Penyakit Pernapasan Akibat Kerja Pak Was
Penyakit Pernapasan Akibat Kerja Pak Was
Asbestosis
Ini adalah penyakit yang disebabkan dari serat asbes atau debu yang mencemari
udara. Debu asbes banyak dijumpai di kawasan industri dan pabrik. Debu asbes
yang masuk ke dalam paru-paru bisa mengakibatkan batuk-batuk dan gejala
sesak napas – yang disertai dengan dahak.
Antrakosis
Antrakosis merupakan penyakit saluran pernapasan yang diakibatkan dari debu
batu bara. Penyakit ini biasa kita lihat pada para pekerja tambang batu bara.
Silikosis
Penyakit ini muncul dikarenakan dari pencemaran debu silika bebas – berupa
SiO2 – yang terhisap masuk ke dalam paru-paru, lalu mengendap. Debu seperti
ini bisa kita jumpai di pabrik baja, besi pengecoran beton, bengkel besi, dan
keramik.
Bisinosis
Bisinosis merupakan penyakit pneumoconiosis, karena menghisap pencemaran
debu napas atau serat kapas di udara. Ini banyak kita temui di pabrik tekstil,
pemintalan kapas, dan masih banyak lagi.
Beriliosis
Penyakit ini akibat pencemaran udara debu logam berilium sulfat, logam murni,
oksida, dan halogenida. Penyakit ini bisa muncul pada para pekerja industri
tembaga, logam campuran berilium, dan masih banyak lagi.
Penelitian kejadian penyakit akibat asbes di Indonesia
Penyakit Akibat Asbes sudah di klaim penyakit akibat kerja yang dikeluarkan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan di tahun 2018,
dimana 27 persen nya adalah Asbestos Releated Desease (ARD). “Tahun 2016 kita
mulai menemukan satu kasus pertama di PT Trigraha, dan langsung dilaporkan.
Asbes masuk ke Indonesia pada tahun 1950. Di tahun 1981, asbes telah
dimasukan ke dalam daftar penyebab penyakit akibat kerja berupa pneumoconiosis,
kanker paru dan mesotheolioma yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor: per.01/men/1981 tentang kewajiban melapor penyakit
akibat kerja.
Berdasarkan hasil awal riset yang saat ini sedang dilakukan oleh dr Anna
Suraya dimana analisis terhadap 185 pasang kasus dan kontrol tersebut dr. Anna
beserta timnya sudah memiliki data bahwa pekerja yang terpajan asbes memiliki
risiko dua kali lipat untuk terkena kanker paru dibanding pekerja yang tidak terpajan.
“Diantara seluruh jenis pekerjaan maka pekerja di industri Asbes memiliki risiko 3
kali lipat untuk terkena kanker paru dibanding pekerja lain. Asbes yang digunakan di
lingkungan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya kanker paru
namun belum ada data mengenai penyakit terkait asbes lainnya seperti mesothelioma,
asbestosis dan kelainan lainnya,” jelasnya.
Dari hasil awal yang sudah terbukti tersebut, dr. Anna beserta tim
merekomendasikan perlunya dilakukan telaah mengenai kebijakan penggunaan Asbes
dan melakukan usaha-usaha pencegahan agar pekerja dan juga masyarakat terlindungi
dari bahaya penggunaan Asbes. “Kami juga menyarankan agar para akademisi
mendukung dilakukannya penelitian mengenai penyakit terkait asbes lainnya agar
diketahui dampak penggunaan asbes di Indonesia,” ungkapnya. Ia menambahkan
bahwa di Indonesia, kanker paru-paru sudah menjadi juara satu. Sebeagai contoh di
Rumah Sakit Persahabatan, ada 1000 (seribu) korban kanker paru. Buruknya
pemeriksaan kesehatan di Indonesia, menjadi salah satu hambatan dalam menemukan
korban kanker paru sebagai panyakit akibat kerja, sebagai contoh seseorang yang di
duga mengidap kanker paru-paru hanya ditanya perihal merokok atau tidak. Para
korban tidak pernah ditanya perihal pekerjaan seperti riwayat kerja di mana, kondisi
tempat kerja, atau bahan beracun berbahaya seperti asbes yang digunakan di tempat
kerja. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Asbestos bukan hanya menyerang
paru-paru saja, namun juga di temukan pada saluran pernapasan seperti larync / Pita
suara, tenggorokan dan bahkan juga testis. “Karena masuknya partikel Asbes melalui
hidung, jadi Asbes banyaknya ada di paru-paru. Ada juga Asbestos itu engga nyampe
ke layer (mesotheolioma), baru nyampe ke gelembung balon, dan itu bisa
menyebabkan pengerasan, akhirnya tidak bisa kembang kempis, membuat sesak
bernafas” papar dr. Anna.
Kemensos:
Hal lainnya juga dikemukakan oleh Dave Hodgkins, salah satu perwakilan
dari Palang Merah Internasional. Beliau merekomendasikan untuk menghentikan
penggunaan asbes karena selain alasan kesehatan juga karena biaya pemulihan akibat
asbes membutuhkan biaya yang mahal. Sebagai contoh proses asbestos removal
membutuhkan personal protective equiment (alat pelindung diri) yang standarnya
baik dan harganya cukup mahal. Hal itu juga belum termasuk proses pengangkutan
material limbah asbes hingga penguburan. Limbah asbes harus di kubur di area tanah
yang tidak akan di gunakan kembali. Dave juga menyampaikan salah satu risiko yang
membuatnya khawatir bahwa masih banyak fasilitas umum seperti sekolah di
Indonesia yang masih menggunakan Asbes.