Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan
bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert
Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without science
is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain.
Karena dalam pandangan islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam
juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari
setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan
utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum
maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah
memahami prinsip-prinsip Al-quran.
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi, ditinjau dari katanya bersalal dari akar kata Islam. Secara etimologi berarti
tunduk/pasrah dan patuh. Sedang terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah
kepada Tuhan yang dalam bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah SAW. yang berpedoman
pada kitab suci al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Islamisasi
sendiri bermakna pengislaman.
Farid Al-attas membahasakan Islmisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu ilmu yang
merujuk pada upaya mengelimir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk
peradaban dan kebudayaan barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam
unsur-unsur atau konsep humanisme, drama serta strategi dalam kehidupan rohani yang
meyebabkan ilmu yang sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia,
setelah melewati proses di atas ke dalam ilmu tersebut dinamakanlah unsur-unsur dan
konsep-konsep pokok keislaman.1
Menurut Al-Attas, Islamisasi ialah “pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos,
animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasaan sekuler atas
akal dan dan bahasanya”. Al-Atas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan Islamisasi
bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Dan juga
menurut Al-Attas, proses Islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama. Pertama ialah
proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dari ilmu tersebut. Kedua,
menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam kedalamnya.
Dalam karyanya “Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan”, al-
Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu sebagai usaha “untk mengacukan kembali
ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen
dan rasionalisasi berhubung data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran membentuk
kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkayakan
visi dan perjuangan Islam.”Menurut beliau, Islamisasi ilmu dapat dicapai melalui pemaduan
“ilmu-ilmu baru ke dalam khazanah warisan Islam dengan membuang, menata, menganalisa,
menafsir ulang dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.”2
B. Ruang Lingkup dan Pembatasan Ilmu Pengetahuan Islam
1

2
http://intl.feedfury.com/content/38014550-islamisasi-ilmu-pengetahuan-2-pendefinisian-islamisasi-
ilmu-pengetahuan.html
Ilmu pengetahuan sangat terkait dengan penetapan kebenaran sesuatu, tapi apakah
kebenaran itu mutlak (absolut) atau nisbi (relative) telah mengundang perdebatan sejak
dahulu. Kalangan Skeptis menafikan adanya kebenaran mutlak dan mengakui kebenaran
relative yang sangat ditentukan dari sudut pandang tertentu. Ini berarti bahwa kebenaran
dapat dimiliki setiap oang. Masalah ini agaknya behubungan erat dengan sumber ilmu
penegtahuan. Pancaindra, akal dan ilham dianggap sumber ilmu pengetahuan sejak dahulu.
Namun, kebenaran ilmu yang diperoleh melalui pancaindra dikritik karena rasionalis.
Sementara banyak penyelesaian rasional dikritik oleh kalangan eksoteris.
Pembatasan sumber atau ilmu pengetahuan kepada metode empiris tentunya tidak
sejalan dengan persepsi Islam. Mayoritas intelektual muslim menganggap sumber atau
lingkup ilmu pengetahuan terpenting adalah wahyu (Al-qur’an dan sunnah), akal,
naluri/insting, ilham, indra atau empiris.
a. Wahyu
Pengertian wahyu adalah pemberitahuan Allah Swt kepada kepada utusannya (Rasul)
tentang undang-undangnYa dan agamanya. Wahyu dalam hal ini mencakup Al-qur’an
dan hadist Nabi Muhammad Saw yang merupakan ‘minhah ilahiyah’ (pemberian Tuhan)
dan bukan hasil ilham setelah melakukan pembersihan diri atau jiwa melalui berbagai
cara termasuk Riyadhoh ruhyah, mujahadah, bertapa, bersemedi, dan lainnya. Melalui
wahyu kepada utusan Tuhan ini, insane berakal dapat memperole kebenaran ilmiah,
informasi akurat dalam berbagai ilmu pengetahuan, petunjuk (hidayah), perundangang-
undangan, ritual, dan sebagainya yang sangat dibutuhkan manusia dalam mengatur
hubungan antara Tuhan dan manusia, antara manusia dengan manusia, dan manusia
dengan alam sekitarnya.
b. Ilham
Dalam sudut bahasa, pengertian ilham identik dengan naluri (insting), bisikan hati,
kasyf atau zhauq (sufi), isyraq (eluminasi) ilmu ladunni menuut al-ghazaly, ‘pengetahuan
langsug’ atau ‘muncul tiba-tiba tanpa proses rasio’, seprti ungkapan bahasa arab “
alhamahu allahu al-khair”. Ilham cenderung dimaksudkan pengetahuan tentang kebaikan
yang berasal dari Tuhan, atau berasal dari akal aktif menurut istilah Ibnu sina, atau hasil
kebersihan jiwa (mujahadah) menurut sufi. Pengertian naluri atau instink adalah proses
tercepat dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Ia juga diartikan sebagai kebenaran sesuatu
yang yang diperoleh tanpa upaya analisa rasio atau sesuatu yang diketahui secara
sempurna dalam sekejap.
c. Akal
Istilah dari akal adalah intelek yang pada umumnya mempunyai 3 pengertian.
Pertama, orang yang fitrahnya sehat dianggap sehat berakal, sehingga ia dapat
membedakan

C. Hubungan Ilmu dan Agama dalam Islam


Dalam pemahaman Islam ilmu tidaklah bebas nilai (free-value). Karena ilmu itu sendiri
dibangun dari azas pandangan hidup. Lalu persoalannya, apa dan bagiamana pandangan
hidup Islam. Menurut S.M.N. Al-Attas, pandangan hidup Islam adalah pandangan Islam
terhadap Realitas dan Kebenaran (vision Reality and Truth), yang ia sebut sebagai Ru’yah al-
Islam li al-Wujud. Realitas bukan fakta dan data dalam arti al-Waqi’iyyah, namun al-
Haqiqah. Realitas dalam Islam mencakup al-Dunya dan al-Akhirah. Maka kebenaran realitas
(al-Haqiqah) yang mencakup dua realitas tersebut. Jadi, Islamisasi ilmu pengetahuan tidak
hanya mengislamkan orang yang berilmu, tetapi ilmu pengetahuan itu juga diisilamkan.
Berkaitan dengan dua realitas diatas dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan, maka
ilmu pengetahuan dalam pandangan hidup Islam digunakan untuk mengenal diri, mematuhi
ajaran agama, menyempurnakan masyarakat, membimbing Negara, menyatakan
kebijaksanaan, menegakkan keadilan, mengukuhkan akhlak dan budi pekerti. Oleh karena itu,
dalam Islam seseorang tidak dapat disebut sebagai seorang yang berilmu jika ia tidak
membayangkan kesan ilmu tersebut dalam seluruh aspek kehidupannya. Begitujuga ilmu
diaplikasikan ke dalam totalitas hidup manusia.
Dengan memahami pandangan hidup Islam, maka penelusuran terhadap ilmu
pengetahuan tak terlepas dari Tauhid, baik sebagai Prinsip, maupun sebagai Metode. Sebagai
Prinsip, Tawhid menjadi landasan umat Muslim dalam mencari ilmu pengetahuan. Ia tidak
terlepas dari pemahaman atas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi. Sebagaimana ditegaskan
oleh S.H. Nasr:
The testimony of the faith La Illaha Illa’Llah (There is no divinity but the Divine) is a
statement concerning knowledge, not sentiment or the will. It contains the quintessence of
metaphysical knowledge concerning the Principle and Its manifestation. The Prophet of
Islam has said, “Say La Ilaha Illa’Llah and be delivered” referring directly to the
sacramental quality of principal knowledge.
Artinya, Kesaksian iman melalui La Illaha Illa'Llah adalah sebuah statemen atas ilmu
Pengetahuan, bukan kehendak atau perasaan. Shahadat tersebut berisikan Ilmu pengetahuan
metafisis atas Prinsip dan manifestasinya. Nabi Bersabda: Katakan La Ilaha Illa'Llah, (dan
kalimat itu) menunjukkan kepada kesakralan Prinsip Ilmu pengetahuan. Sedangkan sebagai
metode, Tawhid bagi kalangan intelektual Muslim digunakan untuk memahami universalitas
ilmu pengetahuan. Artinya, melalui Tawhidlah dapat memahami berbagai macam disiplin
ilmu pengetahuan. Sehingga pandangan pandangan kita tidak parsial terhadap ilmu
pengetahuan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Attas:
There have not been in the history of the cultural, religious and intellectual tradition of
Islam distinct ages characterized by a preponderance of a system of thought based upon
materialism or idealism, supported by attendant methodological approaches and positions
like empiricism, rationalism, realism, nominalism, pragmatism, positivism, logical
positivism, criticism, oscillating between centuries and emerging one after another right
down to our time. The representatives of Islamic Thought – theologians, philosophers,
metaphysicians – have all and individually apllied various methods in their investigations
without preponderating one any one particular method. They combined in their
investigations, and at the same time in their persons, the empirical and the rational, the
deductive and the inductive methods and affirmed no dichotomy between the subjective and
the objective, so that they affected what I would call the Tawhid method of knowledge.
Artinya, Tidak ada perbedaan karakteristik zaman dalam sejarah tradisi kebudayaan,
agama, dan intelektual Islam yang ditandai dengan sejumlah sistem pemikiran berdasar pada
paham materialisme atau idealisme, yang didukung oleh posisi dan pendekatan metodologis
Empirisisme, Rasionalisme, Realisme, Nominalisme, Pragmatisme, Positivisme, Positivisme
Logis, Kritisisme, yang bergerak dari abad ke abad dan muncul satu demi satu hingga waktu
kita sekarang. Mereka yang mewakili pemikiran Islam, seperti para Teolog, Filsuf,
Metafisikawan baik secara bersama maupun individu menerapkan berbagai metode dalam
penyelidikan mereka tanpa ada satu metodepun yang terlewatkan. Mereka
mengkombinasikan dalam penyelidikan mereka, secara bersamaan Empiris dan Rational,
metode Deduktif dan Induktif, dan menyatakan tidak ada dikotomi antara subjek dan obyek,
jadi mereka dipengaruhi oleh apa yang saya sebut dengan metode Tawhid.3

D. Nilai Guna Ilmu Pengetahuan Menurut Islam


Berkenaan dengan nilai guna ilmu baik ilmu-ilmu agama-agama Islam maupun ilmu-
ilmu umum, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu ini sangat bermanfaat bagi umat
manusia, dengan ilmu seseorang dapatmengubah wajah dunia, dengan Ilmu seseorang dapat
membuat kemudahan-kemudahan hidupnya, dengan ilmu seseorang mengadakan dapat
interaksi horizontal (hubungan dengan sesame mahluk dan lingkunangan alam
3
S.M.N. al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
sekitarnya)ndan interaksi vertikaln (hubungan antara manusia dengan sang penciptanya,
Allah SWT), dalam hal ini Nabi bersabda: “barang siapa menginginkan kebahagiaan didunia
maka harus dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat maka
harus dengan ilmu, dan barang siapanyang menginginkan kebahagiaan di dunia dan di
akherat maka tetap dengan ilmu”.

BAB III
KESIMPULAN
1. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah merupakan sebuah tanggung jawab moral para
ilmuwan dalam rangka menyelamatkan peradaban ummat manusia. Islamisasi ilmu
pengetahuan mencakup istilah spiritualisasi, dan integrasi antara ilmu agama dan ilmu
umum
2. Integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum ternyata memiliki
landasan normative teologis, historis empiris dan filosofis. Karenanya masalah
integrasi ini bukan mengada-ngada melainkan sebagai sebuah kenyataan dan
sekaligus tuntutan.
3. Baik ajaran Al-quran maupun hadist ternyata amat kaya dengan kerangka
pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Al-quran dan
hadist selain memberikan landasan ontologism dan epistimologis juga landasan
aksiologis, dengan landasan ini, kerangka pengembangan ilmu pengetahuan dalam
perspektif islam lebih bersifat utuh, kokoh, komperehensif dan sejalan dengan
perkembangan umat islam.
4. Secara normative teologis sebenarnya tidak ada pemisahan atau dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu umum. Al-quran dan al-sunnah tidak membeda-bedakan antara ilmi-
ilmu agama dan ilmu-ilmu. Keduanya terikat dengan prinsip tauhid, suatu prinsip
yang melihat bahwa baik aspek ontologis, epistimologis, maupun aksiologis ilmu
pengetahuan adalah sama.
5. Secara historis, islam terlebih dahulu memperkenalkan ilmu pengetahuan dalam
kerangka yang integrated. Dalam sejarah islam tidak membeda-bedakan antara ilmu-
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini terlihat dari adanya ulama-ulama besar
yang selain ahli dalam ilmu agama juga sekaligus ahli dalam ilmu umum.
6. Secara filosofis, integrasi ilmu agama dan ilmu umum memiliki landasan yang amat
kokoh, karena integrasi tersebut dapat dijumpai pada dataran pemikiran para filosofis
di masa lalu.
7. Integrasi ilmu agama dan ilmu umum mengahruskan seseorang untuk memahami
prinsip-prinsip umum yang ada pada kedua bidang ilmu tersebut sambil
mebgembangkan keahlian pada bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minat
masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai