Anda di halaman 1dari 23

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

“Siswa yang Mengalami Gangguan Emosi dan Perilaku Serta


Layanan Pendidikan yang Tepat”

KELAS D

Kelompok : 7

Yemima Peranginangin 181301072


Adinda Zalukhu 181301176
Sania Sinaga 181301192
M. Faidhil Iman 181301208
Ruth Ayala Anggiena 181301228
Stella Regina Andita 181301236

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS PSIKOLOGI

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Siswa yang Mengalami Gangguan Emosi dan
Perilaku Serta Layanan Pendidikan yang Tepat” ini. kami juga berterima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.

Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam


memahami materi ini, dan dapat menambah wawasan atau pengetahuan pembaca.

Penyusun juga menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh sebab
itu, demi penyempurnaan makalah ini, kritik dan saran sangat penyusun harapkan.
Sehingga, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua. 

Medan, 14 Februari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1

BAB II.....................................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................................3

2.1 Definisi Gangguan Emosi dan Perilaku....................................................................3

2.2 Karakteristik Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku......................................4

2.3 Penyebab Gangguan Emosi dan Perilaku pada Anak.............................................10

2.4 Program/Layanan Pendidikan yang Dapat Diberikan untuk Anak dengan Gangguan
Emosi dan Perilaku............................................................................................................14

BAB III..................................................................................................................................19

PENUTUP.............................................................................................................................19

3.1 Kesimpulan............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan perilaku atau conduc disorder mengacu pada pola perilaku


antisosial yang bertahan yang melanggahak-hak orang lain dan norma susila. Anak
tunalaras merupakan anak yang memiliki hambatan dalam perkembangan aspek
emosi, sosial, atau bahkan keduanya sehingga perilakunya cenderung menyimpang
serta tidak sesuai dengan usia dan norma yang berlaku di lingkungannya. Masalah
utama dari anak tuna laras adalah kegagalan dalam membangun ikatan emosional
yang dekat dengan orang lain.

Beberapa dari anak-anak ini ditarik. Anak-anak atau orang dewasa lain
mungkin mencoba menjangkau mereka, tetapi upaya ini biasanya ditanggapi dengan
rasa takut atau tidak tertarik. Dalam banyak kasus, penolakan diam-diam berlanjut
sampai mereka yang berusaha menjadi teman menyerah (Hallahan, 2014). Perilaku
mereka yang kasar, dektruktif, tidak dapat diprediksi, tidak bertanggung jawab, suka
memerintah, sering bertengkat, iri hati dan cemburu menjadi alasan oaring lain
memilih untuk tidak menghabiskan waktu bersama mereka, kecuali karena terpaksa.

Anak dengan gangguan tingkah laku, sekilas terlihat seperti tidak bermasalah.
Namun, sebenarnya anak tersebut mengalami perkembangan yang terhambat. Hal ini
dapat menyebabkan anak tumbuh dengan krisis psikologis yang dapat mengganggu
keterampilan sosialnya. Meskipun begitu, anak yang mampu menghadapi krisis ini
akan mengalami kematangan serta mampu menyesuaikan diri dengan baik.

Biasanya, anak dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan perilaku


menunjukkan sikap dan perilaku yang menyimpang dari norma dan aturan yang ada
serta perilaku tersebut dapat meresahkan orang di sekitarnya. Terdapat beberapa

1
factor yang menjadi penyebab terjadi gangguan emosi dan perilaku pada anak, di
antaranya factor biologis dan lingkungan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Gangguan Emosi dan Perilaku

Gangguan emosi dan perilaku dianggap sebagai suatu permasalahan. Definisi


dari gangguan emosi dan perilaku sendiri diartikan secara bebas oleh para ahli bahkan
tidak ada yang membuat desinisi yang dapat dipahami dan diterima oleh para ahli.
Ahli, dalam buku Hallahan, 2014, mendefinisikan gangguan emosi dan perilaku
seperti mendefinisikan pengalaman yang tidak asing di sekitar kita seperti kemarahan,
kesepian, atau bahagia. Gangguan Emosi dan Perilaku Anak atau Emotional And
Behavioral Disorders (EBD) merupakan anak yang memiliki hambatan dalam
perkembangan aspek emosi, sosial, atau bahkan keduanya sehingga perilakunya
cenderung menyimpang serta tidak sesuai dengan usia dan norma yang berlaku di
lingkungannya. Gangguan ini cenderung barkaitan dengan keterbatasan lain terutama
dalam hal belajar dan intelektual. Akhirnya, setiap kelompok profesional memiliki
alasan sendiri untuk melayani individu dengan gangguan emosi atau perilaku
(Hallahan, 2014).

Menurut Heward, semua anak terkadang berperilaku tidak tepat. Seorang anak
dapat dikatakan cacat apabila memperlihatkan seberapa sering, seberapa banyak
intensitas, dan berapa lama individu memperlihatkan perilaku tertentu. Individuals
Disabilities Education Act (IDEA) mendefenisikan gangguan emosi yang
dikategorikan sebagai kecatatan, yang mana seorang anak dinyatakan memenuhi
syarat untuk menerima layanan pelayanan khusus apabila:
1. Kondisi yang menunjukan satu atau lebihdari karakteristik seperti
ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor
intelektual, sensorik, dan kesehatan dalam periode waktu yang panjang.
2. Ketidakmampuan untuk membangun atau mempertahakan hubungan
interpersonal yang baik dengan masyarakat.
3. Jenis perilaku atau perasaan yang tidak pantas aat keadaan normal.

3
4. Suasana hati yang umumnya meresapi ketidakbahagiaan atau depresi.
5. Kecenderungan untuk mengembangkan ketakutan dan gejala fisik yang terkait
dengan masalah pribadi atau sekolah.

Current Definitions

Ada kesepakatan umum bahwa gangguan emosi atau perilaku mengacu pada:

• Perilaku berikut yang ekstrem — tidak hanya sedikit berbeda dari biasanya.
• Masalah yang kronis — masalah yang tidak cepat hilang
• Perilaku yang tidak dapat diterima karena harapan sosial atau budaya

2.2 Karakteristik Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku

Karakteristik anak-anak dan remaja dengan gangguan emosi atau perilaku


adalah tantangan yang luar biasa karena gangguan emosi dan perilaku sangat
bervariasi. Individu dapat sangat bervariasi dalam kecerdasan, prestasi, keadaan
kehidupan, dan karakteristik emosional dan perilaku (Kauffman & Brigham, 2009).

Intelligence and Achievement

Gagasan bahwa anak-anak dan remaja dengan gangguan emosi atau perilaku
cenderung sangat cerdas adalah mitos. Penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa
rata-rata siswa dengan gangguan emosi atau perilaku memiliki IQ dalam kisaran
normal-membosankan (sekitar 90) dan skor yang relatif sedikit di atas kisaran cerah-
normal. Dibandingkan dengan distribusi kecerdasan normal, lebih banyak anak-anak
dengan gangguan emosi atau perilaku jatuh ke dalam rentang pelajar lambat dan cacat
intelektual ringan. Atas dasar tinjauan penelitian tentang kecerdasan siswa dengan
gangguan emosi atau perilaku, Kauffman dan Landrum (2009b) menghipotesiskan
distribusi kecerdasan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.2.

4
Ada jebakan dalam menilai karakteristik intelektual sekelompok anak dengan
memeriksa distribusi IQ mereka. Tes kecerdasan bukanlah instrumen yang sempurna
untuk mengukur apa yang kita maksudkan dengan kecerdasan, dan dapat dikatakan
bahwa kesulitan emosional atau perilaku dapat mencegah anak-anak mencetak angka
setinggi yang mereka mampu nilai.

Sebelumnya, kami menggambarkan dua dimensi utama perilaku tidak teratur


berdasarkan analisis peringkat perilaku: eksternalisasi dan internalisasi. Dimensi
eksternalisasi ditandai oleh perilaku agresif yang bertindak; dimensi internalisasi
ditandai oleh perilaku yang gelisah, menarik diri dan depresi. Diskusi kami di sini
berfokus pada dua jenis ini.

Siswa yang diberikan mungkin, pada waktu yang berbeda, menunjukkan


perilaku agresif dan menarik diri atau tertekan. Ingatlah bahwa sebagian besar siswa
dengan gangguan emosi atau perilaku memiliki banyak masalah. Pada awal bab ini,
kami mengatakan bahwa sebagian besar siswa dengan gangguan emosi atau perilaku
tidak disukai atau mereka mengidentifikasi dengan teman sebaya yang menyimpang.
Studi tentang status sosial siswa di kelas dasar dan menengah menunjukkan bahwa
mereka yang diidentifikasi memiliki gangguan emosi atau perilaku dapat ditolak
secara sosial.

5
Hubungan antara gangguan emosi atau perilaku dan gangguan komunikasi
semakin jelas (Rogers-Adkinson & Griffith, 1999). Banyak anak dan remaja dengan
gangguan emosi atau perilaku mengalami kesulitan besar dalam memahami dan
menggunakan bahasa dalam situasi sosial. Chrissy, siswa sekolah menengah dengan
gangguan emosi atau perilaku yang dijelaskan dalam fitur Kisah Sukses sebelumnya
dalam bab ini, memiliki kesulitan besar dalam memahami bahasa. Guru-gurunya
fokus pada dukungan perilaku positif dan meningkatkan kosa katanya untuk
membantu meningkatkan keterampilan sosialnya.

Aggressive, Acting-Out Behavior (Externalizing)

Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, gangguan perilaku adalah masalah


paling umum yang ditunjukkan oleh siswa dengan gangguan emosi atau perilaku.
Memukul, berkelahi, menggoda, berteriak, menolak untuk memenuhi permintaan,
menangis, destruktif, vandalisme, pemerasan — perilaku ini, jika diperlihatkan
sering, sangat mungkin menghasilkan anak atau remaja yang labelnya "terganggu."
Anak-anak normal menangis, menjerit, memukul, berkelahi, menjadi negatif, dan
melakukan hampir semua hal lain yang dilakukan oleh anak-anak dengan gangguan
emosi atau perilaku, tetapi tidak serempak dan tidak sesering itu. Anak-anak muda
dari tipe yang kita diskusikan di sini mendorong orang dewasa untuk mengalihkan
perhatian. Anak-anak muda ini juga tidak populer di kalangan teman-teman mereka,
kecuali mereka anak nakal yang tersosialisasi yang tidak menyinggung teman-teman
nakal mereka. Mereka biasanya tidak merespons dengan cepat dan positif terhadap
orang dewasa yang bermaksud baik yang peduli tentang mereka dan mencoba untuk
membantu.

Agresi telah dianalisis dari berbagai sudut pandang. Analisis memiliki


dukungan terkuat dalam penelitian empiris adalah orang-orang dari teori belajar
sosial dan psikolog perilaku (Colvin, 2004; Walker et al., 2004). Studi mereka
memperhitungkan pengalaman dan motivasi anak, berdasarkan konsekuensi agresi
yang diantisipasi. Singkatnya, para peneliti ini memandang agresi sebagai perilaku

6
yang dipelajari dan berasumsi bahwa adalah mungkin untuk mengidentifikasi kondisi
di mana ia akan dipelajari.

Anak-anak belajar banyak perilaku agresif dengan mengamati orang tua,


saudara kandung, teman bermain, dan orang-orang yang ditampilkan di televisi dan
film. Orang-orang yang menjadi contoh agresi lebih cenderung ditiru jika status
sosialnya tinggi dan diamati menerima hadiah dan lolos dari hukuman atas agresi
mereka — terutama jika mereka tidak mengalami konsekuensi yang tidak
menyenangkan atau mendapatkan hadiah dengan cara mengatasi korban mereka. Jika
anak-anak ditempatkan dalam situasi yang tidak menyenangkan dan mereka tidak
dapat melarikan diri dari ketidaknyamanan atau mendapatkan hadiah kecuali dengan
agresi, mereka lebih cenderung menjadi agresif, terutama jika perilaku ini ditoleransi
atau didorong oleh orang lain. Agresi didorong oleh imbalan eksternal (status sosial,
kekuasaan, penderitaan korban, mendapatkan barang yang diinginkan), perwakilan
perwakilan (melihat orang lain mendapatkan konsekuensi yang diinginkan untuk
agresi mereka), dan penguatan diri (ucapan selamat sendiri atau peningkatan citra
diri). Jika anak-anak dapat membenarkan agresi dalam pikiran mereka sendiri
(dengan membandingkan dengan perilaku orang lain atau dengan tidak
memanusiakan korban mereka), mereka lebih cenderung menjadi agresif. Hukuman
sebenarnya dapat meningkatkan agresi dalam beberapa keadaan: ketika itu tidak
konsisten atau tertunda, ketika tidak ada alternatif positif untuk perilaku yang
dihukum, ketika memberikan contoh agresi, atau ketika negosiasi.

Instruksi Responsif memberikan deskripsi tentang strategi di seluruh sekolah


untuk mengurangi agresi dan intimidasi. Keseriusan anak-anak yang agresif, perilaku
berakting tidak boleh diremehkan. Dipercayai selama beberapa dekade bahwa
meskipun anak-anak ini menyebabkan banyak masalah, mereka tidak mengalami
cacat serius seperti anak-anak yang pemalu dan cemas. Penelitian telah meledakkan
mitos ini. Ketika dikombinasikan dengan kegagalan sekolah, perilaku agresif dan
antisosial di masa kanak-kanak umumnya memprediksi masa depan yang suram

7
dalam hal penyesuaian sosial dan kesehatan mental, terutama untuk anak laki-laki.
Ketika kami menganggap bahwa gangguan perilaku dan kenakalan sangat terkait
dengan kegagalan sekolah, pentingnya memenuhi kebutuhan anak-anak yang
berperilaku dan kurang berprestasi jelas.

Immature, Withdrawn Behavior and Depression (Internalizing)

Tanpa memperhatikan keseriusan perilaku agresif dan bertindak, kami tidak


bermaksud untuk mengecilkan sifat ketidakmatangan ketidakmatangan dan penarikan
atau depresi. Gangguan seperti itu tidak hanya memiliki konsekuensi serius bagi
individu di masa kecilnya, tetapi juga membawa prognosis yang sangat buruk untuk
kesehatan pria dewasa. Anak yang perilakunya cocok dengan pola ketidakdewasaan
ekstrem dan penarikan atau depresi tidak dapat mengembangkan hubungan manusia
yang dekat dan memuaskan yang menjadi ciri perkembangan normal. Anak seperti itu
akan merasa sulit untuk memenuhi tekanan dan tuntutan kehidupan sehari-hari.
Lingkungan sekolah adalah lingkungan di mana remaja yang cemas dan menarik diri
secara khusus mengalami kesulitan yang paling besar.

Seperti dalam kasus perilaku agresif, bertindak keluar, penarikan diri dan
depresi dapat diintervensi dengan berbagai cara. Para pendukung pendekatan
psikoanalitik cenderung melihat konflik internal dan motivasi tidak sadar sebagai
penyebab yang mendasarinya. Psikolog perilaku cenderung menafsirkan masalah
seperti itu dalam hal kegagalan dalam pembelajaran sosial; pandangan ini didukung
oleh data penelitian yang lebih empiris daripada pandangan lain. Analisis
pembelajaran sosial menghubungkan penarikan dan ketidakdewasaan dengan
lingkungan yang tidak memadai. Faktor-faktor penyebab dapat mencakup disiplin
orangtua yang terlalu ketat, hukuman untuk respons sosial yang sesuai, penghargaan
untuk perilaku yang terisolasi, kurangnya kesempatan untuk belajar dan
mempraktikkan keterampilan sosial, dan model (contoh) perilaku yang tidak pantas.
Anak-anak yang belum dewasa atau menarik diri dapat diajarkan keterampilan yang

8
mereka miliki dengan mengatur kesempatan bagi mereka untuk belajar dan
mempraktikkan respons yang sesuai, menunjukkan model yang terlibat dalam
perilaku yang sesuai, dan memberikan hadiah untuk perilaku yang lebih baik.

Bunuh diri adalah salah satu penyebab utama kematian di kalangan anak
muda berusia 15 hingga 24 tahun. Depresi, terutama ketika parah dan disertai dengan
rasa putus asa, terkait dengan upaya bunuh diri dan bunuh diri. Karena itu, semua
orang dewasa yang bekerja dengan kaum muda harus mampu mengenali tanda-tanda
depresi. Penyalahgunaan zat juga merupakan masalah utama di antara anak-anak dan
remaja dan mungkin terkait dengan depresi.

Depresi terkadang memiliki penyebab biologis, dan obat antidepresan kadang-


kadang berhasil membantu anak-anak dan remaja yang mengalami depresi untuk
mengatasi masalah mereka (Konopasek & Forness, 2004). Namun, dalam banyak
kasus, tidak ada penyebab biologis yang dapat ditemukan. Depresi juga dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan atau psikologis, seperti kematian orang yang
dicintai, perpisahan orang tua, kegagalan sekolah, penolakan oleh teman sebaya, atau
lingkungan rumah yang kacau dan menghukum.

9
Agresi yang meningkat dan kemarahan menjadi sangat membenci guru
sehingga ia menarik permintaan tugas (dengan demikian memperkuat dan
memperkuat perilaku mengganggu siswa) sehingga siswa akan berhenti mengamuk
(dengan demikian memperkuat guru yang menarik permintaan) (Gunter, Denny,
Jack , Shores, & Nelson, 1993; Maag, 2001). Proses ini mengajarkan anak untuk
berdebat, membuat alasan, mengamuk, menghancurkan properti, dan bahkan
menggunakan agresi fisik untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

2.3 Penyebab Gangguan Emosi dan Perilaku pada Anak

Terdapat beberapa faktor penyebab permasalahan pada anak, baik yang


bersifat intrinsik (berasal dari diri anak sendiri) maupun ekstrinsik (berasal dari luar
diri anak).Faktor -faktor tersebut adalah:

Faktor Biologis

1. Gangguan Otak
Banyak orang yang memiliki gangguan otak mengalami masalah dengan
emosi dan perilaku. Gangguan otak adalah hasil dari disgenesis otak
(perkembangan otak abnormal) atau cedera otak (disebabkan oleh pengaruh
seperti penyakit atau trauma yang mengubah struktur atau fungsi otak yang telah
berkembang). mally sampai saat itu). Namun, untuk sebagian besar anak-anak
dengan gangguan emosi atau perilaku, tidak ada bukti adanya gangguan atau
cedera otak.
2. Genetik
Bukti menunjukkan adanya hubungan genetik dengan beberapa bentuk
gangguan emosi atau perilaku (Rhee & Waldman, 2002; Rutter, 2006).
Gangguan dengan dukungan penelitian terkuat untuk faktor risiko genetik adalah
skizofrenia, yang parah dan lemah. Bentuk penyakit mental yang ditandai dengan
halusinasi pendengaran (suara pendengaran), delusi, ketakutan penganiayaan
yang tidak berdasar, dan ucapan yang tidak teratur. Kerabat dari schizophrenics

10
memiliki peningkatan risiko terkena skizofrenia yang tidak dapat dijelaskan oleh
faktor lingkungan saja; dan semakin dekat hubungannya, semakin tinggi
kemungkinan memperoleh kondisi (Pennington, 2002). Namun, genetika sendiri
belum ditemukan menyebabkan skizofrenia. Seseorang dalam salah satu dari dua
kelompok berisiko tinggi (anak dua orang tua dengan skizofrenia atau saudara
kembar identik dengan kondisi ini) masih memiliki peluang kurang dari 50%
untuk mengembangkan skizofrenia (Plomin, 1995).
3. Temprament
Seorang bayi yang jarang menangis tetapi tersenyum dan berbelit-belit
ketika ditularkan dari satu orang ke orang lain dapat dikatakan memiliki
temperamen yang tenang. Sebaliknya, bayi yang mudah teralihkan, sering rewel,
dan menarik diri dari situasi baru mungkin menunjukkan tanda-tanda
temperamen yang sulit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa temperamen
yang mudah atau positif berkorelasi dengan ketahanan terhadap stres (Smith &
Prior, 1995) dan bahwa temperamen yang sulit pada usia dini meningkatkan
kemungkinan masalah perilaku pada masa remaja (Caspi, Henry, McGee,
Moffitt, & Silva , 1995). Dalam sebuah penelitian, anak-anak dengan gaya
temperamen terhambat yang ditandai dengan menarik diri dari situasi baru,
bermain sendirian, dan menghabiskan waktu di pinggiran aksi sosial di tahun
kedua kehidupan lebih mungkin untuk berkembang sehingga fobia dan gejala
kecemasan pada usia 13 (Schwartz, Snidman, & Kagan, 1999). Meskipun
temperamen anak tidak dengan sendirinya menyebabkan masalah emosional atau
perilaku, tapi mungkin membuat anak menjadi masalah dengan berinteraksi
dengan faktor lingkungan, seperti membuat interaksi orangtua menjadi lebih sulit
(Nelson et al., 2007).

11
Faktor lingkungan

Tiga faktor lingkungan utama berkontribusi pada pengembangan gangguan


perilaku dan perilaku antisosial: (a) lingkungan pemeliharaan awal yang buruk, (b)
agresif pola perilaku yang ditampilkan saat memasuki sekolah, dan (c) penolakan
sosial oleh teman sebaya. Bukti yang cukup menunjukkan bahwa faktor-faktor
penyebab ini terjadi secara berurutan (Dodge, 1993; Pennington, 2002; Walker et al.,
2005). Pengaturan di mana peristiwa ini terjadi adalah rumah, sekolah, dan
komunitas.

1. Rumah
Hubungan yang dimiliki anak-anak dengan orang tua mereka,
khususnya selama tahun-tahun awal, sangat penting dalam cara mereka belajar
berperilaku. Pengamatan dan analisis pola interaksi orang tua-anak
menunjukkan bahwa orang tua yang memperlakukan anak-anak mereka dengan
cinta, peka terhadap kebutuhan anak-anak mereka, dan memberikan pujian dan
perhatian untuk perilaku yang diinginkan cenderung memiliki anak-anak
dengan karakteristik perilaku positif.
Beberapa dekade penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa anak-
anak dengan masalah emosi atau perilaku lebih mungkin berasal dari rumah di
mana orang tua adalah disiplin yang tidak konsisten, menggunakan hukuman
yang keras dan berlebihan, menghabiskan sedikit waktu terlibat dalam kegiatan
prososial dengan anak-anak mereka, tidak memantau keberadaan dan
kegiatannya. anak-anak mereka, dan menunjukkan sedikit cinta dan kasih
sayang untuk perilaku yang baik (McEvoy & Welker, 2000; Patterson, Reid, &
Dishion, 1992; Watson & Gross, 2000). Ketika kondisi seperti itu hadir di
rumah, seorang anak kecil mungkin "secara harfiah dilatih untuk menjadi
agresif selama episode konflik dengan anggota keluarga”.
Karena penelitian tentang korelasi antara praktik pengasuhan anak dan
masalah perilaku, beberapa profesional kesehatan mental dengan cepat
menyalahkan kesalahan pada masalah perilaku anak pada orang tua. Tetapi

12
hubungan antara orang tua dan anak bersifat dinamis dan timbal balik; dengan
kata lain, perilaku anak mempengaruhi perilaku orang tua sama seperti tindakan
orang tua mempengaruhi tindakan anak. Karena itu, paling tidak itu tidak
praktis dan paling buruk menyalahkan orang tua atas masalah emosi atau
perilaku anak-anak mereka. Sebaliknya, profesional harus bekerja dengan orang
tua untuk membantu mereka secara sistematis mengubah aspek-aspek tertentu
dari hubungan orangtua-anak dalam upaya untuk mencegah dan memodifikasi
masalah-masalah tersebut.
2. Sekolah
Sekolah adalah tempat anak-anak menghabiskan sebagian besar
waktunya di luar rumah. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengamati dengan
cermat apa yang terjadi di sekolah dalam upaya mengidentifikasi faktor-faktor
yang dapat berkontribusi pada perilaku masalah. Juga, karena sebagian besar
anak-anak dengan gangguan emosi atau perilaku tidak diidentifikasi sampai
mereka masuk sekolah. Praktik pendidikan yang berkontribusi pada
perkembangan masalah emosional atau perilaku pada anak-anak termasuk
pengajaran yang tidak efektif yang menghasilkan kegagalan akademik, aturan
yang tidak jelas dan harapan untuk perilaku yang sesuai, tidak konsisten dan
praktik disiplin hukuman, pujian dan persetujuan guru yang jarang terjadi untuk
perilaku akademik dan sosial, dan kegagalan individu.
3. Masyarakat
Siswa yang bergaul dengan teman sebaya yang menunjukkan perilaku
antisosial cenderung mengalami masalah di masyarakat dan di sekolah.
Keanggotaan geng, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, dan perilaku seksual
yang menyimpang adalah faktor komunitas yang berkontribusi pada
pengembangan dan pemeliharaan gaya hidup antisosial.

13
2.4 Program/Layanan Pendidikan yang Dapat Diberikan untuk Anak dengan
Gangguan Emosi dan Perilaku

EDUCATIONAL APPROACHES

A. Curriculum Goals
Siswa dengan masalah eksternalisasi harus belajar untuk mengendalikan
perilaku antisosial mereka dan mereka yang memiliki masalah internalisasi harus
belajar untuk bersenang-senang dan berteman. Namun, jika program yang
melayani anak-anak dengan gangguan emosi atau perilaku memperlakukan
perilaku maladaptif dengan mengorbankan pengajaran akademis, siswa yang
sudah memiliki keterampilan akademis yang kurang jauh di belakang rekan-
rekan mereka. Pendidikan khusus untuk siswa dengan gangguan emosi atau
perilaku harus mencakup pengajaran yang efektif dalam keterampilan pribadi,
sosial, dan akademik yang diperlukan untuk keberhasilan di sekolah, masyarakat,
dan lingkungan kejuruan.

ACADEMIC SKILLS
Instruksi sistematik dalam menyebarkan, menulis, dan menghitung merupakan
hal yang penting bagi siswa dengan gangguan emosi atau perilaku sebagaimana
halnya bagi setiap siswa yang berharap dapat berfungsi dengan sukses di sekolah dan
masyarakat. Namun, peningkatan kesadaran tentang peran penting instruksi efektif
bermain dalam pengobatan anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku
mengarah pada penelitian lebih lanjut tentang kurikulum dan pengajaran (Lane &
Menzies, 2010). Untungnya, penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
dengan gangguan emosi atau perilaku membuat kemajuan luar biasa ketika diberikan
instruksi eksplisit dan sistematis.
Instruksi yang baik adalah dasar untuk manajemen perilaku yang efektif di
kelas. Guru harus waspada terhadap kecenderungan untuk menghindari
ketidakpatuhan dan ledakan yang mengganggu dengan memberikan siswa dengan
masalah perilaku dengan instruksi akademik terbatas dalam bentuk tugas yang lebih

14
mudah, lebih sedikit kesempatan untuk merespon, dan menurunkan harapan
(Sutherland, Alder, & Gunter, 2003; Wehby et al., 1998).

SOCIAL SKILLS
Pengajaran keterampilan sosial merupakan komponen kurikulum yang penting
bagi siswa dengan gangguan emosi atau perilaku. Banyak dari siswa ini mengalami
kesulitan mengadakan percakapan, mengekspresikan perasaan mereka, berpartisipasi
dalam kegiatan kelompok, dan menanggapi kegagalan atau kritik dengan cara yang
positif dan konstruktif. Sebuah survei terhadap 717 guru di seluruh tingkat kelas
mengidentifikasi lima keterampilan berikut ini penting untuk keberhasilan di ruang
kelas pendidikan umum (Lane, Wehby, & Cooley, 2006):
• Mengontrol emosi dalam situasi konflik dengan teman sebaya
• Mengontrol emosi dalam situasi konflik dengan orang dewasa
• Mengikuti / mematuhi arahan
• Menghadiri instruksi guru
• Mudah melakukan transisi dari satu aktivitas kelas ke aktivitas kelas lainnya
Banyak kurikulum keterampilan sosial dan program pelatihan telah
diterbitkan, seperti yang berikut:
1. Mengambil Bagian (Taking Parts): Memperkenalkan Keterampilan Sosial
kepada Anak-anak membantu siswa di kelas prasekolah hingga kelas tiga
belajar keterampilan sosial dalam enam unit: membuat percakapan,
mengomunikasikan perasaan, mengekspresikan diri sendiri, bekerja sama dengan
teman sebaya, bermain dengan teman sebaya, dan menanggapi agresi dan
konflik.
2. Kurikulum yang Tersiapkan (The Prepare Curriculum): Mengajar Kompetensi
Prososial (Goldstein, 2000) dirancang untuk siswa yang agresif, menarik diri,
atau kurang dalam kompetensi sosial. Kegiatan dan materi untuk siswa sekolah
menengah dan menengah disediakan di 10 bidang, seperti penyelesaian masalah,
pengendalian kemarahan, manajemen stres, dan kerja sama.

15
3. Kurikulum Keterampilan Sosial Walker mencakup ACCEPTS: Kurikulum
untuk Keterampilan Sebaya dan Guru yang Efektif untuk Anak-anak (A
Curriculum for Childre’s Effective Peer and Teacher Skill), untuk anak-anak di
kelas K-6, dan ACCESS: Kurikulum Remaja untuk Komunikasi dan Sosial yang
Efektif Keterampilan, untuk siswa di tingkat sekolah menengah dan tinggi.

B. Research-Based Instructional Practices


Proses tinjauan empat fase untuk mengidentifikasi metode pengajaran yang
didukung secara ilmiah untuk siswa dengan gangguan emosi atau perilaku
mengungkapkan empat pendekatan strategis ini (Lewis, Hudson, Richter, & Johnson,
2004):
• Pujian guru (penguatan);
• tingginya tingkat respons aktif oleh siswa;
• strategi pengajaran yang jelas, termasuk instruksi langsung; dan
• dukungan perilaku positif, termasuk berbasis sekolah, berbasis penilaian
fungsional rencana individu dan manajemen diri

SCHOOLWIDE POSITIVE BEHAVIORAL SUPPORT


Secara tradisional, disiplin di sekolah telah berfokus pada penggunaan
hukuman dalam upaya untuk mengendalikan perilaku buruk siswa tertentu. Tidak
hanya strategi seperti itu umumnya tidak efektif dalam mencapai pengurangan jangka
panjang dalam perilaku masalah atau peningkatan keselamatan sekolah secara
keseluruhan (Morrison & D'Incau, 2000; Skiba, 2002), tetapi mereka juga tidak
mengajarkan siswa tentang perilaku prososial yang diinginkan siswa. Pengembangan
dukungan perilaku positif di seluruh sekolah (SWPBS) mewakili kemajuan yang luar
biasa dalam mencapai disiplin siswa dan membangun prosedur iklim sekolah yang
positif. SWPBS bukan metode atau model tertentu tetapi kerangka kerja strategis
yang terdiri dari sistem organisasi dan praktik intervensi berbasis penelitian yang
divalidasi secara ilmiah untuk membangun budaya sekolah yang positif, dan

16
mengajar serta mendukung perilaku yang sesuai yang memungkinkan keberhasilan
perilaku akademik dan sosial semua siswa.

Tingkat 1 — Pencegahan Utama: Dukungan Universal untuk Semua Siswa. Semua


guru dan staf sekolah berpartisipasi dalam upaya tim untuk mengajarkan perilaku
yang sesuai untuk semua siswa di semua sekolah di sekolah.
 Harapan perilaku dinyatakan dan didefinisikan. Sejumlah kecil harapan
perilaku didefinisikan dengan jelas. Ini sering kali merupakan aturan
sederhana, berbingkai positif seperti "Menghormati diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan"; "Bertanggung jawablah"; dan “Bersikap aman”.
 Ekspektasi perilaku diajarkan secara eksplisit. Harapan perilaku diajarkan
kepada semua siswa di gedung. Harapan perilaku diajarkan langsung dengan
format sistematis: aturan umum disajikan, dasar pemikiran aturan dibahas,
contoh-contoh positif ("cara yang benar") dijelaskan dan dilatih, contoh negatif
("cara yang salah") dijelaskan dan dimodelkan, dan siswa mempraktikkan
"cara yang benar" sampai mereka menunjukkan kinerja yang lancar.
 Perilaku yang tepat diakui dan dihargai. Perilaku yang sesuai diakui dan
dihargai secara teratur.
 Kesalahan perilaku diperbaiki. Ketika siswa melanggar ekspektasi perilaku,
prosedur yang jelas diperlukan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa
perilaku mereka tidak dapat diterima dan mencegah perilaku yang tidak dapat
diterima sehingga menghasilkan hadiah yang tidak disengaja. Semua guru dan
staf sekolah berpartisipasi dalam mengajar dan menghargai perilaku siswa yang
diinginkan, konsekuensi pelanggaran peraturan didefinisikan dengan jelas dan
diterapkan secara konsisten, dan data objektif digunakan untuk mengevaluasi
dan terus meningkatkan sistem. Dukungan universal yang diterapkan dengan
baik biasanya efektif untuk sekitar 80% siswa.

Tingkat 2 – Pencegahan Sekunder : Intervensi yang menargetkan siswa dengan


Perilaku Berisiko. Di sekolah tipikal, sekitar 15% siswa akan memerlukan dukungan

17
perilaku yang lebih terfokus karena pelanggaran perilaku kronis dan pelanggaran
aturan minor. Dukungan Tingkat 2 sering disampaikan dalam format kelompok kecil.
Check in / check out (CICO) adalah contoh dari intervensi tingkat 2. Komponen dasar
CICO adalah :

a. Pertemuan singkat di pagi hari untuk menetapkan tujuan perilaku


b. Kartu poin di mana guru mencatat poin berdasarkan kriteria yang ditentukan
pertemuan siswa dan memberikan umpan balik kepada siswa pada waktu yang
berbeda selama hari itu
c. Pertemuan singkat pada akhir kegiatan atau hari untuk meninjau kembali
kegiatan yang telah dilewati di hari itu
d. Hadiah untuk mendapatkan sejumlah poin yang telah ditentukan

Tingkat 3 – Pencegahan Tersier : Intervensi Intensif, Individual untuk Siswa


dengan Perilaku Berisiko Tinggi. Siswa yang menunjukkan perilaku masalah serius
seperti pelanggaran peraturan utama yang membahayakan siswa atau orang lain atau
yang tidak responsif terhadap intervensi tingkat menengah, atau sekitar 5% siswa di
sebagian besar sekolah, memerlukan intervensi individual yang intensif dan
dukungan perilaku berkelanjutan, yang mungkin juga termasuk dukungan luar
sekolah untuk mengatasi masalah kualitas hidup. Sebuah tim melakukan penilaian
perilaku fungsional (dijelaskan sebelumnya) dan membuat rencana intervensi
perilaku individual (BIP). Dunlap dan rekan (2010) memberikan banyak tips dan
strategi berbasis penelitian untuk membuat dan mengimplementasikan BIP dalam
sistem SWPBS.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gangguan perilaku atau conduc disorder mengacu pada pola perilaku


antisosial yang bertahan yang melanggahak-hak orang lain dan norma susila.
Gangguan Emosi dan Perilaku Anak atau Emotional And Behavioral
Disorders (EBD) merupakan anak yang memiliki hambatan dalam perkembangan
aspek emosi, sosial, atau bahkan keduanya sehingga perilakunya cenderung
menyimpang serta tidak sesuai dengan usia dan norma yang berlaku di
lingkungannya.

Karakteristik anak-anak dan remaja dengan gangguan emosi atau perilaku


sangat bervariasi dalam kecerdasan, prestasi, keadaan kehidupan, dan karakteristik
emosional dan perilaku. Karakteristik yang mereka miliki meliputi : Intelligence and
Achievement; Aggressive, Acting-Out Behavior (Externalizing); Immature,
Withdrawn Behavior and Depression (Internalizing).

Adapun penyebab terjadinya gangguan emosi dan perilaku pada anak


dipengaruhi oleh lingkungan seperti rumah, sekolah, dan masyarakat serta
biologisnya yang meliputi gangguan otak, genetic, dan tempramennya. Dalam
menghadapi permasalahan ini, telah dibentuk suatu layanan atau program pendidikan
yang dibagi menjadi beberapa tingkat, antara lain Tingkat 1 – Pencegahan Utama
yaitu dukungan universal dari semua guru dan siswa; Tingkat 2 – Pencegahan
Sekunder yaitu intervensi yang menargetkan siswa dengan perilaku berisiko, dan
Tingkat 3 – Pencegahan Primer yaitu intervensi intensif dan bersifat individual untuk
siswa dengan perilaku berisikonya lebih tinggi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Heward, William L. 2013. Exceptional Children: An Introduction to Special


Education. 10th Edition. Pearson.

Hallahan, D.P., Kauffman, J.M., & Pullen. 2014. Exceptional Learners: An


Introduction to Special Education. 12th Edition. USA: Pearson.

Mahabbati, Aini. 2010. Pendidikan Inklusif untuk Anak dengan Gangguan Emosi dan
Perilaku (Tunalaras). Vol: 7 (2): 52-63.

Anisah, Ani Siti. 2015. Gangguan Perilaku pada Anak dan Implikasinya Terhadap
Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar di
http://www.jurnal.untirta.ac.id/index.php/jpsd/article/download/689/542.
Diakses 13 Februari 2020.

20

Anda mungkin juga menyukai