Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/319997190

An Overview: VITAMIN D

Article · September 2017

CITATIONS READS

0 7,935

1 author:

Yunika puspa dewi


Siloam Hospitals Yogyakarta
21 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Micronutrients View project

All content following this page was uploaded by Yunika puspa dewi on 23 September 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


An Overview: VITAMIN D
Dewi, Yunika Puspa

Vitamin D termasuk dalam kelompok secosteroid larut lemak yang berasal dari kolesterol.
Karakteristik secosteroid adalah adanya ikatan yg rusak pada salah satu cincin steroidnya. Sampai hari
ini, telah ditemukan lebih dari 50 metabolit vitamin D dengan aktivitas biologi yang bervariasi. Dua
jenis utama vitamin D adalah D3 (cholecalciferol) dan D2 (ergocalciferol), yang berbeda dalam hal
struktur dari rantai sampingnya.1 Karakteristik vitamin D adalah aktivitas hormonalnya. Metabolit
aktifnya disintesis di ginjal dan hati dan ditransportasikan melalui darah ke target organ dan jaringan,
seperti epitel intestinal dan tulang.2,3
Penemuan aktivitas pleiotropik vitamin D pada sebagian besar sel dan jaringan tubuh dimulai
dari survey epidemiologi yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kadar vitamin D yang
rendah dengan peningkatan risiko berbagai macam penyakit seperti penyakit autoimun dan jantung
pembuluh darah, kanker, diabetes dan juga penyakit infeksi.2,4 Walaupun vitamin D diketahui berperan
penting dalam menjaga kesehatan tulang dan juga berbagai macam fungsi fisiologi, banyak klinisi ragu
untuk menerapi defisiensi atau insufisiensi vitamin D karena adanya risiko peningkatan ekskresi
kalsium urine. Hipervitaminosis D sudah dikenal sebagai penyebab hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.4

Metabolisme
Prekusor vitamin D terutama didapatkan dari 2 sumber: sintesis endogen dan makanan. Pada
sintesis endogen, cholecalciferol (vitamin D3) disintesis dari 7-dehydrocholesterol di kulit pada saat
terpapar sinar ultraviolet B dari sinar matahari. Vitamin D yang dari makanan sebagaian besar
didapatkan dalam bentuk vitamin D3 (sumber hewani) dan/atau sebagai ergocalciferol (vitamin D2),
prekusor utama didapatkan pada tumbuhan. Sumber utama vitamin D pada anak-anak dan dewasa
adalah vitamin D3 yang didapat dari sintesis endogen.1,3,5,6,4
Protein yang bertugas membawa berbagai jenis vitamin D adalah vitamin D binding protein
(DBP). DBP mempunyai afinitas dan kapisitas yang tinggi terhadap vitamin D, membawa 95-99% total
25-(OH)D, sebagian kecil lainnya dibawa oleh albumin dan lipoprotein melalui ikatan nonspesifik yang
lemah.1 Vitamin D, dari makanan maupun kulit dimetabolisme di hati menjadi 25(OH)D oleh enzim
25-hidroksilase dan akan tersedia sebagai cadangan di sirkulasi dengan waktu paruh 2-3 minggu. Di
dalam darah, 25(OH)D terikat dengan DBP membentuk komplek 25(OH)D-DBP. Proses metabolisme
kedua terjadi di ginjal, dimana 25(OH)D mengalami hidroksilasi pada C-1, membentuk metabolit
teraktif yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D (calcitriol), dan juga pada C-24 membentuk metabolit inaktif
yaitu 24,25-dihydroxyvitamin D (24 -hydroxycalcidiol).2 Calcitriol terikat pada reseptor inti sel, vitamin
D receptor (VDR), yang ada di ginjal, usus kecil dan tulang. Di ginjal, 1,25(OH)2D menstimulai
reabsorpsi kalsium tubulus proksimal. Di usus kecil, 1,25(OH)2D menstimulasi absorpsi kalsium dan
fosfat. 1,25(OH)2D dan hormon paratiroid memobilisasi kalsium dari jaringan tulang dengan cara
menstimulai osteoklas.3,5,4,2
Gambar 1. Metabolisme vitamin D.4
Peneliti baru-baru ini menemukan 1-hidroksilasi juga terjadi pada banyak jaringan ekstra ginjal
termasuk tulang, plasenta, prostat, keratinosit, makrofag, limfosit T, sel epitel colon, sel islet pankreas
dan beberapa sel kanker termasuk dari paru, prostat dan kulit) begitu juga sel dari medulla adrenal,
kortek cerebrum dan cerebellum. Sepertinya 1,25-(OH)2D produksi jaringan ektra renal bekerja secara
lokal sebagai molekul sinyal autocrine atau paracrine dan tidak berkontribusi pada kadar 1,25-(OH)2D
di sirkulasi.1 Selain itu, VDR ditemukan pada hampir semua jenis sel manusia, dari otak sampai tulang.
Vitamin D mengontrol secara langsung maupun tidak langsung lebih dari 3000 gen yang berhubungan
dengan regulasi kalsium dan metabolisme tulang, modulasi imunitas bawaan, pertumbuhan dan
maturasi sel, regulasi produksi insulin dan renin, induksi apoptosis dan menghambat angiogenesis.
Walaupun banyak penelitian observasional mendukung adanya hubungan yang kuat antara vuitamin D
dengan efek ekstra-skeletalnya, hubungan sebab akibat yang pasti antara rendahnya kadar vitamin D
dengan berbagai penyakit belum dapat dibuktikan.5,4
Homeostasis vitamin D dikontrol oleh produksi 1,25-(OH)2D. Peningkatan 1,25-(OH)2D
menyebabkan penurunan produksinya sendiri secara langsung maupun tidak langsung. 1,25-(OH)2D
bekerja secara langsung dengan memberikan umpan balik negatif pada ekspresi 1-hidroksilase. 1,25-
(OH)2D juga menurunkan sintesis hormon paratiroid. Hormon paratiroid bekerja dengan cara
meningkatkan transkripsi 1-hidroksilase. Efek 1,25-(OH)2D pada hormon paratiroid merupakan
mekanisme tidak langsung. Peningkatan kadar 1,25-(OH)2D juga meningkat ekspresi faktor
phosphaturic, fibroblast growth factor 23 (FGF23). FGF23 menekan ekspresi 1-hidroksilase di ginjal
sehingga menekan produksi1,25-(OH)2D secara tidak langsung. Selain itu, kalsium dan fosfat dari
makanan juga mempengaruhi aktivitas 1-hidroksilase yaitu peningkatan kalsium dan fosfat
menurunkan aktivitas 1-hidroksilase.1

Pengukuran Vitamin D
Panduan terbaru merekomendasikan penggunaan kadar 25-(OH)D serum, yang diukur dengan
metode yang dapat diandalkan untuk mengevaluasi status vitamin D pasien yang berisiko mengalami
defisiensi vitamin D.1 Kadar 25-(OH)D serum merupakan indikator terbaik ststus vitamin D karena
kadar 25-(OH)D mencerminkan produksi vitamin D3 kulit dan vitamin D (D2 dan D3) dari makanan.
Selain itu, 25-(OH)D mempunyai waktu paruh di sirkulasi yang panjang yaitu 3-4 minggu. Walaupun
metabolit aktif vitamin D adalah 1,25(OH)2D, kadar 1,25(OH)2D serum tidak direkomendasikan untuk
menentukan status vitamin D karena waktu paruh di sirkulasi pendek yaitu 4-6 jam dan kadarnya dalam
serum sangat rendah, 1000 kali lebih rendah dibandingkan dengan kadar 25(OH)D. Selain itu, pada saat
terjadi defisiensi vitamin D, sekresi hormon paratiroid akan meningkat sebagai respon kompensatori
yang akan menstimulasi ginjal untuk meningkatkan produksi 1,25(OH)2D sehingga pada saat terjadi
defisiensi vitamin D didapatkan kadar 25(OH)D menurun sedangkan kadar 1,25(OH)2D dipertahankan
pada kadar normal bahkan meningkat.6,5,7,3,5,4,2 Walaupun panduan terbaru merekomendasikan
pengukuran kadar 25(OH)D untuk menilai status vitamin D ada perkecualian dimana pengukuran kadar
25(OH)D tidak dapat digunakan yaitu pada penyakit ginjal dimana kemampuan ginjal untuk
memproduksi 1,25(OH)2D menurun.6
Secara umum metode pengukuran vitamin D dibagi menjadi 3 kategori:
1. Radio-immunoassays (RIA)
RIA dikembangkan pada awal tahuan 80an. Baru akhir-akhir ini saja metode ini
digunakan secara rutin pada laboratorium klinis. Pada tahun 2015, <2% partisipan Vitamin D
External Quality Assessment Scheme (DEQAS) menggunakan RIA. RIA pertama yang tersedia
secara komersial diproduksi oleh DiaSorin yang berdasarkan pada metode yang dideskripsikan
oleh Hollis et al. pada 1993. Metode RIA Diasorin merupakan metode yang paling banyak
digunakan di dunia untuk pemeriksaan diagnostik rutin maupun penelitian klinis. Kadar yang
digunakan untuk mendefinisikan defisiensi vitamin D sekarang (baik 20 atau 30 ng/mL)
didapatkan berdasarkan penelitian yang sebagian besar menggunakan metode ini.1
2. Automated immunoassays
Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan secara rutin di dunia.
Perusahaan-perusahaan diagnostik telah meluncurkan berbagai macam metode mereka sendiri
untuk pengukuran kadar 25-(OH)D. Karakteristik dari metode-metode ini berdasarkan klaim
perusahaan masing-masing dapat dilihat pada lampiran. Hampir semua metode menggunakan
design kompetisi, kecuali Lumipulse dari Fujirebio, yang menggunakan metode non-
competitive (sandwich).
3. Prosedur Chromatographic (gas chromatography/ mass spectrometry (GC-MS), high
performance liquid chromatography (HPLC), dan liquid chromatography-tandem mass
spectroscopy (LC-MS/MS)
Metode LC-MS/MS dianggap sebagai baku emas untuk pengukuran kadar vitamin D.
Metode LC-MS/MS sangat komplek sehingga membutuhkan tenaga ahli dan waktu yang lama,
sehingga metode ini jarang digunakan untuk diagnostik rutin.6,4
Calcidiol sulit untuk diukur dengan akurat. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor
pengganggu pada metode yang yang digunakan:
1) Matrix effect
25(OH)D merupakan molekul lipophilic. Adanya lipid lain dalam serum atau plasma mengubah
kemampuan binding agent untuk berikatan dengan 25(OH)D pada sampel dan standard yang
seharusnya cenderung seimbang.
Selain itu, 25(OH)D juga merupakan molekul hydrophobic yang dalam sirkulasi berikatan
dengan DBP, albumin dan lipoprotein dengan afinitas kuat. Sebelum pengukuran, 25-(OH)D
harus dilepaskan dari protein pembawanya.1,6,5
2) Reaksi silang dengan metabolit yang lain
Teknik untuk mengukur 25(OH)D termasuk competitive binding protein assays rawan terjadi
reaksi silang dengan metabolit vitamin D yang lain sehingga dapat penyebabkan kesalahan
pengukuran. Pada hampir semua immunoassay ditemukan adanya reaksi silang yang bermakna
dengan 24,25-(OH)2D, 25,26-(OH)2D, dan 25(OH)D-26,23-lactone. Walaupun dianggap
secara klinis tidak relevan, metabolit 24,25-(OH)2D berkontribusi sebesar 10–15% dari total
kadar 25(OH) sehingga adanya metabolit tersebut dapat sedikit meningkatkan kadar 25(OH)D
bila diukur dengan immunoassay.5,6
3) Reaksi silang dengan heterophilic antibodies
Hampir semua immunoassays bereaksi silang dengan heterophilic antibodies.
4) C3-Epimer
Epimers merupakan bahan yang memiliki struktur molekular yang identik tetapi konfigurasi
stereochemical berbeda. Grup hydroxyl (OH) mempunyai 2 epimer vitamin D3 yaitu 3-epi-
25(OH)D3 dan 25(OH)D3. Walaupun fungsi fisiologis C3-epimer masih belum jelas, tetapi
molekul ini dipastikan merupakan faktor pengganggu dalam pengukuran kadar 25(OH)D.6
Nilai rentang
Kadar 25(OH)D yang diharapkan masih belum jelas. Berbagai organisasi seperti Vitamin D
Council, Endocrine Society dan Food and Nutrition Board Testing Laboratories telah menentukan nilai
rentang untuk vitamin D, akan tetapi tidak terdapat konsesus antar organisasi ini. Sekarang, nilai rentang
yang ditetapkan oleh Endocrine society merupakan nilai rentang yang paling banyak digunakan di dunia
kedokteran,6 sehingga sebagian besar setuju definisi defisiensi vitamin D adalah apabila kadar 25(OH)D
< 20 ng/mL.5,8
Table 1. Kadar Vit yang disarankan

Konversi satuan SI menjadi satuan tradisional menggunakan formula: 25(OH)D nmol/l=25(OH)D


ng/ml × 2.5.4
Penetapan nilai rentang masih menjadi masalah sampai sekarang dikarenakan beberapa
penelitian menemukan adanya perbedaan kadar pada berbagai populasi. Faktor yang menyebabkan
perbedaan kadar antar populasi antara lain melanin dan obesitas. Melanin memberikan proteksi
terhadap sinar matahari karena mengabsorbsi foton UVB. Orang dengan kulit gelap (lebih banyak
pigmen melanin) membutuhkan paparan sinar matahari yang lebih lama untuk memproduksi vitamin
D3 dengan jumlah yang sama dibandingkan dengan orang dengan kulit terang. Oleh karena itu, kadar
25(OH)D orang dengan kulit gelap lebih rendah.5,7 Obesitas juga berhubungan dengan kadar 25(OH)D
yang redah. Hal ini dikarenakan vitamin D tersequestrasi di jaringan lemak.5,8

Indikasi
Penyakit yang paling sering timbul karena defisiensi vitamin D adalah riketsia pada anak-anak
dan osteomalasia dan osteoporosis pada orang tua.2,5 Pemeriksan kadar 25(OH)D sebagai penyaring
tidak direkomendasikan. Hampir semua organisasi kesehatan merekomendasikan pemeriksaan kadar
25(OH)D pada individu dengan risiko defisiensi vitamin D.1 The Endocrine Society merekomendasikan
pemeriksaan kadar 25(OH)D pada kondisi berikut ini: Riketsia, Osteomalasia, Osteoporosis, gagal
ginjal kronik, sindrom malabsropsi, hyperparathyroidism, pengobatan (acquired immune deficiency
syndrome, seizures, antifungals, steroids, cholestyramine), granulomatous disorders, limfoma, orang
tua dengan riwayat fraktur dan obesitas (indek masa tubuh (IMT) > 30).5

DAFTAR PUSTAKA
1. Herrmann M, Farrell C-JL, Pusceddu I, Fabregat-Cabello N, Cavalier E. Assessment of vitamin
D status – a changing landscape. Clinical Chemistry and Laboratory Medicine (CCLM)
[Internet]. 2017;55(1):3–26. Available from:
https://www.degruyter.com/view/j/cclm.2017.55.issue-1/cclm-2016-0264/cclm-2016-
0264.xml
2. Wranicz J, Szostak-Węgierek D. Health outcomes of vitamin D. Part I. characteristics and
classic role. Roczniki Państwowego Zakładu Higieny [Internet]. 2014;65(3):179–84. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25247796
3. Wilhelms KW, Sanderson JL, Platteborze PL. Guiding Appropriate Laboratory Test Utilization:
1,25-OH-Vitamin D. Military Medicine [Internet]. 2016;181(1):10–1. Available from:
http://publications.amsus.org/doi/10.7205/MILMED-D-15-00253
4. Chareles S AH, S C. Vitamin D Deficiency, Metabolism and Routine Measurement of its
Metabolites [25(OH)D2 and 25(OH)D3]. Journal of Chromatography & Separation Techniques
[Internet]. 2015;6(4):4–8. Available from: http://www.omicsonline.org/open-access/vitamin-d-
deficiency-metabolism-and-routine-measurement-of-itsmetabolites-25ohd2-and-25ohd3-2157-
7064-1000276.php?aid=57522
5. T.C. A, C. Y. Vitamin D measurements - Facts and fancies. Proceedings of Singapore Healthcare
[Internet]. 2013;22(3):227–34. Available from:
http://www.singhealthacademy.edu.sg/Documents/Publications/ProceedingsVol22No32013/LI
_028-0713_Aw Tar
Choon.pdf%5Cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed11&N
EWS=N&AN=2013678653
6. Sarmah D, Sharma B. Interpreting the laboratory reports for Vit D. Journal of Association of
Physicians of India. 2014;62(SEP):797–800.
7. Holick MF, Herman RH, Award M. Vitamin D : importance in the prevention of cancers , type
1 diabetes , heart disease,and osteoporosis. The American Journal of Clinical Nutrition.
2004;79:362–71.
8. Stechschulte SA, Kirsner RS, Federman DG. Vitamin D: Bone and Beyond, Rationale and
Recommendations for Supplementation. American Journal of Medicine [Internet].
2009;122(9):793–802. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.amjmed.2009.02.029
Tabel 2. Karaketristik pengukuran 25(OH)D berbagai macam merk dengan metode immunoassay
Tabel 2. Karaketristik pengukuran 25(OH)D berbagai macam merk dengan metode immunoassay (bersambung)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai