Anda di halaman 1dari 4

Indonesia telah bersiap-siap menyongsong era kedatangan mobil listrik

(electric vehicle). Hal tersebut digulirkan, karena Presiden Joko Widodo telah
menandatangani Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan
program kendaraan listrik untuk kepentingan transportasi, di samping juga telah
mensahkan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM) yang termaktub dalam PP Nomor 41 tahun 2013. Menurut
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, tidak ada pajak terhadap mobil mewah
tersebut, asalkan memiliki syarat tidak ada emisi gas buang.

Dengan emisi gas buang nol, mobil listrik menjadi solusi terhadap
tingginya pencemaran udara, terutama di daerah perkotaan. Polusi udara yang
diakibatkan oleh hasil pembuangan gas dari kendaraan bermotor berbahan bakar
fosil membuat kualitas udara menjadi buruk.

Kehadiran mobil Hybrid, yang mengusung konsep mobil ramah


lingkungan, hanya dinikmati segelintir orang saja, karena harganya yang relatif
masih mahal. Di samping itu, mesinnya masih menggunakan bahan bakar fosil,
sedangkan di sisi lain telah menggunakan baterai (sebagai energi cadangan).
Sebenarnya, keberadaan mobil Hybrid merupakan bentuk transisi dari mobil
konvensional (berbahan bakar fosil) menuju mobil listrik murni, atau Electric
Vehicle.

Untuk kebutuhan pengisian listrik, diperlukan kesiapan instansi penyedia


energi listrik, seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN), untuk memastikan
pasokan kebutuhan listrik yang diperlukan. Pembangunan pembangkit listrik yang
tersebar sporadis dari Sumatera sampai dengan Irian Jaya diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan akan meningkatnya
pengisian listrik terhadap mobil listrik.

Melalui pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar non batu bara,


maka terjadi kesinambungan yang sejalan terhadap program mobil listrik yang
ramah lingkungan. Tetapi, jika pemenuhan kebutuhan listrik yang dilakukan oleh
pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara maka terjadi perubahan
paradigma polusi udara yang sebelumnya di perkotaan (akibat kendaraan
berbahan bakar fosil), sekarang polusi berpindah di cerobong flare pembangkit
listrik berbahan bakar batu bara (untuk memenuhi kebutuhan mobil listrik). Jelas
ini bukan solusi dalam mengatasi pencemaran udara.

Penyediaan listrik di Indonesia masih sangat bergantung kepada sumber


energi fosil, khususnya batubara. Pada tahun 2017, batubara mendominasi
pembangkitan listrik di Indonesia (58,3% total daya terpasang), diikuti oleh gas
(23,2%) dan minyak bumi (6%). Potensi ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil sebagai sumber listrik tampaknya masih akan terus berlanjut hingga tahun
2025. Hal ini terlihat jelas dari Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL 2018-2027, Kemen ESDM), dimana porsi batubara sebesar 54,4%.

, PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN energi terlihat sudah mengambil


ancang-ancang guna mengantisipasi perkembangan kendaraan listrik di Tanah
Air. Adapun yang dilakukan yakni mempersiapkan fasilitas SPBU existing agar
dapat melayani charging untuk kendaraan listrik.

Konsep yang dikembangkan adalah dengan membuat fasilitas charging


yang dapat melayani beberapa plug kendaraan. Saat ini fasilitas charging tersebut
telah memiliki beberapa standar seperti chademo, type 2, dan CCS. Dengan
menggunakan jaringan SPBU existing, diharapkan implementasi charging dapat
dilakukan lebih cepat dan secara menyeluruh di Indonesia.

Kemudian untuk kendaraan roda dua dan tiga, konsep yang dikembangkan
Pertamina adalah dengan menggunakan metode swap battery. Hal ini dilakukan
sebagai mitigasi bahwa pemilik motor mengharapkan accessibility yang mudah
dan metode penukaran baterai yang cukup praktis. Artinya dapat mengurangi
waktu tunggu.
Sumber listrik yang kita pergunakan saat ini, khususnya di Indonesia banyak yang
menggunakan tenaga batu bara atau minyak bumi sebagai sumber pembangkit.

Perkembangan mobil listrik telah menjadi fenomena global di awal abad ke-21

atas beberapa alasan seperti upaya substitusi bahan bakar minyak dan peragaman
sumber energi pada sektor transportasi, simplifikasi teknologi kendaraan,
keamanan dan efisiensi dalam beberapa aspek berkendara. Peralihan penggunaan
kendaraan dari ICE
(Internal Combustion Engine, ICE) ke EV akan mengandung implikasi bahwa
beban penyediaan bahan bakar minyak atau bahan bakar fosil yang berlangsung
selama ini akan

beralih secara gradual menjadi beban pada

sektor penyediaan tenaga listrik. Pertumbuhan

kebutuhan tenaga listrik akan menjadi lebih

tinggi untuk menggantikan bahan bakar fosil

pada sektor transportasi. Selain itu terjadi

peningkatan kebutuhan untuk perluasan

jaringan interkoneksi dalam memenuhi layanan

bagi pengguna kendaraan.

Dari segi ketersediaan energi, mobil

listrik dapat menggunakan semua jenis energi

yang dapat dikonversi menjadi energi listrik

secara terpusat. Beberapa jenis energi paling

potensial sebagai pembangkit listrik seperti

nuklir, tenaga air, panas bumi dan sebagainya

dapat berkontribusi sebagai penggerak roda


sistem transportasi secara luas. Kekhawatiran

akan kelangkaan bahan bakar minyak juga akan

teratasi dengan sendirinya.

Konsumsi energi listrik untuk sektor


transportasi akan melibatkan kebutuhan
berbagai aspek daya listrik yang tersedia pada
sistem jaringan, seperti keandalan pasokan,
dukungan infrastruktur stasiun pengisian
baterai dan harga yang terjangkau untuk
masyarakat luas.

Anda mungkin juga menyukai