Wali Nikah Zina
Wali Nikah Zina
َ ل َا تَ ْس ِق ب َِما ِئ َك َز ْر َع
غيْ ِر َك
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan
air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’)
Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan
Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir
7/502-503). Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram
dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4:
ُ َوأُول
ِ َات ال ْأ َ ْح َم
ال أ َ َجل ُُه ّ َن أ َ ْن يَ َض ْع َن َح ْمل َُه ّ َن
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
ِ غيْ َر ذ
َ َات َح ْم ٍل َحتَّى َت ِح
يض ِ وطأ ُ َح
َ ام ٌل َحتَّى َت َض َع َول َا َ
َ ُأل َا ل َا ت
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada
wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-
Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat
Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir
9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3
surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina
diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat
dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum
haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:
التائب من الذنب كمن ال ذنب له
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR.
Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah
bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang
menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak
ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif
ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan. Tersebut dalam
Bughyah :
( ي ش: )مسألة: يجوز نكاح الحاملـ من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.
419 بغية المسترشدين ص: الكتاب
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah :
وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره: فصل
[ ابن قدامة- ] المغني518 ص7ج
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang ? Maka
jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah
nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam. [Mbah Jenggot].