Tinjauan Pustaka Bab Ii
Tinjauan Pustaka Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Jambu biji sering disebut juga Jambu Klutuk, Jambu Siki, atau Jambu Batu
(Kuntarsih, 2006). Tanaman jambu biji (Psidium guajava Linn) bukan merupakan
tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika Tengah oleh
Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke beberapa negara di Asia, Afrika,
Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887-1942. Seiring dengan
berjalannya waktu, jambu biji menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan,
Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Australia. Di Thailand dan Taiwan, jambu biji menjadi
tanaman yang dikomersialkan (Parimin, 2005).
Daun jambu biji mengandung metabolit sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat,
flavonoid, monoterpenoid, siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin (Kurniawati,
2006). Komponen utama dari daun jambu biji adalah tanin yang besarnya mencapai 9-
12% (Depkes, 1989). Menurut Masduki (1996) dalam Ajizah (2004) tanin bersifat
antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antimikroba tanin yakni reaksi
dengan membran sel, inaktivasi enzim, destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik.
Penelitian Claus dan Tyler, tanin mempunyai daya antiseptik yaitu mencegah kerusakan
yang disebabkan bakteri atau jamur (Chinthia dkk., 2014). Fenol dan polifenol bersifat
toksik terhadap mikroorganisme, hidroksilasi yang meningkat menyebabkan toksisitas
yang meningkat pula.
Mekanisme yang dianggap bertanggung jawab terhadap toksisitas fenolik pada
mikroorganisme adalah bahwa fenol berperan sebagai inhibitor enzim, merusak
membran sitoplasma yang menyebabkan bocornya metabolit penting, mengadakan
interaksi non-spesifik dengan protein dan secara total dapat mengendapkan protein sel
(Volk and Wheeler, 1988; Sarastani dkk, 2002). Menurut Subramani et al (2002)
flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara mengganggu fungsi dari
mikroorganisme, termasuk bakteri.
2.2 Periodontitis
Periodontitis adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan pendukung gigi
(periodontium). Pemeriksaan klinis pada penderita periodontitis terdapat peningkatan
kedalaman poket, perdarahan saat probing yang dilakukan dengan perlahan ditempat
aktifnya penyakit dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan gingiva yang
kemerahan dan bengkak dan biasanya tidak terdapat rasa sakit. Tanda klinis yang
membedakan periodontitis dengan gingivitis adalah adanya attachment loss (hilangnya
perlekatan). Kehilangan perlekatan ini seringkali dihubungkan dengan pembentukan poket
periodontal dan berkurangnya kepadatan serta ketinggian dari tulang alveolar dibawahnya
(Carranza dkk., 2002).
Faktor primer penyebab periodontitis diyakini adalah iritasi bakteri yang terakumulasi
pada plak. Beberapa faktor lainnya, baik lokal maupun sistemik merupakan faktor
pendukung terhadap akumulasi plak atau mengganggu respon gingiva terhadap plak. Faktor
tersebut dapat digolongkan menjadi faktor sekunder (Eley dan Manson, 2004).
Bakteri yang berperan dalam periodontitis terakumulasi dalam plak subgingiva. Bakteri
pada plak subgingiva didominasi oleh bakteri patogen gram negatif batang anaerob, yaitu
Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, Bacteroides
spp., dan Selenomonas spp. Selain itu, bakteri gram positif seperti Peptostreptococcus
micros dan Eubacterium juga berperan pada periodontitis kronis (Mane, dkk., 2009).
Bakteri yang dominan dalam patogenesis periodontitis adalah Porphyromonas gingivalis
(Mane, dkk., 2009).
Klasifikasi Periodontitis :
a. Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis adalah jenis periodontitis yang paling umum ditemui
di masyarakat. Periodontitis kronis paling sering ditemui pada orang dewasa,
tetapi juga dapat ditemui pada anak-anak. Periodontitis kronis berhubungan
dengan akumulasi plak dan kalkulus. Umumnya penyakit ini memiliki tipe
progresifitas yang lambat hingga sedang, tetapi dapat terjadi juga kerusakan
dengan periode cepat.Peningkatan progresifitas penyakit ini disebabkan oleh
adanya pengaruh faktor lokal, sistemik, dan lingkungan. Faktor lokal yang
berpengaruh seperti akumulasi plak, faktor sistemik seperti diabetes melitus dan
infeksi HIV, dan faktor lingkungan seperti kebiasaan merokok dan stress
(Newman, dkk., 2012).
Periodontitis kronis dapat terjadi secara lokal maupun general.
Periodontitis kronis lokal terjadi jika terdapat attachment loss dan kehilangan
tulang alveolar kurang dari 30%, dan periodontitis kronis general terjadi jika
terdapat attachment loss dan kehilangan tulang alveolar lebih dari 30%. Penyakit
ini juga dapat digolongkan keparahannya berdasarkan kedalaman clinical
attachment loss, yaitu ringan jika kedalamannya 1-2 mm, sedang jika
kedalamannya 3-4 mm, dan parah jika kedalamannya ≥5 mm (Newman, dkk.,
2012).
b. Periodontitis Agresif
Obat kumur merupakan cairan yang dapat membantu memberikan kesegaran mulut dan
nafas serta menghilangkan dan membersihkan mulut dari organisme penyebab yang dianggap
sebagai pencetus kelainan atau penyakit di dalam mulut.
Menurut Cannel (dalam Hadi, 1986), obat kumur berfungsi sebagai; (a)
pengobatan atau profilaksis infeksi ringan permukaan rongga mulut, (b) bahan
penolong lokal pengobatan antibiotika dari kelainan rongga mulut berupa keradangan
oleh mikroorganisme, (c) profilaksis selama tindakan operasi di dalam rongga mulut,
(d) menghambat pembentukan plak, (e) menjaga kesehatan rongga mulut secara
umum, dan (f) sebagai penyegar rongga mulut.
Menurut Saragin dan Gershon (1972), secara garis besar, obat kumur
dalam penggunaannya dibagi menjadi tiga:
Cara yang paling dikenal untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut selama ini
adalah dengan menggosok gigi. Namun untuk beberapa kasus, terutama kasus
penyakit gigi dan gusi, penggunaan obat kumur sangat diperlukan. Menggosok gigi
saja kurang efektif untuk mengurangi akumulasi plak penyebab gangguan pada gigi
dan gusi. Berkumur dengan obat kumur dapat menghilangkan bakteri di sela-sela gigi
yang tidak terjangkau oleh sikat gigi. Mekanisme kerja obat kumur adalah
membersihkan rongga mulut secara mekanik dan kimiawi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Afrina, Chismirina, S & Magistra, R 2016, Konsentrasi Hambat dan Bunuh Minimum
Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter
actinomycetemcomitans secara In Vitro, Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta
Washington
6. Desiyana, L & Kurniawati, M 2006, Formulasi Gel Antioksidan Ekstrak Daun jambu Biji
(Psidium guajava L) dengan Menggunakan Aquapec HV-505, Skripsi, Jurusan Farmasi
FMIPA Unpad, Bandung
7. Hadi, P 1986, Uji Banding Efek Bakteriologis terhadap bakteri-Bakteri Rongga Mulut
antara Obat Kumur Hexitidine dengan Obat Kumur Larutan Garam Hipertonik dengan
ResearchGate.http://www.researchgate.net/publication/42349716_Kegunaan
12. Masduki I, 1996, Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S.aureus
13. Newman, M, Takei, H & Carranza, F 2012, Carranza’s Clinical Periodontology, 11th ed,
Saunders Elsevier, Missouri
14. Pangkalan Ide, 2011, Health Secret of Guava, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
15. Parimin, 2005, Jambu Biji, Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya, Penebar Swadaya,
Jakarta
16. Sagarin, E & S, D, Gershon, 1972, Cosmetics, Science and Technology. Edisi II, John Wiley
17. Subramani, S, Casimir, C, & Akoh, 2002, Flavonoids and antioxidant activity of Georgia
grown Vidalia onions. Journal of Agricultural and Food Chemistry.
18. Volk, Wesley, A, Wheeler & Margaret, F 1994, Mikrobiologi Dasar Jilid 2 Edisi Kelima,
Erlangga, Jakarta
19. Widodo, S & Lambri, S, E, 1980, Peranan Kumur-Kumur dalam Perawatan Periodontal.
Kumpulan Naskah Ceramah Ilmiah dan Kongres Nasional ke XIV PDGI, 140-144.
20. Yusriana, C, Budi, C, & Dewi, T 2014, Uji Infusa daun nangka (Artocarpus
heterophyllus) terhadap pertumbuhan bakteri (Staphylococcus aureus), Jurnal Permata
Indonesia , Yogyakarta