Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN AKIBAT STROKE

A. Konsep Dasar

1. Definisi

Price, S.A. (2000 : 961) menyatakan Stroke merupakan defisit

neurologik yang timbul secara mendadak sebagai akibat gangguan suplai

darah ke otak. Stroke disebut juga CVA (Cerebro Vascular Accident).

Stroke merupakan salah satu manifestasi neurologik yang umum yang

timbul secara mendadak akibat adanya gangguan suplai darah ke otak.

(PUSDIKNAKES, 1995 : 49)

Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000 : 290),

menyatakan :

Penyakit cerebrovascular menunjukan adanya beberapa kelainan otak


baik secara fungsional maupun structural yang disebabkan oleh
keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh
sistem pembuluh darah otak. Patologis ini menyebabkan pendarahan
dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding pembuluh atau
kerusakan sirkulasi cerebral oleh okulasi parsial atau seluruh lumen
pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau
permanen.

Berdasarkan ketiga pendapat diatas, maka penulis mengambil

kesimpulan, Stroke adalah gangguan sistem serebral yang menyebabkan

defisit neurologik yang timbul secara tiba-tiba yang disebabkan karena adanya

7
8

gangguan sistem peredaran darah ke otak yang mengenai ke sistem saraf pusat

yang pengaruhnya dapat bersifat sementara atau permanen.

2. Anatomi Dan Fisiologi

Menurut Price, S.A. (2000 : 961-963) 2 % dari berat badan manusia

merupakan berat otak. Dalam keadaan istirahat otak menerima seperenam dari

curah jantung. Otak mempergunakan 20 % dari oksigen tubuh. Bila terjadi

iskemik serebral, neuron-neuron mulai mengalami perubahan metobolik.

Dalam waktu 3 hingga 10 menit neuron-neuron mungkin sudah nonaktif total.

Kekurangan oksigen menyebabkan neuron-neuron kehilangan fungsi akan

diikuti oleh destruksi neuron.

Bila suatu arteri mengalami stenosis maka darah akan mengalir keotak

hingga lumen pembuluh tersebut mengecil sampai 80 %. Akan tetapi, stenosis

yang terjadi berurutan akan menjadi bermakna bila aliran berkurang dalam

derajat yang lebih rendah. Misalnya, bila satu arteri karotis tersumbat, maka

penurunan jumlah aliran sebanyak 50 % melalui arteria satunya akan

menimbulkan gangguan neurologis.

Sirkulasi Serebral

Darah disuplai ke otak oleh dua arteria kaarotis interna (anterior) dan

dua arteria vertebralis (di posterior). Arteria-arteria ini merupakan cabang dari

lengkung aorta. Disebalah kanan, trukus brakiosefalikus (arteria inominata)

akan bercabang menjadi arteria karotis komunis kanan, yang memperdarahi

kepala dan arteria subklavia kanan yang memperdarahi lengan. Dan di sebelah
9

kiri, arteri karotis komunis kiri dan arteria subklavia kiri masing-masing

langsung di cabangkan dari lengkung aorta.

Secara umum, arteria serebri berupa arteria, penghantar (kondusif)

atau arteria yang menembus (penetrans). Arteri konduktif (arterial karotis,

serebri media dan serebri anterior; vertebralis, basilaris dan serebri posterior)

dan cabang-cabang membentuk jalinan yang luas meliputi permukaan otak.

Arterial penetrans merupakan pembuluh darah yang mengalirkan nutrisi yang

berasal dari arterial konduktf. Pembuluh-pembuluh nutrisi ini masuk kedlam

otak dengan sudut tegak lurus dan menyediakan darah bagi struktur-struktur

yang terdapat dibawah korteks seperti (capsula interna, ganglia basalis dan

lain-lain). Sirkulasi yang menuju kedua hemisfer biasanya simetris, setiap sisi

mendapat suplai darah tersendiri, terpisah dari sisi yang lain. Tetapi sering

kali terjadi anomali distribusi klasik dan biasanya tidak berarti.

Faktor intrinsik yang mengatur aliran darah otak (ADO) terutama

berkaitan dengan sistem kardiovaskuler.

Sirkulasi Willisi adalah area percabangan arteri basilar dan karotis

internal bersatu. Sirkulasi willisi terdiri atas dua arteri serebral, arteri

komunis anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua arteri komunikan

arterior.

Jaringan sirkular ini memungkinkan darah bersikulasi dari satu

hemisfer lain dan dari bagian anterior keposterior otak. Ini merupakan sistem

yang memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh mengalami


10

sumbatan. Namun bukan hal yang tidak lazim untuk sebagian pembuluh ini di

dalam sirkulasi willisi mengalami artropi atau bahkan abses. Hal ini

bertanggung jawab terhadap perbedaan keadaan klinis diantara pasien dengan

lesi yang sama. Misalnya suatu sumbatan pada arteri karotis pada individu

dengan sirkulasi willisi paten sempurna mungkin benar-benar asimtomatik,

tetapi pada mereka dengan sirkulasi inkomplit dapat menunjukan infark

serebral masif.

Gambar 1

(Gambar sirkulasi willisi dilihat dari bawah otak)


11

3. Patofisiologi

Otak mendapat suplai darah secara konstan dari jantung untuk

mendukung metabolisme cerebral. Otak sangat sensitf terhadap kekurangan

oksigen oleh karena aktifitas otak selalu berlangsung. Serta otak tidak dapat

menyimpan oksigen dan glukosa. Jika otak tidak mendapatkan suplai darah

yang cukup karena arteri yang bersangkutan tersumbat atau pecah sebagai

akibat keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadi anoksia atau hypoksia dan

kerusakan jaringan otak (PUSDIKNAKES, 1995 : 49).

Gangguan aliran darah otak yang mengakibatkan stroke dapat

disebabkan oleh penyempitan atau tertutupnya salah satu pembuluh darah ke

otak dan ini terjadi karena :

a. Thrombosis cerebral yang diakibatkan adanya atherosclerosis, pada

umumnya menyerang usia lanjut, thrombosis ini biasanya terjadi pada

pembuluh darah dimana oklusi itu terjadi. Thrombosis ini dapat

menyebabkan ischemia jaringan otak (yang dialiri oleh pembuluh darah

yang terkena). Stroke karena terbentuknya thrombus biasanya tejadi pada

saat tidur atau pada saat bangun tidur. Hal ini terjadi pada orang tua yang

mengalami penurunan aktifitas simpatis dan posisi recumbent

menyebabkan menurunnya tekanan darah sehingga dapat menyebabkan

ishemia cerebral.
12

b. Emboli cerebral, merupakan penyumbatan pembuluh darah otak, oleh

bekuan darah, lemak atau udara. pada umumnya emboli berasal dari

thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri cerebal.

Emboli cerebral pada umumnya berlangsung cepat dan gejala yang timbul

kurang dari 10-30 detik.

c. Pendarahan intracerebral, terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak

akibat tekanan yang tinggi atau aneurisma yang pecah. Keadaaan ini pada

umumnya terjadi pada usia diatas 50 tahun, sebagai akibat pecahnya

pembuluh arteri otak. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan

perembesan darah kedalam parenkim otak, rongga sub arachnoid,

ventrikel dan dapat menyebabkan penekanan, pergeseran dan pemisahan

jaringan otak yang berdekatan, akibatnya jaringan otak internal tertekan

sehingga menyebabkan infark otak, edema dan memungkinkan terjadi

herniasi otak.

Stroke akibat thrombosis cerebral dan emboli cerebral disebutstroke

iskemik. Dan stroke akibat pendarahan disebut stroke hemoragik dan

keadaaan ini lebih buruk dari stroke iskemik.

(PUSDIKNAKES, 1995 : 490).


13

4. Manajemen Medik Secara Umum

Menurut Price, S.A. (2000 : 970-972)

a. Pencegahan

Faktor yang terpenting yang berhasil ditemukan adalah Hipertensi yang

menjadi berbahaya bila digabungkan dengan faktor-faktor lain seperti

diabetes, hipertropi ventrikel kiri yang dapat diidentifikasi dengan EKG,

peningkatan kadar kolesterol darah, kebisaaan merokok dan gangguan

jantung.

Beberapa tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan :

1) Pembatasan makan garam dimulai dari masa muda, membisaakan

makan makanan rendah garam.

2) Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk

mempertahankan tekanan darah selama tindakan pembedahan.

3) Peningkatan kegiatan fisik, jalan setiap hari sebagai bagian dari

program kebugaran.

4) Penurunan berat badan bila kegemukan.

5) Berhenti merokok.

6) Penghentian pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang merokok,

karena resiko timbulnya penyakit serebrovaskular. Pada wanita yang

merokok dan menelan kontrasepsi oral meningkat sampai 16 kali


14

dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak menelan

pil kontrasepsi.

b. Pengobatan

Untuk merawat keadaan stroke perlu diperhatikan faktor-faktor kritis

sebagai berikut :

1) Menstabilkan tanda-tanda vital

a) Mempertahankan saluran nafas (sering melakukan penghisapan

yang dalam, O2, trakeotomi, pasang alat Bantu pernafasan untuk

pernafasan bila batang otak terkena).

b) Kendalikan tekanan darah sesuai dengan keadaan masing-masing

individu termasuk usaha untuk memperbaiki hipotensi atau

hipertensi.

2) Deteksi dan perbaiki aritmia jantung

3) Merawat kandung kemih. Sedapat mungkin jangan memasang kateter

tinggal, cara ini telah diganti dengan kateterisasi keluar masuk setiap 4

-6 jam.

4) Menempatkan posisi penderita dengan baik secepat mungkin.

a) Penderita harus dibalik setiap 2 jam dan latihan gerakan pasif

setiap 2 jam jaga.

b) Dalam beberapa hari dianjurkan untuk dilakukan gerakan pasif

penuh sebanyak 50 kali / hari. Tindakan ini perlu untuk mencegah

tekanan pada daerah tertentu dan untuk mencegah kontraktur.


15

5. Dampak Masalah Terhadap Perubahan Struktur / Pola Fungsi Sistem

Tubuh Tertentu Terhadap Kebutuhan Klien Sebagai Mahluk Holistik

a. Sistem Kardiovaskuler

Menurut Doenges, M.K, E. dkk (2000 : 290), Hipertensi penyakit jantung,

disritmia, polisitemia, merupakan keadaan vaskuler yang bisa terjadi pada

penderita stroke.

b. Sistem Pencernaan

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000 : 291),

Adanya gangguan sistem pencernaan pada penderita stroke yang bisa

menyebabkan adanya detensi abdome, bising usus negatif, nafsu makan

hilang, mual muntah, kehilangan sensasi kecap dan kesulitan menelan.

c. Sistem Pernafasan

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000 : 291).

Batuk, hambatan jalan nafas, pernafasan sulit atau tidak teratur, suara

nafas terdengar ronchi

d. Sistem Perkemihan

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000 : 291),

Adanya perubahan dalam pola berkemih, seperti inkontenensia urine dan

anuria.
16

e. Sistem Muskuloskeletal

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. Merasa kesulitan

untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, merasa mudah lelah, susah

untuk beristirahat (kejang otot, nyeri).

f. Sistem Penglihatan

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000 : 291).

Pada penderita penyakit stroke, pada batang otak sering sekali mengeluh

penglihatan rangkap dan kadang-kadang merasakan bahwa benda yang

dilihatnya itu bergerak serta naik turun, bahkan penglihatan pada satu sisi

dapat menghilang.

B. Tinjauan Teoritis

1. Pengkajian

a. Pengumpulan Data

1) Bio Data

Menurut Underwood J.C. (2000 : 869) penyakit stroke lebih sering

diderita oleh jenis kelamin laki-laki dan banyak dialami oleh penderita

yang berumur 50 tahun keatas.

2) Riwayat Kesehatan

a) Keluhan Utama

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000,

290 :292) keluhan utama yang sering diderita klien dengan stroke
17

nyeri kepala, hipertensi, kelemahan, kelumpuhan, mudah lelah,

perubahan pola berkemih, penurunan nafsu makan, mual dan

muntah, kehilangan sensasi kecap, sulit menelan, penurunan

tingkat kesadaran, afasia dan gangguan respon.

b) Riwayat Kesehatan Sekarang

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000:

290-292) klien akan merasa sulit untuk beraktivitas karena

kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis (hemiplegia),

gangguan tonus otot paralitik dan kelemahan umum, nafsu makan

hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan sensasi, pusing,

sakit kepala, kesemutan, penglihatan menurun, seperti buta total,

kehilangan penglihatan sebagian, penglihatan ganda dan gangguan

lain.

c) Riwayat Kesehatan Dahulu

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000:

290-292) klien dengan stroke biasanya mempunyai riwayat

penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, serta

mempunyai faktor presifitasi merokok, hiperlipidemia.

d) Riwayat Kesehatan Keluarga

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000:

290-292) kemungkinan dari keluarga yang berpenyakit sama


18

stroke, hipertensi, diabetes melitus mengakibatkan stroke yang

terjadi pada klien.

3) Data Biologis/Fisiologis

a) Pola Aktifitas Sehari-hari

(i) Makanan dan Cairan

Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut

(peningkatan TIK), kehilanaga sensasi (rasa kecap) pada lidah,

kesulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan

faringeal). Obesitas merupakan faktor resiko. Doenges, M.E.

Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000: 291)

(ii) Eliminasi

Perubahan pola berkemih, seperti inkontenensia urine, anuria.

Bising usus negatif(ileus paralitik). Doenges, M.E. Moorhouse,

M.F, Geissler, A.C. (2000: 290).

(iii) Hygiene

Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri

(pada periode akut). Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler,

A.C. (2000: 291).

(iv)Aktivitas dan Istirahat

Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,

merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (kejang otot,


19

nyeri). Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. (2000:

290).

b) Pemeriksaan Fisik

(i) Keadaan Umum

Pada keadaan stroke bisa terjadi penurunan kesadaran, berat

badan yang tidak ideal dengan tinggi badan. (Doenges, M.E.

Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. :2000 : 290-292).

(ii) Tanda-tanda vital

Stroke bisa berawal dengan adanya keadaan tekanan darah

klien hipertensi dan adanya pernafasan, nadi takikardi.

(Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. 2000 : 291-

292).

(iii) Pemeriksaan per sistem

Klien mengeluh nyeri kepala, karena adanya peningkatan intra

cranial, pendengaran bisa juga menurun. Tidak ditemukan

adanya kelainan pada leher, terjadi ketidakstabilan fungsi

jantung, sehingga adanya disritmia, suara nafas terdengar

ronchi (aspirasi ekskresi), keadaan distensi abdomen juga bisa

saja terjadi karena kandung kemih berlebihan dan bising usus

negatif (illeus paralitik) (Doenges, M.E. Moorhouse, M.F,

Geissler, A.C. 2000 : 290-292).


20

(iv) Pemeriksaan pada sistem neurologis.

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler,

A.C. 2000 : 291.

Sinkope atau pusing, sakit kepala, kelemahan,

kesemutan, gatal, penglihatan menurun dan penglihatan ganda,

hilangnya rangsangan sensori kontralateral pada ekstremitas

dan kadang-kadang pada ipsilateral (yang satu sisi) pada wajah.

Gangguan rasa pengecap dan penciuman.

Tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada pasien

stroke hemoragis, letargi, apatis, gangguan fungsi kognitif,

genggaman tidak sama, reflek tendon melemah secara

kontralateral.

Pada wajah terjadi paralysis atau parese (ipsilateral),

afasia (gangguan atau kehilangan fungsi bahasa), kehilangan

kemampuan untuk mengenali atau menghayati masuknya

rangsangan visual, pendengaran, gangguan kesadaran citra

tubuh, kewaspadaan, kelalaian terhadap bagian tubuh yang

terkena dan gangguan persepsi.

Kehilangan kemampuan menggunakan motorik pada

pasien saat pasien ingin menggerakannya (apraksia). Ukuran

pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral

(pendarahan/herniasi). Kekakuan nukal (biasanya karena


21

pendarahan), kejang (biasanya karena adanya pencetus

pendarahan.

4) Data Psikologis

Dalam salah satu tandanya timbul gangguan kesadaran terhadap citra

tubuh, kewaspadaan, kelalaian terhadap bagian tubuh yang terkena,

gangguan persepsi, perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa, emosi

yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, gembira dan sedih atau

kesulitan untuk mengekspresikan diri. (Doenges, M.E. Moorhouse,

M.F, Geissler, A.C. 2000 : 291)

5) Data Sosial

Dengan adanya masalah berbicara sehingga timbul ketidakmampuan

klien untuk berkomunikasi. (Doenges, M.E. Moorhouse, M.F,

Geissler, A.C. 2000 : 292).

6) Data Spiritual

Tidak adanya ditemukan gangguan spiritual pada penyakit stroke.

7) Data Penunjang

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. 2000 : 292)

a) Angiografi serebral, yaitu : membantu mencetuskan stroke secara

spesifik, seperti pendarahan atau obstruksi arteri. Adanya titik

okulasi atau ruptur.


22

b) Scan CT : memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan

adanya infark. Catatan : mungkin tidak dengan segera menunjukan

semua perubahan tersebut.

c) Fungsi lumbal : menunjukan tekanan normal dan biasanya ada

trombosis, emboli ; serebral dan TIA. Tekanan meningkat dan

cairan yang mengandung darah menunjukan adanya hemoragik

subarakhnoid atau pendarahan intra cranial. Kadar protein total

meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya

proses infalmasi

d) MRI : menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik dan

malformasi arteriovena (MAV).

e) Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena

(masalah sistem arteri karotis [aliran darah/muncul flak],

arterisklerotik).

f) EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak

dan mungkin memperlihatakan daerah lesi yang spesifik.

g) Sinar x tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng

pineal daerah yang berlawanan dari massa yang luas; klasifikasi

karotis interna terdapat pada trombosis serebral; klasifikasi parsial

dinding pada pendarahan subarakhnoid.


23

b. Analisa Data

Menurut Doenges, M.E. Moorhouse, M.F, Geissler, A.C. 2000 : 291-

293.

Tabel 2.1

Analisa Data

No. Data Yang Menyimpang Etiologi Masalah


1.  Perubahan tingkat kesadaran;  Interupsi aliran  Perubahan

kehilangan memori. darah: gangguan perfusi

 Perubahan dalam respon oklusif, hemoragi, jaringan.

motorik/ sensori; gelisah. vasospasme

 Defisit sensori, bahasa serebral, edema

intelektual dan emosi. serebral.

 Perubahan tanda-tanda vital.


2.  Ketidakmampuan bergerak  Keterlibatan  Kerusakan

dengan tujuan; dalam neuromuskuler; mobilitas fisik.

lingkungan fisik; kerusakan kelemahan;

koordinasi; keterbatasan parestesia; flaksid/

rentang gerak; penurunan paralis hipotonik

kekuatan atau kontrol otot. (awal); paralis

spasis.

 Kerusakan

perseptual atau

kognitif.
3.  Kerusakan artikulasi, tidak  Kerusakan sirkulasi  Kerusakan
24

No. Data Yang Menyimpang Etiologi Masalah


atau tidak dapat bicara serebral, kerusakn komunikasi

(disartria). neuromuskuler, verbal

 Ketidakmampuan untuk kehilangan tonus

bicara, menemukan dan atau kontrol otot

menyebutkan kata-kata, fasia atau oral;

mengidentifikasi objek, kelelahan umum.

ketidakmampuan memahami

bahasa tertulis atau ucapan.

 Ketidakmampuan

menghasilkan komunikasi

tertulis.
4.  Disorientasi terhadap orang,  Perubahan persepsi  perubahan

waktu dan tempat. sensori, transmisi, persepsi sensori

 Perubahn dalam pola integritas.

perilaku atau respon  Stress psikologi

biasanya terhadap (penyempitan

rangsangan; renpon lapang perseptual

emosional yang berlebihan. yang disebabkan

 Konsentrasi buruk, oleh ansietas).

perubahan proses piker/

bepikir kacau.

 Perubahan dalam ketajaman

sensori dilaporkan/diukur,
25

No. Data Yang Menyimpang Etiologi Masalah


hipoparestesia; perubahan

rasa kecap atau penghidup.

 Ketidakmampuan untuk

mrnyebutkan posisi bagian

tubuh (propriosepsi).

 Ketidakmampuan untuk

mengenal atau mendekati

makna terhadap objek.

 Perubahan pola komunikasi.

 Inkoordinasi motor.

5.  Kerusakan kemampuan  Kerusakan  Kurang

melakukan Aks, misal neoromuskuler, perawatan diri.

ketidakmampuan membawa penurunan kekuatan

makanan dari piring ke dan ketahanan,

mulut. kehilangan kontrol

atau koordinsi otot.

 Ketidakmampuan  Kerusakan

memandikn bagian tubuh, perseptual atau

mengatur suhu air. kognitif

 Ketidakmampuan untuk  Nyeri atau ketidak

memasang atau melepaskan nyaman.

pakaian, kesulitan  Depresi.


26

No. Data Yang Menyimpang Etiologi Masalah


menyelesaikan tugas

toileting.
6.  Perubahan aktual dalam  Perubahan biofisik,  Gangguan

struktur dan atau fungsi. psikososial, harga diri.

 Perubahn dalam pola perseptual kognitif.

biasanya dari bertanggung

jawab atau kapasitas fisik

untuk melaksanakan peran.

 Respon verbal atau

nonverbal terhadap

perubahan aktual atau

dirasakan

 Perasaan negatif tentang

tubuh, perasaan putus asa

atau tak berdaya.

 Berfokus pada kekuatan,

fungsi atau penampilan masa

lalu.

 Preokupasi dengan

perubahan atau kehilangan.

 Tidak menyentuh atau

melihat pada bagian tubuh

yang sakit.
7.  (Tidak dapat diterapkan;  Kerusakan  Resiko tinggi
27

No. Data Yang Menyimpang Etiologi Masalah


adanya tanda-tanda dan neuromuskuler atau terhadap

gejala-gejala membut perseptual. kerusakan

diagnosa aktual). menelan.


8.  Meminta informasi.  Kurang pemajanan.  Kurang

 Pernyataan kesalahan  Keterbatasan pengetahuan,

informasi. kognitif, kesalhan mengenai

 Ketidakakuratan mengikuti interpretasi kondisi dan

instruksi. informasi, kurang pengobatan.

 Terjadinya komplikasi yang mengingat.

dapat dicegah.  Tidak mengenal

sumber-sumber

informasi.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan serebral.

b. Kerusakan mobilitas fisik.

c. Kerusakan komunikasi verbal.

d. Perubahan persepsi sensori.

e. Kurang perawatan diri.

f. Gangguan harga diri.


28

g. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan.

h. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan obat.

3. Perencanaan

Rencana keperawatan sesuai dengan prioritas masalah dan tujuan serta kriteria

evaluasi maka didapatkan :

a. Diagnosa 1 : “Perubahan perfusi jaringan serebral”.

Tujuan :

1) Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/ membaik, fungsi

kognitif dan motorik atau sensori.

2) Mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan takadanya tanda-

tanda peningkatan TIK.

3) Menunjukan tidak ada kelanjutan kakambuhan defisit.

Intervensi dan Rasional

Mandiri

1) Kaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya koma/menurunkan

perfusi jaringan otak.

Mempengaruhi penerapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran

tanda atau gejala neurologis.

2) Monitor status neurologis secara teratur.


29

Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial

peningkatan TIK.

3) Monitor tanda-tanda vital (catat apakah hipertensi/hipotensi dan

bandingkan pada kedua lengan; nadi dan denyut irama jantung).

Variasi mungkin terjadi karena oleh tekanan atau trauma cerebral

pada daerah fase motor otak.

4) Evaluasi keadaaan pupil (ukuran, bentuk, persamaan, reaksi terhadapa

cahaya).

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) dan berguna

dalam menetukan apakah batang otak tersebut masih baik.

5) Kaji perubahan penglihatan, misalnya: penglihatan kabur, menurunnya

lapang pandang.

Gangguan penglihatan mengambarkan daerah otak yang terkena.

6) Kaji fungsi bicara atau komunikasi verbal.

Perubahan isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari lokasi

atau derajat gangguan cerebral.

7) Letakkan posisi klien dengan kepala lebih tinggi dan dalam posisi

netral atau terlentang.

Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan

meningkatkan sirkulasi.
30

8) Tempatkan klien pada lingkungan yang tenang, kurangi aktivitas yang

tidak berarti.

Aktivitas yang kontinyu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total dan

ketenangan merupakan pencegahan terhadap pendarahan pada kasus

stroke hemoragik.

9) Cegah klien terhadap hal-hal yang yang dapat menimbulkan

kemarahan dan pertahankan agar jalan nafas tetap terbuka atau bebas.

Memperbesar resiko terjadinya pendarahan dan kebutuhan O2 dalam

otak cukup.

10) Kaji terhadap kemungkinan adanya kekakuan atau kejang, gelisah,

iritabilitas dan menurunnya aktivitas.

Merupakan indikasi terhadap adanya iritasi meningeal. Kejang dapat

mencerminkan adanya tekanan TIK.

Kolaborasi

1) Beri oksigen sesuai indikasi.

Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi cerebral

dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema.

2) Beri pengobatan anti koagulen sesuai indikasi,

misalnya: Warfarin sodium, heparin dan anti hifertensi.


31

Dapat memperbaiki aliran darah cerebral.

3) Monitor tes laboratorium sesuai indikasi, misalnya:

pemeriksaan prothombin.

Memberikan informasi tentang keefektipan obat atau kadar

terapeutik.

b. Diagnosa 2 “Kerusakan mobilitas fisik”.

Tujuan:

1) Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh

takadanya kontraktur atau footdrop.

2) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian

tubuh yang terkena atau kompensasi.

3) Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan

melakukan aktivitas.

4) Mempertahankan integritas kulit.

Intervensi dan Rasional.

Mandiri

1) Kaji tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas

Mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan otot dan dapat

memberikan informasi mengenai pemulihan.

2) Rubah posisi tiap 2 jam sekali (terlentang atau miring)

Menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskemia jaringan.


32

3) Letakkan person dalam prone position satu atau dua hari bila pasien

kooperatif.

Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional.

4) Latih pasien untuk melakukan pergerakan ROM aktif atau pasif untuk

semua ekstremitas.

Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu

pencegahan kontraktur.

5) Kaji kemungkinan sirkulasi darah yang tidak adequate, misalnya:

warna kulit, edema, dan tanda lain.

Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan

penyembuhannya lambat.

6) Observasi keadaan integritas kulit dan lakukan masase untuk

melancarkan peredaran darah.

Mencegah kerusakan kulit.

7) Dorong pasien untuk melakukan aktivitas dan beri pujian bila klien

dapat melakukan aktivitas dengan benar.

Latihan aktif mendorong untuk menyatukan kembali sebagai bagian

tubuh sendiri.

Kolaborasi
33

1) Konsultasi dengan fisioterapi bila pasien menolak untuk melakukan

aktifitas.

Untuk menemukan kebutuhan yang berarti bagi pasien.

2) Berikan obat antispasmodic dan peransang otot sesuai program yang

diberikan.

Untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremiras yang terganggu.

c. Diagnosa 3 “Kerusakan komunikasi verbal”.

Tujuan :

1) Mengindikasikan pemahamaan tentang masalah komunikasi.

2) Membuat komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan.

3) Menggunakan sumber-sumber dengan tepat.

Intervensi dan Rasional

1) Kaji tingkat kemampuan pasien dalam berkomunikasi, misalnya:

kesulitan dalam berbicara, kemampuan untuk mengerti kalimat yang

diucapkan.

Mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan

informasi mengenai pemulihan.

2) Gunakan metode yang mudah bagi pasien, misalnya: menulis dan

menggambarkan.
34

Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan

atau defisit yang mendasari.

3) Latih pasien untuk berbicara atau melatih otot wajah secara

intensif dan catat respon pasien.

Melatih dan meningkatkan kesembuhan pasien dalam wicara.

4) Libatkan keluarga dalam melatih berbicara.

Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan

komunikasi yang efektif dan meningkatkan harga dirir pasien.

Kolaborasi

1) Konsulatasi dengan ahli terapi wicara.

Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik

dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan atau

kebutuhan terapi.

d. Diagnosa 4 “Perubahan persepsi sensori”.

Tujuan :

1) Memulai atau mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi

perseptual.

2) Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan

residual.

3) Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap atau

defisit hasil.

Intervensi dan Rasional:


35

1) Evaluasi adanya gangguan dalam penglihatan, misalnya gangguan

lapang pandang.

Munculnya gangguan penglihatan dapat berdampak negatif terhadap

kemampuan pasien dalam menerima lingkungan.

2) Ciptakan lingkungan yang sederhana dan nyaman.

Menurunkan atau membatasi jumlah stimulus penglihatan dan

memberikan kenyamanan bagi pasien.

3) Kaji kesadaran sensori dan berikan stimulasi terhadap sentuhan,

misalnya: membedakan panas dan dingin.

Memonitor terhadap penurunan kesadaran sensori dan mambantu

melatih kembali jarak sensori dan interupsi stimulasi.

4) Lindungi pasien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lingkungan

yang berbahaya.

Meningkatkan keamanan pasien yang menurunkan resiko terjadinya

trauma.

5) Observasi terhadap perilaku pasien seperti rasa bermusuhan,

menangis, afek tidak sesuai dan halusinasi.

Respon individu dapat bervariasi tetapi umumnya yang terlihat

seperti emosi labil.

6) Lakukan validasi terhadap apa yang dilihat oleh pasien.

Orientasikan kembali.
36

Membantu mengidentifikasi ketidakkonsistenan dari persepsi pasien,

dan menurunkan distorsi persepsi pada realita.

e. Diagnosa 5 “ Kurang perawatan diri”.

Tujuan :

1) Mendemonstrasikan teknik gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan

perawatan diri.

2) Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan

sendiri.

3) Mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas memberikan

bantuan sesuai kebutuhan.

Intervensi dan Rasional.

1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan

kebutuhan sehari-hari.

Membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan pemenuhan

kebutuhan secara individual.

2) Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat lakukan

pasien sendiri.

Pasien ini mungkin menjadi ketakutan dan sangat ketergantungan

meskipun bantuan yang diberikan itu bermanfaat.

3) Pertahankan dukungan, sikap yang tegas. Beri pasien waktu yang

cukup untuk melakukan tugasnya.


37

Pasien akan memerlukan empati tetapi perlu untuk mengetahui

pemberian asuhan yang akan membantu pasien secara konsiten.

4) Buat rencana terhadap gangguan penglihatan yang ada, misalnya:

meletakan makanan, sesuaikan tempat tidur dan posisikan perabotan.

Memberikan kemudahan bagi pasien.

5) Gunakan alat pribadi, misalnya: sikat tangkai panjang, kursi mandi

pancuran dan kloset yang agak tinggi.

Agar pasien dapat menanganinya sendiri.

6) Kaji kemampuan pasien dalam berkomuniksi tentang

kebutuhannya.

Mungkin mengalami gangguan sistem syaraf.

7) Identifikasi kebisaaan defekasinya.

Mengkaji perkembangan program latihan mandiri. Membantu

mencegah terjadinya konstipasi dan sembelit.

Kolaborasi

1) Berikan obat pelunak feces atau obat supositoria.

Mungkin dibutuhkan pada awal untuk membantu menciptakan atau

meransang fungsi defekasi teratur.

f. Diagnosa 6 “Gangguan harga diri”.


38

Tujuan :

1) Bicara dan komunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan

perubahan yang telah terjadi.

2) Mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.

3) Mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri

dalam cara yang akurat tanpa menimbulkan harga diri negatif.

Intervensi dan Rasional.

1) Kaji luasnya gangguan dan hubungan dengan derajat

ketidakmampuannya.

Penentuan faktor-faktor secara individu membantu dalam

mengembangkan perencanaan asuhan atau pilihan intervensi.

2) Anjurkan pada pasien untuk mengekspresikan perasaanya.

Mendemonstrasikan penerimaan atau menbentu pasien untuk

mengenal dan mulai memahami perasaan ini.

3) Tekankan keberhasilan sekecil apapun.

Membantu menurunkan perasaan kemarahan dan ketidakberdayaan

dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.

4) Bantu dan dorong kebiasaan pasien.

Membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol atas salah satu

bagian kehidupan.

5) Dorong orang terdekat agar memberikan kesempatan untuk

melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.


39

Membangunkan kembali rasa mandiri pasien dan menerima

kebanggan diri, dan meningkatkan proses rehabilitasi.

6) Berikan dukungan terhadap perilaku atau usaha klien.

Memungkinkan adapatasi untuk mengubah dan memahami tentang

peran diri sendiri.

g. Diagnosa 7 “Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan”.

Tujuan :

1) Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual

dengan aspirasi tercegah.

2) Mempertahankan berat badan yang diinginkan.

Intervensi dan Rasional :

1) Tinjau kembali patologi atau kemampuan menelan pasien secara

individual.

Intervensi nutrisi atau pilihan rute makan.

2) Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang

efektif.

Meningkatkan kemampuan pasien dalam menelan.

3) Letakkan makanan pada bagian mulut yang tidak terganggu dan

berikan makanan sedikit-sedikit.

Memberikan stimulasi sensori (rasa kecap) yang dapat mencetuskan

usaha untuk menelan.


40

4) Pertahankan masukkan dan pengeluaran makanan yang adekuat

dan akurat. Catat jumlah kalori yang masuk.

Jika usah menelan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan cairan

dan makanan harus dicarikan metode alternatif untuk makan.

5) Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan atau

kegiatan.

Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang dapat

meningkatkan perasaan senang dan miningkatkan nafsu makan.

6) Berikan cairan melalui IV dan atau makanan melalui selang.

Diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan

jika pasien tidak mampu untuk memasukan segala sesuatu melalui

mulut.

h. Diagnosa 8 “Kurang pengetahuan, mengenai kondisi dan pengobatan”.

Tujuan :

1) Berpartisipasi dalam proses belajar.

2) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dari

aturan terapeutik.

3) Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan.

Intervensi dan Rasional :

1) Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pada

individu.
41

Membantu dalam membangun keadaan dan harapan yang realistis

dan meningkatkan pemahaman terhadap keadaan dan kebutuhan saat

ini.

2) Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana atau

kemungkinan melakukan aktivitas.

Suatu hal yang terpenting pada kemajuan pemulihan atau pencegahan

terhadap komplikasi.

3) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

pasien.

Berbagai tingkat bantuan mungkin dapat membantu dalam

memecahkan masalah pasien.

4) Identifikasi faktor-faktor resiko secara individual seperti

merokok, kegemukkan, hipertensi, aterosklerosis dan penggunaan

kontrasepsi.

Meningkatkan kesehatan secara umum dan mungkin menurunkan

resiko kambuh.

5) Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan kontrol secara

medis seperti perubahan fungsi penglihatan, sensori, motorik dan

gangguan respon mental dan pikiran.

Evaluasi dan intervensi dengan cepat menurunkan resiko terjadinya

komplikasi atau kehilangan fungsi yang berkelanjutan.


42

Anda mungkin juga menyukai