PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta
PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1)
disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh:
1. Debitur.
Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau
utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan
1
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements verordening Juncto
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 321.
2. Kreditur:
membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya
2
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004.
3
Pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004.
4
Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004.
5
Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004.
hanya dapat diajukan oleh atau melalui Badan Pengawas Pasar Modal6
Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh
Utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven
baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian
atas utangnya, Oleh karena itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan
paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta
6
Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004.
7
Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004.
8
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 170.
restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi
debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka
pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh
debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau
verordening dan dalam UU No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat
diajukan oleh debitur maka dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU dapat
diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk
9
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 162.
10
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
utama, 2001), hal. 292 - 293.
debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada
kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan
bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah
tercapainya Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak
kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan
melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk
menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang
Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk
piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya
Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan
kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat mendorong
11
Ibid,. hal. 142.
12
Artikel Kepailitan, http:// cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan.html, diakses
pada tanggal 17 Januari 2011.
13
Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi,
(Jakarta: Artikel, tgl. 14 Maret 2002), hal. 14.
dalam UU No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian
hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan
dan PKPU, termasuk diantaranya adalah putusan No. 05/ PKPU/ PN. Niaga – Medan,
Putusan ini menarik untuk dikaji dengan alasan sampai saat ini putusan ini
Pengadilan Niaga Medan, yang dimana putusan hakim atas perkara tersebut tidak
sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004. Atas dasar hal di atas maka penelitan ini
B. Permasalahan
14
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, (Jakarta:
PT. Sofmedia, 2010), hal. 14.
3. Bagaimana penerapan Hukum Kepailitan dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/
PN. Niaga - Medan menurut UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
C. Tujuan Penelitian
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/
Utang.
D. Manfaat Penelitian
dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang Hukum Kepailitan di Indonesia
Pembayaran Utang.
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
Pembayaran Utang yang diajukan oleh para Kreditur, sehingga akan lebih
b. Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang
E. Keaslian Penelitian
1. Tesis dengan judul “Analisis Mengenai Keadaan Tidak Membayar Utang Yang
Telah Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih Menurut Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU
No. 4 Tahun 1998 Dan Dalam Prakteknya Di Peradilan Niaga”, oleh Fahren pada
tahun 2003.
No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (Studi Kasus Pengadilan Niaga Medan)”,
Perdamaian sesuai dengan Hukum Acara Perdata dalam Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, dan penerapannya dalam perkara No. 05/ PKPU/
2010/ PN. Niaga. Penelitian ini juga menjunjung kode etik penulisan karya ilmiah,
oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya, baik dilihat dari materi,
1. Kerangka Teori
pengaruh unsur-unsur hukum dalam sistim hukum Anglo Saxon banyak mewarnai
maupun UU No. 37 Tahun 2004 sudah dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon,
digunakan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Rawls, yakni teori
keadilan. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat, bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan
aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian
“Justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these
rules the criterion of what is right.”
15
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media
Group, 2009), hal. 223.
dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2)
apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim, apakah keadilan itu terletak.17
Keadilan sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter
yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap
Secara umum, dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak
patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka
orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair.
pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil.
16
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-
nicomachaen.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
17
Ibid., hal. 2.
18
Ibid., hal. 3.
mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain.
Keadilan dalam arti khusus, terkait dengan beberapa pengertian berikut ini,
yaitu:
hal lainnya, kepada mereka yang memiliki bagian haknya. Keadilan ini
Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21
lebih menekankan pada keadilan sosial.19 Hal ini terkait dengan munculnya
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. John
Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup
manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.20
John Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah
struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial
yang ada telah adil, atau tidak melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
19
Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994),
hal. 278.
20
Ibid., hal. 279.
digunakan adalah:21
pihak;
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang
adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari
keadilan, yaitu:22
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan umum, dimana hasrat ini
keadilan, maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun,
karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat, sehingga perbedaan ini menjadi
dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada
persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk
21
Ibid., hal. 138.
22
Achmad Ali, Op. Cit., hal. 279.
masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.23
Teori Keadilan dari John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk
kepentingan itu sendiri. Tegasnya, prinsip-prinsip dimana orang yang rasional akan
memilih jika ia belum tahu kedudukannya dalam masyarakat; prinsip keadilan inilah
yang kita pilih, karena orang-orang akan selalu bertindak menurut kepentingannya
cara yang dapat kita putuskan mengenai keadilan itu adalah dengan membayangkan
keadaan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali memutuskan dengan jujur.24
John Rawls juga membahas isu tentang kondisi-kondisi untuk memilih asas-
asas keadilan yang dapat dibuat melalui penggambaran tentang apa yang
dinamakannya “original position”25; Menurut Rawls, dengan cara yang sama tentang
netral, seperti ia akan memotong kue secara netral atau jujur, jika ia mengetahui
23
Ilham, Teori Keadilan John Rawls, Pemahaman Sederhana Buku A Theory of Justice,
http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 20 juni 2011.
24
Ibid., hal. 2.
25
Achmad Ali, Op. Cit., hal. 280.
mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu akan memotong kue secara
sama; Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, tanpa mengetahui bagian
mana yang akan diterimanya dari masyarakat, akan memilih prinsip-prinsip keadilan
yang fair (netral, jujur, dan adil); teori Rawls ini sering disebut justice as fairness
(keadilan sebagai kelayakan). Jadi, yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang
mengcover kewajiban Debitur dan hak Kreditur, yang kemudian disetujui bersama
dalam suatu rapat perdamaian, dimana langkah hukum ini merupakan jalan yang pasti
itu, dengan pendekatan teori keadilan ini, diharapkan suatu gambaran (deskripsi)
Aristoteles dan John Rawls untuk menjawab permasalahan utama berupa kewenangan
dengan studi terhadap putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan:
26
Achmad Ali, Op Cit., hal. 280
27
Ibid., hal. 281.
yakni adanya 2 Kreditur atau lebih, dan utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
telah menunjukkan adanya unsur keadilan yang dibangun di dalamnya. Para Kreditur
kepada Debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih sesuai dengan situasi dan kondisi Debitur saat itu, dengan syarat utama
dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah adanya kemauan, itikad baik
dan kooperatif Debitur, dan para Kreditur akan mendapatkan pembayaran utang
sesuai dengan proporsi piutangnya (prinsip pari passu prorate parte).28 Dalam hal
meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya, ini sesuai dengan teori
Keadilan menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan seperti yang disebutkan
di atas.
Unsur-unsur keadilan bekerja secara integral satu dengan yang lainnya agar
tujuan dari hukum dapat tercapai, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
diperkuat oleh sejumlah teori-teori yang dipergunakan untuk menjawab hal-hal yang
28
M. Hadi Shubban, Op. Cit., hal. 89.
Aristoteles dan John Rawls menegaskan mengenai keadilan, yang sama halnya
dengan suatu konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang
keadilan merupakan konsep abstrak yang bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut
29
oleh masing-masing individu dan masyarakat. Namun, seyogianyalah jika keadilan
secara prioritas.
prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil), yang dalam permasalahan
tesis ini, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/
Penelitian tesis ini akan lebih difokuskan pada aspek keadilan hukum dalam
Dalam konteks ini ingin disampaikan bahwa terdapat ketidakadilan Majelis Hakim
Utang yang diajukan Kreditur, tidak mencerminkan keadilan bagi para kreditur yang
lembaga Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus adil dalam
menyikapi hak dan kewajiban masing-masing pihak Kreditur dan Debitur dalam
2. Kerangka Konsepsi
bawah ini yang sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang digunakan,
yakni:
2. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur untuk
dinyatakan pailit mempunyai utang dan untuk jumlah piutang yang masing-
30
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : PT. Sofmedia, Cet - 1, 2010), hal. 200.
31
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.
35.
4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul
karena perjanjian atau Undang-Undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitur,
yang bila tidak dipenuhinya maka memberi hak kepada kreditur untuk mendapat
5. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan
pengadilan.34
32
Pasal 1851 KUHPerdata.
33
Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004.
34
Setiawan, “Komentar Atas Putusan Pengadilan Niaga No. 13 Tahun 2004 Jo. Mahkamah
Agung No. 8 Tahun 2004”, (Jakarta: Atmajaya, 2005), hal. 95.
35
HFA. Vollman, De Faillisementswet, vierde druk, HD, Tjoenk Wlink & Zoon, (Jakarta: N.V.
Harlem, 1953), hal. 236; Dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010),
hal. 161.
8. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-
9. Kreditur Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan
10. Kreditur Preferen atau Kreditur Istimewa adalah kreditur yang mempunyai hak
pelunasan dahulu/ istimewa, sesuai dengan Pasal 1133, 1134, 1139, 1149
KUHPerdata.39
dicukupkan dari sisa penjualan atau pelelangan harta pailit setelah diambil
bagiannya oleh kreditur separatis dan kreditur preferen atau kreditur istimewa.40
12. Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan
Pengadilan.41
13. Concursus creditorium adalah keharusan adanya dua atau lebih kreditur.42
14. Insolventie adalah keadaan berhenti membayar dimana debitur tidak membayar
36
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004.
37
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004.
38
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Jakarta: PT. Alumni, 2006), hal. 35.
39
Kartini Muljadi, “Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan”, Dalam:
Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum), hal. 174 - 175.
40
H. Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit., hal. 35.
41
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 UU No. 37 Tahun 2004.
42
Jono, Op. Cit., hal. 5.
utangnya.43
15. Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau
lebih kreditur, dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar,
sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit
Pailit.44
16. Prinsip debt forgiveness adalah pranata hukum sebagai alat untuk memperingan
beban yang harus ditanggung oleh debitur, karena sebagai akibat kesulitan
17. Kepastian hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib untuk menghormati dan
menegakkan substansi hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menjamin dan
43
Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004.
44
Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan Dan Likuidasi (Studi Kasus: BPPN vs PT. Muara Alas
Prima)”, Dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Dan Pengadilan Niaga, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia, 2005), hal. 315.
45
Emmy Yuassarie, “Pemikiran Hukum Kepailitan Indonesia” Dalam Emmy Yuhassarie,
Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal.
xix.
46
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Book Terrace & Library, Edisi
Revisi, Cet. 3, 2009), hal. 28.
G. Metode Penelitian
pendekatan juridis normatif. Dengan demikian, objek penelitian adalah norma hukum
yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian
guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, pilihan metode penelitian
untuk tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan prinsip-
Menurut Johnny Ibrahim, bahwa penelitian hukum normatif ini adalah untuk
menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-
norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai
47
M. Hadi Shubban, Op. Cit., hal. 142.
hukum faktual yang dihadapi oleh masyarakat, maka tidak ada jalan lain hanya
berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis dan
penelitian ini adalah penelitian terapan (applied research). Tujuan utamanya yakni
diharapkan penelitian ini nantinya akan diterapkan dan dimanfaatkan dengan baik
atas.
Sifat dari penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, yang bertujuan untuk
membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan
tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan mengacu pada hukum dan
48
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media
Publishing, Cet. Ke - 2, 2006), hal. 73.
49
Alvi Syahrin, Hubungan Berfikir Ilmiah dan Karya Ilmiah, (Medan: program Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 12 - 13.
Undang-Undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang
ditangani.50
Kepailitan.
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Hal. 93.
51
Ibid., hal. 94.
Medan.
artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
c. Bahan hukum tersier atau Bahan Hukum Penunjang, yang mencakup bahan
Hukum Primer dan Sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta
bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang relevan
penelitian ini.52 Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan Tesis ini
dari sumber yang dipandang relevan, yaitu meneliti sumber bacaan yang
berhubungan dengan topik dalam Tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah
52
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal.
195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 41.
penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-
perkara kepailitan.
4. Analisis Data
pada suatu pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka
yang dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan
satuan uraian dasar.53 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari,
ditelaah dan dianalisa. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan
53
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke - 10,
1999), hal. 103.
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti
dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari data
pendukung, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh
pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua
hal yang ingin dicapai dalam analisis kualitatif, yaitu: 1) Menganalisis proses
berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas
terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi,
54
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial lainnya, (Jakarta: PT. Kencana, Edisi I, Cet. 3, 2009), hal. 153.