Anda di halaman 1dari 34

STAPHYLOCOCCOSIS PADA HEWAN TERNAK

KELAS A

NAMA KELOMPOK :

NI MADE ADINDA ARYA NINGRUM 1809511015


LUH MADE NANDA AYUNI S. 1809511016
NI MADE RITA ADNYANI 1809511017
KADEK LENI MARTHA DIANA 1809511019
NURUL AMIRA 1809511020
THERESIA ENE 1809511022
NI LUH DEWI KUSTIANTARI 1809511025
I GUSTI AYU PUTU ARISTHA DEWI 1809511026
LINUS PUTRA JAYA LASE 1809511028
MARGARETHA DHEA SINTHA LAROSA 1809511029
PUTU DEVINDIA TRISHA SUCIADA 1809511030
UMI RESTON 1809511032
FAZRAL ANSHARI BERUTU 1809511036

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan karunia-NYA kami dapat menyelesaikan paper ilmu penyakit
bakteri dan jamur mengenai “Staphylococcosis pada Hewan Ternak”. Kami
sangat berharap paper ini dapat berguna bagi pembaca dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai staphylococcosis pada hewan ternak.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam paper ini masih


terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Semoga paper sederhana ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya paper yang telah
disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.

Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata


yang kurang berkenan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan yang membangun demi perbaikan paper ini. Mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Denpasar, 6 April 2020

Hormat kami,

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat...................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus Aureus ............................................................................. 3


2.2 Epidemiologi Staphylococcus Aureus ....................................................... 8
2.3 Patogenitas Staphylococcus Aureus .......................................................... 8
2.4 Pengobatan Staphylococcus Aureus .......................................................... 10
2.5 Penyakit pada ternak akibat Staphylococcus Aureus ................................ 12
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 17


3.2 Saran ......................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Jurnal ......................................................................................... 19

Lampiran 2. Jawaban Pertanyaan .................................................................. 22

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Morfologi Staphylococcus Aureus ...................................................... 5


Gambar 2. Struktur Kimia Kloramfenikol ............................................................ 10
Gambar 3. Mekanisme Kerja Kloramfenikol dalam Sintesis Protein .................. 11
Gambar 4. Pembengkakan telapak kaki (bumble foot) dan sendi lutut akibat
infeksi Staphylococcus aureus yang menyebabkan kelumpuhan ......................... 13
Gambar 2. Mastitis Pada Sapi Perah ..................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Staphylococcosis adalah penyakit bakteri yang disebabkan oleh gram


positif cocci dari genus Staphylococcus. S. aureus dan spesies lain ada di mana-
mana di lingkungan dan merupakan bagian dari flora normal kulit dan selaput
lendir lainnya dari unggas dan hewan lainnya. Mereka biasanya menyebabkan
penyakit ketika mereka memiliki akses ke jaringan dan aliran darah setelah
hambatan fisik, seperti kulit atau selaput lendir, rusak. Mereka juga menyebabkan
penyakit pada unggas yang tertekan sistem kekebalannya.

Ada dua jenis staphylococcosis : infeksi sistemik dan lesi lokal.


Septicemia dan dermatitis gangren adalah contoh infeksi stafilokokus sistemik.
Namun, bentuk staphylococcosis yang paling umum adalah lesi yang terlokalisasi.
Contohnya termasuk radang sendi, tenosinovitis, osteomielitis, dan omphalitis.
Kerugian ekonomi dapat diakibatkan oleh penurunan berat badan, kematian, dan
kecaman saat disembelih.

Genus Staphylococcus mengandung puluhan spesies, tetapi S aureus


adalah yang paling patogen. S aureus adalah bakteri coccoid gram positif, katalase
positif, yang muncul dalam kelompok mirip anggur pada apusan bernoda.
Sebagian besar strain patogen memiliki koagulase-positif. Stapyhlococcus aureus
termasuk jenis bakteri yang paling kuat daya tahannya yang dapat menyebabkan
infeksi bakteri pada kulit dari yang ringan sampai dengan yang berat. Umumnya
dalam bentuk impetigo, abses, dan luka lecet yang terinfeksi, sebagai tambahan
sindroma “scalded skin” (luka bakar) yang disebabkan oleh strain Staphylococcus
aureus (Chin, 2000) Namun, Staphylococcus coagulase-negatif,termasuk S
hyicus, S epidermidis, S simulans, dan S gallinarum telah dilaporkan dari kasus
klinis.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja penyebab stafilokokosis pada hewan ternak khususnya pada
ayam ?
2. Bagaimana epidemiologi dari stafikokosis pada hewan ternak ?
3. Bagaimana patogenesis dan gejala klinis stafilokokosis pada hewan
ternak ?
4. Bagaimana pengobatan dan pencegahan stafilokokosis ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bakteri penyebab stafilokokosis pada hewan ternak
2. Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi penyakit tersebut
3. Untuk mengetahui patogenesis dan gejala klinis penyakit tersebut
4. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan dan pencegahan terhadap
penyakit tersebut

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan paper ini adalah untuk mengetahui lebih


banyak mengenai penyakit bakteri yang dimaksud (stafilokokosis) dan dapat
dijadikan rujukan untuk berbagai penelitian dan tulisan-tulisan ilmiah ke
depannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus Aureus

2.1.1 Definisi Staphylococcus Aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat


berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk
pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat
berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,
dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang
mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi
bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan kadang-kadang
oleh spesies stafilokokus lainnya. Pada lempeng agar, koloninya berbentuk bulat,
diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dan konsistensinya lunak. Pada
lempeng agar darah umumnya koloni lebih besar dan pada varietas tertentu
koloninya dikelilingi oleh zona hemolysis.

Staphylococcus aureus merupakan agen penyebab utama mastitis pada


sapi perah maupun kambing (Agus,1991; Barkema et al., 1998; Han et al., 2000).
Staphylococcus aureus sering menyebabkan mastitis subklinis maupun mastitis
kronis, sehingga kejadian mastitis seringkali dihubungkan dengan infeksi S.
aureus (Swart et al., 1984; Watts et al., 1986). Staphylococcus aureus dalam susu
segar dan produk pangan dapat menyebabkan toxic schock syndrome akibat
keracunan pangan. Staphylococcus aureus pada media mannitol salt agar (MSA)
akan terlihat sebagai pertumbuhan koloni berwarna kuning dikelilingi zona
kuning keemasan karena kemampuan memfermentasi mannitol. Jika bakteri tidak
mampu memfermentasi mannitol, maka akan tampak zona. Staphylococcus
mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigenik dan merupakan

3
substansi penting di dalam struktur dinding sel. Pada permukaan sel S. aureus juga
terdapat pigmen karoten yang memberi warna orange atau kuning.

Staphylococcus aureus menghasilkan tujuh tipe enterotoksin, yaitu: A, B,


C, C1, C2, D dan E (Nurwantoro, 2001). Faktor virulensi S. aureus yang dapat
menyebabkan infeksi meliputi: 1. Protein permukaan yang mempromosikan
kolonisasi dalam jaringan hospes (protein A, adesin, hemaglutinin, glikoprotein,
fibrionectin), 2. Invasin membantu bakteri menyebar dalam jaringan (leukocidin,
kinase, hyaluronidase), 3. Faktor permukaan yang menghalangi fagositosis
(kapsul, protein A), 4. Faktor biokimia yang meningkatkan ketahanan bakteri di
dalam fagosit (carotenoid, produksi katalase), 5. Reaksi imunologis (protein A,
coagulase, clotting factor), 6. Toksin perusak membran (hemolysin, leukotoxin,
leukocidin) dan 7. Eksotoksin dalam jaringan menimbulkan kerusakan dan gejala
penyakit (SEA-G, TSST, ET) (Todar, 1998).

2.1.2 Klasifikasi Staphylococcus Aureus

Menurut Syahrurahman et al., (2010) klasifikasi Staphylococcus Aureus


adalah sebagai berikut :

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Ordo : Eubacteriales

Famili : Micrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus Aureus

2.1.3 Morfologi Staphylococcus Aureus

Staphylococcus Aureus merupakan bakteri Gram-Positif berbentuk bulat


berdiameter 0,7-1,2 nanometer, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak
teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Berdasarkan bakteri yang tidak membentuk spora, maka Staphylococcus

4
Aureus termasuk jenis bakteri yang paling kuat daya tahannya. Pada agar miring
dapat tetap hidup sampai berbulan-bulan, baik dalam lemari es maupun pada suhu
kamar. Dalam keadaan kering pada benang, kertas, kain dan dalam nanah dapat
tetap hidup selama 6-14 minggu.

Gambar 1. Morfologi Staphylococcus Aureus

2.1.4 Sifat Biakan Staphylococcus Aureus

S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi dibawah


suasana aerobic maupun mikro-aerobik. Tumbuh dengan cepat pada termperatur
37oC namun pembentukan pigmen yang terbaik pada temperature kamar (20-
35oC). koloni pada media yang padat akan berbentuk bulat, halus, menonjol, dan
berkilau-kilau, membentuk berbagai pigmen bewarna kuning keemasan.

2.1.5 Struktur Antigen Staphylococcus Aureus

Protein A adalah komponen dinding sel pada banyak Staphylococcus


aureus yang berikatan dengan berbagai Fc dari molekul IgG kecuali IgG3. Bagian

5
Fab dari IgG yang terikat dengan protein A bebas berikatan dengan antigen
spesifik. Protein A menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan teknologi
laboratorium diagnostik. Beberapa strain S. aureus memiliki kapsul, yang
menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi
spesifik. Sebagian besar strain S. aureus mempunyai koagulase atau faktor
penggumpal, pada permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan fibrinogen
secara nonenzimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri (Jawetz et al, 2008).

2.1.6 Faktor Virulensi Staphylococcus Aureus

S. aureus dapat menyebabkan penyakit karena kemampuannya


berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan tubuh serta memiliki
beberapa toksin dan enzim yang dapat merusak organisme lain. S. aureus dapat
menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan
melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan
sebagai factor virulensi dapat berupa protein, enzim dan toksin.

a. Toksin
Toksin adalah zat yang dibuat oleh organisme hidup (tanaman, hewan dan
bakteri tertentu) yang beracun. Beberapa toksin dapat menjadi obat yang
bermanfaat bila diambil dalam dosis yang tepat, tetapi beracun bila digunakan
dalam jumlah berlebih.
b. Enzim
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar
luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler.
Beberapa zat ini adalah enzim, sedangkan yang lain diduga toksin, meskipun
berfungsi sebagai enzimkebanyakan toksin berada dibawah pengendalian genetic
plasmid/DNA yang berbentuk cekuler yang terdapat didalam kromosom.
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).

6
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena
adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas 4 penggumpalan,
sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat
menghambat fagositosis (Warsa, 1994).
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis
di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta
hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan
manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus
yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba
dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba (Warsa, 1994).
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus
patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat
difagositosis (Jawetz et al., 1995).
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial
pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab 5
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit
(Warsa, 1994).
6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok
toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini menyebabkan

7
demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et
al., 1994; Jawetz et al., 1995).
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein
(Jawetz et al., 1995).

2.2 Epidemiologi Staphylococcus Aureus

Sebagai contoh, MRSA adalah galur S. aureus yang resisten terhadap


metisilin, antibiotik golongan β-laktam. MRSA pertama kali ditemukan pada
tahun 1961. Galur MRSA dibagi menjadi dua yaitu HA-MRSA dan CA-MRSA.
HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit
nosokomial yang penting. CA-MRSA berbeda dengan HA-MRSA secara fenotip,
genotip dan virulensi. CA-MRSA memiliki virulensi lebih tinggi dan resistensi
terhadap antimikroba non β-laktam lebih rendah jika dibandingkan HA-MRSA.
Penelitian yang lain menyebutkan bahwa CA-MRSA hanya resisten terhadap
antimikroba golongan β-laktam dan secara genotip tidak membawa gen resisten
tambahan selain gen resisten terhadap metisilin (Ray, dkk; 2011).

2.3 Patogenitas Staphylococcus Aureus

Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran


pernafasan, dan saluran pencernaan makanan. Bakteri ini juga ditemukan di udara
dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan
hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol. S. aureus yang
terdapat di folikel rambut menyebabkan terjadinya nekrosis pada jaringan
setempat.

Toksin yang dihasilkan dari S.aureus (Staphilotoksin, Staphylococcal


enterotoxin, dan Exfoliatin) memungkinkan organisme ini untuk menyelinap pada
jaringan dan dapat tinggal dalam waktu yang lama pada daerah infeksi,
menimbulkan infeksi kulit minor. Koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh

8
getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis.
Selanjutnya disusul dengan sebutan sel radang, di pusat lesi akan terjadi pencairan
jaringan nekrotik, cairan abses ini akan mencari jalan keluar di tempat yang
resistensinya paling rendah. Keluarnya cairan abses diikuti dengan pembentukan
jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.

Staphylococcus aureus menyebabkan sindrom infeksi yang luas. Infeksi


kulit dapat terjadi pada kondisi hangat yang lembab atau saat kulit terbuka akibat
penyakit seperti eksim, luka pembedahan, atau akibat alat intravena. Infeksi
S.aureus dapat juga berasal dari kontaminasi langsung dari luka, misalnya infeksi
pasca operasi Staphylococcus atau infeksi yang menyertai trauma. Jika S.aureus
menyebar dan terjadi bakterimia, maka dapat terjadi endokarditis, osteomielitis
hematogenous akut, meningitis atau infeksi paru-paru. Setiap jaringan ataupun
alat tubuh dapat diinfeksi oleh bakteri S.aureus dan menyebabkan timbulnya
penyakit dengan tanda-tanda yang khas, yaitu peradangan, nekrosis dan
pembentukan abses. S.aureus merupakan bakteri kedua terbesar penyebab
peradangan pada rongga mulut setelah bakteri Streptococcus alpha. S.aureus
menyebabkan berbagai jenis peradangan pada rongga mulut seperti parotitis,
cellulitis, angular cheilitis, dan abses periodontal Djais.

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. S. aureus dapat diisolasi dari
vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan
dalam aliran darah (Jawetz et al, 2008). Weese (2007), menyatakan bahwa kuda
dapat terinfeksi oleh S. aureus seperti infeksi pada luka, persendian, dan berbagai
organ lain. Infeksi S. aureus pada kuda telah menghasilkan berbagai penyakit
klinis seperti, pneumonia, arthritis, dermatitis, osteomyelitis, metritis,
endokarditis, supuratif, folikulitis, septicemia, dan selulitis pada hewan (Ryan et
al., 1994). Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang menginfeksi
organ reproduksi jantan, dapat mengontaminasi semen yang dapat menyebabkan
penularan ke organ reproduksi betina pada saat perkawinan. Menurut Nicholson et
al. (2000), bahwa semen dapat terkontaminasi oleh berbagai jenis bakteri.

9
2.4 Pengobatan Staphylococcus Aureus

Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian


antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk
menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat,
diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin,
metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin.
Sebagian besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik
tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti
kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz
et al., 1995).

2.4.1 Struktur Kimia Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotik yang diisolasi pertama kali pada tahun


1947 dari Streptomyces venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan cepat,
karena mempunyai daya antibiotika yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui bahwa
antibiotik ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal, sehingga
penggunaannya dibatasi (Mycek et al., 1992).

Gambar 2. Struktur Kimia Kloramfenikol

2.4.2 Farmakokinetik dari Kloramfenikol

Kloramfenikol yang diberikan secara intravena maupun oral dapat


diabsorpsi sempurna, karena bersifat lipofilik. Antibiotik ini didistribusikan secara
luas ke seluruh tubuh, termasuk ke jaringan otak, cairan serebrospinal, dan mata.
Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, sedangkan
pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Sekitar 50 %
kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin (Katzung, 1998). Di dalam

10
hati, kloramfenikol terkonjugasi dengan asam glukuronat oleh aktivitas enzim
glukuronil transferase, sehingga waktu paruh kloramfenikol pada pasien gangguan
fungsi hati dapat diperpanjang menjadi 24 jam, sekitar 80-90 % kloramfenikol
peroral dieksresikan melalui ginjal, 5-10 % diantaranya diekskresi dalam bentuk
aktif, sedang sisanya dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif.
Pada kasus gagal ginjal, waktu paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak berubah,
tetapi terjadi akumulasi metabolitnya yang non toksik. Oleh karena itu, pada
pasien dengan gangguan fungsi hati dan gagal ginjal, dosis antibiotik ini perlu
dikurangi (Setiabudy dkk., 1995).

2.4.3 Mekanisme Kerja dari Kloramfenikol

Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein pada sel bakteri.


Kloramfenikol akan berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50 S,
sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom. Obat ini berikatan
secara spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari amino asil t-RNA) atau
pada bagian peptidil, yang merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan
rantai peptida (Setiabudy dkk, 1995; Katzung, 1998).

Gambar 3. Mekanisme Kerja Kloramfenikol dalam Sintesis Protein

11
Kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang efektif
terhadap Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
viridans, Haemophilus, Neisseria, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella,
Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kuman anaerob seperti
Bacillus fragilitis. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada
konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal (Setiabudy dkk, 1995;
Katzung, 1998).

Beberapa galur Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan


Neisseria meningitidis telah resisten terhadap antibiotik ini. S. aureus umumnya
sensitif terhadap antibiotik ini, sedangkan kebanyakan Enterobacteriaceae telah
resisten. Kebanyakan galur Seratia, Providencia, Proteus retgerii, Pseudomonas
aeruginosa dan galur tertentu Salmonella typhi juga resisten terhadap
kloramfenikol (Setiabudy dkk, 1995).

2.5 Penyakit pada ternak akibat Staphylococcus aureus


2.5.1 Bumble Foot (pada ayam)
Kelumpuhan yang disebabkan oleh infeksi bakteri Staphylococcus aureus
(S. Aureus) sering terjadi pada ayam broiler dewasa dibanding ayam muda.
Kualitas kandang yang buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
Lumpuh tersebut berawal dari kejadian kulit robek atau terluka yang tidak segera
diobati, kemudian terinfeksi dan terjadi pembengkakan. Kulit yang terluka
tersebut umumnya terjadi pada telapak kaki (foot pads), seperti terkena kawat atau
belahan bambu yang tajam. Masa inkubasi bakteri S. aureus berlangsung cukup
singkat sekitar 2-3 hari. Dengan kata lain, ketika bakteri S. aureus masuk melalui
luka, maka 2-3 hari kemudian akan terjadi pembengkakan pada telapak kaki atau
disebut dengan bumble foot. Nama lain kasus ini adalah bubulan. Kebengkakan
tersebut terjadi akibat racun/toksin yang dikeluarkan oleh S. aureus.

12
Gambar 4. Pembengkakan telapak kaki (bumble foot) dan sendi lutut
akibat infeksi Staphylococcus aureus yang menyebabkan kelumpuhan (sumber:
thepoultrysite.com)

Gejala Klinis

Bumble Foot umumnya menyerang ayam jantan, walaupun dapat juga


menyerang ayam betina, baik usia muda maupun usia dewasa. Penyakit ini
menyebabkan penebalan pada telapak kaki, yang lebih populer dengan sebutan
penyakit bubul. Penyakit Bumble Foot adalah bakteri Staphilococus. Infeksi
terjadi karena adanya luka pada telapak kaki ayam, baik karena terkena goresan
kawat, maupun tertusuk benda tajam lainnya.
Berikut gejala–gejala dari penyakit Bumble Foot (Bubul) :
a. Kulit telapak kaki tebal
b. Jalan pincang
c. Kaki bengkak
d. Sisik kaki terkelupas
e. Terdapat benjolan di jari–jari
f. Keseimbangan badan berkurang
g. Anorexia
h. Suhu badan tinggi
i. Paha bengkak

13
Di dalam jaringan telapak kaki, bakteri S. aureus menyebabkan
pembentukan nanah sehingga telapak kaki lama-kelamaan
membesar/membengkak berisi perkejuan dan ayam pincang, lumpuh, serta lemah.
Pembengkakan ini bahkan bisa sampai lutut kaki ayam. Awalnya kasus
bumble foot ini hanya terlihat pada satu kaki, tetapi jika berlanjut lebih parah,
maka tidak menutup kemungkinan dialami oleh kedua kaki.
Selain bersifat lokal, infeksi S. aureus yang terus-menerus tidak diobati juga
bisa bersifat sistemik (septikemia), yakni bakteri ikut masuk ke dalam aliran darah
dan menginfeksi organ tubuh lain selain bagian kaki. Contohnya terjadi kematian
jaringan (nekrosis) dan kongesti (pembendungan) pembuluh darah pada organ
hati, limpa, ginjal, dan paru-paru.
Pada kondisi yang parah, infeksi S. aureus juga bisa berkomplikasi dengan
bakteri Clostridium septicum. Serangan komplikasi ini menyebabkan dermatitis
gangrenosa pada jaringan di bawah kulit. Tandanya, kulit/subkutan di bagian
leher atau di dekat sayap berwarna merah gelap/kehitaman, berisi nanah, dan
terkadang mengeluarkan bau busuk.
Infeksi S. aureus yang menyebabkan bumble foot pada dasarnya tidak
menular, baik secara vertikal maupun horizontal. Untuk itu, angka kesakitan yang
muncul relatif kecil, kecuali jika kualitas kandang yang digunakan sudah tidak
memenuhi persyaratan untuk kaki ayam berpijak. Sedangkan angka mortalitas
(kematian)-nya antara 0-15%.

2.5.2 Mastitis ( pada sapi perah )


Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
mastitis klinis pada kambing disebabkan S. aureus. Staphylococcus aureus
merupakan bakteri paling banyak sebagai penyebab mastitis klinis pada sapi
(Bleuletal.,2006). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang
komensal pada permukaan kulit hewan dan manusia. InfeksiS. aureus pada
ambing dapat melalui tangan pemerah. Tangan pemerah berpotensi sebagai
perantara penularan S. aureus dari ambing ke ambing lainnya (Muda et al.,2011).
Keadaan tersebut dapat terjadi karena pada saat diperah otot spinter dari puting

14
dalam keadaan terbuka, sehingga S. aureus dengan mudah masuk dan menginfeksi
ambing.

Gambar 5. Mastitis pada Sapi Perah

Gejala Klinis
Mastitis klinis pada kambing akan terjadi jika ambing terinfeksi S. aureus
sebanyak 10colony forming unit (cfu), dan kebanyakan S. aureus tersebut bersifat
koagulase negatif (Moroni et al.,2005). Mastitis klinis ditunjukkan dengan gejala
klinis seperti peradangan ambing, apabila dipegang terasa panas dan sakit, suhu
tubuh meningkat, dan nafsu makan turun (Gambar 1).
Mastitis klinis pada kambing PE di lapang sering berakhir dengan
kematian walaupun sudah diberikan antibiotika atau ditangani oleh dokter hewan.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh penanganan yang terlambat, atau bakteri
penyebab mastitis telah resisten terhadap antibiotika yang diberikan.
Staphylococcus aureus merupakan penyebab mastitis klinis pada kambing PE
telah resisten terhadap Ampisilin, Eritromisin danTetrasiklin (Suharto dan
Wahyuni, 2011). Hal ini berbeda dengan penelitian Purnomo et al, (2006) bahwa
S. aureuspenyebab mastitis klinis pada kambing PE masih sensitif terhadap
Oksitetrasiklin, Tetrasiklin, Gentamisin, Ampisilin dan Eritromisin.Kematian
kambing PE akibat mastitis klinis juga dapat disebabkan toxic shock syndrome
toxin-1yangdihasilkanolehS.aureus. Toxicshock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang
dihasilkan oleh S. aureusbersifat super antigen. Mastitis klinis yang disebabkan
oleh S. aureus penghasil TSST-1 dapat menimbulkan gejala klinis seperti demam,

15
tekanan darah menurun, pembesaran dari berbagai organ dan akhirnya mati
(Oliveira et al., 2011). Sifat-sifat dari TSST-1 antara lain menginduksi terjadinya
demam, meningkatkan lethal shock endotoxin, menstimulasi proliferasi non
spesifik sel T, dan menginduksi pelepasan interleukin-1

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Staphylococcosis adalah penyakit bakteri yang disebabkan oleh gram


positif cocci dari genus Staphylococcus. Staphylococcus aureus merupakan salah
satu bakteri yang dapat menyebabkan penyakit staphylococcosis pada hewan,
bakteri ini merupakan flora normal pada kulit dan selaput lendir namun dapat
menyebabkan penyakit ketika mereka memiliki akses ke jaringan dan aliran darah
setelah hambatan fisik, seperti kulit atau selaput lendir rusak. Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan sindrom infeksi yang luas. Infeksi kulit dapat terjadi
pada kondisi hangat yang lembab atau saat kulit terbuka akibat penyakit seperti
eksim, luka pembedahan, atau akibat alat intravena. Akibatnya Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan penyakit seperti bumble foot pada ayam dan mastitis
pada sapi. Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik,
yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun
nekrotomi.

3.2 Saran

Semoga paper ini dapat menjadi bahan acuan dan referensi bagi para
pembaca khususnya mahasiswa Kedokteran hewan universitas udayana dalam
mata kuliah Ilmu penyakit jamur dan bakteri. Untuk saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan paper ini kedepan.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://www.msdvetmanual.com/poultry/staphylococcosis/staphylococcosis-in
poultry (Diakses pada 4 April 2020) Sato, Yuko dan Mohamed El-Gazzar,
Januari 2020 : Staphylococcosis In Poultry Industry, Iowa State University.

http://repository.unimus.ac.id/3143/4/BAB%20II.pdf(Diakses pada 6 April


2020) Wulandari.2018..Universitas Muhammadiyah.Semarang

Suwito,Widodo.,dkk.2013.”Isolasi dan Identifikasi Bakteria Mastitis Klinis pada


Kambing Peranakan Ettawah”,Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dewi, Amalia Krishna. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas


Staphylococcus aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing
Peranakan Ettawa (PE) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo,
Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner. 31(2), 140-141.

Rahmi, Yulina., Darmawi., Abrar, Mahdi., Jamin, Faisal., Fakhrurrazi., &


Fahrimal, Yudha. (2015). Identification of Staphylococcus aureus in
Preputium and Vagina of Horses (Equus caballus). Jurnal Medika
Veterinaria. 9(2), 154-155.

18
LAMPIRAN 1

JURNAL

1. Jurnal 1

Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap


Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Penderita
Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta

Isolation, Identification and Sensitivity test of Staphylococcus aureus against


Amoxicillin of the Milk Sample in the Mastitis Crossbreed Ettawa Goat at
Girimulyo Area, Kulonprogo, Yogyakarta

Amalia Krishna Dewi

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 Email:


amaliakrishnadewi@yahoo.com

Abstrak

Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada


Kambing Peranakan Ettawa (PE) yang menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup besar akibat turunnya produksi susu. Mastitis pada kambing PE dapat
mengancam kelangsungan hidup anaknya, karena selain menurunnya kualitas dan
kuantitas produksi susu,toksin yang dihasilkan oleh S. aureus juga dapat
menyebabkan kematian induknya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan
isolasi dan identifikasi S. aureus yang berasal dari sampel susu Mastitis kambing
peranakan Ettawa, dan juga dilakukan uji sensitifitas S. aureus terhadap
amoxicillin. Pada penelitian ini, digunakan dua puluh sampel susu yang diambil
dari kambing PE penderita mastitis di Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta.
Staphylococcus aureus diisolasi dari susu tersebut dan diidentifikasi berdasarkan
sifat biakan, pewarnaan Gram, uji biokimiawi dan uji gula-gula. Isolat selanjutnya
diuji sensitifitasnya terhadap amoxicillin. Dalam penelitian ini telah berhasil
diisolasi dan diidentifikasi 9 isolat bakteri yang tumbuh dan memfermentasi plat

19
mannitol salt agar, sel berbentuk bulat bergerombol, bersifat Gram +,
memfermentasi maltosa dan laktosa, mengkoagulase plasma kelinci dan bereaksi
positif terhadap uji clumping factor dan Voges Proskouer. Pada penelitian ini,
hasil uji terhadap amoxicillin 10 ìg diketahui, bahwa 8 isolat (88,89%) adalah
sensitif. Disimpulkan, bahwa terdapat 9 isolat dari 20 sampel susu kambing PE
penderita mastitis yang diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Isolat S.
aureus tersebut sebagian besar sensitif terhadap amoxicillin.

Kata kunci: Staphylococcus aureus, kambing PE, amoxicillin, mastitis, susu

Jurnal 2

IDENTIFIKASI BAKTERI Staphylococcus aureus PADA PREPUTIUM DAN


VAGINA KUDA (Equus caballus)

Identification of Staphylococcus aureus in Preputium and Vagina of Horses


(Equus caballus)

Yulina Rahmi1, Darmawi2, Mahdi Abrar2, Faisal Jamin2, Fakhrurrazi2, dan

Yudha Fahrimal3

1Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3Laboratorium


Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-
mail: rahmi.yulina@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi bakteri Staphylococcus aureus (S.


aureus) pada preputium dan vagina kuda. Sebanyak lima swab preputium dan lima
swab vagina dikoleksi dari 10 ekor kuda umur 3-9 tahun yang berasal dari Desa
Belang Bebangka, Gelelungi, Reloop, dan Kelapeng Kecamatan Pegasing
Kabupaten Aceh Tengah. Swab preputium dan vagina kuda dicelupkan ke dalam

20
tabung reaksi yang berisi nutrient broth (NB). Staphylococcus aureus
diidentifikasi pada media manitol salt agar (MSA). Koloni terpisah yang berwarna
kuning cerah pada media tersebut diuji pewarnaan Gram, hemolisis, katalase, dan
uji gula-gula (manitol dan glukosa). Hasil menunjukkan bahwa isolat yang
tumbuh pada MSA adalah koloni berwarna kuning cerah, bersifat Gram positif, β-
hemolisis, dan katalase positif. Isolat tersebut memfermentasi manitol dan
glukosa. Isolat yang diidentifikasi dari preputium dan vagina kuda menunjukkan
karakter dari S. aureus. Disimpulkan bahwa bakteri S. aureus positif
teridentifikasi di semua swab sampel pada preputium dan vagina kuda.

Kata kunci: Staphylococcus aureus, kuda, preputium, vagina

21
LAMPIRAN 2

JAWABAN PERTANYAAN

1. Bagaimana cara saudara mendiagnosa penyakit koliseptikemia pada unggas?


Jelaskan secara sistematis dan lengkap dengan contoh patotipe yang virulen.
Jawab :

Colisepticemia tidak dapat didiagnosis hanya dengan berdasarkan tanda


klinis, melainkan dengan mengisolasi organ atau feses unggas yang diduga
terinfeksi colisepticemia. Isolat bakteri dapat berasal dari swab organ visceral
seperti hati, jantung, limpa, perikardium, air sac dan yolk sac yang ditanam pada
Eosine Methylene Blue Agar yang merupakan media selektif untuk Escherichia
coli yang diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C, bila positif akan
menghasilkan koloni berwarna hijau metallic. Identifikasi Escherichia coli
berdasarkan tes laboratorium yang meliputi pengecatan gram dan uji biokimia.
Media lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Escherichia coli
adalah McConkey agar yang di inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C dan
hasil positif adalah media akan berwarna merah bata karena kuman
memfermentasi laktosa.

Beberapa penyakit mempunyai gejala atau perubahan patologis yang


sangat mirip sehingga menjadi diagnosa banding dari penyakit coliceptisemia,
seperti sinovitis-artritis, mikoplasmosis, stapylococcosis, salmonellosis dan
penyakit akibatmikrorganisme lainnya yang mengakibatkan infeksi sistemik.
Gejala Perikarditis juga dapat disebabkan oleh Chlamydia. Peritonitis juga
kadang-kadang dapat disebabkan oleh Pasteurella dan Streptococcus.

Patotipe yang virulen :

E.coli tergolong Gram positif tidak tahan asam,motil,memfermentasikan


laktosa,merupakan basil yang tidak membentuk spora, berbentuk batang dengan
ukuran 0,5 × 1.0- 3.0 mikrometer. Serotipe-serotipe yang biasa menyerang ayam :
O I ,K I,02, K1, K I, HS dan 078, K8.

22
Sumber :

https://www.academia.edu/29100995/Colibacillosis_pada_Unggas

http://www.thepoultrysite.com/diseaseinfo/39/colibacillosis
colisepticemia/

2. Apa yang saudara ketahui tentang pullorum desaese dan bagaimana cara
melakukan screening test terhadap penyakit tersebut pada industry ternak unggas
yang diduga terinfeksi
Jawab :
Salmonella pullorum termasuk dalam keluarga bakteri enterobacteriae
dan sangat tinggi adaptasinya terhadap host (inangnya). Salmonellosis atau yang
dikenal sebagai penyakit pullorum adalah penyakit bakteri septikemik
(Septicaemic bacterial diseases) yang umumnya terjadi pada ayam dan kalkun,
disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum.
Infeksi Salmonella enterica Pullorum biasanya menyebabkan kematian
yang sangat tinggi (berpotensi mendekati 100%) pada ayam muda dan kalkun
dalam usia 2-3 minggu pertama. Pada ayam dewasa, mortalitas mungkin tinggi,
tetapi seringkali tidak ada tanda-tanda klinis. Penularannya bisa vertikal
(transovarian) tetapi juga terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung
dengan unggas yang terinfeksi (pernapasan atau tinja) atau pakan, air, atau serasah
yang terkontaminasi. Infeksi yang ditularkan melalui kontaminasi telur atau
tempat penetasan biasanya menghasilkan kematian selama beberapa hari pertama
kehidupan hingga 2-3 minggu. Penularan antar peternakan disebabkan oleh
biosekuriti yang buruk.
Penyakit ini dapat dilihat pada semua kelompok umur, tetapi unggas
yang berumur < 4 minggu paling sering terkena . Unggas mungkin mati di tempat
penetasan tidak lama setelah menetas. Sifatnya yang pathogen tidak hanya
menyebabkan kematian yang tinggi pada anak ayam juga dalam jangka waktu
yang panjang berada dalam limpa, saluran reproduksi, menginfeksi telur, dan
keturunannya (Shivaprasad dan Barrow, 2008). Meskipun titer antibodi tinggi
tetapi tidak bisa menghilangkan infeksi Salmonella yang berada dalam makrofag,
antibodi ini masih memainkan peran penting dalam pemberantasan bakteri
ekstraseluler, dan antibodi induk dapat mencegah multiplikasi bakteri dalam telur.
Salmonella enterica serovar pullorum adalah agen penyebab penyakit pullorum
pada unggas, penyakit sistemik akut lebih sering terjadi pada unggas muda.
Unggas dewasa yang terinfeksi menjadi carrier dan jarang menunjukkan gejala
klinis yang signifikan namun mengalami penurunan daya tetas, kehilangan berat
badan, diare, dan kelainan pada saluran reproduksi (Shivaprasad, 2000).

23
Tanda-tanda klinis berupa diare kapur dengan tingkat kejadian berulang
pada layer, diare kapur pada dus DOC, dan penurunan produksi telur. Menurut
Anonim (2013), bahwa gejala Salmonellosis pada ayam adalah terlihat mengantuk
(mata tertutup), jengger kebiruan, bergerombol pada suatu tempat dan nafsu
makan berkurang. Pada umumnya memperlihatkan diare putih atau coklat
kehijau-hijauan dan terdapat gumpalan seperti pasta disekitar kloaka disertai
kelemahan kaki, sayap menggantung, kusam, lumpuh karena arthritis, dan sesak
napas. Ayam–ayam yang bertahan hidup mengalami hambatan pertumbuhan.
Gejala pullorum pada anak ayam antara lain berak putih dan pada ayam atau
unggas yang masih muda menyebabkan kematian yang tinggi, sedangkan pada
ayam dewasa bertindak sebagai carier (OIE, 2008).
Rangkainan prosedur atau srcreening test yang dilakukan untuk
mendeteksi penyakit ini bisa dilakukan dengan beberapa pengujian. Salah satu
pengujian yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan Salmonella sp. adalah uji
aglutinasi serum merupakan salah satu upaya deteksi dini mencari reaktor positif
dalam suatu peternakan utamanya breeding (Chusniati, 2010) dan jika terdapat
ayam positif harus dilakukan culling atau dimusnahkan sehingga siklus
Salmonella sp. di peternakan terputus (Suwito et al., 2010). Pengujian aglutinasi
serum ini bertujuan untuk mendeteksi Salmonella sp. Khususnya Salmonella
pullorum pada unggas disamping diagnosa sementara terhadap penyakit
Salmonellosis pada peternakan tersebut yang didasarkan pada sejarah flok, gejala
klinis, mortalitas, dan lesi (OIE, 2008). Uji pullorum dilakukan sebagai upaya
deteksi dini untuk mencari reaktor positif dalam suatu peternakan utamanya
breeding (Chusniati, 2010). Uji aglutinasi serum dengan antigen pulorum
polivalen juga telah dipakai untuk mengeliminasi reaktor positif pada peternakan
breeder di Indonesia sejak tahun 1978 (Poernomo, 2004). Menurut Anonim
(2013), bahwa pullorum ditularkan secara vertikal atau kongenital yaitu dari induk
ke anak melalui telur sehingga pemeriksaan pullorum penting dilakukan dan ayam
yang karier harus disingkirkan dari lingkungan peternakan untuk menghindari
berkembangnya S. pullorum lebih lanjut. Tes yang paling umum digunakan untuk
mendeteksi penyakit pullorum adalah uji rapid whole blood plate. Tiga pengujian
lainnya adalah uji rapid serum plate, uji aglutinasi tabung, dan uji mikroaglutinasi.
Uji darah lengkap atau rapid whole blood plate, seperti tiga metode pengujian
lainnya, uji yang dilakukan pada unggas untuk menguji zat kekebalan atau imun
atau yang disebut juga dengan antibodi, yang merupakan protein yang dibawa
dalam aliran darah setelah terpapar penyakit. Untuk mendeteksi antibodi dalam
darah, digunakan larutan antigen. Antigen dibuat dari bakteri pullorum-tipus yang
telah terbunuh secara kimia dan tersuspensi dalam larutan garam. Ketika antigen
ini dicampur dengan darah unggas yang sakit sehingga, antibodi menggumpal.
Sederhananya, ini berarti bahwa antibodi pullorum menggumpal bersama dengan
antigen. Burung yang menunjukkan hasil seperti ini dilabeli sebagai reaktor.
Karena darah burung yang sehat tidak mengandung antibodi pullorum, tidak ada

24
gumpalan yang terbentuk ketika darahnya dicampur dengan antigen. Sebagian
besar keberhasilan dalam mencegah penyebaran penyakit pullorum pada ayam
dan unggas lainnya dapat secara langsung dikaitkan dengan pengujian darah
lengkap atau rapid whole blood. Prosedur sederhana ini, ketika dilakukan dengan
benar, secara akurat akan mendeteksi unggas yang membawa antibodi tifoid
pullorum dalam darah mereka.

Bahan yang dibutuhkan untuk melakukan uji rapid whole-blood plate


meliputi:
• Botol antigen yang disimpan dengan benar • disinfektan
• Meja portabel
• Kaca, porselen, atau pelat pengujian plastik buram
• Light Box (opsional)
• Bleeding needle dan loop darah standar. Catatan: Meskipun ada berbagai
jenis loop darah, untuk tes ini semuanya harus: Kawat 20-gauge, 2 1/2 inci
panjangnya, Diameter lingkaran 3/16 inci
• Wadah air tawar (untuk membilas jarum berdarah dan lingkaran darah)
ember air tawar (untuk membilas pelat uji)
• Pita identifikasi untuk burung menunjukkan reaksi positif
• Sikat scrub besar
• Squeegee
• Kain lembut dan bersih

Selain itu, Anda perlu memperhatikan :

• Bersihkan baju dan penutup kepala


• Sepatu karet, (didesinfeksi)
• Memegang pena untuk burung-burung yang diuji
• Pisahkan kandang / kandang untuk mengisolasi semua burung yang dites
positif

Sebelum Memulai Pengujian

Untuk mencapai hasil pengujian yang paling baik, semua orang yang terlibat
dalam pengujian harus mempraktikkan teknik biosekuriti yang baik.

25
• Setiap orang harus mengenakan baju bersih, tutup kepala, dan sepatu bot
karet.
• Semua peserta harus hati-hati menggosok sepatu bot mereka dengan
desinfektan sebelum bersentuhan dengan kawanan.

Penting untuk mengumpulkan semua bahan sebelum memulai pengujian,


sehingga Anda tidak harus meninggalkan area unggas.

• Siapkan meja portabel Anda dan bahan pengujian di dekat area untuk
menangkap unggas.
• Hanya setelah memeriksa untuk memastikan Anda memiliki semua bahan
pengujian yang diperlukan untuk melakukan pengujian, Anda dapat
memulai Langkah 1.
• Jangan mulai Langkah 1 hingga semua bahan pengujian disiapkan dengan
benar.

Langkah-Langkah Untuk Melakukan Uji Pelat Darah Whole Blood

Langkah 1. Gunakan antigen pada test slide.

• Idealnya, pelat pengujian harus berada di suatu tempat antara 70 dan 90


derajat Fahrenheit. (Pada suhu ini, pelat harus terasa hangat saat disentuh.)
• Jika area pengujian dingin, tempatkan kotak lampu di bawah pelat
pengujian untuk menghangatkannya.
• Pegang pipet lurus ke atas dan ke bawah, dekat dengan permukaan kaca,
agar antigen tidak berhamburan.
• Biarkan tetesan ukuran normal jatuh satu per satu ke pelat pengujian.
• Jika antigen tidak sengaja tumpah selama penanganan, tidak ada bahaya
penyebaran penyakit, karena organisme sudah mati.

Sementara beberapa testing plate jelas, banyak yang memiliki banyak kotak
dicetak atau tergores. Hal ini memungkinkan kelompok hingga 60 unggas untuk
diuji dengan 10 gram antigen yang diterapkan dalam satu baris sekaligus. Pastikan
bahwa tetes antigen tidak mengering di piring sebelum dicampur dengan darah.

Langkah 2. Posisikan sayap Unggas

Pastikan untuk menangani unggas dengan hati-hati.

• Perlahan putar unggas di punggungnya dengan pegangan di kaki mereka


untuk mencegah unggas dari mencakar.
• Selipkan satu sayap ke dekat tubuh agar unggas tidak mengepak saat darah
diambil. unggas yang lebih besar mungkin memerlukan dua orang untuk
diposisikan.

26
• Dengan bantuan orang lain, rentangkan sayap unggas dan sebarkan di atas
meja sehingga bagian bawahnya terbuka. Ini mengungkap vena sayap, atau
vena brakialis, yang merupakan vena biru besar tempat sampel darah
diambil.
• Ingatlah bahwa bulu mungkin perlu dicabut dari area siku ini untuk
mengekspos vena ini.
• Siapkan tisu siap diletakkan di bagian dalam sayap untuk menggumpal
burung yang mungkin mengalami pendarahan berlebihan.

Langkah 3. Gunakan jarum pendarahan untuk menusuk vena sayap dan


mengambil sampel darah.

• Setelah pelat uji disiapkan dengan antigen, pegang jarum pendarahan


seperti pensil dan tusukkan dengan lembut vena sayap.
• Perlu diingat bahwa jarum harus tajam sehingga ini bisa dilakukan dengan
mudah.
• Untuk membantu membuat prosedur sesederhana mungkin, jenis jarum
pendarahan yang umum digunakan juga memiliki loop darah yang
melekat.
• Menggunakan lingkaran darah dengan diameter yang benar memberikan
jumlah persis darah yang dibutuhkan untuk melakukan tes.

Langkah 4. Campurkan darah yang terkumpul dengan antigen di atas pelat


pengujian.

• Ketika loop darah penuh, tanpa celah, darah yang terkandung di dalamnya
harus dicampur dengan salah satu tetes antigen di piring pengujian.
• Lingkaran digunakan untuk menggabungkan darah burung dengan antigen
pada pelat pengujian.
• Ketika melakukan ini, perlu untuk mencampur darah dan antigen bersama-
sama sehingga mereka membentuk noda sekitar ukuran seperempat.

Langkah 5. Bersihkan jarum pendarahan dan lingkaran darah.

• Setelah menggabungkan sampel darah dengan antigen, Anda harus


membersihkan jarum dan lingkaran sebelum mengambil sampel darah
berikutnya.
• Bilas dalam wadah berisi air segar, lalu bersihkan dengan kain bersih.

(Ulangi langkah 2-5 hingga pelat pengujian penuh).

Langkah 6. Putar pelat pengujian dan perhatikan reaksi.

27
• Dengan campuran darah dan antigen, pelat uji perlu dimiringkan dalam
gerakan melingkar selama sekitar dua menit, sehingga reaksi apa pun
dapat diamati.
• Kadang-kadang hasil positif akan terbukti setelah hanya 15 hingga 30
detik.
• Tempatkan kotak cahaya di bawah pelat pengujian untuk membuat hasil
lebih mudah dilihat.

Langkah 7. Evaluasi hasil tes Anda.

Hasil Tes Negatif

• Tidak ada penggumpalan sampel setelah 2 menit.


• Unggas dapat dikembalikan ke kawanan.

Hasil Tes Positif

• Penggumpalan terjadi dalam sampel dalam waktu 2 menit.


• Jika penggumpalan terjadi, itu hanya menunjukkan kemungkinan hasil tes
positif. Hasil ini harus diverifikasi dengan pengujian lebih lanjut yang
dilakukan oleh laboratorium yang berwenang.
• Jangan panik! Ada kemungkinan ini adalah false positive. Pengujian
lanjutan perlu dilakukan untuk memverifikasi hasilnya.
• Pasang pita identifikasi untuk menandai burung sebagai reaktor positif.
• Isolasi unggas segera dari sisa kawanan sampai pengujian lebih lanjut
dapat diselesaikan.
• Hubungi Asosiasi Unggas Negara Bagian Indiana segera di (765) 494-
8517 untuk informasi tentang langkah apa yang harus diambil selanjutnya.

Penentuan reaksi positif dilakukan dengan mencari gumpalan yang terbentuk


setelah mencampurkan darah unggas dengan antigen. Ini terjadi ketika antibodi
dalam darah bergabung dengan bakteri yang terbunuh. Untuk tes cepat seluruh
darah, pewarna biru atau merah ditambahkan ke antigen sehingga bakteri menjadi
ternoda, sehingga lebih mudah untuk menafsirkan hasilnya. Jika reaksi positif,
rumpun biru atau merah dapat dilihat dalam campuran setelah interval antara lima
belas detik dan dua menit.

Ingat, ada berbagai tingkat reaksi ini, yang disebut aglutinasi, terjadi. Jika
hasilnya negatif, yang berarti bahwa burung yang diuji tidak memiliki penyakit
pullorum-tipus, tidak ada penggumpalan yang akan terlihat jelas. Tetapi reaksi
positif sejati menunjukkan penggumpalan yang pasti, atau aglutinasi, sementara
menyebabkan campuran darah dan antigen menjadi lebih jelas, atau lebih
transparan, di mana tidak ada gumpalan.

28
Terkadang debu pada pelat pengujian mungkin terlihat seperti reaksi positif.
Untuk membedakannya, ingatlah bahwa penggumpalan yang disebabkan oleh
kotoran hanya terjadi di satu atau dua tempat. Untuk membantu menghindari
kemungkinan debu dan memastikan noda tidak mengering setelah tes, bersihkan
pelat sesegera mungkin setelah hasilnya ditentukan. Untuk melakukan ini,
celupkan pelat pengujian ke dalam ember berisi air bersih, gunakan sikat gosok
besar untuk menghilangkan semua residu, lalu lap hingga kering dengan kain
pembersih dan kain bersih.

Namun, hasil tes positif tidak selalu berarti bahwa seekor burung terinfeksi
penyakit pullorum-tipus. Terkadang suatu reaksi disebabkan oleh apa yang
disebut aglutinasi silang. Ini terjadi ketika ada antibodi lain — antibodi yang
diproduksi oleh antigen yang terkait erat dengan bakteri pullorum-tipus.

Prosedur Penanganan

1. Antigen

Penanganan antigen yang tepat penting untuk mendapatkan hasil tes yang akurat.

• Ketika tidak digunakan, antigen harus disimpan dalam lemari es sekitar 45


derajat Fahrenheit.
• Sebelum pengujian, lepaskan antigen dari lemari es dan biarkan memanas
hingga suhu kamar (65-75 derajat Fahrenheit).
• Dinginkan antigen lagi segera setelah pengujian agar tetap segar.
• Menggunakan antigen past date atau disimpan secara tidak tepat
meningkatkan kemungkinan hasil yang tidak dapat diandalkan.
• Jika sejumlah besar hasil positif diamati, ini mungkin reaksi palsu yang
disebabkan oleh penggunaan antigen lama yang menjadi terlalu sensitif.
2. Unggas

Saat melakukan tes cepat seluruh darah, sangat penting untuk menangani unggas
dengan benar sehingga tidak ada yang terluka.

29
• Saat menguji sejumlah besar unggas, prosedur pengujian harus melibatkan
minimal tiga hingga empat orang: satu atau dua untuk menangkap burung
yang akan diuji, satu untuk memposisikan dan memegang burung selama
pengujian, dan yang lain untuk mengambil darah dan menguji Itu.
• Dua orang dapat mengelola prosedur ini jika hanya beberapa burung yang
diuji.
• Setiap orang yang terlibat dalam pengujian harus mempraktikkan teknik
biosekuriti yang aman.
• Ini berarti mengenakan baju bersih, tutup kepala, dan sepatu bot karet.
Setiap orang harus dengan hati-hati menggosok sepatu botnya dengan
desinfektan sebelum bersentuhan dengan kawanan.

Sumber :

Davison, Sherrill. 2019. Pullorum Desease in Poultry. VMD, MS, MBA,


DACPV, Laboratory of Avian Medicine and Pathology, School of
Veterinary Medicine, University of Pennsylvania.

MODULE FIVE-B: TESTING POULTRY FOR PULLORUM-TYPHOID


DISEASE. Diambil dari https://www.inpoultry.com/module-5b-testing
poultry-for-pullorumtyphoid-disease. Diakses pada 5 April 2020

Thaha, Haminah Hajah. 2016. GAMBARAN KLINIS DAN PREVALENSI


SALMONELLOSIS PADA AYAM RAS PETELUR DI DESA TANETE
KEC. MARITENGGAE KABUPATEN SIDRAP. Laboratorium Basic
Animal Jurusan Ilmu Peternakan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Alauddin Makassar.

30

Anda mungkin juga menyukai