Anda di halaman 1dari 24

PEMBAHASAN

Latar Belakang

            Carl Ransom Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Oak Park,Ilinois,
anak keempat dari dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Walter dan
Julia Cushing Rogers. Carl lebih dekat dengan ibunya dari pada ayahnya,
karena kesibukan pekerjaan ayahnya. Rogers menyukai pertanian ketimbang
sastra dan arsitektur. Namun setelah bosan bergelut dibidang pertanian,
Rogers beralih kepada agama. Perjalanan untuk menghadiri konferensi-
konferensi keagamaan mengubahnya menjadi seorang pemikir yang liberal
dan mendorongnya menjadi independensi dari dari pandangan-pandangan
keagamaan orang tuanya.

Secara bertahap Rogers mulai mulai enggan dengan pekerjaan-pekerjaan


religiusnya yang bersifat doktriner itu. Meskipun Union technology
Seminary cukup liberal, namun Rogers memutuskan tidak ingin lagi
mengukuhkan pengetahuannya tentang masalah iman selain menginginkan
kebebasan lebih besar untuk mengeksplorasi ide-ide baru.    Akhirnya,
dimusim gugur 1926 Rogers meninggalkan seminari untuk memasuk
ke Teachers College untuk mempelajari sepenuh waktu topic-topik psikologi
klinis dan psikologi pendidikan. Dari sejak itu, dia tidak pernah kembali lagi
ke ara hyang sama sekali baru menuju psikologi dan pendidikan. 

Pendekatan terpusat pada pribadi didasarkan suatu konsep dari psikologi


humanistic, dan pendekatan ini juga bisa diklasifikasikan sebagi cabang dari
perspektif eksistensial.  Pada awal tahun 1940 Rogers mengembangkan apa
yang disebut nondirective counseling (konseling yang non direktif). Asumsi
dasar Rogers adalah bahwa orang itu secara esensial  bisa dipercaya, bahwa
mereka memiliki dari potensi yang besar untuk bisa memahami diri mereka
sendiri dan menyelesaikan masalah mereka tanpa intervensi langsung dari
pihak terapis, dan bahwa mereka ada kemampuan untuk tumbuh sesuai
dengan arahan mereka sendiri apabila mereka terlibat dalam hubungan
terapeutik. Kemudian dikembangkannya teori kepribadian yang sistematik
dan menerapkan teori kepribadian ini pada praktek konseling individual.

Untuk merefleksi fokusnya ini dia namakan pendekatannya ini terapi


terpusat pada klien (Rogers, 1951). Lambat laun pendekatan ini memperluas
kawasan pengaruhnya ke berbagai lapangan jauh dari titik asalnya. Falsafah
terpusat pada klien ini diterapkan pada pendidikan, misalnya, dan disebut
pengajaran terpusat pada siswa. Selama tahun-tahun 1950-an dan 1960-an
Rogers dan kawan-kawan meneruskan untuk menguji hipotesis yang
melandasi pendekatan terpusat pada klien dengan mengadakan penelitian
yang ekstensif pada proses dan hasil akhir dari psikoterapi. Oleh karena itu
pengaruh Rogers yang makin meluas itu, termasuk minatnya pada bagaimana
orang bisa mendapatkan, memiliki, berbagai, atau mengalahkan kekuasaan
dan control pada orang lain dan diri sendiri, teorinya menjadi di kenal orang
dengan nama pendekatan terpusat pada pribadi (person centered
approach). Pada tahun 1960-an dan 1970-an dia berbuat banyak untuk
mendorong berkembangnya kelompok pertumbuhan pribadi dan di
terapkannya  idenya itu pada azaz kelompok yang bertemu dengan populasi
yang banyak (Rogers,1970)

Konseling berpusat pada person ini memperoleh sambutan positif dari


kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat.
Hingga saat ini, pendekatan konseling ini masih relevan untuk dipelajari dan
diterapkan. Dalam kaitan ini Geldard (1989) menyatakan bahwa karya
Rogers ini memiliki kekuatan (powerfull) dan manfaat (userfull) dalam
membantu klien.
Pendiri/Pengembang Utama

Konseling berpusat pada person (person centred therapy) dikembangkan oleh


Carl Person Rogers, salah seorang psikolog klinis yang sangat menekuni
bidang konseling dan psikoterapi. Dia dilahirkan pada 1920 di Loak Park,
Illinois. Psikoterapi ini berkembang pada tahun 1960an, psikoterapi ini
menekankan bahwa prinsip terapi ini tidak hanya diterapakan dalam
proses terapi tetapi prinsip-prinsip terapi ini dapat diterapkan di berbagai
setting seperti dalam masyarakat. Titik berat dari PCT meningkatkan
keterlibatan hubungan personal dengan klien, terapist lebih aktif & terbuka,
lebih memperhatikan pengaruh lingkungan. Periode ini memperkenalkan
unsur-unsur penting dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan
dan penerimaan positif, dan pengertian yang empatik sebagai prasyarat bagi
terapi yang efektif.  

Didasarkan pada pandangan subjektif terhadap pengalaman manusia,


menekankan sumber daya terapi untuk menjadi sadar diri self-aware dan
untuk pemecahan hambatan ke pertumbuhan pribadi. Model ini meletakkan
klien, bukan terapi, sebagai pusat terapi. Falsafah dan Asumsi Dasar Model
ini berdasarkan pada pandangan positif tentang manusia yang melihat orang
memiliki sifat bawaan berjuang keras ke arah menjadi untuk berfungsi secara
penuh (becoming fully functioning). Asumsi dasarnya adalah dalam konteks
suatu hubungan pribadi dengan kepedulian terapist, klien mengalami
perasaan yang sebelumnya ditolak atau disimpangkan dan peningkatan self-
awareness.

Konsep Dasar Model/Pendekatan

Dalam teorinya Clien-centered Rogers mempresentasikan sebuah sebuah


versi mutakhirnya yang diaganggap sebagai pernyataan teoritik utama dan
tegas dan paling mengabaikan apapun yang sebelumnya telah tertulis. Rogers
berfikir bahwa dalam teorinya tersebut dan teori apapun seharusnya
merupakan stimulus bagi pemikiran kreatiflebih lanjut dan bukan sebuah
dogma kebenaran. 

Kerangka Referensi Perceptual atau Subjektif

Rogers menuliskan keyakinan fundamentalnya pada yang subjektif, dan


mengatakan “dasarnya hidup di dunia pribadi dan subjektifnya, dan bahkan
fungsi paling objektifnya dibidang sains, matematika dan semacamnya
adalah hasil dari maksud subjektif dan pilihan subjektif” (1995:191).
Penekanan pada pandangan perceptualsubjektif klien inilah yang
memunculkan istilah “clien-centered”. Percepsi klien dianggap sebagai
persepsinya sebagai realitas. Hipotesis alternatifnya adalah ada realitas yang
sama banyaknya dengan orang yang ada. Disamping itu orang semakin
“secara batiniah maupun organismik menolak pandangan tentang realitas
tunggal, budaya yang disetujui (culture-approved reality)

Kecenderungan untuk Mengaktualisasi

Kecenderungan untuk mengaktualisasi adalah dorongan memotivasi tunggal.


Kecenderungan ini adalah proses aktif yang merepresentasikan
kecenderungan bahwa organisme untukmengembangkan kapasitasnya yang
mengarah ke mempertahankan, meningkatkan dan mereproduksi dirinya.
Kecenderungan ntuk mengaktualisasikan bersifat operatif di segala waktu
pada semua organisme dan merupakan ciri pembeda apakan organisme
tersebut hidup atau mati, selain itu kecenderungan untuk aktualisasi diri itu
melibatkan perkembangan ke arah diferensiasi organ-organ dan fungsi-
fungsi. Rogers mengamati dengan pengalamannya dalam konseling
individual dan kelompok dan dari upayanya untuk memberikan “kebebasan
untuk belajar” kepada para mahasiswa di kelas-kelasnya, bahwa” fakta paling
impresif tentang individu manusia tampaknya adalah kecenderungan
direksionalnya ke arah keutuhan, kearah aktualisasi potensialitas”

Proses Penilaian Organismik (organismic valuating process)

Konsep proses penilaian orgaismik (organismic valuating process)


merupakan sentral bagi ide tentang self yang rill atau sejati dan unik.
Proses nismic valuing dari seseorang berkaitan dengan pengembangan
pengalaman secara continu dan penetapan nilai pada pengalaman itu dengan
kaitannya dengan  kemampuannya untuk memuaskan organisme tersebut.
Sebagai contoh, perilaku bayi menunjukkan bahwa mereka lebih menyukai
pengalaman-pengalaman seperti rasa ingin tahu dan keamanan yang
mempertahankan dan meningkatkan organismenya, dan tidak
mempertahankan dan menolak pengalaman-pengalaman seperti rasa sakit
atau lapar yang tidak dipertahankan dan meningkatkan organismenya.
Penimbangan pengalaman itu adalah sebuah proses organismik dan bukan
proses simbolik-sadar. Sumber proses penilaian yang di tempatkan pada
berbagai pengalaman pada bayi yang bereaksi terhadap bukti sensoriknya dan
viseralnya.

Pengalaman dan Mengalami (Experience dan Experiencing)

Rogers menggunakan istilah “sensory and visceral experience” (pengalaman


sensorik dan universal ) dalam pengertian psikologis, bukan sosiologis.
Mungkin cara lain untuk menyatakan pengalaman sensori dan viseral adalah
menjalani vakta-fakta dan peristiwa yang berpotensi tersedia dalam
kesadaran, oleh perangkat sensorik dan viseral organisme. Orang mungkin
tidak menyadari sebanyak mereka mengalami. Misalnya pada saat duduk
anda mungkin tidak menyadari aspek-aspek sensasi pada pantat anda pada
saat duduk sampai perhatian anda ertarik kepadanya.

Persepsi dan Kesadaran

Rogers menganggap semua persepsi dan kesadaran bersifat transaksional,


merupakan kontruksi pengalaman dari masa lalu dan hipotesis atau prediksi
tentang masa depan. Persepsi atau kesadaran mungkin berhubungan atau
tidak berhubungan dengan pengalaman atau “realita”. Ketika sebuah
pengalaman disimbolkan secara akurah dalan kesadaran, hal ini berarti
bahwa hipotesis yang implisist dalam kesadaran akan dibuktikan jika diuji
dengan mengambil tindakan terhadapnya. Banyak pengalaman mungkin
tidak disimbolisasikan secara akurat dalam kesadaran karena penyangkalan
dan distorsi difensif. Pengalaman lain, seperti pantant yang duduk dikursi
mungkin tidak dipersepsi kareana mungkin tidak penting bagi organisme.
Kesadaran atau perhatian sadar, adalah salah satu perkembangan evolusioner
terakhir spesies manusia. Rogers menganggap sebagai “puncak kecil
kesadaran, dan menyimbolkan kapasitas yang menjadi puncak piramida
fungsi organismik tidak sadar” (1977:244)

Akuisisi (Proses Perkembangan)

Teori Person-centered mungkin lebih jelas bagi pembaca dengan


membedakan self dan conse. Self dapat dilihat sebagai self organismic yang
mendasari dan rill. Self concept adalah persepsi tentang dirinya, yang tidak
selalu berespondensi  dengan self yang mengalami atau self organismiknya.
Jadi idealnya kecenderungan mengaktualisasikan itu mengacu pada
aktualisasi diri yang aspek self dan self-concepnya sinonim atau selaras.
Akan tetapi apabila self dan self-concep tidak selaras, keinginan untuk
mengaktualisasikan self-concept mungkin bertentangan dengan kebutuhan 
yang lbih dalam untuk mengaktualisasikan self-organismik.

Pengembangan Awal SelfConcep

Self concept adalah self seperti yang dipersepsi dan nilai-nilai yang


dilekatkan pada persepsi tersebut, atau yang oleh seseorang disebut
sebagai “I” (aku/subjek) atau “me” (aku/objek). Awalnya self
concept mungkin banyak terdiri atas pengalaman sendiri, kejadian-kejadian
di medan fenomenal yang didiskriminasikan oleh individu sebagai “I”,
“Me”, atau “Self” meskipun secara praverbal.

Melalui interaksi yang significan others yang memperlakukan mereka


sebagai self yang terpisah, mereka mengembangkan sebuah self-
concept yang memasukkan persepsi mereka tentang dirinya dan nilai-nilai
positif dan negatif yang bervariasi, yang dilekatkan pada persepsi diri
tersebut.

Kondisi yang Berharga (Condition Worth)

Kebutuhan akan anggapan positif dari orang lain adalah sebuah kebutuhan
yang dipelajari dan di kembangkan di masa bayi awal. Anggapan positif
disini berarti persepsi mengalami diri sendiri menciptakan perbedaan positif
di medan eksperimental orang lain. Dalam banyak kesempatan, ada banyak
kecenderungan  bahwa perilaku orang-orang  muda mengalami (experiecing)
pengalaman mereka bertepatan dengan anggapan positif dari orang lain dan
oleh sebab itu memenuhi kebutuhan mereka akan anggapan positif. Misalnya,
tersenyum kepada orang tua mungkin merefleksikan pengalaman yang
menyenangkan dan sekaligus menghasilkan anggapan positif.
Akan tetapi, pada kesempatan lain, orang-orang muda mungkin merasa
bahwa experiecing mereka bertentangan akan kebutuhan anggapan positif
dari significant others. Rogers memberikan contoh anak yang merasa puas
dengan memukul adiknya, tetapi mendapatkan kata-kata dan tindakan orang
tuanya mengatakan “kamu jahat”, perilakumu buruk, dan kau tidak dicintai
kalau berperilaku seperti itu.” Hasilnya adalah bahwa anak itu tidak
mengakui nilai menyenangkan dari memukul adiknya  yang berasal dari
pengalamannya sendiri, tetapi kemudian melekatkan nilai negatif pada
oangalaman itu pada sikap orang  tuanya dan kebutuhannya akan anggapan
positif.

Kehidupan Keluarga

Clien-centered terapi menekankan bahwa tingkat penerimaan diri atau


anggapan orang tua tentang dirinya dapat dikaitkan dengan derajat
penerimaan terhadap perilaku anak-anaknya, meskipun ini bukan sesuatu
yang statis. Rogers melihat bahwa orang tua  mampu merasakan anggapan
positif tanpa syarat untuk seorang anak hanya sejauh mereka mengalami
anggapan tanpa syarat. “anggapan tanpa syarat” yang dimaksud Rogers
berarti menghadiahi seorang anak meskipun orang tua tidak memberikan
nilai yang sama pada perilaku anaknya. Semakin tinggi derajat anggapan
positif tanpa syarat yang dialami orang tua terhadap anaknya, semakin
semakin sedikin condition of worth pada diri si anak, dan semakin tinggi pula
tingkat penyesuaian psikologisnya. Secara sederhana, oramg tua bermanfaat
tinggi mencptakan kondisi untuk perkembangan anak-anaknya.

Perkawinan dan Pendidikan

hubungan diantara pasangan, dalam ikatan perkawinan atau hubungan


lainnya bisa memiliki properti-properti penginduksi-pertumbuhan
yang condition of worth nya lenyap dan tingkat self regard nya meningkat.
Dalam becoming partners, Rogers memberikan sebuah studi kasus yang
menyentuh dan melibatkan kepercayaan joe akan potensi irene, terlepas dari
konsepsi awalnya ”aku tidak akan membiarkanmu melihat bola yang kecil,
hitam, lapuk, dan jelek yang terlah kukuburkan dalam diriku yang
sesungguhnya, yang idak pantas di cintai, dan yang tidak dapat
diterima”(1973:100). Rogers juga mengalihkan perhatian pada kurang
terealisasinya potensi lembaga-lembaga pendidikan untuk menciptakan iklim
emtional untuk mengembangkan self-concep yang sehat. Dia mendukung
pembelajaran yang experiensial yang signifikan, yang di prakarsainya dan
merefleksikan keperdulian para siswa, buakan keperdulian paraguru atau
administrator.

Efect Condition of Worth pada Self Concept

Orang berbeda-beda dalam seberapa jauh mereka


menginterprestasikan condition of worth. Hal ini bukan hanya bergantung
pada anggapan positif tanpa syarat yang ditawarkan kepada mereka
oleh significant others tetapi juga pada tingkat pemahaman empatik dan
kongruensi yang diperlihatkan kepada mereka. Selain itu tingkat kebutuhan
anggpan positif mempengaruhu kerentanan mereka untuk
mengintroyeksikan condition of worth. Bagi sebagian orang, self-
concept mereka akan berkembang ssedemikian ruma untuk memungkinkan
banyak pengalaman mereka untuk dipersepsi secara akurat. Bahkan, mereka
yang paling beruntung cenderung menginternalisasikan beberapa condition
of worth , dan mereka yang bernasib kurang beruntung akan
menginternalisasikan banyak condition of worth.
Contoh condition of wort adalah:”prestasi itu sangat penting dan saya merasa
kurang kalau tidak berprestasi”. Jadi, condition of worth tidak hanya
menyebabkan evaluasi-evaluasi yang diinternalisasikan tentang bagaimana
orang-orang seharusnya, tetapi juga evaluasi-evaluasi yang diinternalisasikan
tentang bagaimanana orang-orang seharusnya merasakan tentang dirinya jika
mereka mempersepsi bahwa mereka menjadi yang seharusnya.

Maintenance (pemeliharaan)

Konsep maintenance atau bagaimana perilaku dan persepsi yang maladjusted


(tidak dapat mengatasi masalah sosial dan pribadi sehari-hari-peny)
dikekalkan sering kali dengan bukti-bukti yang saling bertentangan, sangat
penting untuk benar-benar memahami teori dan praktik person-centered.
Teori person centered dapat dilihat sebagai teori pemroesan informasi
manusia atau atau teori yang khususnya bagi mereka mengalami gangguan,
memberikan peran cukup besar pada cndition of worth.

Pemprosesan Pengalaman

Rogers meliat bahwaketika pengalaman terjadi dalam kehidupan orang, ada


empat kemungkinan hasil. (1) seperti sensasi duduk pengalaman itu mungkin
diabaikan. (2) pengalaman itu mungkin dipersepsi secara akurat dan
diorganisasikan sebagai hubungan tertentu dengan self-concept karena
memenuhi kebutuhan self karena konsisten dengan self-concept dan oleh
sebab itu memperkuatnya. (3) persepsi mungkin didistorsi sedemikian rupa
agar dapat mengatasi konfik antara self-concept dan experiecing. Misalnya
mahasiswa dengan self-concept akademik rendah mungkin penerimaan
umpan balik positif tertentu tentang esay-esaynya dan mempersepsi
“dosennya tidak benar-benar membaca esayku” atau  “dosennya pasti punya
standart yang rendah”. (4) pengalaman itu mungkin diingkari atau sama
sekali tidak di persepsi. Sebagai contoh, self concept seseorang mungkin
sangat dipengaruhi oleh pendidikan moral yang kaku (strict) dan oleh sebab
itu tidak dapat mempersepsi kehausan akan kepuasan seksual.

Ketidakkongruenan antara Self-Concept dan pengalaman

Ketika pengalaman secara akurat disimbolisasikan dan dilibatkan dalam self-


concept, maka akan ada kondisi kongruen antara self-concept dan
pengalaman atau dengan kata lain antara self-consept dan proses organizing
valuing. Akan tetapi, jika pengalaman diingkari dan didistorsi, maka akan
ada kondisi incongruence (ketidakkongruenan) antara self-concept dan
pengalaman. Keadaan ketidakkongruenan ini bisa terjadi dalam pengalaman
positif maupun dalam pengalaman negatif. Klien-klien konseling dan terapi
cenderung memiliki self-concept yang rendah dan mendistorssi umpan balik
positif dari luar dan menghambat perasaan-perasaan positif dari dalam.

Ancaman, Kecemasan dan Subsepsi

Rogers mengemukakan konsep subseption (subsepsi, kata lain subliminal


perception/persepsi sumliminal) atau persepsi untuk menjelaskan mekanisme
dimana pengalaman sensorik dan viseral yang relevan dengan kecenderungan
untuk mengaktualisasikan diingkari atau tidak dipersepsi secara akurat.

Subsesi melibatkan penyaringan pengalaman sedemikian rupa sehingga


pengalaman-pengalaman yang kontradiksi dan mengancam self concept
dapat dihilangkan atau diubah. Jadi oranisme dapat mendiskriminasikan
makna sebuah pengalaman tanpa mengubah pusat syaraf yang lebih tinggi
yang terlibat dalam kesadaran atau persepsi. Proses subsepsi adalah
mekanisme pertahanan self-concept sebagai respon terhadap ancaman pada
strukturnya atau self-conceptionnya saat ini.
Kecemasan adalah keadaan gelisah atau ketegangan yang merupakan respon
organisme terhadap “subsepsi” sehingga sebuah diskrepensi atau
ketidakkongruenan antara self-concept dan pengalaman bisa memasuki
persepsi atau kesadaran, sehingga memaksa perubahan dalam self-concept
yang berlaku saat itu. Istilah ” intensional” digunakan untuk mendeskripsikan
karakteristik-karakteristik individu yang sedang dalam keadaan depensif.
Reaksi intensional termasuk melihat pengalaman secara absolut dan rigid,
overgeneralisasi, mengacaukan antara fakta dan evaluasi, dan lebih
menyadarkan diri pada abstraksidaripada menguji realitas.

Kegagalan Fungsi dan Disorganisai

Bagian ini berhubungan dengan gangguan serius. Self-concept orang orang


yang sangat low-fuctioning menghalangi persepsi akurat mereka terhadap
bidang-bidang pengalaman sensorik dan viseral significan yang luas. Akan
tetapi kalau sebuah situasi berkembang yang secara tiba-tiba pengalaman
signifikan itu terjadi,atau sangat nyata, disebuah bdang yang sangat tidak
kongruen, proses pertahanannya mungkin tidak akan bekerja dengan baik.
Jadi, kecemasan mungkin bukan hanya dialami sampai tingkat yang
mengancam self-concept, tetapi dengan proses pertahanan yang tidak sukses,
pengalaman itu mungkin disimbolisasikan dengan akurat dengan kesadaran.
Orang dihadapkan dengan lebih banyak oengalaman yang dapat mereka
tangani, yang diikuti dengan keadaan disorganisasi dan kemungkinan
psychotic breakdown.

Pentingnya Self-concept

Self-concep seseorang, khususnya persepsi-persepsitetertentu tentang diri


sendiri yang dianggap sentral, telah didemonstrasikan fundamental untuk
memahami bagaimana malajustment psikologi terpelihara.self-concept juga
sangat pentiing bagi orang-orang karena konsep ini merupakan konstelensi
persepsi-persepsi diri mereka, dan merupakan sarana yang mereka gunakan
untuk berinteraksi dengan kehidupan sedemikian rupa untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Self-concept yang efektif memungkinkan orang untuk
mempersepsi penglaman mereka secara realistis, apakah pengalaman itu
berasal dari organisme mereka atau lingkungan mereka, dengan kata lain self
concept semacam itu memungkinkan mereka untuk membuka akses ke
pengalaman-pengalaman mereka.

Asumsi Tingkah Laku Sehat dan Bermasalah

Sejak kecil anak-anak tetap membutuhkan penerimaan dan pandangan yang


positif dari lingkungan sekitarnya, ketika anak mendapatkan penerimaan
maka, seorang anak mulai mendefenisikan diri mereka sesuai dengan
pengalaman hidupnya dibandingkan dengan tekanan tentang bagaimana
orang lain memandang atau penghormatan mereka terhadap dirinya.
Bersihnya pandangan seseorang terhadap dirinya membuat self-concept anak
menilai sebuah proses yang selanjutnya berfungsi sebagai pemandu yang
dapat dipercaya. Sehingga, dari kondisi tersebut akan membentuk kesesuaian
antara apa yang seseorang inginkan dengan apa yang terjadi, apa yang
diharapkan dalam diri dan apa yang terjadi, kondisi seperti ini membentuk
individu dengan pribadi yang sehat.

Menurut Rogers selain nilai yangdipelajari dalam keluarga, sekolah, gereja


biasanya terjadi ketidaksesuaianantara pengalaman individu seperti:
seksualitas adalah suatu kesalahan,kepatuhan dalam suatu otoritas itu baik,
mendapatkan banyak uang merupakan halyang penting, perempuan
seharusnya tidak menjadi pribadi yang mandiri danasertif. Kesemua
pengalaman, perasaan, gagasan, perilaku tersebut diakui olehbeberapa orang
yang secara radikal sehingga individu mulai mengalamiperkembangan yang
tidak sehat dan berakibat pada terjadinya kecemasan, dimanahal ini
merupakan factor penyebab terjadinya perilaku yang tidak sehat. Sehingga
dapat disimpulkan bahwaperilaku salah suai atau perilaku tidak sehat
digambarkan sebagai berikut..

Hakikat dan Tujuan Konseling

Menurut Rogers (dalam Corey, 2009:169) manusia pada dasarnya dapat


dipercaya , memiliki akal, mampu memahami diri dan pengarahan diri
sendiri, mampu membuat perubahan yang konstruktif, dan mampu untuk
hidup efektif dan produktif. Rogers menyatakan tiga atribut terapis yang
dapat menciptakan iklm pertumbuhan di mana individu dapat bergerak maju
dan menjadi apa yang mereka inginkan: (1) kesesuaian (keaslian,  atau
realitas), (2) penghargaan positif tak bersyarat (pemahaman dan peduli), dan
(3) pemahaman empatik akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia
subjektif dari orang lain). Jika terapis mengkomunikasikan sekap tersebut,
mereka  yang dibantu akan menjadi kurang defensive dan lebih terbuka
terhadap diri mereka, dan mereka akan berperilaku dengan cara proporsial
dan konstruktif.
Sejumlah perubahan yang diharapkan muncul dengan sukses dari
penggunaan pendekatan ni (rogers,1959b) adalah :

1. Klien bisa melihat dirinya degan cara yangberbeda dari sebelumnya.

2. Klien dapat menerima diri dan perasaannya lebih utuh.

3. Klien menjadi lebih percayadiri (self-confident) dan sanggup


mengarahkan (self directing).

4. Klien sanggup menjadi pribadi yang diinginkan.

5. Klien menjadi lebih fleksibel dalam persepsinya dan tidak lagi keras
diri sendiri.

6. Klien sanbgup mengapdosi tujuan-tujuan yang lebih realistik.

7. Klien mampu bersikap lebih dewasa.

8. Klien sanggup mengubah perilaku ketidakmampuan menyesuaikan


dirinya, bahkan kendati itu alkohollisme kronis yang sungguh lama
diperbuatnya.

9. Klien jadi lebih sanggup menerima keberadaan orang lain apa adanya.

10. Klien jadi lebih terbuka kepada bukti entah dari luar atau didalam
dirinya.

11. Klien beruah dalam karakteritik kepribadian dasarnya dalam cara-cara


kontruktif.

Peran dan Fungsi Konseling

Peran konselor dalam teori person centered ini adalah konselor sebagai
fasilitator dan reflector. Disebut fasilitator karena konselor memfasilitasi atau
mengakomodasi konseli mencapai pemahaman diri. Disebut reflector karena
konselor mengklarifikasi dan memantulkan kembali kepada klien perasaan
dan sikap dan diekpresikannya terhadap konselor sebagai ekspresi orang lain.
Dititik ini konelor client-centered tidak berusaha mengarah mengarah kepada
pemediasian ‘dunia batin’ konseli meainkan lebih focus kepenyediaan sebuah
iklim yang didalamnya konseli dimampukan membewa perubahan dalam
dirinya.

Tahap-Tahap Konseling

Jika dilihat dari apa yang dilakukan konselor, person-centerd therapy terdiri


dari empat tahap, yaitu penciptaan hubungan baik, pembebasan ungkapan,
tercapainya insight, dan pengakhiran. Rogers menggambarkan 12 langkah
dalam person-centerd therapy. Ia menekankan bahwa langkah ini tidak
benar-benar terpisah.

a. Konseli datang untuk meminta bantuan.

b. Situasi bantuan biasanya didefinisikan sebagai kesempatan bagi


pertumbuhan diri.

c. Konselor mendorong ekspresi bebas mengenai perasaan yang berhubungan


dengan masalah

d. Konselor menerima, mengakui, dan menjelaskan perasaan-perasaan


negatif.

e. Ketika konseli telah cukup menyatakan perasaan negatifnya, mereka


diikuti oleh ekspresi samar dan tentatif dari impuls positif yang membuat
perkembangan dirinya.

f. Konselor menerima dan mengakui perasaan positif yang dinyatakan dalam


cara yang sama di mana ia telah menerima dan mengakui perasaan negatif
yang memberikan konseli kesempatan untuk pertama kali dalam hidupnya
untuk memahami dirinya.

g. Wawasan ini, yaitu tentang pemahaman tentang diri dan penerimaan diri
menyediakan dasar di mana individu dapat melanjutkan ke tingkat integrasi
yang baru.

h. Bercampur dengan proses wawasan adalah proses klarifikasi yang


mungkin merupakan keputusan.

i. Kemudian muncul inisiasi, tetapi sangat signifikan lebih kepada tindakan


positif.

j. Ada wawasan lebih lanjut.

k. Ada tindakan positif yang semakin terintegrasi pada diri konseli dan lebih
percaya diri.

l. Ada perasaan berkurangnya akan kebutuhan bantuan dan konseli mengaku


bahwa hubungan konseling harus berakhir.

Rogers (dalam Gillon 2007: 68) mengidentifikasi tujuh tahap diskrit


perubahan dalam konseli, masing-masing mewakili satu langkah dari
ketidaksesuaian untuk keselarasan. Hal ini dirinci sebagai berikut:

1. Tahap pertama : Tahap ini merupakan tahap dimana konseli merasa


keberatan untk mengungkapkan dirinya, komunikasi hanya bersifat
eksternal, dimana konseli tidak melihat diri mereka sedang mengalami
masalah dan menyalahkan orang lain atas kesulitan yang timbul. Semua
pengalaman ini diukur dari segi sudut pandang gagasan.
 Tahap kedua : Tahap ini yaitu proses komunikasi awal untuk
mengekspresikan diri tanpa adanya topic tentang diri. Tahap ini ditandai
dengan kondisi bahwa meskipun beberapa perasaan negatif mungkin
sudah diakui oleh klien, pernyataan tentang pandangan atau perasaan
sering diungkapkan dengan sedikit kesadaran sifat kontradiktif mereka.
Sekali lagi, pada tahap ini, tidak mungkin bahwa konseli akan melakukan
konseling secara sukarela.

 Tahap ketiga : Penerimaan, Understanding, dan empati merupakan hal


yang harus dicapai untuk berpindah ke tahap empat. Pada tahap tiga
konseli mulai menunjukkan beberapa refleksi terhadap dirinya, meskipun
terutama dalam hal perasaan atau pengalaman masa lalu. Perasaan dan
pikiran yang bertentangan dapat diakui. Hal ini menunjukkan bahwa
kebanyakan konseli memasuki konseling, menyadari kebutuhan mereka
akan bantuan. Sehingga tahap ini merupakan awal hubungan terapis dan
klien dalam perasaan yang secara mendasar.

 Tahap Keempat : Konseli memiliki kapasitas yang meningkat untuk


mengalami hal-hal here and now dan semakin menyadari perasaan tidak
nyaman pada diri mereka. Sebuah tingkat yang lebih besar
mempertanyakan ‘diri’ yang mungkin terjadi, khususnya dari aspek dan
konstruksi yang sudah ada (misalnya ‘konsep diri’). Tahap ini konseli
mulai mengekspresikan perasaannya, pengekspresian tentang ketakuatan,
ketidakpercayaan, ketidakjelasan. Validitas dari beberapa sudut pandang
ini dapat dieksplorasi. Kebanyakan inti konseling berlangsung pada tahap
ini, dan pada tahap kelima, segala perasaan dalam diri klien mengalir dan
diekspresikan dimana pengalaman dari klien mulai didiferensiasikan.

 Tahap kelima : Konseli semakin mampu memiliki pengalaman, dengan


kapasitas untuk bertanggung jawab untuk banyak mengalaminya.
Pandangan sebelumnya mungkin dinilai kritis, proses yang disertai
dengan kemampuan yang besar untuk mengekspresikan pengalaman di
masa sekarang (misalnya dengan marah).

 Tahap keenam : Pada tahap ini konseli dapat terlibat pada setiap
experience moment dalam pertemuan konseling dan mengungkapkan
bagaimana perasaannya dalam cara yang non-defensive. Ada kebebasan
yang lebih besar dalam apa yang dieksplorasi. Kini konseli dapat
sepenuhnya memiliki pengalamannya. Oleh karena itu, apa yang
pernah incongruence menjadi congruence. Sebuah konsep diri yang baru
mulai muncul.

 Tahap ketujuh : Pada tahap tujuh konseli secara alami tidak lagi tunduk
pada proses penolakan atau distorsi. Ada kelonggaran dalam perasaan di
mana konseli dapat menerimanya setiap saat. Konseli mengambil
tanggung jawab pribadi secara penuh untuk pengalamannya. Konseli
sepenuhnya mampu menerima dirinya sepenuhnya dalam setiap saat.

Teknik-Teknik Spesifik Konseling

Teknik-teknik konseling yang dapat diterapkan, antara lain:

1. Rapport, yaitu teknik yang bertujuan untuk membuat pendekatan dan


hubungan yang baik dengan konseli agar selama proses terapi dapat
berlangsung dengan lancar.

2. Teknik klarifikasi, yaitu suatu cara konselor untuk menjernihkan dan


meminta konseli untuk menjelaskan hal-hal yang dikemukakan oleh
kepada konselor.

3. Teknik refleksi, (isi dan perasaan) yaitu usaha konselor untuk


memantulkan kembali hal-hal yang telah dikemukakan konseli (isi
pembicaraan) dan memantulkan kembali perasaan-perasaan yang
ditampakkan oleh konseli.

4. Teknik “free expression” yaitu memberikan kebebasan kepada klien


untuk berekspresi, terutama emosinya, cara kerja teknik ini seperti cara
kerja kataris.

5. Teknik “silence”, yaitu kesempatan yang berharga diberikan oleh


terapis kepada klien untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali
pengalaman-pengalaman dan ekspresinya yang lampau

6. Teknik “transference” yaitu ketergantungan konseli kepada konselor.


Hal ini dapat terjadi pada awal terapi, tapi bukan merupakan dasar untuk
kemajuan terapi. Kemungkinan transference terjadi karena sikap
konselor yang memberikan kebebasan tanpa menilai atau mengevaluasi
konseli.

Menurut Rogers (dalam jurnal Flanagan & Flanagan, 2004: 183) konselor


harus memiliki tiga sikap dasar dalam memahami dan membantu konseli,
yaitu congruence, unconditional positive regard, dan accurate empathic
understanding.

a. Congruence

Konsep yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata,


utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling.
konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-
perasaan secara impulsif terhadap konseli.

b. Unconditional positive regard


Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian
terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang
buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan
hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung
perubahan pada konseli.

c. Accurate empathic understanding

Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar-benar


dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna
mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor
adalah membantu kesadaran konseli terhadap perasaan-perasaan yang
dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia
pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh
konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka
perubahan yang konstruktif akan terjadi.

Kelemahan dan Kelebihan

Beberapa kelemahan person-centered therapy adalah sebagai berikut.

1. Sulit bagi konselor untuk bersifat netral dalam situasi hubungan


interpersonal.

2. Konseling menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan


pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup

3. Minim teknik untuk membantu konseli memecahkan masalahnya.

4. Tidak cukup sistematik, terutama yang berkaitan dengan konseli yang


kecil tanggungjawabnya.
5. Memungkinkan sebagian konselor menjadi terlalu terpusat pada
konseli sehingga melupakan keasliannya.

6. Kesalahan sebagian konselor dalam menerjemahkan sikap-sikap yang


harus dikembangkan dalam hubungan konseling.

Sedangkan beberapa kelebihannya adalah sebagai berikut.

1. Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-


pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman.

2. Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok.

3. Memberikan peluang yang lebih luas terhadap konseli untuk didengar.

4. Konseli memiliki pengalaman positif dalam konseling ketika mereka


fokus dalam menyelesaiakan masalahnya.

5. Konseli merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh


ketika mereka didengarkan dan tidak dijustifikasi.

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Pendekatan person-centered lebih mengutamakan potensi yang dimiliki oleh


konseli dalam memecahkan permasalahnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan,
konseli pada pendekatan ini diyakini oleh Rogers sebagai manusia yang
memiliki worth dan dignity di dalam dirinya. Oleh karenanya, konseli layak
diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya memiliki kapasitas
untuk mengatur dirinya sendiri, dan diberikan kesempatan membuat
penilaian yang bijaksana, serta dipercaya mampu memilih nilainya sendiri.  
Tiga ciri dari sikap konselor yang dibutuhkan dan terkenal pada
pendekatan person-centereddalam membantu keberhasilan proses konseling
adalah kongruen atau keaslian konselor, perhatian positif tidak bersyarat
yang diberikan konselor pada konseli, dan pemahaman empati yang akurat.
Sikap konselor dapat membantu konseli melihat konsep dirinya dan
mengatasi apabila konsep dirinya mengalami ketidak sesuaian
(incongruence).

Keberadaan sikap konselor tersebut dilakukan agar tujuan dari konseling


dapat tercapai, diikuti dengan keterampilan interpersonal yang dimiliki
konselor. Tujuan konseling dalam pendekatan person-centered adalah
membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif melalui
komunikasi pada saat proses konseling, dengan memandang konseli sebagai
individu yang berharga, penting, dan memiliki potensi positif dengan
penerimaan tidak bersyarat dari konselor.
DAFTAR PUSTAKA

Jest Feist and Feist. 2008. Theories of Personality Edisi


Keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gibson and Mitchell. 2011. Bimbingan dan konseling Edisi


Ketujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nanda Wahyu. 2013. Person Centered Therapy .Jurnal

Elmadinna Widyanto. 2013. Teori dan Pendekatan Konseling Person


Centered Therapy. Online [diakses pada 11 September 2015]

Anda mungkin juga menyukai