Anda di halaman 1dari 20

WRAP UP SKENARIO

BLOK MEKANISME PENYAKIT 1

“DEMAM SORE HARI”

Kelompok : B-9
Ketua : Muhammad Dhafa Thamrin (1102019132)
Sekretaris : Permata Hermi (1102019158)
Anggota : 1. Muhammad Razih (1102018335)
2. Ocylia Carnella Arifin (1102019157)
3. Nadisa Ardikha Pramaswari (1102019144)
4. Rizkia Amartya Noor (1102019183)
5. Safa Putri Herningrum (1102019184)
6. Sahira Nabila Azahra (1102019185)
7. Sahira Safa Disniputri (1102019186)
8. Salamma Nadila (1102019187)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018/2019
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.424457

1
DAFTAR ISI
SKENARIO …………………………………………………………………………..…… 3
KATA SULIT …………………………………………………………………………....... 4
PERTANYAAN ……………………………………………………………………........... 5
JAWABAN ……………………………………………………………………………...….5
HIPOTESIS …………………………………………...…………………………………….4
LO 1 : Memahami dan Menjelaskan Salmonella Enterica ……….…………………...…….7
LO 2 : Memahami dan Mempelajari Demam Tifoid………………………….……………. 9
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….....20

2
SKENARIO

Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam semenjak 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik
kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00
WIB), lidah terlihat kotor (coated tongue). Dokter menduga pasien terinfeksi Salmonella sp
dan menyarankan pemeriksaan darah untuk membantu menegakkan diagnosis dan cara
penanganannya.

3
Hipotesis :

Demam tifoid disebabkan oleh salmonella enterica ditularkan melalui fecal oral dapat
dicegah dengan menjaga kerbersihan dan vaksin tifoid yang dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Dapat diberika pengobatan berupa farmakologi yaitu
obat antipiretik dan nonfarmakologi yaitu bedrest, minum banyak air mineral, dan makan
makanan yang mudah dicerna.

4
Pertanyaan :

1. Penyakit apa yang diderita oleh pasien wanita tersebut?


2. Komplikasi apa saja yang sering terjadi pada demam tersebut?
3. Mengapa demam dirasakan pada sore dan malam hari?
4. Apa saja jenis-jenis bakteri salmonella?
5. Mengapa pasien mengalami kesadaran somnolen?
6. Apa yang menyebabkan pasien hiperpereksia?
7. Mengapa tekanan nadi pada pasien turun?
8. Pemeriksaan lab apa saja yg digunakan utk menegakkan diagnosis pasien tersebut?
9. Bagaimana pengobatan yang dapat dilakukan?
10. Apa tindakan preventif untuk mencegah demam disore hari ?
11. Mengapa perlu adanya pemeriksaan darah?
12. Bagaimana penularan salmonella sp?
13. Apa jenis penurun demam untuk pasien tersebut?
14. Apa saja gejala klinis pasien yang terinfeksi salmonella?
15. Bagaimana mekanisme demam disore hari?

Jawaban sementara :

1. Demam tifoid karena pola demam septik, terjadi pada sore dan malam hari, sudah
demam sejak 1 minggu yang lalu, hiperpereksia, keadaan somnolen, lidah terlihat
kotor.
2. Tifoid toksin : gangguan kesadaran akut dengan gejala darnium atau koma yang
disertai atau tanpa kelainan neurologis.
Shock septik : akibat dari laju inflamasi sistemik karena bakteri salmonella.
Terdapat pula pendarahan di dalam tubuh, perparasi usus, dan dapat
mengakibatkan kematian.
3. Karena faktor inflamasi , merangsang hipotalamus, faktor inflamasi optimal pada
malam hari .
4. Salmonella typhi dan salmonella paratyphi A dan B yang termasuk salmonella
enterica, serta salmonella kaera swiss.
5. Metabolism enzim terganggu karena suhu tubuh meningkat.
6. Infeksi dan kerusakan pada pusat pengaturan suhu tubuh dan juga bisa karena
pendarahan pada system saraf pusat.
7. Saat demam aliran darah meningkat sehingga jantung memompa darah lebih cepat
karena kerja jantung lebih cepat otomatis jantung jadi lelah sehingga fungsi
jantung menurun mengakibatkan bradikardia.
8. Uji serologis, uji widal, klinik agiusitiasi menggunakan uji hapusan, metode EIA,
uji elisa, pemeriksaan darah, feses, urin, dan sumsung tulang belakang.
9. Dengan pengobatan dalam rumah seperti minum air mineral yang banyak, bedrest,
makan makanan yang mudah dicerna.

5
10. Menjaga kebersihan, hindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi,
vaksin tifoid, mengomsuimsi makanan yang terjamin kebersihannya.
11. Untuk menegakkan diagnosis.
12. Berawal dari makanan dan minuman, tempat sanitasi lingkungan kumuh, budaya
cuci tangan tidak terbiasa, belum membudayakan imunisasi untuk tifoid, dan
penyediaan air bersih tidak memadai disebut dengan fecal oral. Selain itu karena
lalat, dan kontak langsung dengan penderita.
13. Obat antipiretik seperti paracetamol (asetaminofen), ibupropen, dan aspirin.
14. Demam, sakit kepala, hilang nafsu makan, diare, konstipasi, sakit perut, dan
lemas.
15. Salmonella masuk ke aliran darah sel darah putih, lalu menuju hati, kemudian
limfa, diteruskan ke sumsum tulang belakang. Organ-organ tersebut
berkembangbiak kemudian masuk kedalam aliran darah dan menyebabkan
demam.

6
1. Memahami dan Menjelaskan Salmonella Enterica
1.1 Definisi
merupakan salah satu bakteri pathogen penyebab salmonellosis yang dapat ditemukan
pada berbagai jenis hewan seperti ungags, hewan laboratorium, hewan liar dan
manusia.
merupakan bakterimyang menyerang saluran gastrointestin yang mencakup perut,
usus halus dan usus besar.

1.2 klasifikasi
Klasifikasi salmonella enterica
Salmonella enterica dibagi menjadi 6 subspesies, yakni enterica, salamae, arizonae,
diarizonae, houtanae, dan indica.
Anggota genus salmonella awalnya di klasifikasikan berdasarkan epidemiologi,
pejamu, reaksi biokimia, dan struktur antigen O,H,dan Vi. Saat ini genus salmonella
dibagi menjadi dua spesies yang masing-masing terbagi atas banyak subspecies dan
serotype. Kedua spesies tersebut adalah Salmonella enterica dan Salmonella bongori.
Salmonella enteric terdiri dari lima subspecies:
1. Subspesies enterika (subspecies I)
2. Subspesies Salamae (subspecies II)
3. Subspesies arizonae (subspecies IIIa)
4. Subspesies diarizonae (subspecies IIIb)
5. Subspesies houtenae (subspecies IV)
6. Subspesies indica (subspecies V)
Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh galur subspecies I yang
disebut sebagaiSalmonella enterica subspecies enterica. Salmonella enterica
mempunyai 2000 serovar/strain dan hanya sekitar 200 yang berhasil terdeteksi di
Amerika Serikat. Strain yang paling banyak ditemukan adalah Salmonella enterica
serovar Typhimurium (S.Typhimurium) dan Salmonella enterica serovar Enteritidis
(S.Enteritidis). salain itu terdapat juga serotip salmonella lain yang dapat
menyebabkan demam enteric yaitu:
• Salmonella paratyphi A (serogrup A)
• Salmonella paratyphi B (serogrup B)
• Sallmonella cholerasuis (serogrup C1)
• Salmonella typhi (serogrup O)
Lebih dari 1400 Salmonella lain yang diisolasi di laboratorium klinis di kelompokkan
ke dalam serogrup berdasarkan antigen O yang dimilikinya menjadi serogrup
A,B,C1,C2,D, dan E. Beberapa salmonella tidak dapat di kelompokkan menggunakan
set antiserum diatas. (Jawetz,2002)

1.3 morfologi dan virulensi

7
S. typhi merupakan kuman batang Gram negative yangtidak
memilikispora,bergerak dengan flagel peritrik, bersifat intraseluler fakultatif dan
anerob fakultatif. Ukurannya berkisar antara 0,7- 1,5X 2-5 pm,memiliki
antigensomatik (O),antigen flagel(H)dengan2fase danantigenkapsul(Vi). Kuman ini
tahan terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat membunuh bakteri enterik
lain, menghasilkan endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa Resistant
Haemaglutinin). S. typhi mampu bertahan hidup selama beberapa bulan sampai
setahunjika melekat dalam, tinja, mentega, susu, keju dan air beku. S. typhi adalah
parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam makrofag dan menyebabkan
gejala-gejala gastrointestinal hanya pada akhir perjalananpenyakit,biasanya sesudah
demam yang lama, bakteremia dan akhirnya lokalisasi infeksi dalamjaringan limfoid
submukosa usus kecil.

1.4 faktor patogenesitas


Kuman menembus mukosa epitel usus, berkembang biak di lamina propina
kemudian masuk kedalam kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki
peredaran darah sehingga terjadi bakteremia pertama yang asimomatis, lalu kuman
masuk ke organ-organ terutama hepar dan sumsum tulang yang dilanjutkan dengan
pelepasan kuman dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan
bakteremia kedua. Kuman yang berada di hepar akan masuk kembali ke dalam usus

8
kecil, sehingga terjadi infeksi seperti semula dan sebagian kuman dikeluarkan
bersama tinja.
Penyebaran penyakit ini terjadi sepanjang tahun dan tidak tergantung pada
iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah
tropis, hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan
kebersihan individu yang masih kurang baik oleh karena itu pencegahan penyakit
demam tifoid mencakup sanitasi dasar dan kebersihan pribadi, yang meliputi
pengolahan air bersih, penyaluran air dan pengendalian limbah, penyediaan fasilitas
cuci tangan, pembangunandan pemakaianWC, merebus air untuk keperluan minum
dan pengawasan terhadap penyedia makanan.

2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Demam tofoid


2.1 definisi

adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negated salmunella typhi.
Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultipikasi dalam sel fagositik
mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Darmowandowo,
2006).

2.2 etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A,
dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang
disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi
salmonella yng lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa,
manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa
dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º
F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika an bahan tinja.

2.3 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,


secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber
air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana
di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17
juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit
demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun
sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam

9
tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam
tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000
penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk (Crump, 2004).
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk
pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus
per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia
masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam
tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta
keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan (Nainggolan R., 2009).

2.4. pathogenesis dan patofiologi

Demam Typhoid disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi atau Salmonella


Paratyphi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar
dengan feses manusia. Setelah melewati lambung, bakteri akan mencapai usus halus
dan menginvasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi
untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenterik bakteri masuk aliran darah
sistemik (bakterimia 1) dan mencapai sel-sel retikulo endotelial dari hati dan limfe.
Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini bakteri
dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia 2) melalui duktus torasikus dan mncapai
organel-organel tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu.
Bakteri Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan
lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada pathogenesis demam typhoid.
Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana bakteri
salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat untuk
memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel lekosit di jaringan yang meradang.
Sitokin merupakan mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala
toksemia(proinflamatory). Oleh karena basil salmonella bersifat intraseluler maka
hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan yang
terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi.

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakiy infeksi sistemik.

10
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setalah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan,
dan gangguan organ lainnya.

2.5 manifestasi klinis

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang
mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala
sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan
diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1- 2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada
demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah 18 endemis malaria,
menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,
di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan
meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu
konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus (Sudoyo A.W., 2010).
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-

11
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap.
Bibir kering dan pecahpecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen
mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa 19
membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak
berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah
(Sudoyo, A. W., 2010).

2.6 diagnosis dan Diagnosis Banding

1) Anamnesis
Demamnaik secara bertanggapada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remitenpadaminggukedua.Demamterutama sore / malamhari,sakit
kepala,nyeriotot,anoreksia,mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam merupakan
keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid.
Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala
yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada
S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoidtetapi pada penderita
yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkindisebabkanolehmalaria.Namundemikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi lainS. typhijuga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut
kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gambaranperitonitisakibat perforasiusus.
2) PemeriksaanFisis
Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi
dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen,
roseolae(jarangpada orang Indonesia).
3) Laboratorium
Ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia,
limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Kultur darah (biakan empedu) positif . Dalam keadaan normal darah bersifat steril dan
tidak dikenal adanya flora normal dalam darah. Ditemukannya bakteri dalam darah
disebut bakteremia. Pasien dengan gejala klinis demam tiga hari atau lebih dan
konfirmasi hasil biakan darah positif S. typhi paratyphi dapat dijadikansebagai
diagnosapastidemamtifoid23.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum
demam tifoid, juga pada orang yang pemah ketularan Salmonella dan pada orang
yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid124'. Peningkatan titer uji Widal >4

12
kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak
menyingkirkandiagnosis. UjiWidal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H
1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Hepatitis Tifosabila
memenuhi 3 atau lebihkriteria Khosla (1990) : hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium (antara lain : bilirubin >30,6 umol/1, peningkatan SGOT/SGPT,
penurunan indeks PT), kelainan histopatologi. Tifoid Karier. Ditemukannya kuman
Salmonella typhi dalam biakan feses atau urinpada seseorang tanpa tanda klinis
infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca-demamtifoid.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Diagnosis
pasti ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari pemeriksaan kultur. Pemeriksaan
penunjang demam tifoid dan interpretasinya sebagai berikut.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimiaklinik,
imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosis (ada kalanya bahkan menjadi penentu diagnosis),
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit danhasil pengobatan serta
timbulnya penyulit.

Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus
atau perforasi. Pemeriksaan darah dilakukan pada biakan kuman (paling tinggi pada
minggu I sakit), diagnosis pasti Demam Tifoid. (Minggu I : 80-90%, minggu II : 20-
25%, mingguIII : 10-15%) Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula
normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
LED meningkat (Djoko, 2009).

Urinalis
Tes Diazo Positif : Urine + Reagens Diazo + beberapa tetes ammonia 30% (dalam
tabung

13
reaksi)→dikocok→buih berwarna merah atau merah muda (Djoko, 2009).
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). Leukosit dan
eritrositnormal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. Biakan kuman (paling
tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit “carrier” ( Sumarmo et al, 2010).

Tinja (feses)
Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool), kadang-kadang darah
(bloodystool). Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier posttyphi) pada minggu II
atau III sakit.
(Sumarmo et al, 2010)

Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis akut.

Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan saat
ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, tes hemaggutinin (HA), countercurrent
immunoelectrophoresis (CIE), dan tes cepat/rapid test (Typhidot, Tubex). Sedangkan
pemeriksaan antigen S. typhi dapat dilakukan melalui pemeriksaan protein antigen dan
protein Vi baik menggunakan ELISA/koaglutinasi namun sampai saat ini masih dalam
penelitian jumlah kecil.

Pemeriksaan Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. thypi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara kuman S. thypi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :1.
Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagela kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman
ini. Widal dinyatakan positif bila :1. Titer O Widal I 1/320 atau
2. Titer O Widal II naik 4 kali lipat atau lebih dibanding titer O
Widal I atau Titer O Widal I(-) tetapi titer O II (+) berapapun
angkanya.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid
ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di
atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam
beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan
disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya.

14
Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
Merupakan uji imunologi yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes
cepat(Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Tifoid/
Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/jika lgG positif
menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. ( John, 2008)

Mikrobiologi
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam
tifoid/paratifoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam
tifoid/ paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/
paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL), darah tidak segera
dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga
kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu-
1 sakit,sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu
untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/carrier digunakan urin
dan tinja. (Sumarmo et al, 2010)

Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA
kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA yang spesifik. Kelebihan uji ini
dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta
kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah,
urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi. Kriteria diagnosis yang biasa digunakan
adalah :
1. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative tidak
menyingkirkan demam tifoid.
2. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.
3. Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 2– 3 minggu memastikan diagnosis
demamtifoid.
4. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen H 1:
640menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas.
5.Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun
biakan darah positif. (Sumarmo, 2010).

Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,

15
shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis,
leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

2.7 Tata Laksana


2.7.1 Farmakologi
Pengobatan menggunakan prinsip trilogy penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
A. Pemberian antibiotic

Terapi ini dimaksud untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Obat yang
sering dipergunakan adalah:
1. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.
2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari
Terapi ini dimaksud untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Obat yang
sering dipergunakan adalah:
1. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.
2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari ).

16
Pengobatan demam tifoid karena disebabkan oleh bakteri, maka memerlukan
antibiotik. Ada beberapa golongan antibiotik yang diberikan sebagai pengobatan demam
tifoid lini pertama, yaitu :
• Ampisilin : Ampisilin adalah prototip golongan aminopenisilin berspektrum luas.
• Kloramfenikol : Bersifat bakteriostatik terhadap Enterobacter & S. aureus berdasarkan
perintangan sintesis polipeptida kuman. Bersifat bakterisid terhadap S. pneumoniae, N.
meningitidis & H. Influenza.
• Tiamfenikol : Tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan kloramfenikol.
Namun, pada kuman gram negatif maupun kuman gram positif.
Trimetoprime – Sulfametoksasol : Kombinasi trimetoprin dengan sulfmotoksazol dikenal
dengan nama kontrimoksazol. Kombinasi ini menghambat reaksi enzimatik obligat pada
dua tahap yang berurutan pada mikroba,sehingga memberikan efek sinergi. ( Gunawan,
GS.2007 ).

2.7.2 Non-Farmakologi

A. Istirahat dan perawatan


Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinnya komplikasi. Penderita
sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari demam.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat
mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena
ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan air kecil.
B. Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet.
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi makanan berupa
bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan
akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi
dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita.
(widoyono, 2011).

17
2.8 Pencegahan

2.8 Komplikasi

Diagnosis untuk komplikasi tifoid adalah secara klinis, dibantu oleh


pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Monitor salaam perawatan
harus terlaksana dengan baik, agar komplikasi dapat terdeteksi secara dini.

o Tifoid Toksis
Tifoid toksis adalah diagnosis klinis. Penderita dengan sindrom demam
tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan kekacauan mental hebat,
kesadaran menirin, mulai dari delirium sampai koma.

o Syok Septik
Penderita sindrom tifoid, panas tinggi serta gejala – gejala toksemia yang
berat. Didapatkan gejala gangguan hemodinamika, seperti tensi turun, nadi
halus dan cepat, keringatan dan akral yang dingin.

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :


• Komplikasi intestinal

18
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
• Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer
(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
• Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

2.9 prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung terutama pada kecepatan diagnosis dan memulai
pengobatan yang benar. Umumnya, demam tifoid yang tidak diobati membawa tingkat
kematian 10%-20%. Pada penyakit ditangani dengan baik, angkat kematian kurang dari
1%.
Prognosis pada demam tifoid tergantung kepada terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju dengan terapi
antibiotic yang adekuat, angka mortalitas 10%, niasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa
kali. Individu yang mengeluarkan salmonella typhi >3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier rendah pada anak – anak dan meningkat
sesuai usia.karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden
penyakit truktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibanding dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dan dijumpai
terutama pada individu dengan skistosomiasis. (Sudoyo A.W,dkk, 2006)

19
Daftar pustaka

Pedoman pengendalian Demam tifoid ( Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tanggal 19 Mei 2006).
Hoffman SL. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics, edition
7. Philadelphia : WB Saundres, 1991;344-58.
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid (Menteri Kesehatan Republik Indonesia).
Kenneth E. Sanderson, Randal N. Johnston. 2015. Molecular Medical Microbiology (Second
Edition). London. Elsevier Ltd. [1].
John V. Ashurst; Justina Truong; Blair Woodbury. 2019. Salmonella Thyphi. Arizona, United
States.
https://www.nchbi.nlm.nih.gov/books/NBK519002/.[2]
hadinegoro, Sri Rejeki S et. all. 2018. Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis Edisi Keempat.
IDAI.
Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

20

Anda mungkin juga menyukai