1267 3364 1 PB PDF
1267 3364 1 PB PDF
La Ode Abdul Rajab Nadia 1*, Abdullah 1*, Amadhan Takwir 2*, Salwiyah,S1*
dan La Ode Baytul Abidin3*
1
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UHO
2
Jurusan Ilmu Kelautan FPIK UHO
3
Jurusan Budidaya Perairan FPIK UHO
Abstrak
Teknologi sero sistem kluster adalah modifikasi teknologi alat tangkap ikan yang bersifat menetap
dan berfungsi sebagai perangkap ikan dengan sistem kluster (kluster ukuran bibit dan konsumsi)
yang dioperasikan di perairan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data kekayaan fauna
ikan ekonomis penting ukuran bibit dan konsumsi bagi penguatan perikanan budidaya dan pangan
ikan berkelanjutan. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2017, bertempat di
perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan. Cara kerja metode ini adalah mengumpulkan
sampel ikan yang terperangkap pada sero sistem kluster, menentukan spesies ekonomis penting untuk
dikembangkan pada skala budidaya dan pemeliharaan pada media Karamba Jaring Apung. Analisis
data secara deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram yang mencakup kekayaan fauna ikan
berdasarkan kluster, dan persentase tingkat kelangsungan hidup kluster bibit yang dipelihara pada
media terkontrol. Hasil pengoperasian teknologi sero sistem kluster dapat menghimpun kekayaan
fauna ikan ekonomis penting sebanyak 16 jenis dan 8 famili. Ikan tersebut terdiri dari 6 spesies ukuran
bibit dan 12 spesies ukuran konsumsi. Kekayaan spesies kategori ikan pangan ukuran bibit
didominasi jenis ikan Caranx sp., Epinephelus merra dan Cephalapholis miniata. Kluster ikan
konsumsi di dominasi oleh Caesio cuning, Siganus vulpinus dan Variola albomarginata. Pemanfaatan
ikan kluster bibit yang dipelihara pada media Karamba Jaring Apung (KJA) adalah Caranx sp. dan
Cephalapholis miniata. Jumlah bibit ikan yang dipelihara sebanyak 1.000 ekor dengan persentase kelangsungan
hidup ikan pada usia pemeliharaan 60 hari mencapai 90,15 - 91,5%. Kontribusi sero sistem kluster dapat
menopang perikanan budidaya dan pangan ikan berkelanjutan.
Kata kunci: Eksplorasi, Spesies Ekonomis, ukuran, Sero kluster, pangan ikan.
1. PENDAHULUAN
Komoditas utama perikanan Indonesia adalah sumber daya ikan pelagis, demersal, dan ikan
karang. Menurut Mallawa (2006), sumberdaya ikan pelagis terdiri dari pelagis kecil dan pelagis
besar. Ikan pelagis kecil merupakan ikan neritik yang penyebarannya berada di dekat pantai. Ikan
ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar, sehingga merupakan salah satu sumber daya yang
paling melimpah di perairan Indonesia. Ikan pelagis besar dan ikan demersal di Indonesia terdiri
dari banyak jenis dan menyebar hampir di seluruh wilayah pengelolaan, tetapi produktivitasnya
berbeda pada setiap perairan. Perairan Laut Sulawesi Tenggara memiliki kurang lebih 100 jenis ikan
demersal ekonomis penting yang termasuk ke dalam 20 famili (Adrim, 2011). Sumber daya ikan
karang konsumsi, termasuk komoditas perikanan yang banyak diminati oleh pasar dalam negeri
maupun luar negeri karena permintaannya yang terus meningkat dan harganya cukup tinggi. Selain
bernilai ekonomis, ikan kualitas ekspor dapat ditemukan hampir semua perairan pantai di Indonesia,
termasuk di perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan.
Prosedur penelitian yang digunakan pada penelitian ini bersifat eksploratif dan dilakukan
dengan mengambil data pada hasil tangkapan sero sistem kluster. Hasil tangkapan yang diperoleh
dari sero tersebut dikumpulkan dalam kondisi hidup, diklasifikasikan berdasarkan kluster ekonomis,
dihitung jumlah dan diidentikasi jenisnya, kemudian ditampung dalam kurungan Karamba Jaring
Apung untuk dilakukan adaptasi lingkungan sebelum dipelihara. Jenis ikan yang tertangkap
diidentifikasi dengan mengacu pada beberapa literatur, Allen et al (2003); Allen, G. (1997); Myers
R.F. (1991); Randall et al (1996); Kuiter R.H., and T. Tonozuka (2001).
2.2. Analisis Data
a. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Ikan
Parameter yang diamati adalah komposisi jenis (KJ) indeks dan kelimpahan (ind/m 2).
Perhitungan Komposisi Jenis mengacu pada Greenberg dkk., (1992):
n
KJ = 100%
N
Keterangan:
KJ = Komposisi jenis (%)
ni = Jumlah individu setiap spesies (ind)
N = Jumlah individu
Keterangan :
SR = Persen kelangsungan hidup (%)
Bt = Biomasa ikan akhir (kg)
xWt = Rata-rata bobot ikan akhir (kg)
No = Jumlah ikan awal (ekor)
c. Pertumbuhan ikan
Pertumbuhan yang diukur berupa bobot dan panjang total ikan, kemudian dihitung laju
pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan panjang mutlaknya. Laju pertumbuhan spesifik merupakan
persentase pertumbuhan ikan per ekor yang dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Huisman
1987):
Keterangan :
SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%)
t = Waktu (hari)
Wo = Bobot awal (gram)
Wt = Bobot akhir (gram)
Pertumbuhan panjang mutlak merupakan selisih dari panjang rata-rata akhir dengan panjang rata-
rata awal yang dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Effendie, 1997)
PM = Lt - Lo
Keterangan :
PM = Pertambahan panjang mutlak (cm)
Lt = Panjang rata-rata akhir (cm)
Lo = Panjang rata-rata awal (cm)
Tabel 2. Komposisi jenis dan kelimpahan ikan ekonomis ukuran konsumsi yang tertangkap di sero
sistem kluster
Total
Jumlah Komposisi
Famili Jenis Kelimpahan
(Ind) Jenis (%)
(Ind/m2)
Acanthuridae Acanthurus lineatus 6 0,38 1,6
Caranx Caranx ignobilis 33 2,06 8,7
Caesionidae Caesio cuning 111 6,94 29,2
Labridae Coris batuensis 12 0,75 3,2
Pteragogus guttatus 3 0,19 0,8
Lutjanidae Macolor macularis 2 0,13 0,5
Scaridae Chlorurus bleekeri 8 0,50 2,1
Scarus bicolor 3 0,19 0,8
Serranidae Cephalapholis miniata 28 1,75 7,4
Gracila albimarginata 12 0,75 3,2
Variola albomarginata 65 4,06 17,1
Siganidae Siganus vulpinus 97 6,06 25,5
Total 380 100
Dari hasil identifikasi sebagaimana disajikan pada Tabel 1 bahwa jenis ikan ukuran bibit
didominasi oleh Caranx ignobilis yaitu berjumlah 700 individu dengan kelimpahan 175 ind/m 2 dan
komposisi jenis 53,3%. Selanjutnya jenis Cephalapholis miniata berjumlah 320 individu dengan
kelimpahan 80 ind/m2 dan komposisi jenis 24,4%. Sedangkan ikan yang memiliki kelimpahan
terendah adalah jenis Anyperodon leucogramicus berjumlah 26 individu dengan nilai kelimpahan 6,5
ind/m2 dan komposisi jenis 2,0%. Dari Tabel 2 dihasilkan bahwa kategori ikan konsumsi didominasi
oleh Caesio cuning yaitu berjumlah 111 individu dengan kelimpahan 6,94 ind/m 2 dan komposisi
jenis 29,2%. Selanjutnya jenis Siganus vulpinus berjumlah 97 individu dengan kelimpahan 6,06
ind/m2 dan komposisi jenis 25,5%. Sedangkan ikan yang memiliki kelimpahan terendah adalah jenis
1 0.9
Pertumbuhan Panjang Mutlak (cm)
0.9 0.86
0.8
0.7
0.6
0.5 0.44
0.4
0.3
0.2
0.1
0
KJA 1 KJA 2 KJA 3
Kelompok Perlakuan
Gambar 2. Pertumbuhan panjang mutlak ikan yang dipelihara dalam wadah KJA
1
0.9 0.86
Laju pertumbuhan spesifik (%)
0.8
0.7
0.6
0.44 0.47
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
KJA 1 KJA 2 KJA 3
Kelompok Perlakuan
Berdasarkan perhitungan efisiensi pemberian pakan dari ketiga kelompok perlakuan terlihat
bahwa ikan pemeliharaan pada kelompok KJA 2 memiliki efisiensi pakan yang paling baik yaitu
sebesar 28% dan terendah pada kelompok KJA 1 sebesar 21%. Efisiensi pakannya cenderung lebih
kecil dibanding pada ikan di KJA 2 dan KJA 3, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
30 28
24
25
21
Efisiensi Pakan (%)
20
15
10
0
KJA 1 KJA 2 KJA 3
Kelompok Perlakuan
Gambar 4. Efisiensi pakan ikan yang dipelihara dalam wadah KJA
Pengujian statistik mengenai efisiensi pemberian pakan dengan selang kepercayaan 95%
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan yaitu KJA 1, KJA
2 dan KJA 3. Faktor penyebabnya adalah pakan yang diberikan relatif sama yaitu ikan yang
kondisinya masih segar yang dipeoleh dari hasil tangkapan di sero sistem kluster yang tergolong
kategori ikan non ekonomis.
Saat ikan yang tertangkap di sero sistem kluster ditebar di KJA, seluruh individu ikan berada
dalam kondisi yang sangat baik. Sehingga, selama proses adaptasi bibit ikan di KJA memiliki tingkat
kelangsungan hidup (SR) sebesar 100%. Seiring dengan waktu pemeliharaan, terjadi penurunan
jumlah karena ditemukan ikan yang mati. Penurunan jumlah populasi ikan kerapu pada KJA 3
(Gambar 5) mulai terjadi pada minggu 1 hari ketujuh masa pemeliharaan sebesar 1,8 – 2,4 % atau
SR sebesar 97,6% - 98,2%. Sedangkan jumlah populasi ikan kuwe terjadi penurunan pada minggu
2 hari ketiga belas masa pemeliharaan dengan persentase nilai SR sebesar 96,7% (Gambar 6).
Berkurangnya populasi ikan pada KJA karena kematian alami akibat terjadi stress tertabrak oleh ikan
yang lain. Persentase tingkat kelangsungan hidup ikan (SR) yang dipelihara pada wadah KJA
disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
102
100
100 KJA 1
100
98.2
98 97.6 KJA 2
96.5
96
SR (%)
94 93.4 93.1
92.4 92.5
92.4
91.5 91.5 91.5 91.5
92
90.82 90.82
90
88
86
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 7 Minggu 8
Minggu ke-
102
100 100
100
98 96.7
96
SR (%)
94 93.2
92.5
91.8
92 90.76 90.76
90
88
86
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 7 Minggu 8
Minggu ke-
Gambar 6. Tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan kerapu (Cephalaphois miniata) yang dipelihara
dalam wadah KJA
Tingginya nilai SR ikan yang dipelihara pada KJA baik ikan kuwe maupun ikan kerapu
disebabkan adanya daya dukung perairan. Selama penelitian, data fisika-kimia perairan yang diukur
di dalam wadah pemeliharaan KJA pada sore hari setiap minggunya secara umum memiliki nilai
baku mutu yang masih sesuai dengan standar baku perairan untuk budidaya.
Selama penelitian suhu berkisar antara 28-31,8 0C sedangkan standar baku perairan untuk budidaya
kerapu ialah 26,5-290C, namun kisaran suhu tersebut cenderung konstan dan menurut Sudjiharno dan
Winanto (1998) perubahan suhu yang cukup ekstrim akan berpengaruh terhadap proses metabolisme
atau nafsu makan ikan. Karena selama penelitian tidak terjadi perubahan suhu yang ekstrim, sehingga
faktor suhu masih dianggap layak untuk dilaksanakannya budidaya ikan kerapu dan ikan kuwe.
Kecepatan arus pada saat penelitian berkisar anatara 0,015 – 0,039 m/s dan sesuai dengan standar
baku perairan untuk budidaya kerapu dengan kisaran kecepatan arus 0,2 – 0,3 m/s.
Keberadaan perairan tersebut memberikan dampak pada nafsu makan ikan, efisiensi pakan
dan tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu dan ikan kuwe. Pada kelompok ikan yang dipelihara di
KJA memiliki nilai rata -rata konsumsi pakan harian yang sama yaitu 2,2% dari biomasa ikan.
Namun, nilai efisiensi pakan dari ikan tersebut berbeda yaitu KJA 2 (28%) lebih tinggi dibandingkan
KJA 1 (21%) dan KJA 3 (23%). Dengan demikian, energi dari pakan yang dikonsumsi oleh ikan
pada KJA 1 dan KJA 3 lebih sedikit diserap oleh tubuh dibandingkan ikan pada KJA 2. Hal tersebut
menyebabkan laju pertumbuhan spesifik ikan pada KJA 1 (0,44%) lebih rendah dibandingkan ikan
pada KJA 3 (0,47%) dan KJA 2 (0,9%). Dari aspek kelangsungan hidup yang tinggi dan efisiensi
pakan serta laju pertumbuhan relatif sama menunjukan bahwa ikan
menyukai perairan tersebut.
.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah:
1. Kelompok ikan ekonomis yang tertangkap dengan alat tangkap sero sistem kluster berjumlah
16 jenis yang berasal dari 8 famili jenis, ukuran bibit didominasi oleh Caranx ignobilis yaitu
berjumlah 700 individu dengan kelimpahan 175 ind/m 2 dan komposisi jenis 53,3% , ukuran
konsumsi didominasi oleh Caesio cuning berjumlah 111 individu dengan kelimpahan 6,94
ind/m2 dan komposisi jenis 29,2%.
2. Laju pertumbuhan spesifik pada kelompok perlakuan berbeda satu sama lain, KJA 2 dengan
nilai tertinggi sebesar 0,86%, KJA 1 memiliki nilai paling rendah sebesar 0,44%.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Adrim, M, A.H. Syawaludin dan W. Kunto. 2012. Struktur Komunitas Ikan Karang di
Perairan Kendari. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 17 (3). Hal 154 – 163.
[2] Adrim, M. 2011. Struktur komunitas ikan karang di Pulau Bawean. Dalam: Ruyitno, M.
Muchtar, Pramuji, Sulistijo, Tjutju Susana, & Fahmi (Ed.) Biodiversitas di Kawasan
Perairan Pulau Bawean. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Hal. 48–61.
[3] Allen, G.R., R. Steene, P. Humann, and N. Deloach, (2003), Reef Fish Identification
Tropical Pacific, Australia: New World Publications.
[4] Allen, G. R. 1997. Marine Fishes of Tropical Australia and South East Asia.A FieldGuide
for Angler and Diver.Western Australia Museum.
[5] Effendi, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.101 hal.
[6] Goddard, S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall, New
York. p : 172.
[7] Greenberg, 1992 Standar Metods for the Examination of Water and Wastewater for 4th
Edition. American Publich Healt Asosiation. Washington.
[8] Huisman, E. A. 1987. The Principles of Fish Culture Production. Department of
Aquaculture. Wageningen University, Netherland. p: 1 22.Kuiter RH dan Tonozuka T.
2001. Photo guide Indonesian reef fishes. Zoonetics. Australia. 893 h.
[9] Mayr, E. and P.D. Aslock. 1991. Principles of systematic zoology.2nd. Ed. McGraw-Hill,
Inc.
[10] Nadia, .A.R., Abdullah, Takwir A., Salwiyah dan I. Male. 2016. Management of
sustainable fisheries in staring bay through the integration of shallow fads and new bio-
reeftech technology based on community working group (pokjamas) to improve livelihood
and conservation. Final Report. LPPM UHO-USAID. 190 hal.
[11] Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga .Gajah mada University Press.
Jogjakarta.
[12] ..............., 1971. Fundamentals of Ecology, 3th Edition. Saunders College Publishing:
hiladelphia. 474p
[13] Sadarun, B. 2013. Struktus Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing.
Universitas Halu Oleo. Kendari.
[14] Sudjiharno dan Winanto, T. 1998. Pembenihan Kerapu Macan (Ephinephelus
fuscoguttatus). Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan Balai Budidaya Laut
Lampung.16-17 hal.