Anda di halaman 1dari 11

Bab 1

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam pokok bahasan ini akan membahas tindakan hukum pemerintah yang berkaitan
dengan tindakan hukum yang di lakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi
pemerintahannya menyangkut bidang hukum publik berati tindakan  hukum yang dilakukan
tersebut berdasarkan hukum publik atau yaitu tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan
hukum publik dengan melihat kedudukan pemerintah dalam  menjalankan tindakat hukum publik
, pada dasarnya, siapapun yang menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan publik di
dalamnya terdapat suatu langkah ataupun tindakan oleh pemerintah (penguasa). Langkah dari
tindakan itu mempunyai maksud dan tujuan yaitu bagi pemerintah dan masyarakat. Untuk
pemerintah diharapkan memperoleh dukungan sedangkan untuk masyarakat biasanya adalah
dicapainya kesejahteraan kehidupan masyarakat. Dalam melaksanakan kebijakan publik untuk
memudahkan pelaksanaannya biasanya ada proses paksaan, legitimasi dari kebijakan publik itu
ditempatkan pada produk hukum, ketentuan hukum, peraturan hukum. Jadi menurut penulis
kebijakan publik harus memenuhi beberapa hal yaitu sebagai berikut : adanya kepastian hukum
yang mengikat bagi penentu kebijakan dan masyarakat, diputuskan oleh pemerintah, keputusan
dapat diterima oleh masyarakat, dan bertujuan mensejahterakan masyarakat. Untuk lebih
jelasnya penulis akan memeparkan tiga langkah  Perbuatan/tindakan hukum yang bersifat hukum
publik khususnya dalam  hukum administrasi yang di kenal dengan BESCHIKKING,
BELEIDSREGELS.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Beschikking dan beleidsregels?
2. Bagaimana Hubungan Beschikking dan beleidsregels?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui pengertian Beschikking dan beleidsregels
2. Untuk Mengetahui Hubungan Beschikking dan beleidsregels
Bab 2
Pembahasan

2.1 Pengertian Beschikking dan beleidsregels


A. Beschikking
Beschikking adalah salah satu bentuk kegiatan pemerintah dalam menjalankan
peranannya yang tergolong dalam perbuatan hukum pemerintah (Rechtshandelingen). Istilah
beschikking berasal dari Belanda,acte administrative (Prancis), verwaltunngsakt (Jerman).
Pengertiannya adalah suatu perbuatan hukum public yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat
alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa (Utrecht), atau suatu tindakan hukum
sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan
wewenang yang ada pada organ tersebut (WF. Prins), atau didefiniskikan sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan alat alat pemerintahan, pernyataan pernyataan kehendak alat alat
pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal hal istimewa dengan maksud mengadakan
perubahan dalam lapangan perhubungan perhubungan hukum (Van Der Pot). Dalam sumber lain
beschiking diartikan sebagai suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang
bersifat konkret dan khusus (kamus hukum.com) ,atau keputusan dalam bidang administrasi
negara dilakukan oleh pejabat atau badan pemerintah yang berwenang dan berwajib khusus
untuk itu (hukumpedia.com).
Keputusan tata usaha negara (beschikking) oleh Utrecht disebut sebagai ‘ketetapan’, sedangkan
Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’ .Utrecht, PRINS, dan Van der Pot, juga
menjelaskan bahwa beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau
perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan dua belah pihak .
Beschiking Menurut UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun 2004
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari definisi menurut UU
Nomor 5 Tahun 1986 tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur keputusan sebagai berikut, yaitu;
– penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
– berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara,
– berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
– bersifat konkrit, individual, dan final,
– serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata .

Dalam UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang peradilan
tata usaha Negara, khususnya dalam pasal 2 menjelaskan secara tegas bahwa terdapat tujuh hal
yang tidak tergolong suatu keputusan Negara dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu
:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Prof. Muchsan adalah
penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika kita
melihat definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Penetapan tertulis;
2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
 Sebelum menguraikan unsure-unsur ketetapan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan
pengertian ketetapan berdasarkan pasal 2 UU Administrasi Belanda (AWB)  dan menurut pasal 1
dan 3 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUNjo UU No.9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No.5
Tahun 1986 tentang PTUN yaitu sebagai berikut.
Pernyataankehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat, yang di berikan
berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hukum tata Negara atau hokum Adminstrasi,
bukan di madsudkan untuk penentuan, penhapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang
sudah ada,atau menciptakan hubungan hokum yang baru, yang memuat penolakan sehingga
terjadi penetapan, perubahan, penhapusan, atau penciptaan.
Berdasarkan definisi ini tampak ada enam unsur keputusan, yaitu sebagai berikut:
a.       Suatu pernyataan kehendak tertulis;
b.      Di berikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hokum tata Negara atau hokum
administrasi;
c.       Bersifat sepihak;
d.      Yang di madsudkan untuk penentuan, penhapusan, atau pengakhiran hubungan hokum yang
sudah ada, atau menciptakan hubungan hokum baru,yang memuat penolakan sehingga terjadi
penetapan, perubahan,penhapusan, atau penciptaan;
e.       Berasal dari organ pemerintahan.

Penjelasan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Sesuai dengan isi rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut
memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut:

1. Penetapan tertulis;

Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut penjelasan atas
pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau memo saja sudah
memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.

2. (oleh) badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

Pengertian badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Menurut Prof. Muchsan, aparat
pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:

a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)

Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie)  tidak dilaksanakan, maka roda pemerintahan akan
macet.

b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)

Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang,  kalau tidak dilaksanakan maka akan sulit
mensejahterakan masyarakat.

Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-undang juga


dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam undang-undang. Mengenai
hal ini Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak hanya
melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar fries ermessen dapat melakukan perbuatan-
perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Selanjutnya
Philipus M. Hadjon menambahkan bahwa di Belanda untuk keputusan terikat (gebonden
beschikking) diukur dengan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), namun untuk
keputusan bebas (vrije beschikking) dapat diukur dengan hukum tak tertulis yang dirumuskan
sebagai “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” (abbb). Pengertian Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan
pada aspek fungsional.

3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara;

Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan
yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber
yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevogdheit, legal power,
competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat ialah adanya kecakapan bertindak
(bekwaamheid) dari subyek hukum (orang atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud
dengan atribusi adalah wewenag yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5
Tahun 1986 menyebutnya: wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang
dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan
suatu kewenangan yang ada. Delegasi menurut Prof. Muchsan adalah pemindahan/pengalihan
seluruh kewenangan dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi)
termasuk seluruh pertanggungjawabannya. Mengenai mandat Philipus M. Hadjon berpendapat
bahwa dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan
kewenangan. Sedangkan Prof. Muchsan mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan
sebagian wewenang dari mandans (pemberi mandat) kepada mandataris (penerima mandat)
sedangkan  pertanggungjawaban masih berada ditangan mandans.
4. Konkret, individual dan Final;

Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup jelas). Unsur final
hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat digunakan untuk menelaah pekah
tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara berantai sudah mempunyai kwalitas Keputusan
Tata Usaha Negara. Kwalitas itu ditentukan oleh ada-tidaknya akibat hukum.

5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan hukum perdata. Badan
atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya.

Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)

Para sarjana hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk mengartikan


“beschikking”. E. Utrecht menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo
menyebutnya “penetapan”. Pengelompokan istilah tersebut antara lain oleh: Van der Wel, E.
Utrecht dan Prajudi Atmosudirdjo.

1. Van der Wel membedakan keputusan atas:

a. De rechtsvastellende beschikkingen;

b. De constitutieve beschikkingen yang terdiri atas:

1) Belastende beschikkingen (keputusan yang memberi beban);

2) Begunstigende beschikkingen (keputusan yang menguntungkan);

3) Statusverleningen (penetapan status).

c. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan).

2. E. Utrecht membedakan ketetapan atas:

a. Ketetapan Positif dan Negatif

Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Ketetapan
Negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan Negatif
dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd-verklaring), pernyataan tidak diterima
(niet-ontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (awijzing).
b. Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif

Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian (recthtsvastellende


beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend).

c. Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)

1) Menurut Prins, ada empat macam Ketetapan Kilat: ketetapan yang berubah mengubah redaksi
(teks) ketetapan lama;

2) Suatu Ketetapan Negatif;

3) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;

4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitverbaarverklaring);

5) Dispensasi, izin (vergunning), lisensi dan konsesi.

3. Prajudi Atmosudirjo, membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan
penetapan positif (permintaan dikabulakan). Penetapan negatif hanya berlaku sekali saja,
sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan Positif terdiri atas lima golongan
yaitu:

a. Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;

b. Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;

c. Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;

d. Yang memberikan beban (kewajiban);

e. Yang memberikan keuntungan.

Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:

1) dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang, bahwa suatu ketentuan
undang-undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam
surat permintaannya;

2) izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;

3) lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;

4) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi,
dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinkannya untuk memindahkan
kampung, membuat jalan raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian konsesi haruslah
dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang sematang-matangnya.
Sedangkan mengekurkan keputusan merupakan perbuatan pemerintah dalam bidang
hukum publik bersegi satu dapat dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
a.sepihak konkret individual
contoh: keputusan tentang pengangkatan/pemberhentian seseorang sebagai pegawai negeri sipil,
keputusan tentang pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan publik, penetapan pajak
seseorang.
b.sepihak konkret umum
contoh: keputusan presiden tentang kenaikan gaji PNS, keputusan menteri tenaga kerja tentang
upah minimum, dsb.
c.lebih dari satu badan/pejabat TUN-konkret-umum
contoh: keputusan bersama menteri agama dan menteri pendidikan tentang pengangkatan guru
agama.

B. Beleidsregel
Beleidsregel atau peraturan kebijakan ini sebenarnya adalah jenis Tindak Administrasi Negara
dalam bidang hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiek rechtelijke handelingen). Ia
merupakan hukum bayangan (spiegelrecht) yang membayangi undang-undang atau hukum yang
terkait pelaksanaan kebijakan (policy). Beleidsregel berasal dari kewenangan diskresi yang pada
umumnya digunakan untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan ketentuan undang-undang.
Laica Marzuki menambahkan bahwa beleidsregel itu sendiri terdiri dari unsur-unsur seperti
berikut:
1.Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan freies ermessen
(discretionary power) dalam bentuk tertulis, yang setelah diumumkan keluar guna diberlakukan
kepada warga;
2.Isi peraturan kebijakan dimaksud, pada nyatanya telah merupakan peraturan umum (generale rule)
tersendiri, jadi tidak sekedar sebagai petunjuk pelaksanaan operasional sebagaimana tujuan
semula dari peraturan kebijkan atau beleidsregel itu sendiri. Badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan peraturan kebijakan itu sama sekali tidak memiliki kewenangan membuat
peraturan umum (generale rule) namun tetap dipandang legitimated mengingat beleidsregel
adalah merupakan perwujudan freies ermessen yang diberi bentuk tertulis.
Bagir Manan menambahkan bahwa beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak termasuk
dalam peraturan perundang-undangan, akibatnya karena bukan jenis peraturan perundang-
undangan maka tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Suatu peraturan kebijakan
tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid), karena memang tidak akan ada dasar peraturan
perundang-undangan untuk keputusan membuat peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan dibuat
berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi Negara yang bersangkutan
untuk membuat peraturan perundang-undangan (baik karena secara umum tidak berwenang
maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak berwenang mengatur). Selanjutnya dikatakannya
bahwa pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid dan karena
itu batu ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak.
Van Kreveld mengatakan (sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk dalam bukunya yang
berjudul Hukum Administrasi Negara) walau didasarkan pada azas freies ermessen, beleidsregel
ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-syarat tersebut
antara lain:
1.Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang
dijabarkannya;
2.Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat;
3.Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari instansi yang
berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan mempertimbangkan alternatif yang
ada;
4.Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang terkena dan ada
kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum
formal);
5.Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya; dan
6.Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah diperoleh dari warga
yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah ditimbulkan jangan sampai
diingkari.
Sehingga jelas kemudian jika kita melihat beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak
termasuk peraturan perundang-undangan, didasarkan atas asaz freies ermessen, dan berlaku
secara umum. Mengutip dari Bagir Manan bahwa beleidsregel ini tidak mempunyai dasar
peraturan perundang-undangan maka bisa kita katakana kalau beleidsregel ini berdiri secara
mandiri tanpa terikat dengan peraturan yang lebih tinggi baik itu UUD 1945, UU atau peraturan
perundang-undangan lainnya. Sudah pasti kemudian karena ia tidak mempunyai gantungan
peraturan yang lebih tinggi maka ia terlepas dari prinsip peraturan perundang-undangan yang
umum seperti yang digariskan oleh Adolf Merkl.
Adolf Merkl mengemukakan suatu teori yang ia sebut sebagai das Doppelte Rechtsanlitsz bahwa
suatu hukum itu selalu mempunyai dua wajah. Baginya, suatu norma hukum itu ke atas ia
bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber
bagi norma hukum di bawahnya. Hal ini menyebabkan suatu norma hukum mempunyai
keberlakuan yang relatif sehingga jika norma hukum yang di atasnya dihapus atau dicabut maka
otomatis norma hukum yang ada di bawahnya terhapus juga.
Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Hans Kelsen dengan Stufentheorie atau teori jenjang norma
hukum. Menurut Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif (Grundnorm).
Beleidsregel ini tidak mengikat hukum secara langsung namun mempunyai relevansi hukum. Hal
ini dapatlah dipahami karena karakteristik dari beleidsregel yang memang berbeda dengan norma
hukum publik yang lain dimana Stufentheorie Hans Kelsen mengikat secara erat. Beleidsregel ini
dapat kita katakan bukan hukum tetapi ketentuan. Ketentuan bukanlah hukum, ia tidak
mempunyai dampak seperti norma hukum yang lain. Tentunya ini adalah hal yang adil
mengingat kedudukan beleidsregel yang tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan.
Karena sifatnya yang tidak legal formal tersebut, dampak daya ikat beleidsregel juga tidaklah
sekuat norma hukum pada biasanya. Ia dibentuk memang untuk tujuan ‘menyimpangi hukum
positif’ yang berlaku. Tentunya seorang pejabat administrasi negara kadangkala mengalami
suatu kondisi dimana ia harus mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tepat karena
menyangkut masyrakat banyak. Namun disisi lain ia juga terikat oleh peraturan-peraturan
administrasi negara yang mengikat jabatannya sebagai seorang pejabat administrasi negara.
Dalam kondisi yang serba cepat seperti ini maka pejabat administrasi negara dituntut untuk
memiliki kecerdasan dan sikap tindak yang tepat lagi bertanggung jawab untuk mengakomodir
kepentingan masyarakat tersebut dengan cara mengeluarkan beleidsregel. Seperti itulah kondisi
yang melatar belakangi suatu beleidsregel biasanya lahir.
Karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan maka otomatis suatu beleidsregel
tidaklah dapat diuji secara hukum (wermatigheid). Namun walaupun begitu beleidsregel bukan
berarti ‘bebas murni’, menurut Van Kreveld (seperti telah dijelaskan di atas) bahwa beleidsregel
ini Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner
yang dijabarkannya dan tidak dapat bertentang dengan nalar sehat. Artinya tetap memiliki
batasan-batasan tertentu.
2. Hubungan Beschikking dan beleidsregels
Di dalam Hubungan Beschikking dan beleidsregels kita harus mengetahui
pengertiannya terlebih dahulu agar tidak adanya kebingungan dalam penyelesaian
masalah dimana Beschikking adalah Keputusan dan beleidsregels adalah peraturan
maka dari itu Persamaannya terletak bahwa ketiga-tiganya merupakan norma-
norma yang mempunyai sifat mengikat. Sedangkan perbedaannya terletak bahwa,
apabila suatu keputusan pemerintah mengikat umum, mengikat setiap orang dalam
suatu wilayah hukum atau keputusan pemerintah yang berlaku umum yang tidak
diketahui identitas orangnya, maka keputusan pemerintah itu bersifat peraturan.
Jadi, keputusan itu ada yang bersifat peraturan ada yang bersifat ketetapan. Hal ini
tergantung kepada isi dari keputusan tersebut, apabila keputusan itu isinya
mengikat umum, berlaku umum, maka keputusan itu adalah peraturan dan apabila
hanya mengikat seseorang tertentu atau individu tertentu saja, maka keputusan itu
adalah ketetapan.

Jadi keputusan itu selalu peraturan apabila isinya berlaku dan mengikat secara
umum dan keputusan selalu ketetapan apabila isinya hanya berlaku dan mengikat
seseorang atau individu saja.

Kesimpulan

Di dalam Hubungan Beschikking dan beleidsregels kita harus mengetahui


pengertiannya terlebih dahulu agar tidak adanya kebingungan dalam penyelesaian
masalah dimana Beschikking adalah Keputusan dan beleidsregels adalah peraturan.
pada dasarnya, siapapun yang menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan
publik di dalamnya terdapat suatu langkah ataupun tindakan oleh pemerintah
(penguasa). Langkah dari tindakan itu mempunyai maksud dan tujuan yaitu bagi
pemerintah dan masyarakat. Untuk pemerintah diharapkan memperoleh dukungan
sedangkan untuk masyarakat biasanya adalah dicapainya kesejahteraan kehidupan
masyarakat. Dalam melaksanakan kebijakan publik untuk memudahkan
pelaksanaannya biasanya ada proses paksaan, legitimasi dari kebijakan publik itu
ditempatkan pada produk hukum, ketentuan hukum, peraturan hukum.

Anda mungkin juga menyukai