Anda di halaman 1dari 11

Tugas Paru

Oleh:
Haidar Rusydi G991908007

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
1. Tuberkulosis : Jelaskan patogenesis TB laten pada seseorang yang
immunocompromised!

Sekitar seperempat penduduk dunia diperkirakan terinfeksi oleh


Mycobacterium tuberculosis. Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala dan diklasifikasikan dalam latent tuberculosis infection
(LTBI) (Sterling et al., 2020). LTBI adalah keadaan respon imun presisten
terhadap stimulasi antigen Mycobacterium tuberculosis tanpa manifestasi
klinis TB aktif (Paton et al., 2019).

Infeksi TB dimulai ketika droplet nuklei yang berisi M. tuberculosis


terinhalasi. Droplet ini berukuran 1-5 µm sehingga bisa masuk hingga
mencapai kedalam alveolus. Di dalam alveolus mereka akan ditelan oleh sel
imun fagositik (makorfag dan sel dendritik). Lalu, bakteri akan bereplikasi di
dalam sel fagostitik tersebut. Sel fagositik yang sudah berisi bakteri bisa
menebus barrier alveolus dan menyebabkan infeksi ekstrapulmonar (Ahmad,
2011).

Pada kebanyakan orang yang terinfeksi, sel imun yang efektif


menghentikan multifikasi bakteri berkembang dalam 2-8 minggu. Tetapi,
pada beberapa orang, patogen tidak dapat secara tuntas dieradikasi, karena M.
tuberculosis sudah mengembangkan strategi yang efektif untuk menghindari
sel imun. Akibatknya, M. tuberculosis dapat bertahan pada keadaan non-
replikatif di dalam tubuh host (Tufariello, Chan and Flynn, 2003).

Pada orang dengan keadaan immunocompetent kemungkinan


berkembangnya LTBI menjadi TB aktif sebesar 5-10% selama hidupnya.
Sedangkan orang dengan keadaan immunocompromised seperti orang dengan
HIV/AIDS, kemungkinan LTBI berkembang menjadi TB aktif sebesar 10%
tiap tahunnya (Wyndham-Thomas et al., 2018).
Daftar Pustaka

Ahmad, S., 2011. Pathogenesis, Immunology, and Diagnosis of Latent


Mycobacterium tuberculosis Infection. Clinical and Developmental Immunology,
2011, pp.1-17.

Paton, N., Borand, L., Benedicto, J., Kyi, M., Mahmud, A., Norazmi, M., Sharma, N.,
Chuchottaworn, C., Huang, Y., Kaswandani, N., Le Van, H., Lui, G. and Mao, T.,
2019. Diagnosis and management of latent tuberculosis infection in Asia: Review
of current status and challenges. International Journal of Infectious Diseases, 87,
pp.21-29.

Sterling, T., Njie, G., Zenner, D., Cohn, D., Reves, R., Ahmed, A., Menzies, D.,
Horsburgh, C., Crane, C., Burgos, M., LoBue, P., Winston, C. and Belknap, R.,
2020. Guidelines for the Treatment of Latent Tuberculosis Infection:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and
CDC, 2020. MMWR. Recommendations and Reports, 69(1), pp.1-11.

Tufariello, J., Chan, J. and Flynn, J., 2003. Latent tuberculosis: mechanisms of host
and bacillus that contribute to persistent infection. The Lancet Infectious
Diseases, 3(9), pp.578-590.

Wyndham-Thomas, C., Dirix, V., Goffard, J., Henrard, S., Wanlin, M., Callens, S.,
Mascart, F. and Van Vooren, J., 2018. 2018 Belgian guidelines for the screening
for latent tuberculosis in HIV-infected patients. Acta Clinica Belgica, 74(4),
pp.242-251.
2. Pneumonia : Jelaskan patogenesis pneumonia COVID-19!
Pasien dengan COVID-19 menunjukkan manifestasi klinis berupa demam,
batuk kering, nyeri otot (myalgia), sesak napas, kelelahan, penurunan jumlah
leukosit dan temuan radiologis pneumonia (Huang et al., 2020). Gejala-gejala
tersebut menyerupai gejala pada infeksi SARS-CoV dan MERS-CoV,
sehingga walaupun patogenesis COVID-19 belum diketahui secara pasti,
mekanisme yang mirip dengan SARS-CoV dan MERS-CoV, tetap dapat
memberikan banyak informasi terkait patogenesis infeksi SARS-CoV-2 (Li et
al., 2020).
SARS-CoV-2 dan SARS-CoV menempel pada reseptor ACE2 dengan
menggunakan protein S. Masuknya SARS-CoV kedalam sel dimulai dengan
pengabungan membran langsung antara virus dan membran plasma. Selain
itu, endositosis clathrin-dependent dan –independent juga memediasi
masuknya SARS-CoV. Setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus
dilepaskan kedalam sitoplasma dan ditranslasikan kedalam dua poliprotein
dan protein struktural. Setelah itu, genom RNA virus mulai direplikasi (Li et
al., 2020). Protein S yang baru terbentuk dimasukkan kedalam membran
retikulum endoplasma atau badan Golgi dan nukleokapsid terbentuk atas
kombinasi RNA genomik dan protein nukleokapsid. Lalu, partikel virus mulai
tumbuh di dalam Endoplasmic Reticulum-Golgi Intermediate Compartment
(ERGIC) dan akhirnya vesikel yang berisi virus menyatu dengan membran
plasma untuk melepaskan virus (de Wit, van Doremalen, Falzarano and
Munster, 2016).
Pasien yang terinfeksi oleh SARS-CoV-2 menunjukkan peningkatan
angka leukosit, pemeriksaan fisik paru yang abnormal, meningkatnya sitokin
pro inflamasi. Patogenesis utama infeksi COVID-19 sebagai virus yang
menyerang sistem pernafasan adalah pneumonia berat, RNAaemia dan
gambaran ground glass opacities. (Rothan dan Byrareddy, 2020)
Penyebab kematian utama COVID-19 adalah achute respiratory distress
syndrome (ARDS). ARDS adalah kejadian immunopatologis yang sering
terjadi pada infeksi SARS-CoV, SARS-CoV-2 dan MERS-CoV. Salah satu
mekanisme terjadinya ARDS adalah badai sitokin, respon inflamasi sistemik
yang tidak terkontrol yang diakibatkan karena dikeluarkannya sitokin pro-
inflamasi dalam jumlah besar ((IFN-α, IFN-Ɣ, IL-1β, IL-6, IL-12, IL-18, IL-
33, TNF-α, TGFβ) dan kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9,
CXCL10) oleh sel imun efektor. Badai sitokin akan memicu serangan sel
imun pada tubuh dan menyebabkan ARDS dan multiple organ failure (Xu et
al., 2020).

Daftar Pustaka

de Wit, E., van Doremalen, N., Falzarano, D. and Munster, V., 2016. SARS and
MERS: recent insights into emerging coronaviruses. Nature Reviews
Microbiology, 14(8), pp.523-534.

Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., Zhang, L., Fan, G., Xu, J., Gu,
X., Cheng, Z., Yu, T., Xia, J., Wei, Y., Wu, W., Xie, X., Yin, W., Li, H., Liu, M.,
Xiao, Y., Gao, H., Guo, L., Xie, J., Wang, G., Jiang, R., Gao, Z., Jin, Q., Wang, J.
and Cao, B., 2020. Clinical features of patients infected with 2019 novel
coronavirus in Wuhan, China. The Lancet, 395(10223), pp.497-506.

Li, X., Geng, M., Peng, Y., Meng, L. and Lu, S., 2020. Molecular immune
pathogenesis and diagnosis of COVID-19. Journal of Pharmaceutical Analysis,.

Rothan, H. and Byrareddy, S., 2020. The epidemiology and pathogenesis of


coronavirus disease (COVID-19) outbreak. Journal of Autoimmunity, p.102433.

Xu, Z., Shi, L., Wang, Y., Zhang, J., Huang, L., Zhang, C., Liu, S., Zhao, P., Liu, H.,
Zhu, L., Tai, Y., Bai, C., Gao, T., Song, J., Xia, P., Dong, J., Zhao, J. and Wang,
F., 2020. Pathological findings of COVID-19 associated with acute respiratory
distress syndrome. The Lancet Respiratory Medicine, 8(4), pp.420-422.
3. Asma : Jelaskan mekanisme kerja bronkodilator pada serangan asma
akut!
Eksaserbasi akut asma tetap menjadi tantangan serius dalam penanganan.
Seringkali, mereka menjadi penyebab masuk rumah sakit atau menjadi kasus
di Instalasi Gawat Darurat (IGD), terutama pada anak-anak. Eksaserbasi kini
menjadi kunci dalam menentukan keparahan kasus asma dan mencegah
eksaserbasi merupakan komponen penting dalam menentukan kesuksesan
terapi (Ramsahai, Hansbro dan Wark, 2019).
Terapi asma mempunyai dua tujuan jangka panjang, yaitu: mencapai
kontrol gejala yang baik dan mempertahankan tingkat aktivitas normal serta
meminimalkan resiko kematian, eksaserbasi, hambatan aliran udara yang
presisten dan efek samping (GINA, 2020). Pada tahun 1960-an untuk
menangani serangan asma digunakan kortikosteroid sistemik dan β2-agonis
selektif (Ramsahai, Hansbro dan Wark, 2019). Tetapi sekarang untuk
menanganani eksaserbasi akut asma dapat mengunakan kombinasi obat short-
acting β2-agonis (SABA) dan short-acting muscarinic acetylcholine (SAMA)
(Cazzola et al, 2017)
Obat-obat tersebut bekerja pada otot polos jalan napas sehingga
menyebabkan bronkodilatasi. Hal ini dimediasi oleh stimulasi β-adrenergik
pada otot polos yang menyebabkan bronkodilatasi atau antagonis kolinergik
yang menghilangkan kontriksi bronkial yang berada di bawah pengaruh
aktifitas parasimpatis (Rogers dan Hanania, 2015).
Aktivasi β-adrenergik pada otot polos pernafasan akan menghasilkan
cAMP intraseluler dengan aktivasi adenilsiklase. Peningkatan cAMP
intraseluler akan mengakibatkan pengikatan ion kalsium yang akan berakibat
pada relaksasi otot polos pernapasan (Matera et al., 2019).
Daftar Pustaka

Cazzola, M., Ora, J., Rogliani, P. and Matera, M., 2017. Role of muscarinic
antagonists in asthma therapy. Expert Review of Respiratory Medicine, 11(3),
pp.239-253.

Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, 2020. Available from: www.ginasthma.org

Matera, M., Page, C., Calzetta, L., Rogliani, P. and Cazzola, M., 2019.
Pharmacology and Therapeutics of Bronchodilators Revisited. Pharmacological
Reviews, 72(1), pp.218-252.

Ramsahai, J., Hansbro, P. and Wark, P., 2019. Mechanisms and Management of
Asthma Exacerbations. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, 199(4), pp.423-432.

Rogers, L. and Hanania, N., 2015. Role of anticholinergics in asthma management.


Current Opinion in Pulmonary Medicine, 21(1), pp.103-108.
4. PPOK : Jelaskan mekanisme respons bronkodilator yang parsial pada
pemberian terapi bronkodilator PPOK!

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah peradangan saluran napas


yang terkait dengan penyempitan saluran napas, hipersekresi lendir dan
kerusakan parenkim (Singh, 2015). The Global Initiative for Obstructive
Lung Disease (GOLD) mengelompokkan pasien PPOK ke dalam empat
kategori, yaitu A, B, C dan D, berdasarkan keterbatasan aliran udara, gejala
subyektif, risiko eksaserbasi, (pasien dengan gejala yang lebih besar
diklasifikasikan sebagai B atau D) dan risiko (pasien dengan FEV1 <50%
diprediksi atau riwayat eksaserbasi yang sering diklasifikasikan sebagai risiko
tinggi ke dalam kelompok C atau D) (GOLD, 2019).

Terapi pada PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi


frekuensi kejadian dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan toleransi dan
status kesehatan. Bronkodilator merupakan terapi farmakologi utama yang
bertujuan untuk meningkatkan FEV1 dan/atau mengubah variabel spriometri
lainnya (GOLD, 2020).

Bronkodilator yang digunakan pada PPOK terdiri dari β2-agonis dan


antimuskarinik yang berbeda mekanisme kerjanya. Pada golongan β2-agonis,
obat akan merelaksasi otot polos pernapasan dengan menstimulasi reseptor
β2-adrenergik yang akan meningkatkan cAMP dan menyebabkan efek
antagonis bronkokonstriksi. Sedangkan antimuskarinik akan memblok efek
bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor muskarinik. Masing-masing jenis
bronkodilator tersebut dibagi menjadi short-acting dan long-acting. Tetapi
pada PPOK penggunaan bronkodilator long-acing lebih direkomendasikan
(GOLD, 2020).

Tes bronkodilatasi merupakan tes yang dilakukan untuk melihat


responsivitas saluran napas terhadap bronklodilator (Barjaktarevic, Kaner,
Buhr and Cooper, 2018). Beberapa parameter fungsi paru secara signifikan
reversibel di sepanjang kurva FEV1% p, sedangkan parameter resistensi dan
volume menunjukkan pola respons yang berbeda di sepanjang kurva respons
FEV. Ini menunjukkan bahwa efek bronkodilator terhadap volume dan
resistensi tidak mengikuti respon FEV1%p. Jadi, paramater tersebut harus
dipertimbangkan ketika mengidentifikasi pasien sesuai dengan respon
bronkodilator (Jarenbäck et al, 2016)

Terapi bronkodilator sering diberikan dalam bentuk kombinasi.


Penggunaan terapi kombinasi SABA/SAMA maupun LABA/LAMA
disebutkan dapat memberikan peningkatan yang signifikan pada FEV1
dibandingkan monoterapi. Kombinasi ICS/LABA juga lebih efektif
dibandingkan terapi individual dari komponen tersebut. Terapi menggunakan
kombinasi ICS/LAMA/LABA (triple inhaled therapy) dilaporkan dapat
meningkatkan fungsi paru, mengurangi gejala, meningkatkan status
kesehatan, dan mengurangi kejadian eksaserbasi (GOLD, 2019).

Daftar Pustaka

Barjaktarevic, I., Kaner, R., Buhr, R. and Cooper, C., 2018. Bronchodilator
responsiveness or reversibility in asthma and COPD - a need for clarity.
International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Volume 13,
pp.3511-3513.

GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention A Guide for
Health Care Professionals (2019 Report). Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2019. Available from: https://goldcopd.org/wp-
content/uploads/2018/11/GOLD-2019-POCKET-GUIDE-FINAL_WMS.pdf

GOLD. Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of


Chronic Obstructive Pulmonary Disease (2020 Report). Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2020. Available from :
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2019/12/GOLD-2020-FINAL-ver1.2-
03Dec19_WMV.pdf

Jarenbäck, L., Eriksson, G., Peterson, S., Ankerst, J., Bjermer, L. and Tufvesson, E.,
2016. Bronchodilator response of advanced lung function parameters depending
on COPD severity. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, Volume 11, pp.2939-2950.

Singh, D., 2015. New combination bronchodilators for chronic obstructive pulmonary
disease: current evidence and future perspectives. British Journal of Clinical
Pharmacology, 79(5), pp.695-708.

Anda mungkin juga menyukai