Anda di halaman 1dari 24

SISTEM EKONOMI DAN ETOS KERJA DALAM ISLAM

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pendidikan Agama Islam
Yang dibina oleh H. Abdul Adzim, Lc., M.A

Oleh
Intan Choni Kustantia 160731614803
Martha Herninda 160731614865
Novita Arumsari 160731614835
Dinda Prima 160731614884
Rica Filasari 160731614846

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Sistem
Ekonomi dan Etos Kerja Dalam Islam ini tepat pada waktunya. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas matakuliahPengantar Ilmu Sejarah yang diampu
oleh Bapak H. Abdul Adzim, Lc., M.A.
Dalam makalah ini memuat materi tentang sistem ekonomi dalam Islam
yang berupa pengertian, nilai dasar dan instrumental ekonomi islam serta
perbedaan ekonomi islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi
sosialis. Kedua tentang respon Islam atas transaksi ekonomi modern yang berupa
–commerce dan buang bank. Ketiga tentang etos kerja dan kemandiriann hidup
yang berupa etos kerja islami dan kemandirian dalam Islam
Segala upaya telah kami dilakukan untuk menyempurnakan makalahini,
namun bukan tidak mungkin dalam penulisan makalahini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang dapat dijadikan masukan dalam menyempurnakan makalah lain di masa
yang akan datang.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua, serta
menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi
kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.

Malang, 28 September2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sistem Ekonomi Islam...................................................................... 3
2.2 Respon Islam Atas Transaksi konomi Modern................................. 7
2.3 Etos Kerja dan Kemandirian Hidup.................................................. 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 18
3.2 Saran............................................................................................... 19
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak orang menerjemahkan makna dari sejahtera secara berbeda beda,
dari yang sekedar tercukupi kebutuhannya sehari hari, memiliki asset yang
berlimpah, hingga memiliki semua yang ada. Pun untuk mencapai semua
keingginannya itu banyak dari mereka yang lakukan segala hal, bahkan cenderung
bagi mereka untuk tak mempedulikan orang lain.
Banyak teori teori ekonomi yang mendeskripsikan tentang pola tingkah
laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya dan teori teori itu lahir dari pola
tingkah laku manusia itu sendiri. Tapi ketika sebuah teori yang merupakan hasil
deskripsi polah tingkah laku manusia tersebut telah gagal dalam memenuhi
sesuatu yang di idam idamkan, maka dengan otomatis manusia akan melakukan
perubahan dalam pola tingkah laku mereka dan yang berujung pada munculnya
teori ekonomi baru.
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan
dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur
dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan
tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu
hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati
besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin
yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin
yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku
justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan
etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui
rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

1
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem ekonomi dalam Islam?
2. Bagaimana respon Islam atas transaksi ekonomi modern?
3. Bagaimana etos kerja dan kemandirian hidup dalam Islam?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui sistem ekonomi dalam Islam.
2. Untuk mengetahui respon Islam atas transaksi ekonomi modern.
3. Untuk mengetahui etos kerja dan kemandirian hidup dalam Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Ekonomi Islam


2.1.1 Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Dalam buku Teori dan Praktik Ekonomi Islam, M.A. Manan (1993:19)
menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai islam.
Sementara itu, Halide berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam
ialah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan
sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi (Ali,1988: 3).
Sebagai pakar ekonomi Islam mengistilahkan dasar-dasar itu dalam istilah
“Madzab Ekonomi Islam.” Sementara pakar ekonomi mengistilahkannya dengan
“bangunan perkonomian yang didirikan di atsa landasan dasar-dasar yang sesuai
dengan kondisi lingkungan dan masa” (Ahmadi, 1980: 14).
Berdasar pendapat-pendaat dia atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud sistem ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi
yang disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah, dan merupakan bangunan
perekonomian yang didirikan diatas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan
kondisi lingkungan dan masa tertentu.
Menurut Halide, pendekatan Islam dalam masalah ekonomi berbeda
dengan pendekatan kebijakan ekonomi Barat berdasarkan perhitungan
materialistic dan sedikit sekali memasukkan pertimbangan moral agama.
Pendekatan Islam dan ekonomi, antara lain:
a. Konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang perlu dan bermanfaat
bagi kehidupan manusia
b. Alat pemuas dan kebutuhan manusia harus seimbang
c. Dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral
harus ditegakkan
d. Pemerataan pendapatan harus dilakukan dengan mengingat bahwa sumber
kekayaan seseorang yang diperoleh berasal dari usaha yang halal
e. Zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan peningkatan taraf hidup
golongan miskin merupakan alat yang ampuh (Ali, 1986: 5).

4
2.1.2 Nilai Dasar dan Instrumental Ekonomi Islam
Nilai-nilai dasar ekonomi Islam sebagai implikasi dari asas filsafat tauhid
ada tiga, yaitu:
a. Kepemilikan
Kepemilikan oleh manusia bukanlah penguasaaan mutlak terhadap
sumber-sumber ekonomi, sebab sesungguhnya segala sesuatu yang ada di
dunia adalah milik Allah. Manusia hanya berhak mengurus dan
memanfaatkannya sesuai dengan aturan Allah. Kepemilikan perorangan
tidak boleh meliputi sumber-sumber ekonomi yang menyangkut
kepentingan hajat hidup orang banyak, tetapi menjadi milik umum atau
Negara. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abu Daud yang artinya “Semua orang berserikat (memiliki
kepemilikan bersama dalam tiga hal, yaitu: rumput, air, dan api”. Ketiga
sumber daya alam itu kini dikiaskan pada minyak dan gas bui, barang
tambang, dan kbutuhan barang pokok lainnya.
b. Keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek
tingkah laku ekonomi seorang muslim. Atas keseimbangan ini, misalnya
terwujud dalam kesederhanaan, hemat, dan menjauhi pemborosan.

”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak


berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian” (Q.S. Al-Furqan: 67).
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara kepentingan
dunia dan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan umum, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c. Keadilan

5
Keadilan harus diterapkan di semua bidang ekonomi dalam proses
produksi, konsumsi maupun distribusi. Selain itu, keadilan juga harus
menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantasan pemborosan.

”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami


perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan
Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (Q.S.
Al-Isra’: 16).
Keadilan juga berarti kebijaksanaan dalam mengalokasikan sejumlah kecil
kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar,
yaitu melalui zakat, infak, dan sedekah kepada orang miskin, yang tidak
ditentukan jenis, jumlah maupun waktunya.
Ketiga nilai dasar ekonomi Islam itu, menurut Saefuddin (dalam
Ali, 1988:17), merupakan pangkal nilai-nilai instrumental dari sistem
ekonomi islam yang berjumlah lima, yaitu zakat, larangan riba, kerjasama,
jaminan sosial, dan peranan Negara. Kelima nilai instrumental strategis ini
mempengaruhi tingkah-laku ekonomi seorang Muslim, masyarakat, dan
pembangunan ekonomi pada umumnya (Ali, 1998:9).

2.1.3 Perbedaan Sistem Ekonomi Islam dngan Sistem Ekonomi Kapitalis


dan Sistem Ekonomi Sosialis
Jika dipandang semata-mata dari tujuan dan prinsip ekonominya, maka
tidak ada perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lain.
Sebab menurut Daud Ali, semua sistem ekonomi, termasuk sistem ekonomi Islam,
memiliki tujuan yang sama, yaitu mengupayakan pemuasan atas berbagai
keperluan hidup masyarakat secara keseluruhan. Di samping itu, setiap sistem
ekonomi bekerja diatas motif ekonomi yang sama, yaitu berusaha mencapai hasil
sebesar-besarnya dengan tenaga dan ongkos seminim-minimnya.

6
Namun jika dilihat dari perbedaan keperluan hidup harus dipnuhi, trdapat
perbedaan dalam upaya mencapai tujuan, terutama dalam pelakssanaan prinsip
ekonomi. Karena perbedaan-perbedaan itu pula, muncul beragam sistem ekonomi
manusia sekarang ini yaitu sistem ekonomi yang mmpengaruhi pemikiran dan
kegiatan ekonomi manusia sekarang ini, yaitu sistem eknomi kapitalis dan sistem
ekonomi sosialis. Disamping kesua sistem itu, kini sedang berkembang sisteem
ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dari ekonomi kapitalis maupun
sosialis. Ekonommi Islam juga tidak berada diantara keduanya, karena ini sangat
brtolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalis yang lebih bersifat individual,
dan sistem ekonomi sosialis yang membrikan hampir smua tanggung jawab
kepada warganya. Ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta penntuan
yang boleh dan tidak boleh ditransaksikan.
Sistem konomi Islam adalah sistem ekonomi mandiri dan terlpas dari
sistem-sistm konomi lainnya. Adapun yang mmbeddakan sistem-sistem ekonomi
Islam dengan sistem-sistem konomi lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh
Suroso (dalam Lubis, 2000: 15), adalah:
a. Asumsi dasar dan norma pokok dalam proses maupun interaksi kegiatan
ekonomi yang diberlakukan. Asumsi dasar sistem ekonomi Islam adalah
syariat Islam. Syariat Islam dibrlakukan secara menyluruh trhadap individu,
keluarga, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah dalam upaya
mereka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk kebutuhan jasmani
maupun rohani. Perintah agar melaksanakan ajaran Islam alam seluruh
kegiatan umat Islam dapat dilihat di Q.S. Al-Baqorah: 208.
b. Prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan
tetap menjaga kelstarian lingkungan alam. Hal ini dapat dilihat ketentuannya
dalam Q.S. Al-Rum: 41.
c. Motif konomi Islam adalah mencari keseimbangan antara dunia dan akhirat
dengan jalan beribadah dalam arti yang luas. Persoalan motif ekonomi
menurut pandangan Islam dapat dilihat diketentuannya dalam Q.S. Al-
Qashash: 77.

7
2.2 Respon Islam Atas Transaksi Ekonomi Modern
2.2.1 E-Commerce (Perdagangan Elektronik)
Teknologi merubah banyak aspek bisnis dan aktivitas pasar. Dalam
bisnis perdagangan misalnya, kemajuan teknologi telah melahirkan mtode
transaksi yang dikenal dngan istilah e-commerce (elctronic commerce).
Menurut Raharjo, e-commrce adalah suatu cara berbelanja atau brdagang
secara online dngan memanfaatkan internet yang di dalamnya terdapat
website yang dapat menyediakan layanan get and deliver. Dalam istilah
lain, E-Commerce adalah bisnis online yang menggunakan media
elektronik internet secara keseluruhan, baik dalam hal pemasaran,
pemesanan, pengiriman, serta transaksi jual beli.
Dalam pandangan Islam, jual beli mempunyai rukun dan syarat yang
harus dipenuh agar sah. mnurut pandangan mayoritas para ulama, rukun
jual beli ada tiga. Pertama, orang yang bertransaksi (penjual dan pembeli),
dngan syarat brakal dan dapat membdakan baik buruk. Kedua, sighat (ijab
dan qabul); ijab mnunjukkan keinginan untuk melakukan transaksi, dan
qabul mngindikasikan krlaan untuk menerima ijab. Ketiga, barang sebagai
obyek transaksi , dengan syarat barangnya dapat dimanfaatkan, milik
orang yang melakukan akad , mampu menyerahkan, dan barang yang
diakadkan ada pada diri orang tersebut.
Fikih memandang bahwa transaksi bisnis di dunia maya
diprbolehkan karena maslahat. Maslahat adalah mengambil manfaat dan
menolak bahaya dalam rangka memelihara tujuan syara’. Bila E-Commrce
dipandang seperti layaknya perdagangan dalam islam, maka dapat
dianalogikan sebagai berikut. Pertama, penjualnya adalah mrcant (internet
servic provider atau ISP), sedangkan pembelinya disebut customer.
Kedua, obyek adalah barang dan jasa yang ditawarkan dngan berbagai
informasi, profil, harga gambar barang, serta status perusahaan. ketiga ,
sighat (ijab-qabul) dilakukan dengan payment gateway, yaitu software
pendukung (otoritas dan monitor) bagi acquirer, serta berguna untuk
service online.

8
Komoditi yang diperdagangkan dalam E-Commerce dapat berupa
komoditi digital dan non digital. Untuk komoditi digital seperti electronik
neewspaper, -book, digital libraru, virtual school, software program
aplikasi komputer dan lain sebagainya, dapat langsung diserahkan melalui
media internet kepada pembeli, misalnya pembeli mendonwload produk
tersebut dari website yang ditentukan. Sedang untuk komoditi non digital,
karena komoditi ini tidak dapat diserahkan lagsung melalui internet, maka
prosedur pengirimannya harus sesuai kesepakatan bersama, begitu juga
spsifikasi komoditi, waktu dan tempat penyerahannya. Sebelum transaksi
berlangsung perlu disepakati batas waktu penyerahan komoditi.

2.2.2 Bunga Bank


Bunga bank adalah ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan
kepada pemiliknya atau menarik dari pinjamin sejumlah tambahan tetap.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 1992 (pasal 1, ayat 1) tentang
perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak (Lubis, 2000:8).
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa Bank merupakan
perusahaan yang memperdagangkan utang – piutang, baik berupa uang
sendiri maupun dana masyarakat, dan mengedarkan uang tersebut untuk
kepentingan umum. Dilihat dari sistem pengelolahannya, bank
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bank konvensional dan bank
syariah.
a. Bank Konvensional
Bank konvensional adalah bank yang menggunakan sistem bunga
dalam bertransaksi dengan nasabah. Bank jenis ini ada dua macam, yaitu
bank umum dan bank perkreditan. Dalam era globalisasi sekarang ini,
umat Islam boleh dikatakan hampir tidak dapat menghindarkan diri dari
bertransaksi dengan bank konvensional, termasuk dalam hal kegiatan
ibadah (misalnya ibadah haji). Di sisi lain, dalam bidang aktivitas
perekonomian nasional dan internasional serta era perdagangan bebas

9
dewasa ini, penggunaan jasa bank konvensional tidak dapat
dikesampingkan.
Pokok persoalannya sekarang ialah bagaimana perdagangan hukum
Islam terhadap umat Islam yang menggunakan jasa bank konvensional.
Pertanyaan ini mendapatkan jawaban yang berbeda dari para ulama.
Dengan mengambil dasar Q.S. Ali ‘Imran:130, ada ulama yang
mengatakan haram, mubah, dan mutasyabihat (tidak jelas halal haramnya).

b. Bank Syariah dan Praktiknya


Bank syariah adalah bank yang dirancang sesuai dengan ajaran
atau syariat Islam. Perbankan Islam yang beroperasi atas prinsip syirkah
(mitra usaha) telah diakui di seluruh dunia. Artinya, seluruh bagian sistem
perbankan yakni pemegang saham, depositor, investor, dan peminjam
turut beerperan – serta atas dasar mitra usaha
Kedudukan bank syariah dalam sistem perbankan nasional
mendapat pijakan yang kokoh setelah dikeluarkannya UU Nomor 7 Tahun
1992 yang diperkuat dengan PP Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank
berdasarkan prinsip bagi hasil. Hal lain yang membedakan bank syariah
dan bank konvensional adalah, selain dituntut untuk tunduk
pengelolahannya dibatasi dengan pengawasan yang dilakukan oleh dewan
syariah. Dengan kata lain, pengelolaan dan produk bank syariah ini harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Pengawas Syariah
sebelum diluncurkan ke tengah – tengah masyarakat.
Perbedaan pokok antara bank konvensional dan bank syariah adalah
operasionalnya. Pada bank konvensional, sistem operasionalnya didasarkan pada
bunga, sedangkan pada bank syariah dalam menjalankan usahanya minimal
mempunyai lima prinsip operasional yang terdiri dari :sistem simpanan, sistem
bagi hasil, margin keuntungan, sewa, dan fee (Antonio, 1994:138). Selain itu ada
pula akad qardh, hiwalah, rahn, wakalah, kafalah yang semuanya menjadi ciri
khas sekaligus pembeda antara Bank syariah dan Bank Konvensional.
Akan tetapi banyaknya pelayanan dan transaksi, sering dijumpai praktik
menyimpang dari perbankan syariah. Misalnya dalam akad musyawarah,

10
penentuan margin sepenuhnya dilakukan oleh Bank Syariah. Penentuan sepihak
tidak diperbolehkan karena dalam akad harus ada ketrbukaan dari pihak bank.
Kebanyakan Bank syariah tidak menyerahkan barang kepada nasabah, tetapi
memberi uang kepada nasabah sebagai wakil untuk membeli barang untuk
membeli barang yang dibutukan. Hal ini menyimpang dari aturan fikih, karena
ada dua transaksi dalam satu akad yaitu wakalah dan Murabahah.
Selain itu, dalam praktik masih ada Bank syariah yang hanya mau
memberikan pembiayaan pada usaha yang sudah berjalan selama kurun waktu
tertentu, artinya bank memilih calon nasabah (mudharib). Pembagian return
pembiayaan tidak berdasarkan pada sistem bagi hasil dan rugi (profit and loss
sharing). Sistem ini dipilih karena Bank Syariah belum sepenuhnya berani
berbagai resiko secara penuh. Jika keadaannya seperti ini maka dapat dikatakan
bahwa kegiatan bank syariah belum secara sempurna mengacu pada tujuan
Ekonomi Islam (Hidayat, t.t).
c. Hukum Bunga Bank: Riba atau bukan?
Melihat fungsi dan peranannya yang bermanfaat bagi manusia dan
masyarakat dalam perekonomian modern sekarang, keberadaan bank dapat
dibenarkan dalam ajaran Islam. Permasalahannya adalah apakah bunga
bank yang dipungut oleh bank dan bunga yang dibeerikan kepadda
masyarakat termasuk riba atau bukan. Jawanban terhadap pertanyaan ini
sangat erat hubungannya dengan pemahaman seseorang atau sekelompok
orang tentang riba sebagai hasil ijtihad mereka. Oleh karena para ulama
sampai saat ini belum berkonsensus secara bulat. Berikut pendapat para
ulama yang berbeda-beda tersebut:
1) Abu Zahra, Guru Besar Hukum Islam dari Universitas Kairo Mesir,
mengatakan bahwa bunga (rente) adalah sama dengan riba nasi’ah yang
dilarang dalam Islam. Akan tetapi karena sistem perekonomian sekarang
dan peranan bank dan bunga tidak dapat dihapuskan, maka umat Islam
dapat melakukan transaksi melalui bank berdasarkan keadaan darurat.
2) Menurut Mustafa Ahmad Az Zaqra, Guru besar Hukum Islam dan hukum
Perdata, bunga dalam hutang piutang yang bersifat konsumtif adalah riba,

11
sedangkan bunga dalam hutang piutang yang bersifat produktif tidak sama
dengan riba nasi’ah.
3) A. Hasan, ahli tafsir dan tokoh Islam Persatuan Islam (PERSIS),
berpendapat bahwa bunga bank bukanlah riba yang diharamkan karena
tidak bersifat berlipat ganda, sebagaimana disebut dalam Q.S Ali Imron
130.
4) Hasil muktamar Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan
bahwa bunga yang diberikan oleh bank milik negara kepada para
nasabahnya termasuk dalam kategori tidak jelas hukumnya (Ali, 1988:12 –
13).
5) Hasil lokakarya Majlis Ulama Indonesia yang diselenggarakan pada
tanggal 19 – 20 Agustus 1990 tentang status bunga bank menyebutkan
bahwa untuk menghindari kesulitan, maka daat dimungkinkan adanya
rukhshah (keringanan hukum) jika dapat dipastikan adanya kebutuhan
(Lubis, 2000: 42 – 46).

2.3 Etos Kerja dan Kemandirian Hidup


2.3.1 Etos Kerja Islami
Sebelum membahas etos kerja Islami, perlu dipahami hakikat kerja. Kerja
adalah sebuah aktivitas yang telah direncanakan dan dilakukan tahap demi tahap
agar bisa mendapatkan nilai lebih demi memenuhi kbutuhan hidup serta
memberikan manfaat bagi seluruh manusia (Agung, 2007: 112).
Dengan pemahaman tersebut, sebuah pekerjaan tidak mengenal waktu dan
tempat sehingga dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Adalah persepsi yang
keliru jika memahami pekerja adalah mereka yang hanya bekerja pada sebuah
instansi pemerintah atau pada sebuah perusahaan. Seorang pengembala kambing
adalah pekerja karena ia memiliki motif untuk mendapatkan nilai tambah, baik
dari dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Seorang muslim harus memiliki prinsip bahwwa bekerja adalah ibadah
dengan menjadikan taqwa sebagai landasannya. Sehingga yang mnjadi tujuan
utamanya adalah mencari ridha Allah, tidak semata mengejar materi belaka.
Selain itu seorang muslim harus juga memperhatikan etika bekerja, yaitu:

12
a. Menyadari pekerjaannya terkait dengan Allah, sehingga membuat dia
bersikap cermat, bersungguh-sungguh dalam bekeerja, dan menjalin
hubungan baik dengan relasinya demi memperoleh keridhaan Allah;
b. Bekerja dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan;
c. Tidak membrikan beban berlebih pada pekerja, alat produksi atau binatang
dalam bekrja. Semua harus dipekerjakan secara profesional dan wajar.
d. Tidak melakukan pekrjaan yang melanggara aturan Allah.
e. Profesional dalam setiap pekerjaan (Ismail, 2012)
Untuk mendapat kesuksesan dalam bekerja dan mendapatka rezeki yang
baik dan barkah, seorang muslim dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi.
Etos berasal dari kata Yunani ‘ethos’ yang berarti sikap, watak, kepribadian,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai
kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakini (Ismail, 2012).
Dengan etos kerja yang kuat, sebuah perkerjaan akan mencapai hasil yang
maksimal. Berkaitan dengan etos kerja, Allah berfirman:

Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya


aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita)
yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya, orang-
orang yang dzalim itu tidak akan mendapat keberuntungan (Q.S. Al-An’aam:
135)
Bekerja adalah suatu keharusan bagi umat Islam. Allah tidah akan
menurunkan rezeki dari langit, tetapi rezeki harus diusahakan. Umat Islam
diharuskan untuk bekerja dan dilarang untuk menganggur atau bermalas-
malasan. Hal ini disebutkan dalam Q.S al-Mulk ayat 15.

13
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-
lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Ungkapan Arab menyebutkan’alfaraaghu mafsadtun’, menganggur
itu merusak. Sifat malas, tidak memiliki etos kerja, sikap menganggur,
hanya akan melahirkan pikiran-pikiran negatif, kesengsaraan, penyakit
jiwa, kerapuhan jaringan saraf, mengkhayal tanpa realitas, keresahan dan
kegundaan. Sebaliknya, kerja dan semangat akan menghadirkan
kreativitas, kegembiraan, sukacita, dan kebahagiaan.
Islam sangat mnganjurkan kepada pemeluknya untuk bekerja dan
berusaha. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah SWA menguji seorang
sahabat mencari nafkah dengan cara mencari dan membelah kayu di hutan.
Tangannya keras dan kaku, pakaian dan penampilannya sangat sederhana
dan bersahaja. Itu dilakukannya setiap hari untuk menafkahi anak dan
istrinya. Rasulullah menghampiri sahabat tersebut dan memegang
tangannya seraya berkata, “Inilah tangan yang dicintai Allah SWT.”
Agama Islam memberikan apresiasi yang sangat tingki kepada
siapapun yang mlakukan kerja keras mencari rezeki yang halal, thayyib
(baik), dan berkah. Lebih dari itu, bekerja merupakan sarana untuk
menjadikan watak dan kepribadian manusia bersifat mandiri, tekun, teliti,
peduli, berani, taat, dan bertanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda:
“Adalah Nabiyullah Daud tidak makan kecuali dari hasil kerja kedua tangannya”
(HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah).
Bahkan sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW sendiri dalam
usia 8 tahun bekerja mengembala kambing yang hasinya diserahkan
kepada pamannya, Abu Thalib. Pada usia 12 tahun, Muhammad SAW
sudah diperkenalkan berwirausaha olh pamannya untuk berdagang dengan

14
melakukan perjalanan jauh melintasi beberapa kota sampai ke negeri
Syam.
Dengan bekrja, seseorang bisa hidup mandiri dan tidak menjadi
beban orang lain. Dengan bekerja pula, seseorang dapat memiliki harga
diri dan percaya diri, bahkan menjadi manusia terhormat karena bisa
meringankan beban orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak bermanfaat
(HR. Bukhari Muslim).
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu berdoa dan berusaha (bekerja) demi mencapai kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an,

Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. An-
Nahl: 97).
Agar dalam bekerja bisa memperoleh kesuksesan dan keridhaan,
terdapat sejumlah panduan yang perlu dipatuhi, diantaranya adalah:
a. Mulai mencari pekerjaan yang halal.
b. Jadilah pekerja yang jujur (bisa dipercaya) saat mengembangkan usaha.
c. Carilah mitra kerja yang baik dalam bekerja secara baik pula.
d. Gunakan cara yang baik dalam bekerja supaya memperoleh hasil yang
baik.
e. Setalahnya memperoleh upah, keluarkanlah sebagian rezeki yang
diperoleh untuk zakat, infak atau sedehah.
f. Bersyukurlah atas nikmat Allah yang diperoleh dengan menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

15
Senada dengan pendapat di atas, Uchrowi menyatakan bahwa untuk
memmbuka pintu kesuksesan diperlukan lima kunci, yaitu: berdoa, bercita-cita,
bekerja keras, bekerja sama dan berhijrah. Sehingga sukses menurutnya adalah
orang yang memiliki peningkatan setiap harinya, dan memastikan orang tersebut
berimbang dalam urusan dunia dan akhirat yang dapat membawa keberkahan dan
kebahagian dala hidup (Anonim, 2013:14)
Tasmara (2002:73-105) menjelaskan bahwa etos kerja berhubungan
dengan hal penting seperti:
a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik
(waktu maupun kondisi) agar hari esok lebih baik dari hari kemarin.
b. Menghargai waktu. Disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting
guna efisinsi dan efektivitas bekerja.
c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi pekerjaan yang dilakukan
merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan
kesungguhan.
d. Hemat dan sederhana agar pengeluaran bermanfaat untuk masa depan.
e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar saat bekerja tidak
muddah patah semangat dan berusaha menambah kreativitas diri.
Etos kerja islami memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah: (a)
baik dan bermanfaat; (b) kualitas kerja yang mantap; (c) kerja keras, tekun dan
kreativ; (d) berkompetisi dan tolong-menolong; (e) objektif (jujur); (f) disiplin dan
konsekuen; (g) konsisteen dan istiqomah; (h) percaya diri dan kemandirian; (i)
efisien dan hemat (Ismail, 2012).
Dalam hadist Nabi juga disebutkan bahwa Allah sungguh sangat mencintai
orang yang berjerih payah untuk mencari yang halal (HR. al-Dailami), dan orang
yang bekerja dengan tekun (HR. Baihaqi). Bahkan, dalam hadist lain dijelaskan
bahwa hanya dengan kesusahpayahan dalam mencari nafkah dapat menghapus
dosa yang tidak bisa dihapus dengan pahala shalat dan sedekah atau haji (HR. Al-
Thabrani).

2.3.2 Kemandirian Dalam Islam


Dalam Islam kemandirian adalah melakukan usaha sekuat – kuatnya untuk
tidak menjadi benalu bagi orang lain selagi seseorang masih mampu, tanpa

16
melupakan peran Allag SWT. Dengan kata lain, konsep kemandirian Islam
dibangun atas dasar tauhid sehingga manusia cukup bergantung hanya kepada
Allah SWT tanpa menafikan kerjasamadengan sesama untuk melipatgandakan
kinerja. Kemandirian dalam Islam berakar dari kata kunci, yakni harga diri
(Abdurahman, 2012). Dalam hadis riwayat Imam Daruquthni dari Jabir, Nabi
SAW bersabda:
“suatu yang amat aku khawatirkan terhadap umatku adalah besar perut, tidur
siang hari, malas, dan lemah kenyakinan (tekad)”.
Dalam hidup, seseorang pasti membutuhkan orang lain, askan tetapi
menikamati hidup dengan membebani orang lain adalah hidup yang tidak mulia.
Mandiri adalah sikap mental yang membuat seseorang lebih tenang dan tentram.
Dalam Q.S. Al – Ra’d ayat 11 ditegakan bahwa Allah tidak mengubah nasib suatu
kaum sebelum kaum itu gigih mengubah nasibnya sendiri.

”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di


muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Menurut ayat di atas, setiap manusia diberi kemmpuan Allah untuk
mengubah nasibnya sendiri. Hal ini berarti kemampuan manusia untuk mandiri
dalam mengarungi hiduo merupakan kunci yang dibewri Allah untuk sukses di
dunia dan di akhirat kelak. Dalam hal ini, Gymnastiar (2004) menjelaskan bahwa
yang ditekankan adalah kesungguhasn berikhtiar agar tidak menjadi beban bagi
orang lain. Disamping itu ia harus berani mencoba dan berani menanggung resiko.
Orang yang bermental mandiri tidak akan menganggap kesulitan sebagai
hambatan, melainkan sebagai tantangan dan peluang. Tindakan selanjutnya adalah

17
mempertebal kenyakinan kepada Allah, sebab dialah Dzat pencipta sekaligus
pemberi rizki.
Islam mengutamakan pemahaman bahwa setiap manusia diciptakan oleh
Allah SWT dalam keadaan terbaik (Q.S. Al – tiin:4). Potensi yang dimiliki
manusia menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki peluang untuk menjadi
mulia. Oleh karenanya setiap muslim tidak layak menjadi beban orang lain.
Muslim yang mentalnya peminta dianggap rendah harga dirinya, sebagaimana
sabda Nabi SAW bahwa tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah
(HR. Muslim).
Demikianlah konsep kemandirian dalam Islam. Berusaha sekuat tenaga
untuk tidak menjadi beban bagi siapapun, namun tetap menjadikan Allah SWT
sebagai tempat berharap dan meminta pertolongan. Perilaku Rasulullah SAW
dalam bekerja patut di contoh dan dijadikann teladan bagi seluruh aktivitas orang
muslim. Semangat kerja yang dilandasi dengan ketauhidan kepada Allah SWT
akan melahirkan produktivitas yang dapat menghadirkan manfaat bagi dirinya,
usahanya, dan orang lain, di dunia maupun akhirat.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai islam. Semua sistem ekonomi,
termasuk sistem ekonomi Islam, memiliki tujuan yang sama, yaitu mengupayakan
pemuasan atas berbagai keperluan hidup masyarakat secara keseluruhan. Di
samping itu, setiap sistem ekonomi bekerja diatas motif ekonomi yang sama, yaitu
berusaha mencapai hasil sebesar-besarnya dengan tenaga dan ongkos seminim-
minimnya.

18
Namun jika dilihat dari perbedaan keperluan hidup harus dipenuhi,
terdapat perbedaan dalam upaya mencapai tujuan, terutama dalam pelakssanaan
prinsip ekonomi. Karena perbedaan-perbedaan itu pula, muncul beragam sistem
ekonomi manusia sekarang ini yaitu sistem ekonomi yang mmpengaruhi
pemikiran dan kegiatan ekonomi manusia sekarang ini, yaitu sistem eknomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Disamping kesua sistem itu, kini sedang
berkembang sisteem ekonomi Islam.
Kerja adalah sebuah aktivitas yang telah direncanakan dan
dilakukan tahap demi tahap agar bisa mendapatkan nilai lebih demi
memenuhi kbutuhan hidup serta memberikan manfaat bagi seluruh
manusia. Etos kerja islami memiliki beberapa karakteristik, diantaranya
adalah: (a) baik dan bermanfaat; (b) kualitas kerja yang mantap; (c) kerja
keras, tekun dan kreativ; (d) berkompetisi dan tolong-menolong; (e)
objektif (jujur); (f) disiplin dan konsekuen; (g) konsisteen dan istiqomah;
(h) percaya diri dan kemandirian; (i) efisien dan hemat.

3.2. Saran
Setelah mempelajari tentang sistem ekonomi dalam Islam dan etos
kerja, hendaknya kita dapat meneerapkan sebuah prinsip-prinsip ekonomi
daam Islam. Setelah kita tahu mana yang boleh dan tidak, hendaknya kita
bisa memilah-milah tentang apa yang kita lakukan dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi tentang larangannya.
Sebagai umat Islam hendaknya kita rajin bekerja, namun tidak
mengesampingkan aspek Islam didalamnya. Bekerja merupakan suatu
kewajiban dalam agama Islam, oleh karena itu kita harus menjalankan apa
yang diperintahkan dalam Islam.

19
DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, Aditya. 2012. Konsep “Do It Yourself” dan Konsep Kemandirian


Islam (Online), (www.undergroundtauhuid.com), diakses 7 Juni 2012.

Agung, Lukman. 2007. Menjadi Kaya Bersama Rasulullah. Yogyakarta: Diva


Press.

Al-Assal, A.M. 1980. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip-prinsip dan Tujuan-


tujuannya. (Terj. Abu Ahmadi). Surabaya: Bina Ilmu.

Anonim. 2013. Mmbangun Kemandirian Anak Bangsa. Yatim Mandiri, hlm.14.

Daud, Ali. M. 1998. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan wakaf. Jakarta:
Universitaas Indonesia.

20
Gymnastiar, Abdullah. 2004. Sebuah Nasehat Kecil. Jakarta: Penerbit Republika.
http://ananganggarjito.blogspot.com/2008/07. E-Commerce dalam Prespektif
Islam.html

Jazimah & Maziyah, L. 2015. Pendidikan Islam Transformatif. Malang: Lembaga


Pengembangan Pendidikan Dan Pembelajaran (LP3) Universitas
Negeri Malang.

21

Anda mungkin juga menyukai