Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN KORUPSI

Korupsi merupakan perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang
mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. Atau tindakan penyelewengan atau penggelapan
uang baik itu uang Negara atau uang lainnya yang dilakukan untuk keuntungan pribadi atau
orang lain.

TIGA PILAR UTAMA PENGENDALIAN KORUPSI

1. INTEGRITAS
Secara etimologis, kata korupsi (corruption) memiliki padanan kata
Latin “corruptus” ataupun  “corrumpere” yang berarti merusak, menghancurkan,
membusuk, dan hancur berkeping (Skeat 1888, 136; Klein 1971, 169). Makna ini
bersesuaian dengan penjelasan Aristotle (2001) dalam karyanya De Generatione et
Corruptione bahwa korupsi (corruption), sebagai lawan dari pembentukan/
pembangkitan (generation), mengacu pada sesuatu yang berhenti menjadi, yang
mengalami kemerosotan, atau yang binasa. Pada seorang manusia, korupsi berarti
kemerosotan pada kecenderungan berperilaku dari apa yang seharusnya menjadi perilaku
manusia. Sedangkan pada konteks pemerintahan suatu Negara, korupsi berarti
kemerosotan yang sifatnya sistemik terhadap praktik-praktik dan komitmen-komitmen
yang membentuk sistem pemerintahan yang sehat (Buchanan 2004). Makna korupsi
seperti itu lebih menekankan gambaran korupsi sebagai fenomena sistemik dari sudut
pandang sesuatu yang terkorupsi. Masalahnya, gambaran korupsi sebagai fenomena
sistemik cenderung melebih-lebihkan peran kebaikan bersama (common good) dan
cenderung mengabaikan adanya kemungkinan bahwa tindakan tunggal (non-sistemik)
yang koruptif bisa sama destruktifnya dengan korupsi sistemik. Alternatif pemaknaan
lain terhadap korupsi adalah dari sudut pandang seseorang atau sekelompok orang yang
mengorupsi. Gambaran korupsi yang disorot berupa tindakan tunggal yang secara
rasional bisa dikategorikan sebagai korupsi. Euben (1989) menggambarkan korupsi
sebagai tindakan tunggal seperti itu dengan melandaskan pada asumsi bahwa setiap orang
merupakan individu egois yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Asumsi
Euben merujuk pada kodrat manusia egoistik yang diilustrasikan Hobbes (1651) dalam
karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya bagi manusia lainnya namun setiap
manusia dapat mengamankan keberadaan dan memenuhi kepentingan dirinya melalui
kesepakatan bersama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan Negara. Jadi menurut
Euben (1989), pemegang kekuasaan publik (Negara) yang mendapatkan legitimasi dari
seluruh individu (hasil kesepakatan bersama) diwajibkan menyelenggarakan
kekuasaannya sesuai dengan standar yang ditetapkan demi kepentingan seluruh individu
(kepentingan publik). Korupsi kemudian dimaknai sebagai penyelenggaraan kekuasaan
yang tidak sesuai dengan standar. Hal ini tercermin pada definisi yang ditetapkan oleh
World Bank (1997) bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan yang sifatnya privat (the abuse of public power for private gain). Masalah
yang timbul dari gambaran korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik adalah
pengabaian adanya fakta bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya privat bisa
lebih destruktif dibandingkan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik. Sebagai contoh,
misalnya, skandal korporasi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan privat oleh
beberapa pemimpin bisnis di bursa saham Amerika awal abad ke-21 menimbulkan
dampak krisis ekonomi yang terbukti lebih menyengsarakan masyarakat luas daripada
dampak skandal korupsi pejabat publik suatu Negara. Oleh karena itu, jika korupsi mau
dipahami secara lebih komprehensif daripada korupsi yang hanya terdefinisikan secara
legal formal sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik, maka korupsi harus
dilihat secara paradigmatik sebagai penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang
kehidupan. Seorang petinju yang mau menerima uang suap untuk mengalah, dokter yang
menolak memberi kesaksian atas malpraktik koleganya, atlet yang menggunakan doping
agar menang dalam perlombaan olahraga, dosen yang menjiplak tulisan orang lain,
ataupun bahkan seseorang yang membohongi teman hidupnya untuk kepuasan nafsunya
sendiri, kesemuanya itu merupakan kasus yang secara paradigmatik dapat dimasukkan ke
dalam kategori korupsi (Miller 2013). Pada kasus-kasus tersebut, orang memiliki
kekuasaan berdasarkan kepercayaan komunitas terhadap kemampuan partikular yang
dimilikinya untuk menjalankan peran demi kebaikan bersama (common good). Ketika
kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu (partikular) dengan
memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih digunakan untuk kebaikan bersama, maka
kasus korupsi secara paradigmatik telah terjadi. Jadi jelas, korupsi secara paradigmatik
memanipulasi kebaikan bersama (common good) untuk kepentingan partikular.
Sementara itu, dari penjelasan tentang integritas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
integritas merupakan keutamaan/ kebajikan yang mendorong individu yang memilikinya
untuk melakukan upaya partisipatif terbaik mewujudkan kehidupan bersama yang
baik (the good life) melalui pengelolaan berfungsinya semua partikularitas yang individu
tersebut miliki atau pengaruhi keterwujudannya. Individu yang dimaksud di sini bisa
berupa seorang manusia atau suatu institusi/ organisasi yang secara fungsional
dikendalikan atau dipengaruhi sekelompok manusia di dalamnya. Pada seorang manusia,
integritas merupakan suatu karakter yang baik, sedangkan pada suatu institusi/ organisasi,
integritas merupakan suatu budaya organisasi yang baik. Baik pada seorang manusia
maupun pada suatu institusi/ organisasi, integritas menimbulkan daya dorong untuk
mengarahkan berfungsinya partikularitas demi kebaikan umum yang sebanyak mungkin
manusia bisa ikut merasakan (common good). Dengan demikian, ekspresi integritas
secara langsung berlawanan dengan korupsi. Sementara tindakan yang berintegritas
mengarahkan berfungsinya partikularitas demi kebaikan bersama, korupsi mengarahkan
apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama demi kepentingan partikular. Sementara
tindakan yang berintegritas mempromosikan atau memperbesar kemungkinan
terwujudnya komunitas ideal, korupsi merusak atau memperkecil kemungkinan
terwujudnya komunitas ideal. Karena arahnya secara substansial persis berlawanan,
integritas tidak hanya secara empiris mencegah korupsi melainkan secara logis niscaya
menangkal korupsi. Dengan kesimpulan ini tidak berarti bahwa individu yang memiliki
integritas cenderung mengabaikan pentingnya partikularitas. Terkait dengan pentingnya
partikularitas, tiga catatan berikut barangkali bisa melengkapi gambaran tentang
integritas dan individu yang memiliki integritas. Pertama, bagi individu yang
berintegritas, vitalitas atau daya hidup partikularitas sangat penting karena hanya dengan
partikularitas yang daya hidupnya kuat, kebaikan bersama dalam komunitas ideal akan
semakin bisa diwujudkan. Pada kasus tertentu, upaya kreatif individu mempertahankan
daya hidup partikularitas dengan mengorbankan perwujudan kebaikan bersama untuk
sementara waktu bisa jadi merupakan bagian dari rencana tindakan yang paling tepat,
karena dengan melakukannya individu tersebut pada akhirnya bisa memberikan
kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan bersama. Seorang eksekutif perusahaan,
misalnya, terpaksa harus mengorbankan nilai-nilai sosial tertentu untuk mempertahankan
keberadaan perusahaannya di komunitas pasar yang korup, sementara dia
memproyeksikan bagaimana pada akhirnya perusahaannya dapat memberikan kontribusi
yang signifikan bagi perbaikan moralitas komunitas pasar dan bagi perwujudan kebaikan
bersama dalam komunitas ideal umat manusia. Ada kesan “urgensi” pada upaya
mempertahankan daya hidup partikularitas, tetapi daya hidup partikularitas yang
dipertahankan itu tidak boleh menjadi tujuan akhir. Setiap segmen proses menjadi bagian
dari upaya besar yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya kebaikan bersama dalam
komunitas ideal umat manusia. Kedua, berhubung setiap individu memiliki partikularitas
yang berbeda-beda sementara tujuan akhirnya satu yaitu terwujudnya kebaikan bersama,
rencana upaya partisipatif individu yang berintegritas harus mempertimbangkan
persaingannya dengan rencana upaya partisipatif yang ditawarkan individu-individu
lainnya sedemikian sehingga upaya partisipatif terbaik yang diputuskan dan
dijalankannya dapat secara masuk akal dipertanggungjawabkan. Upaya partisipatif
terbaik yang diputuskannya, relatif terhadap partikularitas yang dimilikinya, dapat
diterima akal sehat individu lain karena siapapun yang memiliki partikularitas yang sama
cenderung akan mengambil keputusan yang sama. Individu yang berintegritas selalu siap
mempertanggungjawabkan bahwa upaya partisipatif yang dipilihnya akan memberikan
kontribusi terbaik bagi perwujudan kebaikan bersama, meskipun upaya partisipatif yang
dipilihnya itu justru dengan memberikan kesempatan individu lain yang lebih ahli
(memiliki partikularitas yang lebih baik) untuk mengambil peran yang lebih besar.
Individu yang berintegritas tidak akan berlindung di balik minimnya partikularitas yang
dimilikinya untuk bermalas-malasan dari peluang mewujudkan kebaikan bersama dan,
sebaliknya, tidak akan menggunakan alasan perwujudan kebaikan bersama untuk
mengambil sebanyak mungkin peran meskipun partikularitas yang dimilikinya tidak
memadai. Individu yang berintegritas selalu meningkatkan mutu partikularitas yang
dimilikinya, misalnya mengasah kompetensi dan kemampuan organisasi tempatnya
berkiprah, demi peningkatan upaya partisipatif mewujudkan kebaikan bersama. Ketiga,
organisasi (komunitas) yang berintegritas tidak hanya melakukan upaya partisipatif
mewujudkan kebaikan bersama tetapi juga memastikan bahwa upaya itu merupakan hasil
kerjasama dari anggota-anggotanya dalam memberikan kontribusi terbaik bagi
terwujudnya kebaikan bersama. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ketentuan
bahwa individu yang berintegritas (manusia atau organisasi dengan manusia di dalamnya)
tidak akan memudarkan identitas elemen-elemennya. Jika elemen-elemennya berupa
agen moral (manusia atau organisasi dengan manusia di dalamnya), maka kemandirian
individual (autonomy) dari agen-agen moral harus dijaga sedemikian sehingga mereka
masing-masing bisa mengekspresikan identitas, partikularitas yang dimilikinya, bagi
terwujudnya kebaikan bersama. Integritas organisasi (komunitas) merupakan hasil upaya
anggota-anggota yang berintegritas, merupakan cerminan anggota-anggota yang
berintegritas. Organisasi yang berintegritas hanya akan terwujud bersamaan dengan
terwujudnya anggota-anggota yang berintegritas (co-realization or co-actualization).
Budaya integritas organisasi mendorong terbentuknya karakter integritas anggota-
anggotanya. Semakin kuat karakter integritas anggota-anggotanya, semakin kuat identitas
anggota-anggotanya yang diekspresikan demi kebaikan bersama, semakin kuat kualitas
dan daya hidup partikularitas anggota-anggotanya yang diekspresikan demi kebaikan
bersama, semakin kuat pula budaya integritas organisasi. Dengan demikian, baik
pentingnya kebaikan bersama (common good) maupun pentingnya partikularitas individu,
tidak saling merendahkan dan direndahkan. Jadi bagi individu yang berintegritas, urgensi
daya-hidup partikularitas yang dimilikinya perlu dipertahankan (catatan pertama),
kualitas partikularitas yang dimilikinya harus terus-menerus ditingkatkan (catatan kedua),
dan pentingnya partikularitas yang dimilikinya tidak akan direndahkan atas dasar alasan
kebaikan bersama (catatan ketiga). Makna integritas tidak menekankan polarisasi
“partikularitas” versus “kebaikan bersama (common good)” dengan memosisikan satu
lebih penting daripada yang lain, melainkan menekankan arah fungsional dari
partikularitas ke kebaikan bersama (common good). Penekanan pada arah fungsional ini
menunjukkan bahwa ekspresi integritas secara substansial berlawanan dengan korupsi,
karena korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama (common
good) ke arah kepentingan partikular. Jelas sebagai karakter yang baik atau budaya
organisasi yang baik, integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

2. AKUNTABILITAS
Korupsi, menurut Klitgaard merupakan fungsi dari monopoli dan diskresi tanpa
akuntabilitas (C = M + D – A). Sedangkan monopoli dan diskresi adalah cerminan dari
kekuasaan. Jadi korupsi, bisa timbul karena adanya kekuasaan tanpa disertai
akuntabilitas.Terdapat banyak definisi akuntabilitas, salah satunya Dubnick dan Romzek
(1991) memandang akuntabilitas lebih mengacu kepada answerability kepada seseorang
yang memiliki otoritas, terkait kinerja yang diharapkan oleh pemilik otoritas yang
memiliki sumber kontrol yang sah. Deklarasi Tokyo menetapkan pengertian akuntabilitas
sebagai kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk
mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya, untuk dapat menjawab
hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Dengan
demikian akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai tanggung gugat atas pelaksanaan
sebuah amanah sehingga sebuah amanah yang akuntabel dapat menjawab atau
memuaskan semua pertanyaan relevan dan material dari para prinsipalnya atau
para stakeholders-nya. Karena itu, akuntabilitas memiliki dimensi transparansi
sebagaimana dikemukakan Koppel (2005), yaitu transparansi, liabilitas, kontrol,
responsibilitas, dan responsivitas, yang sangat diperlukan bagi efektivitas pengambilan
keputusan prinsipal. Untuk memahami dimensi transparansi akuntabilitas, kita harus
memahami hubungan keagenan yang terjadi antara prinsipal dengan agen sebagai
pemegang amanah. Agen adalah pemilik informasi yang wajib memberikan informasi
kepada pencari informasi, yaitu prinsipalnya. Sebagai pemilik informasi, agen memiliki
informasi yang lebih lengkap daripada prinsipalnya sehingga moral hazard dan adverse
selection merupakan konsekuensi dalam hubungan ini, terutama jika terdapat
kesenjangan informasi yang cukup lebar. Dalam kondisi tidak transparan, rasionalitas
agen cenderung lebih kuat karena ekspektasi agen untuk memperoleh insentif pribadi
lebih besar dari pada ekspektasi agen untuk dikenakan disinsentif. Dengan demikian,
konsekuensi logis monopoli dan diskresi adalah kecurangan, termasuk korupsi.
Sebaliknya, dalam transparansi, kepemilikan informasi yang sama dapat menghindarkan
dari korupsi karena rasionalitas agen tidak diberi peluang untuk mendapatkan insentif
lebih besar. Teori pasar lemon George Arkeloff (1970) dapat menjelaskan dengan baik
tentang hal tersebut. Agar tidak terjadi korupsi, prinsipal harus memiliki suatu cara untuk
mencari informasi tentang seluruh aktivitas agen agar moral hazard dan adverse
selection dapat ditekan. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana prinsipal (masyarakat)
dapat mengurangi kesenjangan informasi dengan agen (legislatif, yudikatif, dan
eksekutif) sampai pada tingkat yang memuaskan atau sampai pada tingkat yang dapat
mencegah korupsi?

PENERAPAN AKUNTABILITAS INDONESIA


Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus memahami penerapan akuntabilitas di
Indonesia dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut. Apakah akuntabilitas di
Indonesia sudah memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat? Apa bentuk
informasi tersebut dan melalui jalur apakah informasi tersebut diterima masyarakat?
Apakah masyarakat bisa membuat keputusan yang cukup untuk memberikan disinsentif
kepada pemerintah jika moral hazard dan adverse selection dilakukan dan apa
bentuknya?
Secara umum akuntabilitas model Stone, seperti kontrol dari parlemen, penerapan
manajemen yang baik, keberadaan lembaga pengadilan, penempatan perwakilan, dan
adanya mekanisme pasar, sudah banyak diterapkan di Indonesia.
Secara khusus, penerapan akuntabilitas di Indonesia tak lepas dari TAP MPR RI No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara yang Bersih dan Bebas KKN yang diturunkan
menjadi UU No. 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
KKN, di mana undang-undang tersebut mengakomodasi asas akuntabilitas, asas
keterbukaan, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara. UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, juga mengatur tentang kewajiban instansi
pemerintah untuk menyusun rencana kerja dan anggaran yang didasarkan pada prestasi
kerja yang akan dicapai. Terdapat juga UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik yang antara lain mengatur informasi yang boleh dibuka
untuk publik dan yang tidak boleh dibuka untuk publik, serta UU No. 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang antara lain mengatur
hak-hak DPR untuk mengawasi eksekutif. Kita juga memiliki UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers yang mengatur kemerdekaan pers. Selain itu, penerapan akuntabilitas untuk
sektor publik di Indonesia juga tidak terlepas dari Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2014
tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, di mana setiap intansi
pemerintah wajib membuat Laporan Kinerja yang dimulai dari perumusan Rencana
Stratejik sampai pada pengukuran dan evaluasi kinerja. Hasil dari penerapan akuntabilitas
tersebut, pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang memuaskan
masyarakat dan berkualitas yang bersih dan bebas dari KKN. Tata cara untuk
memperoleh informasi diatur dalam PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam PP tersebut
diatur peran serta masyarakat dalam penyelenggara negara untuk mewujudkan
penyelenggara negara yang bersih, dilaksanakan dalam bentuk: hak mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara; hak untuk
memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan
penyelenggara negara; dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal
melaksanakan haknya, diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi publik dalam batas-batas tertentu dijamin oleh UU, namun
umumnya masyarakat memperoleh informasi dari pers yang diterima secara pasif sesuai
pilihan redaktur setelah sebuah peristiwa akuntabilitas berlalu. Selain dari pers,
masyarakat secara pasif dan secara terbatas dapat memperoleh informasi akuntabilitas
publik melalui laporan audit yang tercermin dari opini yang diberikan atas laporan yang
diterbitkan instansi pemerintah. Masyarakat juga secara tidak langsung bisa memperoleh
laporan akuntabilitas pemerintah dari lembaga penyandang dana dan dari lembaga-
lembaga internasional yang mensyaratkan hal tersebut. Selain itu, secara aktif masyarakat
dapat juga mencari informasi akuntabilitas publik dengan menghadiri Rapat Dengar
Pendapat antara DPR dengan pemerintah. Secara aktif, masyarakat juga bisa meminta
informasi, baik secara langsung kepada sebuah instansi pemerintah atau secara tidak
langsung melalui komisi pemeriksa. Walaupun masyarakat Indonesia dijamin haknya
untuk mendapatkan informasi publik, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan
sosial, namun umumnya masyarakat Indonesia bukan merupakan pihak yang
berkompeten dalam bidang informasi yang seharusnya mereka dapatkan. Umumnya
masyarakat bersikap pasif dan mengandalkan pihak lain yang dinilai independen dan
kompeten seperti komisi pemeriksa, pers, dan lembaga internasional. Kelompok-
kelompok masyarakat khusus yang memiliki kompetensi seperti LSM juga tidak mudah
untuk mengakses informasi mengenai pertanggungjawaban setiap rupiah keuangan
negara beserta pertimbangan kebijakannya. Misalnya korupsi sering terjadi karena faktor
harga sehingga informasi tentang harga dan volume beserta harga pembandingnya sangat
diperlukan oleh masyarakat sebagai prinsipal pemerintah. Keputusan-keputusan
pemerintah atas varian yang signifikan perlu dilaporkan kepada masyarakat. Informasi
demikian tidak mengalir kepada masyarakat umum maupun kelompok masyarakat
khusus selama proses akuntabilitas berlangsung. Ditambah lagi UU mengenai
Keterbukaan Informasi Publik justru bisa berubah menjadi “UU Ketertutupan Informasi
Publik” karena adanya keharusan pertimbangan dari Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) sebelum pemerintah memberikan informasi kepada publik. Dengan
akuntabilitas seperti dijelaskan, akuntabilitas yang dijalankan pemerintah Indonesia
tentunya tidak dapat menciptakan keseimbangan informasi dengan masyarakat. Dengan
demikian, kontrol efektif masyarakat kepada pemerintah melalui kepemilikan informasi
yang sama, tampaknya masih jauh dari harapan sehingga saran masyarakat kepada
pemerintah seperti diatur dalam UU juga menjadi tidak efektif. Seharusnya saran ini bisa
menjadi cara bagi masyarakat untuk memberi disinsentif yang lebih besar bagi keputusan
pemerintah yang tidak sesuai dengan ketentuan.

3. TRANSPARANSI
Koruptor telah menjadi biang huru hara baik sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum,
kesehatan, pendidikan maupun bidang lainnya. Koruptor telah bertindak amoral dan
menjadi manusia yang ‘setengah beragama’, percaya kepada Tuhan Yang Maha Agung,
tapi seperti tidak percaya. Ketika akan melakukan korupsi, koruptor lupa bahwa ternyata
mereka mempunyai agama, dan akan dihisab semua perbuatannya di hari akhir.
Andai saja mereka ingat bahwa mereka beragama tentu mempunyai naluri takut dosa dan
urung melakukan korupsi, karena jika melakukan korupsi berarti telah mengkhianati dan
menyalahi sumpah jabatan yang mereka ucapkan ketika ditempatkan di posisi tertentu
untuk mengelola negara. Memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya sulit untuk
dilakukan, karena makin kencang diberantas makin banyak lagi lahir ‘bibit-bibit’
koruptor baru. Walaupun penjara mengancam, tapi tidak menyurutkan ‘nafsu serakah’
mereka. Transparansi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal ‘tembus
cahaya, nyata, jelas’. Jika pengertian tersebut dikaitkan dengan aktivitas pengelola
pemerintahan dan negara, maka makna tersebut bisa diperluas sebagai suatu tindakan dari
semua pengelola pemerintahan dan negara baik presiden, menteri, kepala daerah,
walikota, pejabat publik, pegawai negeri, pimpinan perusahaan negara, penegak hukum,
anggota dewan dan lainnya, untuk melakukan segala aktivitasnya dengan nyata, jelas dan
tanpa ada yang disembunyikan. Semua informasi yang terkait dengan pengelolaan negara
dan pemerintahan harus berani dipublikasi secara transparan, kecuali ada rahasia negara
yang memang tidak boleh diketahui oleh masyarakat, karena dapat menyebabkan
kelemahan atau akan mengancam negara. Prinsip transparansi sangat ditakuti para
koruptor, karena jika benar-benar diimplementasikan, maka bagaimana mereka akan
melakukan korupsi, jika harus mempublikasikan dengan transparan gaji mereka. Jika
harus ada detail penawaran dan realisasi proyek yang harus dipublikasikan. Jika pendirian
suatu bangunan diawasi dengan transparan. Jika masyarakat mengetahui jumlah besaran
pajak yang dibayarkan ke negara dan penggunaannya dipublikasikan dengan transparan,
pelayanan yang sudah berstandar dengan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi, informasi besaran pendapatan negara atau daerah dipublikasikan secara
transparan dan lain sebagainya. Namun, banyak tantangan yang dihadapi siapa pun dalam
memberantas korupsi, karena terkadang ada lembaga yang seolah-olah ‘memelihara’
tindakan korupsi. Contoh kecil, ketika layanan diberikan adanya pemungutan uang yang
semestinya tidak perlu dilakukan oknum petugas, dan ketika pengembalian uang sisa
yang sering dibulatkan ke atas oleh oknum petugas, hal ini digolongkan sebagai korupsi
kecil, namun bisa menjadi budaya dan sulit dihilangkan. Menurut Dieter
Zinnbauer(2012), setidaknya ada tiga penyebab tantangan tersebut terjadi. Pertama,
tindakan kolektif, sebagai contoh terkadang terjadi aksi suap atau sogok kepada pimpinan
dalam hal penempatan atau promosi dalam jabatan tertentu, sehingga mengabaikan aturan
dan nilai profesionalisme. Saat pengesahan APBD ada upaya dari kepala daerah untuk
menyuap DPRD agar mengesahkannya. Hal ini dilakukan tentunya atas dasar tahu sama
tahu dan dilakukan secara kolektif, saling sembunyi ‘tangan dan suara’ yang akhirnya
menjadi masalah besar. Ini semua terjadi karena tidak adanya transparansi. Kedua,
integritas yang berkelanjutan tidak hanya dengan imbalan dan hukuman, namun lebih
dari itu, adanya perubahan nilai-nilai dan norma justru tidak terjadi. Cukup sulit
mengubah orang-orang kembali ke nilai-nilai kejujuran. . Ini membutuhkan waktu yang
cukup panjang dan melelahkan dengan hasil belum bisa dipastikan. Ketiga, sistem korup
sering dibangun atas kesamaan kepentingan dan mempunyai jaringan perlindungan yang
kuat baik dalam kroni administrasi maupun hirarki politik. Keadaan ini membuat
reformasi bagi anti korupsi di berbagai bidang terhambat, karena para reformis dikepung
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan bersama dan bersama-sama mereka akan
berusaha mencari celah mencekal, mengintervensi, menjegal dan lain sebagainya agar
kepentingan mereka tetap tidak terusik. Kondisi ini memberi keuntungan dan rasa
nyaman bagi koruptor di ranah masing-masing dan mereka akan berusaha mencari cara
dan celah agar tetap pada kondisi nyaman. Transparansi menjadi kunci utama dalam
menekan laju korupsi. Transparansi di dunia internasional telah dianggap sebagai suatu
yang penting dan sangat esensial untuk diterapkan, terutama terkait transparansi dan hak
akses publik terhadap informasi milik pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya
penting dalam partisipasi demokrasi, kepercayaan terhadap pemerintah, pencegahan
korupsi, menginformasikan pengambilan keputusan, akurasi informasi pemerintah dan
penyediaan informasi yang lengkap kepada publik, perusahaan dan wartawan. (John C.
Bertot, dkk: 2010). Pertanyaannya, bagaimana pemerintah dapat melakukan transparansi
kepada publik terkait dengan semua informasi yang harus diketahui publik? Piotrowski
(2007) menegaskan, bahwa tranparansi pemerintah umumnya bisa terjadi melalui,
sosialisasi proaktif dari pemerintah, merilis bahan-bahan atau substansi material yang
dibutuhkan pemerintah, agar masyarakat mengetahui bahwa apa yang harus mereka bantu
untuk pemerintah, melakukan pertemuan dengan publik dan membidik kebocoran melalui
whist leblowers. Dengan transparansi korupsi akan dapat dicegah atau diminimalkan

CONTOH KASUS DI INDONESIA DAN PENANGANAN KASUSNYA

 KASUS KORUPSI GUBERNUR SULTRA NUR ALAM MENJADI 'TEROBOSAN'


KPK BERANTAS KORUPSI SUMBER DAYA ALAM

Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam divonis 12 tahun penjara untuk kasus
korupsi terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam persidangan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu (28/03).Vonis ini lebih rendah dari tuntutan
jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 18 tahun. Namun, dalam tuntutan
terhadap Nur Alam, pertama kalinya KPK menggunakan kerusakan lingkungan untuk
menilai kerugian keuangan negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai terobosan
ini menunjukkan jaksa KPK cukup progresif dalam memperhitungkan kerugian negara
akibat korupsi di sektor sumber daya alam. "Dia menggunakan penghitungan kerugian
negara bukan hanya dari kerugian materiil saja tapi dilihat juga kerugian lingkungannya,
bahkan sampai biaya pemulihannya," ujar Koordinator Divisi Kampanye ICW Siti
Juliantari kepada BBC Indonesia. "Ini adalah satu hal yang sudah baik dan kami
mendorong harusnya bisa diterapkan ke kasus-kasus korupsi sumber daya alam lainnya.
Jangan hanya di kasus Nur Alam," imbuhnya. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi
Tambang (JATAM) Merah Johansyah menyatakan terobosan KPK ini bisa menjadi
yurisprudensi dan bisa digunakan untuk menyasar kasus korupsi serupa yang
menyebabkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup. Nilai kerugian negara yang
ditimbulkan dari kasus Nur Alam sangat fantastis, mencapai Rp4,3 triliun. Nilai itu
hampir dua kali lipat nilai kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP
elektronik, yang diklaim mencapai Rp2,3 triliun. Namun, angka tersebut tidak
sepenuhnya atas hasil penghitungan auditor negara. Sebab, salah satu yang dihitung
adalah kerugian akibat kerusakan lingkungan. Tidak cuma itu, politikus Partai Amanat
Nasional itu juga dituntut membayar uang pengganti Rp2,7 miliar dari keuntungan yang
diperoleh dari izin pertambangan yang diberikan Nur Alam kepada pengusaha.

Lebih ringan dari tuntutan

Imbas dari kasus korupsi yang menjeratnya, Ketua Majelis Hakim Diah Siti Basariah
mengganjar Nur Alam vonis pidana selama 12 tahun. "Menjatuhkan pidana oleh karena
itu kepada terdakwa Nur Alam dengan pidana penjara selama 12 tahun dan pidana denda
sebesar Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama enam bulan," ujar Diah seperti dilaporkan wartawan
BBC Indonesia Abraham Utama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada
Rabu (23/03) malam. Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan
kepada terdakwa Nur Alam untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar dan
mencabut hak politiknya selama lima tahun. Nur Alam langsung mengajukan banding
atas vonis yang diterimanya. Sebelumnya, jaksa menilai, perbuatan Nur Alam telah
mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis pada lokasi tambang di Pulau
Kabena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah. Dari hasil penelitian yang
dilakukan ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup, Basuki Wasis, terdapat tiga jenis
penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian akibat
kerusakan ekologis. Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan. Ketiga, menghitung biaya
pemulihan lingkungan. Sesuai penghitungan, kerugian terkait kerusakan tanah dan
lingkungan akibat pertambangan PT AHB di Kabupaten Buton dan Bombana, sebesar
Rp2,7 triliun. Jumlah tersebut dihitung oleh ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup,
Basuki Wasis. Atas hal itu, Nur Alam dituntut hukuman 18 tahun penjara oleh jaksa. Dia
juga dituntut membayar denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan. Atas kerugian
yang ditimbulkannya, Koordinator Divisi Kampanye ICW Siti Juliantari menegaskan
sudah sepantasnya Nur Alam dihukum berat. "Kami melihat kasus Nur Alam ini bukan
hanya kasus korupsi, tapi kejahatan lingkungan. Kita melihat kasus korupsi dan kejahatan
lingkungan itu kan sebenarnya suatu kasus yang secara garis besar kejahatan kepada
kemanusiaan," kata perempuan yang akrab dipanggil Tari ini. Apalagi, Nur Alam
menjabat gubernur selama dua periode. Sebagai seorang penyelenggara negara, imbuh
Tari, semestinya memberi contoh kepada rakyat untuk tidak korupsi dan memegang
teguh integritas.

Skema penghitungan
Di sisi lain, ICW berharap, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta
menjadikan metode penghitungan kerugian negara yang didalilkan jaksa dengan
menambahkan kerugian ekologis, biaya pemulihan lingkungan, dan kerugian ekonomi
lingkungan sebagai rujukan dalam pengambilan putusan.
"Dorongan ke KPK adalah bagaimana kemudian KPK bisa menggunakan penghitungan
kerugian lingkungan ini dan membuat formulasi tahapan atau hal-hal apa sih yang bisa
dihitung dalam menghitung kerugian lingkungan. Jadi KPK memiliki standar ketika
kita ngomongin kerugian lingkungan, ujar Tari. Lalu, bagaimana skema ideal
penghitungan kerugian lingkungan untuk kasus korupsi? Ahli ekonomi lingkungan yang
juga konsultan World Bank, Virza Safaat Sasmitawidjaja, menjelaskan parameter utama
adalah identifikasi kerugian ekologis dan kerugian sosial akibat korupsi menindaklanjuti
temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pelanggaran dalam sector. "Kalau ini
dijumlahkan secara total, maka akan kelihatan berapa sebetulnya environmental
cost dan social cost yang diakibatkan karena korupsi di sektor pertambangan ini. Ini yang
bisa dijadikan dasar kalau kita akan menggugat secara perdata dari korupsi ini," ujarnya.
Biaya pemulihan untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan, lanjut Virza, sudah pasti
juga diikutsertakan dalam dasar penghitungan.
"Dan memulihkan lingkungan itu tidak hanya dua hingga tiga tahun, tapi bisa sampai
lima hingga 10 tahun dan itu harus diperhitungkan nett present value-nya dan bagaimana
financial risknya," kata dia. "Itu yang harus diperhitungkan untuk kajian untuk
menghitung valuasi ekonomi ini," tandasnya.

'Obral' perizinan

Langkah KPK ini juga disambut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM), Merah Johansyah, dengan harapan digunakan untuk kasus-kasus korupsi
sumber daya lainnya, seperti kasus yang menyeret Bupati Kutai Kartanegara (nonaktif)
Rita Widyasari, terkait izin lokasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa
sawit kepada PT Sawit Golden Prima. "Bupati Kutai Kartanegara sekarang sedang proses
sidang di Tipikor. Mestinya KPK bisa menggunakan, tidak hanya menggunakan UU
Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, tapi juga bisa menggunakan
kerugian lingkungan hidup sebagai dimensi dalam dakwaan KPK," jelas Merah. Langkah
KPK, lanjut Merah, mesti dilihat sebagai upaya untuk memotong rantai korupsi yang
lebih besar, yakni menyelamatkan kekayaan alam dan ruang hidup rakyat. "Jadi kita
apresiasi ini terobosan, dan ini akan mampu tidak hanya memutus korupsi, tapi juga
memutus kerusakan lingkungan hidup," cetusnya. Terobosan ini, menurut dia, juga bisa
diterapkan untuk sumber daya alam. "Sebenarnya BPK sejak 2010 sudah melakukan
green audit, atau evaluasi kerugian lingkungan hidup sebagai kerugian negara. Sudah
saatnya penegak hukum yang lain bersinergi dengan KPK juga. BPK misalnya, dan
KLHK sendiri yang selama ini menurut kami peran KLHK yang sangat minim." kata dia.
Baru-baru ini, BPK mendapatkan dua temuan terkait lingkungan yang dilakukan PT
Freeport Indonesia (PTFI). Setidaknya dalam pelanggaran tersebut potensi kerugian
negara mencapai total sekitar Rp455 triliun. Dalam hal kerusakan lingkungan, BPK
menemukan Freeport telah menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan
limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, muara dan telah mencapai
kawasan laut. Kerugian dari perubahan ekosistem yang rusak akibat pembuangan limbah
yang berlebihan oleh Freeport ini setidaknya tercatat mencapai Rp185 triliun.

Temuan ini merupakan hasil pemeriksaan BPK atas Kontrak Karya Freeport tahun 2013-
2015 pada Kementerian ESDM, Kementerian LHK dan instansi terkait lainnya di Jakarta,
Jayapura, Timika dan Gresik. Merah pula menyoroti bahwa korupsi di sektor sumber
daya alam, terutama terkait pertambangan selalu menjadi sumber korupsi selama ini guna
memenuhi kebutuhan biaya kampanye dalam pilkada serentak. Dugaan ini beralasan
mengingat pada tahun politik 2017-2018, tren penerbitan izin tambang naik drastis.
Terdapat 170 izin tambang yang dikeluarkan sepanjang 2017 dan 2018, dengan rincian
34 izin tambang di Jawa Barat yang terbit pada 13 Februari 2018, dua pekan sebelum
masa penetapan calon kepala daerah Jabar diumumkan. Di Jawa Tengah, pada 30 Januari
2018 lalu, pemerintah setempat tercatat 'mengobral' 120 izin tambang. Demikian juga di
Kalimantan Timur dimana terdapat enam titik pertambangan batu bara ilegal yang tidak
dilakukan penegakan hukum. "Kita minta KPK menggalakkan pemberantasan korupsi di
tahun politik ini. Karena masa-masa rentan di dalam pemberantasan korupsi itu satu
tahun sebelum pilkada dan satu tahun pilkada, terjadi apa yang disebut dengan obral
perizinan," cetusnya.

Anda mungkin juga menyukai