Anda di halaman 1dari 16

Jurnal komunikasi, ISSN 1907-898X

Volume 6, Nomor 2, April 2012

Representasi Pribumi dalam Iklan


Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

Noveri Faikar Urfan

Alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta;


Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta

Abstract
Pandji Poestaka is a newspaper founded by the Netherland Indies colonial government,
that is Commisie voor de Volkslectuur (Commission of the People Reading), or better known
as Balai Poestaka. This study attempts to examine how the representation of natives in the
colonial period in Pandji Poestaka ads 1940-1941. Using semiotics, this study shows that
Pandji Poestaka ads has presented natives representation in the dichotomous class
stratification. The native aristocracy (priyayi) and the underprivileged (wong cilik).
Priyayi look represented the image of modernity: educated, wealthy, and civilized.
Meanwhile, wong cilik has been overwritten by inferior image representation: traditional,
blue-collar workers, and lazy. These representations, seen as part of the colonial strategy
to maintain its position in the Netherland Indies. By representing social class among the
natives, colonialism tried to keep the gap class. Colonialism also took advantage of the
mass media (Pandji Poestaka) as an ideological state apparatus to continue, maintain
power, and institutionalize the ideology of colonial rule.
Keywords: Pandji Poestaka, native, representation, class inequality, colonial ideology.

Abstrak
Pandji Poestaka adalah surat kabar yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda, yaitu Commisie voor de Volkslectuur (Commision of the People Reading), dikenal
lebih luas sebagai Balai Poestaka. Kajian ini mencoba menjelaskan bagaimana representasi
pribumi selama masa penjajahan dalam iklan Pandji Poestaka tahun 1940-1941.
Menggunakan analisis semiotika, kajian ini menunjukkan bahwa iklan di Pandji Poestaka
merepresentasikan dikotomi stratifikasi kelas: para aristokrat (priyayi) dan rakyat jelata
(wong cilik). Priyayi direpresentasikan memiliki semua citra modernitas: berpendidikan,
kaya raya, dan beradab. Sementara wong cilik digambarkan sebagai kelompok inferior:
tradisional, pekerja kerah biru, dan pemalas. Representasi ini, dilihat sebagai bagian dari
strategi penjajah untuk mempertahankan posisinya di Hindia Belanda. Dengan
merepresentasikan kelas sosial para pribumi, penjajah mencoba untuk merawat kesenjangan
kelas. Para penjajah juga memanfaatkan Pandji Poestaka sebagai alat ideologis untuk
melanjutkan, mengelola kekuasaan, dan melakukan institusionalisasi ideologi dan
peraturan-peraturan kolonial.
Kata Kunci: Pandji Poestaka, pribumi, representasi, kesenjangan kelas, idiologi kolonial.

105
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

Pendahuluan mereka telah mewakili dirinya, yakni

Pada masa kolonialisme Hindia-Belanda rasional, beradab dan lebih maju.

banyak iklan-iklan di berbagai terbitan Melihat persoalan di atas, agaknya


media massa, yang secara tak langsung menarik untuk membahas bagaimana
telah mengundang persepsi tentang iklan di masa kolonialisme Hindia-
inferioritas pribumi. Contohnya, iklan Belanda telah menjadi bagian dari strategi
Shell Waterwitte Petroleum, dalam koran kolonial dalam mewacanakan pribumi.
Sin Po, 19 Juli 1923 (Riyanto dalam Mengingat iklan adalah salah satu sarana
Susanto, 2003: 51). Dalam iklan ini komunikasi yang sangat strategis untuk
digambarkan seorang pribumi dengan menghadirkan berbagai persepsi,
pakaian lurik ala Madura, dengan mata terutama tentang bangsa kolonial yang
terbelalak dan kaget karena ia hampir superior dan berhak memerintah, dan
tidak bisa membedakan antara air dan pribumi yang inferior dan harus
minyak bahan bakar, “wa!.. saya kira itu menerima kepemimpinan moral maupun
ajer”, begitu bunyi headline iklan itu. politik bangsa kolonial.

Di luar fungsi iklan sebagai sarana Dalam persoalan inilah, penulis


pemasaran, entah dengan maksud yang tertarik untuk melakukan kajian tentang
disengaja atau tidak, tampilan visual iklan bagaimana masyarakat pribumi
itu telah menggiring pembacanya pada direpresentasikan dan diwacanakan dalam
ruang imaji tertentu tentang masyarakat iklan surat kabar pada masa penjajahan
pribumi. Bukan lain adalah gambaran Hindia-Belanda. Objek kajian yang dipilih
tentang mereka yang naif dan terbelakang, adalah iklan surat kabar Pandji Poestaka
yang belum mampu membedakan mana yang terbit pada tahun 1940-1942. Surat
air dan mana minyak. kabar Pandji Poestaka sengaja dipilih

Tidak berlebihan jika dikatakan karena kedekatannya dengan kepentingan

bahwa iklan di masa Hindia-Belanda, kolonialisme di Hindia Belanda.

telah menjadi salah satu bagian dari Pandji Poestaka sebenarnya


strategi kolonial dalam membentuk adalah terbitan yang dikeluarkan oleh
persepsi tentang pribumi. Persepsi itu Commisie voor de Volkslectuur (Komisi
dengan sengaja dibentuk melalui Bacaan Rakyat), sebuah badan penerbitan
pencitraan yang mengarah pada dua sisi yang didirikan oleh pemerintah kolonial
rasial yang saling berseberangan. Pribumi pada tahun 1908, yang kemudian lazim
selalu dicitrakan sebagai masyarakat disebut dengan nama Balai Poestaka
tradisional, irasional, naif, dan (Lombard, 2008: 192). Pada masanya,
terbelakang. Sedangkan bangsa kolonial Balai Poestaka adalah penerbit yang
akan menempati citra yang menurut menghasilkan banyak bahan bacaan, serta

106
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

berkembang dan menghasilkan banyak Poestaka (mingguan, sejak 1922). Tidak


sastrawan yang berpengaruh dalam jauh berbeda dengan bacaan-bacaan lain,
perkembangan sastra Indonesia modern, surat kabar ini juga tak lepas dari
seperti H. B. Jassin, Marah Roesli, dan kepentingan pemerintah kolonial dan
Sutan Takdir Alisjahbana. dikenai aturan pokok yaitu tidak boleh

Pada awal kemunculannya, Balai merusak kewibaan pemerintah kolonial.

Poestaka didirikan untuk membendung Dalam surat kabar inilah tampilan


menjamurnya berbagai penerbitan yang visual iklan banyak ditemukan, iklan-iklan
tak terkendali waktu itu. Balai Poestaka itu banyak menawarkan berbagai nacam
menjadi penerbit penyedia bahan bacaan produk komersial yang mulai menjamur
resmi yang diakui oleh pemerintah seiring berjalannya proses industrialisasi
kolonial. Penerbit ini sekaligus menjadi di Hindia-Belanda. Melajunya proses
sarana politik etis guna menumbuhkan industrialisasi ini, ditandai dengan
kegemaran membaca dan memajukan pesatnya laju produksi barang dan jasa,
pengetahuan pribumi sesuai dengan yang pada gilirannya membutuhkan jasa
kemajuan zaman (Pradopo, 2002: 101- iklan sebagau sarana komunikasi
103). pemasaran untuk menjangkau konsumen

Terlepas dari maksud itu, secara luas.

kehadiran Balai Poestaka tidak bisa Selain tujuannya sebagai sarana


dilepaskan dari kepentingan pemerintah komunikasi pemasaran, iklan juga bisa
kolonial. Kepentingan pemerintah dikatakan sebagai sebuah artefak budaya
kolonial itu, salah satunya terwujud dalam yang memberikan gambaran tentang
penetapan aturan umum yang ketat pada semangat dan persoalan pada zamannya
terbitan Balai Poestaka. Pemerintah (Riyanto dalam Susanto, 2003: 22). Sebab
kolonial memberi aturan bahwa bacaan- itu, mengkaji iklan juga membutuhkan
bacaan terbitan Balai Poestaka tidak boleh pengetahuan yang mendalam tentang
sampai berbau politik, apalagi merusak konteks zaman dan keadaan ketika teks
kewibawaan pemerintahan kolonial iklan itu dihadirkan. Pengetahuan tentang
(Teeuw, 1995: 57-60). Selain itu, penerbit konteks ini berguna untuk memberi
ini juga selalu berusaha menyebarkan gambaran tentang teks itu secara lebih
suatu ideologi ortodoks yang secara utuh, lengkap dengan macam-macam
implisit menguntungkan orang Eropa. persoalan yang melingkari kehadiran teks

Di luar terbitan berupa buku-buku iklan itu sendiri.

bacaan dan karya sastra, Balai Poestaka Selanjutnya, iklan juga punya arti
juga menerbitkan surat kabar, yaitu Sri penting di mana kemunculannya telah
Poestaka (bulanan, sejak 1919) dan Pandji memancing hadirnya persoalan tentang

107
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

representasi. Representasi menjadi isu Metode Penelitian


yang menarik, sebab di dalamnya Dalam penelitian ini, penulis
identitas-identitas dihadirkan dan menggunakan metode analisis semiotika,
dilibatkan di tengah berbagai dengan mengombinasikan perangkat
kepentingan, bahkan relasi kekuasaan analisis dari tokoh semiotika Ferdinand de
yang ikut melatarbelakangi proses Saussure, Roland Barthes, dan ahli
kehadiran tersebut. Sebagai hasilnya antropologi struktural Claude Levi
representasi bisa menghadirkan gambaran Strauss. Dari pemikiran Saussure, analisis
tentang siapa yang dominan dan siapa semiotika akan disandarkan pada
yang terpinggirkan, serta wacana apa saja kerangka analisis sintagma, yakni
yang ikut mempengaruhinya (Hartley, hubungan kehadiran (in presentia) untuk
2010: 66-67). memperoleh makna sebenarnya dalam
Persoalan representasi dalam iklan iklan (Budiman, 2011: 27-28). Setelah
di masa Hindia-Belanda akhirnya menjadi melakukan analisis sintagma, analisis
penting untuk dikaji secara serius, semiotika akan dilanjutkan dengan
mengingat identitas masyarakat pribumi mengetengahkan aspek paradigmatik,
telah dipertaruhkan pada ajang yakni hubungan ketidakhadiran (in
kepentingan kekuasaan kolonial waktu absentia), untuk dikaitkan dengan
itu. Pribumi banyak diwacanakan sebagai konotasi-konotasi sehingga akan
sosok yang lemah dan tak berdaya di berhubungan dengan adanya mitos
bawah bayang-bayang represif praktik (ideologi) seperti yang diketengahkan oleh
kolonialisme. Sebab itulah diperlukan Roland Barthes.
pembacaan yang kritis dan mendalam Oleh karena objek kajian
guna membongkar wacana-wacana dalam penelitian ini adalah iklan, maka objek
iklan di masa kolonial, yang notabene kajian ini akan diperlakukan dengan
telah menyudutkan kaum pribumi dalam mengangkat dimensi-dimensi khusus di
ruang imajinasi yang inferior. dalamnya. Dalam analisis sintagma, iklan
Studi ini akan menjawab dua dalam penelitian ini akan dianalisis
pertanyaan: pertama, bagaimana berdasarkan empat dimensi yang ada
representasi pribumi Indonesia di Masa dalam iklan itu sendiri, yakni anchorage
Kolonial dalam iklan surat kabar Pandji (penambat), argument (proposisi),
Poestaka terbitan 1940-1941; dan kedua, montage (tata panorama), dan narrative
bagaimana nilai-nilai tersembunyi (penceritaan) (Tolson, 1996: 28-43).
(mitos/ideologi) dalam iklan surat kabar Setelah melakukan analisis
Pandji Poestaka? sintagma, makna-makna sebenarnya
dalam iklan yang diteliti, kemudian akan

108
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

ditempatkan dalam hubungan Sistem oposisi biner nantinya akan sangat


paradigmatik untuk dikaitkan dengan berguna untuk menemukan struktur dan
konotasi-konotasi. Proses hubungan pemahaman yang tepat dalam memahami
konotasi tersebut, berikutnya akan mitos pada objek penelitian (iklan Pandji
membawa teks iklan yang diteliti pada Poestaka). Setelah menguraikan mitos
hubungannya dengan mitos (ideologi). dalam struktur oposisi biner, selanjutnya
Dalam melakukan analisis mitos, akan diterangkan pula bagaimana mitos
penelitian ini akan terbantu oleh tersebut bermain, atau dikonstruksi secara
penggunaan perangkat kategorisasi historis yang melibatkan berbagai
oposisi biner (binary opposition) yang pengetahuan, kepentingan dan tentunya
diperkenalkan oleh Claude Levi Strauss. ideologi.

Iklan-Iklan Pandji Poestaka 1940-1941

Gambar 1. Lampu Philips, 6 Januari 1940

Gambar 2. Lampu Philips, 3 Februari 1940

109
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

Gambar 3. Kaldu Maggi Bouillon, 24 Januari 1940

Gambar 4. Iklan Maggi Bouillon, 24 Februari 1940

110
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

Gambar 5. Blue Band Margarine 15 Oktober 1941

Konotasi Iklan

Tabel Konotasi

No Jenis Iklan Konotasi yang Muncul


Orang Jawa. Pencerahan. Pengetahuan.
1 Lampu Philips Modernisasi”

Orang Jawa. Bahan instan. Tradisional.


2 Kaldu Maggi
Pekerja kasar.

3 Blue Band Margarine Pribumi. Berpendidikan. Industrialisasi

111
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

Mitos Iklan Pandji Poestaka iklan lampu Philips dan Blue Band. Dalam
dua iklan ini, sangatlah terlihat bahwa
Untuk mempermudah terlihatnya
pribumi telah bersanding dengan berbagai
temuan dalam penelitian semiotika ini,
macam atribut elit dan modern (pada
penggunaan model oposisi biner Levi
zamannya) seperti lampu listrik, koran,
Strauss dalam menyimpulkan mitos, akan
sekolah.
membantu penulis untuk menemukan
bagaimana representasi atas pribumi Sementara itu, pribumi jelata
dalam iklan Pandji Poestaka. dicitrakan secara berkebalikan dari

Relasi oposisisi biner dalam mitos pribumi priyayi. Pribumi jelata dengan
sifat-sifat: tradisional, belum beradab,
Iklan Pandji Poestaka adalah sebagai
berikut: miskin, bodoh dan pekerja kasar, kiranya
cukup kuat direpresentasiakn oleh iklan
Skema mitos pribumi dalam iklan
Pandji Poestaka kaldu Maggi Bouillon, di mana dalam
Kolonial : Pribumi iklan ini atribut-atribut tradisionalitas
Pribumi priyayi : Pribumi jelata banyak muncul, seperti dinding anyaman
Modern : Tradisional bambu, alat masak tradisional, dan sosok
Beradab : Belum Beradab pria pekerja.
Kaya : Miskin
Dalam hubungan kelas yang
Elit : Pekerja Kasar
dikotomis ini, iklan Pandji Poestaka boleh
Rajin : Malas
dikatakan telah memanfaatkan jurang
Pintar : Bodoh
kelas sosial di kalangan pribumi untuk
memasarkan produk-produknya. Untuk
Dalam skema ini, tampak jelas
memasarkan produk-produk elit seperti
bahwa iklan Pandji Poestaka telah
lampu dan mentega pelapis roti, iklan
merepresentasikan pribumi dalam
Pandji Poestaka memanfaatkan figur
kategori oposisi kelas dengan sifat-sifat
sosok priyayi yang modern dan terdidik.
yang dikotomik. Iklan Pandji Poestaka
Sementara dalam memasarkan produk
merepresentasikan pribumi priayi sebagai
sederhana, seperti kaldu, iklan Pandji
masyarakat yang telah modern, beradab,
Poestaka memanfaatkan figur pribumi
kaya, elit, dan pintar. Sedangkan pribumi
jelata dengan tampilan sosok yang
jelata direpresentasikan secara oposisif
dilingkupi atribut-atribut tradisional
sebagai tradisional, tidak beradab, miskin,
seperti tikar, anyaman bambu dan alat-
pekerja kasar, dan bodoh.
alat masak tradisional.
Citra atas priyayi pribumi yang
modern, beradab, kaya, dan seterusnya,
kiranya cukup kuat direpresentasikan oleh
iklan Pandji Poestaka, khususnya dalam
112
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

Representasi Kesenjangan Kelas di sendiri dianggap sebagai “liyan” dalam


Masa Hindia Belanda kategori kolonial, maka upaya melihat

Setelah menguraikan secara persoalan ini harus pula didudukkan

singkat oposisi biner di atas, dalam secara diskursif terkait bagaimana

menjelaskan mitos pribumi, alangkah pemaksaan klaim “inferior”, ditindihkan

baiknya jika penulis akan mendudukkan secara semena-mena oleh kolonial kepada

juga bagaimana persoalan dikotomi kelas pribumi.

yang muncul dari representasi iklan surat Pada awal abad 19 misalnya,
kabar Pandji Poestaka ke dalam dua Dennys Lombard (2008: 154-155)
konteks yang agaknya tepat dan relevan. mencatat bahwa ungkapan “kemalasan
Konteks pertama adalah bagaimana pribumi” sudah menjadi pendapat umum
wacana kolonialisme beroperasi, di Hindia Belanda, melalui istilah-istilah:
sedangkan konteks kedua adalah relevansi luij (malas), ijverloosheijt
historis tentang kesenjangan kelas di masa (ketidaktekunan pribumi). Belum lagi
Hindia Belanda. Penjelasan ini, agaknya sebutan-sebutan umum yang terdengar
akan berguna untuk memberi dukungan diskriminatif pada kaum pekerja kasar
atas skema mitos di atas, agar pribumi dengan panggilan baboe
ketepatannya bisa terjustifikasi dalam (pengasuh), coeli (tukang angkut), atau
konteks yang tepat dan relevan. djongos (pembantu rumah tangga).

Dalam kajian kritis seputar wacana Stereotip diskriminatif ini, pada dasarnya

kolonialisme, misalnya seperti yang menguatkan pandangan bahwa dalam

diungkapkan oleh Ania Loomba, praktik kolonialisme di Hindia Belanda,

kolonialisme tidak cukup hanya masyarakat pribumi hampir selalu

didudukkan dalam persoalan perebutan - ditempatkan dalam bingkai rasial yang

paksa- aset-aset produksi dan pelanggaran diskriminatif.

hak asasi secara fisik. Akan tetapi, seperti Selain Lombard, Syaid Hussein
yang diungkapkan pula oleh Edward Said, Alatas, pun dalam tulisannya “The Mith of
bahwa kolonialisme juga bergerak dalam the Lazy Native”, mengungkapkan
diskursus tentang pemaksaan klaim di bagaimana mitos atau stereotip “malas”
mana masyarakat terjajah selalu yang ditancapkan oleh kolonial kepada
ditempatkan dalam kategori “liyan” yang pribumi. Dennys Lombard menegaskan
inferior di bawah superioritas kaum hal serupa, mitos kemalasan tersebut pada
kolonial (Gandhi, 1998: 101-102). dasarnya didasari oleh penetrasi

Ketika berbicara konteks kepentingan ekonomi Hindia Belanda

kolonialisme di Hindia Belanda, maka sejak abad 19 dengan meluasnya

persoalan kelas sosial di mana pribumi perkebunan dan pemanfaatan kaum

113
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

pribumi sebagai tenaga kerja (Lombard, tidak sembarang orang bisa


2008: 154). menikmatinya, sebab listrik pada waktu

Jika diingat kembali pada gambar- itu hanya dipasok secara terbatas. Data di

gambar dalam iklan Pandji Poestaka, tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa

khususnya pada iklan kaldu Maggi dan Madura terdapat Sembilan juta

Bouillon, agaknya akan tampak citra atas rumah, 50.000 di antaranya dihuni oleh

inferioritas pribumi dalam iklan tersebut. orang Eropa, sementara perusahaan-

Di mana atribut-atribut yang berdekatan perusahaan listrik memasok 200.000

dengan konotasi tentang tradisionalitas jaringan listrik, yang tentu sebagian besar

dan kemiskinan jamak ditemui, seperti masuk ke kantong-kantong rumah elit

perabot masak tradisional, anyaman Eropa, priyayi, kantor, hotel, perusahaan,

bambu (gedhek), dan tikar. Hal ini tampak fasilitas umum dan sebagainya (Maier

makin menguatkan kecurigaan bahwa dalam Nordholt, 1997: 85).

iklan Pandji Poestaka telah ikut Dari pemaparan ini, tampak jelas
mewacanakan bahwa pribumi adalah bahwa lampu listrik sebagai barang
kaum lemah dan inferior. industri modern hanyalah dinikmati dan

Sejak diterapkannya sistem politik diakses oleh segelintir orang yang

etis pada awal abad 20, arus modernisasi memiliki kedudukan elit. Tidak hanya

terus menguat di Hindia Belanda. Sejak Philips, barang-barang modern produksi

saat itu, barang-barang produksi modern, Belanda juga ikut meramikan konsumsi

seperti mesin-mesin produksi, mobil, kaum elit, seperti minuman bermerk

kereta api, lampu listrik, dan berbagai Ovomaltine, pasta gigi Colgate, margarin

barang dan jasa modern kian Palmboon dan Blue band (Maier dalam

bermunculan. Akan tetapi, akses kepada Nordholt, 1997: 85). Barang-barang

barang-barang modern tersebut, produksi modern ini juga bisa dipandang

tampaknya hanya bisa dinikmati oleh sebagai atribut sosial yang meneguhkan

segelintir elit (golongan Eropa dan keunggulan status sosial pemakainya.

Priyayi) sebagai pemegang tahta kelas Sebab ekslusivitas akses pada barang-

tertinggi di masyarakat. Jika diingat barang industri tersebut pada kalangan

kembali pada iklan Pandji Poestaka dalam elit, adalah bukti bahwa kesenjangan kelas

penelitian ini, contohnya adalah iklan di masa Hindia Belanda begitu kentara.

Lampu Philips, agaknya kesenjangan Tidak hanya itu, dalam akses


akses pada barang produksi modern pendidikan di masa Hindia Belanda,
tersebut akan tampak cukup jelas. pertimbangan atas stratifikasi kelas sosial

Lampu listrik sendiri, di masa sangatlah berpengaruh. Pendidikan

Hindia Belanda adalah barang elit yang (sekolah) pada masa Hindia Belanda
umumnya hanya diakses secara terbatas
114
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

oleh kalangan elit pribumi (priyayi) dan visi jangka panjang pemerintah kolonial
Eropa. Apabila diingat kembali tentang untuk mendudukkan Hindia di bawah
tanda-tanda dalam iklan Pandji Poestaka pemerintahan Belanda dengan sistem
seperti iklan Philips di mana terdapat pemerintahan tidak langsung (indirect
gambaran seorang pembaca surat kabar rule), di mana administrasi pribumi di
dan di iklan Blue Band yang terdapat Hindia akan dikelola oleh korps
siswa sekolah, sebenarnya hal ini adalah kepegawaian pribumi (Inlandsche
representasi dari elitisme pendidikan Bineland Bestuur) di bawah komando
waktu itu yang hanya dinikmati oleh pemerintahan kolonial Belanda.
segelintir kelompok elit. Dalam rangka upaya inilah,
Data dari sensus penduduk di kemudian pemerintah kolonial Hindia
tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa Belanda membuka akses pendidikan bagi
hanya terdapat 6% penduduk yang bisa golongan pribumi. Akan tetapi, dalam
membaca dan menulis, dan tidak ada praktiknya, pendidikan di Hindia Belanda
alasan signifikan yang menguatkan masih sangat diskriminatif, di mana dari
adanya jumlah peningkatan sampai saat golongan pribumi hanya golongan elit
iklan Philips dan Blue Band di surat kabar priyayi yang dekat dengan pemerintah
Pandji Poestaka 1940-1941 terbit (Maier kolonial saja yang kemudian berhasil
dalam Nordholt, 1997: 94-95). Rendahnya mendapatkan akses pendidikan waktu itu,
tingkat melek huruf di Hindia Belanda ini, sementara rakyat jelata tetap saja
sebenarnya diakibatkan oleh kebijakan dipinggirkan (Riyanto dalam Susanto,
pemerintah kolonial yang diskriminatif 2003: 32). Pada akhirnya, hal ini juga
dan cenderung memelihara kesenjangan makin memperpanjang rantai
kelas. diskriminasi kelas sosial di masa itu, di

Pendidikan pada masa itu, boleh mana kesenjangan antara kaum elit

dikata adalah bagian dari strategi dengan rakyat jelata terlihat sangat jelas.

pemerintah Hindia Belanda untuk Bila kita coba menengok kembali


meningkatkan jumlah pekerja iklan-iklan yang ditampilkan dalam surat
administratif bagi birokrasi kolonial kabar Pandji Poestaka dalam penelitian
(Sutherland, 1983: 13). Daripada ini, di mana pada dasarnya terdapat citra
pemerintah mendatangkan tenaga ahli yang dikotomis antara kelas sosial rakyat
dari Belanda, akan lebih efisien jika jelata (dalam iklan kaldu Maggi) dan
masyarakat pribumi diberi akses priyayi (iklan Blue Band dan Philips),
bersekolah agar bisa diarahkan sebagai maka bisa dikatakan bahwa iklan tersebut
pekerja administrasi di bawah pemerintah sebenarnya turut merepresentasikan
kolonial. Upaya ini juga sekaligus sebagai adanya kesenjangan kelas sosial di masa

115
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

itu. Agaknya, iklan Pandji Poestaka mempertahankan kekuasaan.


tidaklah cukup ditempatkan hanya Superstruktur atau lembaga ini, disebut
sebagai saluran komunikasi pemasaran oleh Althusser (1992: 50-53) sebagai
barang, akan tetapi iklan tersebut juga ideological state apparatus (aparat
ikut memelihara kesenjangan kelas pada ideologis negara), yang difungsikan
zamannya. Ini sangat tampak dari sebagai agen struktural untuk memelihara
persoalan akses barang industri modern dan melegitimasi dominasi ideologis.
dan pendidikan; akses istimewa selalu Aparat ideologis tersebut,
berada di tangan para elit (Eropa dan contohnya adalah: lembaga represif
priyayi), sementara rakyat jelata selalu seperti kepolisian, militer, penjara,
ditempatkan dalam kategori inferior dan persidangan. Sedangkan lembaga
tidak berdaya. ideologis adalah sekolah, institusi agama,
Dalam konteks seperti ini, iklan di media massa, budaya populer dan
masa kolonial tampaknya tak sekedar sebagainya. Althusser memandang bahwa
berfungsi dalam aras utama sebagai relasi ketidakadilan yang disebabkan oleh
praktik komunikasi pemasaran barang cara-cara produksi telah diamankan oleh
dan jasa. Akan tetapi, ia pun menjadi agen superstruktur dari aparatus represif dan
ideologis untuk mempertahankan aparatus ideologis. Melalui aparatus
kesenjangan kelas agar kekuasaan represif kekuasaan dipelihara melalui
kolonial terjaga. Realitas ini agaknya bisa cara-cara paksaan, sementara dengan
dijelaskan dengan memakai pandangan aparatus ideologis, kekuasaan dipelihara
seorang kritikus Karl Marx, yakni Louis secara halus (Strinati, 2007: 172).
Althusser. Dalam pandangannya, Berdasarkan perspektif ini,
Althusser menganggap bahwa pandangan- agaknya persoalan relasi antara iklan,
pandangan determinisme ekonomis dalam kelas dan ideologi kolonial bisa dijelaskan.
marxisme klasik, sudah tidak memadai Iklan surat kabar Pandji Poestaka adalah
lagi untuk menjelaskan persoalan kelas aparatus ideologi negara, sebab Pandji
yang kian kompleks (Harland, 2006: 71). Poestaka memang didirikan oleh
Sebab, persoalan ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda sendiri.
kelas tidak lagi cukup dijelaskan dengan Melalui iklan Pandji Poestaka sebagai
hanya menganggapnya dalam konteks aparat ideologi negara, kekuasaan kolonial
relasi pekerja dan pemilik modal. Akan kemudian coba terus dikukuhkan dengan
tetapi, bagaimana kapitalisme beroprasi representasi perbedaan kelas-kelas sosial.
dan mempertahankan kesenjangan kelas, Dengan menempatkan media massa
telah didukung oleh adanya superstruktur sebagai aparatus negara, pemerintah
yang mengamankan keberlangsungan kolonial mempunyai posisi tawar yang
moda produksi dan cara-cara kapitalisme

116
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

kuat untuk mempengaruhi cara pandang Representasi tentang priyayi muncul dari
massa secara ideologis. iklan-iklan berjenis kebutuhan elit (pada

Dengan terus menerus zaman itu), seperti lampu listrik dan

merepresentasikan priyayi sebagai makanan kaleng Blue Band Margarine.

modern, terdidik, dan seterusnya, di saat Sementara representasi wong cilikatau

bersamaan pula, citra tentang rakyat jelata ditemukan dalam iklan kaldu

tradisionalitas dan kemiskinan dengan kemasan sederhana.

ditindihkan kepada rakyat jelata, dengan Pribumi direpresentasikan oleh


begitu kolonialisme menjaga kesenjangan iklan Pandji Poestaka dalam kategori
kelas di Hindia Belanda. Kesenjangan kelas sosial yang dikotomis. Pribumi
kelas ini, begitu menguntungkan kolonial, priyayi yang terkenal dekat dengan
sebab mereka telah menduduki hirarki pemerintah kolonial dicitrakan sebagai
kelas tertinggi bersama kalangan elit-elit golongan modern, elit, terdidik, sementara
lokal (priyayi). Dengan begitu, golongan wong cilik atau rakyat jelata
kolonialisme tetap bertahan sebab direpresentasikan dengan citra-citra
kedudukan tinggi dalam kelas sosial tradisional dan pekerja kasar dan miskin.
akhirnya berbanding lurus dengan Praktik representasi ini, bisa
kepemilikan aset-aset produksi, sehingga dipandang sebagai strategi kolonial dalam
motif ekonomi kapitalisme tetap berjalan. mempertahankan pengaruh dan
Akhirnya, begitulah kesenjangan kedudukannya sebagai penguasa Hindia
kelas sosial di masa kolonial Belanda. Dengan merepresentasikan kelas
dipertahankan melalui praktik sosial di kalangan pribumi, kolonialisme
represntasi. Iklan kolonial berusaha menjaga kesenjangan kelas
merepresentasikan priyayi yang dekat tersebut. Kesenjangan kelas terus
dengan kolonial sebagai modern dan menguntungkan bangsa kolonial, sebab
terdidik, sedang pada saat bersamaan, mereka telah menduduki hirarki tertinggi
wong cilik dicitrakan sebagai kaum yang dalam kelas sosial bersama golongan elit
hidup dalam hirarki kelas terbawah, priayi.
tradisional, dan miskin. Pemerintah kolonial Hindia
Belanda tampak memanfaatkan media

Penutup massa sebagai aparatus ideologi negara.


Di mana media massa surat kabar Pandji
Analisis semiotika atas
Poestaka (iklan) dimanfaatkan untuk
representasi pribumi dalam iklan Pandji
terus menjaga dan melembagakan cara
Poestaka 1940-1941, memperlihatkan dua
pandang massa terhadap pandangan
citra dikotomis, yakni citra pribumi
kelas. Melalui iklan tersebut, citra priyayi
priyayi dan pribumi jelata (wong cilik).
117
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

yang dekat dengan kolonial terus dijaga Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory:
dengan merepresentasikan mereka A Critical Introduction. Edinburgh:
dengan citra modern, terdidik, kaya, Edinburgh University Press.
sementara wong cilik terus dipinggirkan Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture
dalam citra-citra tradisional, miskin, dan Overseas: Praktik Kolonial di
pekerja kasar. Hindia Belanda, 1900-1942. (Terj:
Eksploitasi terhadap wong cilik, J. Soegiarto & Suma R. Rusdiarti).
berjalan beriringan dengan praktik Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
representasi melalui media massa (Pandji Harland, Richard. 2006.
Poestaka). Hal ini berguna untuk Superstrukturalisme. (Terj: Iwan
menutupi adanya kebobrokan atau Hernawan). Yogyakarta: Jalasutra.
pelanggaran kemanusiaan yang telah
Hartley, John. 2010. Communication,
dilakukan oleh pemerintah kolonial
Cultural & Media Studies: Konsep
Hindia Belanda dengan adanya
Kunci. (Terj: Kartika Wijayanti).
eksploitasi, kerja paksa, serta berbagai
Yogyakarta: Jalasutra.
bentuk pelanggaran hak asasi manusia
selama kolonialisme dijalankan. Kartodirjo, Sartono. 1987. Perkembangan
Peradaban Priyayi. Yogyakarta:
UGM Press.
Daftar Pustaka
Loomba, Ania. 2003.
Barthes, Roland. 1972. Mithologies. Kolonialisme/Pascakolonialisme.
(Trans: Annette Lavers). London: (Terj: Hartono Hadikusumo).
Granada Publishing. Yogyakarta: Bentang.
Barthes, Roland. 2010. Membedah Mitos- Lombard, Dennys. 2008. Nusa Jawa
Mitos Budaya Massa. (Terj: Silang Budaya 1: Batas-Batas
Ikramullah Mahyuddin). Pembaratan . Jakarta: Gramedia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Lombard, Dennys. 2008. Nusa Jawa
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual, Silang Budaya II: Jaringan Asia.
Konsep, Isu, dan Problem Jakarta: Gramedia.
Ikonisitas, Yogyakarta: Jalasutra.
Nordholt, Henk Schulte (ed). 1997.
Easthope, Antony & Kate McGowan. 1992. Outward Appearences: Dressing
A Cultural and Cultural Theory State and Society in Indonesia.
Reader. Buckingham: Open Leiden: KITLV Press.
University Press.

118
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941

Pandji Poestaka 1940-1941. Terarsip di Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya


http://niod.x- Sebuah Elit Birokrasi. (Terj:
cago.com/maleise_kranten/papers. Sunarto). Jakarta: Sinar Harapan.
do. Akses 23 Maret 2012. Susanto, Budhi Sj (ed). 2003. Identitas
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik dan Postkolonialitas di Indonesia.
Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Yogyakarta: Gama Media. Teeuw, A. 1995. Pokok dan Tokoh dalam
Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan dan Kesustraan Indonesia Baru. Jilid 1.
Perubahan Massyarakat di Jawa Cetakan ke 3. Jakarta,
Masa Kolonial (1870-1915). Pembangunan.
Yogyakarta: Tarawang. Tolson, Andew. 1996. Mediation Text and
Rohman, Mujibur. 2010. Wacana Discourse in Media Studies.
Kolonial dan Kritik London: Arnold.
Poskolonialisme. Jurnal Sosiologi
Reflektif: Vol 4, No 2. April 2010.

Samuel, Hanneman. 2010. Genealogi


Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia,
Dari Kolonialisme Belanda hingga
Modernisme Amerika. Jakarta:
Kepik Ungu.

Strinati, Dominique. 2007. Popular


Culture: Pengantar Menuju Teori
Budaya Polpuler. (Terj: Abdul
Mukhid). Yogyakarta: Penerbit
Jejak.

119
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012

120

Anda mungkin juga menyukai