta bangsa Yunani dengan sumbangan pengetahuan dalam
bidang filsafat, politik dan etika. Kedua, kebijakan gerakan penerjemahan karya-
karya monumental dari berbagai bangsa yang berlansung pada beberapa fase. Fase
pertama masa khalifah al Manshur hingga Harun al Rasyid (periode Abbasiyah
pertama), fase kedua pada masa al Ma’mun hingga 300 H (paruh akhir Abbasiyah
kedua), dan berlanjut terus hingga akhir kekuasaan Abbasiyah.
Meskipun sejarah mencatat bahwa kemajuan peradaban sangat kentara pada
periode pertama kekhalifahan Bani Abbasiyah, namun periode-periode berikutnya
8
kemajuan tidak mengalami kemuduran yang berarti. Setiap dinasti yang
merupakan satelit kekuasaan Abbasiyah, tetap mengupayakan kemajuan di
daerahnya masing-masing.
Untuk melihat sebaran Tokoh-tokoh ilmuwan sepanjang masa kekhalifahan
Dinasti Abbasiyyah dapat dicermati melalui tahun hidup tokoh-tokoh berikut:
1. Ahli Fikih: Abu Hanifah atau Imam Hanafi (699-767 M), Malik bin Anas
atau Imam Maliki (714-800 M), Muhammad bim Idris alias Imam Syafi’i
(767-819M) Ahmad bin Hanbal alias Imam Hanbali (780-855 M),
2. Ahli Filsafat : al-Kindi (801-873 M), al-Farabi (wafat 950 M), Ibn Sina
(wafat 1037 M), Ibn Miskawaih dan Ibn Rusyd (wafat 1198 M)
3. Ahli sains : al-Farghani (wafat 870 M).
4. Ahli Astronomi : al-Biruni (973-1050 M), al-Thusi (wafat 1274 M).
5. Ahli Matematika : Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M)
bidang ilmu hitung Aljabar (Algoritme), Abu Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-
Kindi bidang aritmatika, al-Karaji bidang aritmatika, aljabar, dan
geometri, Muhammad ibn Jabir ibn Sinan Abu Abdullah (Al-Battani)
(850-929 M) ahli bidang trigonometri modern, Al-Biruni ahli bidang
matematika, geografi, astronomi, fisika, ‘Umar Khayyam (wafat 1123 M)
ahli bidang aljabar dan trigonometri.
6. Ahli kedokteran : at-Thabari, al-Razi, dan Ibnu Sina sebagai bapak
kedokteran.
7. Ahli kimia : Jabir bin Hayyan (wafat 813 M) dan Zakariyya al-Razi (abad
8 M).
8. Ahli optika : Ibn Haitsam (wafat 1039 M).
9. Ahli geografi : al-Ya’qubi dan al-Mas’udi.
10. Ahli Ilmu hewan : Ikhwan al-Shafa, Amr ibn Bahr al-Jahiz (776-868 M).
9
3. Bidang tata bangunan yang disebabkan berkembangnnya jenis ilmu
arsitektur dan teknologi-teknologi yang digunakan dalam rancang
bangunan dan teknologi pendukung fungsi-fungsi lainnya
4. Dalam pertanian, berkembang berbagai jenis pengetahuan tentang bibit
tanaman, hama dan psistem pengairan
5. Dalam bidang sosial, berkembangnya berbagai lembaga-lembaga sosial
yang mengurus secara spesifik urusan masyarakat
6. Bidang Militer, dapat dilihat dari perkembangan teknologi kemiliteran
7. Serta kemajuan-kemajuan lainnya yang dapat disigi secara khusus
dengan pendekatan keilmuannya masing-masing.
10
Mongol, secara khusus menjadi sebab terpenting yang menghakhiri
kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad pada yahun 1258 M.
Penutup
Panjangnya masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah (750-1258 M) telah
menghadirkan banyak peristiwa penting yang perlu dikaji secara spesifik. Namun,
makalah singkat ini menggambarkan bagian-bagian tertentu saja dari keseluruhan
riwayat dinasti besar yang telah mengubah pola hubungan antar bangsa di dunia
pada masanya. Sebagai kesimpulan, Bani Abbasiyah secara umum dapat disebut
sebagai Dinasti Islam terlama dalam sejarah dengan wilayah kekuasaan yang luas
dengan sumbangan kemajuan yang tak sedikit bagi umat Islam pada khususnya,
dan bagi dunia pada umumnya.
Wallahu’ a’alam bi al-shawab
Daftar Bacaan
Jurnal:
11
Saïd Amir Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid
Revolution. Iranian Studies, vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994
Syamruddin Nasution, Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū
Muslim al-Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah, Asy-Syir’ah:
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 20131
1
Disampaikan pada Diklat Teknis Substantif Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MTs
Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan kepulauan Riau, Rabu, 22 Januari
2020 di Balai Diklat Keagamaan Padang
2
Muhammad Nasir, Lektor dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas
Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang
3
Ajid Tohir, Kehidupan Sosial Zaman Rasulullah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h.46
4
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, Cambridge, Massachusetts: The Belknap
Pressof Harvard University Press, 2002
5
Saïd Amir Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid Revolution. Iranian
Studies, vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994
6
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah, Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h.82
7
Syamruddin Nasution, Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū Muslim al-
Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013, h.563
8
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2014, h. 139
9
Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam Jakarta,
Qisthi Pressh, 2016, 29
10
Robert L. Canfield, Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University Press,
2002,h. 5
11
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya: Jilid I., Jakarta: UI-Press, 1985,
h.67
12
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006, h.51
13
Samsul Munir Amin., Op.cit., h.141
14
Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h.213
15
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Mesir: Mu’assasah Hindawi, 2011, h. 161 – 162
16
Pada masa al Mu’taz berdiri Daulah Al Thuluniyah di Mesir. Daulah Thuluniyah adalah
dinasti pertama yang melepaskan diri dari kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Daulah ini
menguasai Mesir dan wilayah Suriah. Dinasti ini berdiri tahun 868 M bertahan hingga tahun 905
M. Daulah ini didirikan oleh Ahmad bin Thulun, mantan kepala pengawal istana (rais al harsi)
dan ketika itu ia menjabat Wali wilayah Mesir dan Lybia. Ahmad bin Thulun menguasai ilmu
Syari’ah, bahasa dan kesusastraan disamping keahlian pokoknya di bidang militer. Joesoef Sou’yb,
Sejarah Daulah Abbasiyah II,Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 62-63.
17
Sebelum Daulah Thuluniah, juga berdiri Daulah Shaffariyah di Kandahar, Afghanistan
tahun 867 H. Daulah ini awalnya membebaskan diri secara penuh dari Abbasiyah, namun pada
tahun 876 M Daulat Shaffariyah mengakui kembali kekhalifahan Bani Abbasiyah dan Khalifah Al
Mu’tamid juga mengakui kedaulatan Daulat Shaffariyah dalam bentuk pemerintahan keemiran
18
Badri Yatim, op.cit, h.49
19
Yusuf al-‘Isy, Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2012), h. 198
20
Philip K. Hitti,History of the Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta h.398
21
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996, h. 406
12
22
Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi
Karyani Jakarta: Taramedia, 2003, h.358
23
Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 3, terj. Muhammad Labib Ahmad,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993, h. 339.
24
Tim Dar al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, Depok, Puspa Swara, 2010, h. 97
13