Nim : 1730301019
Hari/jam : Selasa, 13.00-14.40
A. Pengertian
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani,phaenesthai, berarti menunjukkan dirinya
sendiri,menampilkan. Fenomenologi juga berasal daribahasa Yunani, pahainomenon, yang
secaraharfiah berarti “gejala” atau apa yang telahmenampakkan diri” sehingga nyata bagi
sipengamat. Metode fenomenologi yang dirintisEdmund Husserl bersemboyan: Zuruck zu
densachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri)(Dister Ofm, dalam Suprayogo dan
Tobroni,2003:102). Untuk memahami apa yangsesungguhnya terjadi perceraian di kalangan
artis,misalnya, menurut semboyan ini, maka penelitiharus menanyakannya kepada artis
yangmengalaminya, bukan kepada yang lain.Fenomenologi, sesuai dengan namanya,adalah
ilmu (logos) mengenai sesuatu yang tampak(phenomenon).
Dengan demikan, setiap penelitianatau setiap karya yang membahas cara
penampakandari apa saja merupakan fenomenologi (Bertens,1987:3). Dalam hal ini,
fenomenologi merupakansebuah pendekatan filsafat yang berpusat padaanalisis terhadap
gejala yang membanjiri kesadaranmanusia (Bagus, 2002:234). Fenomenologai adalahstudi
tentang pengetahuan yang berasal darikesaradan, atau cara memahami suatu objek
atauperistiwsa dengan mengalaminya secara sadar(Littlejohn, 2003:184). Namun, bagi
Brouwer(1984:3), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatumetode pemikiran (a way of
looking at things).Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak adahipotesis, tidak ada sistem.1
1
Harbiansyah, Pendekatan Fenomenologi:Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosialdan Komunikasi,
Jurnal Mediator, Vol.9 No.1 2008, h.166
Fenomenlogi merupakan filsafat yangmenempatkan kembali esensi-esensi
dalameksistensi; bahwa manusia dan dunia tak dapatdimengerti kecuali dengan bertitik
tolak padaaktivitasnya.
Fenomenologi adalah suatu filsafattransendental yang menangguhkan sikap natural
dengan maksud memahaminya secara lebihbaik.
Fenomenologi merupakan filsafat yangmenganggap dunia selalu “sudah
ada”,mendahului refleksi, sebagai suatu kehadiranyang tak terasingkan, yang
berusahamemulihkan kembali kontak langsung dan wajardengan dunia sehingga dunia
dapat diberi sta-tus filosofis.
Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secaralangsung melukiskan pengalaman
kitasebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan
kausal yangdapat disajikan oleh ilmuwan, sejarawan, dansosiolog (lihat Merleau-
Ponty dalam Bertens,ed., 1987: 27).2
3
Harbiansyah, Pendekatan Fenomenologi:Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosialdan Komunikasi,
Jurnal Mediator, Vol.9 No.1 2008, h.164
6) Fenomenoog berkecenderungan untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal,
pengertian a-priori atau `eiditic` untuk menjelaskan tentang sebab-akibat, maksud atau
latar belakang.
7) Fenomenolog berkecenderungan untuk memperseoalkan tentang kebenaran atau
ketidakbenaran mengenai apa yang dikatakan oleh Husserl sebagai transcendental
phenomenological epoche, dan penyederhanaan pengertiannya menjadi sangat berguna
dan bahkan sangat mungkin untuk dilakukan. (Agus Salim, 2006 : 167-168)4
4
Anjar. Pengertian Fenomenologi serta Ciri-Ciri Metode Fenomenologi,
Wiebe menyebut ketiga tokoh ini telah melakukan teologisasi terhadap kajian akademis
mengenai agama-agama. Van der Leeuw, menyebutkan bahwa setiap ilmuan mesti berangkat
dari sebuah orientasi cultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan posisi
keyakinan pribadi, dan karena ilmuan disituasikan dalam sebuah konteks khusus, maka
aktivitas ilmiahnya tidak dipisahkan dari pencarian religio-kultural ilmuan itu sendiri. Dalam
pandangan Wiebe, van der Leeuw dalam hal ini bersifat kekanak-kanakan dan menyesatkan,
karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari keadaan dikenali dan diklarifikasi
secara kritis- ilmiah. Argumen ini merusak tujuan akademis yang didukungnya karena ia
mengabaikan perbedaanperbedaan kritis antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang
agama. Apa yang dikerjakan oleh Leeuw menurut Wiebe dalam kajian agama tidak bergerak
melampaui tahapan yang telah dicapai disiplin keilmuan itu di Belanda, akan tetapi justru
kembali kepada pendekatan teologi awal, sebuah pendekatan yang subversive terhadap kajian
ilmiah agama.20 Untuk Elliade, Wiebe mempersoalkan metode hermeunetikanya yang
disebutnya sebagai sebuah upaya untuk mengembalikan nilai-nilai dan maknamakna
transenden yang telah ditinggalkan para penganutnya oleh tradisitradisi itu. Elliade
menyebutkan bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan primitive adalah paradigmatic bagi
kehidupan agama secara umum karena mengungkapkan situasi-situasi eksistensial
fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia modern. Wiebe menyebutkan
bahwa minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitive tidak berangkat dari sebuah
pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena akan mengharuskan distorsi reduksionistik
terhadap kebenaran agama oleh karenanya, distorsi kebenaran tentang agama. Posisi anti-
reduksionistik dari Elliade menyembunyikan agenda teologis yang terselubung. Menurut
Wiebe metode hermeneutic Elliade tidak dapat dibedakan dari religio-teologis.
5
Nurma Ali Ridlwan, “pendekatan fenomenologi dalam kajian Agama”, Jurnal dakwah dan komunikasi”,
Vol.7, No.2 2013
Begitupun dengan gagasan-gagasan Ninian Smart, ketika dilakukan analisis secara
mendalam akan muncul pula asumsi-asumsi teologis dibalik fenomenologi agama. Smart
berpandangan bahwa mempelajari agama dan merasakan kekuatan yang hidup dari agama
tidak hanya dapat berjalan seiring, tetapi mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama
diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan. Apa yang dikatakan Smart ini
lebih mungkin memasuki kajian relegio-teologis tentang agama. Dengan mengangkat isu
mengenai kebenaran agama, berarti Smart membangun kembali ikatan-ikatan awal antara
kajian akademis tentang agama dan kesalehan. Menurut Weibe, perspektif teologis Smart
terlihat dari pemaknaannya terhadap epoche. Apa yang disebut Smart dengan pengurungan
ekspresi sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuan untuk memasukkan kedalam penilaian-
penilaian yang ditunda itu, persaan-perasaan yang diekspresikan oleh para penganut agama,
tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu. Berdasarkan hal ini menurut
Weibe munculnya ambiguitas Smart, apabila ilmuan agama bertujuan tidak hanya
memperoleh pengetahuan tentang agama-agama, akan tetapi juga mengungkapkan
keyakinannya tentang nilai-nilai dan sentiment keagamaan maka sesuatu yang lebih dari
pengetahuan agama akan ada, jika bukan teologi, setidaknya metafisika.6
KESIMPULAN
6
Nurma Ali Ridlwan, “pendekatan fenomenologi dalam kajian Agama”, Jurnal dakwah dan komunikasi”, Vol.7,
No.2 2013
berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama. Pendekatan
fenomenologi memiliki tujuan Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang
ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan
dan memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah
satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.Sedangkan
pendekatan hermeneutika adalah pendekatan yang berusaha menafsirkan teks atau event di masa
lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia. Fungsi dari
pendekatan hermeneutika antara lain membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks,
membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci dan memberi arahan untuk
masalah yang terkait dengan hukum
DAFTAR PUSTAKA
https://www.wawasanpendidikan.com/2013/10
Nurma Ali Ridlwan, “pendekatan fenomenologi dalam kajian Agama”, Jurnal dakwah dan