Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jambu Biji (Psidium guajava L.)


Jambu biji merupakan tumbuhan perdu dengan tinggi 5-10 m, batang berkayu, kulit
batang licin, mengelupas, bercabang, dan berwarna cokelat. Merupakan daun tunggal,
berbentuk bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata berhadapan, petulangan
daun menyirip berwarna hijau kekuningan. Bunganya termasuk bunga tunggal, terletak di
ketiak daun, bertangkai, kelopak bunga berbentuk corong. Mahkota bunga berbentuk bulat
telur dengan panjang 1,5 cm, benang sari pipih berwarna putih atau putih kekuningan.
Berbuah buni, berbentuk bulat telur,dan bijinya kecil-kecil dan keras (Parimin, 2005).
Daun jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan daun tunggal yang berbentuk bulat
telur, ujungnya tumpul, pangkal membulat dan tepinya rata. Daun jambu biji (Psidium
guajava L.) memiliki panjang 6-14 cm dan lebar 3-6 cm. Daun ini berwarna hijau kekuningan
dan mempunyai pertualangan yang menyirip (Ide, 2011). Berdasarkan penggolongan dan tata
nama tumbuhan, tanaman jambu biji termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava Linn, (Parimin, 2005).


2.1.1 Sejarah Jambu Biji

Taman Buah Mekarsari merupakan salah satu tempat pelestarian keanekaragaman


buah-buahan yang dikumpulkan dari seluruh daerah di Indonesia. Salah satu koleksi
tanaman buah di Taman Buah Mekarsari adalah jambu biji. Jambu biji (Psidium guajava)
adalah salah satu tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa Inggris disebut Lambo guava.
Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke
negara Asia lainnya seperti Indonesia.

Jambu biji sering disebut juga Jambu Klutuk, Jambu Siki, atau Jambu Batu
(Kuntarsih, 2006). Tanaman jambu biji (Psidium guajava Linn) bukan merupakan
tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika Tengah oleh
Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke beberapa negara di Asia, Afrika,
Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887-1942. Seiring dengan
berjalannya waktu, jambu biji menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan,
Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Australia. Di Thailand dan Taiwan, jambu biji menjadi
tanaman yang dikomersialkan (Parimin, 2005).

2.1.2 Kandungan Daun Jambu Biji

Daun jambu biji mengandung metabolit sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat,
flavonoid, monoterpenoid, siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin (Kurniawati,
2006). Komponen utama dari daun jambu biji adalah tanin yang besarnya mencapai 9-
12% (Depkes, 1989). Menurut Masduki (1996) dalam Ajizah (2004) tanin bersifat
antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antimikroba tanin yakni reaksi
dengan membran sel, inaktivasi enzim, destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik.
Penelitian Claus dan Tyler, tanin mempunyai daya antiseptik yaitu mencegah kerusakan
yang disebabkan bakteri atau jamur (Chinthia dkk., 2014). Fenol dan polifenol bersifat
toksik terhadap mikroorganisme, hidroksilasi yang meningkat menyebabkan toksisitas
yang meningkat pula.
Mekanisme yang dianggap bertanggung jawab terhadap toksisitas fenolik pada
mikroorganisme adalah bahwa fenol berperan sebagai inhibitor enzim, merusak
membran sitoplasma yang menyebabkan bocornya metabolit penting, mengadakan
interaksi non-spesifik dengan protein dan secara total dapat mengendapkan protein sel
(Volk and Wheeler, 1988; Sarastani dkk, 2002). Menurut Subramani et al (2002)
flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara mengganggu fungsi dari
mikroorganisme, termasuk bakteri.

2.2 Periodontitis
Periodontitis adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan pendukung gigi
(periodontium). Pemeriksaan klinis pada penderita periodontitis terdapat peningkatan
kedalaman poket, perdarahan saat probing yang dilakukan dengan perlahan ditempat
aktifnya penyakit dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan gingiva yang
kemerahan dan bengkak dan biasanya tidak terdapat rasa sakit. Tanda klinis yang
membedakan periodontitis dengan gingivitis adalah adanya attachment loss (hilangnya
perlekatan). Kehilangan perlekatan ini seringkali dihubungkan dengan pembentukan poket
periodontal dan berkurangnya kepadatan serta ketinggian dari tulang alveolar dibawahnya
(Carranza dkk., 2002).
Faktor primer penyebab periodontitis diyakini adalah iritasi bakteri yang terakumulasi
pada plak. Beberapa faktor lainnya, baik lokal maupun sistemik merupakan faktor
pendukung terhadap akumulasi plak atau mengganggu respon gingiva terhadap plak. Faktor
tersebut dapat digolongkan menjadi faktor sekunder (Eley dan Manson, 2004).
Bakteri yang berperan dalam periodontitis terakumulasi dalam plak subgingiva. Bakteri
pada plak subgingiva didominasi oleh bakteri patogen gram negatif batang anaerob, yaitu
Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, Bacteroides
spp., dan Selenomonas spp. Selain itu, bakteri gram positif seperti Peptostreptococcus
micros dan Eubacterium juga berperan pada periodontitis kronis (Mane, dkk., 2009).
Bakteri yang dominan dalam patogenesis periodontitis adalah Porphyromonas gingivalis
(Mane, dkk., 2009).
Klasifikasi Periodontitis :

a. Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis adalah jenis periodontitis yang paling umum ditemui
di masyarakat. Periodontitis kronis paling sering ditemui pada orang dewasa,
tetapi juga dapat ditemui pada anak-anak. Periodontitis kronis berhubungan
dengan akumulasi plak dan kalkulus. Umumnya penyakit ini memiliki tipe
progresifitas yang lambat hingga sedang, tetapi dapat terjadi juga kerusakan
dengan periode cepat.Peningkatan progresifitas penyakit ini disebabkan oleh
adanya pengaruh faktor lokal, sistemik, dan lingkungan. Faktor lokal yang
berpengaruh seperti akumulasi plak, faktor sistemik seperti diabetes melitus dan
infeksi HIV, dan faktor lingkungan seperti kebiasaan merokok dan stress
(Newman, dkk., 2012).
Periodontitis kronis dapat terjadi secara lokal maupun general.
Periodontitis kronis lokal terjadi jika terdapat attachment loss dan kehilangan
tulang alveolar kurang dari 30%, dan periodontitis kronis general terjadi jika
terdapat attachment loss dan kehilangan tulang alveolar lebih dari 30%. Penyakit
ini juga dapat digolongkan keparahannya berdasarkan kedalaman clinical
attachment loss, yaitu ringan jika kedalamannya 1-2 mm, sedang jika
kedalamannya 3-4 mm, dan parah jika kedalamannya ≥5 mm (Newman, dkk.,
2012).

b. Periodontitis Agresif

Periodontitis Agresif merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung


gigi yang perkembangan penyakitnya cepat, ditandai dengan hilangnya perlekatan
jaringan ikat dan kerusakan tulang alveolar secara cepat pada lebih dari satu gigi
permanen.
Periodontitis agresif dibedakan dari periodontitis kronis terutama pada
kecepatan perkembangan penyakit meskipun individu sehat secara umum,
akumulasi plak dan kalkulus tidak banyak, dan riwayat keluarga ada juga yang
menderita penyakit periodontal agresif, hal ini kemudian mendukung adanya sifat
genetik pada periodontitis agresif. Periodontitis agresif dibedakan menjadi
periodontitis agresif lokal dan general. Periodontitis agresif lokal menunjukkan
adanya gejala hilangnya tulang alveolar pada daerah interproksimal, tidak lebih
dari dua gigi permanen yaitu molar pertama dan insisivus, sedangkan pada
periodontitis agresif general terjadi kehilangan pelekatan pada interproksimal
secara menyeluruh, paling sedikit tiga gigi permanen selain molar pertama dan
insisivus (Afrina dkk., 2016).

c. Periodontitis sebagai manifestasi penyakit sistemik

Periodontitis sebagai manifestasi penyakit sistemik adalah suatu kondisi jika


penyakit sistemik menjadi faktor predisposisi utama dari periodontitis, tetapi
faktor lokal seperti jumlah plak dan kalkulus di dalam mulut tidak terlihat jelas,
sedangkan jika kerusakan periodontal akibat dari faktor lokal dan diperburuk
dengan kondisi sistemik seperti diabetes mellitus atau infeksi HIV, diagnosisnya
menjadi periodontitis kronis dengan modifikasi kondisi sistemik (Newman,
dkk.,2012).

2.3 Obat Kumur

Obat kumur merupakan cairan yang dapat membantu memberikan kesegaran mulut dan
nafas serta menghilangkan dan membersihkan mulut dari organisme penyebab yang dianggap
sebagai pencetus kelainan atau penyakit di dalam mulut.

Obat kumur (gargarisma/gargle) menurut FI III adalah sediaan berupa larutan,


umumnya pekat yang harus diencerkan terlebih dahulu sebelum digunakan,
dimaksudkan untuk digunakan pencegahan atau pengobatan infeksi tenggorokan.
Menurut Backer (1990), obat kumur adalah larutan yang biasanya mengandung bahan
penyegar nafas, astrigen, demulsen, atau surfaktan atau antibakteri untuk
menyegarkan dan pembersihan saluran pernapasan yang pemakainnya dengan
berkumur.
2.3.1 Fungsi Obat Kumur

Menurut Cannel (dalam Hadi, 1986), obat kumur berfungsi sebagai; (a)
pengobatan atau profilaksis infeksi ringan permukaan rongga mulut, (b) bahan
penolong lokal pengobatan antibiotika dari kelainan rongga mulut berupa keradangan
oleh mikroorganisme, (c) profilaksis selama tindakan operasi di dalam rongga mulut,
(d) menghambat pembentukan plak, (e) menjaga kesehatan rongga mulut secara
umum, dan (f) sebagai penyegar rongga mulut.

2.3.2 Berdasarkan Penggunaanya

Menurut Saragin dan Gershon (1972), secara garis besar, obat kumur
dalam penggunaannya dibagi menjadi tiga:

1. Sebagai kosmetik, hanya membersihkan, menyegarkan, atau menghilangkan bau


mulut.
2. Sebagai terapeutik, untuk perawatan penyakit pada mukosa atau ginggiva,
pencegahan KKLLkaries gigi atau pengobatan infeksi saluran pernafasan
3. Sebagai kosmetik dan terapeutik

2.3.3 Manfaat Obat Kumur

Obat kumur bermanfaat untuk menghilangkan bau mulut (halitosis), menghambat


dan mengurangi pembentukan plak bakteri, mencegah gingivitis, sebagai bahan
profilaksis sesudah tindakan bedah, dan lain-lain. Pemakaian obat kumur dapat
memberikan efek samping berupa diskolorasi pada gigi dan lidah, deskuamasi mukosa
mulut, mukositis, erythema multiforme, hingga meningkatnya resiko kanker mulut.
Untuk menghindari efek samping akibat pemakaian obat kumur, maka konsumen
harus mematubi aturan pakai yang tercantum dalam setiap kemasan obat kumur
(Mansyur, 2008)

Penggunaan obat kumur sangat efektif karena kemampuannya menjangkau tempat


yang sulit dibersihkan dengan sikat gigi dan dapat merusak pembentukan plak.
Penggunaan bahan kimia untuk mencegah pembentukan plak gigi karena efek
antimikrobialnya, di antaranya adalah dengan bahan yang mengandung antibakteri
(Widodo dan lambri, 1980).

Cara yang paling dikenal untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut selama ini
adalah dengan menggosok gigi. Namun untuk beberapa kasus, terutama kasus
penyakit gigi dan gusi, penggunaan obat kumur sangat diperlukan. Menggosok gigi
saja kurang efektif untuk mengurangi akumulasi plak penyebab gangguan pada gigi
dan gusi. Berkumur dengan obat kumur dapat menghilangkan bakteri di sela-sela gigi
yang tidak terjangkau oleh sikat gigi. Mekanisme kerja obat kumur adalah
membersihkan rongga mulut secara mekanik dan kimiawi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Afrina, Chismirina, S & Magistra, R 2016, Konsentrasi Hambat dan Bunuh Minimum
Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter
actinomycetemcomitans secara In Vitro, Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta

2. Ajizah, A 2004, Sensitivitas Salmonella Typhimurium terhadap Ekstrak Daun Psidium


Guajava L, Bioscientiae
3. Backer, A, K, 1990, Handbook of Nonpresciption Drugs, 9th Ed, American Pharmaceutical,

Washington

4. Carranza, F, Newman, M, Takei, H & Klokkevold, P 2002, Carranza’s Clinical


Periodontology, 9th ed, Saunders Elsevier, Missouri

5. Departemen Kesehatan, 1989, Vademakum Bahan Obat Alami, Dirjen POM.

6. Desiyana, L & Kurniawati, M 2006, Formulasi Gel Antioksidan Ekstrak Daun jambu Biji
(Psidium guajava L) dengan Menggunakan Aquapec HV-505, Skripsi, Jurusan Farmasi
FMIPA Unpad, Bandung

7. Hadi, P 1986, Uji Banding Efek Bakteriologis terhadap bakteri-Bakteri Rongga Mulut

antara Obat Kumur Hexitidine dengan Obat Kumur Larutan Garam Hipertonik dengan

dan Tanpa Peradangan Ginggiva, Tesis, UNAIR, Surabaya

8. Kuntarsih, S 2012, Keragaan Komoditas Pisang Nasional, Diunduh dari


http://www.buah.hortikultura.deptan.go.id
9. Mane, A, Karmarkar, A & Bharadwaj, R 2009, Anerobic bacteria in subjects with chronic
periodontitis and in periodontal health., Journal of oral health and community dentistry
10. Manson, J & Eley, B 2004, Periodontics, 5th ed, Wright Elsevier, China
11. Mansyur, 2008, Kegunaan Dan Efek Samping Obat Kumur Dalam Rongga Mulut

ResearchGate.http://www.researchgate.net/publication/42349716_Kegunaan

_Dan_Efek_Samping_Obat_Kumur_Dalam_Rongga_Mulut. Diakses tanggal 5 Mei 2015

12. Masduki I, 1996, Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S.aureus

dan E. coli, Cermin Dunia Kedokteran

13. Newman, M, Takei, H & Carranza, F 2012, Carranza’s Clinical Periodontology, 11th ed,
Saunders Elsevier, Missouri

14. Pangkalan Ide, 2011, Health Secret of Guava, PT Elex Media Komputindo, Jakarta

15. Parimin, 2005, Jambu Biji, Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya, Penebar Swadaya,
Jakarta
16. Sagarin, E & S, D, Gershon, 1972, Cosmetics, Science and Technology. Edisi II, John Wiley

and Sons, Inc, New York

17. Subramani, S, Casimir, C, & Akoh, 2002, Flavonoids and antioxidant activity of Georgia
grown Vidalia onions. Journal of Agricultural and Food Chemistry.

18. Volk, Wesley, A, Wheeler & Margaret, F 1994, Mikrobiologi Dasar Jilid 2 Edisi Kelima,

Erlangga, Jakarta

19. Widodo, S & Lambri, S, E, 1980, Peranan Kumur-Kumur dalam Perawatan Periodontal.

Kumpulan Naskah Ceramah Ilmiah dan Kongres Nasional ke XIV PDGI, 140-144.

20. Yusriana, C, Budi, C, & Dewi, T 2014, Uji Infusa daun nangka (Artocarpus
heterophyllus) terhadap pertumbuhan bakteri (Staphylococcus aureus), Jurnal Permata
Indonesia , Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai