KELAS A
NAMA KELOMPOK :
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan karunia-NYA kami dapat menyelesaikan paper ilmu penyakit
bakteri dan jamur mengenai “Staphylococcosis pada Hewan Ternak”. Kami
sangat berharap paper ini dapat berguna bagi pembaca dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai staphylococcosis pada hewan ternak.
Hormat kami,
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja penyebab stafilokokosis pada hewan ternak khususnya pada
ayam ?
2. Bagaimana epidemiologi dari stafikokosis pada hewan ternak ?
3. Bagaimana patogenesis dan gejala klinis stafilokokosis pada hewan
ternak ?
4. Bagaimana pengobatan dan pencegahan stafilokokosis ?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
substansi penting di dalam struktur dinding sel. Pada permukaan sel S. aureus juga
terdapat pigmen karoten yang memberi warna orange atau kuning.
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Ordo : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
4
Aureus termasuk jenis bakteri yang paling kuat daya tahannya. Pada agar miring
dapat tetap hidup sampai berbulan-bulan, baik dalam lemari es maupun pada suhu
kamar. Dalam keadaan kering pada benang, kertas, kain dan dalam nanah dapat
tetap hidup selama 6-14 minggu.
5
Fab dari IgG yang terikat dengan protein A bebas berikatan dengan antigen
spesifik. Protein A menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan teknologi
laboratorium diagnostik. Beberapa strain S. aureus memiliki kapsul, yang
menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi
spesifik. Sebagian besar strain S. aureus mempunyai koagulase atau faktor
penggumpal, pada permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan fibrinogen
secara nonenzimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri (Jawetz et al, 2008).
a. Toksin
Toksin adalah zat yang dibuat oleh organisme hidup (tanaman, hewan dan
bakteri tertentu) yang beracun. Beberapa toksin dapat menjadi obat yang
bermanfaat bila diambil dalam dosis yang tepat, tetapi beracun bila digunakan
dalam jumlah berlebih.
b. Enzim
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar
luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler.
Beberapa zat ini adalah enzim, sedangkan yang lain diduga toksin, meskipun
berfungsi sebagai enzimkebanyakan toksin berada dibawah pengendalian genetic
plasmid/DNA yang berbentuk cekuler yang terdapat didalam kromosom.
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).
6
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena
adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas 4 penggumpalan,
sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat
menghambat fagositosis (Warsa, 1994).
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis
di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta
hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan
manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus
yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba
dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba (Warsa, 1994).
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus
patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat
difagositosis (Jawetz et al., 1995).
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial
pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab 5
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit
(Warsa, 1994).
6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok
toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini menyebabkan
7
demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et
al., 1994; Jawetz et al., 1995).
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein
(Jawetz et al., 1995).
8
getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis.
Selanjutnya disusul dengan sebutan sel radang, di pusat lesi akan terjadi pencairan
jaringan nekrotik, cairan abses ini akan mencari jalan keluar di tempat yang
resistensinya paling rendah. Keluarnya cairan abses diikuti dengan pembentukan
jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. S. aureus dapat diisolasi dari
vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan
dalam aliran darah (Jawetz et al, 2008). Weese (2007), menyatakan bahwa kuda
dapat terinfeksi oleh S. aureus seperti infeksi pada luka, persendian, dan berbagai
organ lain. Infeksi S. aureus pada kuda telah menghasilkan berbagai penyakit
klinis seperti, pneumonia, arthritis, dermatitis, osteomyelitis, metritis,
endokarditis, supuratif, folikulitis, septicemia, dan selulitis pada hewan (Ryan et
al., 1994). Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang menginfeksi
organ reproduksi jantan, dapat mengontaminasi semen yang dapat menyebabkan
penularan ke organ reproduksi betina pada saat perkawinan. Menurut Nicholson et
al. (2000), bahwa semen dapat terkontaminasi oleh berbagai jenis bakteri.
9
2.4 Pengobatan Staphylococcus Aureus
10
hati, kloramfenikol terkonjugasi dengan asam glukuronat oleh aktivitas enzim
glukuronil transferase, sehingga waktu paruh kloramfenikol pada pasien gangguan
fungsi hati dapat diperpanjang menjadi 24 jam, sekitar 80-90 % kloramfenikol
peroral dieksresikan melalui ginjal, 5-10 % diantaranya diekskresi dalam bentuk
aktif, sedang sisanya dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif.
Pada kasus gagal ginjal, waktu paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak berubah,
tetapi terjadi akumulasi metabolitnya yang non toksik. Oleh karena itu, pada
pasien dengan gangguan fungsi hati dan gagal ginjal, dosis antibiotik ini perlu
dikurangi (Setiabudy dkk., 1995).
11
Kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang efektif
terhadap Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
viridans, Haemophilus, Neisseria, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella,
Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kuman anaerob seperti
Bacillus fragilitis. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada
konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal (Setiabudy dkk, 1995;
Katzung, 1998).
12
Gambar 4. Pembengkakan telapak kaki (bumble foot) dan sendi lutut
akibat infeksi Staphylococcus aureus yang menyebabkan kelumpuhan (sumber:
thepoultrysite.com)
Gejala Klinis
13
Di dalam jaringan telapak kaki, bakteri S. aureus menyebabkan
pembentukan nanah sehingga telapak kaki lama-kelamaan
membesar/membengkak berisi perkejuan dan ayam pincang, lumpuh, serta lemah.
Pembengkakan ini bahkan bisa sampai lutut kaki ayam. Awalnya kasus
bumble foot ini hanya terlihat pada satu kaki, tetapi jika berlanjut lebih parah,
maka tidak menutup kemungkinan dialami oleh kedua kaki.
Selain bersifat lokal, infeksi S. aureus yang terus-menerus tidak diobati juga
bisa bersifat sistemik (septikemia), yakni bakteri ikut masuk ke dalam aliran darah
dan menginfeksi organ tubuh lain selain bagian kaki. Contohnya terjadi kematian
jaringan (nekrosis) dan kongesti (pembendungan) pembuluh darah pada organ
hati, limpa, ginjal, dan paru-paru.
Pada kondisi yang parah, infeksi S. aureus juga bisa berkomplikasi dengan
bakteri Clostridium septicum. Serangan komplikasi ini menyebabkan dermatitis
gangrenosa pada jaringan di bawah kulit. Tandanya, kulit/subkutan di bagian
leher atau di dekat sayap berwarna merah gelap/kehitaman, berisi nanah, dan
terkadang mengeluarkan bau busuk.
Infeksi S. aureus yang menyebabkan bumble foot pada dasarnya tidak
menular, baik secara vertikal maupun horizontal. Untuk itu, angka kesakitan yang
muncul relatif kecil, kecuali jika kualitas kandang yang digunakan sudah tidak
memenuhi persyaratan untuk kaki ayam berpijak. Sedangkan angka mortalitas
(kematian)-nya antara 0-15%.
14
dalam keadaan terbuka, sehingga S. aureus dengan mudah masuk dan menginfeksi
ambing.
Gejala Klinis
Mastitis klinis pada kambing akan terjadi jika ambing terinfeksi S. aureus
sebanyak 10colony forming unit (cfu), dan kebanyakan S. aureus tersebut bersifat
koagulase negatif (Moroni et al.,2005). Mastitis klinis ditunjukkan dengan gejala
klinis seperti peradangan ambing, apabila dipegang terasa panas dan sakit, suhu
tubuh meningkat, dan nafsu makan turun (Gambar 1).
Mastitis klinis pada kambing PE di lapang sering berakhir dengan
kematian walaupun sudah diberikan antibiotika atau ditangani oleh dokter hewan.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh penanganan yang terlambat, atau bakteri
penyebab mastitis telah resisten terhadap antibiotika yang diberikan.
Staphylococcus aureus merupakan penyebab mastitis klinis pada kambing PE
telah resisten terhadap Ampisilin, Eritromisin danTetrasiklin (Suharto dan
Wahyuni, 2011). Hal ini berbeda dengan penelitian Purnomo et al, (2006) bahwa
S. aureuspenyebab mastitis klinis pada kambing PE masih sensitif terhadap
Oksitetrasiklin, Tetrasiklin, Gentamisin, Ampisilin dan Eritromisin.Kematian
kambing PE akibat mastitis klinis juga dapat disebabkan toxic shock syndrome
toxin-1yangdihasilkanolehS.aureus. Toxicshock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang
dihasilkan oleh S. aureusbersifat super antigen. Mastitis klinis yang disebabkan
oleh S. aureus penghasil TSST-1 dapat menimbulkan gejala klinis seperti demam,
15
tekanan darah menurun, pembesaran dari berbagai organ dan akhirnya mati
(Oliveira et al., 2011). Sifat-sifat dari TSST-1 antara lain menginduksi terjadinya
demam, meningkatkan lethal shock endotoxin, menstimulasi proliferasi non
spesifik sel T, dan menginduksi pelepasan interleukin-1
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Semoga paper ini dapat menjadi bahan acuan dan referensi bagi para
pembaca khususnya mahasiswa Kedokteran hewan universitas udayana dalam
mata kuliah Ilmu penyakit jamur dan bakteri. Untuk saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan paper ini kedepan.
17
DAFTAR PUSTAKA
https://www.msdvetmanual.com/poultry/staphylococcosis/staphylococcosis-in
poultry (Diakses pada 4 April 2020) Sato, Yuko dan Mohamed El-Gazzar,
Januari 2020 : Staphylococcosis In Poultry Industry, Iowa State University.
18
LAMPIRAN 1
JURNAL
1. Jurnal 1
Abstrak
19
mannitol salt agar, sel berbentuk bulat bergerombol, bersifat Gram +,
memfermentasi maltosa dan laktosa, mengkoagulase plasma kelinci dan bereaksi
positif terhadap uji clumping factor dan Voges Proskouer. Pada penelitian ini,
hasil uji terhadap amoxicillin 10 ìg diketahui, bahwa 8 isolat (88,89%) adalah
sensitif. Disimpulkan, bahwa terdapat 9 isolat dari 20 sampel susu kambing PE
penderita mastitis yang diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Isolat S.
aureus tersebut sebagian besar sensitif terhadap amoxicillin.
Jurnal 2
Yudha Fahrimal3
ABSTRAK
20
tabung reaksi yang berisi nutrient broth (NB). Staphylococcus aureus
diidentifikasi pada media manitol salt agar (MSA). Koloni terpisah yang berwarna
kuning cerah pada media tersebut diuji pewarnaan Gram, hemolisis, katalase, dan
uji gula-gula (manitol dan glukosa). Hasil menunjukkan bahwa isolat yang
tumbuh pada MSA adalah koloni berwarna kuning cerah, bersifat Gram positif, β-
hemolisis, dan katalase positif. Isolat tersebut memfermentasi manitol dan
glukosa. Isolat yang diidentifikasi dari preputium dan vagina kuda menunjukkan
karakter dari S. aureus. Disimpulkan bahwa bakteri S. aureus positif
teridentifikasi di semua swab sampel pada preputium dan vagina kuda.
21
LAMPIRAN 2
JAWABAN PERTANYAAN
22
Sumber :
https://www.academia.edu/29100995/Colibacillosis_pada_Unggas
http://www.thepoultrysite.com/diseaseinfo/39/colibacillosis
colisepticemia/
2. Apa yang saudara ketahui tentang pullorum desaese dan bagaimana cara
melakukan screening test terhadap penyakit tersebut pada industry ternak unggas
yang diduga terinfeksi
Jawab :
Salmonella pullorum termasuk dalam keluarga bakteri enterobacteriae
dan sangat tinggi adaptasinya terhadap host (inangnya). Salmonellosis atau yang
dikenal sebagai penyakit pullorum adalah penyakit bakteri septikemik
(Septicaemic bacterial diseases) yang umumnya terjadi pada ayam dan kalkun,
disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum.
Infeksi Salmonella enterica Pullorum biasanya menyebabkan kematian
yang sangat tinggi (berpotensi mendekati 100%) pada ayam muda dan kalkun
dalam usia 2-3 minggu pertama. Pada ayam dewasa, mortalitas mungkin tinggi,
tetapi seringkali tidak ada tanda-tanda klinis. Penularannya bisa vertikal
(transovarian) tetapi juga terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung
dengan unggas yang terinfeksi (pernapasan atau tinja) atau pakan, air, atau serasah
yang terkontaminasi. Infeksi yang ditularkan melalui kontaminasi telur atau
tempat penetasan biasanya menghasilkan kematian selama beberapa hari pertama
kehidupan hingga 2-3 minggu. Penularan antar peternakan disebabkan oleh
biosekuriti yang buruk.
Penyakit ini dapat dilihat pada semua kelompok umur, tetapi unggas
yang berumur < 4 minggu paling sering terkena . Unggas mungkin mati di tempat
penetasan tidak lama setelah menetas. Sifatnya yang pathogen tidak hanya
menyebabkan kematian yang tinggi pada anak ayam juga dalam jangka waktu
yang panjang berada dalam limpa, saluran reproduksi, menginfeksi telur, dan
keturunannya (Shivaprasad dan Barrow, 2008). Meskipun titer antibodi tinggi
tetapi tidak bisa menghilangkan infeksi Salmonella yang berada dalam makrofag,
antibodi ini masih memainkan peran penting dalam pemberantasan bakteri
ekstraseluler, dan antibodi induk dapat mencegah multiplikasi bakteri dalam telur.
Salmonella enterica serovar pullorum adalah agen penyebab penyakit pullorum
pada unggas, penyakit sistemik akut lebih sering terjadi pada unggas muda.
Unggas dewasa yang terinfeksi menjadi carrier dan jarang menunjukkan gejala
klinis yang signifikan namun mengalami penurunan daya tetas, kehilangan berat
badan, diare, dan kelainan pada saluran reproduksi (Shivaprasad, 2000).
23
Tanda-tanda klinis berupa diare kapur dengan tingkat kejadian berulang
pada layer, diare kapur pada dus DOC, dan penurunan produksi telur. Menurut
Anonim (2013), bahwa gejala Salmonellosis pada ayam adalah terlihat mengantuk
(mata tertutup), jengger kebiruan, bergerombol pada suatu tempat dan nafsu
makan berkurang. Pada umumnya memperlihatkan diare putih atau coklat
kehijau-hijauan dan terdapat gumpalan seperti pasta disekitar kloaka disertai
kelemahan kaki, sayap menggantung, kusam, lumpuh karena arthritis, dan sesak
napas. Ayam–ayam yang bertahan hidup mengalami hambatan pertumbuhan.
Gejala pullorum pada anak ayam antara lain berak putih dan pada ayam atau
unggas yang masih muda menyebabkan kematian yang tinggi, sedangkan pada
ayam dewasa bertindak sebagai carier (OIE, 2008).
Rangkainan prosedur atau srcreening test yang dilakukan untuk
mendeteksi penyakit ini bisa dilakukan dengan beberapa pengujian. Salah satu
pengujian yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan Salmonella sp. adalah uji
aglutinasi serum merupakan salah satu upaya deteksi dini mencari reaktor positif
dalam suatu peternakan utamanya breeding (Chusniati, 2010) dan jika terdapat
ayam positif harus dilakukan culling atau dimusnahkan sehingga siklus
Salmonella sp. di peternakan terputus (Suwito et al., 2010). Pengujian aglutinasi
serum ini bertujuan untuk mendeteksi Salmonella sp. Khususnya Salmonella
pullorum pada unggas disamping diagnosa sementara terhadap penyakit
Salmonellosis pada peternakan tersebut yang didasarkan pada sejarah flok, gejala
klinis, mortalitas, dan lesi (OIE, 2008). Uji pullorum dilakukan sebagai upaya
deteksi dini untuk mencari reaktor positif dalam suatu peternakan utamanya
breeding (Chusniati, 2010). Uji aglutinasi serum dengan antigen pulorum
polivalen juga telah dipakai untuk mengeliminasi reaktor positif pada peternakan
breeder di Indonesia sejak tahun 1978 (Poernomo, 2004). Menurut Anonim
(2013), bahwa pullorum ditularkan secara vertikal atau kongenital yaitu dari induk
ke anak melalui telur sehingga pemeriksaan pullorum penting dilakukan dan ayam
yang karier harus disingkirkan dari lingkungan peternakan untuk menghindari
berkembangnya S. pullorum lebih lanjut. Tes yang paling umum digunakan untuk
mendeteksi penyakit pullorum adalah uji rapid whole blood plate. Tiga pengujian
lainnya adalah uji rapid serum plate, uji aglutinasi tabung, dan uji mikroaglutinasi.
Uji darah lengkap atau rapid whole blood plate, seperti tiga metode pengujian
lainnya, uji yang dilakukan pada unggas untuk menguji zat kekebalan atau imun
atau yang disebut juga dengan antibodi, yang merupakan protein yang dibawa
dalam aliran darah setelah terpapar penyakit. Untuk mendeteksi antibodi dalam
darah, digunakan larutan antigen. Antigen dibuat dari bakteri pullorum-tipus yang
telah terbunuh secara kimia dan tersuspensi dalam larutan garam. Ketika antigen
ini dicampur dengan darah unggas yang sakit sehingga, antibodi menggumpal.
Sederhananya, ini berarti bahwa antibodi pullorum menggumpal bersama dengan
antigen. Burung yang menunjukkan hasil seperti ini dilabeli sebagai reaktor.
Karena darah burung yang sehat tidak mengandung antibodi pullorum, tidak ada
24
gumpalan yang terbentuk ketika darahnya dicampur dengan antigen. Sebagian
besar keberhasilan dalam mencegah penyebaran penyakit pullorum pada ayam
dan unggas lainnya dapat secara langsung dikaitkan dengan pengujian darah
lengkap atau rapid whole blood. Prosedur sederhana ini, ketika dilakukan dengan
benar, secara akurat akan mendeteksi unggas yang membawa antibodi tifoid
pullorum dalam darah mereka.
Untuk mencapai hasil pengujian yang paling baik, semua orang yang terlibat
dalam pengujian harus mempraktikkan teknik biosekuriti yang baik.
25
• Setiap orang harus mengenakan baju bersih, tutup kepala, dan sepatu bot
karet.
• Semua peserta harus hati-hati menggosok sepatu bot mereka dengan
desinfektan sebelum bersentuhan dengan kawanan.
• Siapkan meja portabel Anda dan bahan pengujian di dekat area untuk
menangkap unggas.
• Hanya setelah memeriksa untuk memastikan Anda memiliki semua bahan
pengujian yang diperlukan untuk melakukan pengujian, Anda dapat
memulai Langkah 1.
• Jangan mulai Langkah 1 hingga semua bahan pengujian disiapkan dengan
benar.
Sementara beberapa testing plate jelas, banyak yang memiliki banyak kotak
dicetak atau tergores. Hal ini memungkinkan kelompok hingga 60 unggas untuk
diuji dengan 10 gram antigen yang diterapkan dalam satu baris sekaligus. Pastikan
bahwa tetes antigen tidak mengering di piring sebelum dicampur dengan darah.
26
• Dengan bantuan orang lain, rentangkan sayap unggas dan sebarkan di atas
meja sehingga bagian bawahnya terbuka. Ini mengungkap vena sayap, atau
vena brakialis, yang merupakan vena biru besar tempat sampel darah
diambil.
• Ingatlah bahwa bulu mungkin perlu dicabut dari area siku ini untuk
mengekspos vena ini.
• Siapkan tisu siap diletakkan di bagian dalam sayap untuk menggumpal
burung yang mungkin mengalami pendarahan berlebihan.
• Ketika loop darah penuh, tanpa celah, darah yang terkandung di dalamnya
harus dicampur dengan salah satu tetes antigen di piring pengujian.
• Lingkaran digunakan untuk menggabungkan darah burung dengan antigen
pada pelat pengujian.
• Ketika melakukan ini, perlu untuk mencampur darah dan antigen bersama-
sama sehingga mereka membentuk noda sekitar ukuran seperempat.
27
• Dengan campuran darah dan antigen, pelat uji perlu dimiringkan dalam
gerakan melingkar selama sekitar dua menit, sehingga reaksi apa pun
dapat diamati.
• Kadang-kadang hasil positif akan terbukti setelah hanya 15 hingga 30
detik.
• Tempatkan kotak cahaya di bawah pelat pengujian untuk membuat hasil
lebih mudah dilihat.
Ingat, ada berbagai tingkat reaksi ini, yang disebut aglutinasi, terjadi. Jika
hasilnya negatif, yang berarti bahwa burung yang diuji tidak memiliki penyakit
pullorum-tipus, tidak ada penggumpalan yang akan terlihat jelas. Tetapi reaksi
positif sejati menunjukkan penggumpalan yang pasti, atau aglutinasi, sementara
menyebabkan campuran darah dan antigen menjadi lebih jelas, atau lebih
transparan, di mana tidak ada gumpalan.
28
Terkadang debu pada pelat pengujian mungkin terlihat seperti reaksi positif.
Untuk membedakannya, ingatlah bahwa penggumpalan yang disebabkan oleh
kotoran hanya terjadi di satu atau dua tempat. Untuk membantu menghindari
kemungkinan debu dan memastikan noda tidak mengering setelah tes, bersihkan
pelat sesegera mungkin setelah hasilnya ditentukan. Untuk melakukan ini,
celupkan pelat pengujian ke dalam ember berisi air bersih, gunakan sikat gosok
besar untuk menghilangkan semua residu, lalu lap hingga kering dengan kain
pembersih dan kain bersih.
Namun, hasil tes positif tidak selalu berarti bahwa seekor burung terinfeksi
penyakit pullorum-tipus. Terkadang suatu reaksi disebabkan oleh apa yang
disebut aglutinasi silang. Ini terjadi ketika ada antibodi lain — antibodi yang
diproduksi oleh antigen yang terkait erat dengan bakteri pullorum-tipus.
Prosedur Penanganan
1. Antigen
Penanganan antigen yang tepat penting untuk mendapatkan hasil tes yang akurat.
Saat melakukan tes cepat seluruh darah, sangat penting untuk menangani unggas
dengan benar sehingga tidak ada yang terluka.
29
• Saat menguji sejumlah besar unggas, prosedur pengujian harus melibatkan
minimal tiga hingga empat orang: satu atau dua untuk menangkap burung
yang akan diuji, satu untuk memposisikan dan memegang burung selama
pengujian, dan yang lain untuk mengambil darah dan menguji Itu.
• Dua orang dapat mengelola prosedur ini jika hanya beberapa burung yang
diuji.
• Setiap orang yang terlibat dalam pengujian harus mempraktikkan teknik
biosekuriti yang aman.
• Ini berarti mengenakan baju bersih, tutup kepala, dan sepatu bot karet.
Setiap orang harus dengan hati-hati menggosok sepatu botnya dengan
desinfektan sebelum bersentuhan dengan kawanan.
Sumber :
30