Anda di halaman 1dari 11

Rafi Suryapratama Natapradja

1806219791
Hukum Agraria B

PT XYZ berencana untuk membangun rumah susun komersial di kawasan Pluit, Jakarta Utara,
dengan Status Tanah Sebagai Berikut:

I. Jelaskan Tata Cara Perolehan Hak Atas Tanah untuk masing-masing bidang!

Secara garis besar, sistem perolehan tanah disusun dalam suatu sistem yang berdasarkan status
tanah yang tersedia, apakah tanah Negara atau tanah hak. Berdasarkan kriteria sistem perolehan
tanah yang mana penggunaannya untuk keperluan pribadi, keperluan usaha, dan/atau keperluan
umum, apabila tanah yang tersedia adalah tanah negara maka ditempuh dengan cara
permohonan hak. Selanjutnya dalam hal tersedianya tanah hak, apabila ada persetujuan bersama
maka sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 jo. Peraturan Menteri Agraria /
Kepala BPN No. 1 Tahun 1994 dapat ditempuh acara pemindahan hak apabila PT. XYZ
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atau pelepasan hak yang diikuti pemberian hak baru
apabila PT. XYZ tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Selanjutnya, apabila
musyawarah antara para pihak tidak mencapai kesepakatan maka ditempuh acara pencabutan
hak apabila tanah diperuntukan bagi penyelenggaraan kepentingan umum dan tidak dapat
digunakan tanah yang lain. Setelah dilakukan pencabutan hak, diikuti pula pemberian hak baru
yang sesuai.1 Selanjutnya, terhadap tanah Negara status tanah yang dapat diperoleh meliputi
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.

Berdasarkan Pasal 37 UUPA, hak guna bangunan dimungkinkan terjadi mengenai tanah yang
dikuasai langsung oleh negara karena penetapan pemerintah. Sementara dalam Pasal 41 UUPA
hak pakai juga dimungkinkan terjadi mengenai tanah yang dikuasai oleh langsung oleh negara. 2
Dengan demikian dalam hal tanah Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, dan Hak Milik yang hendak
diperoleh oleh PT. XYZ berstatus Tanah Negara, maka PT. XYZ menempuh cara ​permohonan

1
Prof. Boedi Harsono, ​Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi, dan Pelaksanaannya Jilid I, ​ cet. 5 (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2019), hlm. 344
2
Indonesia, ​Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, ​UU No. 5 Tahun 1960, LN. No. 104
Tahun 1960, TLN.2043, Ps. 37 jo. 41
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
hak baru yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan .
Berikut tata cara perolehan hak atas tanah yang berstatus Tanah Negara:
A. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diatas Tanah Negara

1. Berdasarkan Pasal 32 Permen Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 Pemberian Hak
Guna Bangunan dapat diberikan kepada Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Mengasumsikan bahwasannya PT. XYZ
adalah badan hukum yang memenuhi syarat Pasal 32, maka PT. XYZ dapat mengajukan
permohonan secara tertulis yang memuat (1) keterangan mengenai pemohon, (2)
keterangan mengenai tanah yang meliputi data yuridis dan data fisik, dan (3) keterangan
mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk
bidang tanah yang dimohon, serta keterangan lain yang dianggap perlu. Sementara
mengenai Pemberian Hak Pakai, berdasarkan Pasal 49 Permen Agraria / Kepala BPN No.
9 Tahun 1999 hak pakai dapat diberikan kepada badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia.Sebagaimana telah diasumsikan sebelumnya, PT XYZ sebagai badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dapat mengajukan permohonan secara
tertulis yang memuat (1) keterangan mengenai pemohon, (2) keterangan mengenai
tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik, serta (3) keterangan lainnya yang
meliputi keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah yang dimiliki oleh
pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon, serta keterangan lain yang dianggap
perlu.3

2. Permohonan Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal 35 jo. 36 jo. 37 dan Hak Pakai
berdasarkan Pasal 52 jo. 53 jo. 54 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999,
diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan, untuk selanjutnya diperiksa dan diteliti kelengkapan data
yuridis dan data fisiknya, dicatat pada formulir isian, diberitahukan tanda terima berkas
permohonan sesuai formulir isian, diberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya
untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memeriksa kelayakan permohonan
apakah dapat atau tidak dikabulkan dan diproses lebih lanjut. Dalam hal keputusan
pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan,
maka Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan

3
​ Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps. 49
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya.4

3. Apabila Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal 37 jo. 38 atau
Keputusan Pemberian Hak Pakai berdasarkan Pasal 54 jo. 55 Permen Agraria / Kepala
BPN No. 9 Tahun 1999, tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, maka
yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah
untuk selanjutnya mencatat dalam formulir isian, serta memeriksa dan meneliti
kelengkapan data yuridis dan data fisik permohonan. Dalam hal ditemukannya
ketidaklengkapan dalam permohonan, maka Kepala Kantor Wilayah meminta Kepala
Kantor Pertanahan untuk melengkapinya. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna
Bangunan dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah
menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau
keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.56

4. Apabila Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal 38 jo. 39 atau
Keputusan Pemberian Hak pakai Berdasarkan Pasal 55 jo. 56 Permen Agraria / Kepala
BPN No. 9 Tahun 1999, tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka yang
bersangkutan menyampaikan berkas permohonan kepada Menteri disertai pendapat dan
pertimbangan, untuk selanjutnya dicatat dalam formulir isian, diperiksa dan diteliti
kelengkapan data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon, dan diperiksa
kelayakan permohonan tersebut apakah dapat atau tidak dikabulkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal permohonan tidak
lengkap baik data yuridis dan data fisik, maka Menteri dapat meminta Kepala Kantor
Wilayah untuk melengkapi ketidaklengkapan tersebut.78

5. Terhadap Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Keputusan pemberian, perpanjangan, atau
pembaharuan jak atau keputusan penolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan

4
Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps. 35 jo. 36 jo. 37
5
​ Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps. 37 jo. 38
6
​Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps 54 jo. 55
7
​ Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps. 35 jo. 38 jo. 39
8
​ Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps 55 jo. 56
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
hak disampaikan kepada PT. XYZ melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang
menjamin sampainya keputusan pada pihak yang berhak.9

6. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 m2 untuk PT
XYZ berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah tidak melebihi
150.000 m2. Sementara Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya
lebih dari 20.000 m2 untuk PT XYZ tidak melebihi 150.000 m2.10

B. Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai diatas Tanah Hak


Bagi PT XYZ yang ingin memperoleh tanah yang memiliki status tanah hak, dapat
menempuh cara pemindahan hak, pembebanan hak, pembebasan hak, dan/atau
pencabutan hak sebagai upaya terakhir dalam hal tidak tercapainya kesepakatan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUPA, hak guna bangunan dimungkinkan terjadi
karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan
pihak yang akan memperoleh hak tersebut. Sementara dalam 43 UUPA, Hak pakai atas
tanah hak milik dapat dialihkan apabila hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan. Sebagaimana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
123/K/Sip/1970, perbuatan hukum jual beli tanah adalah pemindahan yang bersifat
dengan tunai. Berdasarkan ketentuan demikian, PT. XYZ dapat melakukan pemindahan
hak berupa jual beli secara terang atau dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan
tunai atau terjadi dua perbuatan hukum yang dilakukan secara bersamaan Kendati
demikian, keabsahan pemindahan hak berupa jual beli ditentukan oleh syarat materil dari
perbuatan jual beli yang meliputi (a) penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan,
(b) pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, (c) tanah hak yang bersangkutan
boleh diperjualbelikan menurut hukum, dan (d) tanah yang bersangkutan tidak dalam
sengketa.

C. Hak Milik diatas Tanah Negara dan Tanah Hak


Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPA, yang dapat mempunyai hak milik hanyalah
warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah yang
secara lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. 11Berangkat
dari kenyataan bahwasannya PT XYZ tidak tergolong ke dalam kelompok badan-badan
dalam PP No. 38 Tahun 1963 yang meliputi bank, koperasi pertanian, badan keagamaan,
9
​ Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps. 48 jo. 65
10
​ Indonesia, ​Peraturan Menteri Kepala BPN tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan
Kegiatan Pendaftaran Tanah, ​PM No. 2 Tahun 2013, Ps. 9 jo. 10
11
​Indonesia, ​Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, ​UU No. 5 Tahun 1960, LN. No. 104
Tahun 1960, TLN.2043, Ps.21
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
dan badan sosial, dengan demikian PT XYZ tidak dapat memiliki Hak Milik atas Tanah
Negara. Dengan demikian, terhadap Tanah Hak Milik yang akan dikuasai oleh PT XYZ
sebagai pihak yang tidak memenuhi syarat penerimaan hak harus menempuh acara
pelepasan hak dan diikuti pemberian hak baru yang sesuai . Berdasarkan Pasal 30
Permen Agraria No. 1 Tahun 1994, bersamaan dengan pemberian ganti kerugian dibuat
surat pernyataan pelepasan hak atau penyerahan tanah yang ditandatangani oleh
pemegang hak atas tanah dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang disaksikan
oleh sekurang-kurangnya anggota Panitia Pengadaan Tanah. 12Langkah selanjutnya yang
ditempuh oleh PT XYZ adalah mengajukan permohonan hak atas tanah yang sesuai
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

II. PT XYZ, membangun Apartemen Campuran atau ​Mixed Used ​di Kawasan Pluit, Jakarta
Utara. Hak atas Tanah apa yang paling tepat?

Hak atas Tanah yang paling tepat untuk pembangunan Apartemen Campuran atau Mixed Used
yang di dalamnya meliputi kawasan hunian, perniagaan, dan perbelanjaan, adalah Hak
Pengelolaan. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sebagaimana diatur dalam Permen
Agraria / Ketua BPN No. 9 Tahun 1999, hak pengelolaan dapat diberikan kepada salah satunya
PT Persero sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan
tanah.13 Hak Pengelolaan menurut hemat kami dirasa tepat karena memberikan wewenang
kepada PT XYZ sebagai pemegangnya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6
(enam tahun), dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan. Sebagai
pemilik dari Apartemen Campuran atau Mixed Used yang didalamnya akan dibangun kawasan
hunian, perniagaan, dan perbelanjaan, PT. XYZ dapat menyerahkan bagian dari tanah tersebut
kepada pihak-pihak ketiga secara terbatas.

III. Buatlah Analisa tentang Pelaksanaan Prosedur Pengadaan Tanah dilihat dari UU No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan kaitannya dengan
UUPA serta UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak

12
​Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria /i Kepala BPN tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 55
Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ​PM No. 1 Tahun 1994, Ps.
9 jo. 10
13
​Indonesia, ​Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, ​PM No. 9 Tahun 1999, Ps. 67
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B

A. Kasus Posisi
Pembebasan lahan sebanyak 29 bidang untuk proyek tol Semarang-Solo di Kabupaten
Boyolali akan dilakukan konsinyasi melalui jalur Pengadilan Negeri setempat untuk
mempercepat pembangunan. Konsinyasi melalui jalur PN ditempuh setelah pemilik lahan
tidak menyetujui harga tanah yang ditentukan oleh TIm Appraisal. Menurut Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Tol, sebelum menempuh konsinyasi pihaknya telah
melakukan upaya pendekatan pada pihak yang terdampak proyek. Kendati tanah telah
dihargai sesuai dengan bidangnya dan diatas nilai jual objek pajak (NJOP) wilayah ,
mayoritas pemilik tanah tetap tidak setuju sehingga harus menempuh tahapan terakhir
dalam pembebasan lahan yaitu konsinyasi melalui PN.Menurut Perwakilan PPK, tidak
terpenuhinya permintaan pemilik tanah dikarenakan ketidakmampuan secara finansial
dan secara hukum, karena pembelian tanah dengan harga yang tidak sesuai appraisal
adalah melanggar hukum. Dengan konsinyasi melalui PN, uang pembebasan lahan
dititipkan dan pembayaran ganti rugi ditetapkan oleh PN. Pembangunan Jalan Tol adalah
kepentingan nasional yang harus diutamakan, akan tetapi masyarakat tidak boleh banyak
dirugikan soal harga tanah.

B. Analisis

Menurut Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah
dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Berdasarkan fakta yang terdapat dalam kasus posisi, dapat diinsyafi bahwasannya
Pengadaan Tanah untuk Proyek Jalan Tol mengalami hambatan karena tidak terjadinya
kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian. Ganti Kerugian penting
dalam penyelenggaraan pengadaan tanah karena sebagaimana diatur dalam UU No. 2
Tahun 2012 pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian
ganti kerugian yang adil.14 Dalam menetapkan ganti kerugian yang adil, pihak
penyelenggara Pengadaan Tanah mendasarkan pada hasil penilaian per bidang oleh
Penilai yang meliputi tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman,
benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.15
Meskipun undang-undang telah memberikan mekanisme penetapan ganti kerugian, dalam
pelaksanaannya tidak sedikit pihak pemilik tanah yang tidak menyetujui besaran nilai
ganti berdasarkan penilaian per bidang tanah.

14
Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, U​ U No. 2
Tahun 2 012, Ps. 9
15
​ Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, U​ U No. 2 Tahun
2012, Ps. 33
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B

Pemaknaan ganti kerugian yang layak dan adil dalam kenyataannya tidak semata-mata
dapat disandarkan pada tolok ukur yang terdapat dalam muatan peraturan
perundang-undangan. Karena pada kenyataannya pada kasus ini dan tidak sedikit
kasus-kasus lain masyarakat menolak karena merasa besaran ganti kerugian yang
ditetapkan pemerintah tidaklah ‘layak’ dan ‘adil’. Disisi lain, pemerintah atau pihak
penyelenggara pengadaan tanah mustahil untuk selalu memenuhi besaran ganti kerugian
yang diminta oleh pihak yang berhak karena Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum haruslah dilaksanakan secara berkelanjutan dan selaras dengan
kepentingan masyarakat dan negara. Apabila permintaan pihak yang berhak selalu
dikabulkan, secara logis akan mengakibatkan pembengkakan anggaran proyek yang
memiliki berimplikasi pada keuangan negara secara keseluruhan. Berdasarkan kenyataan
bahwa penetapan ganti kerugian bagi pihak yang berhak dan/atau pihak yang terdampak
oleh proyek pengadaan tanah masih dirasa belum layak dan adil menimbulkan pertanyaan
selanjutnya yaitu, dalam hal terjadinya suatu pencabutan hak akibat pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, adakah mekanisme penetapan ganti kerugian
yang layak dan adil, atau yang setidak-tidaknya memberikan standar minimal
perlindungan terhadap hak asasi dan milik pribadi warga negara?

Penilaian, musyawarah penetapan, dan pemberian ganti kerugian merupakan bagian dari
pelaksanaan pengadaan tanah. Dengan demikian untuk mengkaji kelayakan dan
kepatutan suatu ganti kerugian maka hendaklah melihat dan mengkaji prosedur
pelaksanaan pengadaan tanah secara menyeluruh. Secara garis besar, pengadaan tanah
untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Pada tahap perencanaan, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012,
setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
diwajibkan untuk membuat rencana pengadaan tanah yang didasarkan pada (a) Rencana
Tata Ruang Wilayah dan (b) Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan Rencana Kerja Pemerintah
Instansi yang bersangkutan.16Pada prinsipnya, tahapan persiapan dilaksanakan untuk
mengkaji perkiraan nilai tanah untuk memperkirakan nilai ganti kerugian objek
pengadaan tanah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak
Pengadaan Tanah.17 Tahapan selanjutnya adalah persiapan pengadaan tanah yang
meliputi pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana

16
Indonesia, ​Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, ​Perpres No. 71 Tahun 2012, LN No. 156 Tahun 2012, Ps. 3
17
Indonesia, ​Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, ​Perpres No. 71 Tahun 2012, LN No. 156 Tahun 2012, Ps. 6
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
pembangunan, dan Konsultasi Publik rencana pembangunan.18 Konsultasi Publik
merupakan sarana dimana pihak yang berhak dan terdampak oleh adanya pengadaan
tanah untuk kepentingan umum mengemukakan kepentingannya mengenai lokasi rencana
pembangunan.

Dalam hal konsultasi publik tidak menghasilkan kesepakatan, maka pihak yang berhak
dapat mengajukan keberatan, yang oleh instansi yang bersangkutan diteruskan kepada
gubernur setempat. Keberatan yang diajukan oleh pihak yang berhak kemudian dikaji
oleh tim yang ditunjuk oleh gubernur, untuk hasilnya selanjutnya menjadi dasar
pertimbangan gubernur dalam menerima atau menolak keberatan atas rencana lokasi
pembangunan. Terhadap penetapan gubernur mengenai rencana lokasi pembangunan
yang dianggap merugikan pihak yang berhak, dapat diajukan gugatan oleh pihak yang
berhak ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 hari sejak
dikeluarkannya penetapan lokasi.19 Menurut hemat kami, ketentuan diatas merupakan
pengejawantahan dari asas kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah yang mana
menjamin bahwa dalam proses pengadaan tidak ada unsur paksaan dan dilakukan dengan
musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Tahapan selanjutnya adalah
pelaksanaan pengadaan tanah yang meliputi (a) inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, (b) penilaian ganti kerugian, (c)
musyawarah penetapan ganti Kerugian, (d) pemberian ganti kerugian, dan (e) pelepasan
tanah instansi.

Dalam tahap pelaksanaan, inventarisasi dilakukan untuk menghimpun data fisik


penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, data pihak yang berhak, dan
objek pengadaan tanah. Inventarisasi dan identifikasi merupakan dasar penentuan Pihak
yang Berhak dalam Ganti Kerugian.20 Penetapan besar nilai ganti kerugian selanjutnya
dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa
penilai atau penilai publik. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan tanah, ruang atas
dan bawah tanah, bangunan tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
kerugian lain yang dapat dinilai pada sebidang tanah. Nilai Ganti Kerugian selanjutnya
menjadi dasar musyawarah untuk penetapan bentuk ganti kerugian baik berupa uang,
tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Dalam hal kasus pengadaan proyek jalan tol

18
​ Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, U​ U No. 2
Tahun 2012, Ps. 22 jo. 23
19
​Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ​UU No. 2
Tahun 2012, Ps. 22
20
​ Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ​UU No. 2 Tahun
2012, Ps. 30
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
Semarang-Solo yang melintasi Kabupaten Boyolali, para pihak yang berhak apabila tidak
menyetujui bentuk dan/atau besaran Ganti Kerugian dapat menempuh upaya keberatan
kepada Pengadilan Negeri setempat dalam jangka waktu 14 hari sejak ditandatanganinya
Berita Acara hasil musyawarah.21 Di sisi lain, dalam hal Pihak yang Berhak menolak
bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian hasil musyawarah, pemberian ganti kerugian
dapat dititipkan di pengadilan negeri setempat.

Berdasarkan muatan Pasal 43 UU No. 2 Tahun 2012, pemberian ganti kerugian melalui
penitipan pengadilan mengakibatkan kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang
berhak hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku, serta tanahnya menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 22 Pelaksanaan konsinyasi yang dilakukan oleh
pihak Kementerian PUPR c.q. Badan Pengatur Jalan Tol dalam kasus ini didasarkan pada
muatan Pasal 43. Meskipun secara hukum upaya yang ditempuh telah dimuat dalam
undang-undang sehingga telah memenuhi asas kepastian hukum, menurut hemat kami
pemberian ganti kerugian melalui penitipan pengadilan masih kurang memenuhi asas
keadilan dan kemanusaian. Pendapat demikian kami landaskan pada muatan Pasal 27
UUD 1945 dan Pasal 4 ayat (1) UUPA. Muatan pasal 43 UU No. 2 Tahun 2012 dan
pelaksanaan pemberian ganti kerugian melalui penitipan pengadilan sangatlah
inkonstitusional karena secara langsung maupun tidak langsung melanggar hak atas
penghidupan yang layak dari warga negara. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
konsepsi Hukum Tanah Nasional tidak mengharuskan penguasaan dan penggunaan tanah
secara kolektif, sehingga dalam hal adanya penguasaan dan penggunaan tanah secara
perseorangan haruslah dihargai dan dilindungi selama tanah tersebut memiliki fungsi
sosial.23

Pada prinsipnya, pasal 43 UU No. 2 Tahun 2012 dan pelaksanaan pemberian ganti rugi
melalui konsinyasi Pengadilan Negeri tidak hanya inkonstitusional tetapi juga tidak
sesuai dengan asas musyawarah yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia dalam
menyelesaikan persoalan. Sehingga dalam musyawarah pemberian ganti rugi hendaknya
sebisa mungkin dicapai kata sepakat agar ganti rugi bisa langsung diterima oleh Pihak
yang Berhak. 24 Menurut hemat kami, konsinyasi melalui Pengadilan Negeri dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir atau ​last resort​, sehingga tidak ada rakyat yang mesti
secara paksa diambil hak pribadinya untuk kepentingan umum.
21
​Indonesia, ​Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, ​Perpres No. 71 Tahun 2012, LN No. 156 Tahun 2012, Ps. 73 ayat (1)
22
23
​Prof. Boedi Harsono, ​Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi, dan Pelaksanaannya Jilid I, ​ cet. 5 (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2019), hlm. 233
24
Rahayu Subekti,”​Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum”,​ Yustisia Edisi 95, ​ (​ Surakarta: Mei-Agustus 2016),hlm. 90
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B

Upaya Perlindungan Asasi dan Milik Pribadi dalam Pencabutan Hak

Berbicara mengenai pencabutan hak-hak atas tanah, berdasarkan muatan Pasal 1 dan 2
UU No. 20 Tahun 1961dimungkinkan kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa
dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri
Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Apabila merujuk pada penjelasan Pasal
6 UUPA, dapat diinsyafi bahwasannya kepemilikan hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang tidaklah dapat dibenarkan apabila penggunaannya semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau sampai menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah haruslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya hingga
bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat
pula bagi masyarakat dan negara.25 Berdasarkan penjelasan demikian dapat diinsyafi
bahwasannya UUPA tidak hanya memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga
kepentingan perseorangan. Dengan demikian perlulah keseimbangan antara keduanya
guna mencapai kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.26

Legitimasi pemerintah untuk melakukan pencabutan hak-hak atas tanah merupakan


manifestasi dari adanya fungsi sosial dalam Pasal 6 UUPA, dimana sifat pribadi hak-hak
atas tanah sekaligus mengandung unsur kebersamaan atau kemasyarakatan. 27 Oleh
karena itu, pencabutan hak-hak atas tanah haruslah diatur secara tegas oleh peraturan
perundang-undangan, yang setidak-tidaknya memberikan jaminan perlindungan terhadap
kepemilikan pribadi dan dilakukan dengan syarat-syarat limitatif.Secara garis besar,
Prosedur Pencabutan Hak atas Tanah dalam UU No. 20 Tahun 1961 terdiri atas
permintaan untuk melakukan pencabutan hak oleh pihak yang berkepentingan yang
selanjutnya diikuti dengan pertimbangan oleh Kepala Daerah dan penaksiran ganti
kerugian mengenai tanah. Selanjutnya setelah tercapainya kesepakatan mengenai besaran
ganti kerugian, pembayaran ganti kerugian dan pencabutan hak ditetapkan dengan Surat
Keputusan Pencabutan Hak dari Presiden. Surat keputusan tersebut selanjutnya
diumumkan dalam Berita Negara dan turunannya disampaikan melalui surat kabar.
Dalam hal pihak yang berhak menolak ganti kerugian yang ditetapkan dalam Surat

25
​Indonesia, ​Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, U
​ U No. 5 Tahun 1960, LN. No. 104
Tahun 1960, TLN.2043, Penjelasan Ps. 6
26
Rahayu Subekti,”​Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum”,​ Yustisia Edisi 95, ​ (​ Surakarta: Mei-Agustus 2016),hlm. 90
27
​Prof. Boedi Harsono, ​Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya Jilid I, ​ cet. 5 (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2019), hlm. 233
Rafi Suryapratama Natapradja
1806219791
Hukum Agraria B
Keputusan tentang Pencabutan Hak karena jumlahnya dianggap kurang layak, dapat
meminta banding kepada Pengadilan Tinggi dalam yurisdiksi dimana tanah itu terletak. 28

Selanjutnya Pengadilan Tinggi memutus soal penetapan ganti kerugian dalam tingkat
pertama dan terakhir. Ditetapkannya Surat Keputusan tentang Pencabutan hak dan
pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang berhak mengakibatkan tanah yang haknya
dicabut menjadi tanah yang dikuasai negara, dan diberikan kepada yang berkepentingan
dengan suatu hak yang sesuai. Surat Keputusan tentang Pencabutan Hak dapat
dikesampingkan dalam hal penyelesaian persoalan mencapai persetujuan jual beli atau
tukar menukar. 29 Menurut hemat kami, muatan Pasal 10 UU No. 20 Tahun 1961
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak milik perseorangan karena mengutamakan
persetujuan dan sesuai dengan asas musyawarah dalam hukum tanah nasional. Sebagai
penutup, upaya yang ditempuh oleh penyelenggara Proyek Pembangunan Jalan Tol
Semarang Solo yang dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat c.q. Badan Pengatur Jalan Tol dalam Pengadaan Tanah adalah musyawarah untuk
mencapai mufakat. Hal ini semata-mata untuk melindungi dan menghargai hak milik
pribadi agar pengadaan tanah untuk kepentingan umum seimbang dengan kepentingan
masyarakat. Dengan demikian konsinyasi atau penitipan pemberian ganti rugi haruslah
ditempatkan sebagai upaya atau opsi terakhir dalam pengadaan tanah.

28
​ Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, U
​ U
No. 20 Tahun 1961, LN No. 288 Tahun 1961, TLN. No. 2324, Ps. 7 jo. Ps. 9
29
Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, U​ U
No. 20 Tahun 1961, LN No. 288 Tahun 1961, TLN. No. 2324, Ps. 10

Anda mungkin juga menyukai