BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan pembahasan mengenai Ekonomi Islam di dunia, khususnya masyarakat
Indonesia dan pemerintah setempat lebih memperhatikan prinsip-prinsip ajaran agama
terutama dalam bidang ekonomi dengan menggunakan system ekonomi Islam. Sehingga
bisa masyarakat bisa berakivitas dalam bidang ekonomi sesuai tuntutan syariat yang diridhai
oleh Allah SWT.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan Manfaat yang ingin diperoleh dari makalah ini adalah :
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
BAB 3
PEMBAHASAN
Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis
mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari
sini bias dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik
tersindiri. Dr. Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam,
yaitu :
Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak
condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini,
yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun
kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini.
Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam
ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu
dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan
pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada
saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan
peran negara dalam mekanisme ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas
perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk
berproduksi.
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur
hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan
bahwa keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah
aplikasi masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub
yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi
dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah
dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang
bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti
melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan
jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat
kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah.
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang
bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk
menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat
yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati
bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan
kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang
terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang
Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil.
Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan
manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari
prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik
benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda
(kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi
kepentingan umum.. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda
(kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun
kapitalis.
1. Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan
keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat ar Rum ayat 30
“30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian
ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya
Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan,
maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah
berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena
cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang
hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu
jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai
kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan
mencari yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban
untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan
individual di sini tidak sama sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah
menjerumuskan manusia pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam
memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling
melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan
sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada
individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita
akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum
termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan
dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau
dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?”
Maka Dialah Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan.
Adapun posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan
individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan
ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan
juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia
memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan
bukan Yang Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu
yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain
berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi karena sifat-sifat
tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
2. Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum
dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr.
Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi:
a. Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa
diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam golongan
ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang
pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya.
Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr.
Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi
sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk
hal-hal yang mengandung maslahat umum.
b. Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau
individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis
sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu
individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput
lapang, jembatan dan sumber daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa
diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa
adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa
didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi
kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada
kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta
(umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah
menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat
diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta
mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak
berkepentingan untuk ikut andil dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain
memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan
umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah
seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan
Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak
lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang
penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya,
amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al
Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam
buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang
dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta
dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham.
Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai
macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.
3.2 LEMBAGA-LEMBAGA DALAM EKONOMI ISLAM
Sistem perekonomian ummat manusia tersebut perlu diatur sedemikian rupa sebab
hal ini adalah merupakan kebutuhan utama yang tidak dapat ditawar-tawar keberadaannya.
Seluruh ummat manusia di mana dan kapan saja dia berada, pastilah akan mengalami dan
berinteraksi dengan orang lain dalam rangka system perekonomian ini. Sebab hal ini adalah
merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup umat manusia.
Sistem perekonomian tersebut banyak macam ragamnya baik yang diatur secara langsung
oleh Allah swt, maupun yang telah ada sebelumnya, namun keberadaannya dilegitimasi oleh
ajaran agama. Sistem-sitem perekonomian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat adalah merupakan sebuah lembaga keagaamaan yang beregerak
dalam bidang perekonomian yang salah satu tugas pokoknya adalah mengentaskan
masyarakat khususnya ummat Islam dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pembentukan lembaga ini adalah didasarkan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Badan Amil Zakat diharuskan dibentuk secara berjenjang mulai
dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar potensi
ummat Islam dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqah dapat diberdayakan secara maksimal
sehingga berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dirasa sangat penting sebab zakat, infaq
dan shodaqah adalah merupkan potensi ummat Islam yang dapat komplementer dengan
pembangunan nasional, sebab potensi zakat, infaq dan shodaqah apabila dapat
diberdayakan secara maksimal, maka akan mendatangkan dana yang cukup besar yang
dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dan Negara.
2. Badan Perwakafan Nasional
Wakaf merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di Indonesia,
namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini belum memberikan kontribusi yang
signifikan bagi keberlangsungan bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan karena wakaf
sebagai aset berharga ummat Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara
maksimal dan belum menghasilkan secara optimal. Potensi wakaf yang sangat besar
tersebut kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan tersebut belum
bersifat produktif, sehingga dengan demikian maka jadilah harta-harta wakaf itu dalam
bentuk lahan tidur yang tidak dapat menghasilkan secara ekonomis.
3. Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul Maal wat Tamwil adalah merupakan sebuah lembaga Negara yang bergerak
dalam bidang penampungan harta ummat Islam dan Negara. Semua dana yang terkumpul
apakah itu dari pajak maupun dari yang lainnya, kesemuanya dikumpul pada lembaga yang
disebut dengan Baitul Maal Wat Tamwil. Baitul Maal Wat Tamwil ini adalah semacam Kas
Negara ataupun Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan
mengelola keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada public secara
transfaran dan akuntable.
Baitul Maal Wat Tamwil adalah pertama sekali diprakarsai oleh Rasulullah saw
sebagai sebuah lembaga keuangan Negara pada abad ketujuh masehi yang mempunyai
tugas yakni semua hasil pengumpulan Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan
kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan Negara. Status harta pengumpulan itu
adalah milik Negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan
tertentu, pemimpin negara dan pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk
mencukupi kebutuhan peribadinya. Hal ini tentu berada di luar jalur dan ketentuan yang
berlaku.
Pada masa pemerintahan Rasulullah saw, Baitul Maal bertempat di Masjid Nabawi
yang ketika itu dipergunakan sebagai kantor pusat Negara yang sekaligus berfungsi sebagai
tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan perbendaharaan Negara
tidak disimpan di Baitul Maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut
ditempatkan di lapangan terbuka. Namun harta Negara seperti uang dan lain sebagainya
yang dapat disimpan, ditempatkan di Baitul Maal yang adalah merupakan perbendaharaan
dan Kas Negara.
4. Bank Syariah
Perbankan syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang berdasarkan
hukum Islam yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang amat penting danm
strategis peranannya dalam mengatur perekonomian dan mensejahterakan umat Islam.
Kehadiran lembaga perbankan bukan hanya dapat mengatur perekonomian masyarakat,
akan tetapi kehadirannya dapat juga menghancurkan perekonomian sebuah Negara
sebagaimana yang dialami bangsa Indonesia decade delapan puluhan dan sembilan
puluhan.
Oleh karena itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi syariah sehingga
dapat melindungi uang si penanam modal dan juga memberikan keuntungan bagi si
pemiunjam modal. Pada keduanya terjalin hubungan yang sinergis dan saling
menguntungkan, serta kesepakatan bersama apabila terjadi kerugian yang tidak diinginkan
bersama. Apabila terjadi keuntungan, maka sesungguhnya hal itu mudah diatur, akan tetapi
apabila terjadi kerugian ataupun jatuh pailit, maka timbullah percekcokan. Dalam kaitan
dengan ini, hukum Islam telah memberikan aturan main yang saling menguntungkan dan
tidak saling merugikan.
Bank Islam ataupun Bank Syariah sebagaimana disebutkan oleh Fuad Mohammad
Fakhruddin adalah bank dimana kebanyakan pendirinya adalah orang yang beragama Islam
dan seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga dengan
demikian maka kekuasaan dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai
yang lainnya terletak di tangan orang Islam.
Sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank Syariah adalah
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan
operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus
dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Dari definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun
Bank Syariah adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian besar sahamnya milik orang
Islam dan beroferasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam (al-Quran
dan al-Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
5. Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank perkreditan rakyat yang
melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut juga bank perkreditan rakyat
yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat
dibentuk dengan badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan
Daerah.
6. Asuransi Syariah
Asuransi dalam Islam lebih dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling memikul
resiko di antara sesama orang Islam, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi
penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong
menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma
(tabarruk) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dalam pengertian
tersebut sesuai dengan surat al-Maidah (5) : 2 “Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” Asuransi seperti ini disebut dengan Asuransi Syariah.
Asuransi Syariah sebagaimana tersebut di atas mempunyai prinsip-prinsip pokok
sebagai berikut :
1.Saling bekerjasama dan saling membantu.
2.Saling melindungi dari berbagai kesusahan.
3.Saling bertanggungjawab.
4.Menghindari unsur gharar, maysir, dan riba.
7. Obligasi Syariah
Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka
panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul
akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta
membayar sejumlah manfaat secara priodik menurut akad.
Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi Konvensional adalah
terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi jual beli,
sedangkan pada obligasi syariah saat perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga,
yang ditentukan adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan
di masa mendatang.
Obligai syraiah sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi kepada jenis-jenis obligasi
syariah sebagai berikut :
1. Obligasi Mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad mudharabah (akad
kerjasama antara pemilik modal / sahohibul maal / investor yang menyediakan dana penuh
100 % dan tidak boleh aktif dalam pengelolaan usaha dan pengelola / mudhorib / emiten
mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
2. Obligasi Ijarah, yaitu obligasi berdasarkan akad ijarah (suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian) artinya pemilik harta memberikan hak untuk
memanfaatkan obyek dengan manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik
obyek. Dalam akad ijarah disertai adanya perpindahan manfaat tetapi tidak perpindahan
kepemilikan.
8. Pegadaian Syariah
Pegadaian syariah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn. Rahn secara
bahasa berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas (jaminan). Secara istilah
rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai jaminan hutang dengan
dasar bisa diambil kembali oleh orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.
Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut telah berdiri dan beroperasi di Indonesia
pada 9 Kantor wilayah, 22 pegadaian unit syariah, dan 10 kantor gadai syariah. Jumlah
pegadaian tersebut masih jauh dari mencukupi dan memadai sebab jumlah itu baru 2,9 %
dari total 739 perum pegadaian cabang di seluruh Indonesia. Idealnya di mana ada perum
pegadaian, maka di situ pula ada perum pegadaian syariah, sehingga tersedia alternative
pilihan bagi masyarakat.
9. Reksadana Syariah
Salah satu produk investasi yang sudah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
syariah adalah reksadana. Produk investasi ini bisa menjadi alternativ yang baik untuk
menggantikan produk perbankan yang pada saat ini dirasakan memberikan hasil yang relativ
kecil.
Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan
prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta dengan
manejer investasi sebagai wakil shohibul maal, maupun antara manejer investasi sebagai
wakil shohibul maal dengan pengguna investasi. Reksadana syariah dan reksadana
konvensional sebenarnya hampir sama pengertian dan bentuknya, hanya saja berbeda dari
sisi pengelolaan, kebijaksanaan invesatasi, akad, pelaksanaan investasi dan pembagian
keuntungan.
Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat, sebagai salah satu pilar ekonomi
Islam. Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat semakin besar. Zakat kini
tidak dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, zakat juga
merupakan institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat
secara keseluruhan. Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi
mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan
institusi yang menjamin adanya distribusi kekayaan dari golongan “the have” kepada
golongan “the have not”. Kekhawatiran dan ketakutan bahwa zakat akan mengecilkan dan
mereduksi capital formation masyarakat sangat tidak beralasan. Bahkan pengeluaran 2,5 %
zakat dari capital stock perekonomian setiap tahun, akan mampu menyimpan 27,5 % dari
setiap tambahan dalam capital stock untuk mempertahankan perekonomian pada level
sebelumnya (lihat Muhammad Akram Khan dalam Issues in Islamic Economics). Hal ini
mengindikasikan tingginya perhatian dalam pembentukan struktur permodalan dalam
masyarakat.
Institusi zakat harus pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha
produktif bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok
yang berhak menerima zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus
memiliki komitmen yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh
masyarakat, sehingga dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu
diminimalisir. Apalagi kita menyadari bahwa angka pengangguran yang terjadi di Indonesia
masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta orang atau 18 % dari keseluruhan total penduduk.
Kita perlu banyak belajar kepada negara Malaysia didalam mengelola masalah zakat.
Malaysia adalah contoh negara yang berhasil didalam menjadikan zakat sebagai institusi
yang mampu mereduksi tingkat kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara
tersebut, jumlah orang miskin Malaysia kini hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan
kriteria kemiskinan yang berbeda dengan Indonesia. Kita berharap dengan adanya UU No.
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di Indonesia yang
mencapai 6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin Hafidhuddin,
ulama pakar zakat) akan dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) harus mampu memerankan dirinya sebagai pengelola zakat yang tidak hanya
bersifat amanah, tetapi juga bertanggung jawab, transparan, dan profesional. Bagi
pemerintah sendiri pun, pembiayaan bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui
dana zakat akan lebih baik bila dibandingkan dengan kebijakan deficit financing.
Sektor-sektor usaha lainnya, seperti asuransi syariah, koperasi syariah, BMT (Baytul
Maal wat Tamwiil), juga semakin berkembang, dan bahkan kini telah merambah sektor
pasar modal. Dibukanya Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah
memiliki pangsa pasar tersendiri dan memiliki propek yang sangat strategis kedepannya.
BAB 4
PENUTUP
4. SIMPULAN
Sistem ekomi Islam mempunya peluang yang sangat berpengaruh dalam usaha
dalam rangka mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah
gerakan nyata dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan
kemiskinan (jagoannya orang miskin) tersebut adalah melalui ekonomi syariah, tepatnya
lembaga keuangan syariah. Selanjutnya, disarankan untuk menunjak keefektifan dalam
rangka mengurangi kemiskinan tersebut, maka pemerintah baik pusat dan daerah
(provinsi/kabupaten/kota) dengan bermacam-macam program yang diluncurkan bisa
mensenergikan dengan lembaga keuangan syariah yang ada di seluruh wilayah Indonesia,
dengan pertimbangan lembaga keuangan syariah memiliki jaringan yang baik ke pusat-pusat
kemiskinan, profesional, dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA
http://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-tujuan-prinsip-prinsip-ekonomi-
islam.html
http://tugas2kampus.wordpress.com/2013/10/11/kontribusi-pemikiran-ekonomi-abu-ala-
al-maududi/.html
http://laillamardianti.wordpress.com/2012/04/02/ekonomi-syariah/.html
http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/01/sistem-ekonomi-islam.html
http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=344.html
http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/perbedaan-mendasar-antara-
sistem-ekonomi-islam-dan-sistem-ekonomi-kapitalis.html
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/12/04/ekonomi-syariah-jagoannya-orang-
miskin-615485.html
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/ekonomi-islam-antara-wacana-dan-realita/.html
http://www.dakwatuna.com/2006/12/22/26/realita-umat-islam-hari-
ini/#axzz2urhzrHTe.html