Abstract
Pandji Poestaka is a newspaper founded by the Netherland Indies colonial government,
that is Commisie voor de Volkslectuur (Commission of the People Reading), or better known
as Balai Poestaka. This study attempts to examine how the representation of natives in the
colonial period in Pandji Poestaka ads 1940-1941. Using semiotics, this study shows that
Pandji Poestaka ads has presented natives representation in the dichotomous class
stratification. The native aristocracy (priyayi) and the underprivileged (wong cilik).
Priyayi look represented the image of modernity: educated, wealthy, and civilized.
Meanwhile, wong cilik has been overwritten by inferior image representation: traditional,
blue-collar workers, and lazy. These representations, seen as part of the colonial strategy
to maintain its position in the Netherland Indies. By representing social class among the
natives, colonialism tried to keep the gap class. Colonialism also took advantage of the
mass media (Pandji Poestaka) as an ideological state apparatus to continue, maintain
power, and institutionalize the ideology of colonial rule.
Keywords: Pandji Poestaka, native, representation, class inequality, colonial ideology.
Abstrak
Pandji Poestaka adalah surat kabar yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda, yaitu Commisie voor de Volkslectuur (Commision of the People Reading), dikenal
lebih luas sebagai Balai Poestaka. Kajian ini mencoba menjelaskan bagaimana representasi
pribumi selama masa penjajahan dalam iklan Pandji Poestaka tahun 1940-1941.
Menggunakan analisis semiotika, kajian ini menunjukkan bahwa iklan di Pandji Poestaka
merepresentasikan dikotomi stratifikasi kelas: para aristokrat (priyayi) dan rakyat jelata
(wong cilik). Priyayi direpresentasikan memiliki semua citra modernitas: berpendidikan,
kaya raya, dan beradab. Sementara wong cilik digambarkan sebagai kelompok inferior:
tradisional, pekerja kerah biru, dan pemalas. Representasi ini, dilihat sebagai bagian dari
strategi penjajah untuk mempertahankan posisinya di Hindia Belanda. Dengan
merepresentasikan kelas sosial para pribumi, penjajah mencoba untuk merawat kesenjangan
kelas. Para penjajah juga memanfaatkan Pandji Poestaka sebagai alat ideologis untuk
melanjutkan, mengelola kekuasaan, dan melakukan institusionalisasi ideologi dan
peraturan-peraturan kolonial.
Kata Kunci: Pandji Poestaka, pribumi, representasi, kesenjangan kelas, idiologi kolonial.
105
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
106
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
bacaan dan karya sastra, Balai Poestaka Selanjutnya, iklan juga punya arti
juga menerbitkan surat kabar, yaitu Sri penting di mana kemunculannya telah
Poestaka (bulanan, sejak 1919) dan Pandji memancing hadirnya persoalan tentang
107
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
108
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
109
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
110
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
Konotasi Iklan
Tabel Konotasi
111
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
Mitos Iklan Pandji Poestaka iklan lampu Philips dan Blue Band. Dalam
dua iklan ini, sangatlah terlihat bahwa
Untuk mempermudah terlihatnya
pribumi telah bersanding dengan berbagai
temuan dalam penelitian semiotika ini,
macam atribut elit dan modern (pada
penggunaan model oposisi biner Levi
zamannya) seperti lampu listrik, koran,
Strauss dalam menyimpulkan mitos, akan
sekolah.
membantu penulis untuk menemukan
bagaimana representasi atas pribumi Sementara itu, pribumi jelata
dalam iklan Pandji Poestaka. dicitrakan secara berkebalikan dari
Relasi oposisisi biner dalam mitos pribumi priyayi. Pribumi jelata dengan
sifat-sifat: tradisional, belum beradab,
Iklan Pandji Poestaka adalah sebagai
berikut: miskin, bodoh dan pekerja kasar, kiranya
cukup kuat direpresentasiakn oleh iklan
Skema mitos pribumi dalam iklan
Pandji Poestaka kaldu Maggi Bouillon, di mana dalam
Kolonial : Pribumi iklan ini atribut-atribut tradisionalitas
Pribumi priyayi : Pribumi jelata banyak muncul, seperti dinding anyaman
Modern : Tradisional bambu, alat masak tradisional, dan sosok
Beradab : Belum Beradab pria pekerja.
Kaya : Miskin
Dalam hubungan kelas yang
Elit : Pekerja Kasar
dikotomis ini, iklan Pandji Poestaka boleh
Rajin : Malas
dikatakan telah memanfaatkan jurang
Pintar : Bodoh
kelas sosial di kalangan pribumi untuk
memasarkan produk-produknya. Untuk
Dalam skema ini, tampak jelas
memasarkan produk-produk elit seperti
bahwa iklan Pandji Poestaka telah
lampu dan mentega pelapis roti, iklan
merepresentasikan pribumi dalam
Pandji Poestaka memanfaatkan figur
kategori oposisi kelas dengan sifat-sifat
sosok priyayi yang modern dan terdidik.
yang dikotomik. Iklan Pandji Poestaka
Sementara dalam memasarkan produk
merepresentasikan pribumi priayi sebagai
sederhana, seperti kaldu, iklan Pandji
masyarakat yang telah modern, beradab,
Poestaka memanfaatkan figur pribumi
kaya, elit, dan pintar. Sedangkan pribumi
jelata dengan tampilan sosok yang
jelata direpresentasikan secara oposisif
dilingkupi atribut-atribut tradisional
sebagai tradisional, tidak beradab, miskin,
seperti tikar, anyaman bambu dan alat-
pekerja kasar, dan bodoh.
alat masak tradisional.
Citra atas priyayi pribumi yang
modern, beradab, kaya, dan seterusnya,
kiranya cukup kuat direpresentasikan oleh
iklan Pandji Poestaka, khususnya dalam
112
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
baiknya jika penulis akan mendudukkan secara semena-mena oleh kolonial kepada
yang muncul dari representasi iklan surat Pada awal abad 19 misalnya,
kabar Pandji Poestaka ke dalam dua Dennys Lombard (2008: 154-155)
konteks yang agaknya tepat dan relevan. mencatat bahwa ungkapan “kemalasan
Konteks pertama adalah bagaimana pribumi” sudah menjadi pendapat umum
wacana kolonialisme beroperasi, di Hindia Belanda, melalui istilah-istilah:
sedangkan konteks kedua adalah relevansi luij (malas), ijverloosheijt
historis tentang kesenjangan kelas di masa (ketidaktekunan pribumi). Belum lagi
Hindia Belanda. Penjelasan ini, agaknya sebutan-sebutan umum yang terdengar
akan berguna untuk memberi dukungan diskriminatif pada kaum pekerja kasar
atas skema mitos di atas, agar pribumi dengan panggilan baboe
ketepatannya bisa terjustifikasi dalam (pengasuh), coeli (tukang angkut), atau
konteks yang tepat dan relevan. djongos (pembantu rumah tangga).
Dalam kajian kritis seputar wacana Stereotip diskriminatif ini, pada dasarnya
hak asasi secara fisik. Akan tetapi, seperti Selain Lombard, Syaid Hussein
yang diungkapkan pula oleh Edward Said, Alatas, pun dalam tulisannya “The Mith of
bahwa kolonialisme juga bergerak dalam the Lazy Native”, mengungkapkan
diskursus tentang pemaksaan klaim di bagaimana mitos atau stereotip “malas”
mana masyarakat terjajah selalu yang ditancapkan oleh kolonial kepada
ditempatkan dalam kategori “liyan” yang pribumi. Dennys Lombard menegaskan
inferior di bawah superioritas kaum hal serupa, mitos kemalasan tersebut pada
kolonial (Gandhi, 1998: 101-102). dasarnya didasari oleh penetrasi
113
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
Jika diingat kembali pada gambar- itu hanya dipasok secara terbatas. Data di
gambar dalam iklan Pandji Poestaka, tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa
khususnya pada iklan kaldu Maggi dan Madura terdapat Sembilan juta
Bouillon, agaknya akan tampak citra atas rumah, 50.000 di antaranya dihuni oleh
dengan konotasi tentang tradisionalitas jaringan listrik, yang tentu sebagian besar
bambu (gedhek), dan tikar. Hal ini tampak fasilitas umum dan sebagainya (Maier
iklan Pandji Poestaka telah ikut Dari pemaparan ini, tampak jelas
mewacanakan bahwa pribumi adalah bahwa lampu listrik sebagai barang
kaum lemah dan inferior. industri modern hanyalah dinikmati dan
etis pada awal abad 20, arus modernisasi memiliki kedudukan elit. Tidak hanya
saat itu, barang-barang produksi modern, Belanda juga ikut meramikan konsumsi
kereta api, lampu listrik, dan berbagai Ovomaltine, pasta gigi Colgate, margarin
barang dan jasa modern kian Palmboon dan Blue band (Maier dalam
tampaknya hanya bisa dinikmati oleh sebagai atribut sosial yang meneguhkan
Priyayi) sebagai pemegang tahta kelas Sebab ekslusivitas akses pada barang-
kembali pada iklan Pandji Poestaka dalam elit, adalah bukti bahwa kesenjangan kelas
penelitian ini, contohnya adalah iklan di masa Hindia Belanda begitu kentara.
Hindia Belanda adalah barang elit yang (sekolah) pada masa Hindia Belanda
umumnya hanya diakses secara terbatas
114
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
oleh kalangan elit pribumi (priyayi) dan visi jangka panjang pemerintah kolonial
Eropa. Apabila diingat kembali tentang untuk mendudukkan Hindia di bawah
tanda-tanda dalam iklan Pandji Poestaka pemerintahan Belanda dengan sistem
seperti iklan Philips di mana terdapat pemerintahan tidak langsung (indirect
gambaran seorang pembaca surat kabar rule), di mana administrasi pribumi di
dan di iklan Blue Band yang terdapat Hindia akan dikelola oleh korps
siswa sekolah, sebenarnya hal ini adalah kepegawaian pribumi (Inlandsche
representasi dari elitisme pendidikan Bineland Bestuur) di bawah komando
waktu itu yang hanya dinikmati oleh pemerintahan kolonial Belanda.
segelintir kelompok elit. Dalam rangka upaya inilah,
Data dari sensus penduduk di kemudian pemerintah kolonial Hindia
tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa Belanda membuka akses pendidikan bagi
hanya terdapat 6% penduduk yang bisa golongan pribumi. Akan tetapi, dalam
membaca dan menulis, dan tidak ada praktiknya, pendidikan di Hindia Belanda
alasan signifikan yang menguatkan masih sangat diskriminatif, di mana dari
adanya jumlah peningkatan sampai saat golongan pribumi hanya golongan elit
iklan Philips dan Blue Band di surat kabar priyayi yang dekat dengan pemerintah
Pandji Poestaka 1940-1941 terbit (Maier kolonial saja yang kemudian berhasil
dalam Nordholt, 1997: 94-95). Rendahnya mendapatkan akses pendidikan waktu itu,
tingkat melek huruf di Hindia Belanda ini, sementara rakyat jelata tetap saja
sebenarnya diakibatkan oleh kebijakan dipinggirkan (Riyanto dalam Susanto,
pemerintah kolonial yang diskriminatif 2003: 32). Pada akhirnya, hal ini juga
dan cenderung memelihara kesenjangan makin memperpanjang rantai
kelas. diskriminasi kelas sosial di masa itu, di
Pendidikan pada masa itu, boleh mana kesenjangan antara kaum elit
dikata adalah bagian dari strategi dengan rakyat jelata terlihat sangat jelas.
115
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
116
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
kuat untuk mempengaruhi cara pandang Representasi tentang priyayi muncul dari
massa secara ideologis. iklan-iklan berjenis kebutuhan elit (pada
bersamaan pula, citra tentang rakyat jelata ditemukan dalam iklan kaldu
yang dekat dengan kolonial terus dijaga Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory:
dengan merepresentasikan mereka A Critical Introduction. Edinburgh:
dengan citra modern, terdidik, kaya, Edinburgh University Press.
sementara wong cilik terus dipinggirkan Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture
dalam citra-citra tradisional, miskin, dan Overseas: Praktik Kolonial di
pekerja kasar. Hindia Belanda, 1900-1942. (Terj:
Eksploitasi terhadap wong cilik, J. Soegiarto & Suma R. Rusdiarti).
berjalan beriringan dengan praktik Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
representasi melalui media massa (Pandji Harland, Richard. 2006.
Poestaka). Hal ini berguna untuk Superstrukturalisme. (Terj: Iwan
menutupi adanya kebobrokan atau Hernawan). Yogyakarta: Jalasutra.
pelanggaran kemanusiaan yang telah
Hartley, John. 2010. Communication,
dilakukan oleh pemerintah kolonial
Cultural & Media Studies: Konsep
Hindia Belanda dengan adanya
Kunci. (Terj: Kartika Wijayanti).
eksploitasi, kerja paksa, serta berbagai
Yogyakarta: Jalasutra.
bentuk pelanggaran hak asasi manusia
selama kolonialisme dijalankan. Kartodirjo, Sartono. 1987. Perkembangan
Peradaban Priyayi. Yogyakarta:
UGM Press.
Daftar Pustaka
Loomba, Ania. 2003.
Barthes, Roland. 1972. Mithologies. Kolonialisme/Pascakolonialisme.
(Trans: Annette Lavers). London: (Terj: Hartono Hadikusumo).
Granada Publishing. Yogyakarta: Bentang.
Barthes, Roland. 2010. Membedah Mitos- Lombard, Dennys. 2008. Nusa Jawa
Mitos Budaya Massa. (Terj: Silang Budaya 1: Batas-Batas
Ikramullah Mahyuddin). Pembaratan . Jakarta: Gramedia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Lombard, Dennys. 2008. Nusa Jawa
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual, Silang Budaya II: Jaringan Asia.
Konsep, Isu, dan Problem Jakarta: Gramedia.
Ikonisitas, Yogyakarta: Jalasutra.
Nordholt, Henk Schulte (ed). 1997.
Easthope, Antony & Kate McGowan. 1992. Outward Appearences: Dressing
A Cultural and Cultural Theory State and Society in Indonesia.
Reader. Buckingham: Open Leiden: KITLV Press.
University Press.
118
Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan
Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941
119
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
120