Anda di halaman 1dari 252

Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung

Agroindustri Berkelanjutan”

DIPUBLIKASIKAN OLEH:
Program Studi Agroekoteknologi &
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo

Penerbit dan Panitia tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran,


kesalahan, dan keakuratan isi, serta akibat yang diakibatkan oleh
penggunaan sebagian atau seluruh materi makalah dalam prosiding ini.
Pengutipan, pengambilan, penggunaan, atau penerbitan kembali sebagian
atau seluruh materi makalah dalam prosiding ini hanya dapat dilakukan atas
ijin penulis yang bersangkutan. Penerbit dan Panitia Seminar Nasional
Potensi Hayati tidak bertanggung jawab secara hukum atas akibat yang
mungkin dihasilkan.

i
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PANITIA

Penanggung Jawab : Dr. Agr. Eko Setiawan, SP., MP.


Dr. Mohammad Fuad FM, STP., M.Si.
Ketua : Askur Rahman, STP., MP.
Wakil Ketua : Diana Nurus Sholehah, S.Farm. Apt.
Seketaris : Ratri Diah Mukti, A.Md.
Sie Acara : Banun Diyah Probowati, STP., M.Si.
Darimiyya Hidayati, STP., MP.
Sei Keseketariatan : Catur Wasonowati, SP., M.Si.
Yusi Purwaningsih, SP.
Millatul Ulya, STP., MT.
Khoirul Hidayat, ST., MT.
Sie Konsumsi : Sri Hastuti, S.Pt., MP.
Rosasi Dwi Alianti, A.Md.
Sie Perlengkapan : Edy Suryono, SP.
Supriyanto, STP.,MP.
Sie Pubdekdok : Mustika Tripatmasari, SP., M.Si.
Nurul Hidayat, A.Md.

Editor : Dr. Agr. Eko Setiawan, SP., MP.


Dr. Mohammad Fuad FM, STP., M.Si.

ii
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah , puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT,


karena hanya atas berkat , rahmat dan hidayahnya Seminar Nasional
“Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri
Berkelanjutan” ini dapat terselenggara dengan baik dan lancar .
Seminar Nasional ini betujuan Memaparkan hasil-hasil penelitian
dan gagasan ilmiah mengenai pemanfaatan keanegaragaman hayati dalam
rangka mendukung pengembangan agroindustri serta menjadi bahan kajian
dan pengembangan bagi pihak terkait (akademisi, peneliti dan pelaku usaha)
dalam rangka optimalisasi potensi hayati dalam rangka mendukung
pengembangan agroindustri. .Hasil–hasil karya ilmiah yang dinilai layak
tersebut kemudian disajikan dalam serangkaian sesi presentasi yang
diadakan selama seminar berlangsung, serta selanjutnya akan
didokumentasikan dan diterbitkan dalam prosiding Seminar Nasional.
Saya selaku ketua panitia mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh anggota tim pengarah, reviewer, dan pemakalah
Seminar Nasional ini. Selain itu, saya juga menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya atas antusiasi serta kerja keras yang telah
ditunjukkan oleh seluruh anggota panitia , serta berbagai anggota yang telah
lerlibat secara langsung maupun tidak langsung demi kesuksesannya
seminar ini.
Kami sangat berharap adanya kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan dalam Seminar Nasional ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bangkalan, 18 Juni 2014


Panitia Seminar Nasional
Ketua

Askur Rakhman, STP., MP


NIP. 19831014 200912 1 004

iii
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

SAMBUTAN DEKAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Selamat Pagi dan Salam Sejahtera buat kita semua

Yang terhormat
 Bapak Prof. Dr. Ir. M. Arifin, MS selaku Rektor Universitas Trunojoyo
Madura
 Ibu Prof. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt
 Tamu Undangan dari Dinas – Dinas Terkait di Wilayah Madura
 Para Pemakalah dan hadirin yang berbahagia

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah


SWT atas limpahan rakhmat dan hidayahnya sehingga kita dapat
menghadiri acara Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk
Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”.

Bapak/Ibu Hadirin yang saya hormati

Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional


(BKKBN) tahun 2013 pertumbuhan penduduk Indonesia naik 1,49 persen
per tahun. Hal tersebut memerlukan perhatian yang cukup besar dari seluruh
sektor dan lapisan masyarakat. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut akan
muncul masalah-masalah baru seperti meningkatnya kebutuhan pangan dan
kesehatan. Oleh sebab itu perlu ada langkah konkrit dalam mengatasi
permasalahan tersebut, salah satunya dengan optimlisasi potensi keragaman
hayati yang dimiliki mulai dari hulu sampai hilir (agoindustri).
Potensi hayati Negara Indonesia sangat besar, menempati urutan
kedua terbesar ke dua di Dunia setelah Brasil yaitu 15.3% dari
keanekaragaman hayati dunia. Namun potensi tersebut masih sebatas 5%
yang digunakan. Dari Sekitar 38.000 spesies tumbuhan obat di Indonesia,
contoh yang intensif telah diidentifikasi sebanyak 1.845 sifat obat dan 283
spesies telah dieksplorasi senyawa bahan aktif.
Kami sangat berterimakasih kepada para pemakalah yang telah
dengan antusias mensukseskan ide dan gagasan kami dalam
mengoptimalkan potensi hayati. Peserta seminar nasional ini berasal dari
berbagai instansi mulai akademisi, peneliti, praktisi dan lain-lain.

Bapak/Ibu Hadirin yang berbahgia

Kami berharap semoga Seminar Nasional ini berjalan dengan sukses


dan lancar hingga selesainya acara ini. Melalui kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih atas dukungan dan partisipasi Bapak/Ibu semua,
terutama :
1. Bapak Rektor Universitas Trunojoyo Madura, Prof. Dr. Ir. M.
Arifin, MS yang telah memfasilitasi acara ini.

iv
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

2. Ibu Prof. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt yang telah berkenan
menjadi pemateri seminar nasional ini.
3. Tamu Undangan, Penyaji Makalah yang telah turut serta dalam
mensukseskan acara ini.

Demikian sambutan dari kami, kami mohon maaf apabila ada kata-kata
yang kurang berkenan di hati Bapak/Ibu semuanya. Selamat mengikuti
Seminar Nasional dan Call For Paper. Semoga apa yang kita lakukan hari
ini bermanfaat bagi kemajuan Bangsa dan Negara Amin.

Yang terhomat Bapak Rektor Universitas Trunojoyo Madura, Prof. Dr.


Ir. M. Arifin, MS, kami mohon untuk memberikan sambutan sekaligus
membuka seminar nasional ini.

Billahi Taufik Wal Hidayah, Waridho Wal Inayah


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Dekan

Dr. Ir. H. Slamet Subari, M.Si


NIP. 19631212 200112 1 001

v
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

SUSUNAN ACARA
SEMINAR NASIONAL
KERJASAMA PRODI AGROEKOTEKNOLOGI
DAN PRODI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tanggal 18 Juni 2018
Di Auditorium Universitas Trunojoyo Madura

No Waktu Susunan Acara Keterangan


1 08.00-08.30 Registrasi Peserta Auditorium UTM (Kantor Pusat
Lama)
2 08.30-10.00 Pembukaan MC
Sambutan Ketua Askur Rakhman, STP., MP
Panitia
Sambutan Rektor Prof.Dr.Ir.H. Ariffin, MS
UTM
sekaligus
membuka acara
Seminar Nasional
Penutup/Doa Drs. H. Taufikurrakhman, M.Kes
3 10.00-10.15 Coffee break Auditorium UTM
4 10.15-12.00 Seminar Nasional Pemakalah Utama :
1. Prof.Dr. Mangestuti Agil,
MS.Apt. (Departemen
Farmakognosi, Fakultas Farmasi,
UNAIR)
2. Fransiska Devi Junardy,
M.App.Sc
(Martha Tilaar Innovation
Center)
5 12.00 -13.00 ISHOMA Auditorium UTM
6 13.00-15.00 Seminar Ruangan Seminar Pendamping
Pendamping
7 15.00-selesai Penutupan Masing-masing ruangan seminar
pendamping

vi
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR ISI

Cover i
Kata Pengantar iii
Sambutan Dekan iv
Susunan Acara vi
Daftar Isi vii

Pengaruh Pemberian Urine Kelinci Terhadap Tanaman Sayuran


Untuk Mendukung RPL (Rumah Pangan Lestari)
Titiek Purbiati, Ericha Nurvia Alami 1

Penurunan Rasio Kolesterol Total Kolesterol Hdl Pada Tikus


Wistar Jantan Hiperkolesterolemia Yang Diberi Ekstrak Tauge
(Vigna Radiata (L))_Adzam Purwandono_Universitas Jember 6
Azham Purwandhono, Rosita Dewi

Pewarisan gen SoSUT1 pada Tebu Produk Rekayasa Genetik (PRG)


Generasi T1
Parawita Dewanti1), Purnama Okviandari2), Anna Sofyana1)
dan Bambang Sugiharto2) 14

Efektivitas Tiga Bioinsektisida Mengendalikan Hama Penting Pada


Pertanaman Tumpangsari Kubis Bawang Daun Di Ngadisari
Tengger
Happy P. Hariyani, Didik Sulistyanto, Wagiyana,
W.S.Wahyuni 20

Pengaruh Pemberian Kolkisin Terhadap Produksi Umbi Dan Umur


Berbunga Tanaman Sedap Malam Di Dataran Medium
Yekti Sri Rahayu, Istiyono K.Prasetyo 26

Strategi Perbanyakan Singkong (Manihot Esculentum) Melalui


Kultur Meristem Secara In Vitro
Didik Pudji Restanto ,1,4), Slameto 1) , Dwi Setyati 2) , Ida
Anggraini, 1) Budi Kriswanto 1) dan Tri Handoyo 1,4) 32

Surve On Plant Pest And Disease Problems On Organic Farming In


Field Farmer On Tanah Karo Nort Sumatera
Wagiyana 41

Potensi Crotalaria mucronata Desv. sebagai Pupuk Hijau


Sumarni T., N. Aini dan N.D. Marsha 46

Potensi Pengembanhan Anggur Jestro Ag45 (Fitis Vinifera,Sp) Di


Dataran Rendah 52
Emi Budiyati dan Anis Andrini

vii
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Perbaikan Keragaan Tanaman Dan Buah Jeruk Keprok Siompu


Di Buton Sulawesi Tenggara Dengan Aplikasi Zeolit Dan Mimba
Emi Budiyati, Oka Ardiana Banaty dan Sutopo 59

Eksplorasi dan Produksi CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskular)


Indigenous Madura Menggunakan Alternatif Metode Pot Kultur
Terbuka Murah dan Efektif
Dwi Rahmawati Y1, Ach Jasuli1, Ngisomudin1, Vika YP1,
Gita Pawana2 57

Pengendalian Hayati Penyakit Hawar Bakteri Pada Tanaman


Kedelai Dengan Menggunakan Bakteriofag 72
Sela Reza Resita., Norita Fatatik Azizi., Febrian E S
Iriyanto., Wahyu C

Uji efektivitas spora cendawan beuaveria bassiana


Suharto 78

Keragaan Pertumbuhan Kentang Hitam Asal Stek dan Umbi


Eko Setiawan, Achmad Baidowi, Suhartono 87

Distribusi Dan Tingkat Serangan Nematoda Puru Akar


(Meloidogyne Incognita)
Andri Kurniawan, Soekarto. M. Hoesain 95

Identifikasi Organisme Epifit Eucheuma Cottonii Hasil Kultur


Jaringan
Apri Arisandi1*, Akhmad Farid2, Yusi Purwaningsih3 100

Kajian Rakitan Teknologi Usaha Tani Dengan Pengendalian Hama


Penyakit Terpadu Dalam Rangka Peningkatan Produksi Tomat Di
Kediri
Evy Latifah(1), Kuntoro Boga(1)and Joko Maryono(2) 106

Penentuan Periode Kritis Kemunculan Gulma Yang Mempengaruhi


Pertumbuhan Dan Hasil Kacang Panjang Local Kultivar Ungu
(Vigna Sinesis)
Rima Melati, hayun Abdullah 115

Uji Kisaran Inang Bakteriofag SK Pada Beberapa Isolate Pathogen


Hawar Bakteri Pada Tanaman Kedelai di Jember 121
Galih Susianto, Hardian Susilo Addy, Paniman Ashna
Mihardjo

Efektifitas Ekstrak Biji Kelor (Moringa Oleifera) Sebagai Sifat


Antimikrobia 127
Anshori Syarif, Fakhry Muhammad, Hidayati Darimiyya

viii
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Karakteristik Buah Naga Putih (Hylocereus Undatus) Dan Buah


Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus) 131
Nurhayati1,2), Gama Kusuma1), Nurma Handayani1), Ahib
Assadam1)

Rekayasa Tekstur dan Kajian Stabilitas Sosis Frankfurters Rendah


Lemak Dari Ikan Tongkol (Thunnus tonggol) Menggunakan Lemak
Analog Dari Ekstrak Porang Dan Pengemulsi
Bayu Norianda 135

Pengaruh Fortifikasi Ekstrak Daun Dan Biji Kelor (Moringa


Oleifera) Terhadap Sifat Sensoris Tahu
Kusumawardani S, Hidayati D, Mu’tamar MFF 149

Uji Aktivitas Antimikrobia Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera)


Segar terhadap Bakteri Escherichia coli, Salmonella sp dan
Staphylococcus aureus 154
Saputra. E. A., Hidayati. D., Supriyanto

Produksi Substrat Fermentasi Bioetanol dari Rumput Laut


Eucheuma cottonii Melalui Hidrolisis Asam 158
Rinda Gusvita1, Wagiman2, Jumeri2

Potensi Minyak Biji Tembakau Sebagai Sumber Minyak Nabati


Kaya Asam Lemak Omega-6 170
Rahmad Fajar Sidik, MSi

"Inotek Pintar” Inovasi Teknologi Pengolahan Air Laut Menjadi Air


Suling Siap Minum, Kristal Garam, Serta Mineral Bittern Berbasis
Membran Filtrasi Dan Energi Surya 177
Ibadur Rohman

Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Jamu Madura 190


Abdul Aziz jakfar

Pembinaan Pengembangan Agroindustri Minyak Kelapa Melalui


Diversifikasi Produk (Studi Kasus Pada Kelompok Usaha Nurul 209
Hikmah)
Elys Fauziyah, Darimiyya Hidayati

Introduksi Teknologi Pengolahan Sayuran Di Kawasan Rumah


Pangan Lestari (KRPL) Desa Gilianyar Dan Banyuajuh, Kecamatan 218
Kamal, Bangkalan
Ita Yustina, Wahyu Handayati, Donald Sihombing

ix
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Rekayasa Tekstur dan Kajian Stabilitas Sosis Frankfurters Rendah


Lemak Dari Ikan Tongkol (Thunnus tonggol) Menggunakan Lemak
Analog Dari Ekstrak Porang Dan Pengemulsi Dari Ekstrak Rumput
Laut 226
Bayu Noriandita, Novia Nava, Achmad Atdairobi, Rifki
Arifudin & Sri Hastuti

Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Dan Biji Kelor (Moringa 233


Oleifera) Serta Lama Penyimpanan Terhadap Sensoris Tahu
Kusumawardani S, Hidayati D, Mu’tamar MFF

x
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENGARUH PEMBERIAN URINE KELINCI


TERHADAP TANAMAN SAYURAN UNTUK
MENDUKUNG
RPL (RUMAH PANGAN LESTARI).
Titiek Purbiati¹, Ericha Nurvia Alami²
1)
Peneliti BPTP Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km 4 Malang,
2)
Peneliti BPTP Jawa Timur, Jl. Raya karangploso Km 4 Malang.
Email : purbiati_titiek@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh interval pemberian urine kelinci sebagai
pupuk terhadap tanaman sayur dalam pot polibag untuk mendukung Kawasan Rumah Pangan
Lestari. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2013 di dusun
Dadapan kota Batu Jawa Timur. Percobaan disusun secara factorial dengan rancangan acak
kelompok. Sebagai factor pertama interval pemberian yaitu 1,2 dan 3 minggu sekali. Faktor kedua
adalah jenis tanaman sayur : tomat, cabe dan terung yang ditanam dalam pot polibag. Parameter
yang diamati adalah produksi (jumlah dan berat buah). Hasil menunjukan bahwa interaksi kedua
factor memberikan pengaruh terhadap berat buah. Sedangkan jumlah buah kedua factor dan
interaksinya tidak ada beda. Tanaman terung yang diberi pupuk urine kelinci dengan interval 1,2
dan 3 minggu sekali dapat menghasilkan berat buah yang lebih berat dan tidak ada beda dengan
tanaman tomat tetapi berbeda dengan tanaman cabe. Pemberian pupuk urine kelinci interval 1,2
dan 3 minggu sekali dan jenis tanaman tomat, cabe dan terung tidak ada beda terhadap jumlah
buahnya.

Kata kunci: Tanaman sayur dalam pot, urine kelinci, interval, produksi

PENDAHULUAN

Rumah pangan lestari merupakan unit rumah tangga yang menerapkan prinsip
pemanfaatan lahan pekarangan. Upaya itu dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan
keluarga bagi rumah tangga di pedesaan ataupun di perkotaan. Jika luas lahan pekarangan
itu sempit maka dapat menanam tanaman secara vertikultur yang ditanam dalam pot-pot
polibag (Anonim, 2012 ,Mardiharini, 2011).
Pada daerah kawasan Rumah Pangan Lestari, umumnya berbagai komoditas
tanaman semusim yaitu sayuran dan buah semusim dapat ditanam dalam pot-pot polibag.
Budidaya tanaman dalam pot polibag umumnya menggunakan media tanam yang
memerlukan kaya hara karena volume media tumbuh yang terbatas untuk keperluan
pertumbuhan tanaman (Purbiati et al, 2012 , Purbiati & Nurvia Alami, 2013). Beberapa
komposisi media tumbuh tanah dan kompos, cocopeat dan kompos maupun yang diberi
penambahan trichokompos dapat menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman
tomat dan buah strawberry yang lebih baik (Purbiati & Nurvia Alami, 2013).
Untuk mengoptimalkan hasil tanaman pertanian perlu dipacu dengan
penambahan hara dalam media tumbuh. Tanaman yang ditanam dalam pot polibag
mempunyai ruang lingkup yang terbatas untuk perkembangan akarnya sehingga pupuk
sangat diperlukan. Walaupun terdapat beberapa media tumbuh alternative untuk tanaman
pot dapat memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih baik karena mengandung unsure
N,P,K maupun Ca ,Mg tetapi dengan penambahan pupuk organic cair dapat
menghasilkan produksi optimal (Anonim, 2011, Paralim, 2014, Swastika & Yuliani,
2013).

1
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Pupuk cair yang terbukti efektif untuk meningkatkan kesuburan tanah atau media
tumbuh adalah limbah urine kelinci. Limbah urine kelinci tersebut diolah menjadi pupuk
organic cair yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman yang ramah
lingkungan juga akan mengurangi penggunaan pupuk kimia (Anonim, 2013 (a), 2013
(b), 2012).
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh interval penggunaan pupuk
organik cair urine kelinci terhadap hasil tanaman sayur dalam pot polibag untuk
mendukung kawasan Rumah Pangan Lestari.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di dusun Dadapan kota Batu sebagai kawasan RPL


(Rumah pangan Lestari) mulai bulan September sampai Desember tahun 2013. Percobaan
secara factorial dengan Rancangan Acak Kelompok dan diulang 3 kali. Sebagai factor
pertama adalah interval pemberian pupuk urine kelinci 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu
sekali. Faktor kedua adalah jenis tanaman yaitu tomat, cabe dan terung yang ditanam
dalam pot polibag. Setiap unit perlakuan/ulangan menggunakan 3 pot polibag. Sebagai
media tumbuh dalam pot polibag adalah campuran tanah, kompos dan trichokompos
perbandingan 1:1 + 15 g trichokompos. Dosis pupuk urine kelinci yang diberikan adalah
80 ml/1 liter air dan setiap pot diberikan 250 ml larutan.
Parameter yang diamati adalah produksi (berat dan jumlah buah). Selama
percobaan berlangsung tanaman tidak dilakukan penyemprotan pestisida dan tidak
menggunakan pupuk kimia. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan penyiangan
disekitar pot polibag.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi (Berat buah dan jumlah buah)


Berat buah
Analisis statistik, interaksi kedua faktor perlakuan interval pemberian pupuk
urine kelinci dan jenis tanaman terhadap produksi berat buah ada perbedaan yang nyata
dan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur
terhadap berat buah.
Perlakuan Berat buah per pot (g)
Interval pemberian Jenis tanaman
urine kelinci Tomat Cabe Terung
(minggu)
1 (satu) 148,08 abc 13,50 c 258 a
A B C
2 (dua) 115,58 bc 14,27 c 248,50 ab
A B C
3 (tiga) 141,84 abc 12,46 c 180,67 ab
A B C
Angka-angka dalam satu baris yang sama dan didampingi huruf kecil yang sama dan
dalam satu kolom yang sama yang didampingi huruf besar yang sama menunjukkan tidak
ada beda nyata menurut uji BNT 5%.
Tanaman terung yang diberi pemupukan urine kelinci dengan interval 1 minggu
sekali menghasilkan berat buah yang lebih tinggi dan ada beda dengan tanaman cabe

2
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

tetapi tidak ada beda dengan tanaman tomat. Keadaan tersebut juga terjadi jika diberi
pemupukan urine kelinci dengan interval 2 minggu sekali dan 3 minggu sekali.
Secara umum bahwa tanaman terung yang diberi penambahan pupuk organic cair
berupa larutan urine kelinci dengan pemberian interval 1 sampai 3 minggu menghasilkan
berat buah yang lebih berat dibandingkan dengan tanaman tomat dan cabe. Hal ini karena
dari sifat genetis dari tanaman terung yang memiliki berat buah yang besar , kandungan
bahan organic pada media tumbuh serta tambahan hara dari pupuk urine kelinci dalam
media tumbuh. Kandungan kompos sebagai media tumbuh dan pupuk urine kelinci pada
tabel 2.

Tabel 2. Kandungan hara kompos sebagai media tumbuh dan pupk cair urine kelinci.
Unsur hara Persentase kandungan
Kompos (%)
Bahan organik 25,16
P2O5 1,43
K2O 0,091
C organic 14,54
N total 0,64
C/N 23
Kadar air 24
Pupuk cair urine kelinci (%)
N total 0,7
P2O5 1,1
K2O 0,5
Kadar air 55,3

Menurut Gardner et. al. (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan


dan produksi tanaman adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara
lain merupakan media tumbuh tanaman yang didukung dengan kandungan 16 unsur yang
diperlukan tanaman, pH, tekstur, struktur dan bahan organic. Media tumbuh kompos yang
digunakan banyak mengandung bahan organic dan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh
tanaman dan pupuk cair tambahan yaitu urine kelinci (Tabel 2). Urine kelinci yang telah
difermentasi merupakan bahan baku pupuk organic cair sangat baik untuk menyuburkan
tanaman sayuran. Pupuk tersebut memiliki keuntungan karena hemat penggunaannya,
mudah diserap oleh akar tanaman dan efeknya lebih cepat (Anonim, 2012, 2013, 2014).

Jumlah buah
Hasil analisis secara statistic menunjukkan bahwa kedua factor interval
pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur serta interaksi kedua factor
tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah buahnya dan disajikan
pada tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur
terhadap jumlah buah
Perlakuan Produksi jumlah buah/pot polibag

3
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Interval pemberian pupuk urine kelinci


1 minggu 5,92 a
2 minggu 12,08 a
3 minggu 13,81 a
Jenis tanaman sayur
Tomat 15,15 a
Cabe 11,31 a
Terung 5,36 a
Angka-angka dalam satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak
menunjukkan beda nyata menurut uji BNT 5%.
Jumlah buah dalam satu pot dengan interval pemberian pupuk urine kelinci 1
minggu, 2 minggu dan 3 minggu sekali menghasilkan jumlah yang sama sedangkan pada
tanaman tomat, cabe dan terung juga menghasilkan jumlah buah yang sama. Hal tersebut
karena ketiga tanaman sayur ditanam dalam media yang memiliki komposisi yang sama
yaitu tanah, kompos dan trichokompos sebagai penambah hara. Sedangkan penambahan
pupuk urine kelinci dengan interval waktu yang tidak terlalu lama sehingga selang 2
minggu kebutuhan hara tanaman masih dapat tercukupi untuk menghasilkan jumlah buah
tanaman sayur tersebut.
Tanaman tomat yang ditumbuhkan pada media tanah kompos menghasilkan
produksi per pot sekitar 12 buah (Purbiati & Nurvia Alami, 2014), dengan penambahan
trichokompos dan pemberian pupuk urine kelinci tiap potnya dapat menghasilkan 15
buah. Penambahan trichokompos akan memberikan beberapa manfaat pada media
tumbuh antara lain : memperbaiki struktur tanah, mencegah serangan penyakit tanaman
yang ditularkan melalui tanah dan sebagai penambah unsure hara (Suheiti, 2009; Aberar
et al, 2011; Anonym, 2012). Pupuk urine kelinci juga dapat menyuburkan tanah
(Anonym, 2013)

KESIMPULAN

 Interaksi interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur tomat,
cabe dan terung berpengaruh terhadap produksi berat buah. Dengan pemberian
pupuk cair urine kelinci interval 1 sampai 3 minggu sekali dosis 80 ml/1 liter air
yang diberikan 250 ml larutan menghasilkan berat buah tanaman terung tiap
potnya paling berat dibandingkan tanaman tomat dan cabe.
 Jumlah buah pada tanaman tomat, cabe dan terung dengan pemberian pupuk cair
urine kelinci interval 1 sampai 3 minggu sekali adalah sama banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Makalah


dipresentasikan di Workshop Pangan Lestari di Solo. Badan Penyuluhan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementan. 11 p.
Anonym, 2011. Anak Negeri Berusaha mewujudkan mimpi.
Http://putrabangsa.blogspot.com (diunduh tanggal 12 Maret 2014).
Anonym, 2012. Pemanfaatan Trichoderma, sp dengan pembuatan kompos
(trichokompos). Http://epetani.deptan.go.id (diunduh tanggal 12 Maret 2014)
Anonym, 2013. Mengolah kotoran dan urine kelinci menjadi pupuk cair.
Http://asevha.blogspot.com (diunduh tanggal 11 April 2014)

4
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Anonym, 2012. Pembuatan pupuk cair dari urine kelinci.


Http://yogya.litbang.deptan.go.id (diunduh tanggal 11 April 2014)
Anonym, 2014. Cara pembuatan pupuk organic dari urine kelinci. Http://cangkul-
tani.blogspot.com (diunduh tanggal 11 April 2014)
Aberar M., Athaillah Mursyid dan Gt. M Sugian Noor. 2011. Respon tanaman tomat
terhadap dosis pupuk trichokompos dan interval waktu pemberian ekstrak
nimba di lahan sulfat masam. Agroscientiae 18 (3): 155-163.
Gardner P.G.,R.B Pearee and T.L. Mitchell. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa
State University Press. U.S.A 428 p.
Mardiharini, M. 2011.Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Pengembangannya ke
seluruh Provinsi Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Vol. 33 (6): 3-5 p.
Purbiati. T., Martinus Sugyharto dan Wigati Istuti.2012. Model Kawasan Rumah Pangan
Lestari (M-KRPL) kota Batu.Lap. akhir tahun 2012. BPTP Jawa Timur. 17 p.
Purbiati T., dan Ericha Nurvia Alami. 2013.Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-
KRPL) kota Batu. Lap. Akhir tahun 2013. BPTP Jawa Timur. 16 p.
Purbiati T dan Ericha Nurvia Alami. 2014. Pengaruh media tumbuh terhadap produksi
sayur, buah semusim ramah lingkungan mendukung RPL (Rumah Pangan
Lestari). Lap. Hasil pengakajian PBTP Jatim. 7 p (Belum dipublikasi)
Paralim R., 2013. Media tanam organik. http://rahmatparalim.indonetwork.co.id (diunduh
tanggal 12 Maret 2014).
Swastika S., dan N.Yuliani. 2013. Media Tanam Raphis excelsa . Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Riau. 2 p.
Suheiti K., 2009. Pemanfaatan trichokompos pada tanaman sayuran. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jambi. 2 p.

5
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENURUNAN RASIO KOLESTEROL TOTAL :


KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN
HIPERKOLESTEROLEMIA
YANG DIBERI EKSTRAK TAUGE (Vigna radiata (L))
Azham Purwandhono, Rosita Dewi
Fakultas Kedokteran Universitas Jember
Jalan Kalimantan No.37 Kampus Tegal Boto Jember
Email : azham.p@gmail.com

ABSTRAK

Hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko utama aterosklerosis yang mendasari


timbulnya penyakit jantung koroner. Prevalensi aterosklerosis dan penyakit jantung koroner di
dunia semakin meningkat. Rasio kolesterol total : kolesterol HDL digunakan untuk memprediksi
dan mengevaluasi penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Menurunkan rasio ini jauh lebih
bermanfaat dibandingkan dengan hanya menurunkan kadar kolesterol LDL. Saat ini banyak
dikembangkan penelitian terhadap potensi berbagai tanaman obat sebagai alternatif
penatalaksanaan penyakit kardiovaskular. Tauge (Vigna radiata (L)) mengandung antioksidan
cukup tinggi diantaranya vitamin E (α Tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan
beberapa mineral yang berperan dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tauge terhadap penurunan rasio kolesterol total :
kolesterol HDL pada tikus wistar jantan hiperkolesterolemia. Penelitian ini menggunakan 25 ekor
tikus wistar putih yang dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu K(-) dengan diet normal, K(+) dengan
diet normal dan kuning telur 2 ml, dan 3 kelompok perlakuan dengan pemberian kuning telur 2 ml
dan ekstrak tauge berbagai dosis (50 mg/hari, 100 mg/hari, dan 200 mg/hari). Data yang
didapatkan diuji dengan uji statistik One Way Anova. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan
rasio kolesterol total : kolesterol HDL pada kelompok perlakuan secara bermakna (p<0,05). Dapat
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak tauge dosis rendah dapat menurunkan rasio kolesterol total
: kolesterol HDL.

Kata kunci: Vigna radiata, rasio kolesterol total : kolesterol HDL, penyakit jantung koroner

ABSTRACT

Hypercholesterolemia is the main risk factor of atheroslerosis which causes coronary heart
disease. The prevalence rate of atherosclerosis and coronary heart disease is getting higher. The
ratio of total cholesterol : HDL cholesterol is used to predict and evaluate coronary heart disease
treatment. Decreasing this ratio is more beneficial than merely decreasing LDL cholesterol.
Nowadays there are many research developed about medicinal herbs potency as an alternative
treatment of cardiovascular disease. Bean sprout (Vigna radiata (L)) consists of high antioxidant
such as vitamin E (α Tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan minerals which gives
benefit in decreasing blood cholesterol level. The aim of this research was to know the effect of
bean sprout extract in decreasing the ratio of total cholesterol : HDL cholesterol in rats which had
been given high cholesterol diet. It used 25 rats which devided into 5 different groups. They were
negative control group administered by normal diet, positive control group administered by
normal diet and 2 ml egg yolk, and 3 intervention groups administered by 2 ml egg yolk and bean
sprout extract with several dosages (50 mg/day, 100 mg/day, and 200 mg/day). The obtained data
was tested by One Way Anova-test. The result of the research showed the ratio difference of total
cholesterol : HDL cholesterol among the intervention groups significantly (p<0,05). It could be
concluded that bean sprout extract at a low dosage could decrease the ratio of total cholesterol:
HDL cholesterol.

6
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keyword: Vigna radiata, the ratio of total cholesterol : HDL cholesterol, coronary heart disease.

PENDAHULUAN

Hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko utama aterosklerosis yang


mendasari timbulnya penyakit jantung koroner. Makanan cepat saji yang digemari oleh
masyarakat mengandung lemak jenuh (LDL) tinggi sehingga sangat berperan dalam
meningkatkan angka kejadian aterosklerosis. Prevalensi aterosklerosis dan penyakit
jantung koroner di dunia semakin meningkat. Pada tahun 2004 terdapat 7,2 juta kematian
akibat penyakit jantung koroner. Diperkirakan angka ini akan terus meningkat menjadi
23,4 juta kematian atau meningkat 37% pada tahun 2030 (WHO, 2009). Selain itu, faktor
kemajuan teknologi menjadikan manusia lebih mudah melakukan sesuatu tanpa harus
beraktivitas fisik berat yang mengakibatkan peningkatan berat badan hingga obesitas
dengan konsekuensi selanjutnya, yaitu terjadinya penyakit jantung koroner di kemudian
hari (Yusuf et al, 2004).
Hiperkolesterolemia dapat secara langsung mengganggu fungsi sel endotel
pembuluh darah arteri (Kumar et al, 2010). LDL kolesterol yang berada di sirkulasi
dalam jangka waktu lama akan teroksidasi menjadi LDL teroksidasi. LDL teroksidasi
akan memicu pembentukan senyawa radikal bebas sehingga terjadi disfungsi endotel
yang merupakan lesi awal aterosklerosis. Lesi berupa plak aterosklerosis akan terus
tumbuh progresif dan menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri (Lilly, 2011).
Rasio kolesterol total : kolesterol HDL digunakan untuk memprediksi terjadinya
penyakit jantung koroner. Selain itu, rasio tersebut juga bermanfaat dalam mengevaluasi
penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Menurunkan rasio ini, yaitu dengan
menurunkan kadar kolesterol total dan meningkatkan kadar kolesterol HDL jauh lebih
bermanfaat dibandingkan dengan hanya menurunkan kadar kolesterol LDL (Fulks et al,
2009; Real et al, 2001; Sharaf and Ali, 2004l).
Penatalaksanaan penyakit jantung koroner bertujuan menekan morbiditas dan
mortalitas. Terdapat berbagai macam farmakoterapi baik menggunakan obat-obat kimia
yang telah teruji maupun menggunakan obat tradisional yang berasal dari tanaman.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbanyak kedua di dunia. Ditemukan 30.000-
40.000 jenis tanaman dan sekitar 9.000 spesies yang berkhasiat sebagai tanaman obat
(Setiawan dan Ernawati, 2012). Dukungan masyarakat terhadap penggunaan tanaman
obat cukup besar karena bahannya mudah didapat, murah, dan tidak memiliki efek
samping.
Kacang hijau merupakan hasil pertanian yang umum dijumpai di Indonesia.
Tauge (Vigna radiata (L)) merupakan bentuk kecambah dari tanaman ini. Tauge
memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi di antaranya vitamin E (α tokoferol),
vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan beberapa mineral (selenium, mangan, tembaga,
zinc, dan besi) (Astawan, 2005). Antioksidan berperan melindungi tubuh terhadap radikal
bebas dan inflamasi (Rohmatussolihat, 2009). Melalui efek antioksidan tersebut, tauge
diduga mampu menurunkan kadar kolesterol darah. Adanya kandungan antioksidan dapat
digunakan sebagai alternatif penatalaksanaan penyakit kardiovaskular. Dengan
mengetahui khasiat disertai bukti empirik, masyarakat akan memperoleh keamanan dan
kenyamanan masyarakat dalam mengkonsumsi tanaman obat. Berdasar pada latar
belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah pemberian ekstrak tauge (Vigna
radiate (L)) dapat menurunkan rasio kolesterol total : kolesterol HDL pada tikus wistar
jantan hiperkolesterolemia.

METODE PENELITIAN

7
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan randomisasi,


replikasi, menggunakan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, dan rancangan post
test only control group design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Jember. Pembuatan ekstrak tauge dilakukan di
Laboratorium Kimia Organik Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Sampel penelitian ini adalah tikus wistar putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa
dengan kondisi sehat fisik, umur 2-3 bulan, dan berat badan +200 gram. Tikus yang
digunakan sebanyak 25 ekor dan dibagi menjadi 5 kelompok.
Pada hari pertama penelitian tikus pada kelompok kontrol positif dan kelompok
perlakuan diinjeksi inisial adrenalin 0,006 mg/200g BB secara intravena, selanjutnya
selama 6 minggu tikus pada kelompok kontrol negatif (K(-)) diberi diet normal, tikus
pada kelompok kontrol positif (K(+)) diberi diet normal dan kuning telur 2 ml, tikus pada
kelompok perlakuan pertama (P1) diberi diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge
50 mg/hari, tikus pada kelompok perlakuan kedua (P2) diberi diet normal, kuning telur 2
ml, dan ekstrak tauge 100 mg/hari, dan tikus pada kelompok perlakuan ketiga (P3) diberi
diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 200 mg/hari. Pada hari terakhir
penelitian tikus dibius dengan menggunakan eter kemudian dilakukan pengambilan darah
3 ml melalui punksi kardia, selanjutnya dilakukan pengukuran kadar kolesterol total dan
kolesterol HDL dengan menggunakan teknik spektofotometri dan dinyatakan dengan
satuan mg/dl.
Data yang terkumpul diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Kolmogorov
Smirnov. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rasio kolesterol total : kolesterol
HDL antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan uji parametrik One
Way Anova (α=0,05). Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok, dilakukan uji post
hoc Tukey.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat 5 kelompok penelitian yang terdiri atas 2 kelompok kontrol (positif dan
negatif) dan 3 kelompok perlakuan yang diberi ekstrak tauge berbagai dosis. Hasil
pengukuran kadar kolesterol total dan kolesterol HDL disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Kadar Kolesterol Total, Kolesterol HDL, dan Ratio Kolesterol Total:HDL
Kadar Kolesterol Ratio
Kelompok Kadar HDL
Total Kolesterol Total: HDL
K(-) 61,20±8,04ab 22,40±4,34ab 2,79 ± 0,47bc
ab c
K(+) 61,60±6,23 30,80±1,30 2,00 ± 0,17a
ab bc
P1 60,80±4,55 27,80±3,56 2,22 ± 0,35ab
P2 52,40±6,58a 19,80±2,17a 2,65 ± 0,23bc
b ab
P3 69,00±10,98 22,75±2,75 3,03 ± 0,34c
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p<0,05)
Pada kelompok kontrol positif dan negatif didapatkan kadar kolesterol total yang
tidak jauh berbeda, yaitu 61,20+8,04 mg/dl dan 61,60+6,23 mg/dl. Pada kelompok
perlakuan kadar kolesterol total terendah didapatkan pada kelompok P2 (diet normal,
kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 100 mg/hari), yaitu 52,40+6,58 mg/dl. Nilai kadar
kolesterol total pada kelompok P1 60,80+4,55 mg/dl dan kelompok P3 69,00+10,98
mg/dl. Pada uji statistik didapatkan perbedaan kadar kolesterol total secara bermakna
antara kelompok P2 dan kelompok P3 (diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge
200mg/hari) (p<0,05).

8
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Kadar kolesterol HDL tertinggi didapatkan pada kelompok kontrol positif, yaitu
30,80+1,30 mg/dl sedangkan kadar kolesterol HDL terendah didapatkan pada kelompok
P2, yaitu 19,80+2,17 mg/dl. Uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua
kelompok tersebut (p<0,05). Kadar kolesterol HDL pada kelompok kontrol negatif dan
kelompok P3 tidak jauh berbeda, yaitu 22,40+4,34 mg/dl dan 22,75+2,75 mg/dl. Di
antara kelompok perlakuan, kadar kolesterol HDL terendah didapatkan pada kelompok
P2. Uji statistik menunjukkan perbedaan kadar kolesterol HDL bermakna antara
kelompok P1 (diet normal, kuning telur 2 ml, ekstrak tauge 50 mg/hari) dan kelompok P2
(p<0,05).
Di antara kelompok perlakuan ratio kolesterol total : kolesterol HDL terendah
ditemukan pada kelompok P1, yaitu 2,22±0,35. Rasio kolesterol total : kolesterol HDL
mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan dosis ekstrak tauge, yaitu sebesar
2,65±0,23 dan 3,03±0,34 (Gambar 1). Pada uji statistik didapatkan perbedaan rasio
kolesterol total : kolesterol HDL secara bermakna antara kelompok P1 dan kelompok P3
serta kelompok P1 dan kelompok kontrol negatif (p<0,05).

Gambar 1. Grafik Ratio Kolesterol:HDL pada kelompok perlakuan

Pada penelitian ini hewan coba diinjeksi inisial adrenalin intravena kemudian
disonde kuning telur selama 6 minggu agar didapatkan tikus hiperkolesterolemia. Sampel
penelitian ini telah memenuhi kriteria hiperkolesterolemia, yaitu kadar kolesterol total
>54 mg/dl (Kusumawati, 2004).
Pemberian adrenalin bertujuan meningkatkan lipolisis dengan cara menstimulasi
aktivitas enzim adenilsiklase yang mengkonversi ATP menjadi cAMP. Senyawa cAMP
akan mengkonversi enzim triasilgliserol lipase inaktif yang sensitif menjadi bentuk aktif
enzim lipase. Pada lipolisis terjadi pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adipose dan
peningkatan kadar asam lemak bebas plasma. Hormon-hormon yang dapat memicu
terjadinya lipolisis adalah norepinephrine, epinephrine, glukagon, hormon
adrenokortikotropik (ACTH), hormon perangsang melanosit-α dan -β (MSH), hormon
perangsang kelenjar tiroid (TSH), hormon pertumbuhan (GH), dan vasopressin (Murray
et al, 2003).
Kuning telur memiliki komposisi gizi yang terdiri atas air, protein, lemak,
karbohidrat, mineral, dan vitamin. Lemak merupakan proporsi terbesar pada kuning telur.
Lemak dalam telur terdiri atas senyawa trigliserida, fosfolipid, sterol, dan serebrosida.

9
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Kebanyakan asam lemaknya terdiri atas asam palmitat, oleat, dan linoleat. (Komala,
2008).
Kolesterol adalah produk metabolisme hewan dan terdapat pada makanan yang
berasal dari hewan seperti kuning telur, otak, hati, dan daging. LDL merupakan perantara
ambilan kolesterol bebas dan ester kolesterol ke dalam banyak jaringan. Ester kolesterol
merupakan bentuk penyimpanan kolesterol di hampir semua jaringan. Kolesterol
berperan dalam pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah arteri sehingga
menyebabkan penyakit serebrovaskular, vaskuler perifer, dan jantung koroner. Terjadinya
penyakit jantung koroner berkaitan dengan rasio kolesterol total : kolesterol HDL plasma
yang tinggi (Murray et al, 2003).
Hiperkolesterolemia kronis menyebabkan terjadinya peningkatan produksi
radikal bebas. Radikal bebas berperan dalam mengoksidasi LDL. LDL teroksidasi
bersifat sitotoksik dan dapat menimbulkan jejas endotel. LDL teroksidasi bersama dengan
growth factor memacu proliferasi sel otot polos dan sintesis matriks ekstraseluler pada
aterosklerosis (Lilly, 2011; Ross, 1999).
Secara teori, pemberian diet tinggi lemak dapat mengakibatkan penurunan
kolesterol HDL namun pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL pada
kelompok kontrol positif (30,80+1,30 mg/dl) dibandingkan dengan kelompok kontrol
negatif (22,40+4,34 mg/dl). Hal ini diduga bahwa hewan coba masih mengalami keadaan
kompensasi ataupun adaptasi. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pemberian diet
lemak dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL karena adanya mekanisme adaptasi
berupa peningkatan fluks kolesterol HDL yang dibutuhkan saat beban metabolik yang
tinggi pada pemberian diet tinggi lemak. Pemberian diet tinggi lemak meningkatkan Apo-
A1 pada post transkripsi melalui peningkatan kemampuan translasi mRNA Apo-A1 dan
penurunan degradasi Apo-A1 sehingga terjadi penurunan laju katabolisme fraksi
kolesterol HDL dan selanjutnya terjadi peningkatan ukuran HDL (Hayek et al, 1993).
Tauge merupakan bentuk perkecambahan dari kacang hijau. Kandungan fitosterol
(isoflavon) dalam kacang hijau adalah 70,74 mg/100 gram bahan (Iswandari, 2008).
Fitosterol dapat menghambat absorbsi kolesterol, baik yang berasal dari diet maupun
kolesterol yang diproduksi oleh hati (Hapsari et al, 2009). Mekanisme penurunan
kolesterol lainnya adalah melalui peningkatan katabolisme sel lemak dengan
mengaktifkan enzim sitokrom P-450 yang mampu mengikat kolesterol menuju asam
empedu sehingga dapat meningkatkan ekskresi asam empedu dan menurunkan kadar
kolesterol darah (Dewi, 2013; Middleton et al, 2000). Kandungan lainnya adalah saponin
yang berfungsi sebagai surfaktan yang dapat mengikat asam empedu dan kolesterol
(Ratnawati dan Widowati, 2011).
Tauge memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi di antaranya vitamin E
(α-tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan beberapa mineral (selenium,
mangan, tembaga, zinc dan besi) (Astawan, 2005). Flavonoid bekerja sebagai antioksidan
dengan cara memblok pembentukan, menginaktivasi (scavenger), dan menghentikan
kerusakan akibat radikal bebas (Kumar, 2010). Antioksidan berperan melindungi tubuh
terhadap radikal bebas dan inflamasi sehingga mencegah kerusakan membran sel,
kerusakan organel sel, dan pembentukan LDL teroksidasi (Boik, 1996; Rohmatussolihat,
2009). Penurunan pembentukan LDL teroksidasi dapat menghambat progresivitas
aterosklerosis.
Pada kelompok yang diberi ekstrak tauge 50 mg/hari dan 200 mg/hari didapatkan
kadar kolesterol total sebesar 60,80±4,55 dan 69,00±10,98 mg/dl sedangkan pada
kelompok perlakuan yang diberi ekstrak tauge 100 mg/hari terjadi penurunan kadar
kolesterol total, yaitu 52,40±6,58 mg/dl. Kadar kolesterol HDL pada kelompok perlakuan
yang diberi ekstrak tauge 50 mg/hari dan 200 mg/hari, yaitu 27,80±3,56 mg/dl dan

10
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

22,75±2,75 mg/dl sedangkan pada kelompok yang diberikan ekstrak tauge 100 mg/hari
terjadi penurunan kadar kolesterol HDL, yaitu 19,80±2,17 mg/dl. Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya bahwa suatu bahan ekstrak dapat memiliki fungsi ganda, yaitu
sebagai antioksidan dan prooksidan yang berkaitan dengan besarnya dosis bahan tersebut
(Schwartz, 1996). Penelitian lain menyatakan bahwa tanaman herbal mengandung
berbagai macam zat aktif sehingga dapat memberikan lebih dari satu efek farmakologi
yang saling mendukung dan dapat pula saling berlawanan (Trianggadewi, 2010).
Rasio kolesterol total : kolesterol HDL digunakan untuk memprediksi dan
mengevaluasi tata laksana penyakit jantung koroner. Penurunan rasio ini memberikan
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan menurunkan kadar kolesterol LDL saja
ataupun meningkatkan kadar kolesterol HDL saja (Sharaf dan Ali, 2004; Real et al,
2001). Pada penelitian ini didapatkan penurunan rasio rasio kolesterol total : HDL pada
kelompok yang diberi ekstrak tauge 50 mg/hari. Peningkatan dosis pemberian ekstrak
tauge meningkatkan rasio ini. Peningkatan rasio akan berdampak terhadap peningkatan
kejadian penyakit jantung koroner. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pasien
yang memiliki rasio kolesterol total : kolesterol HDL >5.5 dan merokok >20 batang/hari
memiliki risiko tiga kali lipat mengalami infark miokard (Keil et al, 1998). Penelitian lain
menyatakan bahwa penurunan rasio kolesterol total : kolesterol HDL dapat memperbaiki
kualitas pembuluh darah. Penurunan rasio kolesterol total : kolesterol HDL memiliki
korelasi dengan penurunan kadar nitrit pada pasien dengan penyakit arterial perifer
(Bleda et al, 2012).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak tauge


(Vigna radiata) pada dosis rendah, yaitu 50 mg/hari dapat menurunkan rasio kolesterol
total : kolesterol HDL.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui


program BOPTN/Penelitian Dosen Pemula berdasarkan SPK No.
1503/UN25.3.1/LT.6/2013.

DAFTAR PUSTAKA

Amr, Rezq A, Abeer, El-Khamisy E. 2011. Hypolipidemic and Hypocholesterolemic


Effect of Pine Nuts in Rats Fed High Fat, Cholesterol-Diet. World Appl Sci J., 15
(12): 1667-1677.

Bleda, S, Joaqu´ın de Haro, Varela C, Esparza L, Rodriguez J, Acin F. 2012. Improving


Total-Cholesterol/HDL-Cholesterol Ratio Results in an Endothelial Dysfunction
Recovery in Peripheral Artery Disease Patients. Cholesterol Volume 2012: 1-6.

Boik J. 1996. Cancer and Natural Medicine. USA: Oregon Medical Press. 150-156. Dewi
NCP. 2013. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kacang Hijau (Phaseolus radiatus)
terhadap Kadar Kolesterol LDL Serum Tikus Hiperkolesterolemia. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

11
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Fulks M, Stout RL, Dolan VF. 2009. Association of Cholesterol, LDL, HDL,
Cholesterol/HDL and Triglyceride with All-Cause Mortality in Life Insurance
Applicants. J Insur Med 41: 244-253.

Ratnawati H, Widowati W. 2011. Anticholesterol Activity of Velvet Bean (Mucuna


pruriens L.) towards Hypercholesterolemic Rats. Sains Malaysiana 40(4)(2011):
317–321.

Hapsari AI, Poernomo B, Dhamayanti Y. 2009. Perbandingan efek pemberian sari kedelai
kuning dan hitam terhadap rasio kolesterol LDL/HDL darah tikus putih (Rattus
norvegicus) dengan diet tinggi lemak. Artikel Ilmiah. Surabaya: FKH Universitas
Airlangga.

Hayek T, Ito Y, Azrolan N, Verdery RB, Aaltosetala K, Walsh A, Breslow JL. 1993.
Dietary fat increases high density lipoprotein (HDL) level both by increasing
transport rates and decreasing the fractional catabolic rates of HDL cholesterol
ester and apolipoprotein (Apo) A-1. Presentation of a new animal model and
mechanistic studies in human Apo-A1 transgenic and control mice. J Clin Invest,
Apr 91(4): 1665-1671.

Iswandari R. 2008. Studi Kandungan Isoflavon pada Kacang Hijau, Tempe Kacang Hijau,
dan Bubur Kacang Hijau. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

Komala I. 2008. Kandungan Gizi Produk Peternakan.


http://www.ppiupm.net/index.php?option=comcontent&view=article&id=49:kan
dungangiziprodukpeternakan&catid=3:sect2kat1&Itemid=17

Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. 2010. Robbins and Cotran: Pathologic Basis of
Disease 8th edition. Philadelphia: Saunders, pp. 496-506.

Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan hewan coba. Gajah Mada University Press.
Jogjakarta, hal 5-8, 25-45, 71-77, 82-112.

Lilly LS. 2011. Pathophysiology of Heart Disease Fifth Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer, pp 114, 119.

Lamanepa MEL. 2005. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi Aterosklerosis
pada Tikus Wistar yang diberi Diet Perasan Pare dengan Diet Perasan Pare dan
Statin. Tesis tidak dipublikasikan. Semarang: Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, hal 44, 48-51, 115.

Middleton E, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The Effects of Plant Flavonoids on


Mammalian Cells: Implications for Inflammation, Heart Disease, and Cancer.
Pharmacol Rev 52: 673–751.

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper’s Illustrated
Biochemistry, Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, 215,
219-229.

12
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Real JT, Chaves FJ, Martinez-Uso I, Garcia-Garcia AB, Ascaso JF, Carmena R. 2001.
Importance of HDL cholesterol ratio as a risk factor coronary heart disease in
molecularly defined heterozygous familial hypercholesterolemia. European Heart
Journal 22, 465-471.

Rohmatussolihat. 2009. Antioksidan, Penyelamat Sel-Sel Tubuh Manusia. BioTrends,


Vol 4, No.1.

Ross R. 1999. Atherosclerosis-an inflammatory disease. NEJM January 14 Volume 340


Number 2: 115-26.

Schwartz HL. 1996. The Dual Roles of Nutrients as Antioxidant and Prooxidants: Their
Effect on Tumor Cell Growth. Journal of Nutrition, 22:1221-1227.

Setiawan B, Erawati. 2012. Efek Proteksi dari Curcumin terhadap Sel Endotelium pada
Stres. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.

Sharaf KH, Ali JS. 2004. Hypolemic effect of Kuub (Gundelia tournefotii A.) oil and
clofibrate on lipid profile of atherosclerotic rats. Veterinarski Arhiv 74(5), 359-
368.

Trianggadewi DP. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Labu Siam (Sechium edule (Jacq.)
Sw.) terhadap Kadar Kolesterol LDL Tikus Putih (Rattus Norvegicus) yang
Diinduksi dengan Pakan Hiperkolesterolemia. Skripsi. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

World Health Organization. 2009. Cardiovascular Diseases.


http://who.int/medicacentre/factsheets/fs317/en/index.html, [6 Maret 2013].

Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S. 2004. Effect of potentially modifiable risk factors


associated with myocardial infarction in 52 countries. Lancet 364(9438): 937-
952.

13
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PEWARISAN GEN SOSUT1 PADA TEBU


PRODUK REKAYASA GENETIK (PRG) GENERASI
T1
Parawita Dewanti1,3), Purnama Okviandari2,3), Anna Sofyana1,3), Fadrian Ramadhan1,3)
dan Bambang Sugiharto2,3)
1) 2)
Fakultas Pertanian, Fakultas MIPA dan CDAST (Center for Development Advance of
Sciences Technology) Universitas Jember
E-mail : parawita65@gmail.com

ABSTRAK

Tanaman Tebu PRG generasi T1 merupakan tanaman Produk Rekayasa Genetik yang diperoleh
dengan cara transformasi gen SoSUT1 ke tanaman tebu var. Bulu Lawang (BL) melalui
Agrobacterium tumefaciens. Menurut beberapa referensi menyatakan bahwa tidak semua tanaman
PRG generasi T1 dapat mewarisi gen dari tanaman induknya. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengujian tentang pewarisan gen SoSUT1 pada tebu PRG generasi T1. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan tebu PRG yang membawa gen SoSUT1 seperti pada induknya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 6 tanaman tebu PRG generasi T1 yang sudah dikonfirmasi dan
dinyatakan telah mewarisi gen SoSUT1 seperti induknya.

Kata Kunci: Tebu (Saccharum officinarum), gen SoSUT1, Produk Rekayasa genetik (PRG),
Pewarisan gen

ABSTRACT

Genetically Modified Product (GMP) Sugarcane T1 generation crop obtained by genetic


transformation of SoSUT1 gene to sugarcane var. Bulu Lawang (BL) via Agrobacterium
tumefaciens. According to some references that not all GMP plants T1 generation can inherit the
genes from the mother plant. Therefore, it is necessary to test the inheritance of SoSUT1 genes in
GMP sugarcane T1 generation. This study aims obtained GMP sugarcane carrying SoSUT1 gene
as the parent.
The results showed that there were 6 GMP sugarcane T1 generation has been confirmed
and found to have inherited the gene SoSUT1 as its parent.

Keywords: Sugarcane (Saccharum officinarum), gene SoSUT1, Genetically Modified Product


(GMP), gene inheritance

PENDAHULUAN

Tanaman tebu Produk Rekayasa Genetik (PRG) merupakan tanaman tebu yang
diperoleh melalui transformasi gen SoSUT1. Tanaman ini memiliki daya transport dan
akumulasi sukrosa di batang meningkat (Sugiharto, 2013). Menurut beberapa referensi,
gen yang diinsersikan pada tanaman produk rekayasa genetik (PRG) generasi T1 tidak
semuanya diwariskan (Choffnes, et al., 2001; Hart et al., 1992; Peng et al., 1995;
Robbins et al., 1998; Zhang et al., 1996). Oleh karena itu, perlu dilakukan skrining secara
invitro dan dikonfirmasi keberadaan gen yang diinsersikan untuk mendapatkan tanaman
tebu produk rekayasa genetik (PRG) yang mewarisi gen dari tetuannya.
Tebu merupakan tanaman berbiji yang mampu melakukan penyerbukan sendiri,
namun untuk mendapatkan biji membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun. Tizaoui, K and
Kchouk, ME (2012) menyatakan bahwa tanaman tebu akan mewarisi gen dari tetuannya

14
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

jika dilakukan selfing (penyerbukan sendiri) hingga generasi ke-3 (T3). Oleh karena itu,
untuk mendapatkan tebu PRG generasi T1 dalam jumlah banyak secara singkat perlu
dilakukan mikropropagasi.
Tanaman hasil mikropropagasi diskrining pada media yang mengandung
antibiotik higromisin, karena pada tanaman tebu PRG mengandung konstuk gen penanda
hptII. Gen hptII merupakan sistem marker ketahanan antibiotik hygromycin yang
digunakan sebagai penanda dalam konfirmasi keberadaan gen yang telah diinsersikan
pada tanaman PRG. Adanya gen hptII menandakan bahwa tanaman PRG generasi T1
telah mewarisi gen SoSUT1 dari tetuannya. Tujuan penelitian adalah mendapatkan
tanaman tebu PRG generasi T1 yang mewarisi gen SoSUT1 dari tetuanya (T0).

METODE PENELITIAN

Bahan Tanam
Bahan tanam berupa tunas aksilar dan tunas lateral tebu PRG SoSUT1 generasi
T1 yaitu event B1.1, C1.1, C 2.1 (Sugiharto, 2011) dan tebu varieta BL berasal dari PTPN
XI kebun Jatiroto.
Media Kultur
Media untuk mikropropagasi terdiri dari media tanam A: MS0 + BA 2mgL-1,
kinetin 0,5mgL-1, glutamin 100mgL-1, dan vitamin 2 kali jumlah vitamin MS, pH 6,2.
Media tanam B: MS0 + GA3 0,1mg.L-1, BA 1,5mg.L-1 dan glutamin 100mg.L-1. Media
skrining (M1) : MS0 + higromisin 20mgL-1 + phytagel 2,5mgL-1 dan M2: MS0 +
higromisin 25mgL-1 + phytagel 2,5 mg/L-1. Sterilisasi media menggunakan autoclave
pada temperatur 1210C, tekanan 15-17,5 psi dengan waktu 20 menit.
Sterilisasi eksplan dan mikropropagasi
Tunas pucuk diambil dengan cara melewatkannya pada api buncen 3 kali,
kemudian membuka pelepah daun satu per satu hingga didapatkan tunas pucuk dengan
panjang kira-kira 20 mm untuk digunakan sebagai ekplan tunas aksilar. Pengambilan
tunas samping dilakukan dengan cara membuka pelepah daun, memotong daerah sekitar
tunas, kemudian disemprot alkohol 70%. Pengambilan mata tunas samping dilakukan
dengan cara mengambil lapisan yang menutupi mata tunas menggunakan skalpel. Tunas
samping disterilisasi menggunakan larutan klorok dengan pengenceran 1 : 3 (klorok :
aquadest steril) selama 5 menit. Setelah itu, direndam pada aquadest steril selama 5 menit
sebanyak 2 kali dan ditiriskan
Eksplan untuk mikropropagasi adalah tunas aksilar dan tunas lateral. Tunas
aksilar dikulturkan pada media A dan tunas lateral dikulturkan pada media B. Tunas yang
mempunyai tinggi kira-kira 5 cm siap di skrining.
Skrining tunas tebu
Skrining dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval 3 minggu. Skrining pertama
dilakukan pada media M1 dan skrining kedua dan ketiga dilakukan pada media M2.
Isolasi DNA
Daun 0,1 g digerus dengan menambahkan N2 cair. Serbuk yang didapatkan
dipindah ke microtube (1,5 ml) dan ditambahkan 600 µl Nucle lysis, kemudian divortex
dan diinkubasi pada suhu 650C selama 15 menit. Setelah itu, ditambahkan 3 µl RNAse
Solution, dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan microtube (swirling) 2-5 kali.
Setelah homogen, diinkubasi pada suhu 370C selama 15 menit, didinginkan pada suhu
ruang selama 5 menit. Selanjutnya, ditambahkan 200 µl Protein Precipitation Solution,
divortex, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit.
Supernatan yang telah didapat dipindah pada microtube 1,5 ml dan ditambahkan 600 µl
isopropanol, kemudian di swirling. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 13.000

15
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

rpm selama 1 menit. Pellet yang didapatkan ditambah 600 µl ethanol 70%, disentrifugasi
pada kecepatan 13.000 rpm selama 1 menit. Pellet yang dihasilkan diambil dan
dikeringkan selama 3 menit, ditambahkan 100 µl DNA Rehydration Solution dan
diinkubasi pada suhu 650C selama 1 jam. Selanjutnya DNA disimpan pada suhu 200C.
Konfirmasi keberadaan gen SoSUT1
Analisis DNA dilakukan dengan menggunakan Promega Master Mix. Primer
yang digunakan, untuk mengetahui keberadaan gen hptII digunakan primer
forward (5’CCGCAAGGAATCGGTCAATA-3) dan
reverse (5’CCCAAGCTGCATCATCGAAA-3) dari hptII (hygromycin
phosphotransferase).
Elektroforesis menggunakan marker 1 Kb Ladder (iNtRON
BIOTECHNOLOGY). Hasil elektroforesis dilihat di gel operating system dan
didokumentasikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Mikropropagasi bertujuan untuk mendapatkan planlet secara cepat dan


banyak. Hasil mikropropagasi pada tebu PRG generasi T1 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil mikropropagasi tebu PRG SoSUT1 dan wildtype
Event Jumlah tunas Jumlah Tunas Baru yang
dihasilkan
Tunas Pucuk Tunas Samping Tunas Pucuk Tunas Samping
wildtype 1 3 23 0
B1.1 1 4 0 53
B4.4 1 2 0 0
C1.1 1 4 11 10
C2.1 1 3 53 204

Tabel 1. menunjukkan bahwa dari 4 event yang dikulturkan, hanya 3 event tebu
PRG yaitu B1.1 ; C1.1 ; C2.1 yang berhasil tumbuh. Event C2.1 mempunyai jumlah tunas
baru paling banyak yaitu 204 tunas, kemudian diikuti oleh event B1.1 sebanyak 53 tunas
dan event C1.1 sebanyak 21 tunas. Pada varietas BL diperoleh 23 tunas.
Adanya perbedaan jumlah tunas yang dihasilkan pada masing-masing event
menunjukkan bahwa eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas dan
meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya (Azwin et al., 2006). Tunas yang
diperoleh pada saat mikropropagasi akan di skrining pada media M1 dan M2.
Skrining dilakukan dengan menambahkan antibiotik higromisin, karena dalam
konstruk gen terdapat gen hptII. Gen hptII merupakan gen yang mempunyai ketahanan
terhadap higromisin. Planlet yang mengandung gen hptII akan tumbuh pada media yang
mengandung higromisin yaitu media M1 dan M2. Planlet tebu PRG yang mampu tumbuh
pada media M1 dan M2 diduga mewarisi gen SoSUT1 dari tetuanya. Sedangkan planlet
yang tidak mengandung gen hptII apabila di tanam pada media M1 dan M2 akan mati,
seperti pada tebu var BL.
Hasil skrining 1 menunjukkan bahwa planlet masih mampu tumbuh dengan baik,
terlihat segar dan perakarannya lebat. Pada hasil skrining 2, planlet tampak kurang segar,
batang planlet remah, warna daun hijau pucat dan perakarannya sedikit. Pada skrining 3,
planlet tampak lebih segar dan akarnya juga lebih lebat dibandingkan pada skrining 2.
Planlet tebu var.BL pada skrining 1 belum mengalami kematian, hanya
menunjukkan gejala pencoklatan pada batang. Planlet masih mampu bertahan hidup pada
media antibiotik. Pada skrining 2, planlet mulai menunjukkan gejala kematian. Batang

16
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mencoklat, daun mengalami klorosis, bahkan ada juga yang mati. Pada skrining 3
mengalami kematian semua.
Hasil skrining tebu PRG SoSUT1 dan wildtype menggunakan antibiotik
hygromycin dapat dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2. Hasil skrining antibiotik hygromycin 3 event tebu PRG SoSUT1generasi T1 dan
wildtype
Rata-Rata Σ Skrining % Tan. Skrining % Tan. Skrining % Tan.
Event
Tan. Awal 1 Hidup 2 Hidup 3 Hidup
Wildtype 5 5 100 4 80 0 0
B1.1 20 13 65 7 54 3 42.9
C1.1 20 12 60 11 92 4 36.4
C2.1 30 23 77 13 57 3 23.1

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian planlet PRG yang ditumbuhkan secara in


vitro tidak semua mengandung gen hptII sehingga planlet mengalami kematian saat
berada pada media yang mengandung antibiotik (M1 dan M2). Akhir skrining hanya
diperoleh 3 tunas event B1.1, 4 tunas event C 1.1 dan 3 tunas event C2.1.
Adanya peningkatan konsentrasi antibiotik pada media dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya chimera dan escape. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Wiyono (2012) dan Dwinianti (2013), antibiotik dengan konsentrasi
rendah (10 mgL-1) pada media MS kurang efektif dalam menyeleksi planlet non
transforman dan mulai dikatakan efektif pada konsentrasi 20 mgL-1. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini konsentrasi antibiotik pada awal skrining adalah 20 mgL-1 dan
meningkat menjadi 25 mgL-1 pada skrining 2 dan 3. Konsentrasi antibiotik pada
media tidak ditingkatkan lagi karena dikhawatirkan planlet tebu yang mati bukan karena
tidak mengandung gen hptII, tetapi akibat terlalu tingginya konsentrasi antibiotik
hygromycin. Tingginya konsentrasi antibiotik hygromycin dapat menghambat
pertumbuhan planlet dengan menghambat proses sintesis protein yaitu pada proses
translokasi tRNA dan mRNA, berikatan dengan faktor elongasi sehingga menyebabkan
jaringan planlet mengalami gejala browning dan mati (Gritz and Davies, 1983).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hazmi (2009), persentase kematian
tunas tebu in vitro pada media MS0 dengan penambahan antibiotik hygromycin 30, 40
dan 50 mgL-1 mencapai 100% pada hari ke-28 setelah tanam sehingga pada penelitian ini
digunakan konsentrasi hygromycin sampai 25 mgL-1. Planlet PRG mampu bertahan hidup
dalam media antibiotik dengan konsentrasi yang meningkat pada setiap siklusnya
disebabkan planlet tersebut mampu mendegradasi antibiotik hygromycin sehingga tidak
toksik baginya.
Planlet hasil skrining 3 tampak segar kembali bila dibandingkan dengan kondisi
saat lolos dari skrining 2 menunjukkan sel planlet yang lolos skrining 2 merupakan sel
transforman yang sudah homogen sehingga ketika ditumbuhkan di media skrining
selanjutnya tampak lebih segar karena pertumbuhannya tidak terganggu antibiotik.
Kondisi ini berbeda dengan planlet yang berasal dari event wildtype yang mati semua
pada akhir skrining 3. Matinya semua planlet pada skrining 3 menunjukkan bahwa planlet
wildtype tidak terinsersi gen hptII sehingga pada saat ditumbuhkan pada media yang
mengandung antibiotik hygromycin, planlet mengalami kematian.
Terjadinya variasi penurunan jumlah planlet yang ditumbuhkan pada media
skrining 2 dan 3 diduga plantlet pada media seleksi 1 terhindar (escape), artinya ada
bagian planlet yang tidak langsung menyentuh permukaan media dan tetap tumbuh,

17
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

sehingga seolah-olah planlet tersebut tahan tumbuh di media seleksi 1, akan tetapi pada
saat ditumbuhkan di media seleksi 2 planlet tidak mampu bertahan hidup. Faktor lain
yang menyebabkan variasi penurunan jumlah planlet pada media skrining 2 dan 3 diduga
gen yang diwariskan ke generasi berikutnya belum stabil karena transgen tidak
terintegrasi dengan stabil di dalam kromosom planlet inang (Christou et. al., 1992).
Planlet yang lolos skrining hygromycin pada tahap sebelumnya merupakan
sampel analisis DNA menggunakan termocycle. Hasil analisis DNA menggunakan
termocycle tampak pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Hasil elektroforesis 1% gel agarose DNA 6 tanaman Tebu PRG SoSUT1
dengan pasangan primer hptII-1F/1R dan template sampel DNA genom planlet tebu. M:
Marker, K+: DNA plasmid pAct, K_ : planlet kontrol (wildtype).

Gambar 1. menunjukkan bahwa planlet tebu PRG SoSUT1 yang terdiri dari event
B1.1 ; B3.1 ; C1.1 ; C1.2 ; C2.1 dan C2.3 yang dianalisis menunjukkan bahwa planlet
tersebut positif PRG dengan terdeteksinya pita DNA dengan ukuran 470 bp pada gel
agarose yang merupakan gen hptII.

KESIMPULAN

1. Telah dikonfirmasi 6 tanaman tebu PRG SoSUT1 yang lolos skrining antibiotik
hygromycin, yaitu event B1.1 ; C1.1 ; C2.1 masing-masing 2 tanaman.
2. Enam tanaman Tebu PRG SoSUT1 T1 yang dikonfirmasi keberadaan gennya
merupakan planlet yang mewarisi gen SoSUT1 dari induknya, terbukti dengan
munculnya pita DNA hptII pada ukuran 470 bp.
DAFTAR PUSTAKA

Azwin, Iskandar z. Siregar, dan Supriyanto. 2006. Penggunaan Bap dan Tdz Untuk
Perbanyakan Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Media
Konservasi 11(3) : 98 – 104.
Choffnes D.S., Philip R., Vodkin L.O. 2001. A Transgenic Locus In Soybean Exhibits A
High Level of Recombination In vitro cell. Dev. Biol. Plant 37(6) : 756-762.
Christou, P., P. Vain, A. Kohli, M. Leech, J. Oard and S. Linscombe. 1992. Introduction
Of Multiple Genes Into Elite Rice Varieties : Evaluation Of Transgene Stability,
Gene Expression, and Field Performance Of Herbicide-Resistant Transgenic
Plant. Annal Of Botany 77 : 223-235.
Dwinianti, Edia F. 2013. “Transformasi gen sosut1 pada tanaman tebu (saccharum
officinarum l var. Bl) menggunakan Agrobacterium tumefaciens strain gv 3101

18
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

dan Eksplan pangkal tunas tebu in vitro.” Tidak Diterbitkan. Skripsi. Fakultas
MIPA UNEJ. Jember.
Gritz, L. and Davies J. 1983. Plasmid-encoded Hygromycin B Resistance: The Sequence
of Hygromycin B Phosphotransferase Gene and Its Expression in Escherichia
coli and Saccharomyces cerevisiae. Gene. 25 (2-3): 179-188.
Hart C.M., Fischer B., Neuhaus J.M., Meins F.J. (1992). Regulated Inactivation of
Homologous Gene Expression In Transgenic Nicotiana sylvestris Plants
Containing A Defense Related Tobacco Chitinase Gene. Mol. Gen. Genet. 235:
179-188.
Hasmi, M. 2009. “Pengembangan Metode Transformasi Melalui Agrobacterium
tumefaciens Pada Eksplan Pangkal Tunas Tebu In Vitro.” Tidak Diterbitkan.
Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang.
Peng J.,Wen F., Lister R.L., Hodges T.K. 1995. Inheritance of gusA and neo Genes In
Transgenic Rice. Plant Mol. Biol. 27: 91-104.
Robbins M.P., Bavage A.D., Strudwicke C.,Morris P. 1998. Genetic Manipulation Of
Condensed Tannins In Higher Plants II. Analysis of Birdsfoot Trefoil Plants
Harboring Antisense Dihydroflavonol Reductase Constructs. Plant Physiol.
116: 1133-1144.
Tizaoui, K and Kchouk, ME., 2012. Genetic approaches for studying transgene
inheritance and genetic recombination in three successive generations of
transformed tobacco. Genetics and Molecular Biology 35(3) : 640-649.
Wiyono, A. G. 2012. “Transformasi Gen SoSUT1 Menggunakan Agrobacterium
tumefaciens dan Eksplan Tunas Lateral pada Tanaman Tebu (Saccharum spp.
Hybrid).” Tidak Diterbitkan. Skripsi. FAPERTA UNEJ. Jember.
Wu, G., H. Cui, G. Ye, Y. Xia, R. Sardana, X. Cheng, Y. Li, I. Altosaar, and Q. Shu.
2002. Inheritanceand Expression Of The CryIAb Gene In BT (Bacillus
Thuringiensis) Transgenic rice. Theor. Appl. Genet. 104 : 727-734.
Zhang S.,Warkentin D., Sun B., Zhong H., Sticklen M. (1996). Variation In The
Inheritance of Expression Among Subclones For Unselected (uidA) and Selected (bar)
Transgenes In Maize (Zea mays L.). Theor. Appl. Genet. 92: 752-761

19
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

EFEKTIVITAS TIGA BIOINSEKTISIDA


MENGENDALIKAN HAMA PENTING PADA
PERTANAMAN TUMPANGSARI KUBIS-BAWANG
DAUN DI NGADISARI, TENGGER
Heppy P. Hariyani, Didik Sulistyanto, Wagiyana, W.S.Wahyuni
Fakultas Pertanian Universitas Jember
Jl. Kalimatan 37 Jember

ABSTRAK

Tiga bioinsektisida, Bacillus thuringiensis, Heterorabditis sp., dan Beauveria bassiana, diuji
efektivitasnya melawan hama Plutella xylostela, Spodoptera sp. dan Aphis sp., yang banyak
menyerang tanaman tumpangsari kubis dan bawang daun yang umum dilakukan masyarakat
pegunungan Tengger. P. xylostella banyak menyerang kubis dan Spodoptera sp., banyak
menyerang bawang daun. B.thuringiensis adalah bioinsektisida yang banyak digunakan untuk
mengendalikan hama-hama golongan Lepidoptera, dan ternyata juga mempunyai efektivitas yang
lebih tinggi untuk mengendalikan P. xylostella sebesar 45% pada tanaman kubis daripada
Heterorhabditis sp. dan B. bassiana. Akan tetapi, Heterorhabditis sp,. lebih efektif menurunkan
Spodoptera sp. dan Aphis sp. masing-masing 76% dan 36% pada tanaman kubis pada bulan
September-Desember. Populasi aphids secara alami menurun pada bulan Oktober-Desember
sehingga kematiannya mungkin bukan satu-satunya disebabkan aplikasi bioinsektisida. Pada
bawang daun, B. thuringiensis dan B.basiana dapat menurunkan populasi Spodoptera sp. dan
Aphis sp. masing-masing sebesar 75% dan 33%. Jadi efektivitas B. thuringiensis sebagai
bioinsektisida masih dianggap menempati urutan pertama diikuti dengan B. bassiana untuk
mengendalikan hama penting pada tanaman kubis dan bawang daun. Sayangnya, ketiga
bioinsektisida ini kurang dapat meningkatkan berat krop kubis dan bawang daun.

Kata Kunci : Biopestisida, Hama penting, Tumpangsari kubis-bawang daun, Ngadisari.

PENDAHULUAN

Kubis dan bawang daun termasuk tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan di
Indonesia. Begitu pula dengan luas areal panen kubis dan bawang daun setiap tahun terus
meningkat, karena prospek pemasaran komoditas ini menunjukkan kecenderungan yang
semakin baik (Laude, 2010). Dalam budidayanya kedua komoditas ini tidak terlepas dari
serangan Plutella xylostella, Aphis sp., dan Spodoptera sp.
Menurut Rauf et al (1993), rata-rata petani kubis mengeluarkan biaya sekitar 10-40%
dari biaya produksi untuk pembelian pestisida dengan jumlah penyemprotan 10-13 kali
musim tanam. Perilaku ini didasari dengan anggapan petani, bahwa insektisida kimia
mampu mengendalikan hama dengan cepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) efektivitas B. thuringiensis,
Heterorhabditis sp., dan B. bassiana, mengendalikan hama penting pada pertanaman
kubis dan bawang daun, di Desa Ngadisari, Tengger, (2) pengaruh bioinsektisida terhadap
produksi tanaman kubis dan bawang daun dan dibandingkan dengan hasil produksi
menggunakan pengendalian kimiawi.

METODE PENELITIAN

20
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Penelitian ini dilaksanakan di lahan di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,Tengger,


pada bulan September sampai dengan Desember 2013. Biopestisida yang digunakan
adalah Bacillus thuringiensis merek Thuricide dan Bactospine, NEP Heterorhabditis sp.,
dan Beauveria bassiana.
Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok, terdiri atas 5 perlakuan
dengan 7 kelompok ulangan. Perlakuan biopestisida yaitu; P1= Bacillus thuringiensis A
(merk dagang thuricide) 1gr/1 liter air, P2 = NEP Heterorhabditis sp. 10.000.000 IJ/ 15
liter, P3 = Bacillus thuringiensis B (merk dagang Bactospine) 1 gr/1 liter air, P4 =
Beauveria bassiana 2gr (725 spora 109/15 liter) / 15 liter air, P0 = Kontrol. Metode
pengamatan secara mutlak dengan menghitung populasi hama per satuan plot perlakuan.
Sampel diambil secara diagonal dengan 10 tanaman contoh pada tiap plot perlakuan.
Pengamatan populasi hama dilakukan satu hari sebelum aplikasi (H-1) dan tiga hari
setelah aplikasi (H+3). Aplikasi dilakukan setiap 10 hari sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menunjukkan B. thuringiensis mampu menekan populasi P.


xylostella pada tanaman kubis. Bulan September-Desember adalah musim hujan,
sehingga curah hujan dapat mempengaruhi populasi P. xylostella. Kematian larva akibat
curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda (instar ke-1 dan ke-2) daripada larva
instar ke-3 dan larva instar ke-4. Populasi P. xylostella meningkat di musim
kemarau atau apabila cuaca kering selama beberapa minggu, terutama iterjadi setelah
kubis berumur enam sampai delapan minggu. Hal ini sesuai dengan penemuan
Sudarwohadi (1975).

Gambar 1. Hubungan umur tanaman kubis (HST) dengan populasi P. xylostella pada
perlakuan APH sebelum dan sesudah aplikasi (*)

Dari Gambar 1 ditemukan bahwa B.thuringiensis mempunyai efektivitas tertinggi


mengendalikan P. xylostella. Makin bertambah umur tanaman, populasi P. xylostella
makin rendah. Suharto et al, (2003), juga menemukan bahwa P. xylostella asal
Probolinggo rentan terhadap bakteri B. thuringiensis. Petani daerah Bromo khususnya
Desa Ngadisari belum pernah memakai insektisida B. thuringiensis untuk pengendalian

21
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

OPT, sehingga di daerah tersebut tidak ada indikasi bahwa hama tersebut mengalami
resistensi terhadap B. thuringiensis.
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata (Duncan 5%).
Perlakuan Heterorhabditis sp., paling efektif dalam menurunkan populasi Spodoptera
sp., pada tanaman kubis menurunkan populasi sebesar 76% dengan rata-rata populasi
sebesar 23 ekor/ 10 tanaman pada umur tanaman 71 HST.. Diketahui bahwa larva
Spodoptera sp., memilliki kebiasaan masuk kedalam tanah (Armyworm) sehingga NEP
Heterorhabditis sp., yang memiliki perilaku aktif mencari dan menyerangnya, seperti
penemuan Kaya and Gaugler (1993); Ilhami
2011). Hal inilah yang menyebabkan Heterorhabditis sp., lebih efektif mengendalikan
populasi hama Spodoptera sp., dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata (Duncan 5%).

Perlakuan B. bassiana pada tanaman bawang daun paling efektif dan menurunkan
populasi Spodoptera sp., sebesar 73% pada umur 61 HST dengan rata-rata populasi
Spodoptera sp. 4 ekor/ 10 tanaman. Menurut Budi (2013), B.bassiana dengan kerapatan
spora 109 spora/ml dapat menyebabkan kematian Spodoptera sp hingga 51,37 %. Makin
tinggi kerapatan spora makin banyak jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva
Spodoptera sp dan masuk kedalam tubuh Spodoptera sp., ketika bersinggungan dengan
kutikula serangga.

22
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 2. Hubungan umur tanaman kubis (HST) dengan populasi Aphis sp., pada
perlakuan APH sebelum dan sesudah aplikasi (*)

Menurut Riatno dan Santoso (1991), B. bassiana memenetrasi ke dalam tubuh nimfa
dan imago Aphis sp., melalui kulit antara ruas-ruas tubuh. Setelah berhasil masuk ke
dalam tubuh serangga akan mengeluarkan toksin beauverisin yang membuat kerusakan
jaringan tubuh serangga, 2 hari kemudian serangga akan mati dan miselia cendawan akan
tumbuh ke seluruh bagian tubuh serangga.
Populasi Aphis sp., umur 41 HST hingga 61 HST pada tanaman bawang daun mulai
mengalami peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan bawang daun yang makin besar.
Serangan Aphis sp., diketahui banyak terjadi pada musim kemarau, yaitu pada saat udara
kering dan suhu tinggi (Setiadi, 1993). Curah hujan dapat mencuci dan menurunkan
populasi Aphis sp., pada 41 hingga 61 HST saat hujan menjelang datang (Gambar 2).
Perlakuan B. thuringiensis merek Thuricide menghasilkan berat basah krop kubis
terbesar 10,03 kg/ 5krop, sedangkan kontrol mencapai 4,93 kg/ 5 krop kubis. Secara
keseluruhan berat basah krop kubis pada semua perlakuan biopestisida masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan berat basah krop kubis milik petani yang memakai
perlakuan kimiawi yang mencapai 20,95 kg/ 5 krop kubis (Gambar 3). Hal ini disebakan
karena lahan percobaan kekurangan air. Sehingga pada masa pertumbuhan vegetatif akan
menghambat pertumbuhan daun.. Frekuensi penyemprotan 7 hari sekali yang dilakukan
petani dengan pemakaian insektisida kimiawi dapat membunuh serangga pengganggu
lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan biopestisida di lahan penelitian. Salikin
(2003), menerangkan bahwa prinsip pengendalian menggunakan biopestisida ini
membutuhkan waktu cukup lama untuk beradaptasi dengan lingkungan.

23
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 3. Rata-rata berat basah krop kubis/ 5 krop kubis

Berat basah tanaman bawang daun tertinggi 5,55 kg/ 5 tanaman bawang daun pada
perlakuan B. thuringiensis dan perlakuan Heterorhabditis sp., memiliki berat basah
terendah mencapai 4,8 kg/ 5 tanaman bawang daun. Berat basah tanaman bawang daun
dari petani dapat mencapai 5,6 kg/ 5 tanaman bawang daun.

Gambar 4. Rata-rata berat basah tanaman bawang daun/ 5 tanaman daun.

Pada dasarnya hama Spodoptera sp., dan Aphis sp., lebih banyak menyerang tanaman
kubis dibandingkan tanaman bawang daun. Pada plot perlakuan kontrol tanaman bawang
daun lebih subur dan memiliki berat basah lebih besar. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan tanaman kubis yang subur dan lebat akan berbanding terbalik dengan
tanaman bawang daunnya. Ini dikarenakan kompetisi dalam penyerapan unsur hara, air
dan ruang tumbuh antar tanaman. (Patty, 2012).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Desa Ngadisari,


Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo:
1. Aplikasi B. thuringiensis efektif menurunkan populasi hama P. xylostella sampai
dengan 45% sedangkan aplikasi Heterorhabditis sp., efektif menurunkan populasi
hama Spodoptera sp., pada tanaman kubis sampai dengan 76%.

24
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

2. Aplikasi B. bassiana efektif menurunkan populasi Aphis sp., dan Spodoptera sp., pada
tanaman bawang daun sampai dengan 33% dan 75%..
3. Perlakuan biopestisida memberikan produksi kubis dan bawang daun pada lahan
penelitian dengan hasil yang lebih rendah dari perlakuan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Budi, A.S., Afandhi, A., dan Puspitarini, R.D. 2013. Patogenisitas Jamur Entomopatogen
Beauveria bassiana Balsamo (Deuteromycetes: Moniliales) Pada Larva
Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal HPT. Volume 1(1).

Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Entomopathogenic Nematodes. Annu Rev. Entomol.
38: 181-206.

Patty, J.A. 2012. Peran Tanaman Aromatik dalam Menekan Perkembangan Hama
Spodoptera litura pada Tanaman Kubis. J. Agrologis. Vol.1(2)

Rauf,A., T.R. Omoy, Widodo dan Dadan. 1993. Survei Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Petani Kubis dan Kentang di Kabupaten Bandung. Lap. Studi Pendukung PHT-
SDT.

Suharto., Sulistyanto. D., Entin. 2003. Resistensi Plutella xylostella L. dari Jawa Timur
Terhadap Insektisida Bacillus thuringiensis. Disajikan pada Kongres VI
Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Simposium Entomologi, Cipayung Bogor
Maret 6-7, 2003. 12 p.

25
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENGARUH PEMBERIAN KOLKISIN TERHADAP


PRODUKSI UMBI DAN UMUR BERBUNGA
TANAMAN SEDAP MALAM (Polianthes tuberose L.) DI
DATARAN MEDIUM

THE EFFECT OF COLCHICINE APLICATION ON


BULBS PRODUCTION AND DAYS REQUIRED FOR
FLOWERING OF TUBEROSE (Polianthes tuberosa L.)
IN PLAIN MEDIUM
Yekti Sri Rahayu1 dan Istiyono K.Prasetyo1
1)
Fakultas Pertanian Univ. Wisnuwardhana Malang
Email: yektisr@ymail.com

ABSTRAK

Pengembangan bunga sedap malam di dataran medium belum banyak dilakukan karena kondisi
agroeklogis dapat mempengaruhi lama umur berbunga, sementara potensi daya adaptasi tanaman
sedap malam sangat luas hingga ke dataran tinggi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui umur
berbunga dan potensi produksi umbi tanaman sedap malam di dataran medium dengan aplikasi
bahan kolkisin. Penelitian dilakukan di kelurahan Cemorokandang Malang, menggunakan
Rancangan Acak Kelompok, terdiri dari dua faktor yaitu lama perendaman (W) dan tingkat
konsentrasi. Pengamatan dilakukan terhadap umur berbunga dan produksi umbi tanaman sedap
malam. Data hasil penelitian dianalisis sidik ragam, dilanjutkan Uji Jarak Duncan pada taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi 300 ppm
dengan lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih cepat yaitu 106
hari setelah tanam (hst), sementara pada konsentrasi kolkisin 0 ppm dengan lama perendaman 9
jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih lama yaitu 214 hst. Pengamatan terhadap
produksi umbi/anakan tanaman sedap malam menunjukkan pada tingkat konsentrasi 100 ppm
dengan lama perendaman 9 jam dan pada konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 9 dan 6
jam menghasilkan rerata produksi umbi atau anakan yang lebih banyak.

Kata kunci: tanaman sedap malam, kolkisin, umur berbunga, jumlah umbi, dataran medium

ABSTRACT

Development of tuberose flowers in plain medium has not been done, while the potential
adaptability tuberose plant is a very wide up to the plateau. The research was conducted to
determine the days requiered for flowering and the potential production of tuberose bulbs in plain
medium with application of colchicine. The research was conducted in the village
Cemorokandang, Malang City and arranged using a randomized block design, with factors of
immersion time and colchicines concentration. The data were analyzed variance, followed by
Duncan Range Test at the 5% level. The results showed that application of colchicine at a level of
300 ppm with 6 hours immersion time resulted in days requiered for flowering faster that is 106
days after planting (dap), while the concentration of colchicine 0 ppm with 9 hours of immersion
time resulted in the average days for a longer flowering i.e 214 dap. Observation of the bulb
production of tuberose show at a concentration level of 100 ppm with an immersion time of 9
hours and at a concentration of 300 ppm with an immersion time of 9 and 6 hours resulted in bulb
production of tuberose more than other treatments.

26
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keyword: tuberose, colchicine, days to flowering, number of bulb, plain medium

PENDAHULUAN

Tanaman sedap malam (Polianthes tuberose L.) adalah satu dari tanaman hias
berbunga beraroma wangi yang sangat popular, termasuk keluarga Amarylidaceae (Reid,
1996). Bunga sedap malam secara komersial dibudidayakan karena memiliki potensi
ekonomi sebagai bunga potong untuk seni karangan bunga atau buket, memiliki daya
pajang yang cukup lama dan mengandung minyak esensial untuk industri (Singh, 1995).
Bunga sedap malam selain digunakan untuk upacara ritual, acara-acara adat kebudayaan,
juga dapat digunakan sebagai bunga potong maupun sebagai elemen dalam taman
(Wardiyono, 2009).
Berkaitan dengan besarnya permintaan terhadap tanaman sedap malam, maka
upaya pengembangan pembudidayaan tanaman ini menjadi hal yang penting untuk
dikembangkan baik di dataran rendah hingga dataran tinggi. Di jawa Timur, penanaman
tanaman sedap malam secara luas dikembangkan di daerah Bangil Pasuruan dan
sekitarnya. Sementara itu, penanaman tanaman sedap malam khususnya varietas Roro
anteng di dataran medium belum banyak dilakukan. Padahal jika menilik pada daya
adaptasinya, menurut Plantus (2008) tanaman sedap malam termasuk salah satu jenis
flora introduksi dari Amerika yang memliki kemampuan adaptasi dengan baik di daerah
beriklim panas (tropis), dan di Indonesia cocok dikembangkan di dataran menengah
sampai tinggi. Pemroduksi tanaman sedap malam selama ini umumnya khawatir, bahwa
kondisi agroekologis di dataran yang lebih tinggi dapat memepengaruhi umur panen
tanaman sedap malam yang lebih lama jika dibandingkan di dataran rendah.
Kekhawatiran masyarakat akan kemampuan tumbuh tanaman sedap malam di dataran
yang lebih tinggi selain di daerah pengembangannya selama ini di dataran rendah tidak
cukup beralasan karena masih jarangnya penelitian yang dilakukan untuk hal tersebut.
Kolkisin adalah bahan mutagen yang secara umum dikenal memiliki kemampuan
untuk memodifikasi sel pertumbuhan karena berpengaruh pada nukleus yang sedang
membelah. Kolkisin banyak digunakan dalam teknik poliploidi untuk membudidayakan
spesies baru yang menghasilkan sifat-sifat positif. Hasil penelitian Permadi et al. (1991)
menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi kolkisin
pada poliploidisasi bawang merah ”Sumenep” yang dapat menentukan efektifitas induksi
poliploidi. Hasil yang diperoleh diantaranya bentuk bawang merah yang lebih pendek,
jumlah daun sedikiti, daun lebih tebal. Sementara hasil penelitian Rahayu dan
Kirnoprasetyo (2013) menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi kolkisin dan lama
perendaman tidak berpengaruh nyata pada panjang tanaman sedap malam, namun
berpengaruh nyata pada organ vegetatif lainnya seperti penambahan jumlah daun dan luas
daun pada tingkat konsenetrasi kolkisin 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam dan
pada tingkat konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman 9 jam. Peningkatan
konsentrasi kolkisin hingga 500 ppm dan lama perendaman hingga 12 jam justru
menurunkan rata-rata jumlah daun dan luas daun tanaman sedap malam.
Pengaruh bahan kolkisin terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman sedap malam
diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap organ pertumbuhan tanaman
sedap malam lainnya. Untuk itu penelitian ini dilakukan selain untuk mengetahui
kemampuan tumbuh tanaman sedap malam di dataran medium, juga untuk mengetahui
pengaruh dari aplikasi pemberian kolkisin terhadap organ vegetatif yaitu jumlah umbi
yang dihasilkan serta umur berbunga tanaman sedap malam yang ditanam di dataran
medium. Harapan dari penelitian ini adalah upaya perbaikan pertumbuhan secara mutasi
genetik melalui penggunaan kolkisin dan interaksi tanaman dengan kondisi agroekologi

27
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

di dataran medium memberikan respon yang baik bagi pertumbuhannya. Penggunaan


kolkisin diberikan mengingat kemampuan kolkisin sebagai bahan mutagen pada tanaman,
selama ini telah banyak dibuktikan dapat memberikan pengaruh nyata pada beberapa
tanaman. Pemberian bahan mutagen seperti kolkisin adalah untuk mutasi yang
menyebabkan terjadinya poliploid dimana organisme memiliki tiga atau lebih kromosom
dalam sel-selnya, dimana sifat umum tanaman hasil poliploidisasi secara umum adalah
menjadi lebih kekar, bagian tanaman lebih besar (akar, batang,daun,bunga,dan buah),
sehingga nantinya sifat-sifat yang kurang baik akan menjadi lebih baik tanpa mengubah
potensi hasilnya (Hieter &Griffiths,1999 dalam Sulistianingsih, 2004).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di lahan dataran medium yang berlokasi di kelurahan


Cemorokandang, kecamatan Kedungkandang Kota Malang dengan ketinggian tempat
sekitar 610 m dpl.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain umbi sedap malam varietas Roro
Anteng, kolkisin dengan bahan aktif 95% yang telah mengalami pengenceran, aquades,
alkohol 95%, kertas saring, pupuk kandang, dan pupuk Urea dan Ponska. Sementara alat-
alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ember, aluminium foil, cangkul,
sabit, kored, cethok, gembor, penggaris, meteran, jangka sorong, cutter, pisau, gelas ukur,
labu ukur, pipet ukur, botol sampel, kamera digital.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, yang
terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah lama perendaman (W) : 3 jam (W1); 6 jam
(W2); 9 jam (W3); dan 12 jam (W4) sementara faktor kedua adalah tingkat konsentrasi
kolkhisin: 0 ppm (P0); 100 ppm (P1); 300 ppm (P2); dan 500 ppm (P3). Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga dalam penelitian ini terdapat 48 unit
percobaan. Tanaman contoh yang diamati sebanyak 4 tanaman tiap perlakuan.
Bahan tanam yang digunakan adalah umbi sedap malam varietas Roro Anteng yang
memiliki diameter seragam sekitar 2-3 cm. Umbi yang telah diseleksi selanjutnya
direndam dalam larutan kolkisin dengan konsentrasi dan lama perendaman sesuai dengan
perlakuan. Selanjutnya umbi ditanam pada bedengan dengan ukuran 1,5 m X 0.90 m.
Jarak antar bedengan sekitar 30 cm dan jarak antar ulangan sekitar 50 cm. Penambahan
pupuk kandang yang telah matang diberikan sebagai pupuk dasar dengan dosis 10 ton/ha.
Pemeliharaan tanaman sedap malam meliputi penyiraman, penyiangan terhadap gulma,
pemupukan susulan, dan pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan hingga
tanaman berbunga dan siap dipanen. Untuk selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap
jumlah umbi yang dihasilkan dan umur berbunga tanaman sedap malam.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan Analisis Varian
(ANOVA). Jika terdapat pengaruh nyata dari faktor yang diberikan dilanjutkan pengujian
dengan Uji Jarak Duncan (DMRT) taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara tingkat konsentrasi dan
lama perendaman kolkisin yang beragam terhadap umur berbunga dan jumlah umbi yang
dihasilkan tanaman sedap malam.
Tabel 1 menunjukkan bahwa lama perendaman memberikan pengaruh nyata
terhadap jumlah umbi atau anakan tanaman sedap malam pada tingkat konsentrasi 100
dan 300 ppm. Pada tingkat konsentrasi 100 ppm, lama perendaman 9 jam menghasilkan
rerata jumlah umbi atau anakan yang lebih tinggi dibanding lama perendaman 3, 6 dan 12
jam. Sementara itu pada tingkat konsentrasi kolkisin 300 ppm, lama perendaman 9 jam

28
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

menghasilkan rerata jumlah umbi atau anakan yang lebih tinggi dibanding lama
perendaman 3 dan 12 jam, namun tidak berbeda nyata dengan jumlah umbi atau anakan
pada lama perendaman 6 jam.

Tabel 1. Rerata jumlah umbi tanaman sedap malam akibat interaksi antara tingkat
konsentrasi dan lama perendaman kolkhisin.
Rerata Jumlah Umbi
Tingkat Lama perendaman (jam)
konsentrasi
(ppm) 3 6 9 12
0 2.58 abc 1.5 a 1.5 a 1.75 abc
100 1.77 abc 1.83 abc 3.48 cd 2.08 abc
300 1.67 ab 2.92 bcd 3.5 d 1.92 abc
500 2.12 abc 1.42 a 2.58 abcd 2.67 abcd
P Ns
W *
PxW **
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Jarak Duncan 5% ; P : tingkat konsentrasi kolkisin, W : lama
perendaman
Tabel 2. Rerata umur berbunga tanaman sedap malam akibat interaksi antara tingkat
konsentrasi dan lama perendaman kolkhisin.
Rerata Umur Panen (HST)
Tingkat Lama perendaman (jam)
konsentrasi
(ppm) 3 6 9 12
0 170.33 abcd 157.00 abcd 214.33 d 147.00 abc
100 130.00 ab 152.67 abcd 168.33 abcd 168.33 abcd
300 194 bcd 106.00 a 146.00 abc 202 cd
500 154.33 abcd 156.00 abcd 158.00 abcd 156.33 abcd
P Ns
W *
PxW **
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Jarak Duncan 5% ; P : tingkat konsentrasi kolkisin, W : lama
perendaman

Tabel 2 menunjukkan bahwa lama perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap


umur berbunga tanaman sedap malam pada tingkat konsentrasi 0 ppm dan 300 ppm. Pada
tingkat konsentrasi 0 ppm, lama perendaman 9 jam menghasilkan rerata umur berbunga
yang lebih lama yaitu 214 hari setelah tanam (hst) dibanding lama perendaman 12 jam
yang rerata umur panennya 147 hst. Sementara pada tingkat konsentrasi kolkisin 300
ppm, lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih cepat yaitu
umur 106 hst dibanding lama perendaman 3 dan 12 jam, namun tidak berbeda nyata
dengan umur berbunga pada lama perendaman 9 jam yang dapat dipanen pada umur 146
hst.
Pembahasan
Suryo (1995) menerangkan bahwa karakteristik morfologi merupakan salah satu
indikator untuk melihat keberhasilan poliploidisasi. Perubahan karakteristik morfologi
tanaman dapat disebabkan karena adanya perubahan pada gen atau kromosom yang

29
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mengalami mutasi. Pada sel-sel somatis, mutasi terjadi pada saat pembelahan mitosis.
Bila perubahan terjadi pada suatu bagian tanaman, maka bagian tersebut akan
memberikan respon kenampakan yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi penggunaan kolkisin pada beberapa
tingkat konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah
umbi atau anakan dan umur berbunga tanaman sedap malam. Hasil jumlah umbi dari
anakan yang dihasilkan menunjukkan bahwa pada konsentrasi 300 ppm lama perendaman
9 jam dan 6 jam serta pada konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman 9 jam
menghasilkan rerata jumlah umbi yang lebih banyak, secara berurutan yaitu 3.5, 2.99 dan
3.48 umbi anakan. Hal ini diduga berkaitan dengan tunas pada umbi sedap malam yang
tersebar disepanjang umbi, sehingga aplikasi konsentrasi dan lama perendaman
memberikan pengaruh pada pertumbuhan tunas yang menghasilkan umbi anakan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Zuhrah (2009) dimana interaksi antara konsentrasi
kolkisin dan lama perendaman berpengaruh terhadap jumlah umbi anakan tanaman sedap
malam. Hasil penelitian Zuhrah (2009) menunjukkan bahwa konsentrasi 200 ppm dengan
lama perendaman 9 jam menghasilkan rata-rata umbi anakan yang lebih banyak yaitu
4.69 umbi, dibanding perlakuan tanpa kolkisin, meski tidak berbeda nyata dengan
perlakuan konsentrasi kolkisin 100 ppm dan 300 ppm dengan lama perendaman 3,6, dan
9 jam.
Avery et al. (1947) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada tanaman
akibat pemberian kolkisin bisa bervariasi. Sebagian tanaman mengalami mutasi pada
hampir seluruh bagian tanaman mulai titik tumbuh hingga organ generatif, namun
sebagian lainnya hanya mengalami mutasi pada beberapa organ saja. Sehingga kolkisin
yang diberikan kepada setiap individu tanaman tidak mempengaruhi semua sel tanaman,
tetapi hanya sebagian sel-sel saja. Adanya pengaruh yang berbeda pada sel-sel tanaman
karena kolkisin hanya efektif pada sel yang sedang aktif membelah.
Mutasi pada tanaman dapat diartikan sebagai suatu proses dimana gen mengalami
perubahan struktur. Tanaman hasil mutasi menurut Anthony et al (2000) dapat
menguntungkan secara komersiel karena tanaman dapat mengalami peningkatan jumlah
kromosom yang menyebabkan pertambahan ukuran sel, ukuran bunga, ukuran buah,
stomata dan bagian-bagian lainnya.
Hasil penelitian pada umur berbunga menunjukkan bahwa interaksi antara tingkat
konsentrasi pemberian kolkisin dengan lama perendaman memberikan pengaruh nyata.
Perlakuan kontrol tanpa pemberian kolkisin (0 ppm) dengan lama perendaman 3, 6 dan 9
jam secara umum memperlambat umur berbunga tanaman sedap malam, dimana secara
berturut-turut menghasilkan rerata umur berbunga selama 170, 157 dan 214 hari setelah
tanam. Sementara dengan pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi 100 ppm dengan
lama perendaman 3 jam dan tingkat konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam
menghasilkan rerata umur bebrunga yang lebih cepat yaitu berturut-turut 130 dan 106
hari setelah tanam. Namun peningkatan lama perendaman hingga 12 jam pada tingkat
konsentrasi kolkisin 300 ppm dan pemberian kolkisin pada tingkat 500 ppm dengan lama
perendaman 3, 6, 9 dan 12 jam secara umum justru menyebabkan rata-rata umur
berbunga tanaman sedap malam menjadi lebih lama. Secara berturut-turut yaitu bunga
dapat dipanen pada umur 202 hst, 154 hst, 156, hst, 158 dan 156.33 hst. Menurut
Tambong (1998) pembelahan sel-sel termutasi lebih lambat karena adanya penambahan
jumlah kromosom yang berdampak pada berkurangnya tekanan osmotik dalam sel
sehingga memperpanjang umur vegetatif tanaman. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penilitan Zuhrah (2009) bahwasannya interaksi antara konsentrasi dan lama
perendaman dalam kokisin berpengaruh terhadap umur panen bunga tanaman sedap
malam, dimana perlakuan konsentrasi kolkisin 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam

30
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

menghasilkan umur panen bunga yang lebih cepat yaitu 170 hst dibanding perlakuan
lainnya. Sementara rata-rata umur berbunga tanaman sedap malam tanpa aplikasi kolkisin
menghasilkan rata-rata umur berbunga yang lebih lama yaitu berkisar antara 188 hst.

KESIMPULAN DAN SARAN

Interaksi antara perlakuan tingkat konsnetrasi dan lama perendaman kolkisin berpengaruh
nyata terhadap jumlah umbi dan umur berbunga tanaman sedap malam. Dimana
pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 9 jam
menghasilkan rata-rata jumlah umbi yang lebih banyak, sementara pada tingkat kosentrasi
300 ppm dengan lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih
cepat yaitu sekitar 106 hari setelah tanam. Sementara tingkat konsentrasi kolkisin 300
ppm dengan lama perendaman 12 jam justru memperlambat umur berbunga tanaman
sedap malam di dataran medium hingga 202 hst dan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa pemberian kolkisin pada berbagai lama perendaman dan pemberian
kolkisin pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 500 ppm pada lama perendaman
3, 6 , 9 dan 12 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Avery Jr., George S. And E.B. Johnson. 1947. Hormones and horticulture. Mc Graw-Hill
Book Co. Inc. New York and London.

Permadi A.H., R. Cahyani, dan S. Syarif. 1991. Cara pembelahan umbi, lama perendaman
dan konsentrasi kolkhisin pada poliploidisasi bawang merah ”Sumenep”.
Zuriat.Vol.2:17-26

Planthus. 2008. Budidaya dan perbanyakan umbi sedap malam.


http://balithi.litbang.deptan.go.id

Reid, M. 1996. Postharvest handling recommendation for cut tuberose. Perishable


Handling Newsletter Issue No. 88:21-22.
Singh, K.P., 1995. Improved production technologies for tuberose (Polianthes tuberose
L.) a review of research done in India. Indian Institute of Horticulture research.
Agriculture Review.16(3).

Sulistianingsih R., Suyanto Z.A., dan N. Anggia, E. 2004. Peningkatan kualitas anggrek
Dendrobium hibrida dengan pemberian kolkisin. Ilmu Pertanian. 11(1):13-21.

Suryo. 1995. Sitogenetika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.pp.217-226.

Tambong, J.T., V.T. Sapra dan S. Gartun. 1998. In vitro induction of tetraploid in
colchicine-treated watermelon palntlets. Euphytica (104):191-197.

Wardiyono. 2009. Polianthes tuberose Linn.


http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php?docsid=854

Zuhrah, A. 2009. Respon morfologi tanaman sedap malam (Polianthes tuberosa L. Cv.
Roro Anteng) terhadap pemberian beberapa konsentrasi colchicine. Skripsi.
Tidak dipublikasikan. Universitas Brawijaya. Malang.

31
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

STRATEGI PERBANYAKAN SINGKONG (Manihot


esculentum) MELALUI KULTUR MERISTEM SECARA
IN VITRO
Didik Pudji Restanto ,1,3), Slameto 1) , Dwi Setyati 2) , Ida Anggraini, 1) Budi Kriswanto 1)
dan Tri Handoyo 1,3)
1)
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Jember, 2) Program
Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Jember dan 3)CDAST (Center for Development
Advance of Sciences and Technology) Universitas Jember
Email : restanto.lemlit@unej.ac.id

ABSTRAK

Indonesia mempunyai potensi dalam pengembangan singkong dunia karena terletak di


daerah tropis. Produktivitas masih rendah dibandingkan Negara Afrika. Produksi bisa
ditingkatkan dengan perluasan lahan (bekas tambang dan lahan tidak produktif) sehingga produksi
singkong nasional akan meningkat. Melalui Gerakan nasional singkong sejahtera bersama
(Gernas-SSB) tahun 2016 Indonesia dengan mencanangkan gerakan menanam singkong 1 juta
hektar akan bisa mensejahterakan 576 ribu petani di 33 provinsi. Penyediaan bibit singkong
berupa stek yang bermutu baik secara nasional akan mengalami kesulitan dengan keterbatasan stek
yang dihasilkan. Perlu dikatahui bahwa bibit singkong melaui stek yang digunakan akan
menghasilkan tanaman yang tidak seragam karena stek berasal dari bagian tanaman yang beda.
Bioteknologi tanaman memegang peranan penting dalam usaha perbaikan pertumbuhan dan
produksi tanaman. Perbanyakan bibit singkong dalam jumlah besar melalui kultur meristem yang
bebas penyakit CBSD sangat diperlukan. Pendekatan bioteknologi melalui perpaduan pemanasan
(thermotherapy) pada eksplan dan kultur meristem dapat digunakan untuk mendapatkan tanaman
singkong bebas penyakit, seragam dan bermutu baik. Hasil penelitain bahwa Regenerasi tanaman
dengan pemberian GA3 0,1 ppm tidak bermultiplikasi tetapi muncul sistem perakaran yang banyak
sekitar 8,25, sedangkan dengan penambahan BAP tunggal 0,5 ppm bisa bermultiplikasi dan tidak
muncul sistem perakaran. Jumlah tunas tertinggi adalah perlakuan dengan Penambahan BAP 0,5
ppm dan GA3 0,1 ppm merupakan titik optimum pertumbuhan jumlah tunas sekitar 5 dari eksplan
satu meristem tanaman singkong.

Kata kunci : Manihot esculentum, CBSD, GA3, BAP dan meristem

ABSTRACT

Indonesia has potential in the development of world cassava because it was located in the
tropical area. The productivity was still low compared with African countries. Production can be
increased with the expansion of land (unproductive land) so that the national cassava production
will increase. Through national movement cassava (Gernas-SSB) in 2016, Indonesia launched a
movement to plant 1 million hectares of cassava will be prospering 576 thousand farmers in 33
provinces. The seedling supply with good quality cassava cuttings will difficult because the
limitations of cassava cuttings produced. The cassava seedlings through the cuttings will produce
plants that are not uniform because the cuttings came from different parts of the plant. Plant
biotechnology plays an important role of growth and yield improvement. Propagation of cassava
seedling from meristem culture that is free of CBSD disease is indispensable. Biotechnological
approaches through a combination of heating (thermotherapy) in explants and meristem culture
can be used to obtain of cassava free disease, uniform and good quality. The results of the
research, that plant regeneration of 0.1 ppm GA3 did not multiply but it appears of root system
around 8.25, while the addition of a single BAP 0.5 ppm can be multiplied and does not appear
the root system. The highest number of shoots was treated withBAP interaction between 0.5 ppm
and GA3 0.1 ppm is an optimum point about 5 shoots from one meristem.

32
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keyword : Manihot esculentum, CBSD, GA3, BAP dan meristem

PENDAHULUAN

Indonesia menjadi urutan ke 4 produksi singkong dunia setelah Afrika, Brasil dan
India. Meskipun Indonesia menduduki ringking ke 4 dunia tetapi berdasarkan data FAO
bulan November 2012, Indonesia menjadi negara terbesar import singkong sebesar 2,6
juta ton. Produksi singkong nasional ternyata tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional
karena akhir akhir ini sudah mulai singkong digunakan sebagai bahan baku bioethanol.
Melalui Gerakan nasional singkong sejahtera bersama (Gernas-SSB) tahun 2016
Indonesia meramalkan uang beredar dari pasar singkong dalam negeri mencapai Rp57,6
triliun yang bisa mensejahterakan 576 ribu petani di 33 provinsi. Pencapaian target itu
harus diimbangi dengan perluasan lahan dan produktifitas tanaman singkong perlu
ditingkatkan. Penyediaan bibit singkong berupa stek yang bermutu baik secara nasional
akan mengalami kesulitan dengan keterbatasan stek yang dihasilkan. Perlu dikatahui
bahwa bibit singkong melaui stek yang digunakan akan menghasilkan tanaman yang
tidak seragam karena stek berasal dari bagian tanaman yang beda.
Peningkatan luas lahan singkong harus diimbangi dengan penyediaan bibit yang
memadai. Selama ini penyediaan bibit singkong masih secara tradisional dengan
menggunakan stek, hasil yang didapatkan berupa tanaman yang tidak seragam. Kultur
jaringan merupakan salah satu alternatif dalam upaya untuk penyediaan bibit secara
masal, seragam dan bermutu baik.
Penggunaan teknik kultur jaringan sangat memungkinkan untuk perbanyakan
masal bibit singkong bebas penyakit, seragam dan bermutu baik. Perpaduan antara
perlakuan termotherapy dan kultur meristem akan menjawab semua masalah yang terjadi,
sehingga tidak pernah kekurangan penyediaan bibit singkong melalui kultur jaringan
(Quak, 1972). Perbanyakan bibit singkong melalui pembentukan somatik embriogenesis
sangat memungkinkan yaitu dengan eksplan daun (Raemakers, 2005), biji dan kotiledon
(Stamp, 1986).

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas : Batang tanaman singkong,
Jaringan meristem hasil in Vitro, Media MS (Murashige and skoog), Zat Pengatur
Tumbuh (BAP dan GA3), Aquades, Alkohol 70%, Betadin, spirtus, sodium hypoclorite
(NaClO) 4%. 10 nM Borate pH 8,0 yang telah didinginkan, Ethanol absolut (dingin 4oC)
dan Nitrogen cair.
Penelitian ini dirancang mengunakan Rancangan acak lengkap (RAL) yang
tersusun secara faktorial yaitu BAP 0 ppm, BAP 0,5 ppm, BAP 1 ppm yang
dikombinasikan dengan GA3 0 ppm GA3 0,1 ppm GA3 0,2 ppm. Uji duncan pada taraf 5%
digunakan untuk menganalisis data.

Percobaan untuk mendapatkan meristem sebagai bahan tanam (Eksplan).


Induksi tunas
Penanaman awal merupakan penanaman bahan tanam berupa stek pada media.
Media yang digunakan adalah pasir, kompos, tanah dengan perbandingan 1:1:1 Bahan
tanam dipotong sepanjang 7 cm atau memiliki 2 nodus. Penanaman dilakukan selama 8
hari di green house. Penanaman tersebut bertujuan untuk menginduksi tunas.

33
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Inkubasi
Inkubasi merupakan proses dimana bahan tanam yang sudah muncul tunas
dimasukkan dalam oven dan diberi perlakuan pada suhu 40o selama 4 hari yang bertujuan
untuk mengeliminasi virus.
Penanaman di Green house
Penumbuhan dilakukan di green house menggunakan polybag. Media yang
digunakan berupa kompos, pasir, tanah dengan perbandingan 1:1:1. Penanaman
dilakukan selama 5 sampai 6 minggu.
Sterilisasi Eksplan dan Penanaman pada Media
Eksplan batang muda diambil dari lapang, dibersihkan dari daunnya kemudian
di semprot dengan alkohol 70%. Mencucinya menggunkan tween di air mengalir sampai
bersih. Eksplan dibawa ke LAF (Laminar Airr Flow). Memotong Eksplan pernodus
didalam larutan iodin. Merendam eksplan dengan alkohol 70% selama 5 menit.
Merendam eksplan ke sodium hypoclorite (NaClO) dengan kandungan senyawa 4%
selama 10 menit. Merendam dengan air steril selama 2 menit diulang sebanyak 2 kali.
Memotong bagian ujung eksplan menjadi lebih pendek didalam larutan iodin. Meniriskan
diatas tissue steril. Menanam eksplan dengan cara didirikan didalam botol kultur yang
berisi media. Setiap media diisi dengan 4 eksplan yang sama. Botol media ditutup
kembali dan dibalut menggunakan plastik wrap. Botol yang telah beriisi eksplan
dipindahkan keruang penyimpanan dan disusun pada rak kultur.
Penanaman sel meristem secara in vitro
Eksplan yang sudah tumbuh tunas dilakukan pengambilan jaringan meristemnya.
Jaringan meristem ujung tunas diambil pada kondisi yang steril di dalam LAF (Laminar
Air Flow). Pemotongan tanaman dilakukan dengan cara mengambil satu atau dua daun
primordial didalam petridish yang berisi larutan iodin. Kemudian eksplan ditanam pada
media masing-masing perlakuan. Setiap media diisi dengan 1 meristem yang sama. Botol
media ditutup kembali dan dibalut menggunakan plastik wrap. Botol yang telah beriisi
eksplan dipindahkan keruang penyimpanan dan disusun pada rak kultur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh meristem tanaman singkong secara In


vitro. Batang tanaman singkong di potong sepanjang 7 cm atau memiliki 3 nodus terlihat
pada Gambar 1A. Mencuci pada air mengalir potongan bat ang tersebut kemudian
menanam pada media campuran dari pasir, kompos, dan tanaher dengan perbandingan
1:1:1. Penanaman dilakukan didalam bak yang berisi media. Melakukan pemeliharaan
selama 8 hari agar batang tanaman dapat tumbuh tunas secara merata (Gambar 1B).

34
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

A B

Gambar 1 (A) Batang tanaman singkong yang sudah dipotong dan dicuci; (B) Hasil
induksi tunas tanaman singkong 8 HST.

Tahap selanjutnya yaitu proses inkubasi. Inkubasi dilakukan pada temperatur


o
40 C terlihat pada Gambar 2. Proses inkubasi bertujuan untuk mengeliminasi virus yang
terdapat pada bahan tanam. Pada suhu tinggi akan terjadi ketidak cocokan replikasi DNA
virus hal ini menyebabkan replikasi virus terhambat sehingga tidak akan mampu bergerak
ke daerah meristem. Oleh karena itu, eliminasi virus lebih efisiensi pada perlakuan suhu
tinggi (Allam, 2000).

A B
Gambar 2. Proses inkubasi (A) Bahan tanam yang baru dimasukkan ke dalam oven
(40oC); (B) Tanaman berumur 4 HST

Setelah tanaman diperlakukan dengan temperature tinggi kemudian ditanam


pada rumah kaca selama seminggu (Gambar 3). Batang tanaman singkong rata-rata
memiliki 4 nodus atau setinggi 15 cm.

Gambar 3. Hasil tanaman singkong yang sudah seminggu dilakukan pemindahan

Pertumbuhan tanaman yang cepat membuat jumlah daun dan akar lebih banyak
sehingga terjadi persaingan cahaya dan unsur hara. Apabila tanaman dibiarkan tumbuh
pada media tersebut maka pertumbuhan tanaman akan lambat atau mengalami

35
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

kemunduran. Sehingga perlu dilakukan pemindahan tanaman ke dalam polybag.


Pemindahan dilakukan dengan cara merendam tanaman dengan air untuk
mempertahankan akar agar tidak patah pada Gambar 4 (A). Kemudian ditanam pada
polybag yang sudah berisi media. Media yang digunakan berupa pasir, tanah dan kompos.
Tanaman ditanam pada polybag yang berisi satu tanaman satu polybag terlihat pada
Gambar 4 (B).

A B
Gambar 4. (A) Tanaman yang akan dipindahkan ke dalam polybag; (B) Tanaman yang
baru dipindahkan (1 HST).

Penanaman dilakukan selama 6 minggu. Selama proses penanaman dilakukan


perawatan. Perawatan yang dilakukan berupa penyiraman dan pembersihan media tanam
dari gulma. Bahan tanam yang digunakan sebagai eksplan adalah batang dari tanaman
singkong yang sudah dilakukan treatment. Batang tanaman singkong mempunyai dua
nodus yaitu nodus apikal (pucuk) dan nodus aksilar pada Gambar 5.

Gambar 5. Tamanan singkong yang sudah berumur 6 minggu (a) Nodus Apikal; (b)
Nodus Aksilar 1; (c) Nodus Aksilar 2.

Pada awalnya semua nodus dari batang tanaman digunakan sebagai eksplan.
Pada eksplan nodus apikal (Gambar 5a) terbukti lebih lama untuk muncul tunas dalam
kultur (in vitro). Eksplan nodus apikal mampu menginduksi tunas pada 7 HST. Lamanya
pembentukan tunas pada nodus apikal kemungkinan disebabkan sel-sel meristem yang
menyusun nodus apikal masil relatif terlalu muda, sehingga respon yang diberikan masih
belum optimal. Hal tersebut ditegaskan oleh George dkk (2010) bahwa dalam kultur in
vitro, sel-sel meristem yang terlalu muda masih membutuhkan waktu inisiasi untuk
membuat sel-sel tersebut kompeten terhadap sinyal pertumbuhan yang diberikan dari luar.
Sedangkan eksplan yang menggunakan nodus aksilar 1 pembentukan tunas relatif cepat,
yaitu pada 5 HST. Hal tersebut juga dikemukakan Fauzi (2010) menyebutkan bahwa
nodus yang paling responsif adalah nodus ke 2-4 dari pucuk (aksilar). Apabila eksplan
yang digunakan merupakan nodus aksilar 2 maka akan muncul senyawa fenolik terlihat

36
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

pada Gambar 6. Jaringan jaringan yang sudah menua juga akan mempersulit pemotongan
eksplan pada proses sterilisasi.

fenol
Gambar 6 Munculnya senyawa Fenolik pada eksplan yang menggunakan jaringan
dewasa pada akhir 2 MST.

Hasil pembentukan tunas pada eksplan aksilar 2 pada akhir 3 MST dapat dilihat
pada Gambar 7.

Gambar 7. Hasil pembentukan tunas yang menggunakan eksplan Aksilar pada 3MST
yang kemudian diambil jaringan meristemnya.

Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa tunas yang terbentuk sudah layak untuk
diambil jaringan meristemnya. Jaringan meristem diambil kemudian dipotong pada
larutan iodin kemudian ditanam pada masing-masing perlakuan. Dimana pada setiap
perlakuan diisi satu jaringan meristem. Setelah beberapa hari kultur eksplan menunjukkan
respon perkembangan pada akhir 4 MST. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh
Cheema & Hussain (2004) bahwa perbedaan respon pada ekplan disebabkan karena
beberapa hal, antara lain yaitu ukuran eksplan, umur eksplan, jumlah hormon endogen
yang dimiliki eksplan dan posisi eksplan pada tanaman induk.
Jumlah Tunas Yang Muncul
Berdasarkan pengujian lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan sangat nyata pada jumlah tunas yang tumbuh terhadap pengaruh interaksi zat
pengatur tumbuh BAP dan GA3. Rata-rata jumlah tunas yang muncul pada masing-
masing perlakuan disajikan pada Gambar 8.

37
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 8 Diagram perbandingan jumlah tunas per eksplan dalam media induksi pada
masing-masing perlakuan selama 10 MST.

Pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa perlakuan yang paling banyak


menghasilkan tunas adalah A2B2. Perlakuan tersebut memiliki rata-rata jumlah tunas
sebesar 5. Rata-rata jumlah tunas per eksplan masih tinggi jika dibandingkan dengan
penelitian Sudarmonowati (2002) dengan jumlah rata-rata tunas per eksplan mencapai
3,19 tunas pada ubi kayu genotipe Mentega 2 yang menggunakan eksplan batang.
Perbedaan tersebut kemungkinan karena kosentrasi BAP yang digunakan lebih tinggi,
yaitu 2 ppm. Adanya pemberian zat pengatur tumbuh tunggal juga memicu tunas yang
terbentuk lebih sedikit. Pemberian GA3 tunggal juga memicu terjadinya pembentukan
tunas tunggal dan terbentuk system perakaran (Gambar 9).
GA3 (ppm)
0 0,1 0,2

0
BAP
(pp
m)

0,5

38
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 9. Diagram perbandingan pertumbuhan jumlah tunas pereksplan dalam


media induksi pada akhir 10 MST

Pada Gambar 9 terlihat bahwa pada perlakuan MS0 (GA3 0 ppm dan BAP 0 ppm)
menunjukkan hasil perkembangan yang sangat lambat. Tunas mulai terbentuk pada akhir
3 MST. Jumlah tunas yang terbentuk tunggal dan tidak membentuk sistem perakaran.
Pada perlakuan GA3 0,1 ppm dan BAP 0 ppm tunas yang terbentuk tunggal. Jumlah akar
yang terbentuk banyak. Pada perlakuan yang didalamnya terkandung GA3 0 ppm dan
BAP 0,5 ppm sudah terjadi multiplikasi tunas. Tunas yang terbentuk memiliki rata-rata
2. Pada perlakuan tersebut tidak muncul sistem perakaran.
Jumlah tunas yang rata-ratanya tertinggi adalah perlakuan A2B2. Penambahan
BAP 0,5 ppm dan GA3 0,1 ppm merupakan titik optimum pertumbuhan jumlah tunas
pada meristem tanaman singkong. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ranghu
(2011) yang menyatakan bahwa multiplikasi tunas terbaik diperoleh dengan pemberian
BAP 0,5 ppm dan GA3 0,1 ppm. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fauzi (2010) yang menyatakan bahwa eksplan yang muncul jumlah rata-
rata tunas terbanyak adalah dengan penambahan BAP 3 ppm yang menggunakan eksplan
tunas samping dari kultur in vitro ubi kayu dari varietas Adira 2.
Pada perlakuan selanjutnya yang mengandung zat pengatur tumbuh BAP
menunjukkan munculnya beberapa tunas. Chaerudin dkk. (1996) menambahkan BAP
merupakan suatu zat pengatur tumbuh sintetik yang tidak mudah dirombak oleh sistem
enzim dari tanaman sehingga dapat memicu induksi dan multiplikasi tunas. Hal tersebut
juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee-Espinosa dkk.(2003) yang
menggunakan BAP 0,2 ppm dalam media MS padat dapat menginduksi tunas-tunas
adventif dan menigkatkan kemampuan regenerasi yang tinggi melalui organogenesis
secara langsung dari eksplan tunas aksilar pada tanaman Anthurium adreanum kultivar
Midoridan Kalapana.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa dengan pemberian BAP akan


membentuk system pertunasan yang lebih banyak, tetapi dengan pemberian GA3 ada
kecenderungan membentuk system perakaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada DP3M - DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui
BOPTN Universitas Jember pada skim Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.

39
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR PUSTAKA

Allam, E.K. 2000. Eradication of Banana bunchy top virus and Banana mosaic virus
from diseased banana plants. Annals ofAgriculture Science 45:33-48.

Chaerudin T.S., T. Supriatun & Bavadal. 1996. Multiplikasi Tunas Tanaman Mentha
arvensis Melalui Kultur Jaringan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Fakultas MIPA
Universitas Padjajaran.

Chemaa, K.L. & M. Husssain. 2004. Micropropagation of surgance thtough apical bud
and axillary bud. International journal of agriculture & biology. 06(2). 257-
259.

Fauzi, A. R. 2010. Induksi mutiplikasi tunas ubi kayu (Manihot esculenta Crantz)
Varietas adira 2 secara in vitro. Skripsi Sarjana. Departemen Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor: xiii+66 hal.

Goerge, E.F., M.A. Hall & G.D. Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture.
Springer. Wageningen: ix + 501 hlm.

Lee-Espinosa H.E., J.G. Cruz-Castillo & B. Garcia-Rosas. Multiple shoot proliferation


and aclimation of “Midori” and “Kalapana” Anthurium (Anthurium andreanum
L.) cultured in vitro. Revista fitotecnia mexicana. 2003; 26(4): 301-307.

Lopez, C.E., Zuluaga, A.P., Cooke, R., Delseny, M., Tohme, J. and Verdier, V. 2003.
Isolation of reistance gene candidate (RGCs) and characterization of an RGC
cluster in cassava. Mol. Gen. Genomics. 26

Raghu, D., Senthil, N., Raveendran, M., Karthikayan, et al., 2011. Eradication of cassava
mosaic disease from high yielding indian cassava clone through apical meristem
tip-culture for small farmers.

Sudarmonowati, E., R. Hartati, T. Taryana. 2002. Produksi, Regenerasi dan Evaluasi


Hasil Ubi Kayu (Manihot esculenta) Indonesia Asal Kultur Jaringan di Lapang.
Pusat Penelitian Bioteknologi. LIPI: Cibinong.

Wasswa, P., T. Alicai and S.B. Mukasa, 2010. Optimisation of in vitro techniques for
Cassava brown streak virus elimination from infected cassava clones. African
Crop Science Journal, Vol. 18, No. 3, 2010, pp. 235 – 241

40
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

SURVE PERMASALAHAN HAMA DAN PENYAKIT


TANAMAN PADA SISTEM PERTANIAN ORGANIK
DI LAHAN PETANI DAN
TAMAN SIMALEM RESORT TANAH KARO
SUMATERA UTARA
Wagiyana
Lecturer Faculty of Agriculture, University of Jember
Jl. Kalimantan 23 Jember
Email : wagiyana@gmail.com

ABSTRACT

Survei on plant pest and disesae problem was done on 19th until 21th May, 2014 at Tanah
Karo Nort Sumatera District would supported by GIZ and Taman Simalem resort (TSr), survei
was done at TSr on horticultura planting, and field farmer. The observation and supervision in the
field shows that in farmers fields on organic farming on Tanah Karo Nort Sumatera there are 8
types of pests and diseases of horticultura crops according sequence and level of difficulty in
overcoming the problems posed are as follows: 1) root swollen disease by the fungus
Plasmodiophora brassicae mace, 2) snails / snail (Mollusca), 3) Caterpillars Land (Agrotis spp), 4)
Ladybug leaf sucking family of Pentatomidae, 5) leaf caterpillar Spodoptera litura, 6) The disease
stems fall Phityum spp, 7) Wilt / black shank Rot Lists, and 8) leaf spots by fungus of Alternaria
solani. Problems in Golf Course attack: cutworm Agrotis spp and Snout Beetles Land (Family
Curculionidae ) that damage the root system on grass, still a vertebrate animal attack problems that
often interfere namely Boar (Srova javanica) . Control by utilizing Biological Control Agents
(BCA) on pests and diseases of horticultural crops has been done already BCA 6 and 2
Biofertilizer but still need to be developed with the other BCA that has efficacy against certain
pests and diseases. Fore can be developed BCA with fermentation liquid formula like: Coryne
bacterium, Serratia spp Red Bacteria, Pseudomonas florescens, and other Glyocadium Spp
followed by Quality Control clear. Applications BCA necessary knowledge and skills to farmers
need to be nurtured, and developed Center Development Biological Agent ( CDBA ) assisted
farmers level. Some comodities cultivated in TSr not found pest problem meaning as: Tea, Coffee,
and Biwa . However be required surveillance, and routine monitoring of the possibility of
disruption appeared pests. Some plant diseases indicated there were wafting through the growing
media and fertilizers as a soil borne, as the plants are cultivated in greenhouses. Results of
inoculation of entomopathogenic nematodes in soil worm Agrotis spp were found in farmers' fields
and meadow lands Golf indicate mortality of 62.5 to 100 % after 42 and 72 hours of inoculation.

Key words: survei, pest and disesae, plant, horticulture.

PENDAHULUAN

Taman Simalem Resort (TSR) telah berkomitmen untuk pengembangan pertanian


organik dengan cara ini kita akan mendapatkan makanan sehat dan aman bagi konsumen
dalam hal ini manusia, untuk menjaga kesehatan mereka. Makanan sehat merupakan
impian bagi setiap manusia untuk dapat memenuhi kesehatan menjaga gaya hidup sehat,
makanan sehat ini diharapkan akan bebas dari residu bahan kimia pertanian dari sarana
produksi yang digunakan termasuk bahan pengandali hama dan penyakit tanaman.
Budidaya organik mengalami banyak gangguan hama dan penyakit pada budidaya

41
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

tanaman umumnya dilakukan di tingkat petani, hanya sekitar 30% hasil pertanian yang
bisa laku dijual di supermarket. Kebijakan pengendalian hama tanaman sebagaimana
diatur dalam undang-undang Sistem Budidaya Pertanian 1992 yang menekankan pada
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan pengendalian hayati dengan memanfaatkan
potensi sumberdaya hayati alami yang berupa musuh alami hama, yang lebih lanjut
dibiakkan secara massal/diproduksi menjadi Agens Pengendali Hayati (APH), Taman
Simalem Resort (TSr) telah menerapkan kebijakan tersebut melalui pengembangan usaha
pertanian organik di lahan dan mitra petani. Pengembangan sistem pertanian organik
tidak dapat dipisahkan dari pengadaan dukungan input pertanian organik, sebagian
sarana produksi secara teknis dapat dibuat oleh petani sendiri seperti: pupuk organik,
beberapa zat pengatur pertumbuhan tanaman, pestisida organik tidak bisa sepenuhnya
dilakukan oleh petani terutama insektisida organik, masih jauh dari harapan untuk
mendukung pertanian organik. Namun di TSr telah mampu memanfaatkan sumberdaya
hayati lokal dengan membuat 6 jenis APH (Agens Pengendali Hayati) dan pupuk organik
2 macam, kerjakeras dari TSr itu perlu kita beri apresiasi untuk merintis usaha pertanian
organik. Pestisida nabati yang dapat mendukung pengembangan pertanian organik dapat
dibuat oleh petani dengan bantuan teknis dari Departemen Pertanian atau Perguruan
Tinggi melalui layanan masyarakat, standardisasi produk dan Quality Control masih
perlu ditingkatkan dan dikembangkan lebih lanjut di TSr dan petani binaannya.
Produksi pestisida organik dengan memanfaatkan sumberdaya hayati lokal dapat
dikembangkan secara teknis tingkat petani melalui Kelompok Tani (Gapoktan) dengan
petani binaan yang dikembangkan olehTSr melalui kegiatan CSR dengan usaha yang
saling menguntungkan. Pusat Pengembangan Agens Hayati (PPAH) dapat dibangun
tingkat kelompok tani dengan memanfaatkan sumberdaya hayati lokal melalui kegiatan
membuat pupuk organik, pestisida organik, dan sarana produksi organik lainnya di
bawah bimbingan dan pengawasan teknis TSr GIZ, Perguruan tinggi dan instansi terkait
untuk mendukung penyediaan makanan sehat bagi konsumen. Kedepan diperlukan untuk
pengembangan biofertilizer dan biopestisida sebagai sarana produksi untuk mendukung
dan mengembangkan pertanian organik sebagai mana yang telah dikembangkan di TSr
dengan petani binaanya.

Tujuan Surve
1.Mengidentifikasi masalah jenis hama dan penyakit di Taman Simalem Resort dan
ditingkat petani binaan TSr, menggambarkan gejala kerusakan yang disebabkan oleh
gangguan hama dan penyakit
2. Mencari solusi untuk mengatasi hama dan penyakit, dan merekomendasikan
Teknik pengendalian biologis dengan memanfaatkan sumberdaya hayati lokal
sebagaimana yang telah dan akan digunakan.
3. Memberikan bimbingan teknis pengendalian biologis hama serangga dengan
nematoda entomopatogen pada tanaman hortikultura dan di lapangan golf, dan
pengembangbiakannya in vivo.
4. Memberikan bimbingan teknis bagaimana membuat alternatif pestisida nabati
dan APH dengan memanfaatkan potensi sumberdaya hayai lokal yang dapat
dikembangkan di TSr.
5. Mengevaluasi pembuatan APH dan pupuk organik di TSr.

Manfaat
1. Memberikan alternatif penggunaan sumberdaya hayati lokal dalam bentuk agen
pengendali biologis dalam program pengembangan pertanian organik.

42
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

2. Mengembangkan fasilitas produksi organik di TSr, lebih lanjut untuk


membuat/memproduksi biofertilizer dan biopestisida.
3. Memberikan pengetahuan tentang perkembangan pengendalian biologis lainnya kepad
Teknisi laboratorium dan staf Agronomis TSr, dan mendorong pengembangan
standarisasi produk yang dikembangkan di TSr seperti: agen biologis, pupuk organik,
pengurai bakteri, dan lain-lain di TSr.

Hasil Surve
Tanaman sayuran organik yang dibudidayakan di Taman Simalem Resort (TSr)
diketemukan keragaman hayati yang banyak menimbulkan masalah sebagai hama dan
penyakit tanaman yang menimbulkan kerusakan tanaman secara signifikan, ditemukan 8
jenis hama dan penyakit tanaman sebagai hama penting yaitu:
1. Penyakit akar gada Plasmodiophora brassicae (jamur), menyerang
pembibitan dan penanaman, akar dan pangkal batang gejala bengkak (gall
made), menjadikan pertumbuhan terhambat, tidak menghasilkan. Banyak
terjadi di lahan petani pada pembibitan tradisional, terjadi pada tanah yang
selalu lembab, usahakan tidak memindahkan bibit sudah terinfeksi mendarat.
2. Busuk pangkal batang yang disebakan oleh Xanthomonas spp, gejala busuk
pada pangkal batang, batang mudah patah, banyak terjadi serangan pada
tanaman baru (transplanting), cucaca basah, dan lembab.
3. Tanaman Patchoy terserang jamur Alternaria solani, pada daun terdapat bintik-
bintik pada daun coklat kehitaman, saat kering bisa menjadi berongga, bersifat
airborne mudah menular melalui udara, menyerang daun bangsa brassicae
4. Cutworm carterpillar Agrotis ipsilon, memotong batang di bagian pangkal, di
lahan yang baru dibuka kadang ulat sudah ada, serangan ulat di malam hari
siang hari bersembunyi di sela-sela tanah.
4. Kumbang anjing tanah (Phyllotre vitata: Chysomelidae), daun sawi putih
(patchoy) berlobang-lobang , menjadikan daun patchoy tidak laku jual.
5. Kepik penghisap daun oleh Keluarga Pyrrhocoridae, (masih diidentifikasi)
menyerang mesofil daun dengan mengisap daun sehingga daun bercak
keputihan, membuat harga jual sayuran jatuh.
6. Ulat daun Spodoptera exigua daun dimakan berlobang, menyerang pada
malam hari, fase awal (instar 1) berkerumun.
7. Keong/ Molusca menyerang dengan cara memakan daun sayuran fase tanaman
tua sampai pembibitan diserang, memakan daun sehingga daun berlubang,
hilangnya daun, menyerang pada malam hari siang hari bersembunyi di sela-
sela tanah atau kopi dan tanaman lainnya.
8. Pada tanaman kopi, teh, dan biwa belum diketemukan hama dan penyakit yang
berarti, tetapi diperlukan pengelolaan tanaman yang baik, dan dijaga
kebersihan lingkungan dipertahankan untuk mengurangi serangan hama.

Pemecahan Masalah
Gangguan pada lapangan golf ada dua jenis pengganggu jenis cutworm ulat
tanah Agrothis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae) dan Kumbang moncong Curculionidae
kedua menyerang sistem akar rumputpadang golf yang membuat rumput layu, kering dan
kemudian mati menyebabkan pertumbuhan rumput tidak merata. Masalah di dalam rumah
kaca (bunga pembibitan dan hortikultura yang bernilai tinggi) banyak hama dan penyakit
yang timbul akibat terbawa dari media tumbuh tanaman, pupuk organik yang tidak

43
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mengalami proses pengomposan secara sempurna. Di Nursery (rumah kaca) bunga di


malam hari lampu selalu dinyalakan hal ini dapat mengundang datangnya Imago
A.ipsilon S. exigua atau terbang masuk melalui celah-celah bangunan. Selain itu, kondisi
iklim mikro di dalam rumah kaca cocok untuk Thrips, Kutu daun, dan hama lain. Produk
akhir pengolahan pupuk organik: Tidak diayak dan disterilkan, menggumpal, keras,
menggumpal, komposisi bahan baku pupuk organik perlu ditinjau kembali dan
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanah. Kualitas bakteri dekomposer,
dan kandungan nutrisi pupuk organik itu sendiri perlu ditinjau kembali.
Masalah di Showroom penjualan produk organik TSr ada beberapa komoditas
yang diserang oleh hama dan penyakit yang terlihat dapat mengurangi daya tarik dan nilai
penjualan produk seperti: wortel dan ubi jalar. Dengan gejala bopeng-bopeng di
permukaan kulit, yang disebabkan oleh hama di dalam tanah yang tidak penting.
Intensitas kerusakan kecil atau rendah pada komoditas pertanian organik dapat
mengurangi nilai jual dan daya tarik pembeli, tetapi dengan kesadaran konsumen produk
makanan sehat ini bisa dihilangkan. Lapangan golf ada dua jenis pengganggu yang jenis
tanah cutworm ulat Agrothis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae) dan kumbang moncong
Curculionidae keduanya menyerang sistem akar rumput yang membuat rumput layu,
kering dan kemudian mati menyebabkan pertumbuhan rumput tidak merata.

KESIMPULAN

Pengamatan dan monitoring di lapangan pada tanaman hortikultura di lahan


petani dan Taman Simalem Resort (TSr) ditemukan 8 OPT sesuai urutan tingkat kesulitan
dalam mengatasi masalah adalah sebagai berikut: Penyakit Akar gada oleh jamur
Plasmodiophora brassicae menjadika puru pada sistem perkaran ,Snail / keong
(moluska), ulat pemotong cutworm (Agrotis spp), Kepik pengisap daun Pentatomidae,
ulat pemakan daun Spodoptera litura, Penyakit patah pangkal batang Phityum spp,
bercak-bercak kecoklatan Alternaria solani, dan busuk daun. Masalah yang ditemukan di
lapangan golf: cutworm Agrotis spp dan Kumbang Tanah Moncong (Family
Curculionidae) yang merusak sistem akar rumput padang golf. Upaya pengendalian
dengan memanfaatkan agen pengendali hayati (APH) di laboratorium perlu
dikembangkan (sudah memiliki 6 dan 2 Biofertilizer) agen kontrol biologis lainnya dan
ada kontrol kualitas yang jelas.
Hasil inokulasi nematoda entomopatogen pada cutworm carterpillar Agrotis spp yang
dikoleksi dari lahan petani dan padang rumput Golf mortalitas menunjukkan 62,5-100%
setelah 42 dan 72 jam inokulasi. Langkah-langkah lebih lanjut untuk mengidentifikasi
OPT yang belum diketahui namanya yang ditemukan pada serangga dan menganalisis
penyebab penyakit pada tanaman dan tanah dilakukan di Bagian Klinik Tanaman
Fakultas Pertanian, Universitas Jember.

SOLUSI

Lahan yang telah terserang penyakit akar gada/ bengkak (P. brassicae) secara
endemik untuk sementara ditanami dengan tanaman lain selain brassicae selama 2 atau 3
periode musim tanam, selama musim kemarau dengan caratanah dibalik dengan cara
dibajak untuk mematikan spora jamur terkena sinar matahari’, usahakan untuk menanam
benih terdengar dari tempat lain yang tidak terserang penyakit. Aplikasi sumberdaya
hayati lokal yang berupa APH dapat diteruskan untuk pencegahan dilakukan sebelum
penyemaian, sebelum tanam, dan setelah tanam secara terjadwal, untuk mengatasi hama
dan penyakit seperti layu, busuk pangkal batang, dan bercak daun. APH yang diproduksi

44
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

sebagai insektisida di TSr sejauh ini hanya berfungsi sebagai penghamabat makan, dan
pengusir serangga tidak dapat secara langsung membunuh serangga hama kecuali dalam
Metrrrhizium spp dan B. bassiana, untuk itu perlu untuk dikembangkan potensi
sumberdaya hayati lokal yang berupa APH lain yang dapat langsung membunuh
serangga hama seperti Bakteri merah (Serratia spp) nematoda entomopatogen
(Steinernema spp, Heterorhabditis spp) dan jenis lainnya. Pestisida nabati baru dapat
diproduksi dengan bahan baku yang tersedai di tingkat pertani atau di TSr sevabagaimana
materi yang telah diberikan kepada teknisi laboratorium dan staf divisi Agronomis PHT
di TSr. Aplikasi APH harus didasarkan pada pengamatan pertumbuhan fenologi dan
perkembangan populasi hama dan penyakit tanaman, petugas divisi PHT serta pengamat
harus tahu dalam beberapa bulan ketika banyak hama dan penyakit yang berasal dari
suatu tanaman atau tanah, untuk pencegahan dini apalikasi dilakukan APH seperti di atas.
Pengamatan dapat dilakukan secara langsung oleh pengamat dengan sampling sistematik,
atau pemantauan dengan perangkap sinar lampu, atau feromoid untuk jenis hama tertentu.
Sebagai panduan dalam pengelolaan hama dan penyakit tanaman direkomendasikanPHT
(Pengendalian Hama Terpada) sebagimana dalam petunjuk PHT sayuran (!998).
Pengendalian hama Agrothis spp dan S. litura secara manual dengan mengumpulkan
larva paling efektif untuk dilakukan, tetapi memiliki kendala memerlukan banyak tenaga
kerja dan biaya, hal itu dapat dilakukan di lapangan golf atau tanaman di rumah kaca.

BAHAN RUJUKAN

Anonim, 1998. Petunjuk Studi Lapangan PHT Sayuran (Bawang merah, cabai, Kacang
Panjang, kentang, dan Tomat). Program Nasional PHT, Direktorat
Jenderal Perlindungan Tanaman, Deptan, Jakarta.

Undang Undang No.12 Tahun 1992. Sistem Budidaya Pertanian. Depkumham, Jakarta.

45
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

POTENSI CROTALARIA MUCRONATA DESV.


SEBAGAI PUPUK HIJAU
THE POTENCY OF CROTALARIA MUCRONATA
DESV. AS GREEN MANURE
Sumarni T., N. Aini, N.D. Marsha
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mempelajari potensi tanaman C. mucronata Desv. sebagai pupuk hijau
telah dilakukan dengan menggunakan percobaan pot dan percobaan lapangan di Desa
Pangarangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, jenis tanah Latosol, pH: 6,8, ketinggian
tempat 187,4 m dpl pada bulan Oktober – Desember 2013. Penelitian terdiri dari dua percobaan,
yaitu: 1. Uji perkecambahan benih, 2. Uji kualitas tanah. Percobaan ke-1: Pengujian
perkecambahan benih dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), Percobaan
ke-2: Pengaruh waktu dan lama pembenaman tanaman C. mucronata Desv. pada tanah,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non-faktorial. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa benih tanaman C.mucronataDesv. membutuhkan perlakuan skarifikasi untuk meningkatkan
permeabilitas kulit benihnya. Perlakuan skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas mampu
meningkatkan daya tumbuh benih tanaman C.mucronataDesv. sebesar 321,37% dibanding tanpa
perlakuan skarifikasi. Tanaman C. mucronata Desv. berpotensi sebagai pupuk hijau karena dapat
memperbaiki sifat kimia tanah. Pembenaman 10 ton ha-1 hijauan C. mucronata Desv. mampu
meningkatkan pH tanah sebesar 2,94%; C-organik sebesar 258%; N total sebesar 163%; P tersedia
sebesar 1138%; K dapat ditukar sebesar 649% dan KTK tanah sebesar 301% dibanding tanah
tanpa perlakuanC. mucronata.
Kata kunci : Crotalaria mucronata Desv., Potensi, Pupuk hijau

PENDAHULUAN

Penggunaan pupuk anorganik terus meningkat seiring dengan semakin intensifnya


kegiatan usaha tani. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan
petani pada pemakaian pupuk anorganik salah satunya dengan memanfaatkan pupuk
organik. Pupuk organik dapat mengembalikan bahan organik tanah yang hilang serta
memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Upaya penggunaan pupuk organik
seringkali terkendala dengan terbatasnya ketersediaan sumber bahan organik. Padahal,
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki kelimpahan“green manure” (pupuk
hijau), namun belum disosialisasikan kepada petani (Agustina, 2011). Kontribusi pupuk
hijau sebagai sumber bahan organik telah banyak diteliti dan telah menjadi salah satu alat
perbaikan (remedial tools) untuk me-rehabilitasi lahan terdegradasi. Namun sumber daya
pupuk hijau berkualitas sulit ditemukan, khususnya pada daerah dengan lahan yang
terdegradasi. C. mucronata Desv. adalah salah satu tumbuhan dalam genus Crotalaria
yang memiliki potensi sebagai pupuk hijau. C. mucronata Desv. umumnya tumbuh liar
sebagai gulma pada lahan pertanian, maupun sebagai tumbuhan ruderal.
Benih C. mucronata Desv. memiliki kulit biji yang keras, sehingga membutuhkan
perlakuan untuk memacu daya perkecambahannya. Upaya peningkatan daya tumbuh
benih perlu dilakukan agar bahan baku sumber daya pupuk hijau ini dapat cepat tersedia
dan dimanfaatkan. C. mucronata Desv. mampu tumbuh pada lahan marginal dan relatif
toleran terhadap kekeringan (Anonymous, 2010). Upaya pemanfaatan bahan organik

46
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

melalui pembenaman biomassa C. mucronata Desv. diharapkan akan menjadi sumber


energi bagi perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Peningkatan aktivitas
mikroorganisme di dalam tanah bermanfaat meningkatkan kesuburan tanah.

METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri atas dua percobaan, (1) Uji perkecambahan benih dilaksanakan di
Laboratorium sumberdaya lingkungan FPUB, dilakukan pada substrat kertas merang
dengan metode Uji Di atas Kertas (UDK). Media perkecambahan berupa 3 lembar kertas
merang yang diletakkan pada alas petridish. Kertas merang tersebut sebelumnya dibasahi
air hingga jenuh. Masing-masing cawan petri pada setiap perlakuan dikecambahkan 25
benih. (2) Pengaruh waktu pembenaman dan lama pembenaman C. mucronata Desv.
pada tanah dilaksanakan di Desa Pangarangan, Kabupaten Sumenep, jenis tanah Latosol,
pH: 6,8, ketinggian tempat 187,4 m dpl pada bulan Oktober 2013 hingga Desember
2013.

(1). Uji Perkecambahan Benih


Pengujian perkecambahan benih dilakukan dengan metode rancangan acak
lengkap (RAL) yang terdiri atas 15 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali, meliputi :
(V0) tanpa perlakuan skarifikasi; (V1) skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas;
(V2) skarifikasi + perendaman dalam air selama 1 × 24 jam; (V3) perendaman dalam air
selama 3 × 24 jam; (V4) perendaman dalam air selama 5 × 24 jam; (V5) perendaman
dalam air dengan suhu awal 50° C selama 1 × 24 jam; (V6) perendaman dalam air dengan
suhu awal 80° C selama 1 × 24 jam; (V7) skarifikasi + perendaman dalam air dengan
suhu awal 50° C selama 1 jam; (V8) skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu
awal 80° C selama 1 jam; (V9) perendaman dalam larutan KNO3 1% selama 1 × 24 jam;
(V10) perendaman dalam larutan KNO3 0,5% selama 2 × 24 jam; (V11) perendaman dalam
larutan KNO3 0,2% selama 2 × 24 jam; (V12) perendaman dalam larutan H2SO4 1%
selama 30 menit; (V13) perendaman dalam larutan H2SO4 1% selama 30 menit + pe-
rendaman dalam air selama 1 × 24 jam dan (V14) perendaman dalam larutan H2SO4 1%
selama 1 × 24 jam. Peubah yang diamati adalah prosentase perkecambahan benih.

(2). Pengaruh Waktu Pembenaman dan Lama Pembenaman C. mucronata Desv.


pada Tanah
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non-faktorial, dengan
rincian perlakuan sebagai berikut : (P1) tanaman umur 3 mst + dibenamkan selama 2
minggu; (P2) tanaman umur 3 mst + dibenamkan selama 3 minggu; (P3) tanaman umur 4
mst + dibenamkan selama 2 minggu; (P4) tanaman umur 4 mst + dibenamkan selama 3
minggu; (P5) tanaman umur 5 mst + dibenamkan selama 2 minggu; (P6) tanaman umur 5
mst + dibenamkan selama 3 minggu dan (P7) tanaman umur 6 mst + dibenamkan selama
3 minggu. Peubah yang dianalisis adalah sifat kimia tanah yang meliputi pH, C-organik,
N total, P tersedia, K dapat ditukar dan Kapasitas tukar kation (KTK).
Data pengamatan yang diperoleh pada masing-masing percobaan dianalisis dengan
menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%, dilanjutkan dengan uji perbandingan
antar perlakuan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(1) Uji Perkecambahan Benih

47
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Perlakuan pematahan dormansi benih berpengaruh nyata pada perkecambahan


benih pada umur 7 hast dan 14 hst (Tabel 1). C. mucronata Desv. memiliki karakteristik
kulit benih yang keras. Menurut De Souza dan Filho (2001), semakin kecil ukuran benih
maka semakin rapat susunan sel-sel palisade yang bersifat impermeabel. Juhanda et al,.
(2013) menyatakan bahwa skarifikasi menyebabkan luas permukaan benih yang kontak
dengan air menjadi semakin besar sehingga proses imbibisi dapat terjadi. Perlakuan
skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas (V1), skarifikasi + perendaman dalam air
selama 1×24 jam (V2), skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu awal 50° C
selama 1 jam (V7) dan skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu awal 80° C
selama 1 jam (V8) menghasilkan nilai rata-rata daya tumbuh benih yang paling tinggi
dibanding perlakuan lainnya.

Tabel 1. Rata-rata Daya Tumbuh Benih (%) C. mucronata Desv. Akibat Perlakuan
Pematahan Dormasi
Perlakuan Daya Tumbuh Benih (%) pada Umur (hst)
7 14
V0 6,67 a 18,67 ab
V1 72,00 d 78,67 e
V2 77,34 d 80,00 e
V3 12,00 a 24,00 ab
V4 9,34 a 41,33 cd
V5 10,67 a 29,33 bc
V6 48,00 c 53,33 d
V7 77,33 d 81,33 e
V8 84,00 d 86,67 e
V9 13,30 a 17,33 ab
V10 8,00 a 13,33 a
V11 9,33 a 16,00 a
V12 12,00 a 17,33 ab
V13 29,33 b 41,33 cd
V14 12,00 a 24,00 ab
BNT 5% 11,56 13,10
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5% (p= 0,05); hst = hari setelah tanam.
Pematahan dormansi dengan perendaman air panas dan bahan kimia tanpa didahului
proses skarifikasi belum mampu membuat permukaan kulit benih menjadi permeabel. Hal
ini seperti yang dinyatakan oleh Nugroho (2007), bahwa perendaman benih merbau [I.
bijuga (Colebr.) O. Kuntze] dalam larutan sodium hipoklorit NaClO 5,25% atau dengan
cara pembakaran tidak dapat menggantikan perlakuan benih dengan cara skarifikasi.
Perendaman menggunakan HCl dan H2SO4 tidak meningkatkan prosentase
perkecambahan, hal ini mungkin karena konsentrasi yang digunakan telalu kecil.

48
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

(2) Pengaruh Waktu Pembenaman dan Lama Pembenaman C. mucronata Desv.


pada Tanah
Perlakuan pembenaman C. mucronata Desv. menunjukkan peningkatan pada
peubah pH tanah, C-organik, N total, P tersedia, bahan organik dan KTK tanah. Nilai pH
tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah. Tabel 2 menunjukkan
bahwa seluruh perlakuan pembenaman C. mucronata Desv. dapat meningkatkan pH
tanah, namun masih dalam kisaran pH normal.
Pembenaman C. mucronata Desv. nyata meningkatan C-organik tanah (Tabel
2). Perlakuan pembenaman C. mucronata Desv. umur 3 mst selama 2 minggu (P1),
tanaman umur 4 mst + dibenamkan selama 2 minggu (P3), tanaman umur 5 mst +
dibenamkan selama 2 minggu (P5); tanaman umur 5 mst + dibenamkan selama 3 minggu
(P6) dan tanaman umur 6 mst + dibenamkan selama 3 minggu (P7) menghasilkan
persentase kandungan C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa
perlakuan) . Rata-rata persentase kandungan C-organik tersebut meningkat dari kriteria
sangat rendah (kontrol 0,36%) menjadi rendah (1-2%). Terjadinya proses dekomposisi
pupuk hijau (C. mucronata Desv.) akan menghasilkan asam-asam organik sehingga dapat
meningkatkan kandungan senyawa organik dalam tanah yang dicirikan dengan
meningkatnya kandungan C-organik tanah.
Melalui proses mineralisasi, senyawa-senyawa kompleks penyusun jaringan tanaman
akan diubah menjadi unsur-unsur yang tersedia bagi tanaman. Pembenaman biomassa C.
mucronata Desv. meningkatkan kandungan N total tanah. Peningkatan persentase
kandungan N total tanah pada perlakuan P1, P2, P3, P4 dan P5 meningkat dibandingkan
kontrol (Tabel 2), meskipun masih termasuk dalam kriteria sangat rendah (<0,1%).
Masing-masing peningkatan kandungan N total tanah pada perlakuan tersebut yaitu P1
(0,087 %), P2 (0,067%), P3(0,093%), P4 (0,083%) dan P5 (0,097%), P6 (0,103% dan P7
(0,130%).
Persentase ketersediaan unsur P pada tanah awal yaitu 3,15 mg kg-1, termasuk dalam
kriteria sangat rendah. Setelah pemberian perlakuan, ketersediaan P tanah mengalami
peningkatan yaitu masing masing P2 (59,32 mg kg-1), P3 (64,77 mg kg-1), P4 (57,17 mg kg-
1
), P5 (64,72 mg kg-1) (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata pH Tanah, C organik, N total, P tersedia, K dapat ditukar dan KTK
Akibat Perlakuan Waktu Pembenaman dan Lama Pembenaman C. mucronata Desv. pada
Tanah
K Dapat Kapasitas
C Organik N Total P Tersedia
Perlakuan pH Ditukar (me Tukar Kation
(%) (%) (mg kg-1)
100 g-1) (me 100 g-1)
P0 6,8 a 0,36 a 0,033 a 3,15 a 0,057 a 1,05 a
P1 7,0 ab 1,29 d 0,087 bc 39,69 b 0,427 bc 4,23 d
P2 7,5 d 0,69 b 0,067 b 59,32 c 0,523 bc 2,09 ab
P3 7,3 cd 1,05 cd 0,093 bc 64,77 c 0,640 c 3,17 bcd
P4 7,4 d 0,93 bc 0,083 bc 57,17 c 0,483 bc 2,46 abc
P5 7,5 d 1,08 cd 0,097 c 64,72 c 0,507 bc 3,52 bcd
P6 7,2 bc 1,13 cd 0,103 cd 83,39 d 0,307 ab 3,51 bcd
P7 7,5 d 1,30 d 0,130 d 91,25 d 0,370 b 3,87 cd
BNT 5% 0,21 0,29 0,0295 10,644 0,268 1,61
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5% (p= 0,05)

49
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Perlakuan pembenaman tanaman umur 5 mst selama 3 minggu (P6) dan pembenaman
tanaman umur 6 mst selama 3 minggu (P7) menghasilkan rata-rata kandungan P tersedia
yang paling tinggi yaitu masing-masing 83,39 mg kg-1 dan 91,25 mg kg-1. Rata-rata
kandungan P tersedia tanah pada semua perlakuan meningkat dibandingkan dengan
kontrol, yaitu dari kriteria sangat rendah (<5 mg kg-1) menjadi sangat tinggi (>20 mg kg-
1
). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Yuwono (2009) bahwa perombakan bahan
organik menyumbang 20 - 80% dari total P dalam tanah. Selain itu, unsur P cenderung
tidak mudah tercuci sehingga unsur P tersedia relatif tinggi pada tanah.
Kandungan K dapat ditukar meningkat dari kriteria sangat rendah menjadi
rendah. Nilai rata-rata parameter K dapat ditukar pada tanah awal yaitu 0,057 me 100 g-1,
termasuk dalam kriteria sangat rendah. Pembenaman hijauan tanaman C. mucronata
Desv. dengan umur tanaman yang semakin tua, menyebabkan pe-ningkatan nilai rata-rata
K dapat ditukar (Tabel 2). Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pembenaman
tanaman umur 4 mst selama 2 minggu (P3) yaitu sebesar 0,640 me 100 g-1 (kriteria
sedang). Namun, pada umur pembenaman selanjutnya, nilai K dapat ditukar menurun,
yaitu pada perlakuan pembenaman tanaman umur 5 mst selama 3 minggu (P6) dan
pembenaman tanaman umur 6 mst selama 3 minggu (P7) masing-masing 0,307 me 100 g-1
dan 0,370 me 100 g-1, yang termasuk pada kriteria rendah. Setelah terjadi proses
dekomposisi, ion-ion K secara perlahan akan dilepaskan ke dalam larutan tanah. Kadar K
dalam larutan tanah sebagian akan diserap tanaman/mikrobia dan sebagian akan terikat
secara lemah pada muatan pertukaran koloidal tanah (K dapat ditukar). K dapat ditukar
ini kemudian dapat lepas ke larutan tanah atau terikat lebih kuat pada permukaan dalam
koloidal tanah. Ion-ion K memiliki satu valensi sehingga unsur ini tidak dijerap secara
kuat oleh muatan permukaan koloid (Hanafiah, 2005).
Pembenaman C. mucronata Desv. umur 3 mst selama 2 minggu (P1), P3, P5, P6
dan P7. menghasilkan nilai KTK lebih tinggi dibandingkan dengan tanpaperlakuan (Tabel
13). Nilai KTK tergantung pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah. Semakin tinggi
nilai KTK tanah, semakin subur tanah tersebut. Demikian pula kemampuannya dalam
menjerap unsur hara juga semakin tinggi (Novizan, 2002).

KESIMPULAN

C. mucronata berpotensi sebagai pupuk hijau karena pembenaman 10 ton ha-1


hijauan C. mucronata Desv. mampu meningkatkan nilai C-organik sebesar 258%; N total
sebesar 163%; P tersedia sebesar 1138%; K dapat ditukar sebesar 649% dan KTK tanah
sebesar 301% dibanding tanpa perlakuan, namun benihnya membutuhkan perlakuan
skarifikasi untuk meningkatkan permeabilitas kulit bijinya. Perlakuan skarifikasi secara
mekanis dengan kertas amplas meningkatkan daya tumbuh benih C. mucrona-ta Desv.
sebesar 321,37% dibanding tanpa perlakuan skarifikasi.

50
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, L. 2011. Teknologi Hijau dalam Pertanian Organik Menuju Pertanian


Berlanjut. UB Press. Malang. 242 p.

Anonymous. 2010. The Total Vascular Flora of Singapore Online (C. mucronata Desv.).
http://floraofsingapore.wordpress.com/

De Souza, FHD dan Marcos F.J. 2001. The Seed Coat as A Modulator of Seed
Environment Relationship in Fabaceae. J Revta Brasil. 24(4) : 365-375.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Pers. Jakarta. 360 p.

Juhanda, Yayuk N dan Ermawati. 2013. Pengaruh Skarifikasi pada Pola Imbibisi dan
Perkecambahan Benih Saga Manis (Abruss precatorius L.). J Agrotek Tropika.
1(1) : 45 – 49

Lestari, D.W., J. Moenandir dan T. Sumarni. 2011. Pengaruh Aplikasi Pupuk Hijau Orok-
orok (C. juncea L.) dan Jumlah Bibit/lubang Tanam pada Tanaman Padi (Oryza
sativa L.) var. Cibogo. J. Ilmu Pertanian. 17 (2) : 221 – 227

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media Pustaka. Jakarta. 114 p.

Nugroho, J. D,. 2007. Biologi dan Perkecambahan Biji Merbau [Intsia bijuga (Colebr.)
O. Kuntze]. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Schimdt, L. 2000. Guide to Handling of Tropical dan Subtropical Forest Seed. Danida
Forest Seed Centre. Denmark. 511 p.

Sipayung, H.N. 2010. Pengaruh Skarifikasi Bagian-bagian Benih dan Konsentrasi


Kalium Nitrat (KNO3) terhadap Perkecambahan Benih Palem Botol (Mascarena
lagenicaulis). Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara. Medan. 76 p.

Yuwono, N.W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. J Ilmu Tanah dan
Lingkungan. (9) : 137-141

51
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

POTENSI PENGEMBANGAN ANGGUR


JESTRO AG45 (FITIS VINIFERA,SP) DI DATARAN
RENDAH
Emi Budiyati dan Anis Andrini
(Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika)
JL. Raya Tlekung no.1 Tlekung Junrejo Batu
Email : emi.budiyati@yahoo.co.id

ABSTRAK

Anggur Jestro Ag45 mempunyai kwalitas yang tinggi bisa sebagai pembanding
dengan anggur impor, baik dirasanya yang manis segar dan krispy. Kegiatan penelitian ini untuk
memperoleh informasi keunggulan karakteristik dan potensi Jestro Ag45 sebagai
pengembangan untuk memenuhi kebutuhan buah anggur domestik dan menekan buah anggur
impor. Pengujian dan observasi langsung dilakukan mulai bulan Januari 2012 sampai dengan
Nopember 2013, di Kebun Percobaan Banjarsari, Desa Bayeman Kota Probolinggo Propinsi
Jawa Timur. Metode yang digunakan adalah metode observasi yaitu dengan mengamati
langsung pada tanaman anggur Jestro Ag45 di lapang. Pengamatan keragaan tanaman secara
visual (morfologis) dilakukan secara langsung berdasarkan Descriptor for Grapevine (IPGRI,
1997), dan pedoman penyusunan deskripsi varietas yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian
No. 700/Kpts/OT.320 /D/12/ 2011, sedangkan karakterisasi sifat kimiawi buah dilakukan di
Laboratorium Pasca Panen, Universitas Brawijaya, Malang Jatim. Hasil menunjukkan bahwa
Jestro Ag45 layak sebagai varietas unggul karena mempunyai kwalitas yang tidak kalah dengan
anggur impor yaitu : bentuk buah bulat, kulit buah berwarna ungu kehitaman, rasa buah manis
segar dan krispy dengan kadar asam yang rendah (0.77) kadar gula 19-20% (brix), kadar air 60%
dan vitamin C 35.05 mg/100gram.

Kata kunci : anggur, varietas, Jestro Ag45, pengembangan

ABSTRACT

Grapevine Jestro Ag45 has can have a high quality that can be the competitor of imported
grapevines. It has sweet fresh taste and Crispy texture. The purpose of this research activities
was to gain information of superiority characteristics and potential of Jestro Ag45 as development
to meet the needs of domestic grapes and supress the imported grapes. Tes and direct observation
were conducted from January 2012 to November 2013, at the Experimental Field of Banjarsari,
Bayeman Village Probolinggo, East Java. The method used was the method of observation is to
observe the Ag45 Jestro vines in the field. Visual observation of the performance of plants
(morphological) carried out directly based descriptor for Grapevine (IPGRI, 1997), and guidelines
for the variety description issued by the Minister of Agriculture No. 700 / Kpts / OT.320 / D /
12/2011, while the characterization of the chemical properties of the fruit was done in Post Harvest
Laboratory, University of Brawijaya, Malang, East Java. The results indicated that Jestro Ag45
feasible as superior varieties because it has a quality that is not inferior to imported grape was
fruts, namely: round shape, purple-black fruit peel, sweet taste and crispy with low acid content
(0.77) sugar content of 19-20% (brix), 60% water content and Vitamin C of 35.05 mg / 100gram.

Keywords: grapevine, varieties, Jestro Ag45, development


PENDAHULUAN

Anggur mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi mengingat besarnya


volume impor anggur segar di Indonesia yang menduduki urutan ke 3 impor buah setelah
jeruk dan apel (Direktorat Tanaman Buah, 2012). Anggur Jestro Ag 60 telah

52
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

dikembangkan oleh PTPN XII mulai tahun 2010 dan produksi terjual pada supermarket
Total Surabaya sebanyak 12 ton, dengan harga Rp 22.500/kg (Yusmarten, 2012 (
komunikasi pribadi)
Kualitas buah anggur di Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan anggur impor
hanya saja perlu pembenahan dalam aplikasi teknologi budidaya anggur. KP Banjarsari
sebagai satu-satunya kebun koleksi anggur di Indonesia mempunyai 7 varietas unggul
(Probolinggo Biru-81, Bali, Kediri Kuning, Probolinggo Super Prabu Bestari, Jestro
Ag86 dan Jestro Ag60) dan 11 varietas harapan (Bs 45, Bs 5, 9, Bs 61, Bs 29, Bs 63, Bs
80, Bs 78, Bs 53, Bs 19 dan Bs 39) (Purnomo, 1988; Loraine, komunikasi pribadi, 2005,
Budiyati E, 2010).
Anggur Jestro Ag45 merupakan tanaman introduksi dari zaman pemerintah
Hindia-Belanda pada abad 17. Pada tahun 1682, di Batavia telah ada tanaman anggur
yang berbuah. Bahkan pada tahun 1800 tanaman anggur telah dikenal di pulau Pisang
yang letaknya di sebelah barat kota Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya pada tahun 1828
dilaporkan tentang budidaya anggur di Besuki dan Banyuwangi serta percobaan-
percobaan untuk membuat minuman anggur. Pada tahun 1899 di Probolinggo juga
dilaporkan adanya pertanaman anggur terluas sebanyak 100 tanaman milik H. Moch Ali,
disamping tanaman–tanaman anggur biru dan putih yang banyak dijumpai di pekarangan-
pekarangan. Tanaman-tanaman anggur inilah yang kemudian terkenal sebagai anggur
Probolinggo Biru dan Probolinggo Putih (Winarno dkk, 1991).
Anggur Jestro Ag45 termasuk klon yang cocok untuk dikembangkan di
Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan anggur dalam negeri dan sekaligus
menekan masuknya anggur impor. Hal tersebut didasari kualitas Jestro Ag45 yang dinilai
mampu bersaing dengan anggur impor karena memiliki penciri khusus yaitu : memiliki
penciri utama, yaitu Bentuk buah bulat, warna ungu kehitaman, dan crispy, tekstur
batang kasar dan keunggulan yang khusus yaitu : kandungan juici tinggi (60%) rasa
manis segar dan crispy dan hal ini sesuai dengan selera konsumen domestik.

METODOLOGI

Pengujian dan observasi langsung dilakukan mulai bulan Desember 2011


sampai dengan Nopember 2013 di Kebun Percobaan Banjarsari, Balai Penelitian
Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Desa Bayeman Kota Probolinggo Propinsi Jawa
Timur. Bahan tanaman yang digunakan adalah Pohon Induk Tunggal (PIT) Tanaman
Anggur Jestro Ag45 berumur 5 tahun , jangka sorong, meteran, timbangan digital, hand
refragtometer, hand counter, kertas label, kranjang buah, camera buku pengamatan dan
bahan kimia lain untuk analisakimia buah (Vitamin C, total asam, total gula).

Metode yang digunakan adalah metode observasi yaitu dengan mengamati


langsung di lapang pada tanaman PIT. Selain pengujian dan observasi langsung
digunakan pula data-data hasil penelitian Balitjestro. Untuk varietas pembanding
digunakan varietas yang sudah dilepas yaitu varietas Bali dan Prabubestari.
Pengamatan keragaan tanaman secara visual (morfologis) dilakukan secara
langsung berdasarkan Descriptor for Grapevine (IPGRI, 1997), dan pedoman
penyusunan deskripsi varietas yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian No.
700/Kpts/OT.320/D/12/2011, sedangkan karakterisasi sifat kimiawi buah dilakukan
di Laboratorium Pasca Panen, Universitas Brawijaya, Malang Jatim.
Peubah Yang Diamati

53
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

- Bentuk batang diamati dengan cara mengiris batang secara melintang


sehingga dapat dilihat bentuk penampang batangnya, bulat, persegi, pipih,
lonjong dst
- Warna batang dengan mengamati secara langsung warna batang saat itu
dengan voting bersama 5 orang, dan suara terbanyak yang kita ikuti
- Warna buah dengan menyamakan bagan gambar buah
- Warna daun dengan melihat langsung dengan colourr cat
- Karakter kuantitatif meliputi tinggi tanaman, produksi (jumlah dan berat
buah), ukuran buah, kadar vitamin dan seterusnya.
- Tinggi tanman : dengan mengukur dari batang diatas permukaan tanah
sampai dengan pucuk.
- Jumlah buah : menghitung total buah dalam 1 tanaman
- Berat buah : menghitung berat perbuah maupun total buah pertanaman
- Ukuran buah : dengan memilah milah buah menjadi great A, B, C
- Kadar gula : mengukur dengan hand refraktometer

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian dan observasi dengan mengamati langsung pada tanaman PIT


calon Jestro Ag45 pada umur 5 tahun yang sedang berbuah dan vigor di area
Kebun Percobaan Banjarsari pada luasan + 1000 m2, yang mempunyai jenis
tanah : Alluvial dengan ketinggian 1 mdpl, curah hujan rata2 1200 mm/thn, hari
hujan rata2 : 90hr/thn, suhu udara rata2: 28oC, suhu minimum: 21oC degan
kelembaban nisbi rata2: 76% dan PH 6 -7.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Kualitatif Jestro Ag45, Bali,


Prabubestari.

No Morfologi
Jestro Ag45 Bali Prabubestari
. Tanaman

1 Tipe tanaman Perdu bekayu Perdu berkayu Perdu berkayu


2. Tipe tumbuh Merambat Merambat Merambat
3. Permukaan Kasar Halus Halus
batang
3 Bentuk Bulat Bulat Bulat
Penampang
batang
4 Warna Batang Abu-abu tua Abu-abu tua Abu-abu tua
5 Bentuk daun Pentaagonal Pentaagonal Pentaagonal
6 Warna daun Hijau Hijau Hijau
7 Bentuk Bunga Tandan majemuk Tandan Tandan majemuk
majemuk
8 Warna bunga
- Kelopak bunga Hijau kekuningan Hijau Hijau kekuningan
- Mahkota bunga Hijau kekuningan kekuningan Hijau kekuningan
- Benang Sari Kuning Hijau Kuning

54
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

- Kepala Putik Hijau kekuningan kekuningan Hijau kekuningan


Kuning
Hijau
kekuningan
9 Bentuk buah Bulat Bulat Bulat agak
lonjong
10 Warna kulit buah Ungu kehitaman Ungu kehitaman Merah gelap
11 Warna daging Bening Bening pucat Bening pucat
buah
12 Rasa daging buah Manis segar manis manis
13 Tingkat rendah rendah rendah
kerontokan buah
masak
14 Bentuk biji Bulat telor Bulat telor gada
15 Warna biji Coklat muda Coklat muda Coklat kehitaman
16 Ketahanan
terhadap penyakit Rentan Rentan Rentan
powdery mildew
(Uncinula
necator))
17 Ketahanan
terhadap Downy Rentan Rentan Rentan
mildew
(plasmopora
viticola)

Tabel 2. Hasil Pengamatan Karakter Kuantitatif Jestro Ag45, Bali dan


Prabubestari.

No Morfologi
Jestro AG45 Bali Prabubestari
. Tanaman
1 Diameter batang 10-15cm 7- 11 cm 6.2 – 11 cm
2 Jumlah cabang 110-130 113 126
3 Panjang daun 10-13 cm 11- 12.5cm 8.5-13.4 cm
4 Lebar daun 13-19 cm 13 – 18cm 11.4 -20.3 cm
5 Umur mulai 14 hari setelah 18 hari setelah 30 hari setelah
berbunga pangkas pangkas pangkas
4 Panjang buah 1.5-2.0 cm + 20.89 mm + 21.36 mm
5 Lebar buah 1.5-2.0 cm
6- Jumlah biji per 3-4 2-3 1-3
bauh
7 Kandungan air 60% 80% 47.77%
8 Kadar gula 19-20
9 Kandungan vitamin 35.05 mg/100gram 21.64 23.23
C
10 Kadar asam 0.77% 1.9%

55
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

11 Jumlah tandan buah 83 – 160 90-130


per tanaman
12 Berat buah per 32 – 58 kg 30-45 kg 30-50 kg
tanaman
13 Persentase bagian 92 – 95 % 95% 90%
buah yang dapat
dikonsumsi
14 Daya simpan buah 1 – 2 minggu 1-2 minggu 1-2 minggu
pada suhu 17 - 22°
15 Hasil buah per 10-15 ton 10-15 ton 15-20 ton
hektar
16

Keragaan tanaman anggur calon varietas Jestro Ag 45 dicirikan dengan batang


yang tegak berbentuk lingkaran, berwarna abu abu tua, permukaan kasar dan batang
tumbuh sampai para-para merambat memenuhi para-para. Pupus daun dan daun muda
tampak setelah 2 minggu dari pemangkasan dengan bentuk ujung pupus terbuka penuh
dan mempunyai antosianin yang kuat. Setelah 2 minggu dari pemangkasan, daun muda
telah menjadi daun masak yang pada umumnya berukuran besar dan bentuk daun
pentagonal. Bunga anggur merupakan bunga majemuk berbentuk tandan dimana disetiap
batang tubuhnya terdapat antara 1,1 - 2 tandan bunga. Tandan buah berukuran medium
sampai panjang, terdiri dari kumpulan buah yang berbentuk bulat dengan ukuran
panjang buah medium dan kulit buah yang sudah masak berwarna ungu kehitaman.
Anggur Jestro Ag45 (Carolina Black Rose) mempunyai keunggulan pada dompolan
buah yang sangat rapat dengan warna buah ungu kehitaman dan berbentuk bulat agak
lonjong yang disertai cita rasa manis segar dan crispy Keunggulan lainya terletak pada
jumlah tandan yang banyak, daya hasil tinggi, tingkat kerontokan buah masak rendah
sehingga dapat bertahan dalam pengemasan, sedang kelemahan dari varietas ini adalah
ukuran buah yang medium, sehingga berkesan kurang menarik.

56
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

JESTR0 45 BALI PRABUBESTARI

JESTRO 45 BALI
PRABUBESTARI

Gambar 9. Perbandingan keragaan buah dan batang Calon Varietas Jestro Ag45 dan
varitas Bali dan Prabubestari

Preferensi Konsumen
Berdasarkan preferensi konsumen yang telah dilakukan pada Gabungan Unit
Darma wanita UPT Deptan se-Jawa Timur di BIB Singosari dan peserta pelatihan
pustakawan di Balitjestro, sebanyak 65% dari 30 orang responden menyukai calon
varietas anggur Jestro Ag45 karena rasanya yang manis segar dan crispy. Pendapat yang
sama juga diberikan ibu direktur perbenihan hortikultura (Ir. Sriwijayanti Yusuf,
M.Agr.Sc) dalam acara expose plasmanutfah mangga di KP Cukur Gondang tanggal 10
Nopember 2012, beliau menyukai buah anggur calon varietas Jestro Ag45, karena manis
segar dan crispy, serta ukuran yang medium sebagai pembanding anggur impor di
supermaket yang cenderung besar. Beliau juga memesan benihnya calaon varietas ini
(Jestro Ag45 Agrihorti ) dan varietas Probolinggo Super. Dan buah ini dapat
membedakan dengan jelas calon varietas anggur Jestro Ag45 dengan varietas Bali.

KESIMPULAN

Hasil menunjukkan bahwa Jestro Ag45 layak sebagai varietas unggul karena
mempunyai kwalitas yang tidak kalah dengan anggur impor yaitu : bentuk buah bulat,
kulit buah berwarna ungu kehitaman, rasa buah manis segar dan krispy dengan kadar
asam yang rendah (0.77) kadar gula 19-20% (brix), kadar air 60% dan vitamin C 35.05
mg/100gram.

UCAPAN TERIMA KASIH

57
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Kepada Bapak Basuki Joko Sudarmanto, yang telah membantu selama kegiatan
observasi berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Vademekum Anggur. Direktorat Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian.

Anonim. 2005. Mengenal Berbagai Varietas Anggur. Direktorat Tanaman Buah.


Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian.

Budiyati E, Andrini A, 2008, 2009, 2010. Laporan akhir kegiatan Plasmanutfah


Anggur. Balitjestro (tidak dipublikasikan)

Deptan. 2006. www.deptan.go.id

Dinas Pertanian Kota Probolinggo. 2006. Formulir Isian Pengembangan Agribisnis


Anggur Data Tahun 2003/2004.

Dirjen Hortikultura, 2011. Pedoman penyusunan Diskripsi Varietas Hortikultura

IPGRI. 1997. Descriptor for Grapevine. Roma. Italy.

Rukmana.1999. Anggur : Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta.

Setiadi. 2004. Bertanam Anggur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Winarno, M, Yudowati, U.H, Kusumo, S, Primawati N, dan Sulihanti, S, 1991. Budidaya


Anggur. Balai penelitian Hortikultura Solok. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

58
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PERBAIKAN KERAGAAN TANAMAN DAN BUAH


JERUK KEPROK SIOMPU DI BUTON SULAWESI
TENGGARA DENGAN APLIKASI ZEOLIT DAN
MIMBA
Emi Budiyati, Arry Supriyanto, Oka Ardiana Banaty dan Sutopo
Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika,Tlekung
JL. Raya Tlekung no.1 Tlekung Junrejo Batu
Email : emi.budiyati@yahoo.co.id

ABSTRAK

Jeruk siompu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh jeruk asal daerah lainnya.
Jeruk keprok ini lebih manis dibandingkan dengan hampir semua jenis jeruk unggulan di Tanah
Air. Karena karakteristiknya jeruk siompu memang sebagai buah segar, kurang berair sehingga
lebih cocok sebagai jeruk meja. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 –
Desember 2012 di desa Wasuemba kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan keragaan dan keunggulan mutu buah jeruk
Keprok Siompu di lahan suboptimal di Buton Rancangan percobaan menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) faktorial dengan faktor pertama adalah dosis Zeolit (Z) yang terdiri dari 3
aras yaitu (Z0, Z1, Z2) dan faktor kedua adalah aplikasi pestisida kimia (K) dan Mimba (M)
sehingga ada 7 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali dengan unit percobaan 3
tanaman. Tanaman yang digunakan adalah tanaman produktif yang sudah berproduksi di lapang
sejumlah 105 tanaman. Hasil menunjukkan bahwa secara agronomis perlakuan Z0 (tanpa
pemberian mimba) dan K (pemakaian pestisida kimia anjuran) menunjukkan keragaan
pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman, diameter batang atas, diameter batang bawah dan luas
kanopi yang tertinggi dibanding dengan perlakuan yang lain sedang pemberian zeolit (Z1) dosis
2 ton/ha dengan penyemprotan ekstrak biji mimba menunjukkan keragaan buah yang relatif lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya.

Kata kunci : Jeruk, Keprok, Siompu,Z eolit dan Mimba

ABSTRACT

Siompu Mandarin has some superiorities that are not owned by mandarin originated
from other areas. This mandarin is sweeter than almost all types of citrus in the country. Because
of its characteristic that Siompu mandarin is as fresh fruit, it has less water content so it is more
suitable as a table fruit. Research activities was conducted in February 2012 - December 2012 in
the village of Wasuemba, Wabula, asubdistrict Buton, Southeast Sulawesi. The purpose of this
study was to obtain the performance and quality advantages of siompu mandarin suboptimal land
fruits in the land in Buton regency. Experimental design was using a randomized block design
mandarin (RBD) factorial with the first factor was the dose of Zeolite (Z) which consists of three
levels, namely (Z0, Z1, Z2 ) and the second factor is the application of chemical pesticides (K) and
neem (M) so that there were 7 treatments. Each treatment was repeated 5 times with 3 plant of
experimental unit. Plants used were productive crops that are already planted in the field as many
as some 105 plants. The results showed that agronomically treatment Z0 (without neem apication)
and K (chemical pesticides aplication) showet the best performance of plant growth in term of
plant height, scion roostock diameter and canopy area. Meanwhile, zeolite (Z1 ) dose of 2 tons /
ha combined with spraying neem seed extract showed fruit the performance that was relatively
better than other treatments.

59
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keywords: citrus , mandarin , siompu, zeolit and neem

PENDAHULUAN

Jeruk siompu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh jeruk asal daerah
lainnya. Jeruk keprok ini lebih manis dibandingkan dengan hampir semua jenis jeruk
unggulan di Tanah Air. Sesuai karakteristiknya, jeruk siompu memang nikmat dimakan
sebagai buah segar atau sebagai pencuci mulut setelah makan. Karena karakter jeruk
siompu ini kurang berair. Karena itu, jeruk siompu lebih cocok sebagai jeruk meja dan
kurang memadai jika diperas airnya menjadi minuman segar (juice).
Jeruk siompu merupakan tanaman tradisional penduduk Pulau Siompu di
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pulau kecil dengan luas sekitar 56 km persegi itu
terletak di barat daya Pulau Buton, berpenduduk sekitar 18.000 jiwa. Hampir seluruh
daratan Pulau Siompu merupakan susunan batu kapur yang keras dan tajam. Lahan
pengembangan jeruk keprok Siompu di Kabupaten Buton merupakan lahan suboptimal
yaitu lahan kering dengan lapisan tanah yang tipis (Litosol) diatas batuan karang. Selain
Litosol, jenis tanah di Kabupaten Buton adalah Mediteran, dan Podsolik Merah Kuning
(Bapeda Buton Utara, 2009).
Tanah mediteran termasuk tanah yang tidak subur yang terbentuk
dari pelapukan batuan kapur. Tanah ini biasanya didominasi oleh mineral liat
kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta
sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka
terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah kesuburan tanah di lahan kering adalah
pemberian pembenah tanah zeolit alam merupakan senyawa alumino silikat terhidrasi,
dengan unsur utama yang terdiri dari kation alkali dan alkali tanah. Bahan ini berstruktur
tiga dimensi, memiliki kapasitas pertukaran kation (KPK) tinggi sehingga mampu
mengurangi kehilangan pupuk N dan K, dapat menyerap dan menyimpan air yang dapat
digunakan oleh tanaman, meningkatkan pH tanah masam, mengurangi kadar Al-dd,
meningkatkan efisiensi N, P, K, Ca, Mg Sitompul (1997).
Penyakit burik kusam yang disebabkan serangan beberapa hama dan penyakit
dapat mengakibatkan penampilan buah burik, kusam dan terkesan kotor dan kurang
menarik. Mimba yang memiliki nama internasional Neem (Azadirachta indica, A. Juss)
bijinya mengandung senyawa alami meliputi senyawa-senyawa terpenoid
(protolimonoids, limonoids, pentatriterpenoids, hexatriterpenoids) dan non terpenoid
(hydrocarbons, asam lemak, steroids, phenol, flavonoids, dan lain-lain) yang memiliki
kemempuan mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Dibandingkan pestisida
kimia, penggunaan pestisida hayati selain efektif mengurangi serangan hama dan
penyakit juga buah aman dikonsumsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
rekomendasi teknologi perbaikan mutu lahan suboptimal dan perbaikan mutu buah jeruk
keprok Siompu di Buton.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-September 2012 di daerah


pengembangan jeruk keprok Siompu di Desa Wasuemba, Kecamatan Wabula Kabupaten
Buton, Sulawesi Tenggara. Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman yang telah
menghasilkan buah. Teknologi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah aplikasi
pembenah tanah zeolit + pengendalian ekstrak biji mimba. Mimba diekstrak
menggunakan alkohol dengan perbandingan 10 kg mimba/15 liter alkohol 70%.

60
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Rancangan Rancangan percobaan menggunakan metode rancangan


acak kelompok (RAK) faktorial dengan faktor pertama adalah dosis Zeolit (Z) yang
terdiri dari 3 aras yaitu (Z0, Z1, Z2) dan faktor kedua adalah aplikasi pestisida kimia (K)
dan Mimba (M) sehingga ada 7 perlakuan dengan kontrol. Masing-masing perlakuan
diulang 5 kali dengan unit percobaan 3 tanaman. Tanaman yang digunakan adalah
tanaman produktif yang sudah berproduksi di lapang sejumlah 105 tanaman.
Tanaman dipilih berdasarkan keseragaman kondisi tanaman sebagai satu ulangan.
Untuk perlakuan Z1 dosis zeolit yang digunakan adalah 2 ton/ha atau 2,5 kg/pohon.
Perlakuan Z2 dosis zeolit yang digunakan adalah 4 ton/ha atau 5 kg/pohon. Dosis ekstrak
mimba untuk aplikasi adalah 5 ml/liter sedangkan dosis aplikasi pestisida kimia adalah 2
gr/liter untuk fungisida dan insektisida 1 ml/liter. Aplikasi zeolit pertama telah dilakukan
bersama pemberian pupuk kandang sesuai dosis zeolit dengan perbandingan 1:1. Aplikasi
pestisida hayati/ekstrak mimba dan pestisida kimia dilakukan setiap 2 minggu sekali
sampai panen. Selain aplikasi zeolit juga diberikan pupuk an organik berdasarkan umur
dan keragaan tanamannya dengan dosis 400 gr SP-36 dan 400 gr urea/pohon untuk
tanaman yang besar, 300 gr SP-36 dan 300 gr urea/pohon untuk tanaman yang sedang,
200 gr SP-36 dan 200 gr urea/pohon untuk tanaman yang kecil. Kemudian dilakukan
penyiraman setelah pemberian zeolit dan pemupukan selesai sampai kapasitas lapang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan agronomis tanaman jeruk keprok Siompu juga dilakukan untuk


mengetahui keragaan tanaman dan kemampuan produktifitasnya. Hasil pengamatan
tersebut dapat dilihat pada dan gambar 1. Pengamatan vegetatif tanaman meliputi: tinggi
tanaman, diameter batang atas, panjang tajuk utara-selatan dan barat-timur.

Gambar 1. Grafik keragaan tanaman jeruk keprok Siompu

Aplikasi Zeolit dan Pestisida Hayati Ekstrak Mimba


Kondisi kebun jeruk tempat penelitian di desa Wasuemba, kecamatan Wabula,
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, pohon jeruk keprok Siompu tumbuh di bukit
berbatuan karang dengan solum tanah yang sangat tipis. Pada bulan April 2012 kondisi
tanaman jeruk Siompu di kebun yang terpilih sebagai lokasi penelitian sedang berbuah
dengan diameter 4-5 cm (Tabel 1). Tahapan selanjutnya dalam kegiatan ini adalah
penerapan teknologi budidaya jeruk sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan.
Lahan pengembangan jeruk keprok Siompu di Kabupaten Buton merupakan lahan
suboptimal yaitu lahan kering dengan lapisan tanah yang tipis (Litosol) diatas batuan

61
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

karang. Selain Litosol, jenis tanah di Kabupaten Buton adalah Mediteran, dan Podsolik
Merah Kuning. Tanah Mediteran termasuk tanah yang tidak subur yang terbentuk
dari pelapukan batuan kapur. Lahan kering Podzolik Merah Kuning biasanya
didominasi oleh bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994) dan pH
masam sehingga tergolong lahan suboptimal yang tingkat produktivitasnya rendah. Tanah
ini biasanya didominasi oleh mineral liat kaolinit yang tidak banyak memberikan
sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas
memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997).
Usahatani jeruk di lahan kering diatas biasanya memiliki masalah serius dalam
memenuhi kebutuhan air dan unsur hara bagi tanaman karena jenis tanah ini biasanya
memiliki laju infiltrasi yang cepat sampai sedang (Siradz, Kertonegoro dan Handayani,
2007) dan kesuburannya rendah. Budidaya jeruk di lahan ini tidak mampu berproduksi
secara optimal jika pengelolaannya dilakukan secara konvensional. Oleh karena itu
teknologi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah aplikasi pembenah tanah zeolit
alam + pengendalian OPT menggunakan ekstrak biji mimba. Tanah di daerah ini berjenis
tanah Litosol biasanya mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka
terhadap erosi, sehingga salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah
di lahan kering adalah dengan pemberian pembenah tanah zeolit alam.

Tabel 1. Diameter buah jeruk keprok Siompu sebelum perlakuan


No. Kode Diameter Buah (cm)
1 Z0+K 4.89
2 Z0+M 5.11
3 Z1+K 5.10
4 Z0+M 5.08
5 Z1+K 5.17
6 Z2+M 4.96
7 Kontrol 4.96
Rerata 5.04

Tabel 2. Keragaan buah jeruk siompu perlakuan zeolit (Z) dan penyemprotan pestisida
alami ekstrak biji mimba (M) dan pestisida kimia pada saat buah masak
fisiologis

62
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

N No. Perlakuan Peubah Pengamatan Buah


Tinggi Bulat Berat Tebal Jumlah Jumlah Rerata
(cm) (cm) Buah (gr) Kulit (cm) Juring biji ⁰Brix
1 Kontrol 19.54 19.92 138.34 0.30 11.00 8.50 8.00
2 Z0 + K 19.98 20.45 138.02 0.30 11.00 11.20 8.40
3 Z0 + M 21.46 21.63 156.23 0.30 10.50 10.75 8.50
4 Z1 + K 20.64 21.21 151.76 0.32 10.20 14.80 7.40
5 Z1 + M 21.74 22.44 156.07 0.30 10.67 14.33 9.33
6 Z2 + K 21.37 21.96 158.20 0.31 9.80 13.80 7.60
7 Z2 + M 19.14 19.48 133.03 0.30 11.20 13.80 8.20

Pemberian zeolit 4 ton/ha dapat meningkatkan ukuran dan berat buah jeruk
keprok Siompu rata-rata hingga 158,20 gr/buah (Tabel 2). Hal ini dikarenakan zeolit
mampu memberikan kontribusi terhadap ketersediaan unsur hara untuk pertumbuhan
tanaman dan pembesaran buah. Pupuk yang diberikan menjadi tidak mudah hilang
karena penguapan ataupun pencucian, unsure hara tersebut dapat dipegang oleh zeolit
dalam kompleks jerapan sehingga dapat tersedia ketika dibutuhkan oleh tanaman.
Hasil analisa kualitas buah jeruk keprok siompu pada saat masak fisiologis
setelah pemberian zeolit dan mimba menunjukkan adanya peningkatan total gula yang
ditunjukkan dengan derajat briks terutama pada pemberian zeolit 2 ton/ha (perlakuan Z1)
yaitu hingga 9,330. Selain itu, penyemprotan pestisida hayati ekstrak biji mimba
memberikan efek pada penampilan kulit buah jeruk tersebut. Buah jeruk yang
diperlakukan dengan ekstrak biji mimba terlihat lebih mulus dan mengkilat sehingga
terlihat lebih menarik dan meningkatkan kualitasnya (Lampiran 1).

Serangan OPT Pada Tanaman jeruk Keprok Siompu


Dari hasil pengamatan awal buah jeruk Siompu terhadap serangan OPT dalam
setiap perlakuan ditemukan bekas serangan trips antara 1-5 %, Planococcus atau kutu
putih antara 2-8 ekor, kutu sisik antara 1-15 ekor, Podisus maculiventris yang
menyebabkan buah kuning 4-13 %, kudis (kulit buah menebal) antara 3-7 % (Tabel 3).

Tabel 3. Pengamatan buah jeruk Siompu terhadap serangan OPT sebelum Perlakuan
Perlakuan Thrips Planococus Kutu sisik Podisus Kudis
Z.0 + M 5.0 2.0 5.3 5.5 3.0
Z.1 + M 3.0 4.9 15.3 7.0 7.0
Z.2 + M 0.0 2.0 4.9 4.0 3.5
Z.0 + K 1.0 3.5 1.5 13.0 7.0
Z.1 + K 3.0 2.3 2.8 7.0 3.5
Z.2 + K 1.0 8.2 1.3 11.5 5.5
Kontrol 0.8 2.9 3.4 10.5 6.5
Rerata 1.97 3.69 4.93 8.36 5.14

Evaluasi hasil pengamatan saat menjelang buah dipanen terlihat bahwa


penggunaan pestisida hayati mimba efektif dalam menurunkan serangan hama kumbang
tentara (podisus sp.) dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia. Sedangkan
serangan kutu sisik dan kudis penurunanannya masih terlihat lebih banyak dengan

63
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

penggunaan pestisida kimia, hal ini dimungkinkan karena tingkat serangan sudah berada
pada stadia lanjut. Namun demikian, penggunaan pestisida hayati masih terlihat
efektifitasnya dalam mengatasi serangan hama kutu sisik dan kudis dibandingkan dengan
tanpa penyemprotan pestisida sama sekali/kontrol (Gambar2). Dalam pengendalian
organisme pengganggu tanaman, ekstrak biji mimba merupakan pilihan yang tepat untuk
menggantikan pestisida kimia. Mimba yang memiliki nama internasional Neem
(Azadirachta indica, A. Juss) bijinya mengandung senyawa alami meliputi senyawa-
senyawa terpenoid (protolimonoids, limonoids, pentatriterpenoids, hexatriterpenoids)
dan non terpenoid (hydrocarbons, asam lemak, steroids, phenol, flavonoids, dan lain-
lain) yang memiliki kemampuan mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Walapun
memiliki selektivitas tinggi, ekstrak mimba dapat mempengaruhi sekitar 400 sampai 500
spesies serangga Blattodea, Caelifera, Coleoptera, Dermaptera,Diptera, Ensifera,
Hetroptera, Homoptera, Hymenoptera, Isoptera, Lepidoptera, Phasmida, Phthiraptera,
Siphonoptera, Thysanoptera, pada spesies spesies ostracod dan beberapa tungau.
Ekstrak mimba juga berfungsi sebagai nematisida untuk mengendalikan spesies
endoparasitic dari Meloidogyne dan Globodera, spesies ektoparasit dari Hoplolaimus dan
Tylenchorhynchus dan spesies semiendoparasitic dari Rotylenchus dan Pratylenchus
(Musabyimana dan Saxena, 1999). Ekstrak mimba efektif mengendalikan patogen jamur
(fungisida). Siput air sebagai vektor penyakit seperti Melinia scabra (schistosomiasis)
dan phytophagous atau siput-tanah di rumah kaca dan hortikultura jiga bisa dikendalikan
dengan mimba (West dan Mordue, 1992). Produk mimba juga bisa mengendalikan tungau
dari genus Tetranychus, bakteri dan virus tanaman dan hewan (Mansour et al, 1987;
Hunter dan Ullman, 1992; Schmutterer, 1995).

Gambar
2.
Efektifita
s
pengguna
an
pestisida
hayati
ekstrak
biji
mimba
(M) dan
pestisida Kimia (K)

KESIMPULAN

Pemberian zeolit (Z1) dosis 2 ton/ha dengan penyemprotan ekstrak biji mimba
menunjukkan keragaan buah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang
lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan besar buah, berat buah dan derajat briks yang
tinggi. Penggunaan pestisida alami dari ekstrak biji mimba efektif menurunkan persentase
serangan organisme pengganggu terutama pada kutu dompolan (Planococcus citri ) dan
kumbang tentara (Podisus sp). Selain itu perlakuan dengan penyemprotan ekstrak biji

64
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mimba sebagai pestisida hayati menambah mutu penampilan kulit buah jeruk menjadi
lebih mengkilat.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan.
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman
Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675.

Bapeda Buton Utara. 2009. Kondisi Wilayah Kabupaten Buton Utara. Buton Dalam
Angka. http://bappedabutonutara.com).

Hunter, W.B. and Ullman, D.E. (1992), Effect of the neem products, RD-Repellin, on
settling behaviour and transmission of zucchini yellow mosaic virus by the pea
aphid, Acyrthosiphon pisum (Harris) (Homoptera: Aphididae), Annals of
Applied Biology, 120, 9-15.

Mansour, F., Ascher, K.R.S. and Omari, N. (1987), Effect of neem (Azadirachta indica)
seed kernel extracts from different solvents on the predacious mite Phytoseiulus
persimilis and the phytophagous mite Tetranychus
cinnabarinus.Phytoparasitica, 15, 125-130.

Musabyimana, T. and Saxena, R.C. (1999), efficacy of neem seed derivatives against
nematodes affecting banana, Phytoparasitica, 27, 43-49.

Partohardjono, S., I.G. Ismail., Subandi., M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan. 1994.
Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di
Berbagai Agroekosistem. Prosiding Simposium Panelitian Tanaman Pangan III.
Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182.

Schmutterer, H. (1995), The Neem Tree and Other Meliaceous Plants, Source of Unique
Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other
Purposes, VCH Verlagsgesellschaft, Weinheim. West, A.J. and Mordue
(Luntz), A.J. (1992), The influence of azadirachtin on the feeding behaviour of
cereal aphids and slugs, Entomologia Experimentalis et Applicata, 62, 75-79.

Siradz, S.A., B.D. Kertonegoro dan S. Handayani. 2007. Peranan Uji in Situ Laju
InfiltrasiDalam Pengelolaan DAS Grindulu-Pacitan. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan Vol. 7 No.2 (2007) p: 122-126. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian UGM, Yogyakarta, 55281

Sitompul, R. M. 1997. Pemanfaatan Zeolit Sebagai Campuran Pupuk Anorganik dalam


Upaya Meningkatkan Produktivitas Tebu. Pros. Konf. Energi Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. BPP. Teknologi.

Lampiran 1. Keragaan agronomis tanaman jeruk Keprok Siompu

65
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Lampiran 2. Jeruk keprok Siompu pada saat dipanen masih masak fisiologis dengan
perlakuan pembenah tanah zeolit (Z) dan penyemprotan pestisida alami biji
mimba (M) dan pestisida kimia (K)

Kontrol Z0+M Z1+M

66
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

EKSPLORASI DAN PRODUKSI CMA (CENDAWAN


MIKORIZA ARBUSKULAR) INDIGENOUS MADURA
MENGGUNAKAN ALTERNATIF METODE POT
KULTUR TERBUKA MURAH DAN EFEKTIF
Dwi Rahmawati Y1, Ach Jasuli1, Ngisomudin1, Vika YP1, Gita Pawana2
1
Mahasiswa Program Studi Agroekoteknologi,
2
Dosen Program Studi Agroekoteknologi
E-mail: dwirahmawatiyustiningsih@gmail.com

ABSTRAK

Produksi inokulan agen hayati CMA pada rhizosfer tanah salin selama ini dengan metode
kultur pot terbuka menggunakan pecahan batu (pasir) zeolit yang ditambahkan asam humik dan
pupuk majemuk sebagai media produksi untuk perbanyakan yang cenderung sangat mahal untuk
diterapkan. Mengingat keberadaan pasir zeolit dan asam humik yang sulit diperoleh, sehingga
perlu dicari media pengganti yang lebih murah. Tujuan penelitian adalah untuk mengkoleksi dan
mengeksplorasi CMA indigenous Madura dan mengkaji pengaruh komposisi media perbanyakan
CMA yang dapat optimal menghasilkan inokulan CMA pada kultur pot terbuka. Digunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan tunggal media tanam. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Agroekoteknologi dan Laboratorium Tanah Jurusan
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. Hasil yang diperoleh: 1)
Media terbaik untuk kultur pot terbuka pada perbanyakan spora CMA adalah perlakuan kelima,
yaitu campuran antara tanah dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 2 : 5. 2) Kekayaan
spora CMA tertinggi terdapat pada lokasi Kabupaten Sumenep dengan nilai salinitas terendah
diantara 4 lokasi. 3) Kesamaan genus mencapai maksimum pada 4 lokasi pengamatan, genus
tersebar merata dengan baik.

Kata kunci: Cendawan mikoriza arbuskular, madura, pot kultur terbuka

ABSTRACT

The production of inokulan agent in biological AMF rhizosfer saline soil recently, by a
method of pots open culture using glass a stone ( the sand ) of the zeolite added humic acids and
fertilizer production compound as a medium for propagation that tends to very expensive to be
applied. Considering the existence of sand of the zeolite and humic acids obtained, that is hard so
we needed a substitute who sought media is cheaper. Research purposes is to mengkoleksi and
explore AMF indigenous madura and review influence the composition of the media multiplication
AMF that can be optimal produce inokulan AMF on pots open culture. Used draft random
complete by a factor of media treatment single growing season. Research carried out in a
laboratory agroekoteknologi and laboratory land route agroekoteknologi the faculty of
agricultural Trunojoyo University Madura. Of the results obtained : 1) The media best for the pots
open culture at the multiplication spores AMF fifth, is treatment that is a mixture of between land
and amounts of cow manure with comparisons 2:5. 2) Wealth spores AMF highest there are on the
site of the county of Sumenep salinitas lowest with a value of between 4 locations. 3) The similarity
of the genus reach a maximum on 4 location observation, genus of widely distributed unevenly
with good.

Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Madura, pots open culture.

PENDAHULUAN

67
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

a. Latar Belakang
Asosiasi cendawan mikoriza pada lahan kering pasca tambang telah berpengaruh
positif, terbukti dengan adanya peningkatan ketersediaan hara bagi tanaman (Delvian,
2004). Pada penelitian yang lain CMA juga berpengaruh positif pada proses pembibitan,
pemberian CMA dengan dosis 100 g/bibit pada bibit kayu manis mampu memberikan
pertumbuhan yang terbaik (Delvian, 2005).
Madura merupakan daerah yang sebagaian besar luasannya beriklim kering serta
berkadar garam cukup tinggi (salinitasnya tinggi). Dengan kondisi demikian Madura
mempunyai perbedaan karakter tanah dengan lokasi lain di Indonesia. Namun demikian
secara alami (tanpa campur tangan manusia) banyak dijumpai tanaman yang tumbuh dan
berkembang cukup subur, sehingga perlu dilakukan eksplorasi potensi sumber daya
hayati khususnya CMA yang terdapat pada rhizosfer tanah salin ataupun pada rhizosfer
cemara udang yang terdapat dipantai lombang sebagai tanaman endemik Madura.
Produksi inokulan CMA selama ini diadopsi dari Brundrkett et al. (1996) yaitu
dengan kultur pot terbuka dengan menggunakan pecahan batu (pasir) zeolit yang
ditambahkan asam humik dan pupuk majemuk (dengan kandungan hara rendah) sebagai
media produksi untuk perbanyakan. Media tersebut menjadi sangat mahal untuk
diterapkan mengingat keberadaan pasir zeolit dan asam humik yang sulit diperoleh,
sehingga perlu dicari media pengganti yang lebih murah. Pasir zeolit diganti dengan
arang sekam, asam humik digantikan dengan moss atau pupuk kandang, dan pupuk
majemuk dengan kandungan hara rendah digantikan dengan tanah steril sebagai penyedia
hara.
b. Tujuan
1. Untuk mengkoleksi dan mengeksplorasi CMA indigenous Madura
2. Mengkaji pengaruh komposisi media untuk perbanyakan spora CMA pada kultur
pot terbuka.
c. Kegunaan
1. CMA indigenous Madura dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat
luas dengan metode perbanyakan yang mudah dan murah.
2. Dapat diperolehnya informasi (landasan teori) dalam memproduksi inokulan
CMA.

METODE PENELITIAN

1. Pengambilan sampel tanah yang gunakan sebagai inokulan


2. Perbanyakan spora dengan cara kultur pot terbuka dengan komposisi media tanam
dan dengan menggunakan tanaman jagung sebagai inang.
Media komposisi sebagai berikut :

1. perlakuan I : zeolit
2.perlakuan II : arang sekam, tanah steril dan moss
3. perlakuan III : zeolit, tanah steril dan moss
4.perlakuan IV : zeolit, arang sekam dan moss
5.perlakuan V : pupuk kandang dan tanah
3. Setelah 2 bulan dilakukan ekstraksi spora CMA dan Identifikasi berdasarkan
gambar spora dari INVAM www.invam.caf.wvu.edu

68
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

4. Analisis data
1. Menganilisi kekayaan dan kesamaan genus CMA
2. Menganalisis perbedaan komposisi media tanam terhadap jumlah spora dengan
menggunakan ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kekayaan dan Kesamaan Genus


Kekayaan dan Kesamaan Genus disajikan dalam tabel 3 dan 4:

Tabel 3. Kekayaan Genus CMA


Genus
Lokasi
Glomus Gigaspora Acaulospora Jumlah
Bangkalan 104 124 260 488
Sampang 87 92 165 344
Pamekasan 119 115 146 380
Sumenep 150 148 296 594

Tabel 4. Kesamaan Genus CMA


Nilai Kesamaan
Genus
Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep

Glomus 21,31% 25,29% 31,31% 25,25%


Gigaspora 25,40% 26,74% 30,26% 24,91%
Acaulospora 53,27% 47,96% 38,42% 49,83%

Berdasarkan Tabel 3 dan 4 dapat di kemukakan bahwa CMA yang ada pada
kabupaten pamekasan lebih beragam dibandingkan dengan kabupaten yang lain.
sedangkan pada kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Sumenep Genus Acaulospora lebih
mendominasi di bandingkan dengan Genus yang lain. Hal ini disebabkan oleh pH tanah
pada kabupaten Pamekasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten lain
(disajikan dalam Tabel 5). Adapun kondisi salinitas tanah tanpak tidak berpengaruh
terhadap keragamaan Genus, hal ini ditunjukkan pada kabupaten bangkalan walaupun
memiliki salinitas yang tinggi namu memiliki keragaman CMA yang rendah
dibandingkan kabupaten Pameksan.

Tabel 5. Salinitas dan pH


Asal Sampel Salinitas (mg/L) pH

Bangkalan 1388,4 7,9

Sampang 118,02 7,9

Pamekasan 150,06 7,4

Sumenep 111,30 7,6

69
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

2. Perbanyakan Spora CMA


Berdasarkan hasil anova ada perbedaan diantara pelakuan I sampai V. (disajikan
dalam tabel 6.)

Tabel 6. Hasil Analisis varian


F Tabel
SK DB JK KT F Hitung Note 5% 1%
Perlakuan 4 37571,3 9392,825 20,362 ** 3,055 4,89
Galat 15 6919,25 461,283333
Total 19 44490,55

Berdasarkan hasil uji Duncan diperoleh bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata
terhadap data yang dihasilkan (disajikan pada tabel 7).

Tabel. 7. Rata-rata jumlah spora


Perlakuan Rata-rata jumlah spora
I 17,5 a
II 67 b
III 113,25 bc
IV 119,75 c
V 136,75 d

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda pada uji Duncan α = 5%.
Berdasarkan tabel diatas perlakuan V memberikan rata-rata jumlah spora relatif
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut
komposisi media tanam adalah pupuk kandang sapi dan tanah. Campuran tanah dengan
pupuk kanang sapi sangatlah berpengaruh efektif terhadap pertumbuhan tanaman, begitu
juga pada perkembangbiakan spora CMA. Miller dan Donahue (1990) menyatakan bahwa
rata-rata bahan kering jenis pupuk kandang ini mengandung 3% N; 0.8% P (1.8% P2O5);
2% K (2.4% K2O); 25% karbon organik dan bermacam-macam sejumlah unsur-unsur
lain yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Pada saat penanaman atau kultur pot
berlangsung, maka tanaman yang menggunakan media pupuk kandang dan tanah
sangatlah tumbuh subur, miselia CMA yang ada disana juga semakin banyak dan pesat.
Setelah tanaman dikeringkan, maka tanaman kekurangan unsur hara secara tiba-tiba, hara
yang terkandung pada pupuk kandang tersebut tidak dapat diserap oleh tanaman tanpa
ada bantuan air. Tanaman mati secara perlahan-lahan. Pada proses ini, miselia yang ada
pada rhizosfir tumbuh secara perlahan dan membentuk spora CMA untuk membantu akar
tanaman menyerap hara dalam kondisi tanaman yang kritis.
3. Indeks Kekayaan dan kesamaan genus spora CMA

Tabel 8. Kekayaan genus spora CMA


Genus
Lokasi Glomus Gigaspora Acaulospora Jumlah
Bangkalan 104 124 260 488
Sampang 87 92 165 344
Pamekasan 119 115 146 380
Sumenep 150 148 296 594

70
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Kekayaan Genus CMA tertinggi terdapat di Kabupaten Sumenep dan kesamaan
Genus tertinggi terdapat di Kabupaten Pamekasan.
2. Komposisi media tanam pupuk kandang dan tanah merupakan media tanam
terbaik untuk perbanyakn spora CMA dengan tanaman inang jagung.

Saran
Komposisi media tanam tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:5 dapat
digunakan untuk perbanyakan spora CMA.

DAFTAR PUSTAKA

Brundrett M, N Bougher, B Dell, T Grove, N Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhiza


in Forestry and Agriculture. CSIRO. Wembley.
Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root
colonization, and hoast plant growth and mineral acquistion at low PH. Plant
and soil 192 : 15-22
Delvian. 2004. Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dalam Reklamasi Lahan
Delvian. 2005. Pengaruh Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Naungan terhadap
Pertumbuhan Bibit Kayu Manis. USU halaman 33
Fadillah N. 2008. Pertumbuhan dan Produksi Alfalfa (Medicago sativa L.) dengan
Penambahan Fosfat Alam dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada
Tanah Latosol. Bogor : Institut Teknologi Bogor.
Kritis Pasca Tambang. Jurusan kehutanan fakultas pertanian universitas sumatera
utara.
Mansur I, Wilarso E, Kartika, Rainiyati. 2001. Status of research on arbuscular
mycorrhizal fungi in Indonesia. Graduate School of Bogor Agricultural
University Bogor Indonesia (unpublished).
Miller, R.W. and R.L. Donahue. 1990. Soils an Introduction to Soil and Plant Growth.
Prentice Hall, Inc., Eaglewood Cliffs.
Nurbaity A, Setiawan A, Oviyanti M. 2011. Efektifitas Arang sekam sebagai bahan
pembawaa pupuk hayati mikoriza arbuskular pada produksi sorgum. Jurusan
Ilmu Tanah Pertanian Universitas Padjajaran
Nusantara A D. 2007. Baku Mutu inokulum cendawan Mikoriza Arbuskular. Bengkulu:
Laboraturium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Pidjath C. 2006. Kualitas Bibit Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth Hasil Sinergi Bio-
organik dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Ultisol. Bogor : Institut
Teknologi Bogor. Halaman 23
Sari L M. 2008. Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

71
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT HAWAR


BAKTERI PADA TANAMAN KEDELAI DENGAN
MENGGUNAKAN BAKTERIOFAG
Sela Reza Resita., Norita Fatatik Azizi., Febrian E S Iriyanto., Wahyu C Yuliasari.,
Mariatul Kiptiyah dan Hardian Susilo Addy

Program Studi Agroteknologi


Fakultas Pertanian Universitas Jember.
Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto 68121 Jember
E-mail : hsaddy.faperta@unej.ac.id

ABSTRAK

Pengendalian hayati penyakit hawar bakteri oleh Pseudomonas syringae pada


kedelai berbasis bakteriofag merupakan salah satu cara yang sedang dikembangkan pada
saat ini. Tiga isolat bakteri MG4-1, KR1-1, SK3-1 diuji dengan tiga partikel bakteriofag
SK3-1, SK3-2, KR1 pada plaque assay, ternyata plaque yang konsisten dihasilkan
adalah SK3-1. Setelah itu SK 3-1 dengan kerapatan 10 multiplicity of infection (MOI)
diuji dengan OD660 selama 36 jam, populasi bakteri isolat SK3-1 paling rendah ketika
diukur setiap 12jam sekali daripada kerapatan 0.1 MOI dan 1 MOI. Uji pendahuluan in
vitro menunjukkan SK 3-1 mempunyai peluang sebagai agen pengendali yang baik
penyakit hawar bakteri.

Kata Kunci: Pseudomonas syringae, bakteriofag ΦSK 31, agen hayati

PENDAHULUAN

Produksi kedelai di Indonesia menurun dengan rata-rata 1,65 % pertahun. Pada


tahun 2010, produksi kedelai mengalami penurunan sebesar 67.481 ton (BPS, 2011). Hal
ini salah satunya disebakan oleh serangan hama maupun penyebab penyakit. Menurut
Destarianto (2013), bahwa salah satu penyakit yang umum menyerang tanaman kedelai
adalah penyakit hawar bakteri yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringae.
Penyakit hawar bakteri pada kedelai disebabkan oleh Pseudomonas syringae pv. glycinea
merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai pada tanaman kedelai (Semangun,
2008). Menurut Farhatullah et al. (2011) penyakit tersebut merupakan penyakit yang
dapat menurunkan hasil sampai 36 persen, sehingga patogen tersebut perlu dikendalikan.
Pengendalian penyakit bakteri ini umumnya ialah dengan pestisida kimia (Daft dan
Leben, 1972). Namun menurut Farhatullah et al., (2011) upaya tersebut tidak efektif
karena bakteri P. syringae merupakan bakteri yang mudah beradaptasi terhadap
lingkungannya serta memberikan dampak berbahaya bagi lingkungan sekitarnya (Sarnaik
et al., 2006). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian secara hayati yang aman bagi
tanaman dan lingkungan.
Bakteriofag merupakan virus yang mampu menginfeksi bakteri dan memiliki
sifat spesifik inang (Hagens dan Loesner, 2007). Pemanfaatan bakteriofag sebagai
pengendali hayati patogen tumbuhan masih belum banyak dilaporkan mengingat
pemanfaatan bakteriofag masih terfokus dalam ranah pada patogen hewan dan dalam
bidang kesehatan (Sulakvelidze et al., 2001; Abendon et al., 2011). Berdasarkan
kespesifikan sifat bakteriofag tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah

72
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

bakteriofag dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati yang mampu menekan
perkembangan bakteri P. syringae pada kedelai.

METODE PENELITIAN

Perbanyakan Isolat P. syringae dan Isolat Bakteriofag.. Perbanyakan bakteri P.


syringae dilakukan dengan metode streak plate pada Media NA yang kemudian diamati
dibawah sinar UV untuk memastikan keberadaan bakteri P. syringae karena mempunyai
karakteristik berpendar di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 365 nm.
Bakteriofag diperbanyak pada media Nutrient Agar (NA), dengan metode plaque
assay (Askora et al. 2009) dengan cara mencampurkan 100 μl bakteriofag SK3-1 dan
300 μl suspensi P. syringae (kerapatan 108 CFU/ml) dan diinkubasikan selama 1 jam.
Suspensi tersebut dicampurkan dengan Top Agar yang masih hangat lalu dituang pada
permukaan media NA dalam cawan Petri. Pengamatan dilakukan dengan melihat
terbentuknya plaque (zona bening) pada media tersebut.
Uji penekanan pertumbuhan bakteri P. syringae pada media cair secara in vitro.
Uji ini dilakukan untuk mengetahui rasio yang tepat antara bakteriofag dalam menekan
pertumbuhan bakteri patogen. Uji ini dilakukan pada media NB dengan cara
mencampurkan suspensi bakteriofag dengan suspensi bakteri P. syringae pada nilai
Multiplicity of Infection tertentu (MOI) lalu diinkubasikan pada suhu 28C dan diamati
pada interfal waktu pengamatan setiap 12 jam sekali selama 48 jam. Pengamatan
dilakukan menggunakan spektofotometer (CORONA SH-1000) dengan panjang
gelombang 660 nm. Uji ini dilakukan dengan 5 perlakuan, yaitu 1). Blanko (Media NB);
2). Bakteri (P. syringae); 3). Bakteri dan bakteriofag (MOI 0,1); 4). Bakteri dan
bakteriofag (MOI 1); 5). Bakteri dan bakteriofag (MOI 10).
Aplikasi P. syringae dan bakteriofag pada daun kedelai. Aplikasi P. syringae dan
bakteriofag dilakukan pada daun kedelai berumur 4 minggu. Aplikasi dilakukan sebanyak
3 perlakuan, yaitu: 1). Perlakuan kontrol, tidak diaplikasi bakteri dan bakteriofag; 2).
Perlakuan bakteri patogen tanpa bakteriofag; 3). Perlakuan bakteriofag dan bakteri.
Suspensi bakteriofag (kerapatan 107 PFU/mL) diratakan ke permukaan daun kedelai yang
sebelumnya dilukai dengan cara ditusuk dengan jarum steril (pin pricked method) dan
dikering-anginkan. Selanjutnya daun dicelupkan dalanm suspensi bakteri pada kerapatan
108 CFU/ml. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 9 kali yang diamati hingga satu
minggu masa inkubasi. Pengamatan dilakukan secara kualitatif dengan melihat
penampakan perkembangan gejala hawar bakteri pada daun kedelai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan infeksi bakteriofag SK3-1. Infeksi bakteriofag SK3-1 pada bakteri


P. syringae ditandai dengan terbentuknya plaque di antara hamparan koloni bakteri dan
ditunjukkan dengan munculnya zona bening berbentuk bulat yang menyebar secara acak
pada media uji (Gambar 1).

73
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 1. Kenampakan Plaque () pada media uji.

Hasil pengujian infeksi ini juga menunjukkan adanya korelasi antara jumlah
bakteriofag dan terbentuknya plaque pada media uji. Semakin rendah konsentrasi
bakteriofag makan semakin sedikit plaque yang terbentuk (Gambar 2). Begitupula,
keberadaan bakterifag hingga 7,4 partikel masih mampu menginfeksi bakteri P. syringae
(kerapatan 108 CFU/mL) yang diuji (Tabel 1).

Tabel 1. Kemampuan bakteriofag SK3-1 dalam menginfeksi bakteri P. syringae


No Konsentrasi Bakteriofag Plaque yang
(partikel) terbentuk
1. 7,4  10 5
Positif
2. 7,4  104 Positif
3. 7,4  10 3
Positif
4. 7,4  10 2
Positif
5. 7,4  101 Positif
6. 0 Negatif

Gambar 2. Plaque Assay partikel bakteriofage pada konsentrasi 7.4  105 partikel (A), 7.4
 104 partikel (B), 7.4  103 partikel (C), 7.4  102 partikel (D), 7.4  101
partikel (E), dan 0 partikel (F),

74
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Penekanan Bakteriofag terhadap pertumbuhan bakteri P. syringae pada


media cair. Berdasarkan hasil pengujian, diketahui bahwa bakteriofag dengan
kemampuan infeksi pada MOI 10 merupakan rasio terbaik bakteriofag dalam menekan
petumbuhan bakteri P. syringae. Hasil juga menunjukkan bahwa semakin rendah rasio
bakteriofag terhadap bakteri P. syringae maka semakin rendah kemampuan bakteriofag
SK3-1 dalam menekan petumbuhan bakteri P. syringae (Gambar 3). MOI atau
Multiplicity of Infection merupakan rasio atau perbandingan antara partikel bakteriofag
dengan bakteri inangnya dalam satu suspensi larutan (Kumari et al., 2009). Semakin
tinggi nilai MOI, maka semakin tinggi rasio bakteriofag dalam suspensi bakteri dan
bakteriofag. Menurut Pires et al. (2011) bahwa umumnya pengujian penekanan bakteri
dilakukan pada MOI 1 yang berarti rasio partikel bakteriofag dan bakteri target adalah 1
atau dengan kata lain 1 partikel bakteriofag untuk 1 sel bakteri target seperti yang
dilakukan pada bakteri P. aeruginosa.

Gambar 3. Perkembangan P. syringae dalam media cair yang diinokulasikan dengan


bakteriofag

Aplikasi P. syringae dan bakteriofag pada daun kedelai (Uji Virulensi


bakteriofag). Perlakuan kontrol, dan perlakuan P. syringae dan bakteriofag tidak
memperlihatkan gejala hawar bakteri hingga hari ke-3 setelah inokulasi. Namun gejala
pada perlakuan P. syringae dan bakteriofag SK3-1 mulai nampak pada hari ke-7 setelah
inokulasi. Meskipun demikian, secara visual, keparahan gejala hawar yang ditunjukkan
pada perlakuan P. syringae (tanpa bakteriofag) jauh lebih parah dibandingkan dengan
yang diaplikasikan dengan bakteriofag. Gejala gejala hawar bakteri yang ditunjukkan
dengan perubahan warna daun yang menguning dan terdapat bercak nekrosis pada daun
(Gambar 4).
Kemampuan bakteriofag sebagai agensia pengendali hayati bakteri patogen
tumbuhan telah banyak ditunjukkan oleh beberapa peneliti misalnya pada bakteri layu
bakteri pada tomat dengan bakteriofag RSM3 (Addy et al., 2012); bakteri penyebab layu
pada tembakau dengan RSB1 (Fujiwara et al., 2011), bakteri layu tomat akibat
Clavibacter michiganensis dengan bakteriofag CMP1 dan CN77 (Echandi and Sun,
1973). Kemampuan tersebut tergantung pada jenis bakteriofag, strain bakteri dan habitat
bakteri (Yamada, 2013).

75
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 4. Daun kedelai yang diperlakukan dengan P. syringae (PSG), P. syringae dan
Bakteriofag SK3-1 (SK3-1+PSG), dan air steril (KONTROL).

KESIMPULAN

Bakteriofag SK3-1 memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan dan infeksi


bakteri P. syringae terutama pada MOI 10.

DAFTAR PUSTAKA

Addy HS, Askora A, Kawasaki T, Fujie M, and Yamada T. 2012. Utilization of


filamentous phage ϕRSM3 to control bacterial wilt caused by Ralstonia
solanacearum. Plant Disease 96(8):1204–1208.
Askora, A., Kawasaki T., Usami S., Fujie M., and Yamada T. 2009. Host
recognition and integration of filamentous phage φRSM in the phytopathogen
Ralstonia solanacearum. Virology. 384(5):69-76.
BPS. 2011. Produksi Kedelai di Indonesia. http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 09
oktober 2013.
Daft CG, Leben C. 1972. Bacterial blight of soybeans: epidemiology of blight
outbreaks. Phytopathol. 62(7):1167-1170.
Destarianto A. 2013. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan.
http://hamadanpenyakittanamanpangan.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober
2013
Echandi E and Sun M. 1973. Isolation and characterization of a bacteriophage for the
identification of Corynebacterium michiganense. Phytopathology 63:1398–1401.
Farhatullah, Stayton MM., Groose RW., and Khan MJ. 2011. Genetic analysis of
racespecificity of Pseudomonas syringae pv. glycinea. Pak. J. Bot. 43(1):7-
13.

76
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Fujiwara A, Fujisawa M, Hamasaki R, Kawasaki T, Fujie M, and Yamada T. 2011.


Biocontrol of Ralstonia solanacearum by treatment with lytic bacteriophages.
Applied and Environmental Microbiology. 77(12): 4155–4162.
Hagens S., Loessner MJ. 2007. Application of bacteriophages for detection and control
of foodborne pathogens. Appl. Microbiol. Biotechnol. 76(3):513- 522.
Kumari S, Harjai K, and Chhibber S. 2009 Bacteriophage treatment of burn wound
infection caused by Pseudomonas aeruginosa PAO in BALB/c Mice. American
Journal of Biomedical Sciences 1(4):385-394.
Pires D, Sillankorva S, Faustino A, and Azeredo J. 2011. Use of newly isolated phages
for control of Pseudomonas aeruginosa PAO1 and ATCC 10145 biofilms. Res. in
Microbiol. 162(8):798–806.
Sarnaik SS., Kanekar PP., Raut VM., Taware SP, Chavan KS, Bhadbhade BJ. 2006.
Effect of application of different pesticides to soybean on the soil microflora. J.
Envir. Biol. 27(2):423-426.
Semangun, H. 2008. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Yamada T. 2013. Filamentous phages of Ralstonia solanacearum: double-edged swords
for pathogenic bacteria. Front Microbiol. 4:325. doi: 10.3389/fmicb.2013.00325

77
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

UJI EFEKTIVITAS SPORA CENDAWAN Beuaveria


bassiana TERHADAP HAMA PADA TANAMAN
CABAI
Suharto
Staf Fakultas Pertanian Universitas Jember
Email : harto.unej@yahoo.com

ABSTRACT

Pest control is an important component in big chili. The important chilli pests s
including Thrips parvispinus, Bemisia tabaci and Myzus persicae. To reduce the negative
impact of excessive use of insecticide trials conducted research on the effectiveness of the
fungus Beauveria bassiana bih chili pests. Spore mass in laboratory culture results were
tested in the field on chilli plants, from August to November 2010. Research in the field
using a randomized block design was repeated 3 times. In connection with the low pest
population , Controlling the fungus and insecticide made on plants 79 to 100 days after
planting with an interval of one week. Treatment as follows: F1 = Control (without
control), F2 = synthetic insecticides scheduled once a week, F3 = Control with
insecticides and Beauveria. bassiana alternately every week, F4 = Control with the
fungus B. bassiana + adhesive scheduled once a week, F5 = Control with the fungus B.
bassiana + cassava flour scheduled once a week and F6 = + adhesive synthetic
insecticides scheduled once a week. Observations included the number of pest
populations and crop damage before and after application of insecticides and or fungus
B. bassiana. The results showed that at the time of the study population was very low
pepper plant pest caused by high rainfall. Pest population decline T. parvispinus ., M.
persicae, and tend to be higher on the fungus B. bassiana treatment (F3, F4 and F5)
compared to a single insecticide application (F2 and F6). The low impact pest populations
big chilir plant damage is also very low

Key words : Thrips parvispinus, Bemisia tabaci, Myzus persicae, Beauveria. bassiana

LATAR BELAKANG

Cabe merah merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia.
Selain mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat potensial secara
ekonomis. Cabai dimanfaatkan sebagai bumbu masak, bahan baku berbagai industri,
minuman dan obat-obatan. Produksi rataan nasional hanya mencapai 5,5 ton/ha, masih
sangat jauh dari potensi produksi yang mencapai 20 ton/ha. Oleh karena itu usaha untuk
meningkatkan produksi dan kualitas berpeluang cukup besar, namun ada berbagai
hambatan yang menyebabkan peningkatan produksi sulit dicapai antara lain masalah
hama dan penyakit (Anonim, 2004).
Hama yang sering menimbulkan kerugian pada usaha tani cabai adalah Thrips.
parvispinus,Myzus peesicae dan Bemicia tabaci. Ketiga hama tersebut sebagai vektor
penyakit virus mosaik dan virus keriting. Serangan langsung menyebabkan bawah daun
terdapat titik-titik putih keperakan bekas tusukan, kemudian berubah menjadi
kecokelatan. Daun yang cairannya diisap menjadi keriput dan melengkung ke atas.
Serangan berat akibat hama tersebut dan penyakit virus mosaik dan keriting akan
menyebabkan tanaman gagal panen atau puso. Saat ini pengendalian hama masih sangat

78
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

tergantung penggunaan insektisida sintetik yang cenderung berlebihan sehingga


menimbulkan dampak negatif antara lain terjadinya resistensi hama terhadap insektisida,
resurjensi hama, munculnya hama sekunder dan terbunuhnya hewan bukan sasaran yang
dapat mengganggu agroekosistem dan pada akhirnya permasalahan hama menjadi lebih
rumit dan sulit (Duriat,1995).
Oleh karena itu perlu adanya alternatif pengendalian hama yang lebih aman dan
ramah terhadap lingkungan, salah satunya adalah cendawan B. bassiana. Di Indonesia B.
bassiana telah banyak digunakan untuk pengendalian hama tanaman perkebunan antara
lain hama bubuk buah kopi (Yunianto & Sulistyowati, 1994), serangga hama kedelai
(Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta)
(Prayogo, 2006), Plutella xylostella pada sayur-sayuran (Hardiyanti, 2006). Penggunaan
B. bassiana untuk mengendalikan hama tanaman sayuran khususnya tanaman cabai
belum banyak dilaporkan. Pada penelitian ini akan dikaji prospek penggunaan isolat B.
bassiana untuk pengendalian hama pada tanaman cabai dalam upaya mengurangi
penggunaan insektisida sintetik yang saat ini sangat berlebihan. Tujuan penelitian adalah
untuk mengeathui efektivitas beberapa formulasi cendawan B. bassiana terhadap hama
thrips dan kutu-kutuan di lapang.

METODE PENELITIAN

Uji lapang dilakukan pada tanaman cabe. Penelitian di lapang menggunakan


rancangan acak kelompok diulang sebanyak 3 kali. Sehubungan dengan rendahnya
populasi hama, pengendalian dengan cendawan dan insektisida dilakukan pada tanaman
berumur 79 sampai dengan 100 hari dengan interval satu minggu. Perlakuan sebagai
berikut :
F1 = Kontrol (tanpa pengendalian)
F2 = Insektisida sintetik terjadwal seminggu sekali
F3 = Pengendalian dengan insektisida dan cendawam B. bassiana secara
bergantian tiap minggu
F4 = Pengendalian dengan cendawan B. bassiana + perekat terjadwal
seminggu sekali
F5 = Pengendalian dengan cendawan B. bassiana + tepung ubi kayu
terjadwal seminggu sekali
F6 = Insektisida sintetik +perekat terjadwal seminggu sekali

Pelaksanaan penelitian
Sebelum disemaikan, benih direndam dalam air, biji yang terapung dibuang dan
benih yang tenggelam direndam dalam air hangat atau 50 0C selama 30 menit. Media
persemaian berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. setelah
bibit berumur 4 minggu siap ditanam di lahan.
Pengolahan tanah terdiri dari pembajakan dan pencangkulan tanah sebanyak tiga
kali, pemerataan tanah dan pembuangan sisa-sisa gulma. Pembuatan bedengan dengan
ukuran 2,5 x 2,5 m untuk masing-masing petak. Tinggi bedengan 40 cm dan jarak tanam
50x50 cm.
Pemasangan mulsa plastik hitam perak (MHPH) dilakukan pada siang hari agar
mulsa dapat memuai maksimal, caranya dengan merentangkan mulsa plastik pada
bedengan kemudian dipaku dengan bilah bambu pada bagian pinggirnya dan ujung
mulsa. Penanaman, pemupukan dan pengairan sesuai dengan yang direkomendasikan.
Pengamatan d meliputi :

79
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Populasi hama Thrips dank utu-kutuan sebelum dan sesudah aplikaksi dan Intensitas
kerusakan tanaman. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (uji F) yang
sesuai dengan rancangan yang telah ditentukan, kemudian diuji beda nyata pada (P
=0.05)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hama Trips dan kutu-kutuan, parvispinus sangat dipengaruhi faktor ikim,
terutama curah hujan. Semakin tinggi curah hujan populasi hama Thrips semakin
menurun. Hama ini menjadi penting terutama pada musim kemarau. Pada waktu
penelitian berlangsung kondisi curah hujan sangat tinggi atau terjadi anomali iklim. Pada
bulan September 2010 yang seharusnya musim kemarau namun kondisi curah hujan tetap
tinggi atau dapat dikatakan tidak ada musim kemarau. Ukuran hama Thrips dan
kutu=kutuan yang kecil mudah tercuci oleh curah hujan. Dampak terjadinya anomali
cuaca popuasi hama Thrips dan kutu-kutuan pada saat penelitian berlangsung sangat
rendah. Hama lain yang ditemukan di lapang yaitu hama Thrips parvispinus, Myzus
persicae dan Bemisia tabaci.
Hama T. parvispinus ditemukan mulai tanaman berumur lima minggu setelah
tanam (mst). Populasi hama pada semua perlakuan sangat rendah, Pada empat perlakuan
yaitu control (F1), pestisida (F2), B, bassiana + tepung ubikayu (F5) dan pestisida +
perekat (F6) populasi per sembilan tanaman hanya dua atau kurang. Populasi tertinggi
dijumpai pada minggu ke 10 setelah tanam yaitu perlakuan B.bassiana+ perekat (F3)
diikuti perlakuan insektisida +B. Bassiana (Gambar 1). Perlakuan insektisida dan B.
bassiana dilakukan setelah minggu ke 11. Oleh karena itu tingginya populasi pada kedua
perlakuan tersebut bersifat random bukan karena perlakuan
Populasi hama Myzus persicae selama musim tanam cabe cenderung lebih tinggi
dibandingkan hama T. Parvispunus artinya hama ini lebih tahan terhadap curah hujan
yang tinggi. M. persicae ditemukan sejak tanaman berumur 4 minggu setelah tanam,
pada awalnya rendah dan selanjutnya agak meningkat dan pada minggu berikutnya
relatif stabil di kisaran 7 sampai dengan 34 M. persicae per sembilan tanaman. Pada
perlakuan B. Bassiana + perekat populasinya meningkat mulai delapan mst dan mencapai
puncaknya pada 11 mst. Seperti halnya T. Parvispinus, tingginya populasi M. persicae
pada minggu tersebut bukan karena perlakuan. Perlakuan dilakukan pada 79 hari setelah
tanam populasi pada semua perlakuan cenderung menurun sampai akhir pengamatan
(Gambar 2).
Dinamika populasi hama Bemicia tabaci terlihat pada Gambar 3. Pada empat mst
populasi hama ini rendah yaitu kurang dari dua ekor per sembilan tanaman, selanjutnya
mengalami peningkatan dan mencapai puncuk pada minggu ke-5 pada perlakuan kontrol
yaitu 16 ekor per sembilan tanaman. Pada semua perlakuan pengamatan minggu ke-5
sampai dengan minggu ke-8 populasi B. tabaci cenderung fluktuatif selanjutnya mulai
minggu ke-9 sampai akhir pengamatan pupulasi cenderung konstan berkisar antara 0,67
sampai dengan 5,33 ekor per sembilan tanaman. Seperti halnya hama T. Parvispinus dan
M. Persicae dinamika populasi ini lebih banyak dipengaruhi kondisi iklim utamanya
curah hujan yang tinggi.

Penurunan populalsi Thrips parvispinus, Myzus persicae dan Bemisia tabaci setelah
aplikasi cendawan B. bassiana dan atau insektisida

80
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Aplikasi cendawan B. bassiana atau insektisida dilakukan mulai tanaman


berumur 78 hari sampai 100 hari setelah tanam dengan interval satu minggu sekali.
Aplikasi tidak dilakukan sejak awal karena populasi hama sangat rendah dan jauh di
ambang kendali sehingga aplikasi yang dilakukan tidak dapat digunakan untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap penurunan populasi. Rendahnya populasi hama
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor iklim atau curah hujan yang tinggi

Gambar 1. Dinamika populasi T. Parvispunus pada berbagai perlakuan

Gambar 2. Dinamika populasi M. persicae pada berbagai perlakuan

81
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 3. Dinamika populasi Bemisia tabaci pada berbagai


perlakuan
Persentase penurunan populasi T. Parvispinus setelah aplikasi cendawan B.
bassiana atau insektisida terlihat pada Tabel 1. Secara umum penurunan hama T,
parvispinus sangat rendah. Pada aplikasi pertama penurunan populasi tertinggi (29,11
persen) dijumpai pada perlakuan F3 yaitu perlakuan insektisida dan cendawan B.
bassiana secara bergantian tiap minggu diikuti F4 (insektisida ditambah perekat). Pada
perlakuan insektisida justru terjadi peningkatan populasi. Aplikasi pada tanaman umur 86
hari setelah tanam menunjukkan penurunan populasi tertinggi pada perlakuan insektisida
dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Pada aplikasinya berikutnya penurunan
populasi T. parvispinus tetap rendah tertinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana
ditambah tepung ubi kayu. Dari rerata penurunan populasi ditemukan bahwa perlakuan
dengan cendawan B. bassiana (F3, F4 dan F5) cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan dengan insektisida maupun kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa
aplikasi cendawan cenderung lebih baik dibandingkan penggunaan insektisida sintetik.

Tabel 1. Persentase penurunan populasi hama Thrips p arvispinus setelah


aplikasi cendawan B. bassiana dan atau insektisida
Perlakuan Aplikasi pada umur …. setelah tanam Rerata
79 86 93 100
F1 15,93 a -24,40 b 0a 0a 2,12
F2 -16.67 a 29,11 a 7,51 a 0a 4,99
F3 29,11 a 15.03 ab 12,88 a 0a 14,20
F4 20,73 a 10,20 ab 14,09 a -12,89 a 10,71
F5 7,51 a 14,09 ab 14,09 a 28,17 a 15,97
F6 7,51 a 0 ab 0a 0a 1,88
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak
nyata pada uji DMRT taraf 5 persen.
Persentase penurunan populasi M. persicae terlihat pada Tabel 2. Seperti halnya
pada Thrips penurunan populasi hama M. persicae akibat perlakuan insektisida dan atau
cendawan B. bassiana sangat rendah. Penurunan populasi tertinggi hanya 33,27 persen
yaitu perlakuan cendawan B. bassiana + perekat pada aplikasi 93 hari setelah tanam.
Pada aplikasi pertama tanaman cabai berumur 79 hari perlakuan dengan B. bassiana

82
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

(F3, F4 dan F5) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Aplikasi pada tanaman
cabai berumur 86 hari menunjukkan bahwa B. bassiana + tepung ubikayu penurunan
populasi tertinggi. Perlakuan insektisida + perekat pada tanaman cabai berumur 93 hari
tidak mengalami penurunan bahkan populasi hama meningkat dua kali lipat sebelum
perlakuan. Pada aplikasi terakhir penurunan tertinggi justru pada perlakuan kontrol.
Penurunan pada kontrol disebabkan faktor lingkungan terutama curah hujan. Rerata
penurunan populasi pada perlakuan dengan cendawan B. bassiana (F3, F4 dan F5)
cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakuan insektisida.
Pada awal aplikasi, perlakuan cendawan B. bassiana + tepung ubikayu mampu
menurunkan populasi hama B. tabaci lebih dari 50 persen dan berbeda nyata dengan
kontrol. Pada aplikasi berikutnya yaitu pada tanaman berumur 86 dan 93 hari penurunan
populasi tertinggi ditemukan pada kontrol. Aplikasi insektisida pada tanaman berumur 93
hari justru terjadi peningkatan populasi hampir 50 persen dan analisis statistik
menunjukkan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada aplikasi terakhir perlakuan
cendawan B. bassiana + perekat dan terendah pada perlakuan dengan insektisida. Rerata
penurunan populasi tertinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana + tepung ubikayu
(34,78 %) diikuti perlakuan cendawan + perekat (24,28 %) dan perlakuan insektisida dan
B. bassiana bergantian tiap minggu (22,57 %)(Tabel 3).
Tabel 2. Persentase penurunan populasi hama Myzus persicae setelah aplikasi
cendawan B. bassiana dan atau insektisida
Perlakuan Aplikasi pada umur …. setelah tanam Rerata
79 86 93 100
F1 -29,17 b 3,85 a 27,29 a 42,56 0 a 11,13
F2 -4,26 ab 17,20 a 17,43 a 21,31 a 21,62
F3 17,67 a 24,83 a 25,16 a 29,46 a 24,28
F4 11,71 a 31,32 a 33,27 a 24,92 a 25,28
F5 12,27 a 16,20 a 28,97 a 29,31 a 22,94
F6 2,09 ab 2,09 a -110,91 b -19,24 b -31,49
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak
nyata pada uji DMRT taraf 5 persen.
Tabel 3. Persentase penurunan populasi hama Bemisia tabaci setelah aplikasi
cendawan B. bassiana dan atau insektisida
Perlakuan Aplikasi pada umur …. hari setelah tanam Rerata
79 86 93 100
F1 -42,52 b 44,37 a 37,40 a 33,45 a 19,92
F2 -3,67 ab 14,09 a -48,81 b 19,54 a -4,71
F3 25,89 ab 19,02 a 18,43 a 26,54 a 22,57
F4 37,45 ab 11,51 a 7,51 a 40,65 a 24,28
F5 52,98 a 27,44 a 25,60 a 33,11 a 34,78
F6 21,60 ab 21,60 a 0a 28,17 a 17,84

83
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak
nyata pada uji DMRT taraf 5 persen

Persentase kerusakan tanaman akibat Thrips parvispinus, Myzus persicae dan


Bemisia tabaci
Kerusakan tanaman berhubungan dengan populasi hama, namun seringkali
penurunan populasi hama tidak selalu diiring penurunaan persentase kerusakan tanaman.
Aplikasi insektisida pada tanaman akan langsung nenurunkan populasi hama, tetapi tidak
berdampak langsung terhadap penurunan tingkat kerusakan tanaman.
Persentase kerusakan tanaman yang diakibatkan hama Thrips selama penelitian
sangat rendah. Hal ini berhubungan dengan rendahnya populasi hama selama penelitian.
Persentase kerusakan tertinggi terjadi pada enam mst yaitu pada perlakuan F3 sebesar
7,89 persen. Secara keseluruhan kerusakan tanaman masih jauh di bawah ambang
ekonomi yaitu 15 persen. Aplikasi insektisida dan atau cendawan B. bassiana tidak
banyak pengaruhnya terhadap persentase kerusakan tanaman karena hanya dilakukan
empat kali aplikasi setelah tanaman berumur 11 minggu. Oleh karena itu kerusakan
tanaman lebih bersifat random.
Analisis statistik menunjukkan bahwa hanya dua kali pengamatan ada beda nyata
antar perlakuan dari 10 minggu pengamatan yaitu pada minggu ke sembilan dan minggu
ke 13. Beda nyata antar perlakuan pada minggu ke sembilan tidak diakibatkan oleh
perlakuan karena semua petak belum dilakukan aplikasi insektisida maupun cendawan B.
bassiana. Pada minggu ke 13 kerusakan tertinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana +
perekat dan berbeda nyata dengan perlakuan insektisida + perekat (Tabel 4). Tingginya
kerusakan tanaman pada perlakuan tersebut akibat dampak dari serangan hama
sebelumnya.
Penurunan populasi hama tidak langsung diikuti oleh penurunan tingkat
kerusakan. Rerata kerusakan tanaman diketahui bahwa perlakuan dengan cendawan B.
bassiana cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakauan lain. Hasil ini berbangding
terbalik dengan penurunan populasi hama yang diketahui bawa perlakuan cendawan B.
bassiana lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain. Hal dapat dijelaskan bahwa kerusakan
tanaman diamati selama 10 minggu, sedangkan aplikasi insektisida dan atau B, bassiana
hanya dilakukan empat minggu terakhir.

Tabel 4. Persentase kerusakan tanaman cabai akibat hama Thrips parvispinus


Perla- Persentase kerusakan daun . . . . . . minggu setelah tanam Rerat
kuan a
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
F1 1,22a 1,22a 0,00a 4,89a 3,67ab 1,22a 1,22a 3,67a 2,44ab 0.00a 1,9
6
F2 2,44a 0,00a 0,00a 3,67a 0,00 b 2,44a 1,22a 3,67a 3,67ab 2,44a 1,9
6
F3 0,00a 7,89a 0,00a 2,44a 2,44 6,11a 2,44a 3,67a 2,44ab 1,22a 2,8
ab 4
F4 0,00a 1,22a 1,22a 3,67a 2,44 6,11a 6,11a 3,67a 7.33a 3,67a 3,5
ab 4
F5 1,22a 2,44a 1,22a 3,67a 4,96 a 4,89a 2,44a 2,44a 2,44ab 3,67a 2,9
4
F6 1,22a 1,22a 2,44a 2,44a 1,22 2,44a 0,00a 0,00a 0,00b 0,00a 1,1
ab 0

84
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak
nyata pada uji DMRT taraf 5 persen
Perentase kerusakan tanaman cabai akibat serangan hama M. persicae lebih
tinggi dibandingkan intensitas kerusakan T. parvispinus yang berkisar antara 1,22 sampai
dengan 29,56 persen (Tabel 7). Kerusakan sampai tanaman berumur 10 minggu tidak
disebabkan pengaruh aplikasi insektisida dan atau cendawan B. bassiana. Intensitas
kerusakan pada minggu ke 12 sampai akhir pengamatan atau setelah aplikasi insektisida
dan atau B. bassiana pada perlakuan F3 (insektisida dan B. Bassiana bergantian tiap
minggu) dan F4 (B. bassiana+perekat) masih tinggi akibat serangan hama sebelumnya.
Penurunan populasi hama tidak langsung diikuti penurunan tingkat kerusakan tanaman,
atau kerusakan tanaman tidak langsung pulih setelah populasi hama berkurang. Hal ini
berdampak pada rerata persentase kerusakan pada F4 dan F3 lebih tinggi dari perlakuan
yang lain.
Intensitas kerusakan tanaman akibat hama B. tabaci melampauhi ambang
ekomomi hanya terjadi pada pengamatan pertama yaitu pada kontrol sebesar 15,89 persen
(Tabel 6). Selanjutnya intensitas kerusakan tanaman cabai berfluktuatif berkisar antara
2,44 sampai dengan12,22 persen. Intensitas kerusakan tanaman tidak dapat digunakan
sebagai dasar untuk menentukan efektivitas pengendalian yang dilakukan. Pengamatan
tingkat kerusakan tanaman dilakukan selama 10 minggu dan pengendalian hanya
dilakukan pada empat minggu terakhir. Rerata tingkat kerusakan tertinggi pada kontrol
daan terendah pada perlakuan cendawan B. bassiana +tepung ubikayu.

Tabel 5. Persentase kerusakan tanaman cabai akibat hama Myzus persicae


Perla Persentase kerusakan daun . . . . . . minggu setelah tanam Rera
kuan ta
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
F1 7,33a 16,1 18,8 12,2 14,67a 17.1 18,3 18,3 17,11a 12,2 15,0
1a 9a 2a b 1a 3a 3a b 2a 3
F2 18,8 18,3 9,78a 18,33a 13,4 17,1 17,1 15,89 12,2 15,0
9,7 9a 3a b 4a 1a 1a ab 2a 9
8a
F3 8,56a 15,5 15,8 14,6 29,56a 25,6 25,7 25,7 13.4 17,1
6a 9a 7a 7a 8a 8a 12,0 4a 6
0b
F4 6.11a 20,6 19,5 20,7 28,33a 20,7 25,7 25,7 15,8 20,4
7a 6a 8a 7a 8a 8a 20,7 9a 4
7a
F5 2,44 13,4 17,1 13,4 28,11a 24,5 12,0 12,0 18,44a 14,6 15,2
a 4a 1a 4a 6a 0a 0a b 7a 3
F6 1,22 7,33 9,78 12,22 33,0 18,3 18,3 11,00 12,7
a 7,3 a a b 0a 3a 3a b8,5 1
3a 5a
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak
nyata pada uji DMRT taraf 5 persen

85
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 6. Persentase kerusakan tanaman cabai akibat hama Bemisia tabaci


Perla Persentase kerusakan daun . . . . . . minggu setelah tanam Rera
kuan ta
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
F1 15,89a 12,22a 8,56 8,56a 2,44a 3,67a 3,67a 11,00a 11,00a 7,33a 8,43
a
F2 4,89b 4,89a 7,33 4,89a 4,89a 2,44a 3,67a 9,78a 9,78a 6,11a 5,87
a
F3 6,22ab 6,11a 9,78a 9,33a 3,67a 2,44a 3,67a 9,33a 6,11ab 7,33a 6,40
F4 8,56ab 11,00a 8,56 6,11a 2,44a 2,44a 1,22a 7,33a 6,11ab 8,56a 6,23
a
F5 4,89b 6.11a 4,89a 8,56a 2,44a 1,22a 4,89a 8,56a 4,78b 8,56a 5,49
F6 6,22ab 6,11a 8,56a 9,78a 6,11a 4,89a 2,44a 6,11a 7,33ab 4,89a 6,23
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak
nyata pada uji DMRT taraf 5 persen

KESIMPULAN
Pada waktu penelitian populasi hama T. parvispinus sangat rendah yang
disebabkan curah hujan yang tinggi. Penurunan populasi hama T. parvispinus, M.
persicae, dan B. tabaci cenderung lebih tinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana
(F3,F4 dan F5) dibandingkan aplidkasi insektisida secara tunggal (F2 dan F6). Rendahnya
populasi T. parvispinus berdampak kerusakan tanaman cabai juga sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai. DitJen Bina Produksi
Hortikultura Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta.
Duriat, A.S. 1995. Pengendalian hama penyakit terpadu pada agribisnis cabai. PT
Penebar Swadaya. Jakarta.
Hardiyani, D.W. 2006. Kajian penyebaran miselium jamur Beauveria bassiana dan
kerusaakan epitel saluran pencernakan makanan larva Plutella xylostella
(Lepidoptera:Plutellidae. Skripsi Sekolah Ilmu dan Teknologi ITB (abstrak)
Paryogo, Y. 2006. Upaya mempertahankan keefektifan cendawan entomopatogen untuk
mengendalikan tanaman pangan.Jurnal Litbang Pertanian 25(2):47-54
Yunianto, Y.D. dan E. Sulistyowati. 1994. Virulence of several B. bassiana Ball. Vuill.
Isolates on coffea berry borer (Hypotenemuss hampei Ferr.) under various
relative himidities. Pelita perkebunan 10:81-86

86
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KERAGAAN PERTUMBUHAN KENTANG HITAM


ASAL STEK DAN UMBI
(Growth Performance of Black Potato from Tuber and
Cuttings)
Eko Setiawan1, Achmad Baidowi2, Suhartono1
1. Staf Pengajar Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura,
Bangkalan
2. Mahasiswa Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura,
Bangkalan
E-mail: setiawan.eko78@gmail.com

ABSTRAK

Tanaman kentang hitam (Coleus tuberosus) merupakan salah satu tanaman lokal yang
kaya akan manfaat dan berkhasiat sebagai obat penyakit seperti maag dan diabetes. Umbi
kentang hitam sangat potensial sebagai sumber karbohidrat alternatif guna mendukung
diversifikasi pangan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon
pertumbuhan tanaman kentang hitam asal bahan tanam stek dan umbi. Penelitian ini dilakukan di
desa Parseh Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan yang berada pada ketinggian tempat ± 5 m
dpl, suhu ± 29 °C, pada bulan Januari sampai Juni 2014. Bahan tanam kentang hitam asal stek
dan umbi ditanam pada media tanah dicampur pupuk kandang sapi atau kompos. Hasil penelitian
menunjukkan panjang tanaman, jumlah daun, kandungan klorofil, bobot basah tanaman dan
bobot kering tanaman pada bahan tanam asal stek menunjukkan keragaan yang lebih lebih baik
dibandingkan bahan tanam umbi.
Kata kunci: bahan tanam, kentang hitam, pertumbuhan, stek, umbi.

ABSTRACT

Black potato (Coleus tuberosus) is a local plant that is rich in benefits and medicinal
properties such as ulcer disease and diabetes. Black potato tubers potential as an alternative
source of carbohydrates to support the diversification of society. The purpose of this study was to
determine the growth response of black potato planting material from cuttings and tubers. This
research was conducted in the village of the Parseh, Socah, Bangkalan District, at an altitude of ±
5 m above sea level, the temperature of ± 29 °C, in the month of January to June 2014. Black
potato of planting materials from cuttings and tuber planted in soil mixed media cow manure or
compost. The results showed the length of plant, number of leaves, chlorophyll content, plant fresh
weight, and plant dry weight of the plant material from cuttings showed more variability better
than tuber planting materials.
Keywords: planting material, black potato, growth, cuttings, tubers

PENDAHULUAN

Tanaman kentang hitam jarang dibudidayakan secara luas dan hanya


ditanam dalam skala pekarangan. Umbi kentang hitam sangat potensial sebagai
sumber karbohidrat alternatif guna mendukung diversifikasi pangan masyarakat
(Suwandi & Ashandi, 1986). Saat ini tanaman kentang hitam merupakan tanaman
penghasil umbi yang sangat langka. Upaya penyelamatan tanaman kentang hitam
perlu dilakukan dengan cara melestarikan dan melakukan budidaya secara
berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan

87
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

tanaman kentang hitam (Coleus tuberosus) dengan penggunaan bahan tanam dan
komposisi media tanam yang berbeda.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Parseh, Kecamatan Socah, Kabupaten


Bangkalan yang berada pada ketinggian tempat ± 5 m dpl, suhu ± 29 °C, RH ±
70%. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2014 sampai Juni 2014. Bibit kentang
hitam asal umbi dan stek ditanam pada polybag. Metode yang digunakan dalam
penelitian adalah percobaan faktorial yang disusun berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah asal bahan
tanam yang berbeda, yaitu bibit asal umbi dan stek batang kentang hitam. Faktor
kedua adalah komposisi media tanam, yaitu campuran tanah dengan pupuk
kandang sapi dan campuran tanah dengan kompos. Parameter pengamatan dalam
penelitian ini yaitu secara destruktif meliputi : Panjang tanaman (cm), jumlah
daun (helai), pengukuran kandungan klorofil (unit), bobot basah biomasa di atas
tanah (g), bobot kering biomasa di atas tanah (g), bobot basah biomasa di bawah
tanah (g), dan bobot kering biomasa di bawah tanah (g). Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila terdapat interaksi atau pengaruh
perlakuan maka dilanjutkan menggunakan Uji Jarak Duncan (UJD) 5 %.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Panjang tanaman

Penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam berpengaruh


terhadap panjang tanaman kentang hitam pada setiap perlakuan. Gambar 1
menunjukkan bahwa pada perlakuan penggunaan bahan stek+kompos
berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman kentang hitam pada saat umur 2, 4,
dan 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada perlakuan bahan tanam
stek+pupuk kandang sapi panjang tanaman tertinggi pada umur 8 dan 10 MST.
Sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan bahan tanam umbi + kompos
pada saat umur 2, 4, 6, dan 10 MST.
Penggunaan bahan tanam stek dan pupuk kompos menghasilkan panjang
tanaman yang mempunyai nilai tertinggi setiap minggunya dibandingkan dengan
perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan stek merupakan bagian tanaman yang
diambil dari tanaman induk yang sudah memiliki bentuk yang sempurna dan tidak
perlu banyak melakukan pembelahan sel sehingga dalam proses pertumbuhannya
bahan tanam stek mampu tumbuh dengan cepat dibanding dengan bahan tanam
umbi. Kandungan bahan organik yang terkandung dalam kompos sangat penting
untuk memperbaiki kondisi biologi maupun fisik dari tanah (Musnawar, 2003).
Kompos mempunyai dua peranan penting yaitu kemampuan untuk memperbaiki
struktur tanah dan kemampuan untuk melakukan tukar kation pada tanah sehingga
nutrisi yang terkandung dalam kompos mampu menghasilkan pengaruh yang baik
dalam mendukung pertumbuhan tanaman (Lingga & Marsono, 2004).

88
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 1. Rata-rata panjang tanaman akibat penggunaan bahan tanam dan


komposisi media tanam yang berbeda

Jumlah helai daun


Penggunaan bahan tanam dan komposisi media berpengaruh terhadap
jumlah daun tanaman kentang hitam pada setiap perlakuan. Gambar 2
menunjukkan bahwa perlakuan bahan tanam stek+kompos berpengaruh nyata
terhadap jumlah helai daun tanaman kentang hitam pada umur 2, 6, dan 8 MST,
sedangkan perlakuan stek+pupuk sapi terbanyak saat umur 4 dan 10 MST.
Sedangkan jumlah helai daun terendah terdapat pada perlakuan umbi+pupuk
kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos pada umur 4 dan 6
MST, perlakuan stek+pupuk kandang sapi pada umur 10 MST. Bahan tanam umbi
menunjukkan nilai yang selalu rendah pada umur 2, 4, dan 6 MST namun pada
umur 10 MST nilainya menjadi. Hal ini disebabkan karena asal bahan tanam umbi
merupakan bahan tanam yang masih membutuhkan banyak nutrisi yang cukup
untuk melakukan pembelahan selnya sehingga dimungkinkan nutrisi yang diserap
diarahkan untuk proses pertumbuhan dan pembelahan sel dan mengakibatkan
pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan asal stek.

89
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 2. Rata-rata jumlah helai daun akibat penggunaan bahan tanam


dan komposisi media tanam yang berbeda.

Kandungan klorofil
Kandungan klorofil daun kentang hitam menunjukkan perubahan setiap
minggu pada setiap perlakuan. Gambar 3 menunjukkan bahwa kandungan klorofil
daun pada setiap minggu selalu mengalami perubahan pada setiap perlakuan. Hal
tersebut diatas diduga karena energi yang diserap tanaman berbeda setiap harinya
dan naik turunnya kandungan klorofil pada daun kentang hitam tersebut diduga
tidak berhubungan dengan perlakuan.

Bobot basah biomasa di atas tanah

Bobot basah bimasa di atas tanah menunjukkan bahwa penggunaan bahan tanam
dan komposisi media berpengaruh terhadap bobot basah tanaman diatas tanah
pada setiap perlakuan. Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan bahan tanam
stek+kompos berpengaruh nyata terhadap bobot basah biomasa di atas tanah pada
pengamatan 2, 6, dan 8 MST, sedangkan pada perlakuan stek+pupuk sapi pada
pengamatan 4, dan 10 MST. Jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan bahan
tanam umbi+pupuk kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos
pada pengamatan 4, 6, 8, dan 10 MST. Dari grafik diperoleh informasi bahwa
pupuk kompos dan pupuk kandang sapi mampu memberikan hasil terbaik dalam
beberapa minggu pengamatan. Kandungan hara pupuk kandang sapi sangat
penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena
kandungan unsur haran yang lengkap seperti: N, P, K dan juga P (William &
Joseph, 1993).

90
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 3. Rata-rata kandungan klorofil daun akibat penggunaan bahan tanam dan
komposisi media tanam yang berbeda

Gambar 4. Rata-rata bobot basah biomasa di atas tanah akibat penggunaan bahan tanam
dan komposisi media tanam yang berbeda.

Bobot basah biomasa di bawah tanah


Dari Gambar 5 diperoleh informasi bahwa perlakuan yang diberikan mampu
meningkatkan hasil bobot basah tanaman dibawah permukaan tanah yang dibuktikan
dengan bobot basah biomasa tanaman di bawah tanah mengalami peningkatan berat pada
setiap perlakuan. Perlakuan yang memiliki nilai atau bobot yang paling tinggi yaitu
perlakuan umbi+kompos pada saat umur 2, 6 dan 8 MST, sedangkan pada perlakuan
stek+pupuk kandang sapi nilai tertinggi pada saat umur 4 MST, sementara pada
perlakuan umbi+pupuk sapi nilai tertinggi pada saat umur 10 MST. Bobot biomasa di
bawah tanah terendah pada perlakuan bahan tanam asal umbi+pupuk kandang sapi pada
umur 2 MST, perlakuan umbi+pupuk kandang sapi pada umur 4 dan 6 MST, pada
perlakuan stek + pupuk kandang sapi pada umur 8 MST, pada perlakuan stek+kompos
saat umur 10 MST. Terlihat pada grafik bahwa dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kentang hitam tidak terganggu. Tingginya bobot basah biomasa
di bawah permukaan tanah diduga diakibatkan oleh bahan tanam dan kandungan unsur
hara yang terdapat pada setiap perlakuan.

91
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 5. Rata-rata bobot basah biomasa di bawah tanah akibat penggunaan


bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda

Bobot kering biomasa di atas tanah

Gambar 6 menunjukkan terjadi perubahan bobot kering tanaman tiap periode


pengamatan pada setiap perlakuan. Perlakuan yang mempunyai nilai tertinggi yaitu
stek+kompos pada saat umur 2, 6, 8, 10 MST, perlakuan stek+pupuk kandang sapi pada
umur 4 MST. Sedangkan perlakuan terendah terdapat pada perlakuan umbi+pupuk
kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST.
Tingginya bobot kering yang didapat, diduga akibat pengaruh dari penggunaan bahan
tanam yang digunakan dan komposisi media yang berbeda. Seperti halnya pada
pembahasan sebelumnya bahwa bibit yang bersal dari umbi dan stek mempunyai proses
hidup yang agak sedikit berbeda namun keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Stek mempunyai kelebihan diantaranya sama seperti induknya,
pertumbuhan lebih cepat dibanding dengan bibit dari umbi, menghasilkan keturunan baru
yang dapat diproduksi secara besar namun perakaran dari bibit stek rapuh dan kurang
kuat (Ikbal, 2011). Sedangkan kelebihan dari bibit yang menggunakan umbi yaitu
perakaran kuat, tempat penyimpanan cadangan makanan banyak namun sifat yang
dihasilkan belum tentu sama dengan induknya.

Bobot Kering biomasa di bawah tanah

Gambar 7 menunjukkan bahwa perlakuan dengan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan
stek+pupuk kandang sapi saat umur 2 dan 4 MST, perlakuan stek+kompos saat umur 2
dan 6 MST, perlakuan umbi+kompos saat umur 8 MST, dan pada perlakuan umbi+pupuk
kandang sapi saat umur 10 MST. Sedangkan pada nilai terendah terdapat pada perlakuan
umbi+pupuk kandang sapi saat umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos saat umur 4 dan 6
MST, perlakuan stek+pupuk kandang sapi saat umur 8 MST, perlakuan stek+kompos saat
umur 10 MST. Bobot kering dibawah permukaan tanah dipengaruhi oleh perlakuan yang
diberikan, terlihat bahwa dalam setiap periode pengamatan bobot keringnya bertambah
dan bobot kering tertinggi terdapat pada semua perlakuan namun dalam periode waktu
pengamatan yang berbeda.

92
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 6. Rata-rata bobot kering diatas tanah akibat penggunaan bahan tanam dan
komposisi media tanam yang berbeda

Gambar 7. Rata-rata bobot kering biomasa di bawah tanah akibat penggunaan


bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara


jenis bahan tanam dan jenis media tanam terhadap pertumbuhan bahwa perlakuan asal
bahan tanam dan media tanam. Perlakuan bahan tanam dari stek memberikan bobot basah
diatas permukaan tanah dan bobot basah dibawah permukaan terbaik pada 2, 4, dan 6
MST, jumlah daun terbanyak pada 2 dan 6 MST, dan panjang tanaman paling tinggi pada
semua waktu pengamatan.

93
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR PUSTAKA

Ikbal, M. 2011. Pengaruh Pemberian ZPT (Antonik, Growmore, Rootone F) Terhadap


Beberapa Stek Batang. Laporan Prktikum Pembiakan Hormon Atonik. Prodi
Study Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Jambi.

Lingga, Marsono. 1999. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Musnawar. 2003. Pembuatan dan Aplikasi Pupuk Organik Padat. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Suwandi, Ashandi. 1986. Pengaruh Penggunaan Pupuk Urea dan ZA Terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Kentang Di Dataran Medium. Jurnal Hortikultura 8
(1).

William, C.N., and K.T. Joseph. 1993. Climatic. Soil and Crop Production in the
Humid Tropics. Oxford University Press, Kualalumpur.69p

94
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DISTRIBUSI DAN TINGKAT SERANGAN Meloidogyne


incognita DAN ASOSIASINYA DENGAN Pasteuria
penetrans PADA BEBERAPA TANAMAN INANG
DI KABUPATEN JEMBER
Andri Kurniawan, Soekarto, dan M. Hoesain
Fakultas Pertanian Universtias Jember
Jl. Kalimanatan No. 37 Jember

ABSTRAK

Peneyebaran Meloidogyne incognita secara luas di Kabupaten Jember disebabkan oleh


distribusi penanaman tanaman pangan. M. incognita berasosiasi dengan Pasteuria penetrans pada
jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya. Setiap Kecamatan diambil 2-3 sampel desa
dan setiap desa diambil 2-3 tanaman jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya.
Jumlah puru pada tanaman-tanaman tersebut yaitu 32 (skala lapang) dan 66 (uji biologi) termasuk
dalam skala 4. Tingkat serangan terjadi pada skala 4 termasuk kategori serangan berat.
Meloidogyne spp. berasosiasi dengan P. penetrans dan ditunjukkan dengan kutikula nemantoda
berwarna transparan. Sidik pantat jenis nematoda M. incognita paling banyak ditemukan pada
jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya.

Kata kunci: Sebaran, tingkat serangan, P. penetrans, hubungan asosiasi, M. incognita

PENDAHULUAN

Nematoda puru akar M. incognita merupakan jenis nematoda yang paling


terkenal karena populasi maupun intensitas serangannya paling besar (Budi et al., 2009).
Menurut Soekarto (1992) M. incognita sudah tersebar di daerah Kabupaten Jember
dimana sebaran ini sudah mencapai wilayah Kelurahan Sumbersari, Tegal Gede, dan
Antirogo. Peneyebaran M. incognita disebabkan oleh distribusi tanaman pangan dan
benihnya, sedangakan untuk skala lokal bisa disebabkan oleh pergerakan air, tanah dan
peralatan pertanian. Djiwanti (2009) mengemukakan bahwa pengendalian nematoda M.
incognita salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan bakteri Pasteuria
penetrans. Bakteri P. penetrans berasosiasi dengan nematoda M. incognita didalam akar
tanaman.
Upaya dalam pengendalian M. incognita setidaknya kita perlu mengetahui daerah
sebaranan dan tingkat serangan nematoda, serta asosiasinya nematoda dengan P.
penetrans terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut penelitian mengenai distribusi dan
tingkat serangan nematoda M. incognita dan asosiasinya dengan bakteri P. penetrans
pada beberapa tanaman inang di Kabupaten Jember perlu dilakukan.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Pengendalian Hayati


Universitas Jember. Bahan yang digunakan adalah tanaman inang jenis Solanaceae dan
beberapa jenis tanaman lainnya. Penelitian menggunakan metode survey disengaja
dengan setiap Kecamatan diambil 2-3 sampel desa dan setiap desa diambil 2-3 tanaman
jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya serta mengambil sampel tanah
perakaran (3-4 kg) untuk uji biologi. Parameter pengamatan yang dilakuakan yaitu:

95
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

perhitungan puru, tingkat serangan Meloidogyne spp., asosiasi bakteri P. penetrans


dengan Meloidogyne spp. dan menentukan jenis Meloidogyne spp. berdasarkan perineal
pattern.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans
dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian
Tengah
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Sumbersari Sumbersari Padi 0 0 0
Tembakau 17 28 5
Terong 12 13 3
Wirolegi Tembakau 3 3 1
Tomat 3 4 1
Cabai 4 6 4
Tabel 2. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans
dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian
Barat
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Bangsalsari Tisnu Jagung 0 0 0
Gambar Tembakau 32 82 9
Gambirono Kedelai 0 0 0
Padi 0 0 0
Jagung 0 0 0

Tabel 3. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans
dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian
Selatan
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Wuluhan Tanjung Padi 0 0 0
Rejo Tembakau 13 32 8
Kubis 1 1 0
Dukuh Jagung 0 0 0
Dempok Padi 0 0 0

96
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 4. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans
dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian
Timur
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Silo Sempolan Jagung 0 0 0
Tembakau 4 7 0
Tomat 4 11 4
Garahan Tembakau 0 0 0
Terong 24 56 12
Cabai 7 13 7

Tabel 5. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans
dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian
Utara
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Kalisat Sumber Tembakau 2 23 4
Ketempa Terong 16 47 14
Cabai 4 14 3
Sumber Tembakau 5 7 3
Kalong Padi 0 0 0
Cabai 2 3 0

Berdasarkan Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan


Meloidogyne spp. hampir tersebar di seluruh wilayah di Kecamatan Kabupaten Jember.
Meloidogyne spp. merupakan jenis nematoda parasit tumbuhan yang mikrokopis dan
mempunyai pola sebaran dilapang yang tidak teratur (irregular) hal ini tergntung oleh
kondisi sekitar terutma faktor lingkuangan (Bouman et al.,2001). Parameter mengenai
jumlah puru akar, skala tertinggi terdapat pada daerah Kecamatan Bangsalsari Kelurahan
Tisnu Gambar dengan tanaman budidaya tembakau. Jumlah puru di perakaran tanaman
ini sebanayak 32 dan masuk pada skala 4, kategori serangan skala berat. Parameter
mengenai asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. menunjukkan asosiasi
terbanyak terdapat di Kecamatan Kalisat Desa Sumber Ketempa dengan jumlah 14
Meloidogyne spp..

Tabel 6. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam
sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian tengah
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Sumbersari Sumbersari Padi 22 37 11
Tembakau 34 27 9
Terong 41 36 10
Wirolegi Tembakau 57 60 6
Tomat 33 29 4
Cabai 66 46 20
Tabel 7. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam
sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Barat
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah

97
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans


Bangsalsari Tisnu Jagung 25 26 7
Gambar Tembakau 51 41 12
Gambirono Kedelai 23 17 12
Padi 8 15 3
Jagung 42 25 6

Tabel 8. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam
sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Selatan
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Wuluhan Tanjung Padi 16 18 2
Rejo Tembakau 14 31 6
Kubis 20 37 3
Dukuh Jagung 38 29 2
Dempok Padi 22 24 9

Tabel 9. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam
sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Timur
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Silo Sempolan Jagung 19 26 22
Tembakau 41 51 17
Tomat 33 42 5
Garahan Tembakau 25 48 3
Terong 21 36 4
Cabai 10 30 1

Tabel 10. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan
dalam sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Utara
Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans
Kalisat Sumber Tembakau 2 23 4
Ketempa Terong 11 19 11
Cabai 4 14 3
Sumber Tembakau 11 28 12
Kalong Padi 31 31 3
Cabai 42 53 3
Hasil pengamatan Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10
mengenai uji biologi, jumlah total puru akar pada perakaran tanaman cabai di Kecamatan
Sumbersari Kelurahan Wirolegi menunjukkan skala tertinggi dengan jumlah 66 puru
akar. Hasil perhitungan puru akar dapat dikategorikan dalam skala 4 yaitu kategori
serangan skala berat. Asosiasi terbanyak terdapat di Kecamatan Silo Kelurahan Sempolan
tanah perakaran jagung, dengan jumlah 22 Melodogyne spp.

Tabel 11. Jenis Meloidogyne spp. berdasarkan hasil sidik pantat (perineal pattern)
Kecamatan Jenis Meloidogyne spp.
M. incognita M. javanica M. arenaria M. hapla
Sumbersari 8 2 0 0
Bangsal Sari 10 0 0 0

98
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Wuluhan 6 4 0 0
Silo 7 3 0 0
Kalisat 10 0 0 0
Jumlah Total 41 9 0 0
Hasil sidik pantat (perineal pattern) Tabel 11 menunjukkan jumlah M. incognita
populasinya paling banyak dengan jumlah (82%) 41 Meloidogyne. Taher et al. (2012)
mengemukakan jenis nematoda M. incognita mempunyai pola sebaran terluas dan
populasi terbanyak. Populasi terbanyak kedua yaitu M. javanica dengan jumlah (18%) 9
Meloidogyne.

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat diperoleh kesimpulan
bahwa:
1. Meloidogyne spp. tersebar merata di wilayah Kecamatan Kabupaten Jember.
2. Uji lapang maupun uji biologi menunjukkan Tingkat serangan Meloidogyne spp. skala
tertinggi dengan skor 4 dan termsuk kedalam kategori serangan berat.
3. P. penetrans berasosiasi dengan Meloidogyne spp. didalam akar tanaman.
4. M. incognita merupakan populasi terbanyak berdasarkan hasil sidik pantat (perineal
Pattern).

DAFTAR PUSTAKA

Budi, S., Sudjindro., dan R.D. Purwati. 2009. Variasi Ketahanan Genotipe Kenaf
(Hibiscus cannabinus L.) terhadap Nematoda Puru Akar (Meloidogyne
incognita). Jurnal Littri. 15 (2) 60-65.
Bouwman, L., and Arts, W. 2001. Effects of soil compaction on the relationship between
nematodes, grass production and soil physical properties. Appl Soil Ecol. 14:213-
222.
Djiwanti, S. R. 2009. Nematoda Parasit dan Teknologi Pengendaliannya dalam Budidaya
Nilam ( Pogostemon cablin) di Indonesia. Perkembangan Teknologi TRO. 21(02)
Hlm. 40-42.
Soekarto. 1992. Kajian Beberapa Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)
dalam Tanah pada beberapa Macam Tanaman Inang. Laporan Penelitian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Universitas
Jember.
Taher, M., Supramana., dan Suastika, G. 2012. Identifikasi Meloidogyne Penyebab
Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal
Fitopatologi Indonesia. 8(1) 16-21.

99
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

IDENTIFIKASI ORGANISME EPIFIT Eucheuma


cottonii HASIL KULTUR JARINGAN
Apri Arisandi1*, Akhmad Farid2, Yusi Purwaningsih3
1*2
Program Studi IKL FP Universitas Trunojoyo
3
Program Studi Agroekoteknologi Universitas Trunojoyo Madura
JL. Raya Telang PO.BOX 2 Kamal-Bangkalan 69162
E-mail: apri_unijoyo@yahoo.com

ABSTRAK

Perubahan cuaca yang tidak menentu dapat menyebabkan peningkatan infeksi epifit,
sehingga dapat mengakibatkan rendahnya pertumbuhan Eucheuma cottonii. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi epifit E. cottonii. Penelitian dilakukan dengan metode
kultur jaringan. Hasil penelitian menunjukkan, epifit yang menginfeksi tallus E. cottonii adalah
Saprolegnia sp dan Phythophthora sp.

Kata kunci: epifit, E. cottonii


ABSTRACT

Unpredictable weather changes during the change of seasons can lead to the increase of
epiphytic infection, which in could cause the low growth of Eucheuma cottonii. This research
aimed to identification of epiphytes infection of E. cottonii. The research was conducted using
tisue culture method. The results showed, epiphytic infected of E. cottonii thallus are Saprolegnia
sp and Phythophthora sp.

Keywords: ephypite, E. cottonii

PENDAHULUAN

Permasalahan utama dalam peningkatan produksi budidaya rumput laut Eucheuma


cottonii adalah ketersediaan bibit yang baik. Salah satu yang menjadi penyebab
penurunan produksi adalah bibit rentan terhadap infeksi penyakit. Kontaminasi epifit dan
infeksi penyakit menyebabkan kualitas bibit menjadi tidak layak budidaya. Oleh karena
itu ketahanan rumput laut terhadap epifit merupakan indikator keberhasilan usaha
budidaya rumput laut. Teknologi budidaya rumput laut yang sederhana dan murah yang
saat ini banyak digunakan pembudidaya belum didukung oleh ketersediaan bibit yang
bebas penyakit dan epifit (Specific Pathogen and Epiphyte Free/SPEF).
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik untuk menghasilkan bibit yang
berkualitas. Penelitian yang telah dilakukan oleh Parenrengi et al. (2007); Hurtado dan
Biter (2007); Hurtado et al. (2009) dan Yunque et al. (2010); telah diketahui bahwa
rumput laut dapat dikultur jaringan, namun dalam penelitian tersebut tidak dikaji secara
spesifik mengenai kontaminasi yang terjadi dan identifikasi terhadap spesies kontaminan.
Teknik kultur jaringan merupakan teknik pembiakan rumput laut secara vegetatif dimana
bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, yaitu salah
satunya mempunyai kesehatan dan kualitas bibit lebih terjamin sebab di kembangkan
pada kondisi yang aseptik (Widianti 2003). Teknik kultur yang baik menyebabkan
peluang kecil pada eksplan untuk dihinggapi penyakit dan epifit. Meskipun demikian ada
tidaknya kontaminasi perlu dianalisis untuk dapat diketahui penyebabnya serta spesies
yang mengkontaminasi sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pencegahan kontaminasi
saat kultur jaringan dan saat budidaya dilaut.

100
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Salah satu masalah yang terjadi dalam kultur jaringan adalah adanya kontaminasi.
Kondisi in vitro yang disukai eksplan yaitu mengandung sukrosa dan hara dalam
konsentrasi tinggi, kelembaban tinggi dan suhu yang sesuai juga disukai mikroorganisme
yang seringkali tumbuh dan berkembang sangat cepat mengalahkan eksplan. Sumber
organisme kontaminan bisa berasal dari lingkungan yang tidak steril, atau sudah ada di
dalam sel saat eksplan Eucheuma cottonii yang akan dikultur. Untuk itu perlu dilakukan
usaha-usaha pengendalian. Langkah awal usaha ini adalah identifikasi jenis-jenis
mikroorganisme sumber kontaminasi dan mengetahui gejala serangan pada eksplan
Eucheuma cottonii.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan selama 15 hari pada bulan Juni sampai Juli 2013.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Agroekoteknologi dan
Laboratorium Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo. Bahan Rumput laut yang digunakan
pada penelitian ini adalah rumput laut Eucheuma cottonii hasil budidaya kelompok tani di
Desa Aengdake, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep. Media untuk kultur jaringan
memakai media conway dan air laut yang disterilkan. Media conway adalah media kultur
jaringan yang berupa cairan, biasa digunakan untuk mengkultur sel tanaman air. Air laut
biasa digunakan untuk memelihara sumber eksplan setelah diambil dari lapang dan
ditempatkan di akuarium dalam laboratorium (Subagiyo, 2003). Sterilisasi alat
Menggunakan alkohol 70%, autoclave, laminar flow dan bahan untuk sterilisasi eksplan
adalah betadine 0,5%, dan air laut steril.
Penelitian dimulai dengan pembuatan media conway dan air laut buatan, serta
menempatkannya di dalam botol-botol kaca. Eksplan diambil sepanjang 10 cm dari
bagian ujung thallus Eucheuma cottonii (Suryati et al., 2007). Peralatan disterilkan
menggunakan etanol, dan eksplan juga disterilisasi melalui tiga tahapan. Eksplan di
potong menjadi 0,5 cm selanjutnya ditanam pada masing-masing botol sebanyak 100
botol. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow, media diberi perlakuan salinitas dan pH
yang sesuai dengan tempat asalnya yaitu 30 ppt dan 7,4. Botol kaca yang telah ditanami
eksplan diletakkan pada rak di tempat yang steril. Pengamatan dilakukan setiap hari
selama 15 hari untuk melihat ada atau tidaknya kontaminasi epifit pada thallus. Eksplan
dan media yang terkontaminasi diambil dan diamati untuk mengetahui spesies epifit apa
yang mengkontaminasi. Pengamatan terhadap morfologi epifit menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100x (Hurtado et al., 2009). Data hasil pengamatan morfologi epifit
dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan organisme epifit yang mengkontaminasi Eucheuma cottonii di botol-


botol yang disimpan dalam ruang kultur dilakukan dengan melihat perbedaan morfologi
eksplan. Thallus yang terkontaminasi epifit dari laut ditandai dengan adanya alga filamen
yang menempel pada bagian epidermis thallus Eucheuma cottonii. Hal tersebut sesuai
dengan yang dilakukan dalam penelitian Largo et al. (1995), spesies yang teridentifikasi
adalah Saprolegnia sp (Gambar 1) dan Phythophora sp (Gambar 2) yang merupakan alga
kompetitor yang bersifat epifit.

101
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

(a) (b)
Gambar 1. Saprolegnia sp yang mengkontaminasi thallus a) Thallus yang
terkontaminasi Saprolegnia sp b) Morfologi saprolegnia sp yang
mengkontaminasi jaringan sel thallus Eucheuma cottonii

Rumput laut yang terkontaminasi ditandai dengan memutihnya warna thallus, dari
warna hijau cerah menjadi hijau kusam; permukaan thallus berlendir seperti tertutup oleh
tepung berwarna putih; epidermis thallus terkelupas sehingga jaringan dalam / medula
terlihat serta terdapat hifa-hifa putih di permukaan media kultur jaringan. Berdasarkan
pengamatan secara morfologis menggunakan mikroskop, mengindikasikan bahwa
organisme tersebut merupakan jamur yang termasuk dalam spesies Saprolegnia sp.
Saprolegnia sp memiliki ciri-ciri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 0-35°C,
dengan kisaran pertumbuhan optimal 15-30°C. Merupakan golongan jamur oomycota
yang disebut juga dengan jamur air, yang dapat hidup dalam kondisi lingkungan berair
atau memiliki kelembaban tinggi. Saprolegnia sp umumnya mengkontaminasi bagian
organ yang terluka, selanjutnya menyebar pada jaringan sehat lainnya (Gambar 2).

Gambar 2. Saprolegnia sp (Wilfred et al., 1965)

Menurut Wilfred et al. (1965) jamur famili Saprolegniaceae dapat hidup dengan
baik di air tawar dan air laut. Zoospore kelompok jamur Saprolegnia sp mencari substrat
yang subur, selanjtnya menetap dan mulai memproduksi hypha. Mycelia tumbuh
menutupi jaringan yang luka atau tempat yang terkontaminasi, selanjtnya menyebar ke
jaringan normal di sekitar lokasi kontaminasi awal. Enzim pelisis yang dikeluarkan

102
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

jamur tersebut dapat merusak jaringan sel di sekitarnya, mematikan sel dan
perkembangan mycelia semakin progresif, sangat padat dan menjulur ke air sehingga
terlihat seperti kapas.
Keberadaan Saprolegnia sp pada permukaan organ hewan atau tumbuhan
umumnya ditandai dengan kemunculan "benda" seperti kapas, berwarna putih dan
menjulur. Menurut Semangun (2001) ukuran epifit yang sangat kecil menyebabkan
organisme kontaminan jauh lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Terjadinya
kontaminasi dapat disebabkan antara lain jika pada satu waktu di satu tempat terdapat 1)
tumbuhan yang rentan, 2) patogen yang virulen, 3) lingkungan yang sesuai. Lingkungan
tempat kultur jaringan Eucheuma cottonii berisi media yang kaya nutrisi dan unsur hara,
sehingga menjadi tempat yang baik bagi organisme kontaminan untuk tumbuh dan
berkembang.

Organisme kontaminan berikutnya yang ditemukan saat kultur jaringan Eucheuma


cottonii adalah Phythophora sp. Thallus Eucheuma cottonii yang terkontaminasi
Phythophora sp berubah menjadi berwarna hijau pucat dan terdapat bintik-bintik hitam.
Pengamatan pada morfologi jaringan sel Eucheuma cottonii menunjukkan, terdapat
bagian-bagian yang berwarna gelap dan berbentuk bulat (Gambar 3). Phytophthora sp
merupakan spesies dari genus Oomycetes yang memiliki dinding sel yang terbuat dari
selulosa. Morfologi sporangium Phytophthora sp berbentuk jorong hingga agak
membulat seperti buah pir. Spora mempunyai bulu cambuk (flagela), sehingga bisa
bergerak di dalam air, dan mempunyai kemampuan membentuk klamidospora bulat
(Mulyanto 2002).

(a) (b)

Gambar 3. Thallus yang terkontaminasi Phytophthora sp., a) Morfologi thallus


yang terkontaminasi b) Morfologi jaringan sel Eucheuma cottonii
Perubahan morfologi sel dapat diketahui dengan membandingkan sel jaringan
thallus yang sehat dengan sel jaringan pada thallus yang terkontaminasi. Sel yang
terkontaminasi berukuran lebih kecil dan terlihat adanya pengkerutan dibanding dengan
sel pada jaringan thallus yang sehat yang tampak berukuran lebih besar dan terlihat
dinding sel lebih kokoh dalam menopang bentuk sel. Menurut Juwono dan Julianto
(2003) serta Lakitan 2011 dalam Arisandi (2011), dinding sel tanaman mempunyai fungsi
utama sebagai pelindung dari rangka sel sehingga ketika dinding sel rusak oleh penyakit
maka dapat mengakibatkan perubahan bentuk dan ukuran sel. Rusaknya dinding sel dapat

103
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mengganggu penyerapan nutrien ke dalam sel sehingga dapat mengganggu metabolisme


dan menghambat pembelahan sel. Kerusakan yang semakin parah menyebabkan dinding
sel pecah, sehingga cairan keluar dan mengakibatkan bentuk sel menjadi tidak beraturan
dan mengecil (plasmolisis) selanjutnya mulai mengalami kematian (Musa dan Wei 2008
dalam Arisandi 2011). Morfologi Phytophthora sp yang mengkontaminasi jaringan sel
Eucheuma cottonii (Mulyanto 2002), terlihat menyebar di seluruh jaringan sel seperti
yang tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4. Morfologi Phytophthora sp (Mulyanto 2002).

Minggu pertama rumput laut kultur yang terkontaminasi sejumlah 8 botol, pada 6 botol
terdapat ciri-ciri yang memutihnya thallus, berlendir yang diselimuti oleh kotoran seperti
tepung putih, serta kulit luar atau epidermisnya terkelupas. Ciri-ciri adanya bintik-bintik
hitam dan garis garis kecokelatan pada dinding thallus terdapat pada 2 botol lainnya.
Kontaminasi pada minggu pertama terjadi pada hari ke 3, 4 dan 5 dengan jumlah
terbanyak terjadi pada hari ke 4. Hal ini diduga karena pada hari 1 dan 2 organisme
kontaminan belum begitu berkembang sehingga tidak terlihat secara kasat mata pada
morfologi thallus Eucheuma cottonii. Hari ke 3 tanda-tanda terkontaminasi mulai terlihat
dan puncaknya pada hari ke 4 jumlah thallus yang terkontam lebih banyak. Hari ke 5
jumlah kontaminasi mulai menurun, begitu pula pada minggu ke 2 ketidaksamaan jumlah
yang terkontaminasi setiap hari diduga disebabkan oleh perbedaan waktu pertumbuhan
dan umur organisme kontaminan. Tanda-tanda terkontaminasi terlihat pada waktu yang
tidak dapat diprediksi. Menurut Semangun (2001) bahwa antara infeksi dan tampaknya
gejala terkadang terdapat jarak waktu yang lama, tetapi biasanya gejala penyakit akan
tampak setelah terjadinya infeksi. Dalam penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa kelulushidupannya sebesar 62,5%. Tidak semua eksplan yang mati disebabkan
karena kontaminasi, tetapi dapat terjadi karena browning dan kemampuan adaptasi
rumput laut yang lemah, sehingga menyebabkan tidak bertambahnya pertumbuhan dan
akhirnya menyebabkan kematian.

KESIMPULAN
Terdapat 2 spesies epifit kontaminan pada kultur jaringan Eucheuma cottonii yaitu
Saprolegnia sp dan Phythophthora sp.

104
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR PUSTAKA

Arisandi. A. 2011. Kajian Pertumbuhan dan kualitas karaginan Kappaphycus alvarezii


ditinjau dari sitologi sel hasil kultur jaringan dan budidaya laut. Disertasi.
Universitas Brawijaya. Malang. 250 hal.
Hurtado A.Q., and Biter A.B., 2007. Plantlet Regeneration of Kappaphycus alvarezii var.
adik-adik by tissue culture. Journal of Applied Phycology,19:783–786
Hurtado, A.Q., Yunque, D.A., Tibubos, K., and Critchley, A.T., 2009. Use of Acadian
Marine Plant Extract Powder from Ascophyllum nodosum in Tissue Culture of
Kappaphycus alvarezii.Journal of Applied Phycology, 21:633–639
Juwono dan Juniarto, A.Z. 2003. Biologi Sel. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Semarang. 98 hal.
Largo, B.D., K. Fukami and T. Nishijima. 1995. Occasional pathogenic bacteria
promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae Kappaphycus
alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta).
Journal of Applied Phycology 7: 545 – 554
Parenrengi, A., Suryati, E., dan Syah, R. 2007. Penyediaan Benih dalam Menunjang
Kebun Bibit dan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah
Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.12 hal.
Semangun, H. 2011. Ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University press:
Yogyakarta.
Subagiyo. 2003. Perbanyakan Benih Rumput Laut dengan Teknik Kultur Jaringan.
Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Undip. Semarang.
8 hal.
Suryati, E., Redjeki, S., Tenriulo, A., dan Rosmiati. 2007. Perbaikan Kualitas Genetik
Benih Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Melalui Fusi Protoplas. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau. 12 hal.
Widianti .2003.Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman
secaraVegetatif-Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Wilfred 1965 dalam http://srirahmaningsih.blogspot.com/2011/08/jamur-saprolegnia-sp-
penyebab-penyakit.html diakses tanggal 23 agustus 2013.
Yunque, D.A.T., Tibubos, K.R., Hurtado, A.Q., and Critchley, A.T. 2010. Optimization
of culture conditions for tissue culture production of young plantlets of
carrageenophyte Kappaphycus. Journal of Applied Phyciology. 19 (9): 23–46

105
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KAJIAN TEKNOLOGI USAHA TANI DENGAN


PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TERPADU
DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI
TOMAT DI KEDIRI
Evy Latifah(1), Kuntoro Boga(1) and Joko Mariyono(2)
(1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. RayaKarangploso KM-4 Malang
(2)
AVRDC - The World Vegetable Centre
Project Office Malang
Email : evy_latifah@yahoo.com

ABSTRAK

Tomat merupakan komoditas hortikultura yang penting, tetapi produksinya masih rendah.
Hal ini disebabkan antara lain struktur tanah yang keras, miskin unsur hara mikro dan hormon,
pemupukan tidak berimbang, serangan hama dan penyakit, pengaruh cuaca dan iklim, dan teknis
budidaya yang kurang tepat. Dengan demikian perlu dikaji paket pengendalian hama dan penyakit
terpadu dalam rangka meningkatkan produksi tomat di Kediri. Kajian dilaksanakan pada bulan
November 2013 sampai dengan Februari 2014 dengan dua paket perlakuan menerapkan prinsip
PHT yaitu A=paket pemanfaatan PGPR dan bakteri merah, B= paket pemanfaatan
mikroorganisme local (MOL) dan C=perlakuan petani. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
pertumbuhan tanaman pada perlakuan A lebih tinggi dari pada perlakuan B dan C, dimana
perlakuan A, B dan C tidak berbeda secara nyata. Sedangkan prosentase serangan beberapa hama
dan penyakit pada kedua penerapan system PHT relatif lebih rendah dari pada kebiasaan petani.
Untuk produksi tomat perlakuan PHT paket A lebih tinggi (2,0 kg/tanaman) dari pada paket C
(1,93 kg/tanaman), untuk pemanfaatan MOL memperoleh produksi yang paling rendah yaitu 1,85
kg/tanaman. Analisa usaha tani kebiasaan petani dan pemanfaatan PGPR dan bakteri merah
menghasilkan produksi tomat lebih tinggi, tetapi keuntungan tertinggi dihasilkan pada
pemanfaatan MOL.

Kata kunci : Usaha tani, pengendalian hama penyakit, produksi tomat

LATAR BELAKANG

Tomat merupakan komoditas hortikultura yang penting, tetapi produksi masih


rendah, baik kuantitas dan kualitas. Hal ini disebabkan antara lain structure tanah yang
keras, miskin unsur hara mikro, pemupukan tidak berimbang, serangan hama dan
penyakit, pengaruh cuaca dan iklim, dan teknis budidaya petani. Upaya peningkatan
produksi tomat ke depan masih dan akan terus bertumpu pada penggunaan input luar,
diantaranya perbaikan kesuburan tanah dengan penggunaan pupuk hayati, pestisida nabati
untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan yang mengandung bahan kimia. Pupuk
hayati dan pestisida nabati yang digunakan juga untuk mengurangi pengeluaran untuk
membeli pestisida dan pupuk anorganik sekaligus mengatasi dampak negatif yang
ditimbulkannya.
Pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu (PHT) memiliki
arti penting dalam mendukung adanya pertanian berkelanjutan. Hal ini dikarenakan
konsep dalam PHT selaras dengan konsep dalam pertanian berkelanjutan. Disamping itu,
PHT dan pertanian berkelanjutan merupakan suatu kebijakan pemerintah yang diatur
Undang-Undang. Menurut Smith (1978) bahwa PHT adalah pendekatan ekologi yang

106
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka


ragam teknik pengendalian secara compatible dalam satu kesatuan koordinasi
pengelolaan. Kenmore (1989) menyatakan melalui penerapan PHT diharapkan kerusakan
yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian
bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan. Pengendalian hama dengan PHT
disebut pengendalian secara multilateral karena menggunakan semua metode yang
dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara saja, melainkan semua teknik pengendalian
dikombinasikan secara terpadu dalam satu kesatuan pengelolaan. Sehingga tidak fokus
pada penanaman varietas tahan saja atau hanya menghindari penggunaan pestisida yang
berlebihan tetapi semua teknik dikombinasikan secara terpadu. PHT juga harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologi dan penerapannya tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan yang merugikan bagi mahluk baik sekarang maupun yang akan datang.
Menurut Teguh (2013) teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman diantaranya: (1)
teknik agronomi misalnya dengan pengolahan tanah, irigasi, pemberoan, pergiliran
tanaman, pengaturan jarak tanam, tanam serempak, dan pemupukan berimbang; (2)
teknik varietas tahan misalnya dengan ketahanan genetik dan ketahanan ekologi; (3)
teknik fisik dan mekanik misalnya dengan menggunakan lampu perangkap, menggunakan
metilat lem, gelombang suara, pemasangan perangkap; (4) teknik pengendalian hayati
misalnya menggunakan musuh alami dengan bahan bahan ramah lingkungan baik yang
berasal dari makhluk hidup maupun dari tanaman; dan (5) teknik pengendalian kimiawi
yaitu dengan menggunakan pestisida kimia yang tetap digunakan jika semua teknik
sebelumnya tidak mampu dan merugikan.
Menurut Adam dan Nguyen (2002) bahwa pengendalian secara biologi dilakukan
dengan pelestarian dan pemanfaatan agens pengendalian hayati (agen biokontrol)
diantaranya dengan memanfaatkan musuh alami seperti predator (laba-laba), parasitoid
(Trichogramma sp), cendawan entomopatogen (Beauveria bassiana, Metarhizium
anisopliae), bakteri entomopatogen (Bacillus thuringiensis) dan nematoda
entomopatogen (family Steinernematidae dan Heterorhabditidae).
Menurut Lisa (2012) terdapat beberapa kendala implementasi PHT di lapang
yaitu: Rendahnya pola pikir petani tentang arti penting PHT, keterbatasan sumber dana
sehingga penelitian dilakukan sepotong-sepotong dan tidak berkesinambungan dan belum
ada koordinasi dan kerangka dasar yang menyatukan kegiatan-kegiatan penelitian guna
penerapan dan pengembangan PHT, baik antarlembaga penelitian maupun antar peneliti.
PHT adalah suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan
(Ilham, 2014). Pengendalian OPT hortikultura yang diarahkan pada pengendalian yang
memperhatikan aspek teknis, ekologis, sosial dan ekonomi. Pengendalian OPT yang
ramah lingkungan tersebut diantaranya dengan menggunakan aplikasi agens hayati dan
pestisida nabati (bahan alam/ berbahan dasar metabolit sekunder dari tanaman). Agens
hayati yang telah banyak digunakan untuk mengendalikan OPT diantaranya: Plant
Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), Trichoderma sp, Trichokompos, bakteri
Serratia (Hendry, 2012). PGPR sangat diperlukan tanaman karena memiliki banyak
manfaat diantaranya dapat memproduksi antibiotik untuk melindungi tanaman dengan
cara menghambat penyakit perakaran, dapat menjadi pesaing untuk memperoleh makanan
bagi pathogen penyebab penyakit, merangsang pembentukan hormon atau ZPT,
menghambat produksi etylen, meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan unsur N, Fe,
S,P,Mn (Anonymous, 2013). Salah satu Agens hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pengendali OPT yang bersifat ramah lingkungan adalah bakteri Serratia atau
bakteri merah merupakan bakteri gram negative yang memiliki flagella pertrik sehingga

107
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

bersifat motil (Priyatno, 2011). Mekanisme kerja dari bakteri merah seperti pathogen
serangga lainnya, yaitu mematikan oral dimana bakteri tersebut masuk atau tertelan ke
dalam tubuh serangga hama dan masuk dalam pencernaan sehingga dapat merusak
system pencernaan makanan serangga tersebut. (Lilik et al., 2008). Disamping itu
terdapat mikroorganisme lokal (MOL) yang bahan-bahan untuk pembuatannya tersedia di
sekitar kita, bias berasal dari sampah dapur, bonggol pisang, air kelapa, air sisa cucian
beras, nasi busuk, buah-buahan busuk, urine sapi, bonggol pisang dan batang pisang
(Anonymous, 2012) Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan paket pengendalian
hama penyakit terpadu yang lebih tepat dalam rangka meningkatkan produksi tomat di
Kediri.

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilakukan di desa Kebonrejo kecamatan Kepung, desa Kamping Baru


kecamatan Kepung, dan didesa Padangan kecamatan Kayen Kidul pada bulan November
2013 sampai dengan Februari 2014 yang berada pada ketinggian tempat 400 m diatas
permukaan laut. Varietas tomat yang digunakan adalah Timoty.
Kegiatan ini dilaksanakan pada lahan petani, masing-masing petani luasannya ±
500 meter persegi. Petani yang dilibatkan sebanyak 3 orang dan juga berfungsi sebagai
ulangan. Adapun susunan perlakuan disajikan pada Table 1. Terdapat 3 paket perlakuan,
diantaranya : dua paket perlakuan menerapkan prinsip PHT, A=paket pemanfaatan
PGPR dan bakteri merah, B= paket pemanfaatan mikroorganisme local (MOL) dan satu
paket sebagai kontrol, C= kebiasaan petani (non PHT).
Tabel 1. Susunan perlakuan pada kajian paket pengendalian hama penyakit terpadu dalam
rangka meningkatkan produksi tomat
Uraian Paket A Paket B Paket C
Varietas tomat Timoty Timoty Timoty
Jarak tanam (cm) 50 x 60 50 x 60 50 x 60
Umur bibit (hari) 25 25 25
Pemupukan
Pupuk anorganik
NPK Mutiara - - 7 hst 2 kg/100 ltr,
ZA 14 hst dan 21 hst 3
kg/100 ltr
Pupuk organi
Bokashi 250 kg 250 kg 250 kg
MOL - Mol dari bonggol -
pisang
Agensia hayati PGPR

Pengendalianhama Bakteri merah Pestisida nabati Confidor 2 cc/l


penyakit Pestisida nabati Agrimec 1 cc/l

Pestisida nabati untuk mengendalikan hama diberikan pestisida nabati yang


terbuat dari jagung, tembakau, sereh, daun mindi, gadung, tapak liman dengan ukuran
masing-masing 1 kg dihaluskan menjadi satu kemudian direndam semalam. Setiap tangki
10 liter air ditambahkan 0,5 sdt sunligt. Untuk mengendalikan fungisida terbuat dari
bawang putih,jahe,kunir dan tapak liman masing-masing juga 1 kg.

108
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Data yang dikumpulkan untuk mengetahui tingkat efektifitas pengendali hama


penyakit terpadu adalah pertumbuhan tanaman, prosentase hama dan penyakit yang
menyerang, produksi tanaman dan analisa usaha tani.
Analisa data dilakukan dengan uji berganda Duncan dan untuk mengetahui
keuntungan petani dilakukan dengan analisis finansial atau analisis usaha tani dengan
menghitung R/C usahatani (Sudana et al., 1999)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman
Pemberian Plant Growth Promoting Rhizobakteri (PGPR) dan bonggol pisang
menunjukan kecenderungan rata-rata pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada kebiasaan
petani. Meskipun setelah dianalisis secara statistik data pertumbuhan tinggi tanaman pada
ketiga perlakuan tidak berbeda nyata berdasarkan analisis uji berganda Duncan. Hal ini
disebabkan PGPR juga dapat merangsang pembentukan hormon atau zat pengatur
tumbuh seperti Auksin, Gibberellin dan Sitokinin sehingga tanaman terlihat subur, begitu
pula dengan bonggol pisang juga mengandung zat pengatur tumbuh Giberellin dan
Sitokinin (Maspary, 2012). Hasil penelitian Kamila et al, (2013) menunjukkan bahwa
PGPR P Fluorescens. dapat meningkatkan tinggi tanaman dan bobot buah cabai rata-rata
sampai dengan 2,17 gram setiap tanaman. Ditunjukkan pula pada penelitian Yachana dan
Subramanian (2013) bahwa perkecambahan, kelangsungan hidup, tinggi tanaman dan
berat kering secara significan meningkat dengan perlakuan PGPR dalam kondisi non
garam dan saline. Perlakuan MOL bonggol pisang menunjukkan pertumbuhan cukup
tinggi dibanding perlakuan kebiasaan petani, hal ini disebabkan bahwa MOL bonggol
pisang juga mengandung 7 mikroorganisme yang sangat berguna bagi tanaman yaitu:
Azospirilium, Azotobacter, Bacillus, Aeromonas, Aspergillus, mikroba pelarut phospat
dan mikroba selulotik, disamping itu juga dapat digunakan sebagai decomposer atau
mempercepat proses pengomposan (Maspary,2012).
Tabel 2. Pertumbuhan tanaman tomat umur 14-84 hst
Perlakuan 14 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst 49 hst 56 hst 63 hst 70 hst 77 hst 84 h
hst
PHT ( PGPR
29 117.67 133.67 139.33 144.67 151
dan Bakteri 38.33 a 51 a 63.33 a 81 a 97.33a
a a a a a a
merah)
PHT bonggol 28 132.67
35 a 51 a 62.33 a 80.67a 96 a 116a 138a 144a 150
pisang a a
Non PHT 27.
115.67 137.33 143.67 150
67 34 a 50.33a 62 a 79a 95.33a 132a
a a a a
a

109
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 1. Pertambahan tanaman tinggi tanaman tomat pada umur 14-84 hst

Serangan Hama dan Penyakit


Pengendalian hama dan penyakit tomat menjadi faktor utama kunci keberhasilan
budidaya tanaman tomat. Dengan demikian tanaman tomat yang mendapatkan aplikasi
PGPR dan bakteri merah selama pertumbuhan cenderung lebih sedikit serangan hama dan
penyakitnya, begitu pula dengan aplikasi bonggol pisang dan pestisida nabati untuk
pengendalian hama penyakit cenderung lebih efektif dibandingkan kebiasaan petani
dengan menyemprotkan pestisida kimia. Dengan demikian teknik pengendalian hama
penyakit terpadu yang telah dilakukan lebih meminimalkan serangan hama dan penyakit
sehingga lebih terkendali.
Pengamatan dimulai pada umur 14 hst tanaman menunjukkan bahwa serangan
kutu kebul rata-rata 2% per tanaman pada tanaman yang mendapat perlakuan PGPR dan
bonggol pisang, untuk perlakuan kebiasaan petani lebih tinggi prosentasi serangan kutu
kebul sebanyak 3% per tanaman. Kemudian pada umur 21 hst berkembang penyakitnya,
terdapat bercak daun rata-rata 2% per tanaman dengan rata-rata populusi kutu kebulnya
tetap 3% per tanaman. Dengan keberadaan kutu kebul pada umur vegetatif tanaman
dapat berpotensi sebagai vektor (perantara) penular virus penyebab penyakit. Hama kutu
kebul yang menyerang tanaman tomat adalah spesies Bemisia tabaci. Hama terlihat
berwarna putih, memilikia sayap serta bagian tubuh berselimut lilin. Serangan Bemisia
tabaci mengakibatkan kerusakan pada sel-sel atau jaringan daun tomat karena cairannya
terhisap habis oleh hama.

110
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 3. Hama dan Penyakit yang menyerang tanaman tomat (per tanaman)

NO Umur Hama
Tanaman A B Non PHT
1 14 hst Kutu kebul 2% Kutu kebul 2% Kutu kebul 3%
2 21 hst - Kutu kebul 2% Kutu kebul 3%
3 28 hst - Bercak daun 2 %
4 35 hst Bercak daun 2 % Bercak daun 3% Bercak daun 5%
5 42 hst Bercak daun 5% Bercak daun 10% Bercak daun 20%
6 49 hst Bercak daun 5% Bercak daun 12% Bercak daun 25%
7 56 hst Bercak daun 15% Bercak daun 25% Bercak daun 50%
8 63 hst Bercak daun 20% Bercak daun 30% Bercak daun 70%
9 70 hst Bercak daun 50% Bercak daun 55% Bercak daun 70%
10 77 hst Bercak daun 55% Bercak daun 60% Bercak daun 70%

Pada kedua perlakuan PHT pada umur 35 hst mulai terserang bercak daun rata-rata
sebanyak 2 dan 3% pada setiap setiap tanaman penyebabnya adalah : cendawan Septoria
Lycopersici Speg. yang merusak daun dan menyerang tanaman tomat yang masih muda
ataupun tua. Gejala: terlihat bercak bulat kecil berair pada kedua permukaan daun
dibagian bawah. Bercak tersebut berwarna coklat muda, kemudian menjadi kelabu
dengan tepi kehitaman. Garis tengah bercak ± 2 mm. Serangan yang hebat menyebabkan
daun tomat menggulung, mengering dan rontok. Dan dengan bertambahnya umur
tanaman tomat, bercak daun yang menyerang semakin banyak terutama pada perlakuan
kebiasaan petani mulai umur 42 hst, 49 hst, 56 hst, 63 hst sudah terserang rata-rata
sebanyak 20 % pada setiap tanaman berkembang lagi menjadi 25% pada setiap tanaman
kemudian 50%pada umur 56 hst, dan berkembang lagi bercak daunnya menjadi 70%
sampai dengan 84 hst. Perlakuan pemberian PGPR dan bakteri merah relative lebih
sedikit prosentase serangan kutu kebul dan bercak daun. Hal ini sesuai hasil penelitian
Priyatno et al., (2011) yang membuktikan bahwa bakteri merah yang diisolasi dari
wereng batang coklat (WBC) memiliki kisaran inang yang luas tidak terbatas pada
serangga hama, tetapi juga bakteri pathogen tanaman, sehingga pemanfaatannya selain
untuk mengendalikan serangga hama juga bakteri pathogen tanaman.
Hasil penelitian Hersanti et al. (2009) menunjukkan bahwa kemampuan
antagonistik isolate-isolat bakteri hasil isolasi dari mikroorganisme local (MOL) bonggol
pisang P.grisea memperoleh 14 isolat bakteri yang tidak berpotensi meningkatkan
pertumbuhan benih padi tetapi mampu menekan perkembangan penyakit bercak daun
coklat pada tanaman padi di rumak kaca.

Produksi Tanaman
Tabel 4. Hasil produksi tanaman tomat ( kg/plot)
Perlakuan I II III Rata-rata
A 23.5 24 24.5 24.00 a
B 22.8 23.5 23.18 22.20 c
C 22.4 22.2 22.0 23.16 b

Pemberian PGPR mampu menghasilkan produksi yang paling tinggi dikarenakan


PGPR mampu meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan unsur N oleh tanaman, dapat
meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur Fe, S, P, dan Mn, merangsang

111
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

pembentukan hormone atau ZPT, mampu menjadi pesaing pathogen penyebab penyakit
dalam mendapatkan makanan di sekitar perakaran serta dapat memproduksi antibiotic
dengan cara menghambat pertumbuhan penyakit perakaran (Maspary, 2011)
Ditambahkan pula oleh Saharan dan Nehra (2011) yang menyatakan bahwa penambahan
PGPR dapat menyebabkan kondisi lingkungan dalam tanah stabil dan berkelanjutan serta
dapat meningkatkan produksi dan kesehatan tanaman.

Analisis Usahatani
Analisis usaha tani teknologi pengendalian hama penyakit terpadu dengan
pemberian PGPR dan bakteri merah menghasilkan keuntungan yang paling tinggi,
kemudian pemberian MOL bonggol pisang dan perlakuan kebiasaan petani menghasilkan
keuntungan yang paling rendah. Meskipun perlakuan pemberian MOL menghasilkan
produksi yang paling rendah dibanding kedua perlakuan yang lain tetapi mampu
menghasilkan R/C yang paling tinggi, karena untuk aplikasi MOL tidak memerlukan
pembelian pestisida kimia yang mahal, cukup memanfaatkan bahan-bahan yang ada
disekitar serta membuat sendiri bahan –bahan tersebut, sehingga biaya yang dikeluarkan
lebih murah.
Tabel 4. Analisa Usaha Tani Tanaman Tomat
IPM (PGPR dan bakteri IPM (Bonggol
merah) pisang) Non IPM
Jumlah Jumlah Jumlah
Uraian Kegiatan Luas (RP, -) Luas (RP, -) Luas (RP, -)
Sewa Tanah 150 m2 160.000 150 m2 160.000 150 m2 160.000
Pengolahan Tanah
* Bajak, garu 1
kali 100.000 100.000 100.000
* Membuat
bedengan 100.000 100.000 100.000
Pupuk organik /
Petroganik 175 kg 87.500 175 kg 87.500 175 kg 87.500
Mulsa Plastik 66.000 66.000 66.000
Beli bibit
perbatang Rp. 200
(Timoty) 300 btg 60.000 300 btg 60.000 300 btg 60.000
Tanam satu orang 30.000 30.000 30.000
Pupuk Phonska
MOL 20.000 6 kali 112.000
Bambu lanjaran
dan tenaga 20.000 20.000 20.000
Pestisida 0 0
Demolish,Alika,Pe
rekat 125.000
Nabati 70.000 20.000 0
Tenaga nyemprot
dan kocor 100.000 100.000 50.000
Tenaga
penyiangan 25.000 25.000 25.000
Pengairan 15.000 15.000 15.000
Agensia hayati 70.000 0 0

112
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Total Biaya 903.500 803.500 950.500


Produksi 600kg 1.500.000 555 kg 1.387.500 580kg 1.450.000

Rp.2500/k Rp.2500/k Rp.2500/


Harga g g kg
Rp.596.50 Rp.584.00 Rp.449.50
Keuntungan 0 0 0
R/C Ratio 1.66 1.72 1,53

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman tomat tidak berbeda nyata
dari 3 perlakuan yaitu pemberian PGPR dan bakteri merah, pemberian MOL
bonggol pisang dan perlakuan petani. Untuk hasil produksi yang paling tinggi
dihasilkan pada tanaman yang memperoleh PGPR dan bakteri merah, setingkat
dibawahnya produksi tanaman yang memperoleh perlakuan MOL bonggol pisang
dan yang terendah perlakuan petani.
2. Prosentase serangan hama penyakit pada ke dua penerapan system PHT lebih
rendah dari pada perlakuan PHT. Dimana pemberian PGPR dan bakteri merah
relative paling sedikit serangan kutu kebul dan bercak daun.
3. Analisa usaha tani pemanfaatan PGPR dan bakteri merah serta kebiasaan petani
menghasilkan produksi tomat lebih tinggi, tetapi R/C ratio tertinggi dihasilkan
pada perlakuan pemanfaatan mikroorganisme lokal (MOL).

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2013. Cara Pembuatan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria).


Diakses http://luki2blog.wordpress.com/2013/12/27/cara-pembuatan-pgpr-plant-
growth-promoting-rhizobacteria/ pada 10/6/2014.
BS Saharan, V Nehra. 2011. Plant Growth Promoting Rhizobacteria: A Critical Review.
Department of Microbiology, Kurukshetra University, Kurukshetra, Haryana 136
119, India. Life Sciences and Medicine Research, Volume 2011: LSMR-21.
Hendry Puguh Susetyo. 2012. Potensi Bakteri Merah (Serratia sp) Sebagai
Entomopatogen pada Komoditas Hortikultura. Diakses pada
http://hendrypuguhsusetyo.wordpress.com/2012/07/03/potensi-bakteri-merah-
serratia-sp-sebagai-entomopatogen-pada-komoditas-hortikultura/ pada 10/6/2014.
Hersanti, Noor Istifadah dan Luciana Djaya. 2009. Potensi Bakteri asal mikroorganisme
Lokal (MOL) Dalam Menekan Penyakit dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman
Padi. Diakses http://www.lppm.unpad.ac.id/archives/3742 pada 12/6/2014.
Ilham Syarifudin. 2014. Teknik Pengendalian Hama Terpadu. Diakses
http://worldmeco.worldpress.com/2014/01/31/teknik-pengendalian -hama-terpadu/
Kamila Qurota Ayun, Tutung Hadiastono dan Mintarto Martosudiro. 2013. Pengaruh
Penggunaan PGPR Terhadap Intensitas TMV, Pertumbuhan dan Produksi Pada
Tanaman Cabai Rawit (Capsicum Frustescens L.). Jurnal Hama Penyakit Tanaman
Vol 1. No1

113
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Kenmore, P.E.1987. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter.VII (7).IRRI.
Manila. Philippines.
Lilik Retnowati dan Baskoro Sugeng Wibowo.2008. Perbanyakan dan Pemanfaatan
Bakteri Merah. BBPOPT Jatisari. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
Maspary 2011. PGPR Mengendalikan Layu dan Menyuburkan Tanaman.
http://www.gerbangpertanian.com/2011/06/pgpr-mengendalikan-layu-dan-
menyuburkan.html. Diakses pada 8/6/2014
Maspary. 2012. Kehebatan MOL Bonggol Pisang. Diakses
http://www.gerbangpertanian.com/2012/05/apa-kehebatan-mol-bonggol-
pisang.html pada 9/6/2014
Smith,R.F.1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In Pest Control
Strategis. S.H. Smith and D.Pimentel (Ed). Acad. Press.New York.
Sudana W, Nyak Ilham,D.K, Sadra S.,R.N.Suhaeti. 1999. Metodologi Penelitian dan
Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Tegus Nasa. 2013. Konsep Pengelolaan Hama Terpadu. Stockistnasa.com/pengelolaan –
hama-terpadu/ diakses 15/5/2014.
Tri P. Priyatno1, Yohana A. Dahliani, Yadi Suryadi, I Made Samudra, Dwi N.
Susilowati, Iman Rusmana,Baskoro S. Wibowo, dan Cahyadi Irwan. 2011.
Identifikasi Entomopatogen Bakteri Merah pada Wereng Batang Coklat
(Nilaparvata lugens Stål.). Jurnal AgroBiogen 7(2):85-95.
Yachana dan Subramanian. 2013. Paddy Plants Inoculated With PGPR Show Better
Growth Physiology and Nutrient Content Under Saline Conditions. Chilea Journal
of Agricultural Research. Vol 73. No 3.

114
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENENTUAN PERIODE KRITIS KEMUNCULAN


GULMA YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN
DAN HASIL KACANG PANJANG LOKAL KULTIVAR
UNGU (Vigna sinensis)

Rima Melati1 dan Hayun Abdullah2


1,2
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Khairun
Jl. Kampus II Unkhair Gambesi Ternate Selatan
Email :rima_tafure@yahoo.com
hayun.abdullah@yahoo.com

ABSTRAK

Gulma merupakan faktor pembatas dari pertumbuhan tanaman budidaya.Kerugian


terhadap tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis tanaman yang dibudidayakan, iklim,
jenis gulma itu sendiri dan bahkan praktek pertanian.Selama siklus hidup tanaman budidaya
keberadaan gulma tidak selamanya merugikan, tetapi hanya pada waktu-waktu tertentu.Demikian
halnya pada tanaman kacang panjang lokal kultivar ungu.Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan periode kritis kemunculan gulma pada pertanaman kacang panjang lokal kultivar
ungu dan mengetahui seberapa besar tingkat persaingan antara individu yang berinteraksi dalam
areal pertanaman kacang panjang tersebut. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) yang terdiri dari empat perlakuan yakni tanpa gulma, disiang 10, 20 dan 30 hari
setelah gulma tumbuh yang diulang sebanyak empat kali. Parameter yang diamati pada tanaman
antara lain tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga, jumlah polong dan berat polong. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata pada parameter tinggi
dan jumlah daun tanaman kacang panjang kultivar ungu bebas. Sedangkan parameter jumlah
bunga, jumlah polong dan berat polong dengan kondisi bergulma selama 30 hari memberikan hasil
yang lebih rendah dan yang terbaik pada perlakuan bebas gulma.

Kata kunci : kacang panjang ungu, gulma, periode kritis

ABSTRACT

Weed is the limiting factor of crops growth. Loss caused on crops is varied depends on
types of crop planted, climate, types of weed itself and agricultural practice. During the crop life
cycle, the existence of weeds at certain time brings no harm for the crop; as with on purple
cultivar of local string bean. The research aims to determine critical period of weeds emergence
on purple cultivar of local string bean crop and to find out about the extent of competition level
between interacted individuals at string bean culture. The research is using Randomized Complete
Block Design consists of four treatments, without weeds, weeded at 10, 20 and 30 days after the
weeds grow with four times replication. Parameters observed on plant are plant heights, number
of leaves, number of flowers, number of pods and pods weights. Research result shows that the
treatments have no significant influence on parameter of heights and the number of leaves of free
purple cultivar of string bean. Whereas, parameters of number of flowers, number of pods and
pods weight with weeded condition for 30 days give lower yield and the best yield is resulted by
free weed treatment.

Keywords: purple string bean, weeds, critical period

115
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENDAHULUAN

Gulma dapat merugikan tanaman budidaya dan kerugiannya bervariasi,


tergantung dari jenis tanaman yang dibudidayakan, iklim, jenis gulma itu sendiri dan
bahkan praktek pertanian.Pengukuran kerugian gulma sudah banyak dieksploitasi dari
penelitian sebelumnya.Oleh karena itu petani perlu mendapat gambaran tentang
pengendalian gulma yang tepat. Pengendalian kimiawi, kultur teknis dan cara mekanis
yang selama ini digunakan hanya bersifat sementara. Pengendalian yang dilakukan
dengan tujuan agar gulma tersebut cepat mati. HaI ini tidak akan efektif dan efisian
apabila dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Oleh karena itu, upaya mengembangkan
teknik pengendalian yang spesifik terhadap komoditi tertentu harus dikombinasi dengan
teknik pengendalian serta periode pengendalian yang tepat.
Pengendalian hanya dilakukan pada kondisi keberadaan gulma mencapai periode
kritis. Kemunculan gulma pada periode kritis akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman
dan menurunkan hasil. Oleh karena itu penentuan periode kritis gulma untuk komoditi
tertentu harus diketahui sehingga akan lebih menguntungkan petani.Menurut Setyowati,
N et al. (2007) mengatakan bahwa pengendalian gulma pada tanaman cabai hanya
dilakukan pada periode kritis, dan kemunculan gulma pada akhir periode kritis tidak
menurunkan hasil namun menyulitkan proses panen dan menurunkan kualitas panen.
Periode kritis kemunculan gulma berlaku pada usaha budidaya kacang panjang
kultivar ungu lokal.Selama ini pengendalian gulma hanya bertujuan membasmi dari lahan
karena pertimbangan kompetisi sumber daya.Masalah yang belum terpikirkan selama ini
adalah menentukkan periode kritis kemunculan gulma sehingga usaha pengendalian tepat
waktunya, tepat sasaran dan tepat mutu belum tercapai.Oleh karena ini penentuan periode
kritis pada kacang panjang lokal kultivar ungu perlu dikaji secara mendalam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Labarotorium Lapang Fakultas Pertanian yang terletak


di Kelurahan Fitu Kecamatan Kota Ternate Selatan dengan ketinggian 7 m dpl. Waktu
penelitian berlangsung bulan Mei sampai September 2012. Perlakuan dalam penelitian
adalah bebas gulma, bergulma 10 hari, bergulma 20 hari dan bergulma 30 hari.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari empat
perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.Parameter pengamatan pertumbuhan dan
produksi kacang panjang lokal kultivar ungu adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
bunga, jumlah polong dan berat polong.Pengujian dilanjutkan menggunakan Analisis
Variansi (ANOVA) pada taraf 5%.Sedangkan untuk menentukkan perlakuan yang
berpotensi dari masing-masing perlakuan menggunakan uji pembanding yaitu uji Beda
Nyata Terkecil (BNT).Selain parameter yang dilakukan pada kacang panjang lokal
tersebut, pengamatan yang lain adalah menginvertarisir jenis gulma yang dipandu dengan
deskriptor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian disajikan berdasarkan parameter yang dijadikan sebagai indikator


dalam menganalisa pertumbuhan dan produksi kacang panjang ungu lokal.

Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun


Hasil analisis ragam menunjukkan tidak berpengaruh nyata pada semua
perlakuan terhadap parameter tinggi tanaman dan jumlah daun, baik pada umur

116
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

pengamatan 10, 20 dan 30 hari setelah tanam. Pertambahan tinggi tanaman dan jumlah
daun baik terhadap perlakuan tanpa gulma maupun perlakuan bergulma umumnya sama.
Hal ini diasumsikan bahwa selama masa pertumbuhan vegetatif, keberadaan gulma belum
memberikan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman kacang panjang lokal ungu.Hal ini
disebabkan pertumbuhan awal kacang panjang ungu lebih cepat dibanding dengan gulma
dan pertumbuhan gulma masih berada pada fase perkecambah benih. Disamping itu,
tingkat densitas gulma (kepadatan) masih relatif rendah.
Jumlah Bunga
Berdasarkan hasil analisis ragam pada fase pertumbuhan generatif pada
berbagai perlakuan bebas gulma maupun bergulma dapat memberikan pengaruh nyata
terhadap parameter jumlah bunga. Pengaruh perlakuan bebas gulma dan bergulma
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Jumlah BungaKacang Panjang Kultivar Ungu Akibat Pengaruh Bebas Gulma
dan Bergulma
Pengamatan ke-
Perlakuan 1 2 3
Bebas Gulma 8,50c 11,75b 16,75b
Bergulma 10 hari 7,25b 10,25b 16,00ab
bc b
Bergulma 20 hari 8,00 10,75 14,20ab
Bergulma 30 hari 5,75a 8,50a 12,75a
BNT= 0,05 1,59 1,79 2,67
Keterangan: Angka didampingi huruf yang sama pada satu kolom berarti tidak berbeda
nyata
menurut uji BNT 5%.

Pengamatan pertama, kedua dan ketiga antara perlakuan tanpa gulma tidak
berbeda nyata dengan perlakuan bergulma 10 dan 20 hari setelah tanam (hst), tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan bergulma 30 hst. Sedangkan umur tanaman 30 hst antara
perlakuan bergulma 10, 20 pada pengamatan pertama dan kedua, sedangkan pada kondisi
tanaman bergulma 30 hst menunjukkan tidak berbeda nyata untuk pengamatan ketiga.
Kondisi tersebut terjadi karena pada fase pembungaan kompetisi terjadi antara gulma
dengan kacang panjang yang bebas gulma.Kompetisi yang terjadi tersebut dapat dijadikan
sebagai indikator penentuan periode kritis dari kemunculan gulma.

Jumlah Polong
Jumlah polong kacang panjang ungu saat pengamatan 75 – 100hst, baik
perlakuan bebas gulma maupun bergulma tidak memperlihatkan hasil yang nyata.
Sedangkan pada umur tanaman 105 dan 110 hst perlakuan bebas gulma lebih baik
dibanding perlakuan bergulma 20 dan 30 hst mulai menunjukan perbedaan yang
signifikan antara perlakuan. Rincian hasil analisis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.Jumlah Polong Kacang Panjang Kultivar Ungu Akibat Pengaruh Bebas Gulma
dan Bergulma
Umur Panen (hst)
Perlakuan
75 80 85 90 95 100 105 110
Bebas Gulma 21,75 22,00 25,50 25,50 30,50 29,75 35,25c 26,75c
Bergulma 10 hari 20,75 20,00 24,75 24,75 30,50 30,50 34,50bc 24,50bc
Bergulma 20 hari 19,50 20,75 23,75 23,75 29,50 29,25 32,25ab 22,25ab
Bergulma 30 hari 18,75 19,00 23,00 23,00 29,25 29,50 31,00a 21,00a

117
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

BNT = 0,05 tn tn tn tn tn tn 2,37 2,41


Keterangan: Angka didampingi huruf yang sama pada satu kolom berarti tidak berbeda
nyata
menurut uji BNT 5%, hst (hari setelah tanam), tn (tidak nyata).

Lamanya fase pembungaan dan pembentukkan polong kacang panjang ungu


mempengaruhi jumlah polong. Keberadaan gulma juga mempengaruhi jumlah polong
pada umur 105 – 110 hst. Jumlah polong akan bertambah apabila tanaman dibebaskan
dari gulma pada fase pembentukkan polong hingga panen. Hal ini diasumsikan bahwa
gulma sudah bersaing dengan kacang panjang ungu pada fase vegetatif akan berpengaruh
negatifpula pada fase pembungaan dan pembentukan polong. Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian oleh Setyowati, N et al. (2007) yang mengatakan bahwa penyiangan
gulma yang dilakukan pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanaman pada pertanaman
kedelai tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parametre jumlah polong. .

Berat Polong
Hasil analisis menunjukkan bahwa berat polong pada umur tanaman
75hstterhadap perlakuan bebas gulma tidak berbeda dengan perlakuan bergulma 10,
namun berbeda nyata dengan pada perlakuan bergulma selama 20 dan 30 hst. Ketika
umur panen 110 hari setelah tanam (HST) secara keseluruhan perlakuan bebas gulma
memberikan hasil yang terbaik dibanding dengan perlakuan bergulma, walaupun
perlakuan bebas gulma juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan bergulma lainnya.
Sedangkan produksi yang terendah ditunjukkan pada perlakuan bergulma selama 30.Hasil
berat polong disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3.Berat PolongKacang Panjang Kultivar Ungu Akibat Pengaruh Bebas Gulma dan
Bergulma pada Berbagai Umur Panen (g)
Umur Tanaman (hst)
Perlakuan
75 80 85 90 95 100 105 110
b c c c c
Bebas Gulma 205,65 205,34 226,7 276,70 271,15 379,6 312,49 251,45b
Bergulma 10
193,55ab 182,45 207,78 250,28bc 256,05ab 333,93abc 290,06b 236,43b
hari
Bergulma 20
183,13a 191,6 205,26 205,26ab 254,96ab 296,08ab 278,52ab 209,55ab
hari
Bergulma 30
175,49a 173,88 195,93 195,93a 249,42a 271,59a 264,18a 208,53a
hari
BNT = 0,05 19,22 tn tn 53,2 13,68 71,03 20,44 26,91
Keterangan: Angka didampingi huruf yang sama pada satu kolom berarti tidak berbeda
nyata
menurut uji BNT 5%, hst (hari setelah tanam), tn (tidak nyata).

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tanaman kacang panjang ungu yang
bebas gulma mempengaruhi berat polong yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bergulma. Semakin lama gulma bersama tanaman pokok, berat polong akan semakin
berkurang. Hal ini dapat diasumsikan bahwa gulma juga memanfaatkan hara, air
sehingga bersaing dengan kacang panjang ungu dalam menggunakan sumber daya (hara,
air) tersebut.

118
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Jenis – Jenis Gulma


Gulma yang tumbuh dan berasosiasi dengan tanaman kacang panjang lokal
kultivar ungu adalah Boerhavia arectha, Cleome rutidosperma, Amaranthus viridis,
Ageratum conyzoides, Tridax procumbens, Borreria leavis, Imperata cylindrical dan
Stacytharpita indica.
Berdasarkan observasi lapang bahwa gulma Boerhavia arectha mendominasi
areal budidaya tanaman kacang panjang ungu. Jenis gulma lain adalah Cleome
rutidosperm dan Amaranthus viridis. Jenis gulma yang sedikit populasinya adalah
Ageratum conyzoides, Tridax procumbens, Borreria leavis, Imperata cylindrical dan
Stacytharpita indica. Keberadaan gulma-gulma di areal penanaman kacang panjang ungu
dipengerahi oleh siklus hidup gulma tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan dapat
diasumsikan bahwa gulma tersebut berkembang biak dengan biji, mempunyai simpanan
biji gulma dalam tanah relatif tinggi, dan cepat mengalami pertumbuhan dibanding
dengan jenis gulma yang lain. Menurut Sastroutomo (1990) biji gulma dari jenis-jenis
gulma semusim memegang peranan penting dalam kaitannya dengan keberhasilan dalam
usaha pengendalian gulma. Simpanan biji dalam tanah yang mampu berkecambah dan
tahan terhadap pengendalian akan menentukan kerugian yang timbul pada tanaman
pangan setiap musim.

KESIMPULAN

Penentuan waktu pengendalian gulma pada perlakuan bergulma 10, 20 dan 30


hari setelah tanam (HST) tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi
tanaman dan jumlah daun tanaman kacang panjang ungu. Sedangkan pengendalian 20-30
HST dapat menurunkan jumlah bunga, jumlah polong dan berat polong. Dapat
direkomendasikan bahwa agar pertumbuhan tanaman kacang panjang ungu dapat
memberikan hasil yang maksimal, maka pengendalian gulma dilakukan sedini mungkin
yaitu pada awal pertumbuhan vegetatif atau minggu ke 3 – 4 areal pertanaman
diharapakan bebas dari pertumbuhan gulma.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Universitas Khairun Ternate terutama


pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan
kesempatan dan dukungan dana penelitian untuk pengembangan peneliti baru.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah K. A., 2008. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi Edisi Ketiga. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Haryatun.2008. Tekhnik Identifikasi Jenis Gulma Dominan dan Status Ketersediaan Hara
Nitroden, Fosfor dan Kalium Beberapa Jenis Gulma di Rawa Lebak. Buletin
Tekhnik Pertanian. 13 (1).

Nurjannah, U. 2003. Pengaruh Dosis Herbisida Glifosat dan 2,4 - D terhadap Pergeseran
Gulma dan Tanaman Kedelai Tanpa Olah Tanah. Ilmu – Ilmu Pertaian Indonesia
. 5 (1) : 27 – 33.

Sastroutomo, S.S, 1990. Ekologi Gulma. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

119
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Setyowati, N, Nurjannah, U dan Sipayung, L.S. 2007. Pergeseeran Gulma pada


Tanaman Cabe Besar Akibat Perbedaan Waktu Pengendalian Gulma. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 1 (1) : 21-27.

Setyowati, N, Nurjannah, U dan Afrizal. 2005. Pergeseran Gulma dan Hasil Kedelai pada
Pengolahan Tanah dan Tehnik Pengendalian Gulma yang Berbeda. Akta
Agrosia. 8 (5) : 62 – 69.

Suryadi, Luthfy, Yeni K., dan Gunawan., 2003. Karakterisasi dan Deskripsi Plasma
Nutfah Kacang Panjang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. Buletin
Plasma Nutfah. Vol. 9 No 1. Th 2003.

Tjitrosoedirdjo,S, Utomo, I.H dan Wiroatmodjo, J. 1984. Pengelolaan Gulma di


Perkebunan. PT. Gramedia bekerjasama dengan BIOTROP.Bogor-Jakarta.

Utami, S, N Asmaliyah dan Azwar, F. 2007. Inventarisasi Gulma di bawah Tegakan


Pulai Darat (Alstonia angustiloba Miq.) dan Hubungannya dengan Pengendalian
Gulma di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Prosiding Ekspose Hasil-
Hasil Penelitian. Palembang.

120
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

UJI KISARAN INANG BAKTERIOFAG ΦSK PADA


BEBERAPA ISOLAT PATOGEN HAWAR BAKTERI
PADA TANAMAN KEDELAI DI JEMBER
Galih Susianto*, Hardian Susilo Addy, Paniman Ashna Mihardjo
Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto 68121 Jember
Email: galihsusianto@gmail.com

ABSTRAK

Hawar bakteri merupakan penyakit pada tanaman kedelai yang disebabkan oleh
Pseudomonas syringae pv. glycinea dan serangan yang berat berdampak pada penurunan produksi
kedelai. Sepuluh isolat hawar bakteri telah ditemukan pada tanaman edamame di beberapa lokasi
di Jember. Tiga bakteriofag ϕSK1, ϕSK2 dan ϕSK3 asal air selokan di sekitar pertanaman
Edamame mempunyai keragaman genetik yang sedikit berbeda ketika diuji dengan Polymerase
Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA dan ditandai dengan adanya sedikit
kedekatan genetik apabila dianalisis dengan program phenogram similarity. Ketiga partikel
bakteriofag tersebut mempunyai kisaran inang 7 isolat dari 10 isolat bakteri hawar daun yang diuji
dan ditandai dengan munculnya plaque pada koloni bakteri.

Kata kunci : kedelai Edamame, penyakit hawar bakteri, kisaran inang bakteriofag

PENDAHULUAN

Serangan penyakit hawar bakteri (Pseudomonas syringae pv. glycinea) dapat


menurunkan produktivitas kedelai di Indonesia hingga 65,88% (Tantera, 1992). Deteksi
penyakit yang disebabkan oleh bakteri dapat dilakukan menggunakan bakteriofag yang
merupakan virus yang menginfeksi dan memperbanyak diri pada sel bakteri inang yang
spesifik yaitu hanya menyerang inang bakteri dalam satu spesies atau genus (Beaudoin,
2012). Misalnya, Fan et al., (2012) menemukan 10 bakteriofag dari 18 bakteriofag yang
diisolasi dari limbah rumah sakit yang mempunyai kisaran inang 30 strain bakteri E. coli.
Addy et al, 2012) juga berhasil menemukan bakteriofag ϕRSM3 yang menginfeksi
Ralstonia solanacearum pada tomat dan pada beberapa strain penyebab penyakit layu
pada pisang (Munardini et al., 1996).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kisaran inang bakteriofag ϕSK pada
beberapa isolat patogen hawar bakteri pada tanaman kedelai di Jember.

METODE PENELITIAN

Perbanyakan Bakteri dan Bakteriofag. Perbanyakan bakteri P. syringae pv.


glycinea (koleksi Lab. Virologi Tumbuhan Unej) dilakukan untuk memperoleh biakan
bakteri yang akan digunakan sebagai uji perbanyakan bakteriofag.. Perbanyakan
bakteriofag dilakukan dengan plaque assay (Askora et al., 2009), dengan cara
mencampurkan 10µl suspensi bakteriofag ke dalam 300µl suspensi bakteri, diinkubasi
selama 30 menit dan dituang pada media nutrient agar (NA) dan dituangi media top agar.
Plaque (zona bening) yang tumbuh pada koloni bakteri menunjukkan bahwa koloni
bakteri terinfeksi bakteriofag..

121
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Uji Kisaran Inang Bakteriofag. Kisaran inang bakteriofag dilakukan spot test
(Fan et al., 2012), untuk mengetahui kemampuan bakteriofag ϕSK 3-1 menginfeksi
beberapa isolat P. syringae pv. glycinea. Suspensi bakteriofag sebanyak 3µl dispotkan
pada media top agar yang telah di inokulasi bakteri. Plaque (zona bening) yang terjadi
pada koloni masing-masing isolat bakteri diamati sebagai pertanda bahwa isolat bakteri
tersebut merupakan inang dari bakteriofag yang diuji.
RAPD (Random Aplified Polymorphic DNA). RAPD bertujuan untuk mengetahui
keragaman genetik dari isolat bakteriofag ϕSK. Tahapan-tahapan pelaksanaan PCR yaitu
hasil template DNA bakteriofag 1 μl dicampur 10 μl larutan reaksi PCR master mix Soln
(Intron), primer 2 μl dan 7 μl double distilled water (ddH2O) dituang pada PCR tube.
Pre-Denaturasi pada suhu 94C selama 2 menit, Denaturasi pada suhu 94C selama 20
detik, Annealing pada suhu 30C selama 45 detik, Extension pada suhu 72C selama 1
menit, dan Final-Extension pada suhu 72C selama 3 menit dengan 35 siklus. Hasil PCR
dielektroforesis pada gel agarose 1,5% dengan buffer 1X TBE. Setelah DNA dimasukkan
kedalam sumur sampel, arus listrik dialirkan 25V selama 15 menit dan 75V sampai
sampel mencapai batas gel akhir. Gel kemudian direndam dalam Etidium Bromide selama
20 menit dan divisualisasi dengan sinar ultraviolet.
Setelah terlihat amplifikasi DNA dengan munculnya keragaman pita (band) pada
gel agarose 1,5%, dilakukan perhitungan untuk mengetahui matriks dengan metode
Jaccard (Niwattanakul et al., 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbanyakan Bakteri dan Bakteriofag. Isolat P. syringae pv. glycinea SK3-1 yang
telah dimurnikan diuji dengan isolat bakteriofag ϕSK3 -1 dengan cara plaque assay. Ada
3 partikel bakteriofag yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Tabel 1; Gambar
1).

Tabel 1. Karakteristik plaque bakteriofag pada P. syringae pv. glycinea


SK3-1
No Isolat Bakteriofag Jenis plaque
1 ϕSK1 Keruh
2 ϕSK2 Bening
3 ϕSK3 Keruh

122
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

5 mm 5 mm 5 mm

Gambar 1. Perbanyakan bakteriofag ϕSK1 (A), ϕSK2 (B) dan ϕSK3 (C) dengan isolat
bakteri P. syringae pv. glycinea isolat SK3-1 dengan cara plaque assay

Kisaran Inang Bakteriofag ϕSK. Ketiga partikel bakteriofag ϕSK yang diperoleh , diuji
kisaran inangnya pada 10 isolat P. syringae pv. glycinea. Ada tujuh isolat bakteri yang
menunjukkan reaksi positif, bahkan ditemukan satu isolat bakteri yang menunjukkan hasil
tidak stabil (tidak konsisten) (Tabel 2).

Tabel 2. Pengujian kisaran inang bakteriofag terhadap beberapa isolat P. syringae pv.
glycinea
Nama Hasil*
No Asal Isolat
Isolat ϕSK1 ϕSK2 ϕSK3
a)
1 H3 Koleksi + + +
2 SK2 Sukorambi + + +
3 SK2-1 Sukorambi + + +
4 SK2-2 Sukorambi + + +
5 SK3-1 Sukorambi + + +
6 SK3-2 Sukorambi + + +
7 SK4-2 Sukorambi - - -
8 KR1-1 Keramat ± ± ±
9 BT4-1 Botosari - - -
10 MG4-1 Manggisan - - -
* (+) menunjukkan hasil positif, (-) menunjukkan hasil negatif dan, (±) tidak konsisten.
Hasil didapatkan dengan cara spot test
a)
Koleksi Hardian Susilo Addy, Ph.D

Hasil ini diperkuat dengan pernyataan Askora et al., (2009) bahwa kemungkinan
besar bakteriofag memiliki kisaran inang yang berbeda dari masing-masing isolat bakteri.
Yamada et al., (2007) juga menemukan bahwa satu jenis bakteriofag ϕRSS memiliki
kisaran inang yang berbeda antar beberapa strain R. solanacearum.

123
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 2. Grafik perkembangan zona plaque bakteriofag ϕSK


Perkembangan zona plaque menunjukkan hasil yang berbeda, tetapi bakteriofag
ϕSK1 dan ϕSK3 mempunyai perkembangan zona plaque yang hampir sama sedangkan
ϕSK2 berbeda ditandai dengan perkembangan zona plaque yang berbeda dengan isolat
bakteriofag yang lain (Gambar 2).

Keragaman Genetik Bakteriofag ϕSK. Elektroforesis pada gel agarose 1,5% hasil
amplifikasi DNA bakteriofag menggunakan primer 5 RAPD menunjukkan ada
keragaman pita (band) DNA (Gambar 3). Hal ini dijelaskan juga oleh Anggereini (2008)
bahwa dengan metode RAPD menghasilkan keragaman pita DNA yang teramplifikasi
tergantung pada daerah pelekatan primer tertentu yang komplemen yang dicampur pada
genom individu tersebut dan panjangnya urutan DNAnya untuk melihat kekerabatan
suatu organisme.

Gambar 3. Elektroforesis hasil PCR-RAPD bakteriofag ϕSK menggunakan primer 5 pada


gel agarose 1,5% (25V selama 15 menit, dilanjutkan 75V sampai batas gel
akhir). Lane 1= M (Marker: λ/Sty1), Lane 2= A (Primer 5) dan 1 (ϕSK1),
Lane 3= A (Primer 5) dan 2 (ϕSK2), Lane 4= A (Primer 5) dan 3 (ϕSK3),
Lane 5= M (Marker: λ/Sty1). Phenogram Similarity bakteriofag ϕSK

124
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

menggunakan analisis kluster DendroUPGMA. Aplikasi dibuat oleh Garcia


and Puigbo (2009).

Hasil ini membuktikan bahwa dari ketiga isolat bakteriofag ϕSK adalah berbeda
genetiknya meskipun bakteriofag ϕS K2 dan ϕSK3 memiliki sedikit kedekatan .
Bakteriofag ϕSK1 berbeda jika dilihat dari pita DNA yang teramplifikasi dan dihitung
dengan metode Jaccard serta ditampilkan pada phenogram similarity (Gambar 3).

KESIMPULAN

1. Bakteriofag ϕSK1, ϕSK2, ϕSK3 memiliki kisaran inang yang sama yaitu 7 isolat dari
10 isolat bakteri P. syringae pv. glycinea asal Jember, satu isolat menunjukkan hasil
tidak stabil (tidak konsisten) yaitu pada isolat KR1-1.
2. Bakteriofag ϕSK1, ϕSK2, ϕSK3 mampu menginfeksi sebagian besar isolat bakteri
SK (Sukorambi) yang merupakan isolat yang berasal dari satu lokasi di Jember.
3. dengan RAPD, Bakteriofag ϕSK2 memiliki kedekatan genetik dengan ϕSK3
sedangkan ϕSK1 berbeda keragaman genetiknya dengan ϕSK2 dan ϕSK3.

DAFTAR PUSTAKA

Addy HS, Askora A, Kawasaki T, Fujie M and Yamada T. 2012. Utilization of


filamentous phage ϕRSM3 to control bacterial wilt caused by Ralstonia
solanacearum. Plant Dis 96(8):1204-1209.

Anggereini E. 2008. Random amplified polymorphic DNA (RAPD), suatu metode


analisis DNA dalam menjelaskan berbagai fenomena biologi. Biospecies 2(1) :73-
76.

Askora A, Kawasaki T, Usami S, Fujie M and Yamada T. 2009. Host recognition and
integration of filamentous phage ϕRSM in the phytopathogen, Ralstonia
solanacearum. Virology 384:69-76.

Beaudoin RN, De Cesaro DR, Durkee DL, and Barbaro SE.2012. Isolation of a
Bacteriophage From Sewage Sludge and Characterizationof ITS Bacterial Host
Cell. Department of Biology, Rivier College.

Fan H, Mi Z, Fan J, Zhang L, Hua Y, Wang L, Cui X, Zhang W, Zhang Bo, Huang Y, Li
J, Wang X, Li C, Zhang Z, An X, Yin X, Chen J and Tong Y. 2012. A fast method
for large-scale isolation of phages from hospital sewage using clinical drug-
resistant Escherichia coli. African Journal of Biotechnology 1(22):6143-6148.

Garcia S and Puigbo P. 2009. DendroUPGMA: A dendrogram construction utility.


Biochemistry and Biotechnology Department. Universitat Rovira i Virgili (URV).
Tarragona. Spain. http://genomes.urv.cat/UPGMA/index.php?entrada=Example2.
Diakses pada tanggal 03 Juni 2014.

Munardini II, Pusposendjojo N, Subandiyah S and Sumardiyono C. 1996. Identifikasi


strain bakteri penyebab penyakit layu pada pisang dengan bakteriofag. BPPS-UGM
9 (1B)

125
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Niwattanakul S, Singthongchai J, Naenudorn E and Wanapu S. 2013. Using of jaccard


coefficient for keywords similarity. Proceedings of the International
MultiConference of Engineers and Computer Scientists (1) IMECS 2013.

Tantera DM. 1992. Petunjuk Bergambar untuk Identifikasi Hama dan Penyakit Kedelai di
Indonesia. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.

Yamada T, Kawasaki T, Nagata S, Fujiwara A, Usami S, Makoto F. 2007. Isolation and


characterization of bacteriophages that infect the phytopathogen Ralstonia
solanacearum. Microbiology 153:2630–2639.

126
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

EFEKTIVITAS EKSTRAK BIJI KELOR (Moringa oleifera)


SEBAGAI SIFAT ANTIMIKROBIA
Anshori Syarif 1, Fakhry Muhammad 2, Hidayati Darimiyya3
1. Mahasiswa, Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
2. Staf pengajar, Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
3. Staf pengajar, Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
Email: syarif.anshori@gmail.com

ABSTRAK

Penggunaan antimikrobia pada bahan pangan semakin banyak, akan tetapi antimikrobia sangat
berbahaya seperti pengawet formalin. Oleh sebab itu diperlukan antimikrobia alami yang tidak berbahaya seperti
ekstrak biji kelor yang mempunyai senyawa bioaktif berfungsi sebagai antimikrobia. Penelitian ini terdiri dari 2
faktor yaitu konsentrasi pelarut (3 level: Aquades, etanol 70%, etanol 96%), kondisi bahan (2 level: biji kelor
kering, biji kelor segar). Tujuan penelitian yaitu mengetahui pengaruh pengeringan biji kelor dan konsentrasi
etanol yang optimum untuk mengekstraksi biji kelor sebagai sifat antimikrobia. Metode penelitian yaitu
membuat ekstrak biji kelor metode shaker menggunakan pelarut aquades dan etanol kemudian menguji
efektivitas ekstrak biji kelor. Bakteri uji yang digunakan yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Salmonella typhi. Parameter pengujian mengukur daya penghambatan ekstrak biji kelor terhadap bakteri uji
.Pengujian. ekstrak biji kelor kering mampu menghambat bakteri Escherichia coli, dan Salmonella typhi masing-
masing sebesar 11,3 mm dan 9,3 mm, sedangkan biji kelor segar mampu menghambat bakteri uji
Staphylococcus aureus dengan zona penghambatan 15,7 mm. Ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut etanol 70
% ektraksi biji kelor kering memberikan aktivitas antimikrobia yang efektif menghambat semua bakteri uji
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella typhi dengan daya penghambatan masing-masing sebesar
11.3 mm 12 mm, dan 9,3 mm dibandingkan dengan pelarut etanol 96 % dan aquades.
Kata Kunci: biji kelor, antimikrobia, ekstrak biji kelor

PENDAHULUAN

Antimikrobia sebagai zat aktif antibakteri semakin banyak ditemukan pada bahan pangan,
beberapa bahan pangan menggunakan antimikrobia sebagai pengawet dan ketahanan pangan dari
ancaman mikrobia yang dapat merusak bahan pangan. Akan tetapi penggunaan antimikrobia yang
telah digunakan untuk bahan pangan sangat berbahaya seperti pengawet formalin. Oleh sebab itu
diperlukan antimikrobia alami yang tidak berbahaya terhadap kehidupan manusia.
Senyawa alami perlu dimanfaatkan untuk mengurangi antimikrobia berbahaya yang mengancam
kehidupan manusia. Pemanfaatan bahan alami dari bahan tanaman dan rempah seperti lengkues, jahe
dapat berfungsi sebagai antimikrobia. Biji kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman asli india
sekitar Himalaya, Pakistan, dan Bangladesh yang kemudian menyebar ke benua Afrika dan Eropa
Barat, tanaman ini tumbuh pada daerah tropis dan subtropis (Fahey 2005).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kelor (Moringa oleifera) terdapat senyawa
antimikrobia terdiri dari alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin yang merupakan senyawa bioaktif
berfungsi sebagai antimikrobia (Bukar et al. 2010) Pemanfaatan biji kelor sudah banyak dilakukan
salah satunya adalah sebagai sifat antimikrobia. Menurut Naiwu et al (2012) biji kelor mempunyai
sifat antimikrobia yang mampu menghambat bakteri Salmonella, Shigella spp, Enterobacter
aerogenes dengan masing penghambatan sebesar 15 mm, 12 mm, dan 11 mm.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ekstraksi kelor dapat menghambat aktivitas
antimikrobia dan aktivitas antijamur dengan beberapa perlakuan pelarut ekstraksi. Oloduro et al.
(2012) menyebutkan bahwa menggunakan ekstraksi aquades didapatkan aktivitas antimikrobia dengan
diameter zona inhibisi lebih besar dari pada ekstraksi dengan menggunakan ekstraksi etanol dan
127
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

ekstraksi metanol. Sedangkan aktivitas anti jamur ekstraksi etanol menunjukkan diameter zona
inhibisi lebih besar dari pada ekstraksi aquades dan ekstraksi metanol. Hal tersebut berbeda dengan
penelitian yang dilakukan Vinoth et al. (2012) menyebutkan bahwa aktivitas antimikrobia ekstraksi
dengan menggunakan aquades, etanol, dan kloroform menunjukkan aktivitas antimikrobia denagan
diameter zona inhibisi menggunakan ekstraksi etanol lebih tinggi dari pada menggunakan ekstraksi
aquades dan kloroform.
Ekstraksi biji kelor terdapat perbedaan daya penghambatan sebagai sifat antimikrobia dengan
menggunakan beberapa pelarut. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh kondisi biji
kelor dan beberapa pelarut etanol yang optimum dalam mengektraksi biji kelor.

METODE

Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, shaker, petridish, bunsen, mortal,
autoclave, triangle, kertassaring, kertas kayu,pinset, pipet volume, timbangan analitik, gelas ukur,
Erlenmeyer, pinset, laminair flow. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji kelor
(Moringa oleifera), etanol 70%, etanol 96 %, aquades, nutrien broth, agar. Bakteri uji yang digunakan
sebagai pengujian daya hambat yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi
yang didapatkan dari laboratorium pengolahan ilmu gizi fakultas kesehatan masyarakat Universitas
Airlangga Surabaya.
Preparasi Ekstrak Biji kelor
Biji kelor (Moringa oleifera) dihaluskan menggunakan mortal kemudian ditimbang. Hasil
timbangan dilarutkan pada pelarut aquades dan etanol selanjutnya dishaker dengan kecepatan 120 rpm
selama 3 hari kemudian disaring menggunakan kertas saring. Hasil ekstraksi disimpan pada refrigator
suhu 4º C (Kumar et al. 2012).
Desain Penelitian
Perlakuan dalam penelitian ini yaitu menggunakan biji kelor kering (A) dan biji kelor segar (B)
dan konsentrasi pelarut aquades (1), etanol 70 % (2), etanol 96 % (3) yang paling efektif untuk
menghambat antimikrobia diantaranya adalah Escherichia coli,Staphylococcus aureus, dan Salmonella
typhi. Desain penelitain diperoleh enam kombinasi perlakuan masing-masing 3 kali ulangan tiap
perlakuannya.
Pengujian Daya Antimikrobia
Petridish yang telah berisi 20 ml media agar padat ditetesi 0,5 ml suspensi bakteri uji lalu
diratakan menggunakan triangle sampai merata pada semua permukaan pertidish. Kertas saring
direndam pada ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut aquades dan etanol lalu dibiarkan selama15
menit lalu diletakkan pada media yang terdapat suspensi bakteri uji kemudian diinkubasi selama 48
jam. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat warna terang disekeliling kertas saring. Semakin jauh
maka semakin kuat daya antimikrobia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Daya Penghambatan Ekstrak Biji Kelor


Daya penghambatan ekstrak biji kelor segar dan ekstraksi biji kelor kering dapat dilihat pada
Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.1 Aktivitas antimikrobia ekstrak biji kelor segar
Jenis Bakteri Pelarut Zona Inhibisi (Mm)
Aquades -
Escherichia coli Etanol 70 % -
Etanol 96 % -
Aquades -
Staphylococcus aureus
Etanol 70 % 14,7

128
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Etanol 96 % 15,7
Aquades -
Salmonella typhi Etanol 70 % 7,7
Etanol 96 % 8,7
Keterangan : (-) Tidak terdapat zona inhibisi

Tabel 4.2 Aktivitas antimikrobia ekstrak biji kelor kering


Jenis Bakteri Pelarut Zona Inhibisi (Mm)
Aquades 6,7
Escherichia coli Etanol 70 % 11,3
Etanol 96 % 9
Aquades 7,7
Staphylococcus aureus Etanol 70 % 12
Etanol 96 % 9,6
Aquades 7,3
Salmonella typhi Etanol 70 % 9,3
Etanol 96 % 8,6

Jenis Bahan Ekstrak Biji Kelor Sebagai Sifat Antimikrobia


Jenis bahan memberikan perbedaan terhadap daya hambat antimikrobia. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kadar senyawa alami yang terdapat pada jenis
bahan dan jenis pelarut yang digunakan. Penelitian ini menggunakan jenis bahan biji kelor dengan
dua perbedaan berdasarkan tingkat kekeringan yaitu biji kelor segar dan biji kelor kering. Sedangkan
pelarut yang digunakan terdiri dari dua pelarut yang berbeda yaitu pelarut aquades dan pelarut etanol
dengan dua konsentrasi berbeda yaitu etanol 70 % dan etanol 96 %.
Penelitian yang dilakukan terhadap dua jenis bahan ekstrak biji kelor segar dan ekstraks biji
kelor kering terdapat perbedaan aktivitas antimikrobia. Ekstrak biji kelor kering memberikan daya
hambat lebih baik dari pada ekstrak biji segar. Ekstrak biji kelor kering mampu menghambat bakteri
Escherichia coli, dan Salmonella typhi lebih tinggi dari pada ekstraksi biji kelor segar dengan daya
penghambatan masing-masing sebesar 11,3 mm dan 9,3 mm. Sedangkan ekstrak biji kelor segar
mampu menghambat bakteri uji Staphylococcus aureus lebih tinggi dari pada ekstrak biji kelor kering
dengan zona penghambatan 15,7 mm. Naiwu et al (2012) bahwa ekstrak biji kelor kering dapat
menghambat bakteri Salmonella, Shigella spp, Enterobacter aerogenes dengan masing penghambatan
sebesar 15 mm, 12 mm, dan 11 mm. Hal tersebut berbeda pada ekstrak biji kelor segaryang mampu
memberikan penghambatan lebih kecil pada bakteri Salmonella, Shigella spp, Enterobacter aerogenes
dengan zona penghambatan sama yaitu 6 mm (Bukar et al. 2010)
Jenis bahan terhadap aktivitas antimikrobia berbeda dari jenis bakteri dalam penghambatannya.
Ekstrak biji segar mampu menghambat tertinggi pada bakteri gram positif (Staphylococcus aureus)
dengan daya penghambatan tertinggi sebesar 15,7 mm, sedangkan ekstrak biji kelor kering mampu
menghambat tertinggi pada bakteri gram negatif (Escherichia coli) sebesar 11,3 mm.
Jenis Pelarut
Ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut etanol 96 % biji kelor segar memberikan aktivitas
antimikrobia lebih tinggi dari pada pelarut aquades dan etanol 70 % yang dapat memberikan
dayapenghambatnya pada bakteri Staphylococcus aureus dengan zona inhibisi sebesar 15,6 mm, hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bukar et al. (2012) didapatkan bahwa ekstraksi
biji kelor segar dengan menggunakan pelarut etanol mampu menghambat tertinggi pada bakteri
Staphylococcus aureus sebasar 11 mm.
Ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut etanol 70 % ektraksi biji kelor kering memberikan
aktivitas antimikrobia yang efektif pada bakteri uji Escherichia coli dan Salmonella typhi dengan daya
penghambatan masing-masing sebesar 11.3 mm dan 9,3 mm dibandingkan dengan pelarut etanol 96 %
dan aquades, hal ini disebabkan oleh polaritas dari pelarut yang digunakan pada pelarut etanol 70 %
129
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

memiliki kepolaran yang lebih tinggi dari pada etanol 96 % dengan ditunjukkan oleh tingginya
senyawa flavonoid menggunakan pelarut etanol 80 % (Sultana et al. 2009).
Ektraksi biji kelor menggunakan pelarut aquades lebih rendah dari pada ektraksi dengan
menggunakan pelarut etanol 70% dan 96%. Perbedaan pelarut mempengaruhi terhadap fungsi
ekstrakyang didapatkan. Menurut Koruthu et al. (2011) bahwa senyawa fitokimia lebih rendah dan
senyawa flavonoid yang larut air kurang signifikan sebagai antimikrobia akan tetapi lebih berfungsi
sebagai antioksidan.

KESIMPULAN

Kondisi bahan (pengaruh pengeringan) terhadap sifat antimikrobia ekstrak biji kelor adalah
ekstrak biji kelor kering yang mampu menghambat semua bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, dan Salmonella typhi. Konsentrasi etanol optimum sebagai pelarut ektstrak biji kelor adalah
konsentrasi etanol 70 % yang mampu menghambat bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, dan Salmonella typhi masing-masing sebesar 11,3 mm, 12 mm, dan 9,3 mm.

DAFTARPUSTAKA

Bukar A, Uba A, Oyeyi TI. 2010. Antimikrobial Profile of Moringa oleifera lam.Extracts Against
SomeFood – Borne Microorganisms. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences Vol 3(1):
43-48
Koruthu DP, Manivarnan NK, Gopinath A, Abraham R. 2011. Antibacterial evaluation,reducing
power assay and phytochemical screening of moringa oleifera leaf extracts: effect of solvent
polarity. Journal pharmaceutical sciences and research. Vol 2(11): 2991-2995
Kumar V, Pandey N, Mohan N, Singh PR. 2012. Antibacterial & antioxidant activity of different
extract of moringa oleifera leave an-in vitro study. International journal of pharmaceutical
sciences review and research. Vol 12 (1): 89-94
Naiwu NE, Ibrahim WI, Raufa IA. 2012. Antiseptic and coagulation properties of crude extracts of
moringa oleifera from north of Nigeria. Journal of applied hytotechnology in environmetal
sanitation. Vol 1(2): 51-59
Oluduro A, 2012. Evaluation of antimikrobial properties and nutritional potentials of moringa oleifera
lam. in south-western Nigeria. Malaysian journal of microbiology. Vol. 8(2): 59-67
Sultana B, Farooq A, Muhammad A. 2009. Effect of Extraction Solvent or Technique on The
Antioxidant Activity of Selected Medicinal Plant Extracts. Journal molecules.Vol 14: 2167-
2180
Vinoth B, Manivasagaperumal, Balamurugan. (2012). Phytochemical analysis and antibacterial
activity of moringa oleifera lam. International journal of research in biological sciences.Vol.
2(3): 98-102

130
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KARAKTERISTIK BUAH NAGA PUTIH (Hylocereus undatus)


DAN BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus)
Nurhayati1,2), Gama Kusuma1), Nurma Handayani1), Ahib Assadam1)
1)
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember
2)
Center for Development of Advanced Science and Technology Universitas Jember
Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Jember 68121
E-mail: nurhayatiftp@yahoo.com

ABSTRACT

White and red-flesh dragon fruit (pitayas) were cultived in Indonesia. The study analyzed physical and chemical
characteristic of white and red-flesh dragon fruit encompass fruit dimension, weight and colour, sweetness, water
content, indigestible insoluble fraction (IIF) content, and sugar content. Fruit dimension, weight, colour,
sweetness and sugar content were refer to Wichienchot et al. research. Physical characteristic indicates
significantly different between white dragon fruit with red dragon fruit. But not significantly different to the peel
and seeds of red flesh dragon fruit and a white dragon fruit. Water content, IIF content and oligosaccharide
content no significant among the white dragon fruit with red dragon fruit, but different levels of fruit dimension,
fruit weight and fructose-glucose content. The other research reported that dragon fruit oligosaccharides showed
prebiotic propertiesor in vitro. So for further research will study about prebiotic properties of white and red-flesh
dragon fruit jam in vivo.

Keywords: dragon fruit, pitaya, Hylocereus undatus, Hylocereus polyrhizus, indigestable insoluble
fraction

PENDAHULUAN

Buah naga adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga Hylocereus dan Selenicereus. Buah ini
berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan namun sekarang juga dibudidayakan di
negara-negara Asia seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Buah ini juga dapat
ditemui di Okinawa, Israel, Australia utara dan Tiongkok selatan. Bunga buah naga hanya mekar pada
malam hari. Buah naga juga dikenal dengan nama pitaya oleh masyarakat Thailand.
Terdapat empat varietas buah naga yang umum dikenal masyarakat yaitu: Hylocereus undatus,
memiliki kulit buah berwarna merah dengan daging buah putih; Hylocereus polyrhizus, memiliki kulit
buah berwarna merah muda dengan daging buah merah; Selenicereus megalanthus dengan kulit buah
kuning dan daging buah putih; Hylocereus costaricensis buah naga daging super merah.
Buah naga telah dilaporkan sebagai sumber beta-karoten, likopen dan vitamin E, dengan
konsentrasi rata-rata , masing-masing 1,4; 3,4; dan 0,26 µg/100g bagian yang dapat dimakan
(Charoensiri et al, 2009). Biji buah naga mengandung 50% asam lemak esensial, yaitu, 48% asam
linoleat (C18:2) dan 1,5% asam linolenat (C18: 3) (Ariffin et al, 2008).
Buah naga memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber bahan fungsional untuk
memberikan nutrisi yang dapat mencegah penyakit yang berhubungan dengan gizi dan meningkatkan
kesehatan fisik konsumen. Tulisan ini menyajikan karakteristik buah naga jenis putih dan jenis merah
yang meliputi dimensi dan berat buah, kadar air, kadar fraksi tidak tercerna (indigestible insoluble
fraction/IIF), tingkat kemanisan dan komposisi gula (fruktosa, glukosa dan oligosakarida).

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah buah naga jenis putih (Hylocereus undatus) dan buah naga
jenis merah (Hylocereus polyrhizus). Bahan lainnya yang digunakan yaitu aquades, larutan buffer
fosfat, enzim pankreatin, enzim amiloglukosidase, etanol 80% dan aseton. Alat yang digunakan di

131
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

antaranya adalah inkubator (Heraeus instrument D-63450 Hanau tipe B 6200), oven (Memmert),
autoklaf, vortex, neraca analitik, inkubator, mikropipet, tabung reaksi, beaker glass, cawan petri dan
peralatan gelas lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Karakteristik fisik dan kimia yang dianalisis
meliputi: dimensi, berat dan warna buah (Wichienchot et al., 2010), kadar air dengan metode
termogravimetri (AOAC, 2005) dan fraksi tidak tercerna (IIF) dengan metode yang dilakukan oleh
Englyst et al. (1992) yang dikombinasi dengan metode AOAC (1999). Kadar gula didasarkan pada
hasil penelitian Wichienchot et al. (2010) yang dianalisis dengan menggunakan HPLC Zorbax
Carbohydrate column (4.6 × 150 mm, 5 μm resin).
Analisis Fraksi Tidak Tercerna (Indigestible Insoluble Fraction/IIF)
Analisis kadar IIF dilakukan secara enzimatis dengan menggunakan metode yang digunakan
Englyst et al. (1992) yang dikombinasi dengan metode gravimetri (AOAC,1999). Sebanyak 2 g daging
buah naga yang sudah dihancurkan ditambah 40 ml buffer asetat kemudian didihkan dalam penangas
air selama 30 menit. Sampel didinginkan dan ditambah 10 ml larutan enzim yang mengandung enzim
pankreatin dan amiloglukosidase. Selanjutnya sampel diinkubasi dengan suhu 370C selama 120 menit
dan disaring.
Penentuan kadar IIF diperoleh dari residu penyaringan, kemudian sampel dicuci dengan 5 x
10 ml aquades, 5 x 10 ml etanol 97% dan 5 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 500C sampai
berat konstan (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Kadar IIF
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar IIF (%) = {[D2-d1]/w} x 100%
Keterangan :
W = berat sampel (g)
D1 = berat kertas saring (g)
D2 = berat setelah dianalisis dan dikeringkan (g)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik buah naga putih dan buah naga merah didasarkan pada hasil penelitian
Wichienchot et al. (2011) yang meliputi dimensi buah (panjang dan diameter), berat buah (berat
daging dan kulit buah), dan warna buah (kulit, daging dan biji buah). Karakteristik fisik disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Fisik Buah Naga Putih dan Buah Naga Merah
(Wichienchot et al., 2010)
Karakteristik Fisik Buah Naga Putih Buah Naga Merah
Dimensi Buah (cm)
Panjang 134 ± 5,0a 127 ± 5,5b
a
Diameter 94 ± 9,0 66 ± 4,0b
Berat Buah (g)
Berat daging 305 ± 75,0a 215 ± 35,0b
Berat kulit 100 ± 30,0a 75 ± 25,0b
Warna Buah
Daging putih merah
Biji daging kecil hitam kecil hitam
Kulit merah merah

Dimensi panjang dan lebar buah naga putih berbeda nyata dengan buah naga merah. Buah
naga putih memiliki panjang dan diameter yang lebih besar daripada buah naga merah. Selisih

132
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

panjang dan diameter secara berturut-turut antara buah naga putih dengan buah naga merah adalah 7
cm dan 28 cm (Wichienchot et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum buah naga putih
memiliki dimensi dengan ukuran yang lebih besar daripada buah naga merah.
Berat daging dan berat kulit buah naga putih memiliki berat yang lebih besar (berbeda nyata)
daripada buah naga merah. Selisih berat daging dan berat kulit buah naga putih sekitar 90 g dan 25g
(Wichienchot et al., 2010). Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa buah naga putih dapat dengan
mudah dibedakan secara visual dari bagian luar (tanpa melihat warna dagingnya) karena memiliki
ukuran dimensi dan berat yang lebih besar daripada buah naga merah.
Warna bagian buah naga putih memiliki kemiripan untuk warna kulit dan biji daging. AKan
tetapi berbeda untuk warna daging buahnya. Warna kulit buah naga putih dan buah naga merah adalah
merah dan warna biji dagingnya adalah hitam berukuran kecil. Warna daging buah naga putih
berwarna putih, sedangkan warna daging buah naga merah berwarna merah.

Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia buah naga putih dan buah naga merah meliputi tingkat kemanisan (brix),
kadar air, kadar bagian tidak tercerna dan tidak larut air (IIF), dan kadar gula (glukosa, fruktosa dan
oligosakarida). Tabel 2 menyajikan karakteristik buah naga merah dan putih berdasarkan hasil
penelitian dan rujukan pustaka Wichienchot et al. (2010).
Tabel 2. Karakteristik Kimia Buah Naga Putih dan Buah Naga Merah
Karakteristik Kimia Buah Naga Putih Buah Naga Merah
* a
Tingkat kemanisan (Brix) 12,5 ± 0,55 14,8 ± 0,75b
Kadar air 85,0 ± 0,22a 85,5 ± 0,29a
Kadar IIF % bk 11,3 ± 4,19a 11,6 ± 4,77a
Kadar glukosa (g/kg)* 353,0 ± 0,74a 401,0 ± 4,0b
* a
Kadar fruktosa (g/kg) 238,0 ± 0,84 158,0 ± 0,32b
Kadar oligosakarida (g/kg)* 86,2 ± 0,93a 89,6 ± 0,76a
* Wichienchot et al. (2009)
Beberapa karakteristik kimia buah naga putih yang menunjukkan berbeda nyata dengan buah
naga merah di antaranya yaitu tingkat kemanisan, kadar glukosa dan kadar fruktosa. Beberapa
karakteristik kimia buah naga putih dan buah naga merah yang menunjukkan berbeda tidak nyata
adalah kadar air, kadar IIF dan kadar oligosakarida. Hal ini mengingat bahwa kadar oligosakarida juga
merupakan bagian dari IIF. Akan tetapi Khalili et al. (2014) melaporkan bahwa komposisi
oligosakarida yang meliputi rafinosa, stakiosa dan fruktooligosakarida menunjukkan berbeda nyata
antara buah naga putih dengan buah naga merah. Kadar rafinosa, stakiosa dan fruktooligosakarida
buah naga putih lebih kecil yaitu berturut-turut 204,23 μg.100g; 249,43 μg/100g dan 14,92 μg/100g
daripada buah naga merah 324,57 μg/g; 283,58 μg/100g dan 29,22 μg/100g.
Buah naga merah lebih manis daripada buah naga putih. Hal ini didukung oleh data kadar glukosa
buah naga merah lebih tinggi (401 g/kg) daripada buah naga putih (353 g/kg). Akan tetapi jika dilihat
dari kandungan fruktosa buah naga merah lebih kecil yaitu sebesar 158 g/kg daripada buah naga putih
sebesar 238 g/kg (Wichienchot et al., 2010). Hal ini mengingat faktor kemanisan relatif glukosa
sebesar 28 yang menunjukkan nilai lebih tinggi dari factor kemanisan relatif fruktosa sebesar 23
(Anonim, 2011). Oleh karena itu yang banyak memberikan pengaruh manis adalah kandungan glukosa
daripada kandungan fruktosa.

KESIMPULAN

Karakteristik fisik buah naga putih dan buah naga merah berbeda berdasarkan dimensi buah (panjang
dan diameter), berat buah (daging dan kulit) dan warna daging buah. Karakteristik kimia buah naga

133
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

putih dan buah naga merah berbeda untuk tingkat kemanisan dan kadar glukosa dan fruktosa. Akan
tetapi memiliki kesamaan untuk kadar air, kadar IIF dan kadar oligosakarida.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada DP2M yang telah membiayai penelitian melalui PKM Penelitian Tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Relative Sweetness Values for Various Sweeteners. Updated 3-16-11 © 2011
Copyright LaVic, Inc., 503 E. Nifong Blvd. #210, Columbia, MO 65201-3717 USA
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th edition. AOAC International
Suite 500 Maryland. USA.
AOAC. 2005. Official of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Arlington:
AOAC Inc.
Ariffin, A. A., Bakar, J., Tan, C. P., Rahman, R. A., Karim, R., & Loi, C. C.. 2008. Essential fatty
acids of pitaya (dragon fruit) seed oil. Food Chemistry, 114(2), 561–564.
Charoensiri, R., Kongkachuicha, R., Suknicom, S., & Sungpuag, P. 2009. Betacarotene, lycopene,
and alpha-tocopherol contents of selected Thai fruits. Food Chemistry. 113, 202–207.
Englyst, H.N., Kingman, S.M., and Cummings, J.H.1992. Classification and measurement of
nutritionally important starch fraction. European Journal Clinical Nutrition. (46 Suppl.2): 533-
550.
Gaurav, Sharma. 2003. Digital Color Imaging Handbook. CRC Press. ISBN 084930900X.
Khalili, R.M.A, A.B.C Abdullah, A.A. Manaf. 2014. Isolation and characterization of oligosaccharides
composition in organically grown red pitaya, white pitaya and papaya. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences
Wichienchot, Jatupornpipat, dan Rastall. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and
their prebiotic properties. Food Chemistry 120 (2010) 850–857.

134
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

REKAYASA TEKSTUR DAN KAJIAN STABILITAS SOSIS


FRANKFURTERS RENDAH LEMAK DARI IKAN TONGKOL
(THUNNUS TONGGOL) MENGGUNAKAN LEMAK ANALOG
DARI EKSTRAK PORANG DAN PENGEMULSI DARI
EKSTRAK RUMPUT LAUT
Bayu Noriandita1, Novia Nava1, Achmad Atdairobi1, Rifki Arifudin1 & Sri Hastuti2
1
Mahasiswa Program Studi Teknologi Industri Pertanian, 2Dosen Program Studi Teknologi Industri
Pertanian
085649724927, Jalan Raya Telang Gang III No.10F, Kamal, Bangkalan 69162
E-mail: namikaedogawa@gmail.com.

ABSTRAK

Sosis frankfurters sangat disukai karena tekstur yang lembut akibat kadar lemak yang tinggi.
Pengurangan kadar lemak dapat menurunkan kelembutan sosis. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sosis
frankfuters dari daging ikan tongkol (Thannus tonggol) dengan agen pembentuk tekstur berupa ekstrak porang
(konjak) dan rumput laut sebagai optimasi tekstur sosis (firmness, stickiness) dikaji menggunakan metode
permukaan tanggap (Response Surface Methodology) dengan faktor konsentrasi konjak (0, 5 dan 10 %),
konsentrasi rumput laut (0, 1 dan 3,3 %) dan konsentrasi garam NaCl (1, 2 dan 3 %). Analisis sensoris
hedonistik dilakukan menggunakan 20 orang panelis tidak terlatih, dan hasil sosis yang paling disukai diuji
kandungan nutrisinya (kadar protein, lemak, keasaman total, kadar air). Sifat tekstur sosis tidak dipengaruhi
secara nyata oleh faktor yang dikaji. Berdasarkan uji sensoris sosis yang terbaik dihasilkan dengan formulasi
ekstrak porang 10 %, ekstrak rumput laut 3,3% dan garam 2%, yang mengandung kadar lemak 0,663 % dan
kadar protein 10,751%. Sosis frankfuter dari ikan tongkol ini perlu ditingkatkan dalam hal sensorisnya karena
memiliki nilai yang sangat rendah yaitu 4,7 dari skala 9.

Kata kunci: rekayasa tekstur, sosis frankfruters, ikan tongkol.

ABSTRACT

One of the reasons that makes frankfurter sausage highly preferred is its soft texture due to high fat
content. Reduction of fat content can reduce tenderness of sausage. This study aims to make frankfurters sausage
of tuna (Thannus tonggol) with konjac flour as texturing agent and seaweed flour as emulsifier. Experiment
design was constructed according to response surface methodology with three factors, consisting of konjac flour
concentration (0, 5, and 10. % ), seaweed flour concentration ( 0, 1 and 3,3 % ) and NaCl concentration (1, 2,
and 3 % ). Textural characteristics (firmness, stickiness) were examined using texture profile analysis on a
texture analyzer. Hedonistic sensory analysis was performed using 20 untrained panelists. The most preferred
sausage was analyzed for fat, protein, and moisture content. Results showed that texture of sausage were not
significantly affected by the factors studied. The most preferred sausage contained 10 % konjac flour, 3.3 %
seaweed flour, and 2 % salt, and had very low fat (0,663 %), but similar level of protein (10,751 %) content to
normal pork frankfurters. Sausage frankfuter of tuna needs to be improved in terms of sensory because it has a
very low value at 4.7 on the scale of 9.
Keywords : engineering texture , frankfruters sausage , tuna.

PENDAHULUAN

Produksi ikan tongkol perairan Indonesia mencapai 4069,75 ton/tahun, yang kebanyakan
dikonsumsi sebagai ikan segar. Kehilangan paska panen ikan tongkol karena minimnya sarana
pendinginan sebesar 39 %. Sedangkan kandungan nutrisi ikan tongkol sangat tinggi terutama dalam
hal protein rendah lemak (21,6-26,3 %), asam lemak esensial seperti asam lemak omega-3 (5,053-
3,323 %) yang baik bagi pertumbuhan otak dan peningkatan kesehatan. Kandungan terpenting yang

135
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

terdapat pada ikan laut adalah Omega-3 yang merupakan asam lemak tak jenuh dan mampu
menurunkan kadar kolesterol, sehingga jelaslah bahwa dengan mengkonsumsi cukup ikan laut mampu
menurunkan resiko terserang penyakit-penyakit degeneratif seperti serangan jantung koroner dan
stroke yang diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol pada darah. Sosis frankfurters adalah jenis
sosis yang sangat digemari dan dikenal secara internasional, memiliki kadar garam relatif rendah, dan
tekstur yang lembut karena kadar lemak yang tinggi. Untuk menjadikan sosis frankfurters lebih
mendukung kesehatan diperlukan kreatifitas untuk menurunkan kadar lemaknya, tanpa mengurangi
kualitas teksturnya. Salah satu yang mungkin dilakukan adalah mengganti daging sapi atau ayam
dengan daging ikan tongkol. Akan tetapi, diperlukan usaha membentuk tekstur sosis yang baik. Upaya
pembentukan tekstur yang baik dapat dilakukan dengan penambahan tepung konjak dan seaweed.
Frankfurters adalah sejenis sosis yang mengandung lemak dan garam dalam jumlah yang tinggi,
frankfurters biasanya dibuat dengan menggunakan campuran daging babi dan sapi, kadar lemak
frankfurters berkisar antara 20-30 % dan kadar garam 2 % atau lebih. Sosis jenis frankfurters dianggap
sebagai makanan yang beresiko menyebabkan hipertensi, kegemukan, diabetes dan kanker perut.
Jumlah lemak didalam diet tidak boleh lebih dari jumah yang setara dengan 20-30 % masukan kalori
(Nasional Academy, 2011). Kadar garam 2,5 % pada frankfurters menghasilkan tingkat penerimaan
konsumen yang tertinggi, apabila kadar garam dikurangi sampai dibawah 1,5% penerimaan konsumen
turun dengan sangat nyata. Penerimaan yang tinggi terhadap frankfurters dengan kadar lemak rendah
10-15 masih dapat dipertahankan, jika kadar garam berkisar antar 2,5-5 % (Tobin et al., 2012).
Tepung porang (konjak) sebagai lemak analog pengganti lemak dari daging sapi atau ayam
(Jimenez-Colmenero et al., 2013). Pengganti lemak ditambahkan ke produk olahan daging sebagai
alternatif lemak hewan. Kualitas dari produk bergantung pada jenis pengganti lemak yang
ditambahkan. Karena sifat fisikokimia, reologi dan mikrostruktur dari gel konjak sehingga gel konjak
dapat digunakan sebagai pengganti lemak pada olahan produk daging rendah lemak yang dipengaruhi
oleh penyimpanan dingin dan pembekuan atau pencairan (Jimenez-Colmenero et al., 2013).
Penambahan gel konjak sebanyak 10 % memiliki sifat yang mirip dengan kontrol produk sosis rendah
lemak, sedangkan penambahan gel konjak sebanyak 20 % dapat mengurangi tekstur alot pada produk
sosis rendah lemak. Penggunaan gel konjak sebagai lemak tiruan dapat mengurangi total energi kalori
dengan mengganti sebagian daging dalam formulasi sosis (Osburn dan Keeton, 2004). Konjak
glukomanan adalah sejenis polisakarida netral dengan biokompatibilitas yang sangat baik dan biasa
digunakan dalam bidang biodegradable. Studi terbaru aplikasi konjak glukomanan adalah pada bidang
farmasi, bio-teknis, kimia halus dan lain-lain (Zhang et al., 2005).
Sedangkan tepung seaweed mampu mengikat air dan lemak sehingga dapat meningkatkan
kestabilan emulsi (Cofrades, 2008). Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk
memformulasi sosis frakfurters rendah lemak menggunakan daging ikan tongkol dan kombinasi lemak
analog dari ekstrak porang dan pengemulsi dari ekstrak rumput laut, untuk mencapai tekstur sosis
kualitas sensoris yang baik. Penambahan rumput laut pada sosis frankfurters dapat atau tidak dapat
meningkatkan profil asam amino bergantung pada jenis rumput laut yang digunakan. Kapasitas
antioksidan naik karena adanya senyawa-senyawa polyfenol terlarut dalam air (Lopez-lopez et al.,
2009). Tekstur yang empuk dalam sosis sangat penting dan tekstur yang empuk ini disebkan karena
kandungan lemak yg tinggi yg menyebabkan sosis menjadi makanan yg tidak baik bagi kesehatan.
Rumput laut dapat digunakan untuk membentuk tektur sosis sehingga mengurangi penggunaan lemak
dalam sosis (Lopez-lopez et al, 2009). Kandungan mineral pada rumput laut sangat tinggi berkisar
antara 20-39 % dan terdiri dari mineral makro (Na, K, Ca, Mg) serta mineral mikro (Fe, Zn, Mn, Cu)
(Ruperez, 2002 dan Gomez-Ordonez et al., 2012).
Tujuan pelitian ini adalah membuat sosis rendah lemak dari ikan tongkol dengan menggunakan
pembentuk tekstur ekstrak porang dan pengemulsi ekstrak rumput laut.
Metode Penelitian
Faktor penelitian adalah kadar konjak (0, 5 dan 10 %), kadar seaweed (0, 1 dan 3,3 %) dan
konsentrasi garam (1, 2 dan 3 %). Rancangan penelitian disusun menurut susunan dalam RSM,
sebagaimana dalam Tabel 1.

136
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu uji tekstur dengan metode texture profile
analysis (TPA) menggunakan Texture Analyzer TAXT Plus Stable Micro System (Surrey, UK).
Dengan diameter silinder 2,5 cm, tinggi 2,0 cm dan kecepatan 0,8 mm/s (Jimenez-Colmenero et al.
2010). Uji organoptik dilakukan dengan 20 orang panelis tidak terlatih dengan parameter pengujian
aroma, rasa, warna, tekstur dimulut dan kesukaan secara keseluruhan. Analisis kadar protein, lemak,
keasaman dan kadar air, dilakukan menurut metode yang umum digunakan.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan konsentrasi tepung konjak (X1), konsentrasi tepung seaweed (X2) dan
konsentrasi garam (X3)
Dengan kode Tanpa kode
Konsentrasi
Run Konsentrasi Konsentrasi
X1 X2 X3 Rumput
Konjak Garam
Laut
1 -1 -1 0 0% 0% 2
2 -1 1 0 0% 3,3 % 2
3 1 -1 0 10 % 0% 2
4 1 1 0 10 % 3,3 % 2
5 -1 0 -1 0% 1% 1
6 -1 0 1 0% 1% 3
7 1 0 -1 10 % 1% 1
8 1 0 1 10 % 1% 3
9 0 -1 1 5% 0% 3
10 0 -1 1 5% 0% 3
11 0 1 -1 5% 3,3 % 1
12 0 1 1 5% 3,3 % 3
13 0 0 0 5% 1% 2
14 0 0 0 5% 1% 2
15 0 0 0 5% 1% 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis variansi data pengujian sensoris menunjukkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
aroma dan rasa adalah interaksi antara rumput laut dengan rumput laut dan konjak dengan rumput laut.
Sedangkan untuk tekstur faktor yang mepengaruhi adalah konsentrasi penambahan tepung porang dan
garam yang memiliki nilai positif yang berarti semakin banyak penambahan porang dan garam tekstur
semakin di sukai oleh panelis, selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi tekstur adalah interaksi
antara tepung porang dengan rumput laut dan interaksi antara rumput laut dengan garam.
Sedangkan pada uji tekstur faktor yang dikaji pun sama tidak memiliki pengaruh nyata bagi
firmness dan stickiness sosis frankfuters dari ikan tongkol (Tabel 3). Parameter tekstur yang muncul
pada penelitian ini adalah stickiness dan firmness sedangkan pada penelitian Jimenez-Colmenero et al.
(2010) dan Jimenez-Colmenero et al. (2013) parameter yang muncul adalah hardness, springiness,
cohesiveness dan chewiness. Nilai hardness tidak muncul karena tekstur dari sosis tongkol memang
sangat lunak sehingga cohesivenessnya pun tidak muncul, yang menunnjukkan tidak adanya kepaduan
antara bahan-bahan penyusunnya. Hal ini diakibatkan karena perbedaan bahan baku, yaitu daging babi
dan daging ikan tongkol yang tentunya sifat fisik dan kimianya pun akan berbeda termasuk teksturnya.
Menurut Jimenez-Colmenero (2013) konjak glukomanan dan rumput laut pada sosis daging babi akan
membentuk tekstur yang baik atau akan menyatu dengan sempurna. Sedangkan pada penelitian ini,
konjak dengan rumput laut tidak bisa menyatu dengan sempurna karena tidak bisa menyatu dengan
daging ikan tongkol yang merupakan bahan baku utama.
Menurut penelitian Jimenez-Colmenero (2010) ada pengaruh nyata pada interaksi antara
penambahan konjak dan rumput laut, sedangkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi
yang berpengaruh nyata adalah antara rumput laut dan garam pada parameter stikiness.
137
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 2. Koefisien regresi penilaian sensoris sosis frankfuters ikan tongkol

Sumber Koefisien Regresi


Warna Aroma Rasa Tekstur Kesukaan
Keseluruhan
Konstanta 3,800 3,500 3,600 3,500 3,700
Konjak 0,112 0,012 0,062 0,212* -0,000
Rumput laut 0,153 0,028 -0,021 0,146 -0,014
Garam 0,121 -0,003 -0,003 0,228* 0,064
Konjak*konjak 0,028 0,016 0,091 0,146 0,110
Rumput laut*rumput -0,103 0,233*** 0,258* 0,028 0,089
laut
Garam*garam 0,071 0,158** -0,166 -0,196 -0,060
Konjak*rumput laut -0,175 - -0,200* -0,275* -0,150**
0,250***
Konjak*garam -0,050 0,075 -0,075 -0,150 -0,050
Rumput laut*garam -0,242 0.017 -0,067 -0,407* -0,178*

Sumber Koefisien Regresi


Stickiness Firmness
Konstanta -14,833 249,917
Konjak -5,593 -125,850
Rumput Laut 3,580 -81,116
Garam -4,517 -50,084
Konjak*konjak 9,622 292,269
Rumput laut*Rumput laut -0,851 -22,324
Garam*Garam -8,538 -28,474
Konjak*Rumput laut 0,687 42,738
Konjak*Garam -4,750 39,438
Rumput laut*Garam 14,410* -0,770

Tabel 3. Koefisien regresi sifat tekstural sosis frankfurters ikan tongkol


Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor konsentrasi konjak, seaweed dan garam tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap firmness dan stickiness. Konsentrasi konjak yang semakin
sedikit menyebabkan nilai stickiness yang semakin menurun. Sedangkan konsentrasi garam yang
berkisar antar 1,5-2,5 % juga menyebakan nilai stickiness yang lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi yang berkisar antara 2,5-3 %. Garam berfungsi sebagai penyerapan air sehingga dengan
penyerapan air yang lebih banyak maka kandungan air akan lebih sedikit dan mengakibatkan sosis
fraknfuter yang mempunyai nilai kelengketan lebih rendah.Tepung konjak berfungsi sebagai
pengganti lemak sehingga dapat memperbaiki tekstur dari sosis. Jadi dengan penambahan tepung yang
lebih banyak dapat menghasilkan sosis yang mempunyai nilai firmness yang lebih rendah.
Untuk hasil terbaik dari uji sensoris dan uji tekstur, diambil tiga perlakuan terbaik yang
selanjutnya diuji kandungan kimianya (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil Uji Kimia
Kode Sampel Kadar Air (%) Protein (%) Lemak (%) pH
K5.RL1.G2 28,8158 16,698 4,0783 6,93
K10.RL1.G3 29,5921 16,047 4,2274 7
K10.RL3.G2 21,6593 10,751 0,663 6,87
K: Konjak; RL: Rumput laut; G: Garam dan angka menunjukkan presentase

138
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Berdasarkan penelitian yangdikalukan oleh Lopez-Lopez et al. (2009) dan Jimenez-Colmenero


et al. (2010) yang menggunakan daging babi dan olive oil dengan pengemulsi konjak dan tepung
rumput laut, hasil uji kimia menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan hasil penelitian ini. Kadar
air pada penelitian tersebut (Lopez-Lopez et al., 2009, Jimenez-Colmenero et al. 2010) antara 65,55
sampai 70,20 gram/100 gram bahan. Sedangkan Tabel 4 menunjukkan bahwa sosis ikan tongkol
memiliki kadar air yang cukup rendah yaitu 29,5921 untuk hasil tertinggi. Hal ini mengindikasikan
bahwa sosis ikan tongkol akan lebih awet (tahan lama) daya simpannya. Kadar protein sosis
frankfurters tongkol (16,698 %) sama dengan kadar protein sosis daging babi kontrol (16,37 gram/100
gram bahan dan 16,28 %) pada penelitian Lopez-Lopez et al. (2009) dan Jimenez-Colmenero et al.
(2010). Hasil pengujian kadar lemak pada penelitian ini sangat rendah, dengan hasil 0,663% atau
hampir tidak memiliki kandungan lemak. Ini berbeda dengan sosis frankfuters pada umumya yang
sangat ditekankan pada kandungan lemak karena akan mempengaruhi tekstur dari sosis. Sedangkan
untuk pengukuran pH, hasil menunnjukkan angka yang cukup tinggi dan sama pada semua penelitian
yaitu antara 6 sampai 7.
Jika dibandingkan dengan sosis frankfuters daging pada umumnya, sosis tongkol memang
mempunyai banyak perbendaan di antaranya tekstur di mulut yang masih kasar, tidak sehalus sosis
daging. Selain itu, warna yang kurang menarik pada beberapa perlakuan. Akan tetapi sifat kimia dari
sosis ikan tongkol ini pun berbeda terutama pada kandungan lemaknya yang jauh lebih rendah dari
pada sosis pada umumnya yang hasil terbaiknya hanya 0,66 %, yang berarti hampir tidak memiliki
kandungan lemak. Berdasarkan analisis kimia, perlakuan 10K.3RL.2G (konsentrasi tepung konjak 10
%, rumput laut 3 % dan garam 2 %) mempunyai nilai kadar air, protein, lemak dan pH terendah. Jadi
dengan konsentrasi tepung konjak yang lebih banyak, rumput laut dan garam yang lebih sedikit, dapat
mengurangi kandungan lemak pada sosis. Namun hal itu tidak meningkatkan kandungan protein pada
sosis. Protein pada sosis akan meningkat jika konsentrasi tepung konjak, rumput laut dan garam lebih
rendah. Selisih kandungan protein sosis frankfuter dari ikan tongkol dan sosis daging SNI yaitu 3,689
%. Jadi sosis frankfuter mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibanding sosis daging yaitu
sebesar 13 % (Afriana dan Pangesthi, 2013). Sedangkan kandungan lemak (maksimal) sosis menurut
SNI adalah 25 %. Jadi sosis frankfuters mempunyai kandungan lemak yang relatif rendah atau sedikit
mengandung lemak. Hal ini dapat disebabkan karena ikan tongkol mempunyai kandungan lemak yang
lebih rendah dibandingkan dengan sosis yang terbuat dari daging sapi. Kandungan lemak terendah
adalah pada perlakuan 10.3.2 (konsentrasi tepung porang 10 %, seaweed 3,3, % dan garam 2 %),
karena pada perlakuan ini konsentrasi tepung porang yang digunakan lebih banyak. Dimana tepung
porang ini berfungsi sebagai pengganti lemak pada sosis ikan tongkol.
Lemak analog atau pengganti lemak dengan tepung porang dapat mengurangi total energi kalori
sehingga sosis yang dihasilkan baik untuk diet sehat. Sedangkan rumput laut berperan sebagai
pengikat air dan lemak sehingga mampu meningkatkan kestabilan emulsi. Selain sebagai pengemulsi
rumput laut juga mampu membentuk tekstur sosis sehingga penggunaan lemak pun bisa dihindari
karena tekstur lembut pada sosis merupakan pengaruh dari kadar lemak yang dikandung, rumput laut
juga dapat memberikan pengaruh kimia dengan zat yang dikandungnya seperti antioksidan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Sosis frankfuters yang dibuat dengan lemak analog ektrak porang dan pengemulsi dari ekstrak
rumput laut ternyata memilki kandungan lemak yang jauh lebih rendah dari sosis yang terbuat dari
daging sapi atau daging ayam pada umumnya. Tekstur yang dihasilkan pun disukai oleh panelis untuk
beberapa perlakuan.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji daya tahan atau umur simpan dari sosis
frankfuters ikan tongkol serta untuk memperbaiki sensoris dari sosis terutama rasa sosis.

139
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR PUSTAKA

Tobin B. D., O'Sullivan M G., Hamill R M., Kerry J P. 2012. Effect of Varying Salt and Fat Levels on
the Sensory and Physiochemical Quality of Frankfurters. Meat Sci. 92:659–666.
Cofrades S., Lopez-Lopez I., Solas M T., Bravo L., Jimenez-Colmenero F. 2008. Influence of
Different Types and Proportions of Added Edible Seaweeds on Characteristics of Low-Salt
Gel/Emulsion Meat Systems. Meat Sci. 79: 767–776
Gomez-Ordonez E., Jimenez-Escrig A., Rupérez P. 2010. Dietary Fibre and Physicochemical
Properties of Several Edible Seaweeds from the Northwestern Spanish Coast. Food Res Int.
43:2289–2294
Jimenez-Colmenero F., Cofrades S., Herrero A M., Solas M T., Ruiz-Capillas C. 2013. Konjac Gel for
Use as Potential Fat Analogue for Healthier Meat Product Development: Effect of Chilled and
Frozen Storage. Food Hydrocolloid. 30:351-357
Jimenez-Escrig A B., Sanchez-Muniz F J. 2013. Dietary Fibre from Edible Seaweeds: Chemical
Structure, Physicochemical Properties and Effects on Cholesterol Metabolism. Nurt Res.
20: 585-598.
Lopez-Lopez I., Cofrades S., Ruiz-Capillas C., Jimenez-Colmenero F. 2009. Design and Nutritional
Properties of Potential Functional Frankfurters Based on Lipid Formulation, Added
Seaweed and Low Salt Content. Meat Sci. 83:255–262
Lopez-Lopez, S., Bastida, C., Ruiz-Capillas, L., Bravo, M T, Larrea, F., Sánchez-Muniz, S., Cofrades,
F., Jiménez-Colmenero. 2009. Composition and Antioxidant Capacity of Low-Salt Meat
Emulsion Model Systems Containing Edible Seaweeds. Meat Sci. 83:492–498
Osburn W N., Keeton J T. 2004. Evaluation of Low-Fat sausage Containing Desinewed Lamb and
Konjac Gel. Meat Sci. 68:221–233
Ruperez P. 2002. Mineral Content of Edible Marine Seaweeds. Food Chem. 79:23–26
Zhang Y., Xie B., Gan X. 2005. Advance in the Applications of Konjac Glucomannan and its
Derivatives. Carbohyd Polym. 60:27–31

140
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN DAN BIJI


KELOR (MORINGA OLEIFERA) SERTA LAMA
PENYIMPANAN TERHADAP SENSORIS TAHU
Puspitasari C1, Hidayati D2, Rahman A3
1. Mahasiswa, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
2. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
3. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
PO Box 2 Kamal, Jawa Timur 69162
Email : pcandytias@yahoo.com

ABSTRAK
Tahu merupakan salah satu makanan yang mudah busuk karena kandungan gizinya yang cukup tinggi
menjadikan tahu sebagai media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Banyak produsen tahu yang
menambahkan pengawet non pangan seperti formalin untuk meningkatkan umur simpannya. Banyaknya kasus
penyalahgunaan formalin perlu diminimalisir dengan pengawet pangan alami. Biji dan daun Moringa oleifera
(kelor) dapat digunakan sebagai alternatif pengawet pangan alami karena mengandung senyawa-senyawa yang
bertindak sebagai antimirobia. Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap 3 faktor yaitu
sumber ekstrak (daun dan biji kelor), konsentrasi (10% dan 20%) dengan pembanding tahu 0% ekstrak sebagai
kontrol dan lama penyimpanan (hari ke 0,1,2, dan 3). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
faktor terhadap mutu tahu secara sensoris dengan mendeskripsikan masing-masing parameter (penampakan,
aroma, dan tekstur) pada tiap sampel. Analisis data menggunakan uji variansi (ANOVA) dengan taraf
signifikansi 5% untuk beda nyata dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui beda nyata pada
setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber ekstrak dan lama penyimpanan berpengaruh
(p≤0,05) terhadap sensoris tahu, namun konsentrasi yang ditambahkan tidak memberi pengaruh. Penambahan
ekstrak daun dapat mempertahankan mutu tahu secara sensoris selama 2 hari sama dengan tahu kontrol,
sedangkan ekstrak biji kelor dapat mempertahankan hingga 3 hari penyimpanan.

Kata Kunci: Moringa oleifera, Tahu, Sensoris, Mutu, dan Umur simpan

PENDAHULUAN

Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang populer di semua kalangan masyarakat
dan memiliki kandungan gizi cukup tinggi. Menurut Herlinda dan Atmasjuri dalam Setyadi (2008),
kandungan protein dan kadar lemak pada tahu lokal mencapai 8,3% dan 5,4%, selain itu tahu juga
mengandung air kurang lebih 82,4%. Kandungan protein, lemak, dan air yang cukup tinggi
menyebabkan tahu menjadi media yang cocok pertumbuhan mikroorganisme sehingga cepat rusak dan
busuk. Akibatnya banyak produsen yang menggunakan pengawet untuk meningkatkan umur simpan
tahu. Saat ini banyak ditemui penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai bahan tambahan pangan.
Salah satu jenisnya adalah pengawet yang berfungsi untuk meningkatkan umur simpan produk, tetapi
banyak beredar penggunaan pengawet berbahaya seperti formalin. Pengawet pangan alami saat ini
sangat dibutuhkan guna meminimalisir maraknya kasus penggunaan pengawet non pangan yang
berbahaya.
Sumber pengawet alami dapat ditemukan dari tanaman yang memiliki sifat antimikrobia.
Antimikrobia adalah suatu senyawa yang dapat menghambat aktivitas atau pertumbuhan
mikroorganisme. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kelor merupakan tanaman yang cukup
efektif dalam menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme patogen karena memiliki
senyawa saponin, flavonoid, tannin, alkanoid dan fenol (Oluduro 2012). Penelitian yang dilakukan
oleh Kumar et al. (2012) menunjukkan bahwa daun kelor yang diekstrak dengan air efektif terhadap
bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus subtilis dengan zona penghambat mulai
12-18 mm. Penelitian Bukar et al. (2010) menyatakan bahwa ekstrak daun dan biji kelor dengan
141
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

pelarut etanol dan kloroform memiliki aktivitas antimikrobia, akan tetapi sifat antimikrobia yang
paling efektif adalah pada bijinya.
Kajian tentang sifat antimikrobia pada kelor menunjukkan bahwa tanaman ini berpotensi
sebagai pengawet alami. Penelitian ini mengkaji mutu tahu selama penyimpanan dengan mengamati
dan mendeskripsikan pengaruh penambahan ekstrak daun dan biji kelor terhadap sensoris tahu untuk
mengetahui umur simpannya.

METODE

Preparasi Ekstrak Daun Dan Biji Kelor


Daun dan biji kelor segar dicuci hingga bersih, kemudian diblender menggunakan pelarut air
dengan perbandingan 1:5. Jus daun dan biji kelor masing-masing dipanaskan selama 5 menit
kemudian didinginkan dan disaring hingga terpisah antara ampas dan larutannya (Chumark et al.
2008). Ekstrak daun dan biji kelor kemudian dicampurkan pada proses penggumpalan tahu
Pembuatan Tahu dengan Penambahan Ekstrak Daun dan Biji Kelor
Kedelai dicuci dengan air hingga bersih, selanjutnya direndam dalam air selama 1 malam dan
dicuci lagi. Kedelai yang telah bersih dihancurkan menggunakan blender selama ±10 menit hingga
halus, kemudian disaring untuk memisahkan padatan dan susu kedelai. Susu kedelai dimasak
kemudian dicampur dengan ekstrak daun dan biji kelor masing-masing sebanyak 0% (kontrol),
10%,dan 20%. Tahapan selanjutnya adalah penggumpalan, dimana campuran susu kedelai dan ekstrak
daun Moringa oleifera ditambah dengan larutan cuka dan siap untuk dicetak.
Pengujian Sensoris Tahu
Pengujian sensoris bertujuan untuk mengamati kerusakan tahu selama penyimpanan. Parameter
yang menunjukkan mutu tahu yang mulai rusak adalah munculnya lendir pada permukaan tahu,
baunya asam dan busuk, tumbuhnya kapang, dan tekstur tahu mulai tidak kompak. Analisis sensoris
yang dilakukan diujian pada 20 penelis tidak terlatih (Gallagher dalam Ummah et al. 2013). Panelis
mengamati perubahan yang terjadi pada tahu selama penyimpanan mulai hari ke 0 hingga hari ke 3.
Panelis diminta memberikan penilaian pada sampel yang meliputi penampakan, aroma, dan tekstur
dengan penilaian skala 1-5, dimana skala terbesar yaitu 5 mewakili deskripsi parameter tahu yang
paling baik dan skala 1 mewakili deskripsi tahu yang paling rusak atau busuk (Setyadi 2008).
Analisis Data
Analisis data menggunakan uji variansi (ANOVA) dengan taraf signifikansi 5% untuk beda
nyata dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui beda nyata pada setiap perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Sensoris terhadap Penampakan Tahu


Penampakan permukaan tahu merupakan pengamatan secara sensori yang memanfaatkan
rangsangan indera peraba. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa faktor sumber ekstrak dan lama
penimpanan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap penampakan tahu. Namun faktor penambahan
konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penampakannya.
Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan ekstrak biji menunjukkan nilai rata-rata yang lebih
tinggi dari ekstrak daun yaitu sebesar 3,058 dan untuk ekstrak daun sebesar 2,783. Berdasarkan uji
lanjut Tukey nilai rata-rata penampakan tahu dengan ekstrak biji dan daun kelor masing-masing
berbeda nyata.
Tabel 1. Nilai rata-rata penampakan tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak
Sumber ekstrak Nilai Rata-rata
a
Daun 2,783
Biji 3,058b

142
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Faktor lama penyimpanan pada Tabel 2 juga berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap
penampakan tahu, semakin lama waktu penyimpanan maka nilai penampakan semakin kecil. Nilai
rata-rata penampakan tahu berurutan adalah 4,025; 3,275; 2,500; dan 1,883. Hasil uji lanjut Tukey
menjelaskan bahwa nilai rata-rata mulai hari ke 0 hingga ke 3 tersebut berbeda nyata.
Tabel 2. Nilai rata-rata penampakan tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan
Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata
d
0 4.025
1 3.275c
2 2.500b
3 1.883a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan memberi pengaruh nyata (p≤0,05)
terhadap penampakan tahu. Nilai penampakan tertinggi ditunjukkan oleh tahu dengan konsentrasi 0%
atau kontrol pada hari ke 0, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan tahu yang ditambahkan
konsentrasi 10% dan 20% pada hari yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa tahu pada hari ke 0
memiliki penampakan tahu yang sama. Sedangkan nilai terendah ditunjukkan oleh tahu kontrol pada
penyimpanan hari ke 3 dan nilai tersebut berbeda nyata dengan tahu yang mengandung ekstrak kelor
10% dan 20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara sensori terdapat perbedaan penampakan tahu
di hari ke 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata penampakan secara sensoris berdasarkan interaksi faktor konsentrasi dengan
lama penyimpanan
Konsentrasi Lama penyimpanan
(%) Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
0 4,200f 3,600e 2,000b 1,400a
10 3,925f 3,100d 2,600c 2,125b
20 3,925f 3,125d 2,900d 2,125b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)

Interaksi antar tiga faktor yaitu sumber ekstrak, konsentrasi, dan lama penyimpanan tidak
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penampakan tahu.

Gambar 1. Tren permukaan tahu secara sensoris selama penyimpanan


143
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keterangan: Skala (1) Paling berlendir, (2) Berlendir, (3) Sedikit lendir, (4) Permukaan agak halus
tanpa lendir, (5) Permukaan paling halus dan bagus tanpa lendir.
Gambar 1 menjelaskan bahwa pada hari ke 0 nilai tahu cukup tinggi yaitu berkisar antara 3 – 5.
Hasil penelitian yang diujikan secara sensori pada hari ke 0 ini menunjukkan bahwa penampakan
permukaan tahu masih halus dan belum berlendir, sehingga tahu masih layak untuk dikonsumsi. Pada
penyimpanan hari pertama terjadi penurunan tren terhadap penampakan tahu. Akan tetapi nilai-nilai
yang dihasilkan menunjukkan mutu tahu yang masih cukup baik. Terjadi penurunan tren yang cukup
tajam pada tahu kontrol pada penyimpanan hari ke 2 dimana nilainya turun hingga 2, hal ini
menunjukkan bahwa tahu kontrol telah berlendir di seluruh permukaan tahu dan mulai muncul jamur.
Tahu perlakuan dengan penambahan ekstrak daun juga telah mengalami pelendiran hampir diseluruh
permukaannya. Sedangkan tahu dengan penambahan ekstrak biji masih mulai muncul lendir. Dihari ke
3 kelima sampel terus mengalami penurunan tren yang mendeskripsikan bahwa permukaan tahu
berlendir diseluruh bagiannya dan hal ini menandakan bahwa tahu telah rusak.
Analisis Sensoris Terhadap Aroma
Aroma merupakan salah satu parameter uji untuk analisis sensori yang melibatkan respon indera
pembau. Dengan memanfaatkan indera pembau panelis dapat mendeskripsikan tingkat kesegaran tahu
selama penyimpanan.
Penilaian aroma tahu secara statistik menunjukkan bahwa masing-masing faktor berpengaruh
nyata (p≤0,05) terhadap aroma tahu, namun tidak pada faktor konsentrasi karena p=0,28.
Penambahan ekstrak biji memiliki nilai rata-rata 2,992 dan lebih tinggi dari ekstrak daun, uji
lanjut Tukey menunjukkan bahwa keduanya berbeda nyata.

Tabel 4. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak
Sumber ekstrak Nilai Rata-rata
Daun 2,637a
Biji 2,992b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Tabel 5 menunjukkan bahwa penyimpanan yang semakin lama akan menurunkan nilai aroma
tahu. Nilai rata-rata yang ditunjukkan faktor lama penyimpanan secara berturut-turut adalah 3,992;
3,267; 2,633; 1,367, dan nilai tersebut secara statistik berbeda nyata.
Tabel 5. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan
Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata
d
0 3,992
1 3,267c
2 2,633b
3 1,367a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Hasil interaksi faktor sumber ekstrak dengan konsentrasi menunjukkan bahwa pemberian
konsentrasi 10% dan 20% pada ekstrak biji meningkatkan nilai aroma pada tahu dan nilai tersebut
tidak berbeda nyata. Namun sebaliknya, tahu dengan ekstrak daun 10% dan 20% menurunkan nilai
aroma.

144
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 6. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak
dengan konsentrasi
Konsentrasi (%)
Sumber ekstrak
0 10 20
b b
Daun 2,700 2,700 2,512a
Biji 2,700b 3,175c 3,100c
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Penilaian aroma tahu berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak dengan lama penyimpanan
menunjukkan bahwa ekstrak biji memiliki nilai aroma yang lebih tinggi dari ekstrak daun selama
penyimpanan dan nilainya juga berbeda nyata. Namun seiring dengan bertambahnya waktu
penyimpanan terjadi penurunan nilai aroma tahu pada kedua sumber ekstrak. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin lama waktu penyimpanan maka mutu tahu akan semakin menurun.

Tabel 7. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak dengan
lama penyimpanan
Sumber Lama penyimpanan
ekstrak Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
Daun 3,950e 3,067c 2,200b 1,333a
Biji 4,033e 3,467d 3,067c 1,400a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Pada Gambar 2 disajikan tren perubahan nilai rata-rata aroma tahu selama penyimpanan
berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak, konsentrasi, dan lama penyimpanan.

Gambar 2. Tren aroma tahu secara sensoris selama penyimpanan


Keterangan: Skala (1) Sangat asam dan basi (busuk), (2) Berbau busuk, (3) Mulai berbau asam, (4)
Agak Segar (5) Khas tahu segar.

Pada hari ke 0 tingkat kesegaran tahu memiliki nilai yang cukup tinggi. Nilai tersebut berkisar
antara 4 – 5 yang menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar dan layak untuk dikonsumsi. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa tahu sampel pada hari ke 1 terjadi penurunan tren, dimana tahu
dengan perlakuan penambahan ekstrak daun 10%, daun 20%, dan kontrol memiliki nilai lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan penambahan ekstrak biji 10% dan 20%. Akan tetapi nilai tersebut
menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar belum terjadi tanda-tanda kerusakan. Pada hari ke 2 nilai
145
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

tertinggi ditunjukkan oleh tahu dengan penambahan ekstrak biji 10% dan 20%, nilai tersebut
menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar. Sedangkan nilai tiga sampel tahu lainnya menunjukkan
bahwa aroma tahu telah busuk. Gambar 2 menyatakan bahwa penyimpanan hari ke 3 kelima perlakuan
mengalami penurunan tren hingga nilai 1 – 2. Nilai tersebut menunjukkan mutu tahu sudah tidak layak
dikonsumsi yang ditandai dengan munculnya aroma busuk.

ANALISIS SENSORIS TERHADAP TEKSTUR TAHU

Parameter tekstur merupakan penilaian sensoris untuk mengetahui tingkat kekenyalan tahu
dengan bantuan indera peraba. Hasil penilaian tekstur secara statistik menunjukkan bahwa sumber
ekstrak dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap tekstur tahu secara sensoris,
begitu pula dengan pengaruh yang diberikan oleh interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama
penyimpanan. Namun interaksi antara 3 faktor tidak berpengaruh pengaruh nyata (p>0,05) sehingga
nilainya tidak berbeda nyata.
Penambahan ekstrak daun menunjukkan nilai rata-rata tekstur yang lebih rendah dari ekstrak biji
dan keduanya berbeda nyata. Penambahan ekstrak daun dan biji memiliki nilai rata-rata sebesar 2,608
dan 2,908, keduanya berdeda nyata.
Tabel 8. Nilai rata-rata tekstur tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak
Sumber ekstrak Nilai Rata-rata
a
Daun 2.608
Biji 2.908b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Tabel 9 menunjukkan nilai rata-rata tekstur tahu pada hari ke 0 hingga ke 3 sebesar 3,833;
3,033; 2,542; 1,625. Nilai rata-rata tersebut cenderung mengalami penurunan seiring bertambahnya
waktu simpan dan uji lanjut Tukey menunjukkan nilai pada masing-masing hari berbeda nyata.
Tabel 9. Nilai rata-rata tekstur tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan
Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata
0 3,833d
1 3,033c
2 2,542b
3 1,625a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Penilaian tekstur tahu secara sensoris pada interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama
penyimpanan menunjukkan bahwa pada masing-masing konsentrasi yang ditambahkan terjadi
penurunan nilai tekstur tahu. Namun hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa dengan penambahan
konsentrasi 10% pada hari ke 1 dan hari ke 2 tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan pemberian
konsentrasi 10% lebih dapat mempertahankan tekstur tahu hingga hari ke 2 dibandingkan kontrol dan
konsentrasi 20%.
Tabel 10. Nilai rata-rata tekstur secara sensoris berdasarkan interaksi faktor konsentrasi dengan lama
penyimpanan
Konsentrasi Lama penyimpanan
(%) Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
0 3,850h 3,150f 2,200d 1,750c
10 4,075h 3,075f 2,925f 1,475ab

146
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

20 3,575g 2,875f 2,500e 1,650b


Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan
tingkat signifikansi (p≤0,05)
Interaksi 3 faktor tidak memberi pengaruh terhadap tekstur tahu, namun nilai rata-rata yang
dihasilkan masing-masing sampel setiap harinya selama penyimpanan bervariasi seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Tren tekstur tahu secara sensoris selama penyimpanan
Keterangan: Skala (1) Sangat mudah hancur dan sangat lengket, (2) Mudah hancur, (3) Mulai lunak

dan sedikit lengket, (4) Agak kenyal, (5) Paling kenyal dan kompak.
Penilaian tekstur tahu dilakukan dengan mengamati tingkat kekenyalan dan kelengketan pada
kelima tahu perlakuan. Pada hari ke 0 nilai parameter tekstur tahu beragam yaitu 3 – 5. Nilai kelima
sampel tahu tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekenyalan tahu masih masih bagus. Penyimpanan
hari ke 1 terjadi penurunan nilai tekstur, namun nilai tersebut menunjukkan tekstur tahu yang masih
cukup baik dan mendeskripsikan mulai terjadi pelunakan tekstur. Hasil penilaian sensori hari ke 2
pada Gambar 3 menjelaskan bahwa terjadi penurunan tren pada beberapa sampel tahu yang diujikan.
Sampel tahu kontrol dan tahu dengan penambahan ekstrak daun 20% menunjukkan nilai yang
menjelaskan bahwa tahu tersebut pada fase mudah hancur. Hal ini menunjukkan muncul tanda telah
terjadi kerusakan tahu. Penilaian sensori hari ke 3 kelima sampel tahu mengalami penurunan tren
dengan nilai 1 – 2 yang menunjukkan bahwa tekstur tahu mengalami kerusakan yang ditandai dengan
menurunnya tingkat kekenyalan dan kekompakannya. Sehingga tahu dengan perlakuan penambahan
ekstrak biji hanya dapat mempertahankan tekstur tahu satu hari lebih lama dari pada kontrol dan
penambahan ekstrak daun.
Hasil analisis sensoris yang meliputi penampakan, aroma, dan tekstur menunjukkan bahwa tahu
dengan perlakuan penambahan ekstrak daun 10%, daun 20%, dan kontrol dapat mempertahankan
parameter uji hingga penyimpanan hari ke 2. Sedangkan perlakuan penambahan ekstrak biji 10% dan
20% dapat mempertahankan mutu tahu hingga penyimpanan hari ke-3. Hal ini menunjukkan bahwa
sifat antimikrobia pada biji Moringa oleifera lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada tahu dibandingkan dengan daunnya. Tahu yang dinyatakan rusak karena terjadi
tanda-tanda kerusakan tahu seperti munculnya lendir pada permukaan tahu, tahu mulai berbau busuk,
dan tekstur tahu mudah hancur. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme
pembusuk, dimana pelendiran yang terjadi pada tahu disebabkan oleh hidrolisis zat pati dan protein
yang menghasilkan sifat lekat. Sedangkan bau busuk timbul dari hasil fermentasi karbohidrat oleh
bakteri golongan Bacillus, Clostridium, dan Coliform.

147
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KESIMPULAN

Penambahan ekstrak daun dan biji kelor dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap
penampakan, aroma, tekstur, dan warna tahu, namun penambahan konsentrasi sebanyak 10% dan 20%
tidak berpengaruh nyata. Tahu dengan ekstrak daun kelor dan kontrol mampu mempertahankan
parameter uji selama 2 hari, sedangkan tahu dengan tambahan ekstrak biji kelor dapat
mempertahankan hingga 3 hari penyimpanan.

REFERENSI

Bukar A., Uba A., Oyeyi T.I. 2010. Antitimokrobial Profile of Moringa oleifera lam. Extracts Against
Some Food – Borne Microorganisms. Bayero Journalof Pure and Applied Sciences Vol 3(1):
43-48

Chumark P., Panya K., Yupin S., Srinchan P., Noppawan P.M., Laddawal P., Piyanee R., Supath S.,
dan Klai-upsorn S. P. 2008. The In Vitro and Ex Vivo Antioxidant Properties, Hypolipidaemic
and Antiatherosclerotic Activities of Water Extract of Moringa oleifera lam Leaves. Journal of
Ethenopharmacology
Kumar V., Nishtha P., Nitin M., dan Ram P.S. 2012. Antibacterial and Antioxidant Activity of
Different Extract of Moringa oleifera Leaves – An in-Vitro Study. International Journal of
Pharmaceutical Science Review and Research Vol. 12

Oluduro A. 2012. Evaluation of Antimikrobial properties and Nutritional Potentials of Moringa


oleifera lam. In South-Western Nigeria. Malaysian Journal of Microbiology Vol. 8(2): 59-67
Setyadi D. 2008. Pengaruh Pencelupan Tahu Dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori
Dan Umur Simpan.[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Ummah S., Umi P., Rahmad F. 2013. Efek Pre-Gelatinisasi dan Proporsi Tepung Porang Keriting
Terhadap Penilaian Sensoris Korelasi Sifat Sensoris Mi Porang. Universitas Trunojoyo Madura

148
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENGARUH FORTIFIKASI EKSTRAK DAUN DAN BIJI KELOR


(Moringa oleifera) TERHADAP
SIFAT SENSORIS TAHU
Kusumawardani S1, Hidayati D2, Mu’tamar MFF3
1. Mahasiswa, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
2. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
3. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
PO Box 2 Kamal, Jawa Timur 69162
Email : sandrakusumawardani@yahoo.com

ABSTRAK

Malnutrisi merupakan masalah global yang dihadapi dunia dimana asupan makro dan mikronutrien
dikatakan tidak memadai dan banyak terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Kelor dapat
dijadikan sebagai alternatif untuk memerangi masalah malnutrisi karena kaya akan kandungan nutrisi alami dan
senyawa fitokimia yang mampu memberikan fungsi fisiologis pada tubuh. Penelitian ini melakukan fortifikasi
ekstrak daun dan biji kelor pada pembuatan tahu, tahu dipilih karena merupakan makanan yang dapat diterima
semua kalangan dengan kandungan protein yang tinggi dan harga yang murah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perlakuan fortifikasi terhadap sifat sensoris tahu dengan jumlah penambahan ekstrak biji
dan daun kelor masing-masing sebanyak 10%, 20%, dan 0% sebagai kontrol. Parameter yang diuji yaitu sensoris
tahu yang meliputi rasa, warna, aroma, dan kesukaan keseluruhan pada 20 panelis. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan SPSS dan dilakukan uji variansi (ANOVA) dengan taraf beda nyata 5% lalu dilakukan uji
Tukey. Hasil dari penelitian ini perlakuan penambahan ekstrak biji kelor sebanyak 10% pada tahu merupakan
perlakuan yang dapat diterima dan paling mendekati tahu kontrol yang diperoleh dari uji sensoris.

Kata Kunci: Malnutrisi, Kelor, Fortifikasi, Tahu, Sifat Sensoris.

PENDAHULUAN

Malnutrisi merupakan masalah global yang dihadapi dunia dimana asupan makro dan
mikronutrien dikatakan tidak memadai dan tidak seimbang. Nutrisi merupakan hal yang sangat vital
untuk diperhatikan karena fungsi dari nutrisi itu sendiri adalah untuk pertumbuhan, pembentukan
organ dan fungsi tubuh, serta juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan sistem imun. Faktor
yang seringkali melatarbelakangi terjadinya malnutrisi adalah masalah ekonomi. Kondisi tersebut
rawan dialami oleh anak – anak dan ibu hamil seperti di Indonesia. Data The World Food Programme
(WFP) dalam Church World Service (2008) menyebutkan bahwa sekitar 13 juta anak menderita gizi
buruk. Hal ini menjadi sangat wajar, sebab rata–rata penduduk dengan tingkat ekomoni yang rendah
seringkali mengabaikan asupan makanan yang dikonsumsi.
Tanaman kelor (Moringa oleifera) adalah tanaman yang banyak tumbuh di negara beriklim
tropis termasuk Indonesia. Saat ini kelor menjadi komoditas pangan yang penting di beberapa negara
karena kaya akan kandungan nutrisi alami dan juga diketahui mengandung banyak senyawa fitokimia
yang memberikan efek fisiologis yang baik bagi tubuh, sehingga beberapa bagian tanaman ini
dimanfaatkan untuk memerangi masalah malnutrisi (Oluduro 2012, Bukar et al. 2010). Banyaknya
manfaat yang ditawarkan oleh kelor ini sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai makanan
fungsional dengan melakukan fortifikasi yaitu menambahkan zat yang mampu memberikan fungsi
fisiologis pada pangan ketika dikonsumsi.
Penelitian ini melakukan fortifikasi ekstrak daun dan biji kelor pada pembuatan tahu untuk
mengetahui pengaruh perlakuan fortifikasi terhadap sifat sensoris. Penelitian yang dijadikan sebagai
objek makanan fungsional adalah tahu karena merupakan makanan yang dapat diterima semua
149
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

kalangan dengan kandungan protein yang tinggi dan harga yang murah sehingga mampu memperbaiki
kualitas gizi masyarakat.

METODE

Pembuatan Ekstrak Daun dan Biji Kelor


Daun atau biji kelor segar dicuci hingga bersih, kemudian diblender menggunakan pelarut air
dengan perbandingan 1:5. Jus daun atau biji kelor dipanaskan selama 5 menit kemudian didinginkan
dan disaring hingga terpisah antara ampas dan larutannya (Chumark et al. 2008). Ekstrak daun atau
biji kelor kemudian dicampurkan pada proses penggumpalan tahu
Pembuatan Tahu yang difortifikasi dengan Ekstrak Daun dan Biji Kelor
Kedelai dicuci bersih dengan air kemudian direndam selama 1 malam dan dicuci kembali
hingga bersih, selanjutnya diblender selama ± 10 menit hingga halus. Bahan yang telah diblender
kemudian disaring menggunakan kain saring hingga terpisah antara padatan dan susu kedelai. Susu
kedelai yang telah direbus kemudian dicampur dengan ekstrak daun atau biji kelor masing-masing
sebanyak 10%, 20%, dan 0% sebagai kontrol. Tahap selanjutnya adalah penggumpalan, dimana susu
kedelai yang telah dicampur ekstrak daun dan biji kelor dengan konsentrasi yang berbeda kemudian
dipadatkan dengan menggunakan asam cuka dan kemudian dicetak.
Uji Sensoris
Pengujian sifat organoleptik dari masing–masing tahu yang difortifikasi menggunakan daun dan
biji kelor. Sampel tahu ditunjukkan pada panelis sebanyak 20 orang. Panelis mengamati dan memberi
nilai pada sampel yang meliputi rasa, aroma, warna, dan kesukaan keseluruhan dengan 5 skala point –
Hedonic (5, sangat suka; 4, suka; 3, biasa; 2, tidak suka; 1, sangat tidak suka) dan kemudian skor
tersebut dikalkulasi (Ndatsu dan Olekan 2012).

ANALISIS DATA

Analisis data dilakukan menggunakan SPSS dan dilakukan uji (Analysis of Varians) ANOVA
untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter uji pada taraf beda nyata 5% (p<0,05), jika
analisis ragam berbeda nyata dilanjutkan uji lanjut Tukey untuk mengetahui perbedaan dari tiap
perlakuan.
Diagram Alir Penelitian

150
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 1. Diagram alir penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Sensoris
Analisis sensoris merupakan pengamatan terhadap sifat–sifat tahu yang meliputi rasa, warna,
aroma, dan kesukaan keseluruhan. Berdasarkan hasil pengujian pada 20 panelis, analisis sensoris
fortifikasi ekstrak biji dan daun kelor (Moringa oleifera) pada pembuatan tahu adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Nilai rata-rata uji sensoris tahu
Perlakuan Rata-rata
Sumber Konsentrasi Rasa Warna Aroma Kesukaan
ekstrak Keseluruhan
Daun 20 2,2 1,8a 2,4 2,2a
10 2,3 2,0a 2,5 2,3a
Biji 20 3,1 3,5b 3,4 3,7b
10 3,6 3,9c 3,8 3,7b
d
Kontrol 0 3,7 4,6 3,9 3,9b
Keterangan: skala point – hedonic (5, sangat suka; 4, suka; 3, biasa; 2, tidak suka; 1, sangat tidak
suka), angka dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α=0.05

151
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Rasa
Rasa merupakan suatu respon yang ditimbulkan oleh indera pengecap. Interaksi antara faktor
sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan pada tahu tidak berpengaruh nyata (p≥0,05) terhadap
parameter kesukaan rasa. Rata-rata tertinggi dan mendekati kontrol adalah perlakuan tahu yang
difortifikasi ekstrak biji kelor sebanyak 10%. Tahu yang difortifikasi ekstrak daun mendapatkan nilai
terendah karena timbulnya rasa pahit yang disebabkan oleh kandungan senyawa saponin dan tanin
sebesar 5% dan 1.4% pada daun kelor (Yulianti 2008), sehingga tahu perlakuan ini kurang diminati
panelis.
Warna
Warna merupakan suatu kenampakan yang tampak oleh indera penglihatan. Umumnya, warna
tahu yang banyak beredar di pasaran memiliki warna putih. Interaksi antara sumber ekstrak dan
konsentrasi penambahan pada tahu memberikan pengaruh nyata (p≤0.05) pada parameter kesukaan
warna. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan fortifikasi ekstrak daun berbeda nyata dengan
perlakuan lain, hal ini disebabkan tahu berwarna kehijauan. Warna hijau tersebut timbul karena
adanya pigmen klorofil, sehingga mempengaruhi warna tahu (Kholis dan Hadi 2010). Sedangkan nilai
rata-rata yang mendekati kontrol adalah tahu yang difortifikasi ekstrak biji 10% sebesar 3,9 sebab
tidak mempengaruhi kenampakan warna tahu sehingga dapat diterima oleh panelis.
Aroma
Aroma adalah suatu rangsangan yang ditimbulkan karena adanya kontak syaraf–syaraf pada
indera penciuman dengan suatu zat. Interaksi antara sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan biji
dan daun kelor tidak berpengaruh nyata (p≥0,05) terhadap parameter kesukaan aroma. Hasil uji lanjut
menyatakan bahwa perlakuan penambahan ekstrak biji 10% (B1) merupakan nilai rata–rata tertinggi
yang paling mendekati nilai rata–rata kontrol. Aroma yang dihasilkan dari perlakuan ini tidak
menimbulkan efek langu maupun bau yang tidak sedap, karena pada dasarnya biji kelor tidak berbau
sehingga aroma yang dihasilkan sama dengan tahu kontrol. Penambahan ekstrak daun kelor pada
konsentrasi 10% dan 20% mendapatkan nilai rata-rata terendah, hal ini disebabkan adanya aroma khas
daun kelor yang langu sehingga tingkat kesukaan panelis terhadap aroma perlakuan ini rendah.
Kesukaan Keseluruhan
Kesukaan keseluruhan merupakan penilaian yang diberikan terhadap sampel yang diujikan
dengan parameter keseluruhan dari uji sensoris ini, meliputi rasa, warna, dan aroma. Interaksi antara
sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan pada tahu memberikan pengaruh nyata (p≤0.05) terhadap
kesukaan keseluruhan. uji lanjut menyatakan bahwa nilai rata–rata pada penambahan ekstrak biji 10%
(B1) dan 20% (B2) sama, yaitu sebesar 3,7. Nilai terendah sebesar 2,2 dimiliki oleh perlakuan tahu
yang difortifikasi ekstrak daun 20% (D2). Hal ini disebabkan penambahan ekstrak daun secara fisik
mengubah kenampakan tahu mulai dari rasa, aroma, dan warna yang menyebabkan tingkat penerimaan
panelis terhadap perlakuan ini sangat rendah.

KESIMPULAN

Perlakuan fortifikasi ekstrak biji kelor pada konsentrasi 10% dalam pembuatan tahu
menunjukkan nilai rata-rata kesukaan yang paling mendekati kontrol terhadap parameter sensoris yang
meliputi rasa, warna, aroma, dan kesukaan keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Bukar A, Uba A, dan Oyeyi TI. 2010. Antimicrobial profile of Moringa oleifera lam.extracts against
some food – borne microorganisms. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences 3(1): 43 – 48.

Chumark P, Khunawat P, Sanvarinda Y, Phornchirasilp S, Morales NP, Phivthong-ngame L,


Ratanachamnong P, Srisawat S, Pongrapeeporn KS. 2008. The in vitro and ex vivo antioxidant

152
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

properties, hypolipidaemic and antiatherosclerotic activities of water extract of Moringa oleifera


lam. leaves. Journal of Ethnopharmacology 116(3):439 – 446.

Church World Service. 2008. Fact of malnutrition in Indonesia

Kholis N dan Hadi F. 2010. Pengujian bioassay biscuit balita yang disuplementasi konsentrat protein
daun kelor (Moringa oleifera) pada model tikus malnutrisi. Jurnal Teknologi Pertanian
11(3):144 – 151.

Ndatsu Y dan Olekan AA. 2012. Effects of different types of coagulants on the nutritional quality tofu
produced in the northern part of Nigeria. World Journal of Dairy & Food Sciences 7 (2): 135-
141.

Oluduro AO. 2012. Evaluation of Antimicrobial properties and nutritional potentials of Moringa
oleifera Lam. Leaf in southwestern Nigeria. Malaysian Journal of Microbiology 8(2): pp. 5967

Yulianti R. 2008. Pembuatan minuman jeli daun kelor (Moringa oleifera lamk) sebagai sumber
vitamin c dan ß-karoten. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

153
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBIA EKSTRAK DAUN KELOR


(MORINGA OLEIFERA) SEGAR TERHADAP BAKTERI
ESCHERICHIA COLI, SALMONELLA SP. DAN
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Evendra Asih Saputra1, Supriyanto2, Darimiyya Hidayati3
1. Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, UTM, Bangkalan
2. Dosen Teknologi Industri Pertanian, UTM, Bangkalan
3. Dosen Teknologi Industri Pertanian, UTM, Bangkalan

Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura,
Bangkalan, PO BOX 2 Kamal 69162
Emai: evendraasih@yahoo.com

ABSTRAK

Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang mempunyai manfaat yang sangat
banyak, salah satunya adalah antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sifat antimikrobia ekstrak
daun kelor segar dengan menggunakan pelarut air, etanol 70% dan etanol 96% terhadap bakteri Escherichia coli,
Salmonella sp dan Staphylococcus aureus. Ekstraksi daun kelor segar menggunakan metode maserasi. Pengujian
aktivitas antivitas antimikrobia ekstrak daun kelor menggunakan metode cakram, dengan mengukur zona bening
disekitar kertas cakram. Ekstrak daun kelor dengan pelarut etanol 70% lebih efektif menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif (Staphylococcus aureus). Sedangkan ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol 96%
lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram negarif (Escherichia coli dan Salmonella sp.) Ekstrak daun
kelor dengan pelarut air tidak menunjukkan aktivitas antimikrobia.

Kata Kunci, Kelor, Ekstraksi, Pelarut Antimikrobia, Daya hambat,

PENDAHULUAN

Moringa oleifera adalah sejenis tumbuhan dari suku moringaceae. Tumbuhan ini memiliki
ketinggian batang 7-11 meter. Daun Moringa oleifera berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil
bersusun majemuk dalam satu tangkai, buah Moringa oleifera berbentuk segitiga memanjang yang
disebut dengan klentang. Daun dan buah Moringa oleifera dapat dibuat sayur dan obat-obatan.
Moringa oleifera merupakan tanaman asli India utara dan saat ini banyak ditemukan di
wilayah asia tenggara, termasuk Indonesia. Tanaman ini sangat mudah dijumpai dan telah dikenal
serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, tetapi manfaatnya belum banyak dipahami oleh sebagian
besar masyarakat. Daun Moringa oleifera merupakan salah satu bagian tumbuhan yang mempunyai
manfaat yang sangat banyak salah satunya adalah antimikrobia. Beberapa penelitian terdahulu
membuktikan bahwa daun Moringa oleifera memiliki bahan aktif sebagai antibakteri.
Menurut Bukar et al (2010) daun Moringa oleifera mempunyai senyawa aktif yang berperan
sebagai antibakteri. Daun Moringa oleifera telah diketahui mengandung senyawa fitokimia seperti
flavonoid, saponin, tanin dan beberapa senyawa fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba
(Mboto et al dalam Busani 2012). Tanin adalah senyawa fenol yang memiliki sifat-sifat menyerupai
alkohol, salah satunya adalah bersifat antiseptik (zat penghambat jasad renik) (Fardiaz dalam Hidayati
2009) sehingga daun Moringa Oleifera berpotensi sebagai antibakteri atau pengawet.
Menurut Vinoth et al (2012), ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan menggunakan
pelarut air, etanol dan klorofom memiliki aktivitas antimikrobia, akan tetapi ekstrak etanol lebih aktif
menghambat perumbuhan bakteri dibanding dengan ekstrak air. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Bukar (2010) menunjukkan bahwa daun kelor (Moringa oleifera) yang di ekstrak dengan pelarut
etanol lebih efektif menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Sedangkan menurut Kumar et al

154
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

(2012) ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan pelarut etanol dan air mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia coli, B. Subtilis dan Staphylococcus aureus.
Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan pelarut etanol menunjukkan adanya aktivitas
penghambatan tumbuhnya bakteri. Oleh karena itu, penelitian ini mengkombinasikan daun kelor
(Moringa oleifera) kering dan daun kelor (Moringa oleifera) segar dengan pelarut air dan etanol pada
beberapa konsentrasi yang berbeda untuk menentukan sifat antimikrobia ekstrak daun kelor segar
dengan menggunakan pelarut air dan etanol terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negative.

METODE PENELITIAN

Bahan
Bahan berupa daun Kelor (Moringa oleifera)di peroleh dari kecamatan Paciran Kab.
Lamongan. Daun kelor dalam keadaan segar dikumpulkan, dan dibersihkan. Bagian daun diseleksi
kemudian di haluskan sehingga diperoleh serbuk daun kelor (Moringa oleifera).
Ekstraksi dengan pelarut organik
Daun kelor yang sudah halus masing-masing sebanyak 5 g dimasukkan kedalam Erlenmeyer dan
dishaker dengan menggunakan 75 ml pelarut air, etanol 70% dan etanol 96% selama 3 hari (72 jam).
Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring.
Pengujian aktivitas antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak daun kelor terhadap bakteri uji Staphylococcus
aureus, Escherichia coli dan Salmonella sp. dilakukan dengan metode difusi cakram menggunakan
kertas whatman.
Media Nutrien Broth yang sudah padat kemudian di beri suspensi bakteri sebanyak 0,5 ml dan
disebar ke permukaan media dengan menggunakan triangle yang sudah di sterilisasi.
Kertas cakram steril sebanyak tiga buah direndam ke dalam ektsrak daun kelor masing-
masing etanol 0%, etanol 70% dan etanol 96% selama 15 menit, kemudian diletakkan di atas
permukaan media Nutrien Broth. Masing-masing petri kemudian di inkubasi selama 48 jam. Aktivitas
antibakteri diamati berdasarkan pengukuran diameter daya hambat atau daerah bening yang terbentuk
disekitar kertas. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor segar


Jenis bakteri Eksrak air Ekstrak etanol 70% Ekstrak etanol 96%
Diameter zona inhibisi
Escherichia coli - 10 12
Salmonella sp. - 3 17
Staphylococcus aureus - 15 11.5
Aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor segar dengan pelarut air, etanol 70%, etanol 96%
terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella sp, dan Staphylococcus aureus dengan menggunakan
metode cakram menunjukkan zona penghambatan yang bervariasi. Tabel. 1 menunjukkan aktivitas
antibakteri ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol 70% lebih efektif menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (15 mm). Sedangkan, ekstrak daun kelor segar dengan
pelarut etanol 96% lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella sp (17 mm). Aktivitas
antibakteri ekstrak daun kelor segar dengan pelarut air tidak menunjukkan aktivitas antibakteri
terhadap semua bakteri uji.
Ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif dan gram negative. Etanol merupakan pelarut yang bersifat polar. Pelarut ini berperan
sebagai penarik senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman (Ahmad dan Beg. 2001).
Menurut Ramadhan (2010) mengungkapkan bahwa pelarut etanol mempunyai kadar kepolaran yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut air, sehingga senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada
daun kelor lebih mudah larut. Siddhuraju dan becker (2003) juga mengungkapkan bahwa pelarut
155
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

etanol mempunyai peran yang lebih baik untuk menarik senyawa-senyawa aktif yang terdapat pada
daun kelor dibanding pelarut air.
Ekstrak daun kelor dengan pelarut air tidak memunjukkan aktivitas antimikrobia terhadap
semua bakteri uji. Hal tersebut disebabkan karena adanya kadar air yang tinggi pada daun kelor segar
sehingga tercampur dengan pelarut air dan tidak hanya melarutkan senyawa-senyawa alami yang
terdapat pada daun kelor seperti flavonoid, fenol, tannin, saponin, alkaloid akan tetapi juga melarutkan
senyawa lainnya. Menurut Rajamanicka dan Sudha (2013) mengungkapkan bahwa di dalam daun
kelor disamping terdapat senyawa aktif antimikrobia, juga ditemukan kandungan karbohidrat (pectin).
Senyawa karbohidrat tersebut merupakan senyawa yang bersifat polar yang bisa larut dalam air
(Septiana et al 2002). Diduga pada saat ekstraksi senyawa karbohidrat yang terdapat dalam daun kelor
terhidrolisis sehingga menghasilkan beberapa senyawa turunan yang salah satunya adalah pektin.
Pektin merupakan senyawa turunan karbohidrat yang bersifat pekat, molekul pektin berikatan satu
dengan yang lainnya pada kondisi tertentu untuk membentuk gel sehingga kemungkinan juga dapat
mempengaruhi laju difusi senyawa aktif daun kelor (Moringa oleifera) dengan pelarut air .
Daya hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun kelor segar terhadap bakteri Escherichia coli,
Salmonella sp dan Staphylococcus aureus adalah daya penghambatan lemah sampai daya
penghambatan kuat. Menurut Stout dalam Sari menyatakan bahwa penggolongan daya penghambatan
aktivitas antimikrobia dapat dibedakan dalam beberapa golongan. Yaitu, daya penghambatan sangat
kuat (>20 mm), daya penghambatan kuat (10-20 mm), daya penghambtan sedang (5-10 mm), dan daya
penghambatan lemah (<5 mm).
Daya penghambatan yang dihasilkan oleh ekstrak daun kelor segar tidak terlepas dari peran
senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak daun kelor segar. Seperti flavonoid, tannin,
saponin, glikosida dan terpenoid (Vinoth et al 2012)

KESIMPULAN DAN SARAN

Ekstrak daun kelor segar dengan menggunakan pelarut etanol mampu menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negative. Penelitian ini masih perlu dilakukan penelitian
lanjutan dengan menambah beberapa konsentrasi pelarut etanol serta identifikasi senyawa-senyawa
alami yang terdapat pada daun kelor segar.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. I, A. Z. Beg. 2000. Antimicrobial and phytochemical studies on 45 Indian medicinal plants
against multi-drug resistant human pathogens. Journal of Ethnopharmacology 74 (2001) 113-
123
Bukar A., Uba A., Oyeyi T.I. 2010. Antimicrobial Profile of Moringa oleifera lam. Extacts Against
Some Food – Borne Microorganisms. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences Vol 3(1):
43-48
Busani, M., P.M. Julius and M. Voster. 2012. Antimicrobial Activities of Moringa oleifera Lam Leaf
Extracts. African Journal of Biotechnology, 11(11): 2797-2802
Hidayati, Nurul. 2009. Uji Efektivitas Antibakteri Eksrak Kasar Daun Teh (Camellia sinensi L, V.
Assamica) Tua Hasil Ekstraksi Menggunakan Pelarut Akuades dan Etanol. Skripsi. Malang.
Fakultas Sains dan Teknologi
Kumar V., Nishtha P., Nitin M., dan Ram P.S. 2012. Antibacterial and Antioxidant Activity of
Different Extract of Moringa oleifera Leaves – An in-Vitro Study. International Journal of
Pharmaceutical Science Review and Research Vol. 12
Rajamanickam. K, S. S. Sudha. 2013. In Vitro Antimicrobial activity and In Vivotoxixity of Moringa
oleifera and Allamanda Chatartiica Againts Multiple Drug Resistant Clinical Pathogens. Int J
Pharm Bio Sci 2013 Jan; 4(1): (B) 768-775

156
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Ramadhan, A. E dan H. A Phaza. 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah storage ada
Ekstraksi Oleoriesin Jahe (Zingiber officinale rosc) secara Batch. Universitas Diponegoro
Semarang

Septiana. A. T., A. Asnani. 2012. Kajian Sifat Fisiko Kimia Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum
duplicatum menggunakan berbagai Pelarut dan Metode Ekstraksi. Agrointek Vol 6

Shidduraju, P., Becker, K., 2003. Antioxidant properties of various solvent extact of total phenolic
constituents from three different agro-climatic origin of drumstick tree (Moringa oleifera Lam.
J. Agric Food Chem 15: 2144-2155

Siswandono dan Soekarjo, B. 1995. Kimia Nedisinal. Surabaya: Airlangga University Press

Vinoth B. Manivasagaperumal, dan Balamurugan. (2012). Phytochemical Analysis and Antibacterial


Activity of Moringa oleifera lam. International Journal of Research in Biological Sciences Vol.
2(3): 98-102

157
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PRODUKSI SUBSTRAT FERMENTASI BIOETANOL


DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII
MELALUI HIDROLISIS ASAM
Rinda Gusvita1, Wagiman2, Jumeri3
1.Mahasiswa, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2.Staf Pengajar, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2.Staf Pengajar, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
E-mail: rindavita@gmail.com

ABSTRACT

Seaweed is an abundant natural resources in Indonesia. Increasing value-added of


seaweed should be done continuously so that it can be useful for all stakeholders throughout its life
cycle. This studyfocuses on developing biooethanol production technology of red seaweed
Euchema cottonii to be used as a renewable fuel. Generally, red algae contains polysaccharides
such as cellulose and monosaccharides such as glucose. These compositions show its potency as
raw material for bioethanol production.
Raw material preparation included washing process to reduce levels of salt and dirt. It
was soaked for 24 hours and the size was reduced to make the process of hydrolysis easier.
Furthermore hydrolisis was performed at temperature variation of 80°C, 90oC, and 100oC in time
variation of 60, 90, and 120 minutes using 1%, 2%, 3% concentration of H2SO4.
The test results showed that the levels of reducing sugars obtained range from 2.94% -
15.61% and HMF 2.81 g/l-5.40 g/l. Based on the results, the best treatment was obtained in the
combination of 2% concentration of H2SO4 by time reaction of 120 minutes in80°C produced
15.61 g/l reducing sugar and 5.03 g/l HMF.

Keywords: Euchema cottonii, bio-ethanol, acid hydrolysis, reducing sugar, HMF

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Rumput laut merupakan komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi
ekspor produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang
tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu komersil.
Dari segi perkembangan jumlah industri rumput laut Indonesia cukup meningkat.
Hingga tahun 2012 terdapat sekitar 20-23 industri pengolahan rumput laut di Indonesia,
tetapi produknya lebih banyak masih terbatas pada produk dasar (base line) bukan
merupakan end product yang langsung dapat digunakan industri. Jenis rumput laut yang
dibudidayakan secara luas di Indonesia terdiri dari jenis Eucheuma cottoni dan
Gracilaria, dengan perbandingan hasil panen diperkirakan 70:30. Indonesia mengekspor
80% Eucheuma cottoni yang dihasilkan, sementara itu 80% Glacilaria yang dihasilkan
dikonsumsi di dalam negeri (Rachbini et al., 2011).
Menurut Harvey (2009) dalam Wiratmaja (2011), secara kimia rumput laut terdiri
dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), serta serat kasar
(3,0%), dan abu (22,25%) dan menurut Suriawiria (2003), uji proksimat yang dilakukan
pada limbah rumput laut kering didapatkan presentase masing-masing komponen kadar
air adalah 11.28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1.86%, kadar
serat kasar 8,96% dan karbohidrat 41,43%.
Jung et al. (2012) telah membuktikan bahwa adanya potensi rumput laut sebagai
bahan baku untuk biorefinery dengan memperkenalkan klasifikasi taksonomi, habitat
lingkungan, dan kapasitas karbon cadangan. Dipandang secara global menunjukkan

158
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

bahwa rumput laut dapat dibudidayakan secara massal dengan teknologi pertanian yang
tersedia saat ini. Disimpulkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
pemanfaatan rumput laut sebagai biomassa baru yang menjanjikan serta dapat
memberikan kontribusi bagi keberhasilan rumput laut berbasis biorefinery.
Penelitian ini merupakan studi pemanfaatan rumput laut Eucheuma cottoni yang
dihidrolisis menggunakan asam untuk menjadi substrat dalam fermentasi bioetanol.
Dengan adanya perlakuan hidrolisis ini diharapkan dapat memudahkan pemecahan
selulosa menjadi gula sederhana. Sehingga dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh.
Apabila dengan beberapa perlakuan hidrolisis asam dapat meningkatkan glukosa maka
berpeluang besar untuk pemanfaatan selanjutnya yaitu sebagai bioetanol (biofuel).
Semua bahan yang mengandung gula dapat digunakan sebagai bahan pembuat
etanol sebagai bahan bakar. Rumput laut khususnya dari jenis Eucheuma cottonii dapat
diolah menjadi bioetanol dengan metode fermentasi, dengan memanfaatkan kandungan
karbohidratnya. Untuk sepenuhnya memanfaatkan Eucheuma cottonii sebagai bahan baku
untuk produksi etanol, pretreatment diperlukan untuk membuat serat selulosa lebih
mudah diberi perlakuan hidrolisis. Rumput laut merah mengandung selulosa dan agar,
sementara agar tidak dapat dihidrolisis oleh enzim, tetapi dapat dihidrolisis oleh asam
(Jeong et al., 2011).
Pengembangan teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses
hidrolisisnya merupakan suatu proses yang lebih ramah lingkungan. Pada penelitian ini
menggunakan bakteri selulolitik untuk memproduksi enzim guna menghidrolisis selulosa
menjadi glukosa. Namun menurut Jeong et al. (2011), penggunaan enzim membutuhkan
biaya yang tinggi dan waktu reaksi yang lama. Selain itu menurut Kumar et al., 2009;
Chen et al., 2011 dalam Jeong et al. (2011), enzim mudah dihambat oleh produk samping
proses sakarifikasi, dan ini bukan merupakan solusi untuk komersialisasi, disamping
harga enzim yang tinggi.
Sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Putra et al. (2011), proses
fermentasi dari limbah Euchema cotonii menjadi bioetanol dilakukan pretreatment
delignifikasi menggunakan NaOCl dan emersi menggunakan campuran H2SO4 untuk
variasi yang berbeda. Proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan yeast
Saccharomyces cerevisiae.
Pada penelitian tersebut, NaOCl digunakan dengan variasi 0.25%, 0.50% dan
0.75%. H2SO4 digunakan dengan konsentrasi 0.5% dan variasi Saccharomyces cerevisiae
dengan rasio 1: 0,0015; 1: 0,003; 1: 0,0045; 1: 0,006 dan 1: 0,0075 untuk setiap kilogram
limbah Eucheuma Cottonii dan yeast, dan dengan waktu fermentasi 3, 6 dan 9 hari.
Sebagai pembanding adalah sampel dengan perlakuan sama, tapi tanpa H2SO4.
Berdasarkan penelitian, hasil bioetanol adalah 4.4% per hari dengan produksi tertinggi
etanol tertinggi yang diproduki adalah 14.0%. Setiap kilogram limbah Eucheuma cottonii
didelignifikasi dengan konsentrasi 0.5% NaOCl dengan variasi yeast 1: 0,006 dan waktu
fermentasi tiga hari.
Berdasarkan hasil penelitian Meinita et al. (2011) yang membandingkan
penggunaan H2SO4 dan HCl, kondisi optimal untuk hidrolisis dicapai dengan penggunaan
asam sulfat 0,2 M dengan waktu reaksi 15 menit, dan suhu 130oC.
Penelitian-penelitian tersebut menggunakan bahan baku yang dikeringkan
menggunakan oven dan dihaluskan. Proses tersebut memperpanjang daur produksi dan
membutuhkan energi yang lebih banyak lagi untuk menghasilkan bioetanol. Oleh sebab
itu, dibutuhkan proses produksi yang lebih singkat dan tidak membutuhkan banyak energi
dalam menghasilkan bioetanol berbahan baku rumput laut ini.Penelitian ini bertujuan
untuk memaksimalkan kondisi hidrolisis untuk produksi gula yang tinggi menggunakan
katalis asam encer dengan perlakuan variasi suhu, konsentrasi asam, dan waktu hidrolisis.

159
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan variasi konsentrasi asam encer, suhu,
dan waktu terbaik pada tahapan proses hidrolisis dalam usaha mengoptimalkan proses
pembuatan substrat fermentasi etanol berbahan baku Eucheuma cottonii.

METODOLOGI PENELITIAN

1. Waktu, Tempat, dan Objek Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Desember 2013 sampai dengan April
tahun 2014. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan
Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung. Objek yang digunakan pada
penelitian ini adalah rumput laut Eucheuma cottonii yang dipasok dari Kabupaten Buton,
Sulawesi Tenggara dalam bentuk yang sudah dikeringkan di tingkat petani.

2. Tahapan Penelitian
1. Karakterisasi Rumput Laut
Rumput Laut Euchema cottonii dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara dalam
bentuk kering dibilas dengan aquades untuk menghilangkan garam dan pasir serta kotoran
lainnya. Sebelum dihidrolisis, makroalga terlebih dahulu harus direndam dalam air
selama 24 jam agar memudahkan proses hidrolisis. Karakterisasi rumput laut dilakukan
dengan uji proksimat untuk mengetahui kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu,
dan kadar serat.
2. Hidrolisis polisakarida
Metode hidrolisis dilakukan dengan menggunakan katalis asam encer. Perlakuan
dalam penelitian ini disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL) dengan tiga faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi asam
sulfat (H2SO4) untuk pembuatan gula reduksi antara lain, 1%, 2%, 3% (b/v). Sedangkan
faktor kedua adalah lama reaksi pada water bath tiga taraf, yaitu 60 menit, 90 menit, dan
120 menit. Selain itu faktor ketiga adalah suhu reaksi hidrolisis pada waterbath tiga taraf,
yaitu 80oC, 90oC, dan 100oC.
3. Pengamatan
Setelah dihidrolisis, residu dipisahkan dari cairan dengan filtrasi. Gula dan
produk samping yang ada dalam cairan kemudian dinetralkan dengan penambahan NaOH
hingga mencapai pH 7 pada suhu ruang (±30oC). Kemudian hidrolisat dianalisis kadar
gula reduksinya.
Cairan yang didapatkan dilakukan analisis gula reduksi dan hidroximetilfurfural
(HMF). Kandungan gula reduksi ditentukan dengan metode Nelson-Somogy dan
digunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Kemudian perlakuan ini
dikerjakan sebanyak tiga kali ulangan.
Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan uji Barlett.
Kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey, kemudian data dianalisis lebih lanjut
dengan uji perbandingan dan polinomial ortogonal pada taraf nyata 5%.

160
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

30 g RL kadar air 92% 50 ml H2SO4

dimasukkan kedalam Erlenmeyer 100 mL

hidrolisis pada waterbath 80, 90, 100oC;60, 90, 120 menit

disaring dengan kertas saring Ampas

Filtrat

Analisis Gula reduksi dan


Analisis HMF

Gambar 1. Perlakuan hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat encer

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Rumput Laut Euchema cottonii


Obyek dalam penelitian ini, yaitu rumput laut merupakan salah satu komoditas
penting di sebagian wilayah Indonesia. Rumput laut atau seaweed sangat popular dalam
dunia perdagangan. Dalam dunia ilmu pengetahuan rumput laut dikenal sebagai Algae
(Indriani, 1997).
Menurut Jung et al. (2012), secara umum alga merah mengandung polisakarida
seperti selulosa, juga monosakarida seperti glukosa. Komposisi tersebut menunjukkan
potensi makroalga sebagai bahan baku etanol. Selain itu, Kim et al. (2010) juga
menunjukkan komposisi rumput laut jenis Eucheuma cottonii memiliki kandungan
selulosa 7,11% (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Laut Merah
Jenis Alga Selulosa Galaktan Karbohidrat Protein Lainnya (Lipid,
Merah (%) (%) (%) (%) ash) (%)
Glacilaria 19,7 44,4 74,1 11 14,9
E. cottonii 7,11 43,4 50,5 4,9 44,6
Sumber : Kim et al., 2010
Nurdin (2012) telah menganalisis mutu pasca panen rumput laut Eucheuma
cottonii di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sedangkan penelitian ini dilakukan

161
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

untuk mengetahui potensi rumput laut tersebut dalam menghasilkan substrat bagi proses
fermentasi bagi terbentuknya bioetanol.
Dalam penelitian ini dilakukan tahap persiapan bahan baku dan hidrolisis.
Persiapan bahan baku meliputi proses pencucian dengan air bersih, perendaman selama
24 jam, dan pengecilan ukuran. Proses pencucian bahan baku bertujuan menghilangkan
garam dan kotoran yang dapat menghambat proses hidrolisis. Sedangkan perendaman dan
pengecilan ukuran bertujuan memudahkan proses hidrolisis.
Cara untuk menilai mutu rumput laut adalah dengan pengujian fisik dan kimia.
Untuk mengetahui potensi rumput laut Eucheuma cottonii sebagai bahan baku bioetanol,
salah satunya harus dilakukan karakterisasi dengan analisa proksimat rumput laut
tersebut. Setelah dilakukan hasil pengujian proksimat, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pengujian Proksimat Sampel Rumput Laut Eucheuma cottonii
Air Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat
Ulangan
%
1 40,809 33,771 3,859 0,054 4,068 17,439
2 40,660 33,780 3,851 0,103 4,107 17,499
3 40,700 33,701 3,865 0,100 4,050 17,350
Rata-rata 40,7345 33,7755 3,855 0,0785 4,0875 17,469

Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung
dalam Eucheuma cottonii. Tinggi rendahnya nilai kadar air ditentukan oleh kondisi
pengeringan, pengemasan dan cara penyimpanan. Kondisi penyimpanan, pengeringan
dan pengemasan yang kurang rapat berpotensi meningkatkan kandungan air sehingga
mutu Eucheuma cottonii yang dihasilkan menjadi rendah (Syamsuar, 2006). Kadar air
rumput laut yang diteliti sebesar 40,7345%. Hal ini mungkin karena proses pengeringan
yang kurang maksimal ditingkat petani. Rumput laut dengan kadar air tinggi rentan
terkena resiko jamur dan kerusakan.
Rumput laut besifat higroskopis sehingga penyimpanan pada tempat lembab
akan menyebabkan kerusakan menjadi lebih cepat terjadi (Syamsuar, 2006). Kadar
air optimal dalam rumput laut 31-35% untuk jenis Eucheuma sp. (Anonim, 2008).
Selain itu, pembusukan dapat terjadi jika alga memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini
berarti rumput laut yang memiliki kadar air yang tinggi berpeluang besar untuk
mengalami pembusukan jika tidak segera dikeringkan kembali.
Menurut Suyandra (2007), abu merupakan zat organik yang dihasilkan dari
proses pembakaran yang dikenal sebagai unsur mineral. Kadar abu hasil penelitian
mencapai 33,7755 %. Kadar abu dari rumput laut ini memiliki kandungan mineral atau
zat anorganik yang tinggi. Hal ini disebabkan banyaknya garam yang terdapat pada
bagian luar rumput laut. Pada pembuatan hidrolisat rumput laut, kadar abu dapat
mempengaruhi proses hidrolisis karena kandungan mineral yang tinggi dapat
menghambat proses hidrolisis.
Kadar lemak dan kadar protein hasil pengujian rumput laut Euchema cottonii
adalah 0,0785 % dan 3,855%. Kadar protein yang terkandung dalam bahan baku dapat
mempengaruhi warna sirup glukosa. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan
protein pada suhu tinggi akan menghasilkan warna coklat atau disebut juga reaksi
browning.
Serat kasar adalah residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan
dengan asam atau alkali mendidih (Fardiaz, et al., 1986 dalam Sudiaman, 1990). Serat
kasar yang terkandung dalam rumput laut Euchema cottonii sebesar 4,0875%.
Karbohidrat merupakan komponen utama yang dapat dikonversi menjadi
bioetanol. Sementara gula reduksi yang dianalisis merupakan gula reduksi yang murni
terkandung dalam Euchema cottonii. Sementara jika dilakukan hidrolisis, karbohidrat

162
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

yang ada akan dikonversi menjadi gula reduksi yang merupakan substrat utama
pembentukan bioetanol. Untuk itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis gula reduksi
setelah dilakukan proses hidrolisis. Proses hidrolisis dilakukan dengan metode asam.

2. Perlakuan Hidrolisis Asam


Pada penelitian pendahuluan, pre-treatment rumput laut dilakukan dengan cara
pengeringan menggunakan oven sampai berat konstan kemudian dihaluskan
menggunakan blender. Teknik ini membutuhkan waktu proses yang lama dan energi yang
tidak sedikit. Selain itu rumput laut yang telah dicuci dan dioven memiliki tekstur yang
sangat keras sehingga sulit dilakukan pengecilan ukuran. Kemudian ketika dihidrolisis,
rumput laut ini membutuhkan waktu untuk menyerap cairan terlebih dahulu sebelum
terhidrolisis seutuhnya. Hal ini menyebabkan banyaknya cake yang dihasilkan setelah
proses hidrolisis. Artinya, hidrolisis yang terjadi tidak optimal karena sedikitnya gula
reduksi dan banyaknya by-product yang dihasilkan.
Dalam penelitian ini, perlakuan awal bahan baku dilakukan dengan perendaman
dalam air selama 24 jam. Kadar air rumput laut setelah direndam selama 24 jam berkisar
92,42%. Selanjutnya dilakukan pengecilan ukuran menggunakan blender selama 1 menit.
Perendaman dan pengecilan ukuran ini dimaksudkan agar rumput laut dapat lebih mudah
terhidrolisis. Air yang terkandung dalam rumput laut juga berfungsi sebagai prekursor
reaksi. Hal ini yang membuat reaksi hidrolisis menjadi lebih optimal.
Rumput laut ditimbang sebanyak 30g untuk masing-masing perlakuan. Setelah
ditempatkan dalam glassware, ditambahkan larutan asam encer sebanyak 50 ml dengan
variasi konsentrasi 1%, 2%, dan 3%. Selanjutnya ditutup menggunakan alumunium foil
yang dikencangkan dengan cara diikat menggunakan karet agar tidak tumpah. Kemudian
dilakukan homogenisasi dengan cara menggoyang alat gelas berisi campuran rumput laut
dan asam encer dengan menggunakan shaker selama 15 menit. Setelah itu dilakukan
hidrolisis pada variasi suhu 80oC, 90oC, dan 100oC dengan variasi waktu 60 menit, 90
menit, dan 120 menit.
Hidrolisat kemudian dipisahkan dari padatannya menggunakan kertas saring
whatman 41. Kemudian untuk keperluan analisis, hidrolisat di netralkan pH-nya
menggunakan NaOH. Dengan demikian, volume NaOH yang ditambahkan termasuk
kedalam pengenceran. Selanjutnya dilakukan analisis gula reduksi dan HMF. Sementara
padatannya dianalisis kadar hemiselulosa, selulosa, dan lignin yang tersisa dari proses
hidrolisis.

3. Kadar Gula Reduksi


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi H2SO4, lama reaksi, suhu,
dan interaksi ketiganya berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi Euchema cottonii.
Sementara antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata.
Hasil uji lanjut dengan uji polinomial (gambar 2) menunjukkan bahwa perlakuan
dengan konsentrasi H2SO4 dan lama reaksi meningkatkan kadar gula reduksi secara linear
pada konsentrasi 2% dan 3%. Sementara pada konsentrasi H2SO4 1%, kadar gula reduksi
meningkat secara kuadratik seiring dengan semakin lamanya reaksi hidrolisis.

163
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 2. Pengaruh lama reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii
pada masing-masing konsentrasi H2SO4
Sedangkan pada respon terhadap suhu reaksi pada setiap konsentrasi H2SO4
terlihat adanya penurunan kadar gula reduksi secara linear.

Gambar 3. Pengaruh suhu reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii pada
masing-masing konsentrasi H2SO4
Demikian juga dengan respon suhu pada setiap lama reaksi. Semakin tinggi suhu
reaksi, maka gula reduksi yang dihasilkan semakin sedikit pada tiap-tiap lama reaksi yang
berlangsung.

164
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 4. Pengaruh suhu reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii
pada masing-masing lama reaksi

Respon terhadap lama reaksi pada setiap suhu reaksi naik pada suhu reaksi 80o
dan naik pada suhu 90oC dan 100oC secara kuadratik. Semakin lama reaksi, kadar gula
reduksi terlihat turun lalu terlihat naik pada suhu reaksi 80oC. Pada suhu reaksi 90oC dan
100oC, peningkatan kadar gula reduksi terjadi karena pada kondisi tersebut hidrolisis
selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana berlangsung optimal, sedangkan
penurunan terjadi karena dengan waktu reaksi yang lama maka gula sederhana yang
terbentuk akan terhidrolisis lebih lanjut menjadi hidroximetilfurfural.

Gambar 5. Pengaruh lama reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii pada
masing-masing suhu reaksi

4. Kadar HMF
Metode hidrolisis asam ini menghasilkan produk selain glukosa, yaitu senyawa
furan, fenolik, dan asam asetat yang tidak diharapkan terbentuk pada tahap ini karena
akan menghambat proses fermentasi. Sakarifikasi menggunakan asam juga dapat

165
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

memicu degradasi glukosa sehingga rendemen glukosa dan etanol menurun (Howard
et al., 2003).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama reaksi dan interaksi antara
konsentrasi H2SO4 berpengaruh nyata terhadap kadar HMF hidrolisat euchema cottonii,
sedangkan lama reaksi berpengaruh nyata terhadap kadar HMF pada hidrolisat euchema
cottonii yang diberi perlakuan suhu hidolisis. Hasil uji lanjut dengan uji polinomial
menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama reaksi 60-120 menit pada konsentrasi H2SO4
1%-3% pada suhu 80-100oC dan interaksi diantara ketiga perlakuan tersebut berpengaruh
nyata secara linear terhadap kenaikan kadar HMF hidrolisat euchema cottonii.

Gambar 6. Respon terhadap reaksi pada setiapkonsentrasi H2SO4

Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi H2SO4 yang


digunakan untuk menghidrolisis Euchema cottonii, maka semakin tinggi pula kadar HMF
yang dihasilkan seiring dengan semakin lamanya waktu fermentasi.

Gambar 7. Respon terhadap lama reaksi pada setiap suhu reaksi 100°C

Demikian juga dengan respon terhadap lama reaksi pada setiap suhu reaksi.
Kadar HMF meningkat secara linear seiring dengan semakin lamanya reaksi dan semakin
tingginya suhu hidrolisis.

166
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 8. Respon terhadap suhu reaksi pada setiap konsentrasi H2SO4

Pada grafik respon terhadap suhu reaksi pada setiap konsentrasi H2SO4 terlihat
bahwa semakin tinggi suhu dan konsentrasi H2SO4, maka kadar HMF juga naik secara
linear.

Gambar 9. Respon terhadap suhu reaksi pada setiap lama reaksi

Dengan adanya peningkatan suhu reaksi, terjadi juga kenaikan kadar HMF secara
linear pada setiap lama reaksi. Kadar HMF pada Euchema cottonii setelah dilakukan
hidrolisis berkisar antara 2,81 g/l sampai dengan 5,40 g/l. Semakin lama reaksi, kadar
hidroximetilfurfual yang dihasilkan semakin tinggi. Hidroximetilfurfural yang memiliki
nilai terendah merupakan yang tebaik, namun karena pada konsentrasi dan lama reaksi
tersebut kadar gula reduksinya rendah, maka kadar HMF terbaik disesuaikan dengan
kadar gula pereduksi yang tertinggi.
Seiring dengan semakin lamanya waktu reaksi hidrolisis dan peningkatan suhu
reaksi, maka kadar HMF yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini karena gula reduksi
yang terbentuk telah terkonversi lebih lanjut menjadi HMF dan kandungan gula reduksi
yang terbentuk dari hidrolisis asam lebih rendah daripada kandungan gula reduksi yang
terkonversi menjadi HMF.
Tinggi rendahnya kadar HMF erat hubungannya dengan kadar glukosa pada
Euchema cottonii yang telah dihidrolisis dalam larutan H2SO4. Semakin tinggi
konsentrasi asam dan suhu yang digunakan, serta semakin lama reaksi yang berlangsung
maka kadar HMF semakin besar. Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa akan terkonversi
menjadi hidroksimetilfurfural (HMF). Apabila HMF terhidrolisis lebih lanjut akan
membentuk asam lavulinat dan asam formiat (Musatto dan Roberto, 2004).

167
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Reaksi tersebut merupakan reaksi-reaksi samping yang tidak dapat dihindari pada
keadaan hidrolisis yang bersifat asam. Hal ini menyebabkan dekomposisi gula yang telah
terhidrolisis. Produk degradasi yang paling penting dari segi hasil dan kemungkinan
penggunaannya adalah senyawa siklis furfural (2-furaldehida) yang dibentuk dari pentosa
dan asam uronat, dan hidroksimetilfurfural (5-(hidroksimetil)-2-furaldehida) (HMF) dari
gula heksosa, terutama glukosa. Hasil-hasil yang tinggi dari senyawa-senyawa ini hanya
diperoleh dalam asam pekat dan suhu tinggi. Jika suhu dinaikkan, molekul HMF siklis
berubah menjadi asam levulinat dan asam format (Fengel dan Wegener, 1995). Senyawa
tersebut dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan dalam proses
fermentasi menjadi etanol. Hal ini dikarenakan glukosa dan senyawa gula lainnya yang
merupakan komponen utama dalam pembentukan etanol telah terdegradasi menjadi
senyawa lain yang tidak diharapkan.
Penentuan perlakuan terbaik untuk proses hidrolisis Euchema cottonii ini
didasarkan pada kadar gula reduksi tertinggi, kadar hidroximetilfurfural terendah, dan
kadar hemiselulosa, selulosa, dan lignin terendah. Untuk gula reduksi tertinggi
didasarkan pada nilai tertinggi dari kombinasi antara lama reaksi dan konsentrasi H2SO4
serta suhu reaksi, sedangkan untuk kadar hidroximetilfurfural dan kadar lignin didasarkan
pada yang terendah.
Berdasarkan tabel, grafik, dan pembahasan diatas, perlakuan terbaik diperoleh
pada kombinasi konsentrasi H2SO4 2% dengan lama reaksi 120 menit pada suhu 80oC
yang menghasilkan gula reduksi sebesar 15,609 g/l dan HMF 5,03 g/l.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan


hidrolisis terbaik diperoleh pada kombinasi konsentrasi H2SO4 2% dengan lama reaksi
120 menit pada suhu 80oC yang menghasilkan gula reduksi sebesar 15,609 g/l dan HMF
5,03 g/l.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada


Masyarakat, Direktortat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yang telah mendanai penelitian ini melalui skema Hibah Penelitian MP3EI
sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Nomor :
254/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/VII/2013, tanggal 15 Juli 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Fengel, D & G. Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.


Diterjemahkan oleh Dr. Hardjono Sastroahmidjojo. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. 730 hlm
Jeong Tae Su, Young Soo Kim, Kyeong Keun Oh. 2011. Two-Stage Acid
Saccharification of Fractionated Gelidium amansii Minimizing the Sugar
Decomposition. Bioresource Technology 102 (2011) 10529-10534
Jung, Seong-R. L., Yoori K., Jong M. P. 2012. Potential of Macroalgae As Feedstocks
For Biorefinery. Journal of Bioresource Technology.
Kim, G. S, M., Kim, Y., Kim, J. S., Ryu., & Kim, K. H. 2010. Patent No. US
2010/0124774 A1. South Korea.
Meinita MD, Yong-KiHong, Gwi-Taek Jeong. 2011. Comparison of Sulfuric and
Hidrochloric acids as Catalyst in Hydrolysis of Kappaphycus alvarezzii (cottonii).
Bioprocess Biosyst Eng (2012) 35:123-128

168
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Mussatto, S.I., Roberto, I.C., 2004. Alternatives for detoxification of diluted-acid


lignocellulosic hydrolyzates for use in fermentative processes: a review.
Bioresour. Technol. 93 (1), 1–10.
Nurdin, I. N. 2012. Evaluasi Mutu dan Penanganan Pascapanen Rumput Laut Eucheuma
cottonii di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pasca
Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Putra, I.N.W. 2011. Proses Treatment dengan Menggunakan NaOCl dan H2SO4 untuk
Mempercepat Pembuatan Bioetanol dari Limbah Rumput Laut Eucheuma
cottonii. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Volume 5 Nomor 1 (64 – 68).
Rachbini D. J., B. Arifin. A. E. Yustika, E. S. Hartati, E. Listiyanto, A. H. Firdaus, A.
P.G. Talattov, I. Abdullah. 2011. Outlook Industri 2012 : Strategi Percepatan
dan Perluasan Agroindustri. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.
SNI 01-3545-2004. Madu. Cara Uji Hidroximetilfurfural. Badan Standarisasi Nasional.
Sudarmadji et al. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian edisi
ketiga. Liberty. Yogyakarta.
Suyandra, Isra Dharma. 2007. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.)
sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae.
Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Wiratmaja, I.G. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah
Rumput Laut Eucheuma cottonii sebagai Bahan Baku. Jurnal Cakram Teknik
Mesin Universitas Udayana Volume 5.

169
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

POTENSI MINYAK BIJI TEMBAKAU SEBAGAI


SUMBER MINYAK NABATI KAYA ASAM LEMAK
OMEGA-6
Rahmad Fajar Sidik
Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
Kontak Person:
Rahmad Fajar Sidik, MSi
Jl Stadion II/17B Pamekasan
Email : wakasensei99@yahoo.com

ABSTRAK

Asam lemak omega-3, omega-6, dan omega-9 telah umum digunakan pada berbagai suplemen
makanan, produk kesehatan, kosmetika dan berbagai bentuk pemanfaatan lainnya. Biasanya asam
lemak omega tersebut diambil dari berbagai varian ikan, seperti ikan Cod, Herring, dan Pelagis,
akan tetapi adapula yang berasal dari ekstraksi dari tanaman, misalnya minyak biji bunga
matahari dan minyak jagung. Artikel ini akan mengulas potensi minyak nabati dari biji tembakau
dan metode isolasi asam lemak omega-6 di dalamnya, untuk berbagai kebutuhan kesehatan
manusia.
Kata kunci: omega-6, minyak biji tembakau, potensi dan metode isolasi

PENDAHULUAN

Tanaman tembakau merupakan salah satu komoditi perdagangan non migas yang
menguntungkan bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Madura sebagai salah satu
sentra tanaman tembakau. Pemanfaatan utama dari tanaman perkebunan ini biasanya ada
pada bagian daun, untuk menghasilkan produk rokok dalam berbagai bentuk.
Pemanfaatan tembakau non rokok memiliki daya tarik tersendiri setelah harga daun
tembakau untuk rokok sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani. Karena itu
konversi produk tembakau non rokok menjadi suatu pilihan sebagai salah satu jalan
keluar untuk membantu masyarakat petani tembakau meningkatkan kesejahteraan dan
sekaligus membantu pemerintah dalam koridor pembangunan nasional.
Dari beberapa penelitian telah diketahui, bahwa biji tembakau dapat dimanfaatkan
menjadi komoditi lain yang layak jual karena memiliki kandungan minyak nabati yang
cukup besar, sekitar 36-40% (Eshetu, 2000). Kandungan minyak biji tembakau cukup
tinggi, penelitian Tondelli dkk. (2009) melaporkan minyak yang dihasilkan dari biji
tembakau bisa mencapai 2 ton per hektar. Di Kabupaten Pamekasan dengan luasan areal
tanam tembakau pernah mencapai 31 ribu (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.
Pamekasan 2009) hektar berpotensi menghasilkan minyak sebesar 2000 ton pertahun.
Hal ini sangat menarik dari segi agribisnis, karena biji tembakau menghasilkan
minyak dengan komponen asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi jika dibandingkan
tanaman tradisional lain seperti minyak jagung, lobak, kedelai, dan biji bunga matahari.
Minyak yang dihasilkan memiliki kandungan asam lemak tak jenuh sangat tinggi (lebih
dari 70%). Asam lemak tak jenuh pada minyak biji tembakau tersebut mayoritas asam
linoleat (LA). Asam linoleat adalah kelompok dari asam lemak esensial yang disebut
asam lemak omega-6, disebut demikian karena merupakan zat makanan esensial yang
dibutuhkan oleh semua mamalia. Kelompok lain dari asam lemak esensial adalah asam
linoleat omega-3, contohnya asam alfa-linoleat.

170
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Secara fisiologis asam linoleat disebut 18:2 (n-6). Secara kimiawi asam linoleat
adalah asam lemak yang memiliki rantai karbon berjumlah 18 rantai karbon dan memiliki
2 ikatan rangkap isomer cis. Ikatan rangkap pertama terdapat pada karbon ke-6 dan
omega terakhir. Asam linoleat adalah poli asam lemak tak jenuh yang digunakan dalam
biosintesis prostaglandin. Banyak ditemukan dalam lemak dan membran sel. Asam
linoleat yang termasuk ke dalam golongan gamma-asam linoleat sangat besar manfaatnya
untuk tubuh, reaksi katalisis dilakukan oleh enzim delta-6-desaturase (D6D). Kekurangan
omega-6 akan memberikan gejala seperti rambut kering, rambut rontok dan
memperlambat penyembuhan luka.
Asam linoleat juga digunakan untuk membuat sabun, pengemulsi, dan minyak
pengering. Reduksi asam lemak tersebut menghasilkan senyawa linoleil alkohol. Asam
linoleat dikenal dalam produk industri kecantikan karena bahannya diperlukan oleh kulit.
Penelitian utama dari asam linoleat berhubungan dengan pengaruhnya pada saat tersedia
berlimpah di dalam kulit, antara lain dapat memberikan efek anti-peradangan,
mengurangi jerawat, menjaga kulit agar tetap lembab.
Minyak dan bahan makanan yang mengandung asam linoleat termasuk minyak
safflower (78%), minyak tembakau (76%), minyak biji opium (70%), minyak rami (50-
70%), minyak kacang kenari, rumput makanan sapi perah, minyak zaitun, minyak kelapa,
kuning telur (10%), spirulina, minyak kacang, okra, minyak gandum, minyak biji anggur,
minyak macademia, minyak biji kenari, dan minyak wijen.

PRODUKSI MINYAK NABATI

Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji-Bijian


Kebanyakan biji yang mengandung minyak memerlukan beberapa langkah
pembersihan dan persiapan sebelum minyak yang akan dipisahkan dari bagian padatan
biji. Keberadaan zat asing akan mengurangi jumlah rendemen hasil minyak dan protein
yang dihasilkan, meningkatkan terjadinya gesekan dan memperbesar kerusakan alat.
Serpihan, pasir, daun, beling, debu, kerikil, dan kotoran lainnya adalah komponen yang
biasa menjadi zat asing yang ditemukan pada biji-bijian seperti biji kedelai, biji bunga
matahari, biji safflower, biji kanola, dan biji kacang tanah. Perlu dilakukan beberapa
langkah pemisahan untuk membuang komponen asing ini baik dengan memakai prinsip-
prinsip kerja pemisahan berdasarkan perbedaan ukuran maupun prinsip elektromagnetik.
Setelah pembersihan selesai, kebanyakan biji yang mengandung minyak
mengalami proses dehuling, untuk mempertinggi rendemen minyak yang dihasilkan. Biji
kanola , biji tembakau dan biji safflower tidak di dehuling karena ukuran bijinya sangat
kecil sehingga sangat susah untuk dihilangkan dari alat dehuling secara efisien.
Proses selanjutnya adalah preparasi menggunakan pemanasan atau pemasakan
biji yang telah dikecilkan ukurannya. Proses ini dapat mencapai temperatur 80 sampai
dengan 105°C (176 sd 221°F) tergantung dari jenis biji yang akan diambil minyaknya.
Proses pemanasan merupakan proses final preparasi biji sebelum masuk ke proses
ekstraksi.
Untuk sumber minyak nabati yang berasal dari biji, biasanya diolah dengan
menggunakan salah satu dari metode berikut: (1) ekstraksi expeller atau tekanan berulir,
(2) ekstraksi gabungan metode press dan pelarut, dan (3) ekstraksi pelarut. Pemilihan
proses ekstraksi tergantung pada kuantitas minyak yang terkandung di dalam biji, jumlah
minyak tersisa dalam sisa bungkil biji, jumlah protein terdenaturasi dalam bungkil biji,
modal yang dimiliki (peralatan) dan hukum tentang lingkungan yang diadopsi pemerintah
setempat berkenaan dengan limbah yang dihasilkan.

171
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Ekstraksi Tekanan Berulir


Ekstraksi tekanan berulir memeras minyak dari biji dengan cara mekanis. Metode
pressing mekanis biasanya digunakan pada biji-bijian yang memiliki kandungan minyak
cukup tinggi dan dibatasi oleh keadaan biji yang mengandung minyak. Pada metode
tekanan berulir, biji yang telah mengalami perlakuan awal dipisahkan komponen minyak
mentah dengan bungkilnya. Bungkil biji biasanya mengandung minyak sisa sekitar 3
sampai 10%, diproses lebih lanjut menjadi bahan pakan ternak atau sumber protein.
Setelah pengendapan dan penyaringan, minyak mentah siap untuk dimurnikan lebih lanjut
sampai pada formulasi produk. Metode tekanan berulir kontinyu digunakan untuk
ekstraksi mekanis pada biji kedelai, kacang, kopra atau kelapa, palm kernel, serta biji-
bijian lain diberbagai belahan dunia.

Ekstraksi Gabungan Metode Press dan Pelarut


Ekstraksi gabungan metode press dan pelarut merupakan proses pengambilan
minyak pertama dilakukan dengan cara tekanan berulir, dan kemudian sisa minyak pada
bungkil diekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Selama proses pressing
pertama, uliran dilonggarkan sehingga tekanannya lebih rendah dan minyak yang
dihasilkan lebih sedikit. Minyak yang diperoleh dari proses press berulir biasanya
berkisar 15 sampai dengan 18%. Sisa minyak yang masih ada pada bungkil biji dapat
diambil dengan cara yang sama dengan ekstraksi menggunakan pelarut secara langsung.
Minyak yang dihasilkan dari proses press dan ekstraksi menggunakan pelarut biasanya
digabung terlebih dahulu sebelum dimurnikan lebih lanjut. Keuntungan metode ini adalah
kapasitas penggunaan alat tekanan berulir meningkat dan membutuhkan pelarut ekstraksi
lebih kecil (efisiensi).

Ekstraksi Pelarut secara Langsung


Ekstraksi pelarut secara langsung mengambil minyak dari biji, yang telah
dipreparasi sebelumnya, dengan menggunakan pelarut organik. Metode ini lazim
digunakan untuk mengekstrak minyak dari biji kedelai di Negara Amerika Serikat sejak
1940. Setelah biji yang mengandung minyak selesai dipreparasi dengan baik, proses
ekstraksi dapat langsung dilakukan. Teori ekstraksi sangat sederhana: mengeluarkan dan
menampung minyak dari biji yang telah dipreparasi, dengan menggunakan pelarut,
biasanya heksan. Walaupun penggunaan panas dapat mengurangi viskositas minyak dan
mempertinggi difusi minyak, tekanan uap heksan membatasi penggunaan panas pada
peralatan ekstraktor sampai kira-kira 50 sampai dengan 55°C (122 sampai dengan 131°F).
Pemisahan minyak dengan pelarut dapat dilakukan dengan metode distilasi konvensional.
Campuran minyak dan pelarut didistilasi untuk memisahkan minyak dari pelarut, pelarut
akan menguap terlebih dahulu dan ditampung pada bagian penampung. Pelarut yang
diperoleh kembali dapat didinginkan, disaring sebelum disimpan atau digunakan kembali
untuk ekstraksi pelarut lanjutan.

PEMURNIAN MINYAK BIJI TEMBAKAU

Setelah tahap pemisahan minyak biji tembakau selesai dilakukan, tahap berikutnya
adalah pemurnian minyak biji tembakau. Mengadopsi cara Sobstad (1990) dalam proses
pemurnian minyak ikan, maka dapat diterapkan juga untuk minyak biji tembakau. Karena
keduanya identik, sama-sama minyak dengan asam lemak rantai panjang (18C) dan juga
sama-sama memiliki ikatan rangkap cis pada ratai karbonnya. Yang berbeda hanya asal
dan metode ekatraksinya saja. Terdapat 5 tahap untuk pemurnian minyak biji tembakau,
yaitu:

172
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Saponifikasi (penyabunan)
Proses pemurnian minyak biji tembakau pada umumnya diawali dengan penambahan
larutan alkali encer (misalnya, larutan NaOH). Proses ini disebut juga proses penyabunan.
Tujuan dari penambahan larutan alkali encer adalah untuk menetralisir dan
menghilangkan asam-asam bebas lemak. Proses penyabunan tersebut akan menyebabkan
komponen asam menyatu dengan fase air.

Pemucatan (bleaching)
Setelah tahap penyabunan selesai, tahap berikutnya adalah pemucatan (bleaching) yang
pada umumnya dilakukan dengan menambahkan bentonit pada minyak dalam kondisi
panas atau dingin. Penambahan bentonit dapat mengurangi warna dan bau minyak biji
tembakau, mereduksi bilangan peroksida dan bilangan asam serta meningkatkan bilangan
penyabunan.

Penyaringan
Penyaringan dilakukan dengan menggunakan tekanan untuk memisahkan bentonit yang
mengandung pengotor reaktif, seperti komponen warna.

Deodorisasi (penghilangan bau)


Tahap akhir dari proses pemurnian minyak biji tembakau adalah proses deodorisasi yang
merupakan tahapan penting dalam proses pemurnian minyak biji tembakau. Sejumlah
kecil komponen yang mudah menguap (volatil) yang terdapat dalam minyak biji
tembakau dihilangkan melalui proses penyulingan uap. Komponen-komponen tersebut
erat kaitannya dengan masalah bau dan rasa dari minyak biji tembakau.

Penyimpanan
Minyak biji tembakau yang telah dimurnikan hendaknya disimpan dalam wadah
yang bersih dan tertutup, sebab minyak ikan dapat mengalami kerusakan sebagai akibat
dari perubahan oksidatif. Pertumbuhan mikroorganisme selama masa penyimpanan dapat
merusak mutu minyak biji tembakau. Oleh karena itu tingkat kebersihan selama proses
penyimpanan berlangsung merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya karena
perkembangan teknologi yang semakin kompleks, tetapi juga karena kapasitas wadah
penampungan yang digunakan lebih besar.

ANALISA KUALITAS MINYAK BIJI TEMBAKAU

Untuk dapat mengetahui kualitas minyak biji tembakau hasil pemurnian, maka
perlu dilakukan perbandingan antara karakteristik minyak biji tembakau sebelum dan
sesudah pemurnian. Beberapa karakteristik yang sering dijadikan dasar dalam penentuan
kualitas minyak biji tembakau adalah bilangan penyabunan, bilangan peroksida, bilangan
asam, dan bilangan yodium. Penentuan karakteristik tersebut dapat dilakukan sebagai
berikut:

Bilangan Penyabunan
Bilangan penyabunan didefinisikan sebagai jumlah mg kalium hidroksida yang
dibutuhkan untuk mengikat asam bebas dan untuk menyabunkan ester dari 1 gram
senyawa (Woodman dan Snell et al. dalam Sudarmadji, 1984). Penentuan bilangan
penyabunan dilakukan sebagai berikut: Timbang sebanyak 5 gram contoh ke dalam
erlenmeyer 200 ml, lalu tambahkan 50 ml KOH yang dibuat dari 40 gram KOH dalam 1
liter alkohol. Setelah itu ditutup dengan pendingin balik. Didihkan dengan hati-hati
selama 30 menit. Selanjutnya dinginkan dan tambah beberapa tetes indikator

173
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

phenopthalein. Titrasi kelebihan larutan KOH dengan larutan standar 0,5 N HC1.
Dilakukan pengerjaan blanko.
Bilangan penyabunan =

Bilangan Peroksida
Bilangan peroksida didefinisikan sebagai jumlah peroksida dalam miliekuivalen oksigen
aktif yang dikandung dalam 1000 gram senyawa (metode AOAC dalam Sudarmadji,
1984). Penentuan bilangan peroksida dilakukan sebagai berikut: Sebanyak 5 gram contoh
konsentrat dalam erlenmeyer 250 ml ditambah dengan 30 ml pelarut yang terdiri dari 60
% asam asetat glasial dan 40 % kloroform dan dikocok sampai semua minyak larut.
Tambahkan 0,5 ml KI jenuh (sebagai katalisator reaksi) dan didiamkan selama 2 menit
pada ruang gelap dengan sesekali dikocok. Larutan ditambah 30 ml aquades. Kelebihan
iod dititrasi dengan sodium tiosulfat 0,01 N. Dilakukan pengerjaan blanko.
Bilangan peroksida =

Bilangan Asam
Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk
netralisasi asam bebas yang terdapat dalam 1 gram senyawa (Woodman dan Snell et al
dalam Sudarmadji, 1984). Penentuan bilangan penyabunan dilakukan sebagai berikut:
Timbang 20 gram contoh, lalu tambah dengan 50 ml etanol 95% (untuk melarutkan
lemak). Panaskan sampai mendidih sambil diaduk. Larutan ini dititrasi dengan KOH 0,1
N dengan indikator phenolpthalein sampai terbentuk warna merah muda.
Bilangan asam =

Bilangan Yodium
Bilangan yodium didefinisikan sebagai bilangan yang menunjukkan tingkat
ketidakjenuhan dari minyak ikan tersebut (Woodman dan Snell et al. dalam Sudarmadji,
1984). Penentuan bilangan yodium dilakukan sebagai berikut: Timbang minyak biji
tembakau sebanyak 0,5 gram dalam erlenmeyer bertutup. Tambah 10 ml kloroform atau
karbon tetraklorida dan 25 ml reagen yodium - bromida. Biarkan di ruang gelap selama
30 menit sambil sesekali dikocok. Kemudian tambahkan 10 ml larutan KI 15% dan
aquades 100 ml yang telah didihkan, dan segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,l N
sampai larutan berwarna kuning pucat. Tambahkan 2 ml larutan pati. Titrasi sampai
warna biru hilang. Dilakukan pengerjaan blanko.
Bilangan yodium =

Bau dan Warna


Masalah bau dan warna merupakan bagian yang cukup penting karena menyangkut
penampakan minyak biji tembakau. Perubahan bau dan warna minyak biji tembakau
dapat diamati setelah penambahan bentonit dalam proses pemucatan (bleaching).

METODE ISOLASI ASAM LEMAK OMEGA-6

Minyak biji tembakau yang akan diisolasi untuk mendapatkan asam lemak omega-
6 adalah minyak biji tembakau yang telah melalui proses pemisahan dan pemurnian
seperti di atas. Berikut ini akan diuraikan salah satu metode isolasi asam lemak omega-6
yang biasa digunakan, yaitu metode Medina et al. (1995) yang biasa digunakan untuk
asam lemak omega-3. Prosedur isolasinya dibagi atas 2 tahap, yaitu:

174
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Saponifikasi minyak biji tembakau


Sebanyak 350 gram minyak biji tembakau hasil pemurnian disaponifikasi dengan 700
gram larutan NaOH dalam alkohol encer (120 gram NaOH dan 1,25 gram Ethylene
Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) dilarutkan dalam 400 ml aquades dan 400 ml etanol
96%). Saponifikasi dilakukan pada temperatur kamar selama 8 jam dengan pengadukan
secara konstan sambil dialiri gas nitrogen. Hasil saponifikasi tersebut ditambahkan
dengan larutan HC1 6N sampai pH larutan mencapai 1. Setelah pH 1 tercapai, lalu
ditambahkan n-heksan sebanyak 200 ml (beberapa kali). Campuran diuapkan dengan
rotavapor pada temperatur 30°C.

Fraksinasi dengan urea


Sebanyak 25 gram asam lemak hasil saponifikasi di atas ditambahkan ke dalam 100 ml
larutan urea panas (65 -70°C) (rasio urea/asam lemak sebesar 4:1) dan 267 ml metanol.
Campuran diaduk sampai jernih. Urea dan senyawa kompleks urea dibiarkan semalam
sampai mengkristal pada temperatur antara -36°C sampai 36°C. Setelah dilakukan
penyaringan, fase cair dievaporasi vakum pada temperatur kamar. Konsentrat kemudian
ditambahkan dengan HC1 0,1 N sebanyak 125 ml dan n-heksan sebanyak 125 ml.
Kemudian lapisan heksan dipisahkan. Lapisan bagian bawah diekstraksi kembali dengan
50 ml n-heksan. Campuran fase heksan dievaporasi vakum pada temperatur kamar.
Konsentrat yang diperoleh ditambahkan dengan octyl gallate sebagai penstabil.
Konsentrat yang diperoleh merupakan konsentrat asam lemak omega-6. Konsentrat
disimpan dalam wadah tertutup pada temperatur -20°C.

KELAYAKAN MINYAK NABATI DARI BIJI TEMBAKAU

Nilai nutrisi minyak biji tembakau lebih baik jika dibandingkan dengan minyak
kacang tanah, minyak biji kapas dan minyak sawit. Bahkan nilai nutrisinya sebanding
dengan minyak dari safflower. Minyak tembakau yang telah dimurnikan sudah digunakan
sebagai bahan pangan di beberapa Negara Eropa (Talaqani et al., 1986).
Tabel 1: Perbandingan nilai bilangan yodium minyak biji tembakau
Jenis Minyak Nilai Bilangan Yodium
Minyak Goreng (Sawit) 45-46
Biji Tembakau 135-147
Minyak Kedelai 120-135

Persentase asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi (nilai bilangan yodium),
menandakan minyak tembakau memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang sangat
tinggi. Sehingga minyak biji tembakau memiliki potensi yang sangat baik untuk
kebutuhan minyak pangan. Dari beberapa laporan penelitian menyatakan bahwa minyak
dengan kandungan asam lemak tak jenuh baik untuk kesehatan (jantung), karena mampu
menurunkan kandungan Low Density Lipoprotein (LDL) (Silalahi dan Nurbaya, 2011).
Selain itu asam lemak tak jenuh juga berperan sebagai antioksidan, karena efek dari
ikatan tak jenuh menjadikan asam lemak lebih reaktif. Akantetapi untuk digunakan
sebagai bahan minyak pangan, minyak biji tembakau mentah hasil ekstraksi harus melalui
beberapa tahapan pemurnian lebih lanjut.
Komposisi asam lemak dari minyak biji tembakau adalah asam linoleat 70.6%,
asam oleat 17.1%, asam palmitat 7.9%, asam stearat 3.1% dan asam lemak lainnya
(Gofur et al., 1993). Karakterisasi kimia dari minyak biji tembakau sangat penting untuk

175
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

diketahui jika minyak yang dihasilkan akan digunakan sebagai produk alternatif, sebagai
bahan minyak nabati.
Tabel 2: Komposisi asam lemak dari minyak biji beberapa jenis tembakau
Biji C16:0 C16:1 C17:0 C18:0 C18:1 C18:1 C18:2 C18:3 C20:0 C22:0
Tembakau 9.5 0.1 0.1 2.8 10.6 0.6 74.9 1.1 0.2 0.1
Kentucky 104
Tembakau 9.2 0.1 0.1 2.5 9.5 0.8 76.1 1.4 0.2 0.1
Bright Italia
Tembakau 8.9 0.1 0.1 2.6 11.1 0.7 75.1 1.1 0.2 0.1
Bright V
Tembakau 8- 75-
- - 2-3 11-12 - - - -
(Tondelli) 10 77
Biji Grape 7.7 0.2 - 3.8 14.0 0.6 73.1 0.4 0.2 -
Biji Safflower 7.5 - - 2.8 12.0 0.8 76.1 - - -
Sumber: Frega et al., 1991 dan Tondelli et al., 2009

Penggunaan asam lemak omega-3 dan omega-6 sebaiknya dilakukan bersama-


sama dengan menggunakan rasio ideal sekitar 5-10:1 untuk manfaat kesehatan yang
optimal (Singh, 2005). Kekurangan atau kelebihan asam lemak tersebut dilaporkan dapat
menyebabkan peradangan jantung dan penyakit yang berhubungan dengan pembuluh
darah lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Frega, N., Bocci, F.,Conte, L.S., Testa, F., 1991, Chemical Composition of
Tobacco Seeds (Nicotiana tabacum L.), JAOCS, 68: 29-33

Gofur, M.A., Rahman, M.S., Ahmed, G.M., Hossain, A, Haque, M.E., 1993,
Studies on the Characterisation and Glyceride Composition of Tobacco (Nicotiana
tabacum L.) Seed Oil, Bangladesh J. Sci. Ind. Res. 28: 25-31.

Medina, A. R., A. G. Gimenez, F. G. Camacho, J.A. S. Perez, E. M. Grima, and


A.C. Gomez. 1995. Concentration and Purification of Stearidonic,
Eicosapentaenoic, and Docosahexaenoic Acids from Cod Liver Oil and the Marine
Microalga Isochrysis galbana. J. of the American Oil Chem. Soc. 72 (5): 575 -583

Sobstad, G. 1990. Marine oils: The Technology of Separation and Purification of


Marine Oils In : Edible Fats and Oils Processing (D.P. Erickson, ed.). American
Oil Chemists's Society Champaign. Illionis, 37-42

Silalahi J, Nurbaya S. 2011. Komposisi, Distribusi dan Sifat Aterogenik Asam


Lemak dalam Minyak Kelapa dan Kelapa Sawit. J Indon Med Assoc, Volum: 61,
Nomor: 11, November 2011.

176
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Edisi Ketiga. Liberty. Yogyakarta, 138 hal.

Talaqani, T.E., Shafik, J., Mustafa, F.K., 1986, Fatty Acids Composition of the
Seed Oil of Certain Tobacco Varieties Cultivated in Northern Iraq, Indian J. Agric.
Chem. 19: 147-154.

Tondelli et al., 2009. Oil Production of Plantechno tobacco. Source: “I costi di


generazione da fonti rinnovabili” Universita’ degli studi di Padova for APER -
2007

177
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

“INOTEK PINTAR” INOVASI TEKNOLOGI


PENGOLAHAN AIR LAUT MENJADI AIR SULING
SIAP MINUM, KRISTAL GARAM,
SERTA MINERAL BITTERN BERBASIS MEMBRAN
FILTRASI DAN ENERGI SURYA
Ibadur Rohman, Ilham Defriono, Ach. Fawaid A., Universitas Trunojoyo Madura,
Email: ibadurspasirohman@gmail.com

ABSTRAK

Garam, air suling dan bittern merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Akan tetapi, kebutuhan tersebut masih belum terpenuhi oleh masyarakat Indonesia
termasuk di Madura. Karena pada kenyataannya produksi garam Madura masih belum mampu
memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Begitu juga dengan bittern yang selama ini masih
dianggap limbah, padahal kandungan mineral pada bittern berkhasiat bagi kesehatan, inilah yang
menyebabkan produk mineral bittern yang ada dipasaran lebih didominasi oleh produk impor.
Keadaan tersebut semakin diperparah dengan sulitnya masyarakat pesisir Madura dalam
memenuhi kebutuhan air tawar ketika musim kemarau datang. Oleh karena itu, diperlukan adanya
teknologi tepat guna sebagai upaya menjawab permasalahan yang ada di masyarakat yaitu dengan
mengimplementasikan “Inotek Pintar” yang bertujuan dapat mengolah air laut menjadi air suling,
kristal garam, serta bittern. Teknologi yang multi fungsi dan ramah lingkungan ini menggunakan
metode destilasi surya yang terdiri dari beberapa bagian yaitu: Atap penutup terbuat dari kaca pada
bagian atas. Wadah penjemuran pada bagian bawah, dilengkapi membran filtrasi pemisah kristal
garam dengan bittern pada bagian dalam, dan ditutupi kayu berlapis sterofoam sebagai casing pada
bagian luar, serta gelas penampung hasil output air suling pada bagian samping. Penggunaan
metode ini bermaksud untuk memaksimalkan energi panas matahari yang sustainable di Madura.

Kata kunci: destilasi, inotek pintar, multi fungsi dan ramah lingkungan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Garam, air suling siap minum dan mineral bittern merupakan kebutuhan yang
sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, kebutuhan tersebut masih belum
terpenuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk di pulau Madura yang
terkenal sebagai pulau garam. Karena pada kenyataannya produksi garam Madura masih
belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri, sehingga Indonesia harus
mengimpor dari negara luar (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010). Begitu juga
dengan bittern yang selama ini masih dianggap limbah oleh petani garam Madura.
Padahal, setelah diuji oleh Hapsari (2008), kandungan mineral pada bittern sangat
berkhasiat bagi kesehatan tubuh manusia. Inilah yang menyebabkan produk mineral
bittern yang ada dipasaran lebih didominasi oleh produk impor, sementara produk lokal
jarang ditemukan. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan sulitnya masyarakat
pesisir Madura dalam memenuhi kebutuhan air tawar ketika musim kemarau datang
(Observasi Lapangan, 2013). Permasalahan tersebut sangatlah tidak wajar bagi negara
Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki pantai terpanjang nomor dua di dunia.
Oleh karena itu, diperlukan adanya teknologi tepat guna sebagai upaya untuk menjawab
permasalahan yang ada di masyarakat pesisir Madura yaitu dengan mengimplementasikan
teknologi “Inotek Pintar” Inovasi Teknologi Pengolahan Air Laut Menjadi Air Suling
Siap Minum, Kristal Garam, Serta Mineral Bittern Berbasis Membran Filtrasi dan Energi

178
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Surya yang murah, melimpah dan sustainable di Madura yang memiliki manfaat jangka
panjang, multi fungsi, ramah lingkungan dan juga bernilai ekonomis.
Luaran Yang Diharapkan
a. Prototipe “Inotek Pintar” yang dapat digunakan untuk mengolah air laut menjadi
air suling siap minum, kristal garam, serta mineral bittern yang akan diaplikasikan
kepada masyarakat pesisir Madura.
b. Publikasi Ilmiah dan draft paten (HKI).

Manfaat
a. Dapat meningkatkan jumlah produksi garam dalam negeri, sebagai solusi dari
permasalahan kurangnya produksi garam di Indonesia saat ini.
b. Mampu memproduksi air tawar dari air laut, bahkan tidak perlu khawatir kehabisan
persediaan air minum ketika musim kemarau datang.
c. Mampu memproduksi mineral bittern yang selama ini masih dianggap limbah oleh
petani garam di Madura.
d. Dalam jangka panjang teknologi “Inotek Pintar” mampu meningkatkan pendapatan
perekonomian masyarakat pesisir Madura dikarenakan hasil produksi teknologi
yang dihasilkan dapat dijual dipasaran.

179
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lingkungan dan Potensi Sumberdaya Alam di Madura


Pulau Madura terkenal dengan sebutan pulau garam karena sebagian besar
masyarakat pesisirnya bekerja sebagai petani garam (KKP, 2010). Hasil observasi
lapangan tim penulis tahun 2013, petani tambak garam di Madura dalam memproduksi
garam masih mengandalkan energi matahari sebagai energi utama dalam proses
penjemuran. Hal ini sangatlah wajar dikarenakan Indonesia merupakan negara tropis dan
melimpahnya energi panas matahari di Indonesia termasuk di pulau Madura merupakan
keunggulan yang sangat luar biasa, karena penggunaan energi surya yang murah,
melimpah dan sustainable maka Indonesia tidak perlu impor dari negara luar (Hasyim,
2006). Namun kekurangannya dalam proses produksi garam menggunakan energi surya
akan gagal jika terjadi hujan. Berkenaan hal tersebut, desain rancangan teknologi Inotek
Pintar dirancang sedemikian rupa agar pada saat proses pengkristalan garam tidak perlu
lagi khawatir jika terjadi hujan dan proses penjemuran masih bisa dilanjutkan sampai
proses pengkristalan garam selesai.
Teknologi “Inotek Pintar” ini mempunyai peluang usaha yang cukup tinggi di
Indonesia terutama di pesisir Madura. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan
diantaranya: (1) Ketersediaan bahan baku air laut yang mudah diperoleh. (2) Memiliki
suhu panas yang lebih tinggi dari pada daerah lain. (3) Mampu memproduksi air suling
siap minum, kristal garm, dan bittern yang bisa dijual.
Pengolahan Air Laut Menjadi Air Suling Siap Minum
Menurut Cammack (2006), destilasi merupakan istilah lain dari penyulingan.
Teknologi destilasi air untuk mendapatkan air tawar dari air laut intinya adalah
menguapkan air laut dengan cara dipanaskan, yang kemudian uap air tersebut
diembunkan sehingga didapatkan air tawar yang sudah layak konsumsi. Sumber panas
dapat berasal dari energi yang beragam yaitu: minyak, gas, listrik, matahari, dan lainnya
(Abdullah, 2005) dalam (Astawa, dkk. 2011).

Pemisahan Antara Garam dan Bittern Menggunakan Membran Filtrasi


Membran didefinisikan sebagai lapisan tipis semi permiabel yang berfungsi
sebagai alat pemisah berdasarkan sifat fisiknya. Dibandingkan dengan teknologi lain,
membran menawarkan keunggulan seperti pemakaian energi yang rendah, sederhana dan
ramah lingkungan karena tanpa menggunakan bahan kimia (Hartomo,1994). Bersarkan
penelitian diatas penulis akan memanfaatkan membran filtrasi untuk memanipulasi proses
peminihan pada tanah tambak garam tradisional untuk memisahkan antara larutan garam
dengan bittern. Peminihan adalah proses saat penyerapan tanah tambak garam pada air
laut ketika dalam proses pengkristalan garam (Purbani, 2006). Sehingga proses
pengkristalan garam akan lebih sempurna dan pada akhirnya kualitas garam yang
dihasilkan pun akan lebih berkualitas.
Kurangnya Penelitian Khasiat Bittern di Indonesia
Penelitian khasiat bittern di Indonesia baik dalam membantu atau mengatasi
penyakit masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan produk mineral yang ada di pasaran
lebih didominasi oleh produk impor, sementara produk lokal jarang ditemukan. Setelah
ditelaah lebih lanjut ternyata pada proses pembuatan garam selain menghasilkan garam
juga dapat menghasilkan bittern. Bittern adalah cairan pekat yang diperoleh dari sisa
kristalisasi proses pembuatan garam. Mineral yang terkandung dalam bittern yaitu: Mg,
Na, K dan Ca. Ke-empat mineral ini merupakan mineral yang sangat dibutuhkan untuk
kesehatan tubuh manusia dan dapat dipakai sebagai suplemen mineral ionic untuk
kesehatan (Hapsari, 2008).

180
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Alat Yang Sudah Pernah Dibuat


Teknologi yang sudah pernah dibuat yaitu alat pemisah garam dan air tawar yang
diciptakan oleh mahasiswa IPB Bogor. Secara kualitas air tawar yang dihasilkan sudah
layak konsumsi dan mampu memenuhi kebutuhan air minum. Namun, kelemahannya
secara kualitas garam yang dihasilkan masih rendah.

Gambar 1. Alat Pemisah Garam dan Air Tawar dengan Menggunakan Energi
Matahari (Hidayat, 2011).
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis berkeinginan dapat mengembangkan lagi
alat yang sudah pernah dibuat dengan alat yang baru yaitu “Inotek Pintar” yang memiliki
keunggulan dapat menghasilkan tiga manfaat sekaligus diantaranya: menghasilkan air
suling siap minum, kristal garam yang lebih berkualitas serta mineral bittern dari air laut.
Desain gambar teknologi Inotek Pintar ini dapat dilihat pada (Gambar 8) yang
menjabarkan gambaran teknologi yang hendak diterapkembangkan di masyarakat pesisir
Madura.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian


Kegiatan ini berlangsung selama 5 bulan yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu
perancangan, perakitan, dan pengujian. Proses perancangan dan perakitan bertempat di
Laboratorium Sistem Manufaktur (SISMAN) Teknik Industri Universitas Trunojoyo
Madura (UTM), dengan sampel air laut diambil dari Kab. Sumenep. Pengujian produk
hasil kinerja alat destilasi bertempat di Laboratorium Ilmu Kelautan (IKL) (UTM).
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam proses perakitan “Inotek Pintar” meliputi: gergaji
kayu, palu, bor listrik, mesin gerinda, obeng, roll meter, amplas, kikir, kuas, penggaris
siku, mesin serut dan pemotong kaca.
Alat-alat yang digunakan untuk pengujian in-situ “Inotek Pintar” meliputi:
termometer raksa, gelas ukur, lembar data, pensil, dan stopwatch.
Alat-alat yang digunakan untuk pengujian ex-situ “Inotek Pintar” di laboratorium
meliputi: refraktometer, pH meter, erlenmeyer, desikator, , kertas saringt, oven, dan
timbangan digital.
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan meliputi: kayu, paku, lem
kayu, lem G, pipa PVC, fiber, sterofoam, membran filter, alumunium, bingkai
alumunium, kaca transparan, engsel pintu, baut, keran, selang plastik. Bahan uji coba
menggunakan sampel air laut yang diambil dari Sumenep karena kualitas air lautnya lebih
baik.
Tahapan Pengerjaan Teknologi “Inotek Pintar”

181
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Pengerjaan pembuatan teknologi ini dilakukan di Laboratorium Sistem Manufaktur


yang disusun ke dalam beberapa tahap yang mencakup perencanaan dan pola pelaksanaan
kerja meliputi: persiapan, perumusan masalah, perancangan model, pengujian model,
perancangan perangkat, perakitan perangkat.
Perancangan model meliputi pembuatan desain dan pemilihan bahan yang akan
digunakan dalam perakitan. Pemilihan bahan-bahan yang digunakan adalah bahan yang
tidak mudah korosif.
Penyatuan perangkat mencakup pembuatan atap ruang evaporasi, pembuatan
wadah penjemuran, pembuatan membran filtrasi, dan pembuatan saluran output air suling
dan bittern. Selanjutnya dilakukan ujicoba, ujicoba mencangkup pengukuran parameter
yang mempengaruhi kinerja teknologi “Inotek Pintar”

Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Pengerjaan Teknologi “Inotek Pintar”


Proses Pengambilan Data
Proses pengambilan data dilakukan dengan cara menjemur sampel air laut ke
dalam wadah penjemuran “Inotek Pintar” hingga semua air tersebut menguap.
Pengambilan data suhu dan volume dilakukan dari pukul 09.00-15.00 WIB. Ujicoba
dilakukan pada pukul tersebut karena panas matahari dalam keadaan maksimal.
Variabel yang diukur mencakup suhu lingkungan, suhu ruang dan suhu air laut di
dalam “Inotek Pintar” (ruang evaporasi), volume air laut, jumlah garam, jumlah air suling
serta bittern yang dihasilkan.
Analisis Hasil
Analisis hasil dilakukan di Laboraturium (IKL), meliputi pengukuran salinitas, pH,
TSS, dan bobot kering garam. Salinitas diukur menggunakan refraktometer sedangkan pH
diukur menggunakan pH meter digital. Penentuan TSS digunakan metode gravimetri
langkah-langkah proses sebagai berikut:
a. Menyiapkan kertas saring dan cawan penguapan dipanaskan dengan suhu 105 0C
selama 1 jam. Kemudian diambil dan didinginkan ke dalam desikator selama ± 5
menit lalu ditimbang untuk mengetahui beratnya (berat kering).
182
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

b. Mengukur sempel air laut dan sempel air hasil sebanyak 200 ml.
c. Menyaring sampel dengan kertas saring yang sudah diketahui beratnya.
d. Masukkan ke dalam oven dengan suhu 105 0C selama 1 jam, kemudian dinginkan
dalam desikator selama ± 15 menit lalu.
e. Timbang untuk mengetahui beratnya (berat basah).
f. TSS dihitung dengan menggunakan rumus :
TSS = [ (berat basah – berat kering) / volume sampel ] x 1000.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penyelesaian Perakitan Prototipe “Inotek Pintar”

Gambar 3. “Inotek Pintar” Bagian Atas

Gambar 4. Wadah Penjemuran dan Gelas Penampung.

Gambar 5. Membran Filtrasi

183
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 6. “Inotek Pintar” Tampak dari Samping Kiri.

Gambar 7. “Inotek Pintar” Tampak dari Samping Kanan

Atas Depan

Kiri Kanan
Gambar 8. “Inotek Pintar” dari Beberapa Pandangan.

Gambar 9. Perakitan Prototipe “Inotek Pintar”

184
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 10. Hasil Rakitan Prototipe “Inotek Pintar” dari Beberapa Pandangan.

Prototipe “Inotek Pintar” dengan jumlah volume kapasitas 1600 ml air laut ini
merupakan alat dengan prinsip evaporasi yang terdiri dari beberapa bagian yaitu atap
penutup menggunakan prinsip efek rumah kaca pada bagian paling atas, wadah
penjemuran pada bagian bawah dan gelas penampung hasil output uap air H2O pada
bagian samping.
Atap penutup sebagai ruang evaporasi ini menggunakan prinsip efek rumah kaca
(gambar 3), yang terbuat dari kaca transparan, penggunaan kaca transparan dipilih
sebagai penutup dikarenakan kaca memiliki sifat kaku, tahan terhadap panas matahari,
memiliki daya tembus yang baik serta merupakan bahan yang baik untuk mengalirnya air.
Wadah penjemuran (gambar 4), terbuat dari bak berbentuk kotak berwarna hitam
terbuat dari fiber yang didalamnya dilengkapi membran filtrasi untuk menyaring dan
memisahkan kristal garam dari endapan cairan bittern (Gambar 5). Membran filtrasi ini
bermaksud untuk memanipulasi proses peminihan penyerapan cairan bittern pada tanah
tambak garam tradisional. Penggunaan bak fiber ditujukan untuk menghindari korosi
yang disebabkan oleh air laut, sedangkan warna hitam bertujuan agar meningkatkan
kemampuan bak penjemuran dalam menyerap panas. Jadi selain sebagai wadah
penjemuran air laut, bak tersebut juga berperan sebagai penyerap panas. Untuk
memperkokoh dan mengurangi kehilangan energi panas ke lingkungan maka disisi luar
dilapisi kayu yang didalamnya sudah dilapisi sterofoam sebagai casing.
Bagian dalam bak terdapat ruang penampung uap air H2O, yang dilengkapi saluran
air hasil penguapan yang terbuat dari pipa PVC yang dipotong menjadi ½ lingkaran agar
uap air laut (H20) dapat keluar. Pada bagian wadah paling bawah terdapat semacam kran
aliran air yang dapat dibuka dan ditutup, bertujuan agar bisa mengeluarkan air bittern
pada wadah bagian paling bawah (Gambar 6). Gelas penampung hasil output uap air (air
suling) terbuat dari plastik yang dapat dibongkar pasang pada wadah penjemuran untuk
mengantisipasi ketika air penuh, sehingga dapat diganti dengan gelas yang baru.

asil Pengujian Kinerja “Inotek Pintar”


Paremeter suhu yang diukur pada pengujian kinerja “Inotek Pintar” meliputi suhu
lingkungan, suhu ruang dan suhu air laut. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan
mempengaruhi produktivitas suatu alat destilasi air laut. Suhu lingkungan yang diukur
sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, kelembaban relatif udara, dan wilayah atau
kondisi geografis yang bersifat relatif dan tidak dapat dikendalikan (Hidayat, 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai suhu yang berubah-ubah tiap harinya
tergantung pada besarnya intensitas matahari yang diterima. Suhu lingkungan yang
diperoleh dari hasil pengujian selama empat hari berkisar antara 30-42 0C. Pada
pengamatan ini diperoleh suhu ruang evaporasi pada kisaran 34-57 0C. Suhu air laut
kurang berpengaruh langsung terhadap suhu lingkungan, hal ini disebabkan karena air
merupakan penyimpan panas yang baik. Suhu air tidak langsung turun apabila suhu
185
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

lingkungan turun. Suhu air laut yang diperoleh di pengamatan ini berkisar antara 42-64
0
C (Gambar 11).

Gambar 11. Grafik Suhu Hasil Pengukuran Selama Empat Hari


Suhu dalam ruangan evaporasi lebih tinggi dari suhu lingkungan disebabkan karena
suatu fenomena yang sering disebut sebagai green house effect (efek rumah kaca.
Air Suling yang Dihasilkan “Inotek Pintar”
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama empat hari, diperoleh air suling
dalam 1 kali produksi sebanyak 410 ml dari 1600 ml air laut. Air suling yang dihasilkan
disini merupakan uap dari air laut yang ditahan oleh kaca untuk kemudian dialirkan
melalui pipa menuju gelas penampung air suling.

Gambar 12. Kuantitas Air Suling Yang Dihasilkan


Setelah melalui proses destilasi, pH mengalami penurunan dari 8 menjadi 6,5. Nilai
TSS juga mengalami penurunan dari 0,3 (air laut) menjadi 0,1 (air suling). Untuk
parameter yang diuji, air suling hasil destilasi sudah memenuhi standar untuk dapat
dikonsumsi (Cammack, 2006).
Penguapan air laut terjadi pada suhu di bawah 100 0C padahal secara teori air akan
mendidih pada suhu 100 0C pada keadan normal (1atm). Hal ini disebabkan karena ruang
evaporasi memiliki suhu yang tinggi akibat adanya efek rumah kaca yang ditimbulkan,
186
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

dengan adanya kondensasi pada bagian atap penutup yang memiliki suhu lebih rendah
dari ruang evaporasi, maka terjadi pengembunan sehingga menyebabkan suhu evaporasi
tersebut berada di bawah titik uap air secara normal (Hidayat, 2011).
Selama proses penjemuran terdapat lapisan kristal garam di permukaan wadah
penjemuran serta didapatkan pula sisa kristalisasi proses pembuatan garam yang tidak
ikut mengkristal (mineral bittern).
Kualitas Garam yang Dihasilkan “Inotek Pintar”
Hasil pengujian selama empat hari diperoleh jumlah garam kurang dari 30 gr dari
1600 ml air laut (tua) salinitas 24 0Be. Kandungan garam yang dihasilkan dari alat ini
secara fisik tergolong bersih dan bening. Sehingga tidak perlu dilakukan proses lebih
lanjut seperti pencucian.

Gambar 13. Kuantitas Garam yang Dihasilkan

Bittern yang Dihasilkan “Inotek Pintar”


Hasil pengujian selama empat hari diperoleh jumlah bittern 0,2 ml yang mana
cairan bittern merupakan cairan sisa dari hasil kristalisasi garam yang tidak ikut
mengkristal, warna bittern yang didapat yaitu agak kecoklatan.

Gambar 14. Kuantitas Bittern yang Dihasilkan

187
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Desain rancangan teknologi “Inotek Pintar” yang multi fungsi dan ramah
lingkungan ini cukup baik untuk memproduksi garam, air suling dan bittern karena
dengan alat ini produksi garam dapat dilakukan sepanjang tahun, tidak hanya pada musim
kemarau saja. Jika dibandingkan dengan produksi garam dengan cara tradisional yang
akan gagal apabila pada saat penjemuran terjadi hujan, sedangkan dengan teknologi
“Inotek Pintar” produksi garam masih dapat dilanjutkan sampai penjemuran selesai.
Teknologi yang multi fungsi dan ramah lingkungan ini memiliki nilai tambah yaitu
mampu memproduksi garam yang lebih berkualitas dibandingkan alat yang sudah pernah
dibuat sebelumnya, dikarenakan teknologi “Inotek Pintar” dilengkapi dengan membran
filter manipulasi proses peminihan pada tanah tambak garam tradisional, sehingga proses
pengkristalan lebih sempurna, serta teknologi ini juga mampu menghasilkan cairan bittern
sisa proses pengkristalan garam. Harapan penulis merancang teknologi “Inotek Pintar” ini
ke depan yaitu mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat pesisir serta
mampu meningkatkan pendapatan perekonomian dan mensejahterakan masyarakat pesisir
Madura.
Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kandungan mineral yang ada pada
bittern karena masih terbatasnya penelitian tentang khasiat bittern di Indonesia baik
dalam membantu atau mengatasi penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, K., M. Sucipta, dan I. P. G. A. Negara. 2011. Analisa Performansi


Destilasi Air Laut Tenaga Surya Menggunakan Penyerap Radiasi Surya Tipe
Bergelombang Berbahan Dasar Beton. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Universitas
Udayana Vol.5 No.1. (7-13).
Cammack, R. 2006. Oxford Dictionary of Biochemistry and Molecular Biology.
Oxford University Press. New York. 720 h.
Fathoni, Mahmudi dan Hasri. 2011. Teknologi Pengolahan Garam Sederhana
Dalam Memperbaiki Perekonomian Petani Garam. Laporan PKMT Jurusan Ilmu
Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Bangkalan.
Hapsari, Nur. 2008. Pengambilan Mineral Elektrolit dari Limbah Garam (Bittern) untuk
Suplemen Mineral Ionic Pada Air Minum. Jurnal Teknik Kimia Jurusan Kimia
Fakultas Teknologi Industri UPN Vol.2, No2.
Hartomo, A . J dan Widiatmoko, M.C, (1994) “ Teknologi Membran Untuk
Pemurnian Air”, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Hasyim, I. 2006. Siklus krisis di sekitar energi. Proklamasi Pub. House. Michigan.
170 h.
Hidayat, R. R. 2011. Rancang Bangun Alat Pemisah Garam dan Air Tawar
Dengan Menggunakan Energi Matahari. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 h.
Ihsanuddin. 2011. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Guna Pencapaian
Swasembada Garam. Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
Madura.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Program Swasembada Garam

188
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Garam Nasional. Hotel


Sultan Jakarta. 18 Mei 2010.
Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar klimatologi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
175 h.
Purbani, Dini. 2006. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Pusat Riset
Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Pati. Pati.

189
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN


INDUSTRI JAMU MADURA
Abdul Azis Jakfar
Jurusan Manajemen Industri Fak. Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura
Email: azis_madura@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan dari penyusunan karya tulis ini adalah: 1. Memetakan produksi, pemasaran dan
kemitraan jamu di Madura; 2. Merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan jamu di Madura.
Pendekatan yang dilakukan dalam karya ilmiah ini adalah pendekatan analisis deskriptif dengan
melakukan telaah pustaka yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi dan analisis terhadap teori
yang saling berkaitan serta menghubungkannya dengan berbagai fenomena terkait dengan
pemetaan produksi, pemasaran dan kemitraan industri jamu di Madura.
Berdasarkan hasil identifikasi, analisis hambatan dan arah dari visi Jamu Indonesia Maju
2020 maka strategi pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. Pengoptimalan aspek
produksi pada industri jamu Madura dengan: a. Perbaikan irigasi dan jalan akses, b. Perbaikan
teknologi produksi, c. Peningkatan standar mutu dan keamanan produk. d. Mempermudah akses
perbankan, e. Pengembangan SDM Petani dan Pengusaha jamu,e. f. Peningkatan jumlah lahan
tanaman obat (ekstensifikasi). g. Mendorong implementasi manajemen usaha. 2. Pengoptimalan
aspek pemasaran dengan: a. Berjejaring dengan multipihak untuk meningkatan informasi pasar, b.
Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk mengurangi ketergantungan kepada tengkulak tanaman
obat, c. Perbaikan kualitas agar jamu rakyat diterima konsumen DN dan LN, d. Optimalkan
asosiasi dan koperasi petani dan usaha kecil jamu untuk mengatasi perbedaan harga. 3.
Pengoptimalan aspek kemitraan dengan: a. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai
tupoksinya, b. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya. Sedangkan, kebijakan
pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. revitalisasi, 2. intensifikasi; dan 3. ekstensifikasi.

Kata kunci: strategi dan kebijakan, industri jamu Madura

PENDAHULUAN

Jamu merupakan warisan budaya bangsa yang sudah digunakan secara turun
menurun. Indonesia memiliki keunggulan dalam hal pengembangan jamu dengan 9.600
jenis tanaman obat yang dapat digunakan sebagai bahan dasar jamu.
Dari sisi perekonomian, industri jamu telah berkontribusi sangat besar bagi
pendapatan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyediaan lapangan
kerja. Bahan baku yang hampir sekitar 99% yang digunakan merupakan produk dalam
negeri dinilai mampu membawa multiplier effect yang cukup signifikan dalam
pertumbuhan perekonomian di Indonesia mulai dari sektor hulu (pertanian) hingga sektor
hilir yang meliputi perindustrian dan perdagangan.
Perkembangan industri jamu di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang
signifikan dengan pertumbuhan omzet yang baik. Jumlah industri jamu tercatat sebanyak
1.166 industri yang terdiri dari 129 industri besar dan 1.037 merupakan industri kecil.
Dari 1.166 industri tersebut, 129 industri besar dan 621 industri kecil sudah tergabung
dalam Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu, 2004).
Dalam aktivitas ekonominya, pasar industri jamu Indonesia telah menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan dengan nilai penjualan mencapai Rp 6 triliun, telah
menciptakan tiga juta lapangan kerja, dan dengan daerah konsumen terbesar di pulau
190
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Jawa mencapai 60% pada tahun 2007 (GP Jamu, 2008). Dengan keunggulan komparatif
yang dimiliki sebagai industri berbasis sumberdaya lokal, KADIN dalam visi 2030 dan
Road Map Industri Nasional merekomendasikan jamu sebagai klaster industri unggulan
penggerak pencipta lapangan kerja dan penurun angka kemiskinan dan atas dasar kearifan
lokal dan potensi yang dimiliki produk Jamu. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi
telah mencanangkan gerakan “Jamu Brand Indonesia” sebagai bagian dari kegiatan
menyatukan merek jamu dalam satu payung Brand Indonesia.
Madura dikenal sebagai salah satu sentra jamu tradisional di Indonesia. Jamu
Madura sudah cukup terkenal khususnya untuk pengobatan dan perawatan fungsi
reproduksi wanita. Cerita dari mulut ke mulut tentang kemanjuran jamu tersebut
merupakan salah satu cara penyampaian informasi jamu ke konsumen. Konsumen tidak
terbatas pada penduduk pulau Madura tetapi telah meluas ke Jawa Timur dan sekitarnya,
bahkan dari sumber tidak resmi menyatakan bahwa jamu Madu sudah dipasarkan sampai
ke luar negeri. Meskipun jamu Madura ditujukan untuk pria dan wanita tetapi tampaknya
konsumen terbanyaknya adalah wanita (Handayani.L,dkk, 1998) .
Melihat kondisi ini maka dipandang perlu untuk melakukan berbagai upaya
strategi dan kebijakan pengembangan jamu di Madura. Tujuan dari penyusunan karya
tulis ini adalah: 1. Memetakan produksi, pemasaran dan kemitraan jamu di Madura; 2.
Merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan jamu di Madura.

METODE

Pendekatan yang dilakukan dalam karya ilmiah ini adalah pendekatan analisis
deskriptif dengan melakukan telaah pustaka yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi
dan analisis terhadap teori yang saling berkaitan serta menghubungkannya dengan
berbagai fenomena terkait dengan pemetaan produksi, pemasaran dan kemitraan industri
jamu di Madura.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Potensi Produksi Jamu di Madura


Madura dikenal dengan ramuan tradisional yang manjur dan terbukti mengobati
beberapa penyakit, serta ramuan ampuh untuk kejantanan pria ataupun wanita. Meski
belum dikelola dengan optimal, masyarakat Madura sudah menanam tanaman obat,
seperti: jahe, cabe jamu, kencur, temu lawak dan lain-lain.
Data areal tanaman obat di Jawa Timur (2004) menunjukkan luas areal tanaman
jahe di Bangkalan seluas 112,39 Ha, Sampang seluas 54,12 Ha, Pamekasan seluas
1.969,85 Ha dan Sumenep seluas 510,22 Ha.

Tabel 1. Jumlah Luasan Lahan Tanaman Jahe Di Madura


No Kabupaten Luas Areal (Ha)
1. Bangkalan 112,39
2. Sampang 54,12
3. Pamekasan 1.969,85
4. Sumenep 510,22
Jumlah 2.990
Sumber: Muhammad, 2010
Sedangkan, cabe jamu sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri
obat tradisional dalam negeri. Rincian jumlah luasan lahan tanaman cabe jamu di Madura
disajikan pada Tabel 2.2.
191
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 2. Jumlah Luasan Lahan Tanaman Cabe Jamu Di Madura


No Kabupaten Luas Areal (Ha) Produksi (ton/thn)
1. Bangkalan 331 73
2. Sampang 778 499
3. Pamekasan 404 415
4. Sumenep 1.477 4.151
Jumlah 2.990 5.138
Sumber: Kemala, et.al, 2005
Pengembangan tanaman obat mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di
Madura. Untuk tanaman obat seperti temu lawak produksinya lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah Batu, Malang, Pasuruan dan Jember dengan produksi rata-rata 2
Kg/rumpun. (data belum dipublikasikan. Penelitian 2010 Pelaksana Universitas
Brawijaya).
Seiring dengan meningkatnya areal tanaman obat di Madura maka terdapat
peningkatan jumlah industri jamu rakyat di Madura. Data dari Kementerian Kesehatan
menunjukkan bahwa pada tahun 2012 jumlah industri rakyat sebanyak 24 industri.
Rincian jumlah industri jamu di Madura disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 3. Jumlah Industri Jamu Rakyat Di Madura


Jumlah Industri Jamu Rakyat
No Kabupaten 2011 2012
1. Bangkalan 7 8
2. Sampang 0 1
3. Pamekasan 0 2
4. Sumenep 7 13
Jumlah 14 24
Sumber: Kem.Kesehatan RI 2013
Peluang dan Tantangan Produksi
Peluang dalam peningkatan produksi jamu Madura adalah: 1. Pemerintah
menyediakan benih bermutu, 2. Penguatan lembaga pendukung permodalan, 3.
Pemberian insentif pengembangan jamu, 4. Kesadaran masyarakat semakin meningkat
bahwa mereka tiidak mau mengambil risiko terkena efek samping dari obat-obatan
modern, dapat dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa kini banyak orang
mengkonsumsi Jamu Tradisional untuk menjaga kesehatan tubuhnya, 5. Semua media
informasi seolah telah membuka kesadaran masyarakat kita bahwa obat modern tidaklah
segalanya bagi penyakit. 6. Semakin banyaknya lembaga penelitian dan peneliti yang
dalam kegiatannya melakukan penelitian tanaman obat merupakan kekuatan yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan jamu.
Tantangan dalam peningkatan produksi jamu Madura adalah: 1. Penyediaan lahan
yang potensial bagi budidaya tanaman obat, 2. Penyediaan benih yang bermutu, 3.
Penerapan standar penanaman tanaman obat yang sesuai dengan rekomendasi
Kementerian Pertanian serta penerapan data base yang baik sehingga informasi produksi
dan kebutuhan tanaman obat dapat terencana dengan baik. 4. Permodalan yang memadai
melalui pembiayaan yang efektif, 5. Pengadaan SDM yang unggul, 6. Bantuan
pemasaran, serta 7. Penelitian yang dapat meningkatkan nilai tambah. 7. Ketersediaan
standar dan metode sebagai instrumen untuk mengevaluasi mutu. 8. Penyelenggaraan
iklim usaha yang kondusif, 9. Jaminan pasar dan harga. 10. Semakin berkurangnya
antusiasme dari generasi muda untuk meneruskan usaha jamu karena dianggap tidak
mampu memberikan jaminan pendapatan ekonomi yang layak.

192
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Pemetaan Pemasaran
Pemasaran jamu rakyat sebenarnya dapat dikatakan terbuka lebar jika menilik
pada manfaat dari komoditi jamu. Berikut pemetaan jenis dan pasar obat tradisional yang
bisa diakses oleh pelaku usaha jamu rakyat (baik petani tanaman obat maupun pengusaha
jamu).
Tabel 4. Pemetaan Jenis Dan Pasar Obat Tradisional
Jenis Jamu
Pengertian Contoh Produk Pasar
1. Jamu Jamu merupakan kriteria/jenis obat Jamu Gendong, Pedagang
tradisional pada tingkat terendah dalam jamu seduh, jamu
pengelompokkan ini. Hal ini pilkita, laxing, gendong,
dikarenakan jamu merupakan produk keji beling, dll kios jamu
dari bahan tanaman obat dan belum
memiliki bukti ilmiah mengenai
manfaat yang
dihasilkan, melainkan hanya
berdasarkan bukti empiris dan
diwariskan secara turun-temurun.
2. Obat Kelompok ini merupakan tingkatan Tolak Angin Sido PT.
Herbal yang lebih tinggi karena telah memnuhi Muncul, Kiranti, SidoMuncul,
Terstandar. persyaratan uji pra klinis yang meliputi: Datang Bulan, PT. Nyonya
kriteria uji keamanan dan uji khasiat Diapet, hi- Meneer, PT.
yang dibuktikan secara ilmiah, Stimuno, dll PT. Dexa
standarisasi terhadap bahan baku Medica dll
(simplisia) yang digunakan dalam
produk jadi, dan persyaratan mutu yang
ditetapkan oleh Materia Medika
Indonesia, Departemen Kesehatan atau
Monograf Tanaman Obat Badan POM.
Standarisasi simplisia sebagai bahan
baku diperlukan untuk mendapatkan
efek yang terulangkan (Reproducible).
Simplisia yang dimaksud adalah bagian
tertentu dari tanaman obat yang bisa
diambil manfaatnya yang kemudian
diolah sesuai dengan ketentuan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB).

3. Fito- Kelompok ini merupakan kelompok Obat Daya Tahan PT. Dexa
farmaka. yang paling tinggi tingkatannya karena Tubuh Stimuno Medica, PT.
sudah mengalami uji pra klinis dan Dexa Medica, Phapros, PT.
klinis. Hal ini dapat diartikan bahwa Obat lemah Nyonya
prdok fitofarmaka menggunakan bahan syahwat X-Gra Meneer, PT.
baku yang terstandar dan khasiatnya Phapros, dll Kalbe Farma
sudah terbukti aman bagi manusia yang
diuji secara ilmiah.
Sumber: BP POM RI

Peluang dan Tantangan Pemasaran

193
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Peluang terkait pemasaran, meliputi: 1. Terdapat 3 segmen pasar (jamu, obat


herbal terstandar, dan fitofarmaka) yang bisa diakses petani tanaman obat, 2. Pergeseran
paradigma masyarakat untuk back to nature dalam bidang kesehatan.
Tantangan terkait pemasaran, meliputi: 1. Banyaknya peredaran jamu ilegal dan
jamu palsu di masyarakat, 2. Standarisasi mutu jamu, 3. Preferensi pelanggan terhadap
jamu, 4. ketidakjelasan informasi, termasuk kandungan, efek samping, dan dosis, 5.
Pengetahuan masyarakat pengguna terhadap jamu, 6. Masih belum tingginya loyalitas
pengguna dimana jamu ditempatkan sebagai alternatif kepada obat farmasi.
Tantangan untuk non pengguna jamu, antara lain: 1. Rendahnya pengetahuan
masyarakat non pengguna terhadap jamu, 2. Sikap masyarakat non pengguna masih
belum positif terhadap jamu dimana sebagian besar cenderung memandang bahwa minum
jamu adalah berbahaya serta 3. Ketidakpercayaan terhadap mutu dan khasiat dari jamu
Indonesia akibat masalah budaya yang mempengaruhi masyarakat non pengguna untuk
tidak meminum jamu, 4. Masalah ketidakjelasan informasi terutama pada label produk
jamu, dan 5. Masalah masyarakat non pengguna bahwa minum jamu adalah sesuatu yang
tidak nyaman bagi mereka terutama bentuk dan rasa jamu yang tidak disukai. 6.
Kewaspadaan terkait beberapa jenis obat tradisional dan atau bahannya diketahui toxic
baik sebagai sifat bawaannya maupun kandungan bahan asing yang berbahaya atau tidak
diizinkan.

Pemetaan Kemitraan Industri Jamu Rakyat


Peluang Kemitraan Multipihak
Peluang kemitraan multipihak/masyarakat pejamuan sebenarnya sangat
menjanjikan asalkan dapat dikelola dengan baik. Memang, jika mengamati strukturnya
cukup komplek. Berikut pemetaan kemitraan kelembagaan multipihak industri jamu
rakyat disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 5. Pemetaan Kemitraan Multipihak Jamu
Kelembagaan Peran/Manfaat
Kementerian Pertanian Memfasilitasi pengembangan tanaman obat
Kementerian Perdagangan Memfasilitasi pengembangan industri jamu rakyat
Kementerian Pariwisata Mempromosikan jamu rakyat sebagai produk global
Pemerintah Propinsi Jatim Memfasilitasi pengembangan industri jamu rakyat,
dan 4 Kab di Madura, melalui: Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Disperindag,
serta DPRD Bappeda, Bagian Perekonomian Setda, DPR, DPRD,
dll
Badan Usaha Milik Mengelola potensi tanaman obat dan industri jamu untuk
Daerah 4 Kab. Di Madura meningkatkan PAD
KADIN 4 Kab. Di Madura Mendorong iklim investasi jamu
Koperasi Jamu Meningkatkan kesejahteraan petani tanaman jamu dan
pengusaha kecil
Asosiasi Petani tanaman Meningkatkan posisi tawar petani tanaman obat dan
obat dan asosiasi pengusaha jamu
pengusaha jamu
Asosiasi Dokter herbal dan Mengangkat potensi jamu herbal dalam pengobatan
Apoteker herbal
Perguruan Tinggi Riset terkait jamu (ada wacana pembentukan Institut
Jamu)
BP POM Pengawasan jamu palsu dan ilegal
PT. Air Mancur - Membeli tanaman obat rakyat

194
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

- Memberikan alih teknologi kepada industri jamu


rakyat
Masyarakat - Membeli produk jamu rakyat
- Mengawasi peredaran jamu palsu dan ilegal
PT. Santos, Semen Gresik, Mengarahkan program CD nya untuk pengembangan
Perusahaan jamu rakyat
Garmen/Tekstil, dll
Perbankan Memberikan insentif pembiayaan petani tanaman obat
dan industri jamu rakyat
BPS Pendataan potensi lahan tanaman obat dan industri jamu
Swasta Program CD untuk CSR dalam pengembangan industri
jamu rakyat
LSM Ikut mengawal proses pemberdayaan masyarakat (petani
tanaman obat dan industri kecil jamu)
Aparat Penegak hukum Pemberantasan jamu palsu dan ilegal
Sumber: Hasil Analisis

Peluang dan Tantangan Kemitraan


Peluang kemitraan yang bisa dilakukananya pendekatan-pendekatan ke pihak
industri jamu besar, seperti: Sido Muncul, Air Mancur, Jamu Ibu, perlu terus dilakukan
agar produksi jamu rakyat bisa memenuhi standar jamu industri. Sebenarnya, kalau
masyarakat mau membuat jamu dengan kualitas bagus, tidak akan terlalu sulit untuk
memasarkannya karena pasar masih terbuka lebar. Permasalahan pemasaran jamu
memang masih perlu terus ditindaklanjuti. Jadi tantangan untuk selanjutnya adalah perlu
dipikirkan bagaimana jamu rakyat di Madura bisa memenuhi standar kebutuhan global.
Menurut Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh (2012), Pemerintah
perlu mengkaji ulang sejumlah regulasi yang mengancam keberadaan industri jamu
nasional. Hal ini disampaikan Poempida menanggapi keluhan pelaku industri jamu
nasional, di Jakarta, Kamis (31/1/2012).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahwa sejumlah regulasi pemerintah akan
mengganggu daya saing dan keberlangsungan sektor itu di tengah serbuan produk impor
dan ilegal. Beberapa regulasi yang dinilai menghambat industri jamu nasional antara lain
Permenkes No 6/2012 tentang Ijin Obat Tradisional, Permenkes No 7/2012 tentang
Registrasi Obat Tradisional, Peraturan Kepala BPOM tentang Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB), Permenkes No 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang
Pedoman Periklanan Obat Tradisional, RUU Kefarmasian yang memasukkan jamu ke
dalam farmasi, Harmonisasi obat tradisional ASEAN dan Asean-China Free Trade Area
(ACFTA).
Poempida mengungkapkan bahwa dalam rangka merancang atau merumuskan
suatu peraturan, hal yang sangat penting adalah mengharmonisasi draf peraturan sebelum
ditetapkan menjadi peraturan. Upaya harmonisasi itu perlu dilakukan untuk menghindari
adanya disharmoni dan pertentangan dengan pihak-pihak berkepentingan.
Selain itu, Pemerintah dalam menerbitkan sebuah kebijakan harusnya melakukan
dialog dengan pemangku kepentingan terkait sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan. Pemerintah seharusnya melakukan dialog terbuka dengan pemangku
kepentingan terkait agar dihasilkan kebijakan yang tidak merugikan stakeholder industri
jamu.
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) belum lama
ini merilis hasil survei. Survei dilakukan pada Januari 2013 di lima kota besar di
Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Hasil survei
195
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

tersebut menemukan terdapat sedikitnya 56 produk jamu yang telah dilarang (public
warning) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tetapi masih beredar bebas
tanpa pengawasan.Hasil survei menunjukkan bahwa masih lemahnya BPOM dalam
melakukan pengawasan peredaran produk jamu ilegal. Untuk itu, BPOM untuk serius dan
melakukan langkah nyata untuk mengatasi peredaran jamu dan obat tradisional ilegal
tersebut,
Ketua Umum Gabungan Perusahaan (GP) Jamu Charles Serang mengatakan
bahwa temuan YPKKI memperkuat bukti ancaman besar terhadap industri jamu nasional.
Masa depan jamu suram karena tidak ada menteri yang mau memikirkan jamu, padahal
jamu merupakan tradisi bangsa (31/1/2013).
Tantangan kemitraan dari kelembagaan multipihak pengembangan jamu di
Madura adalah adanya egosektoral yang masih menjadi momok dalam bersinergi.
Tentunya peran aktif Pemerintah untuk memfasilitasi semua stakeholder jamu Madura
untuk duduk bersama menyamakan persepsi dan komitmen.
Multipihak terkait jamu Madura kurang terkoordinasi dengan baik. Pihak-pihak
terkait seperti: pemerintah, industri, lembaga pendidikan dan penelitian pada perguruan
tinggi, petani tanaman obat dan penyedia jasa kesehatan-kefarmasian belum bekerjasama
dengan sinergis. Pembiayaan untuk pengembangan obat tradisional terutama untuk
kegiatan penelitian masih jauh dari kebutuhan. Di satu sisi keuangan pemerintah masih
terbatas sementara di pihak lain industri obat tradisional belum termotivasi untuk
tanggung renteng ikut membiayai kegiatan penelitian. Dari 907 IKOT yang ada, sebanyak
35,4% dapat digolongkan dapat sebagai industri rumah tangga dengan fasilitas dan
sumber daya yang sangat minimal. Sedangkan dari 129 IOT, baru 69 industri yang
mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Industri obat tradisional masih sangat kurang memanfaatkan hasil penelitian
ilmiah dalam mengembangkan produk dan pasar. Dalam pengembangan pasar, industri
obat tradisional masih lebih menekankan pada kegiatan promosi dibandingkan ilmiah
mengenai kebenaran khasiat, keamanan dan kualitas.

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN JAMU MADURA


Identifikasi Permasalahan Industri Jamu Madura
Berdasarkan kajian literatur diperoleh permasalahan utama yang dinilai
menghambat pengembangan jamu Madura, antara lain: peredaran jamu kimia (BKO),
kurangnya pembinaan pemerintah terhadap pelaku mikro/menengah UKM, peraturan
yang menghambat seperti pelarangan pencantuman istilah tertentu pada produk, kesulitan
dalam memperoleh bahan baku yang terstandar dan tersedia, serta persaingan dengan
perusahaan farmasi terutama untuk jenis/kategori produk herbal terstandar dan
fitofarmaka.
Sementara itu, permasalahan yang sering dijumpai oleh regulator, dalam hal ini
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BP POM) dan Kementerian Kesehatan beserta
Dinas Propinsi adalah: peredaran jamu BKO yang melibatkan produsen jamu khususnya
UKM dan rumah tangga, sebagian perusahaan belum melaksanakan standar yang sudah
ditetapkan, yaitu: Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), serta
penggunaan label yang belum standar.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh produsen dan pedagang jamu tradisional
adalah: semakin menurunnya jumlah konsumen jamu akibat semakin banyaknya obat-
obatan serta ramuan kesehatan yang lebih praktis dan moderen. Minuman jamu cair
tradisional ini juga tidak tahan lama sehingga kalah bersaing dengan produk ramuan
energi instan. Hal lain yang membuat industri rumahan jamu tradisional sulit untuk
berkembang adalah pengelolaan usaha yang masih belum profesional (hanya kegiatan

196
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

sampingan untuk menambah penghasilan bagi keluarga) serta jangkauan pemasaran yang
masih terbatas di tingkat lokal.
Secara umum identifikasi permasalahan usaha jamu rakyat di Madura, meliputi:
(1) Internal Usaha ( aspek produksi, SDM dan teknologi, serta ekonomi) (2) Eksternal
Usaha (aspek pemasaran dan kemitraan). Skema lebih lengkapnya disajikan pada Gambar
5.1.

197
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 1. Identifikasi permasalahan usaha jamu rakyat di madura

Identifikasi Permasalahan Usaha Jamu Rakyat

Internal Usaha Eksternal Usaha

Aspek Aspek SDM & Aspek Aspek Aspek Kemitraan


Produksi Teknologi Ekonomi Pemasaran

Biaya Produksi Informasi Peran Asosiasi &


SDM rendah Skala Usaha
tinggi kecil Pasar minim Koperasi tidak

Teknologi berjalan
Prasarana Modal kecil Harga rendah
sederhana Peran Pemerintah
minim
Tanpa Harga tidak belum optimal
Sumber Sarana
Manajemen seragam
Pembiayaan minim Peran PT. Jamu
Usaha
minim Pengepul belum optimal
Kualitas jamu Profit curang
rendah rendah
Jamu
import
Produktivitas rendah Posisi Tawar Petani rendah Peran Multipihak belum optimal

Petani Jamu Terpuruk

Hasil Identifikasi

198
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Analisis Hambatan Pengembangan Industri Jamu Madura


Selanjutnya, hambatan pengembangan industri jamu rakyat di Madura, meliputi:
(1) Internal Usaha ( aspek produksi dan ekonomi) (2) Eksternal Usaha (aspek pemasaran
dan kemitraan). Skema lebih lengkapnya disajikan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2.
ANALISIS HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI JAMU RAKYAT

SDM &

Aspek Teknologi

Internal Produksi Infrastruktur

Usaha Skala Usaha


Aspek Skala Usaha
Hambatan Ekonomi
Profitabilitas
Pengembangan
Industri Jamu Aspek Informasi
Rakyat Pemasaran/
Eksternal Pasar
Tata Niaga
Usaha
Aspek Hubungan
Kemitraan Kelembagaan

Berdasarkan skema pada Gambar 5.2 dapat dipetakan hambatan pengembangan industri
jamu rakyat di Madura berdasarkan identifikasi permasalahan. Hasil pemetaan disajikan
pada tabel 5.1.

Tabel 5.1.Pemetaan Hambatan Pengembangan Industri Jamu Madura Berdasarkan


Identiifikasi Permasalahan
Aspek Hambatan Alternatif Solusi
Produksi Biaya produksi tinggiPerbaikan teknologi produksi
Prasarana minim a.Perbaikan irigasi lahan tanaman obat
untuk mengoptimalkan produksi dan b.
jalan akses untuk memudahkan pemasaran
Sumber pembiayaan Secara kelompok mengakses program
minim KUR (kredit usaha rakyat)
Kualitas jamu rendah Akses alih teknologi dari perguruan
Tinggi dan Perusahaan Jamu
SDM & SDM rendah Peningkatan kapasitas SDM petani
Teknologi tanaman obat dan pengusaha kecil jamu
rakyat melalui pelatihan, penyuluhan, dll
Teknologi masih Pengenalan teknologi baru untuk
sederhana meningkatkan kualitas jamu
Sarana Minim Peningkatan sarana kepada petani
tanaman obat dan pengusaha kecil jamu
rakyat

199
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Ekonomi Skala usaha minim Peningkatan jumlah lahan (ekstensifikasi)


Usaha Modal kecil Peningkatn Bermitra dan berjejaring
dengan perbankan, Pengusaha besar
maupun Koperasi
Tanpa manajemen Intervensi usaha dengan implementasi
usaha manajemen dan akuntansi meskipun pada
taraf sederhana
Pemasaran/Tat Informasi pasar minim Berjejaring dengan multipihak untuk
a Niaga meningkatan informasi pasar
Harga rendah Perbaikan kualitas dan keamanan jamu
Harga tidak seragam Optimalkan asosiasi dan koperasi petani
dan usaha kecil jamu untuk mengatasi
perbedaan harga
Pengepul tanaman Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk
obat curang mengurangi ketergantungan kepada
tengkulak tanaman obat
Jamu import Perbaikan kualitas agar jamu rakyat
diterima konsumen DN dan LN
Kemitraan Peran multipihak Optimalkan kelembagaan multi pihak
belum optimal sesuai tupoksinya
Bermitra dan berjejaring dengan
multipihak
Sumber: Hasil Identifikasi

Arah Pengembangan Obat Tradisional Indonesia


Arah pengembangan Jamu Madura seyogyanya merujuk pada arah
pengembangan obat tradisional yang telah dirumuskan Kementerian Perdagangan RI
(2009) terbagi menjadi tiga tahap (Gambar 5.3):
Tahap yang paling awal adalah Jamu, tahap ini merupakan kategori obat tradisional
paling rendah karena belum memiliki pembuktian empiris mengenai manfaat yang
dihasilkan. Pembuktian lebih berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan
secara turun menurun. Disamping itu kehigienisan dan sanitasinya juga belum terjamin.
Tahap berikutnya adalah obat tradisional terstandar. Pada tahap ini simplisia atau
tanaman obat yang dikeringkan sudah melewati uji pra klinik dimana khasiat dari
tanaman tersebut telah terbukti dan kandungan
simplisianya telah terstandarisasi.
Tahap terakhir adalah fitofarmaka, yakni tanaman obat telah dinyatakan lulus uji klinik
dimana simplisia diujicoba ke hewan hidup dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi.
Pengembangan obat tradisional yang hanya terfokus di jamu akan menghambat
peningkatan ekspor ke pasar internasional karena masyarakat internasional, khususnya
pasar Eropa sangat mensyaratkan adanya bukti ilmiah dan riset yang berkaitan dengan
obat tradisional. Oleh karena itu, jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat
mendorong berkembangnya obat tradisional ke arah fitofarmaka, maka peluang untuk
menembus pasar global akan lebih terbuka.

200
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 5.3
ARAH PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL INDONESIA

Strategi dan Kebijakan Pengembangan Jamu Madura


Strategi dan kebijakan pengembangan Jamu Madura seyogyanya merujuk pada
penjabaran visi Jamu Indonesia Maju 2020 (Gambar 5.4).

201
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 5.4.
VISI JAMU INDONESIA MAJU 2020 (KEM.DAG RI, 2009)

Kementerian Perdagangan RI (2009) merumuskan Visi 2020 Jamu Brand


Indonesia yang Maju, yakni: ”Jamu Indonesia Maju 2020: Modern, Mutu tinggi, Murah
dan Memasyarakat”. Makna dari ”Visi Jamu Indonesia Maju 2020” adalah suatu keadaan
dimana paling lambat di tahun 2020, jamu Indonesia akan dipandang oleh masyarakat
sebagai produk yang modern, mutu tinggi, murah, dan memasyarakat.
• Modern: Jamu Indonesia tidak lagi dipersepsi sebagai kuno, ketinggalan jaman, dan
alternatif saja, melainkan sebagai produk yang setara dengan obat farmasi karena khasiat,
bentuk, dan rasa yang modern sehingga disukai masyarakat.
• Mutu tinggi: Kualitas jamu yang manjur, terstandar, dan terjamin.
• Murah: Harga jamu dapat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
• Memasyarakat: Dicintai oleh dan menjadi bagian dari budaya seluruh masyarakat
Indonesia
Sasaran 1, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Modern, adalah salah
satu sasaran yang harus dicapai dalam rangka menggapai visi Jamu Indonesia Maju 2020
adalah mewujudkan jamu brand Indonesia yang modern.
Hal ini karena pada saat ini ternyata banyak dari masyarakat non konsumen memandang
bahwa jamu adalah produk yang ketinggalan jaman. Hasil kajian menemukan bahwa
sekitar 46% responden konsumen menyebutkan hal ini. Citra ini sangatlah tidak baik bagi
masa depan jamu. Sebagai produk yang dipandang ketinggalan jaman, jamu tetap akan
dianggap sebagai alternatif terakhir daripada obat-obatan farmasi. Jamu tidak akan
mampu memperbesar potensi pasarnya. Malahan, pengguna saat ini pun akan semakin
berkurang apabila terdapat inovasi baru dari produk non jamu Indonesia yang mampu
memuaskan mereka. Harapan ini bukanlah mustahil. Lihatlah keberhasilan Jamu Tolak

202
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Angin dari Sido Muncul yang berhasil mengubah image-nya dengan kampanye ”Orang
Pintar Minum Tolak Angin.” Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan kampanye
dengan tema: ”Jamu Brand Indonesia kini Telah Modern”, ”Siapa Bilang Jamu Indonesia
Ketinggalan Jaman?”, ”Kini Ketinggalan Jaman bila Tidak Kenal Jamu”, dan sebagainya.
Walau demikian, kampanye saja tidak cukup. Perlu diakui bahwa memang citra yang
diimbuhkan oleh sebagian masyarakat non konsumen tidak lah salah dengan
memperhatikan kondisi dari produk dan produksi jamu tradisional saat ini. Oleh karena
itu, dibutuhkan revolusi terhadap produk jamu Indonesia agar tetap modern dalam arti
mengikuti perkembangan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Produk jamu Indonesia perlu lebih inovatif dan menyesuaikan dengan perkembangan
permintaan masyarakat. Salah satu temuan kajian adalah bahwa ternyata sebagian
konsumen dan juga sebagian besar non konsumen cenderung tidak menyukai bentuk
serbuk. Padahal, bentuk serbuk ini adalah bentuk dari sebagian besar jamu tradisional
Indonesia. Bentuk serbuk ini boleh terus dipertahankan, namun perlu inovasi
pengembangan produk jamu dan pengembangan metode produksi sehingga dapat
memproduksi jamu yang sesuai dengan keinginan potensi pasar, seperti bentuk : cair, pil
maupun kapsul.
Rasa jamu yang sangat tradisional juga dikeluhkan oleh sebagian besar responden non
pengguna. ”Tidak enak”, kata mereka. Apabila masyarakat non pengguna ingin diraih,
sepertinya perlu pengembangan rasa jamu agar lebih enak dan diterima oleh para potensi
penggunanya. Misalnya saja, dengan menyertakan rasa sari buah dalam produk.
Demikian pula, kemasan dan label produk jamu perlu juga ditingkatkan.
Kemasan sebagian besar produk jamu tradisional memang sangat tradisional. Bagi
pengguna yang telah menjadi pelanggan, ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun,
dengan keadaan kemasan dan label jamu yang ada saat ini, sangatlah sulit untuk merebut
hati pasar potensial. Selain itu kemasan juga harus mencantumkan kejelasan komposisi
produk, kejelasan dosis dan aturan pakai, serta cara kerja bahan aktif jamu dan efek
samping. Langkah tersebut perlu didukung pemerintah melalui:
1. Sosialisasi untuk menyadarkan industri jamu tradisional bahwa pengembangan produk
adalah perlu untuk memperluas basis pasar sasaran dengan bekerja sama dengan GP
Jamu, Dinas Perindag, Dinas Kesehatan dan Balai POM di daerah melakukan sosialisasi,
baik secara tertulis maupun dengan seminar dan penyuluhan.
2. Membantu industri jamu tradisional dengan melakukan riset dan konsultansi
pengembangan sistem produksi jamu dan produk jamu yang sesuai dengan keinginan
pengguna atau potensi pengguna. Dalam hal ini, balai-balai riset yang dikelola oleh
Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, maupun
Kementerian Kesehatan di daerah dapat diserahi tanggung jawab ini. Koordinasi aktifitas
ini dapat dilakukan oleh Kantor Menko Perekonomian.
3. Membuat aturan yang menetapkan standarisasi label jamu. Pemerintah memang
telah membuat aturan yang ketat tentang label pangan dan label obat. Aturan ini perlu
dibuat untuk menyediakan informasi tentang komposisi yang jelas, indikasi, dosis dan
cara pemakaian, serta efek samping sehingga aman bagi penggunanya. Selain itu, aturan
ini juga diperlukan untuk memodernisasi jamu di mata pelanggan. Namun, perlu
dipikirkan implementasinya agar industri kecil dan menengah obat tradisional tidak
mengalami kesulitan.
4. Melakukan kampanye bahwa produk jamu adalah modern. Kampanye ini
ditujukan kepada pengguna dan potensi pengguna jamu tradisional.
Sasaran 2, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia dengan Mutu Tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa salah satu keluhan responden konsumen maupun non
konsumen adalah menyangkut mutu jamu. Mutu jamu di sini adalah mutu dalam arti luas

203
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

yang menyangkut dimensi kemanjuran atau manfaat, standarisasi mutu, kandungan yang
alami, keamanan dikonsumsi, bentuk produk yang sesuai keinginan pengguna, dan rasa
produk jamu. Sebagian dari responden mengeluhkan bahwa kini banyak jamu yang palsu
serta dicampur dengan bahan kimia sehingga mereka pun tidak menaruh kepercayaan
terhadap jamu. Kepastian kandungan yang alami ini perlu ditegakkan secara tegas oleh
pemerintah melalui pengawasan yang lebih diperketat untuk mencegah jamu yang
tercemar bahan kimia dan pengawet masuk ke pasaran, apabila ingin agar jamu
memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Setelah dapat memastikan bahwa seluruh
produk jamu yang beredar adalah 100% alami, pemerintah perlu mengkampanyekan
kepada masyarakat bahwa produk jamu Indonesia adalah 100% alami tanpa bahan kimia
sintetik.
Berkaitan dengan kemanjuran dan khasiat jamu, beberapa lembaga penelitian dan
perguruan tinggi pun telah membuktikan kemanjuran ini. Informasi ini hendaknya
disosialisasikan kepada industri jamu agar mampu meningkatkan kemanjuran produk
jamu yang diproduksinya.
Komposisi yang tidak jelas dan tidak standar dari industri kecil jamu disinyalir
memperburuk kualitas kemanjuran jamu. Sistem produksi yang masih tradisional serta
pengetahuan produsen yang sangat rendah terhadap bahan aktif jamu memperburuk
keadaan ini. Pemerintah dan para ahli obat tradisional perlu melakukan pembinaan
tentang standarisasi produksi jamu. Perlu juga dipikirkan sistem manajemen mutu bagi
industri jamu serta implementasinya bagi industri besar, menengah dan kecil jamu
tradisional.
Keamanan produk jamu juga mendapat aspirasi yang cukup tinggi dari masyarakat.
Selain karena ancaman dari jamu yang mengandung kimia sintetik (seperti telah dibahas
di atas), keamanan produk jamu juga terkait dengan standarisasi produk dan sistem
produksi. Pada industri kecil obat tradisional, komposisi produk seringkali berdasarkan
intuisi. Hal ini cukup berbahaya karena setiap bahan aktif pasti memiliki ambang batas
maksimal yang dapat diterima oleh tubuh sesuai dengan tingkat usia dan
berat badannya. Sayangnya, pengetahuan tentang hal ini jarang dimiliki oleh industri
kecil jamu.
Sasaran 3, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Murah. Salah satu
alasan konsumen meminum jamu adalah harganya yang lebih murah dibandingkan
dengan alternatif-alternatif lainnya (termasuk juga apabila dibandingkan dengan obat
farmasi). Sayangnya, ketika suatu produk sudah melewati uji pre-klinis dan uji klinis
serta dipatenkan, biasanya harga produk tersebut menjadi sangat mahal. Hal ini patut
menjadi perhatian dari pelaku usaha maupun pemerintah. Ketika jamu Indonesia sudah
menjadi pilihan utama masyarakat karena mutu dan kemanjurannya, hendaknya produk
tersebut tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga
dengan mengurangi beban para pelaku usaha agar dapat memproduksi jamu dengan biaya
rendah. Dengan biaya rendah, diharapkan harga jamu pun dapat murah sehingga jamu
tetap akan menjadi pilihan utama dari masyarakat Indonesia.
Selain itu, perlu juga dipikirkan peningkatan jumlah pasokan bahan baku jamu yang
berkualitas. Dengan semakin banyaknya permintaan terhadap jamu, dikuatirkan akan
terjadi kelangkaan bahan baku yang akan berpengaruh kepada biaya dan harga produk
jamu.
Sasaran 4, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Memasyarakat
Dalam literatur ilmu pemasaran, strategi perubahan sikap masyarakat ini
dimungkinkan dengan menggunakan teori model mutriatribut dan model teori sikap
fungsional dari Katz. Model Multiatribut (Assael, 1987) menyarankan bahwa mengubah

204
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

sikap dan perilaku dapat dilakukan dengan mengubah arah atau intensitas kebutuhan,
kepercayaan, evaluasi terhadap produk/merek, dan niat perilaku seperti:
• Strategi mengubah arah kebutuhan dilakukan dengan mengajak masyarakat potensi
pasar jamu memikirkan ulang atribut jamu secara berbeda. Misalnya mengajak mereka
berpikir bahwa rasa yang tidak enak dari bahan rempah-rempah yang digunakan oleh
jamu adalah sesuatu bukti bahwa jamu tersebut memang asli menggunakan bahanbahan
bermutu, sehingga berkhasiat bagi penyembuhan penyakit atau menjaga
kesehatan.
• Strategi mengubah intensitas kebutuhan dilakukan dengan mengajak masyarakat
berpikir tentang pentingnya suatu atribut jamu yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan
oleh mereka, sehingga atribut tersebut akan menjadi prioritas bagi pertimbangan mereka
bertingkah-laku. Misalnya saja, masyarakat non pengguna mungkin sebelumnya tidak
terlalu memikirkan pentingnya atribut kealamian dari obat, sehingga lebih cenderung
memilih obat farmasi. Dengan kampanye jamu sebagai produk alami, masyarakat
dirangsang untuk lebih memilih obat alami untuk menyembuhkan penyakit atau menjaga
kesehatan.
• Strategi mengubah kepercayaan masyarakat dilakukan dengan membuktikan bahwa
kepercayaan masyarakat saat ini mengenai jamu sebagai sesuatu yang negatif adalah
salah. Misalnya saja, masyarakat mungkin memiliki kepercayaan bahwa jamu adalah
produk obat-obatan yang kalah manjur daripada obat farmasi. Anggapan ini kurang tepat
karena pada penyakit-penyakit tertentu, ternyata jamu lebih baik dan berefek samping
lebih kecil daripada obat farmasi. Kepercayaan masyarakat yang salah ini perlu diubah
dengan strategi yang tepat, antara lain dengan mengkampanyekan melalui testimoni-
testimoni dari mereka yang telah sembuh dari penyakitnya dengan menggunakan jamu.
• Strategi mengubah evaluasi masyarakat akan produk dapat dilakukan dengan
mengkaitkan sesuatu atribut terkait dengan emosi positif yang sebenarnya tidak terlalu
terkait dengan atribut inti dari produk. Misalnya, masyarakat disarankan untuk memilih
jamu karena memang telah lama digunakan oleh dan menjadi warisan dari nenek moyang
bangsa Indonesia. Dengan mengkaitkan jamu dengan warisan leluhur dan
membangkitkan rasa nasionalisme, diharapkan evaluasi masyarakat yang sebelumnya
tidak terlalu tinggi dapat meningkat dengan pesan ini.
• Strategi mengubah intensi berperilaku biasanya dilakukan untuk mengundang
masyarakat non pengguna untuk mengkonsumsi jamu dengan cara mengurangi harga,
memberikan diskon/kupon, atau memberikan sampel produk. Dengan merasakan jamu
dan khasiatnya bagi kesehatan dan kesegaran tubuh, diharapkan masyarakat non
pengguna bisa beralih menjadi konsumen jamu.
Merujuk pada hasil identifikasi, analisis hambatan dan arah dari Visi Jamu
Indonesia Maju 2020 maka strategi pengembangan jamu Madura, meliputi:
1. Pengoptimalan aspek produksi pada industri jamu Madura dengan: a. Perbaikan
irigasi dan jalan akses, b. Perbaikan teknologi produksi, c. Peningkatan standar mutu
dan keamanan produk. d. Mempermudah akses perbankan, e. Pengembangan SDM
Petani dan Pengusaha jamu,e. f. Peningkatan jumlah lahan tanaman obat
(ekstensifikasi). g. Mendorong implementasi manajemen usaha.
2. Pengoptimalan aspek pemasaran dengan: a. Berjejaring dengan multipihak untuk
meningkatan informasi pasar, b. Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk mengurangi
ketergantungan kepada tengkulak tanaman obat, c. Perbaikan kualitas agar jamu
rakyat diterima konsumen DN dan LN, d. Optimalkan asosiasi dan koperasi petani
dan usaha kecil jamu untuk mengatasi perbedaan harga.
3. Pengoptimalan aspek kemitraan dengan: a. Optimalkan kelembagaan multi pihak
sesuai tupoksinya, b. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya

205
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Kebijakan Pengembangan Jamu Madura


1. Kebijakan Revitalisasi
Lemahnya produksi jamu Madura tidak hanya dipicu oleh membanjirnya jamu
impor (Cina, Jepang, India dan lainnya). Berdasarkan jumlah ini, sejumlah areal tanaman
obat perlu direvitalisasi. Seandainya areal-areal yang tidak produktif dapat direvitalisasi
dan luasnya bisa ditambah, maka produksinya bisa untuk meningkatkan produksi
tanaman obat. Revitalisasi ini diberikan pada para petani yang tadinya memiliki lahan
tanaman obat produktif, tapi kemudian terbengkalai karena tidak kuat lagi bersaing di
harga dan ketidak mampuan memperbaiki sarana dan infrastuktur penunjang produksi
tanaman obat.
Kondisi tersebut terjadi pada petani tanaman obat di Madura. Petani tersebut
kesulitan menggenjot produksi tanaman obat mereka akibat jaringan pengairan yang tidak
memadai. Sebagian jaringan irigasi yang ada sudah mulai rusak dan mengalami
pendangkalan. Jaringan irigasi air laut yang tidak memadai membuat banyak lahan
tanaman obat di Madura yang tidak teraliri. Kondisi ini akan lebih parah saat musim
kemarau.
Buruknya infrastruktur tambak jamu ini juga akan mempengaruhi pendapatan
petani jamu. Menurunnya, infrastruktur pada petani tanaman obat mulai dari dari lahan
hingga gudang; termasuk akses jalan akan membuat ongkos transportasi tinggi sehingga
revenue yang diterima akan kecil. Untuk itu harus ada intervensi dari pemerintah daerah
guna ikut membantu memperbaiki sarana dan infrastruktur produksi tanaman obat. Itu
sebabnya, petani tanaman obat mengharapkan ada revitalisasi pada lahannya.
2. Kebijakan Ekstensifikasi
Ekstensifikasi adalah usaha meningkatkan produksi jamu dengan memperluas
lahan tambak jamu. Ekstensifikasi, meski merupakan solusi yang sulit dilakukan karena
costly tetapi masih dapat dilakukan. Ekstensifikasi tanaman obat dibutuhkan lantaran
salah satu permasalahan adalah terbatasnya kepemilikan lahan untuk memenuhi produksi
skala besar. Kepemilikan lahan tanaman obat rakyat umumnya hanya berkisar dibawah 1
hektare. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah guna memperluas dan
mengoptimalkan lahan yang masih belum produktif.
Tentunya, ini menjadi peluang tersendiri bagi Madura untuk terus meningkatkan
lahan tidak produktif menjadi produktif. Madura memiliki produktivitas dan tingkat
kesesuaian dalam rangka pengembangan komoditi tanaman obat.
Diharapkan dengan adanya penambahan atau pengembangan lahan tanaman obat
serta seluruh lahan bisa berproduksi optimal dan produksi bahan baku jamu nasional akan
terdongkrak. Berangkat dari hal tersebut Madura bisa memainkan perannya dalam
menangkap peluang ini. Terlepas dari itu semua kebijakan pendampingan diperlukan
ketika ekstensifikasi lahan tanaman obat dilakukan. Hal yang paling penting untuk
dilakukan adalah penetapan tanaman obat. Selain untuk melindungi usaha tanaman obat
lokal dari impor, kebijakan penetapan harga bahan baku jamu yang layak akan memacu
masyarakat untuk mau mengembangkan lahan tanaman obat yang dimiliki.
3. Kebijakan Intensifikasi
Intensifikasi yang dimaksud disini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas
dan kualitas jamu lokal di Madura. Meskipun tidak semua jamu produksi lokal bermutu
rendah tetapi kenyataan menunjukkan menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang
vital bagi mutu jamu lokal Madura.
Terkait hal tersebut beberapa langkah yang perlu dilakukan terkait intensifikasi
industri jamu rakyat di Madura terdiri dari:
1. Pembinaan penerapan manajemen mutu industri jamu rakyat
2. Pembinaan industri jamu rakyat melalui Penerapan standar mutu bahan dan alat

206
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

3. Pembuatan standar dan metode uji kualitas jamu secara laboratorium dan visual
4. Perbaikan areal lahan tanaman obat, saluran primer dan sekunder
5. Penerapan mixed farming system pada lahan tanaman obat untuk meningkatkan
pendapatan petani
6. Penggunaan teknologi tepat guna untuk menunjang kuantitas dan kualitas jamu
7. Menjalin terus kerjasama dengan multipihak, contohnya dengan mengadakan
riset/studi kelayakan potensi produksi dan pemasaran jamu, hasil kerjasama Dinas
Perindustrian 4 Kabupaten di Madura dan Propinsi Jatim, BP POM, Perusahaan
Jamu, seperti: PT. Sidomuncul, PT Air Mancur, Perguruan Tinggi, dan lainnya.
Bentuk kemitraan ini harus terus dilakukan dalam rangka intensifikasi industri jamu
rakyat di Madura.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
1. Hasil pemetaan produksi menunjukkan bahwa di 4 kabupaten di wilayah Madura
mempunyai potensi tanaman obat, seperti: jahe, cabe jamu, kencur, temu lawak dan
lain-lain.
Pemetaan pemasaran menunjukkan bahwa tanaman obat banyak diserap oleh industri
kecil obat tradisional (IKOT) dan industri obat tradisional (IOT) yang terbagi atas
jenis: jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Pemetaan kemitraan
menunjukkan bahwa multipihak jamu di Madura masih belum optimal (terjebak
egosektoral) dalam bersinergi.
2. Berdasarkan hasil identifikasi, analisis hambatan dan arah dari visi Jamu Indonesia
Maju 2020 maka strategi pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. Pengoptimalan
aspek produksi pada industri jamu Madura dengan: a. Perbaikan irigasi dan jalan
akses, b. Perbaikan teknologi produksi, c. Peningkatan standar mutu dan keamanan
produk. d. Mempermudah akses perbankan, e. Pengembangan SDM Petani dan
Pengusaha jamu,e. f. Peningkatan jumlah lahan tanaman obat (ekstensifikasi). g.
Mendorong implementasi manajemen usaha. 2. Pengoptimalan aspek pemasaran
dengan: a. Berjejaring dengan multipihak untuk meningkatan informasi pasar, b.
Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk mengurangi ketergantungan kepada
tengkulak tanaman obat, c. Perbaikan kualitas agar jamu rakyat diterima konsumen
DN dan LN, d. Optimalkan asosiasi dan koperasi petani dan usaha kecil jamu untuk
mengatasi perbedaan harga. 3. Pengoptimalan aspek kemitraan dengan: a.
Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya, b. Optimalkan
kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya.
Sedangkan, kebijakan pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. revitalisasi, 2.
intensifikasi; dan 3. ekstensifikasi.

Rekomendasi
Multipihak yang terkait dengan jamu Madura harus segera bersinergi untuk mewujudkan
Visi 2020 Jamu Brand Indonesia yang Maju, yakni: ”Jamu Indonesia Maju 2020:
Modern, Mutu tinggi, Murah dan Memasyarakat”.

207
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

DAFTAR PUSTAKA

Djauhariya. Endjo dan Rosman. Rosihan, 2004, Status Teknologi Tanaman Cabe Jamu
(Piper retrofractum), Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Handayani. Lestari, dkk, 1998, Inventarisasi Jamu Madura Yang Dimanfaatkan Untuk
Pengobatan Atau Perawatan Gangguan Kesehatan Berkaitan Dengan Fungsi Reproduksi
Wanita, Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan- Vol 2, No 1, 1998
Kemala, S., dkk. 2005, Studi Serapan, Pasokan dan Pemanfaatan Tanaman Obat di
Indonesia. Laporan Akhir. Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipatif/PAATP, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian (tidak dipulbikasikan).
Lensa Indonesia, 2013, Gabungan Pengusaha Jamu: Tidak Ada Menteri yang
Memikirkan, Ini Tradisi Bangsa, DPR Desak Pemerintah Kaji Ulang Regulasi
‘Pembunuh’ Industri Jamu, Editor: Rudi, Kamis, 31 Januari 2013 23:23 WIB, Artikel
didownload 8 Juni 2014
Muhammad, 2010, Budidaya Tanaman Obat-Obatan: Jahe, Kencur Dan Temu Lawak Di
Pulau Madura, Muhammad’s Blog: Bioteknologi Tanaman, didownload tanggal 8 Juni
2014
Muslimin. Lukman, dkk. 2009, Kajian Potensi Pengembangan Pasar Jamu, Laporan
Akhir, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Badan Penelitian
Dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan

208
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PEMBINAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI MINYAK KELAPA


MELALUI DIVERSIFIKASI PRODUK
(Studi Kasus Pada Kelompok Usaha Nurul Hikmah)

Elys Fauziyah1), Darimiyya Hidayati2)


1)
Staf Pengajar, Program Studi Agribisnis, UTM, Madura
2)
Staf Pengajar Program Studi TIP, UTM, Madura
Email : mamakayis97@gmail.com

ABSTRAK

Desa Gapura Barat berada di wilayah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep memiliki
potensi tanaman perkebunan kelapa yang sangat besar. Tercatat di Desa Gapura Barat ini memiliki
populasi pohon kelapa sebesar 175.000. Sehingga banyak masyarakat di wilayah desa ini yang
memiliki agroindustri pembuatan minyak kelapa. Namun agroindustri tersebut hanya mampu
menghasilkan satu jenis produk yaitu minyak kelapa yang nilai ekonominya sangat rendah.
Padahal disisi lain, kelapa memiliki produk turunan yang sangat banyak dan bernilai ekonomi
tinggi. Tujuan dari pengabdian ini adalah : (1) memberikan bantuan peralatan, (2) memberikan
pelatihan tentang pembuatan VCO yang merupakan produk turunan minyak kelapa bernilai tinggi,
memberikan pelatihan tentang pemanfaatan limbah ampas kelapa, dan memberikan pelatihan
tentang pembuatan biskuit kelapa. Pengabdian dilakukan pada kelompok usaha Nurul Hikmah
dengan pertimbangan bahwa kelompok usaha tersebut telah berproduksi minyak kelapa dalam
kurun waktu lebih dari 10 tahun, namun output yang dihasilkan hanya satu yaitu minyak goreng
kelapa. Hasil dari pengabdian ini adalah kelompok Nurul Hikmah telah mampu mengaplikasikan
pembuatan VCO dengan kemasan yang menarik sehingga layak untuk dijual. Selain itu kelompok
tersebut juga telah dapat membuat biscuit berbahan baku tepung ampas kelapa yang memiliki nilai
jual tinggi.

Kata Kunci : Pembinaan, Nurul Hikmah, Kelapa, Diversifikasi produk

PENDAHULUAN

Posisi pertanian dalam kehidupan masyarakat masa depan akan sangat strategis
apabila kita mampu mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung memandang
pertanian sebagai penghasil komoditas primer menjadi pola pikir yang melihat satu
kesatuan sistem dari hulu sampai hilir. Pembangunan ekonomi yang didasarkan atas
keunggulan yang dimiliki maka perekonomian yang terbangun akan memiliki daya
saing yang tinggi sehingga pada akhirnya akan bermanfaat bagi seluruh rakyatnya
(Kusnandar, 2009). Agroindustri adalah merupakan subsistem pencipta nilai tambah dari
sebuah komoditas primer hasil pertanian. Melalui agroindustri ini maka sebuah komoditas
pertanian diderivasi terus sampai hilir untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah
yang lebih tinggi. Semakin banyak produk hilir yang tercipta dari komoditas tersebut
maka semakin banyak nilai tambah yang dihasilkan sehingga pada akhirnya akan semakin
besar memberikan kemanfaatan masyarakat secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai
yang tercipta dari turunan produk tersebut maka akan semakin tinggi pula nilai komoditas
primer yang menjadi basis produk tersebut (Anantanyu,2012)
Sumenep merupakan salah satu kabupaten di Pulau Madura yang memiliki
potensi besar di sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari luasan areal yang digunakan
untuk usahatani dan berbagai jenis komoditas yang diusahakan oleh petani. Berdasarkan
informasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Sumenep (2013) luas areal total yang
dipergunakan untuk kegiatan usahatani sebesar 2,422,796.3 hektar, dan dari luasan
tersebut 87.83 persen merupakan usahatani komoditas perkebunan. Jenis komoditas

209
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

perkebunan yang banyak dibudidayakan oleh petani adalah komoditas kelapa dan
siwalan. Hal ini sangat wajar karena Kabupaten Sumenep dikelilingi oleh pantai yang
sangat cocok dipergunakan untuk budidaya kedua tanaman tersebut.
Melimpahnya hasil panen tanaman kelapa menyebabkan harga komoditas tersebut sangat
rendah, seringkali hanya mencapai Rp. 200/buah. Kondisi ini sering membuat
terpuruknya perekonomian petani kelapa. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas
Perkebunan Kabupaten Sumenep untuk membantu meningkatkan nilai ekonomi
komoditas kelapa adalah membina para petani untuk mengolah buah kelapa menjadi
minyak kelapa. Berdasarkan informasi dari Dinas Perindustrian Kabupaten Sumenep,
agroindustri minyak kelapa, telah memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja
dan peningkatan perekonomian desa. Agroindustri minyak kelapa tersebra di beberapa
kecamatan diantaranya : Gapura, Dungkek, Batang-Batang, Arjasa, Kangean dan Masa
Lembu. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan ini sekitar 1,055 orang.
Sedangkan nilai jula produk di pasar mencapai 1,518.6 juta.
Sebagian besar jenis agroindustri kecil minyak kelapa terdapat di Desa Gapura
Barat Kecamatan Gapura. Di Desa tersebut terdapat beberapa kelompok tani yang
mengolah kelapa menjadi minyak kelapa dan nira siwalan menjadi gula merah. Salah
satunya adalah Kelompok Tani Nurul Hikmah yang mengolah kelapa menjadi minyak
kelapa. Karakteristik dari kelompok tani Nurul Hikmah adalah sebagai berikut :
a. Jumlah anggota sebanyak 30 orang dan yang mengolah kelapa menjadi minyak
kelapa sebanyak 10 orang, 2 orang diantaranya memiliki skala sedang
b. Kegiatan produksi dilakukan sebanyak 5 kali dalam seminggu dengan peralatan
yang sederhana (parut dan pemeras santan masih manual), dengan rata-rata jumlah
kelapa 50 butir untuk skala kecil dan 100 butir untuk skala sedang
c. Jumlah output yang dihasilkan adalah (a) minyak kelapa dalam 100 butir kelapa
dihasilkan minyak sebesar 20 botol ukuran 600 ml, dengan nilai jual Rp. 10,000
perbotol (b) blondo seharga Rp 10,000/liter, dan (c) ampas kelapa senilai Rp.
1,000 perkilogram, dan (d) sabut kelapa dengan harga Rp. 7,000 per100 butir
kelapa.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Kelompok Tani Nurul Hikmah pada
saat survey awal dilakukan adalah :
a. Permasalahan produk
kuantitas dan kualitas produk minyak kelapa yang masih rendah karena produk
tersebut cepat mengalami kerusakan (mudah tengik) hal ini disebabkan
keterbatasan penguasaan iptek pengolahan serta perangkat produksi, terbuangnya
sisa produksi (ampas dan air kelapa) yang sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang
tinggi
b. Permasalahan pemasaran
Produk yang dihasilkan belum dikemas dengan baik dan dijual dalam bentuk curah
yang ditaruh dalam botol-botol bekas dan langsung diambil oleh tengkulak. Belum
memiliki PIRT dan izin dari dinas kesehatan sehingga menyebabkan minyak kelapa
tidak dapat dipasarkan pada toko-toko atau swalayan lokal
c. Permasalahan pencatatan keuangan
Anggota kelompok usaha rata-rata tidak memiliki catatan keuangan, akibatnya
tidak teridentifikasi biaya yang dikeluarkan, sehingga tidak diketahui dengan jelas
apakah harga yang dibandol oleh tengkulak sesuai/ seimbang dengan tingkat kerja
yang telah dicurahkan. Disamping itu tanpa catatan keuangan mereka sulit untuk
dapat mengakses modal pada lembaga keuangan formal.

210
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

d. Permasalahan keterbatasan ketrampilan SDM


Teknologi yang digunakan oleh para pengrajin untuk memproduksi minyak kelapa
berasal dari pengetahuan yang sifatnya turun menurun. Usaha yang selama ini ada
merupakan usaha turunan dari orang tua mereka. Peralatan yang dipergunakan juga
masih sangat sederhana. Sebagai gambaran peralatan yang digunakan untuk
memeras kelapa dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.
Berdasarkan gambaran kondisi agroindustri tersebut, maka pengabdian ini
bertujuan untuk membantu mengembangankan dan mengatasi permasalahan agroindustri
minyak kelapa yang tergabung dalam kelompok usaha Nurul Hikmah, dengan cara
memberikan pelatihan tentang deversifikasi produk yang berbasis pada minyak kelapa
dan ampasnya.

METODE DAN BAHAN PENGABDIAN

Kegiatan pengabdian dilakukan terhadap kelompok usaha minyak kelapa “Nurul


Hikmah” yang dipimpin oleh Bapak Yusuf dan berlokasi di Dusun Gunung Paramaan
Desa Gapura Barat Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Metode yang dipergunakan
untuk pembinaan adalah dengan cara memberikan bantuan peralatan, dan memberikan
pelatihan dan pendampingan pembuatan produk
Beberapa teknik yang diajarkan untuk membuat diversifikasi produk dapat
dijelaskan sebagai berikut :

211
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

1. Teknik pembuatan produk VCO

212
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

2. Teknik pembuatan tepung ampas kelapa

3. Teknik pembuatan biskuit kelapa


Bahan yang dibutuhkan :
 3 butir telur, yang satu putihnya di buang
 200 gram tepung terigu
 150 gram tepung kelapa
 150 gram gula halus
 ¼ sendok makan Baking powder
 ¼ sendok the garam
 Vanili bubuk secukupnya
 1 sendok makan room butter
 25 gram susu bubuk
 250 gram mentega
 Choco chip
Cara membuat :
 Mencampurkan telur, gula halus, mentega, room butter, vanili, baking powder, dan
garam. Kemudian dikocok sampai berwarna putih
 Mencampurkan tepung terigu dan kelapa sedikit demi sedikit
 Mencetak dengan sendok, diberi choco chip diatasnya, taruh di loyang, dan di oven

HASIL PEMBAHASAN

Dusun Gunung Paramaan merupakan tempat yang sangat jauh dari daerah
perkotaan Kabupaten Sumenep. Di Daerah tersebut banyak dijumpai berbagai kendala
yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat, seperti : tidak ada
angkutan umum yang menuju daerah tersebut, kapasitas listrik yang dimiliki setiap rumah
rata-rata hanya 450 watt, jauh dari pasar output maupun pasar input, akses anggota
kelompok usaha terhadap informasi juga terbatas.

213
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Kegiatan pengabdian yang dilakukan adalah pemberian peralatan yang


dibutuhkan untuk membuat diversifikasi usaha berbahan baku kelapa. Alat-alat yang
diberikan meliputi : mesin penepung, mesin pemarut, mixer, oven, lengser, spatula,
seperangkat kemasan dan desain label, dan neon box. Peralatan tersebut sangat membantu
anggota kelompok usaha Nurul Hikmah untuk dapat membuat diversifikasi produk
berbasis komoditas kelapa yang akan diajarkan.

Gambar 1. Peralatan yang Diberikan Kepada Kelompok Usaha Nurul Hikmah

Kegiatan pelatihan pembuatan produk diikuti dengan antusias oleh anggota


kelompok usaha Nurul Hikmah. Pelatihan pembuatan produk VCO di sampaikan oleh
bapak Supriyanto, STP, MSi yang memiliki keahlian dalam pengolahan pangan (hasil
pertanian). Materi yang disampaikan meliputi : potensi permintaan VCO, manfaat produk
VCO, dan cara pembuatan VCO. Setelah materi disampaikan maka dilakukan praktek
pembuatan VCO.

214
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Gambar 2. Pelatihan Pembuatan VCO

Gambar 2. Pelatihan Pembuatan Produk VCO


Hasil pelatihan pembuatan VCO, yang dihasilkan dalam proses pelatihan ini
ditaruh dalam botol kecil kemasan 50 mili, dan telah diberi label dengan merk “Nurma”.
Seperti dalam gambar berikut.

Gambar 3. Produk VCO Hasil Pelatihan

Produk kedua yang disampaikan dalam pelatihan pembuatan produk ini adalah
pembuatan tepung kelapa, yang merupakan limbah ampas sisa pembuatan VCO.
Pembuatan tepung kelapa dilakukan dengan menggunakan mesin penepung yang
berbahan bakar solar. Pemilihan alat tersebut dilakukan karena listrik yang ada di rumah
anggota kelompok tani rata-rata hanya sekitar 450 watt. Keberhasilan pembuatan tepung
kelapa, dihadapkan pada permasalahan lain yaitu permintaan tepung kelapa di masyarakat

215
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

belum banyak, sehingga kalau hanya berproduksi tepung kelapa, maka pemasaran produk
tersebut akan sulit dilakukan. Pemecahan dari permasalahan tersebut adalah membuat
biscuit kelapa, dengan harapan produk yang dihasilkan lebih mudah untuk diserap di
pasar.

Gambar 4. Proses Pembuatan Tepung Kelapa

Proses pelatihan pembuatan Biscuit kelapa diikuti oleh ibu-ibu anggota kelompok
usaha Nurul Hikmah. Pembuatan biskuit kelapa membutuhkan bahan baku tambahan
yang lazim digunakan dalam pembuatan biskuit seperti : telur, susu, mentega, tepung
terigu dan lain-lain. Setelah proses pembuatan, biskuit tersebut dikemas dalam toples
yang sudah diberi label sebagai identifikasi produk kelompok tersebut. Pemberian nama
label diambilkan dari singkatan nama kelompok usaha Nurul Hikmah dan disingkat
menjadi “Nurma”. Biskuit kelapa sudah dikenal di pasar dengan berbagai merk, sehingga
produk ini akan lebih mudah diterima oleh konsumen karena bukan produk yang baru.
Hasil dari pelatihan pembuatan produk tersebut disajikan dalam gambar berikut,

Gambar 5. Proses Pelatihan Pembuatan Produk Biskuit Kelapa

216
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Proses diversifikasi produk merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk


mengembangkan
kelompok usaha agroindustri pengolah minyak kelapa. Produk VCO merupakan produk
yang menjanjikan untuk dikembangkan karena nilai ekonomi produk ini adalah
Rp.40,000,- per liter sedangkan minyak goreng kelapa yang dihasilkan oleh kelompok
usaha Nurul hikmah hanya bernilai Rp. 8, 000 -10,000 setiap 1 liternya. Selain itu biskuit
kelapa yang dihasilkan bisa menghasilkan keuntungan sebesar 1.5 kali dari biaya
produksi yang dikeluarkan. Ini menunjukkan bahwa diversifikasi produk merupakan
peluang yang harus diambil oleh kelompok usaha Nurul Hikmah, apabila dia
menginginkan untuk mengembangkan agroindustri yang dimilikinya.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari pengabdian ini adalah : pengembangan agroindustri kecil


berbahan baku komoditas kelapa secara teknis mudah untuk diaplikasikan, namun
sebagain besar dari anggota kelompok usaha ini tidak memahaminya. Kegiatan
pengabdian yang berupa pelatihan diversifikasi produk dapat membantu mereka untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang sudah mereka jalankan selama bertahun-tahun.
Saran dari kegiatan ini adalah : diperlukan adanya pendampingan yang intensif
supaya kelompok tersebut dapat mengaplikasikan pelatihan pembuatan diversifikasi
produk yang diperoleh. Pendampingan intensif tersebut dapat dilakukan dengan
melibatkan mahasiswa untuk melakukan kegiatan PKL di kelompok usaha Nurul
Hikmah, atau dengan cara melakukan pengabdian yang berkesinambungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terimakasih kepada Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi) yang telah membiayai kegiatan pengabdian ini melalui Hibah dana pengabdian
IbM (Ipteks Bagi Masyarakat).

DAFTAR PUSTAKA

Anantanyu, 2012. Rekayasa Model Aliansi Strategis Agroindustri Skala Kecil (Kasus
Kluster Industri Tahu). SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 74 –82
Anonim. Balai Penelitian Tanaman Palma. 2009. Pembuatan Gula Semut. Jakarta
Fauziyah, 2006. Growth strategy of medicinal herbs agroindustry in Bangkalan
Subdistrict. Prosiding International Research Seminar and Exhibition, November
7-8 2008, UMM, Research Centre, UMM, Malang.
Kusnandar, 2009. Pengembangan agroindustri skala kecil melalui jaringan usaha dalam
menghadapi krisis ekonomi global. Makalah disampaikan padaSeminar dan
Temu Ilmiah Nasional “Revitalisasi Pertanian dalam Menghadapi Krisis
Ekonomi Global” Tanggal 21 Maret 2009.Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Winarno, FG.1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta
Sunantyo. 2008. Pengaruh Pemakaian bahan pengawet terhadap kualitas nira dan gula
semut. Prosiding seminar Teknologi Pangan

217
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

INTRODUKSI TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAYURAN


DI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL)
DESA GILIANYAR DAN BANYUAJUH, KECAMATAN KAMAL, BANGKALAN

Ita Yustina, Wahyu Handayati, Donald Sihombing


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur
Email: ita_yustina_best@yahoo.com

ABSTRAK

Introduksi teknologi pengolahan sayuran dilaksanakan di Kawasan Rumah Pangan Lestari yang
ada di Bangkalan, Madura. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan
konsumsi sayuran dan pemanfaatan sayuran hasil RPL serta menambah ketrampilan anggota RPL.
Jenis teknologi yang diberikan antara lain teknologi pembuatan permen tomat, stick bayam, mie
sawi dan brownies terong. Pengamatan yang dilakukan adalah penerimaan panelis (anggota
KRPL) terhadap kesukaan kualitas produk olahan sayuran, penerimaan panelis terhadap tingkat
kemudahan teknologi pengolahan berbasis sayuran, perhitungan biaya produksi dan persentase
pengurangan biaya bila menggunakan sayuran hasil pekarangan sendiri. Hasilnya: kesukaan
panelis tertinggi terhadap brownies terong, teknologi pengolahan yang dianggap panelis paling
mudah adalah pembuatan mie sayur sawi, biaya bahan baku pembuatan produk olahan sayuran
berkisar antara Rp 16.950,- hingga Rp 33.950,- dengan % pengurangan biaya 1,7% - 29,5% bila
menggunakan sayuran hasil pekarangan sendiri.

Kata kunci: teknologi pengolahan sayuran, sawi, bayam, terong, tomat

ABSTRACT

Vegetabel Processing technology introduction was conducted in Sustainable Food Reserve Garden
(Kawasan Rumah Pangan Lestari - KRPL) in Bangkalan Regency of Madura Island. This program
was conducted in purpose to increase vegetabel consumption and utilization of vegetabel yield
from Food Reserve Garden and also to enhance skill of Food Reserve Garden member. Types of
technology which were given namely: processing technology of tomato candy; spinach stick,
mustard noodle; and eggplant brownies. Observations were done include panelists penerimaanses
(KRPL member) on to their preference of quality of vegetabel based processing product; panelists
penerimaanses on to the level of easiness of vegetabel based processing technology; production
cost calculation, and percentage of cost reduction by using vegetabel from each ownership. The
result were: panelist preference which highest was on eggplant brownies, and the easiest
processing technology thought by panelists was mustard noodle, material cost for vegetabel based
processing product was around Rp. 16.950,- until Rp. 33.950,- with percentage of cost reduction
was 1,7-29,5 when it is using vegetabel from their own ownership.

Keywords: vegetabel processing technology, mustard, spinach, eggplant, tomato

PENDAHULUAN
Program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan implikasi dari
perpres No. 22 Tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi
pangan berbasis sumberdaya lokal. Program KRPL menerapkan pemanfaatan pekarangan
secara optimal yang berbasis sumber daya lokal dan ramah lingkungan untuk pemenuhan
kebutuhan pangan dan gizi keluarga (Anonim, 2012). KRPL dibentuk secara

218
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mengelompok setingkat desa kelurahan/dusun/RW/RT dari beberapa Rumah Pangan


Lestari (RPL).
Melalui program KRPL masyarakat diberikan teknologi budidaya dan
pembentukan kebun bibit tanaman hortikultura (sayuran dan buah). Jenis sayuran yang
dibudidayakan di KRPL yang ada di Desa Gilianyar dan Banyuajuh, Bangkalan antara
lain sawi, bayam, tomat, terong, kacang panjang, cabai kecil, cabai besar, beberapa jenis
labu dan lain-lain. Hasil panen tanaman sayuran tersebut digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga dan jika berlebih dapat dijual sehingga dapat menambah
pendapatan keluarga. Sebagai sumber pangan keluarga, diversifikasi produk olahan
sayuran sangat penting untuk dilakukan. Diversifikasi produk olahan sayuran bermanfaat
dapat meningkatkan minat anggota keluarga dalam mengkonsumsi sayuran, sehingga
konsumsi keluarga terhadap sayuran meningkat. Hal ini tentunya juga memberikan
dampak baik pada peningkatan kesehatan keluarga.
Masyarakat Madura pada umumnya kurang suka mengkonsumsi sayuran. Hal ini
terlihat pada penyusunan menu hidangan yang lebih didominasi oleh lauk pauk dan
nasi/jagung. Variasi jenis sayuran dan jenis olahan dalam menu makanan sehari-hari juga
kurang. Hal ini dapat menjadi penyebab rendahnya minat anggota keluarga
mengkonsumsi sayuran. Oleh sebab itu perlu diperkenalkan teknologi pembuatan aneka
produk olahan berbahan baku sayuran yang dapat menjadi menu makanan pokok dan
camilan/snack. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penerimaan anggota KRPL di
desa Gilianyar dan Banyuajuh, Bangkalan terhadap teknologi olahan sayuran dan hasil
olahannya.

METODE PENELITIAN
Teknologi pengolahan yang diberikan adalah teknologi yang dipilih oleh
perwakilan anggota RPL Desa Gilianyar, Kecamatan Kamal, Bangkalan yang
menggunakan peralatan, bahan baku dan cara pembuatan yang sederhana dan mudah
didapat serta murah. Sayuran sebagai bahan baku yang digunakan adalah hasil dari RPL
sendiri seperti sawi, bayam, tomat dan terong. Peralatan yang digunakan adalah peralatan
sederhana yang sering digunakan di dapur, seperti dandang, panci, wajan, kompor,
blender, pasta engine (alat pencetak mie), dll. Berikut merupakan jenis dan komposisi
bahan serta cara pembuatan teknologi pengolahan yang diintroduksikan:
a. Mie Sawi
Bahan: Terigu protein tinggi 800 g, Tepung tapioka 200 g, Pasta daun sawi
secukupnya, Telur 2 butir, Garam secukupnya. Cara pembuatan: Pilih daun sawi yang
muda dan bagus bebas dari penyakit, cuci dan kukus hingga 5-10 menit lalu blender
hingga lembut dengan ditambahkan air secukupnya. Campur terigu , tepung tapioka dan
garam, aduk hingga rata. Kocok telur dan masukkan kedalam adonan bersamaan dengan
pasta daun sawi yang sudah dihaluskan. Uleni adonan hingga kalis. Bentuk lembaran
dengan alat pemipih dan ulangi berkali-kali hingga lembaran halus dan lembut (± 5 kali).
Potong lembaran hingga berbentuk mie. Rebus mie kedalam air mendidih yang sudah
ditambahkan sedikit minyak goreng dan segera angkat apabila mie telah terapung (± 3
detik). Masukkan kedalam air dingin sebentar supaya tidak lengket, angkat dan tiriskan.
b. Stick bayam
Bahan: Terigu protein sedang 750 g, Tapioka 250 g, Mentega 200 g, Telur 4
butir, Penyedap 1 bungkus, Garam 14 g atau 1 sdm dan Pasta bayam secukupnya. Cara
pembuatan: Cairkan mentega. Kocok telur. Campur terigu, tepung tapioka, penyedap dan
garam, aduk hingga rata. Masukkan telur yang sudah di kocok dan mentega cair kedalam
adonan tepung kemudian aduk rata. Uleni adonan hingga kalis dengan menambah pasta
sawi sedikit demi sedikit. Bentuk lembaran dengan alat pemipih dan ulangi berkali-kali

219
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

hingga lembaran halus dan lembut (± 5 kali). Potong lembaran hingga berbentuk
memanjang (sepanjang jari telunjuk) menggunakan pasta engine. Panaskan minyak
goreng dan goreng hingga matang.
c. Permen tomat
Bahan: Tomat 0,5 kg, Gula pasir 250 g, Asam Sitrat secukupnya, Karagenan 20
gr, Glukosa 3 sdm. Cara pembuatan: Pilih tomat matang, cuci dan kukus. Kupas kulit
tomat dan pisahkan. Blender daging tomat hingga halus. Saring dan tambahkan air hingga
volumenya 500 ml, sisihkan. Tuang campuran gula pasir dan karagenan dalam wajan
selanjutnya tuangkan bubur tomat, panaskan diatas api. Masukkan glukosa sambil terus
diaduk, setelah cukup kental, angkat. Tuang ke dalam cetakan dan dinginkan. Setelah
dingin, iris dadu, taburi dengan gula kastor lalu jemur hingga permukaan permen kering.
d. Brownies terong
Bahan : Tepung terigu 200 g, Terong kukus (lumatkan) 200 g, Telur 10 btr,
Minyak goreng 350 ml, Coklat Blok 150 g, dicairkan, Coklat bubuk 100 g, Gula 450 g ,
Vanili 1 g, SP 18 g. Cara Pembuatan : Cairkan minyak goreng dan coklat blok, dinginkan.
Campur tepung terigu, coklat bubuk, aduk hingga rata. Mixer gula, telur, SP, vanili
sampai mengembang atau putih. Masukkan campuran tepung dan coklat bubuk, aduk
menggunakan spatula. Masukkan campuran minyak goreng dan coklat blok yang telah
dicairkan serta pasta terong, aduk menggunakan spatula. Masukkan adonan kedalam
loyang yang telah diolesi kertas roti dan mentega. Kukus hingga matang, jika dikehendaki
dapat diberi hiasan setelah kue dingin.

Waktu dan Lokasi


Lokasi pengkajian di KRPL Desa Gilianyar dan Banyuajuh, Kecamatan Kamal,
Bangkalan. Introduksi teknologi pengolahan dilaksanakan pada bulan November-
Desember 2013.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dengan jumlah
panelis 17 orang. Panelis merupakan anggota KRPL Desa Gilianyar dan Banyuajuh,
Kecamatan Kamal, Bangkalan. Parameter yang diamati adalah
1. Penerimaan anggota RPL terhadap mutu sensoris hasil olahan sayuran yang
diintroduksikan (mie sawi, stick bayam, permen tomat dan brownies terong)
meliputi warna/penampilan, aroma, rasa, dan kesukaan secara keseluruhan
2. Perhitungan biaya produksi (biaya bahan baku)
3. Penerimaan anggota RPL terhadap tingkat kemudahan cara pembuatan,
ketersediaan bahan baku, memasarkan produk olahan sayuran, biaya produksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Penerimaan Anggota RPL terhadap Mutu Sensoris Produk Olahan Sayuran
Tabel 1. Mutu Sensoris Produk Olahan Sayuran
Kesukaan
Jenis Produk
No. Warna/penampilan Aroma Rasa secara
Olahan Sayuran
umum
1. Permen Tomat 3,88a 3,65b 3,82a 3,76b
2. Brownies terong 4,23a 4,23a 4,06a 4,12a
3. Stick bayam 4,00a 3,88b 4,18a 4,06a
4. Mie sawi 4,18a 3,88b 4,06a 4,00ab
Koef. Keragaman 0,14 0,12 0,12 0,12
(%)

220
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Kriteria penilaian: sangat tidak suka (nilai 1), tidak suka (nilai 2), cukup (nilai 3), suka
(nilai 4), sangat suka (nilai 5).

Warna/penampilan
Ke-4 teknologi pengolahan yang diintroduksikan, merupakan produk makanan
yang beragam jenis dan peranannya dalam menu makanan. Mie termasuk dalam makanan
pokok, permen dan stick sebagai camilan, dan brownies sebagai kue basah (snack).
Penampilan suatu produk pangan merupakan hal pertama yang dapat
menstimulasi minat untuk mengkonsumsinya. Menurut Hall (1968) dalam de Mann
(1997) kenampakan suatu produk pangan berkaitan dengan warna yang dipantulkan oleh
bahan pangan yang dapat ditangkap oleh syaraf indera penglihatan. Beberapa macam
sayuran mempunyai pigmen warna yang kuat, seperti warna hijau merupakan klorofil
pada sayuran, jingga/orange disebabkan karena kandungan beta karoten pada wortel,
tomat, merah/ungu menunjukkan kandungan antosianin pada buah naga, ubijalar ungu,
bayam merah, dan lain-lain. Ketika digunakan sebagai bahan baku suatu produk olahan
bahan-bahan tersebut berfungsi sebagai pewarna alami, sehingga membuat produk
menjadi semakin menarik. Namun dapat juga timbul warna kecoklatan (browning) selama
proses pengolahan yang disebabkan karena oksidasi yang disebut reaksi Maillard
(Winarno, 2004). Hal ini terjadi pada pengolahan terong. Pada pengolahan brownies
terong menggunakan coklat bubuk dan coklat blok sehingga warna menjadi coklat pekat
sedangkan warna terong tidak tampak. Sedangkan pada olahan lain, seperti permen tomat,
stick bayam dan mie sawi, warna sayuran sebagai bahan baku tampak jelas seperti
permen berwarna orange, stick dan mie berwarna hijau.
Berdasarkan hasil analisa statistika menunjukkan bahwa kesukaan panelis
tertinggi terhadap sifat sensoris warna/penampilan produk hasil olahan adalah 4,23 (suka)
yaitu brownies terong tidak berbeda nyata dengan produk lain dengan kisaran nilai 4,23-
3,88 (suka). Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai semua penampilan/warna
produk teknologi pengolahan yang diintroduksikan. Brownies terong mendapat nilai
warna/penampilan tertinggi karena pada penyajiannya brownies diberi hiasan sehingga
terlihat menarik.

Aroma
Aroma merrupakan sifat sensoris produk pangan yang dapat ditangkap oleh
indera pembau (hidung). Tidak semua produk pangan menghasilkan aroma yang tajam
sehingga bisa ditangkap oleh indera manusia. Permen tomat beraroma tomat, brownies
terong beraroma coklat, mie sawi beraroma bumbu yang dicampurkan saat proses
pembuatan yaitu aneka rempah-rempah, sedangkan stick bayam kurang memiliki aroma
yang kuat karena proses pengolahannya dengan digoreng.
Berdasarkan tabel, nilai sifat sensoris aroma produk yang tertinggi/paling disukai
oleh panelis adalah 4,23 (suka) yaitu brownies terong, berbeda nyata dengan produk-
produk lain, dengan kisaran nilai 4,23-3,65 (suka). Permen tomat mendapat nilai terendah
(3,65) hal ini menunjukkan bahwa panelis kurang suka terhadap produk olahan yang
mempunyai aroma sayuran yang kuat.
Rasa
Ke 4 macam produk olahan sayuran mempunyai rasa yang bervariasi, ada yang
didominasi rasa manis maupun asin. Rasa terong pada brownies terong tidak terasa, rasa
lebih didominasi rasa manis dari gula dan coklat. Pada stick bayam dan mie sawi, rasa
sayur tidak terasa, yang lebih terasa adalah bumbu yang digunakan sebagai campuran dan

221
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

cenderung berasa asin. Sedangkan permen tomat didominasi oleh rasa tomat dan manis
berasal dari gula. Suatu bahan pangan mempunyai rasa yang berasal dari bahan itu sendiri
dan bila mengalami pengolahan dapat dipengaruhi perpaduan rasa dari komponen yang
membentuknya (Kumalaningsih, 1986). Hasil analisa statistika nilai sensoris rasa
menunjukkan kisaran nilai rasa 4,18-3,82 (suka). Nilai tertinggi (4,18) pada stick bayam
namun tidak berbeda nyata dengan produk lain.
Berdasarkan tabel, urutan kesukaan rasa dari nilai tertinggi adalah stick bayam,
mie sawi, brownies terong dan terendah permen tomat. Hal ini menunjukkan bahwa
produk dengan rasa sayur (tomat) dan manis kurang disukai bila dibandingkan dengan
produk pangan dengan rasa asin dan rasa sayur yang tidak terasa seperti pada stick
bayam dan mie sawi.
Kesukaan secara umum
Secara umum, hasil analisa statistika penilaian panelis tertinggi adalah 4,12
(suka) yaitu pada brownies terong dan 4,06 (suka) yaitu pada stick bayam, dengan kisaran
nilai antara 4,12-3,76 (suka) (tabel 1) berbeda nyata antara masing-masing produk.
Urutan produk dari yang paling disukai oleh panelis adalah brownies terong, stick bayam,
mie sawi dan terakhir permen tomat. Kesukaan panelis dapat disebabkan karena rasa,
aroma dan/atau penampilan produk.

2. Biaya Produksi
Asumsi biaya produksi adalah berasal dari biaya bahan baku yang digunakan
dalam proses pembuatan produk. Penggunaan peralatan dengan memanfaatakan peralatan
dapur yang sudah ada.
Tabel 2. Biaya Produksi Olahan Sayuran
Bahan sayuran
Bahan sayuran dari
Jenis Produk didapat dari %
No. hasil RPL
olahan membeli pengurangan biaya
(Rp)
(Rp)
1. Permen 16.950,- 11.950,- 29,5%
Tomat
2. Brownies 29.450,- 28.950,- 1,7%
terong
3. Stick bayam 33.950,- 30.950,- 8,8%
4. Mie sawi 30.000,- 27.000,- 10,0%
Asumsi harga dibuat pada bulan Desember 2013, dengan kapasitas produksi rendah
(untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga)
Catatan: Harga tomat Rp 5.000,-/kg, sawi dan bayam Rp 1.000,-/ikat, terong Rp 500,-/biji
kecil.

Tabel menunjukkan biaya bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan produk


dengan bahan sayuran bukan dari hasil RPL (membeli) dan dari hasil pekarangan sendiri..
Biaya berkisar antara Rp. 16.950,- hingga Rp. 33.950 bila sayuran didapat dari membeli
dan Rp. 11.950,- hingga Rp. 30.950,- sayuran dari hasil RPL. Persentase pengurangan
biaya tertinggi (29,5%) pada pengolahan permen tomat disebabkan karena jumlah
sayuran tomat sebagai bahan baku yang banyak dibuktikan pada rasa sayur tomat yang
kuat pada permen tomat.

222
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

3. Penerimaan anggota RPL terhadap Teknologi Olahan Sayuran


Tabel 3. Penerimaan Anggota RPL terhadap Teknologi Olahan Sayuran
No. Jenis Produk Cara pembuatan Kemudahan Kemudahan Biaya
olahan mendapatkan Pemasaran Produksi
Bahan baku Produk
1. Permen Tomat 3,94a 3,65b 2,88b 3,65a
2. Brownies terong 3,94a 3,94ab 3,35ab 3,71a
3. Stick bayam 4,18a 4,00ab 3,65a 3,94a
4. Mie sawi 4,23a 4,12a 3,41ab 3,94a
Koef. Keragaman 0,12 0,15 0,25 0,18
(%)
Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Kriteria penilaian: sangat sulit/mahal (nilai 1), sulit/mahal (nilai 2), cukup (nilai 3),
mudah/murah (nilai 4), sangat mudah/murah (5).

Cara Pembuatan
Menurut Sulistyani dan Abdul Kadir (1996) dalam mengembangkan produk
olahan yang beraneka ragam, bermutu dan memiliki daya saing, sangat diperlukan
teknologi pengolahan hasil pertanian yang tepat guna, yaitu teknologi yang sesuai dengan
tenaga wanita sebagai pelaksananya. Skor tertinggi pada cara pembuatan menunjukkan
cara pembuatan produk olahan sayuran yang termudah menurut pendapat panelis.
Teknologi pengolahan yang mudah memungkinkan masyarakat untuk mengadopsi atau
melakukan dan mengembangkannya. Berdasarkan tabel 3, skor tertinggi (4,23) pada cara
pembuatan mie sawi. Hal ini dapat berarti bahwa panelis dapat dengan mudah memahami
dan dapat membuat mie sawi. Introduksi teknologi pengolahan produk olahan sayuran
dilakukan dengan cara demo dan praktek dengan melibatkan panelis secara langsung.
Sehingga diharapkan panelis dapat lebih mudah memahami dan telah mempunyai
pengalaman melakukannya.
Menurut Susanto (2002) dalam usaha pengolahan hasil pertanian, permasalahan
teknologi menduduki bobot 32%. Hasil kusioner menunjukkan pendapat panelis terhadap
cara pembuatan atau teknologi pengolahan yang diberikan dengan skor 3,94-4,23 yang
berarti mudah.

Kemudahan mendapatkan bahan baku


Bahan baku merupakan bahan penyusun yang diperlukan dalam memproduksi
suatu produk. Permasalahan bahan baku menduduki bobot 8% (Susanto, 2002). Dalam
teknologi pengolahan berbasis sayuran masih memerlukan bahan baku yang lain seperti
tepung terigu, tepung tapioka, gula, mentega, telur, coklat, karagenan, dan lain-lain.
Persentase jumlah sayur yang digunakan dalam pembuatan produk makanan berbeda.
Semakin banyak jumlah sayuran yang digunakan semakin kuat flavor sayur pada produk
jadi. Jajak pendapat yang dilakukan adalah pada tingkat kemudahan panelis dalam
mendapatkan bahan baku, terutama bahan baku selain sayur, karena sayuran diasumsikan
dapat diperoleh dari pekarangan sendiri.
Hasil jajak pendapat (tabel 3) menunjukkan skor tingkat kemudahan
mendapatkan bahan baku berkisar 3,65-4,12 (mudah) berbeda nyata antar produk-produk.
Skor tertinggi terdapat pada produk mie sawi (4,12). Hal ini menunjukkan bahwa bahan
baku pembuatan mie sawi (selain sawi) yaitu tepung terigu dan telur mudah didapatkan di
wilayah sekitar lokasi pengkajian. Sedangkan skor terendah (3,65) terdapat pada produk

223
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

permen tomat dapat disebabkan karena salah satu bahan pembuatan permen tomat yaitu
karagenan tidak/belum banyak dipasarkan di wilayah tersebut.

Peluang Komersialisasi Produk


Selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, teknologi
pengolahan produk berbasis sayuran juga diharapkan dapat menambah pendapatan
keluarga. Untuk itu dilakukan jajak pendapat terhadap peluang produk olahan sayuran
dipasarkan di wilayah sekitar RPL. Tabel 3 menunjukkan skor antara 2,88-3,65 (cukup-
mudah) berbeda nyata antara masing-masing produk. Skor tertinggi atau dianggap
mempunyai peluang komersialisasi paling besar (3,65) adalah stick bayam. Stick bayam
merupakan produk olahan sayuran, yang rasanya agak asin, teksturnya renyah kering,
warnanya hijau (dari bahan sayuran) namun flavor khas sayuran tidak muncul. Stick
bayam mempunyai skor tertinggi dapat disebabkan karena termasuk jenis camilan yang
bertekstur renyah dan rasanya juga agak asin (tidak manis). Hal ini dapat menunjukkan
bahwa sebagian masyarakat Madura menyukai cita rasa makanan/masakan yang asin
(tidak manis).

Biaya Produksi
Menurut hasil pengisian kuesioner, biaya produksi ke empat produk olahan
sayuran dianggap murah (3,65-3,94) oleh panelis. Dengan biaya seperti tersebut pada
tabel 2, dengan hasil produk cukup banyak. Diharapkan anggota KRPL membuatnya
dengan berkelompok 2-3 RPL. Sehingga selain menjadi lebih murah juga dapat
mengerjakan bersama.

KESIMPULAN
1. Skor tertinggi produk olahan sayuran (4,12) berdasarkan sifat sensoris adalah
brownies terong.
2. Biaya bahan baku pembuatan produk olahan sayuran berkisar antara Rp 16.950,-
hingga Rp 33.950,- dengan % pengurangan biaya 1,7% - 29,5% bila menggunakan
sayuran hasil pekarangan sendiri.
3. Cara pembuatan termudah adalah pembuatan mie sayur sawi, Bahan baku pengolahan
sayuran yang termudah didapatkan adalah bahan baku pembuatan mie sawi,
pemasaran produk termudah adalah stick bayam, serta biaya bahanbaku dianggap
termurah adalah stick bayam dan mie sawi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1992. Prosiding Lokakarya Gender Analisis Dalam Sistim Usahatani. Pusat
Penelitian Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Anonimus. 2010. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010 – 2014. Badan
Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Anonimous. 2012. Kumpulan Pedoman Teknik Budidaya Mendukung Aplikasi KRPL di


Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Kementerian
Pertanian. Malang.

De Mann, J. 1989. Kimia Makanan. Terjemahan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit


ITB Bandung. Bandung.

224
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Soelistyani, H. P, dan M. Abdul Kadir. 1996. Teknologi Masuk Desa. Direktorat


Pembangunan Desa. Prop. Daerah TK I. Jatim. Surabaya.

Susanto, Tri. 2002. Peningkatan Mutu dan Nilai Tambah Produk Hasil Pertanian yang
Berkerakyatan. Makalah pada Ekspose dan Seminar Nasional Mekanisasi
Pertanian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Malang, 28 Juli – 1 Agustus
2002.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

225
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

REKAYASA TEKSTUR DAN KAJIAN STABILITAS SOSIS FRANKFURTERS


RENDAH LEMAK DARI IKAN TONGKOL (THUNNUS TONGGOL)
MENGGUNAKAN LEMAK ANALOG DARI EKSTRAK PORANG DAN
PENGEMULSI DARI EKSTRAK RUMPUT LAUT

Bayu Noriandita1, Novia Nava1, Achmad Atdairobi1, Rifki Arifudin1 & Sri Hastuti2
1
Mahasiswa Program Studi Teknologi Industri Pertanian, 2Dosen Program Studi
Teknologi Industri Pertanian
E-mail: namikaedogawa@gmail.com.

ABSTRAK

Sosis frankfurters sangat disukai karena tekstur yang lembut akibat kadar lemak yang
tinggi. Pengurangan kadar lemak dapat menurunkan kelembutan sosis. Penelitian ini bertujuan
untuk membuat sosis frankfuters dari daging ikan tongkol (Thannus tonggol) dengan agen
pembentuk tekstur berupa ekstrak porang (konjak) dan rumput laut sebagai optimasi tekstur sosis
(firmness, stickiness) dikaji menggunakan metode permukaan tanggap (Response Surface
Methodology) dengan faktor konsentrasi konjak (0, 5 dan 10 %), konsentrasi rumput laut (0, 1
dan 3,3 %) dan konsentrasi garam NaCl (1, 2 dan 3 %). Analisis sensoris hedonistik dilakukan
menggunakan 20 orang panelis tidak terlatih, dan hasil sosis yang paling disukai diuji kandungan
nutrisinya (kadar protein, lemak, keasaman total, kadar air). Sifat tekstur sosis tidak dipengaruhi
secara nyata oleh faktor yang dikaji. Berdasarkan uji sensoris sosis yang terbaik dihasilkan dengan
formulasi ekstrak porang 10 %, ekstrak rumput laut 3,3% dan garam 2%, yang mengandung kadar
lemak 0,663 % dan kadar protein 10,751%. Sosis frankfuter dari ikan tongkol ini perlu
ditingkatkan dalam hal sensorisnya karena memiliki nilai yang sangat rendah yaitu 4,7 dari skala
9.
Kata kunci : rekayasa tekstur, sosis frankfruters, ikan tongkol.

ABSTRACT

One of the reasons that makes frankfurter sausage highly preferred is its soft texture due
to high fat content. Reduction of fat content can reduce tenderness of sausage. This study aims to
make frankfurters sausage of tuna (Thannus tonggol) with konjac flour as texturing agent and
seaweed flour as emulsifier. Experiment design was constructed according to response surface
methodology with three factors, consisting of konjac flour concentration (0, 5, and 10. % ),
seaweed flour concentration ( 0, 1 and 3,3 % ) and NaCl concentration (1, 2, and 3 % ). Textural
characteristics (firmness, stickiness) were examined using texture profile analysis on a texture
analyzer. Hedonistic sensory analysis was performed using 20 untrained panelists. The most
preferred sausage was analyzed for fat, protein, and moisture content. Results showed that texture
of sausage were not significantly affected by the factors studied. The most preferred sausage
contained 10 % konjac flour, 3.3 % seaweed flour, and 2 % salt, and had very low fat (0,663 %),
but similar level of protein (10,751 %) content to normal pork frankfurters. Sausage frankfuter of
tuna needs to be improved in terms of sensory because it has a very low value at 4.7 on the scale of
9.
Keywords : engineering texture , frankfruters sausage , tuna.

PENDAHULUAN

Produksi ikan tongkol perairan Indonesia mencapai 4069,75 ton/tahun, yang


kebanyakan dikonsumsi sebagai ikan segar. Kehilangan paska panen ikan tongkol karena
minimnya sarana pendinginan sebesar 39 %. Sedangkan kandungan nutrisi ikan tongkol
sangat tinggi terutama dalam hal protein rendah lemak (21,6-26,3 %), asam lemak
esensial seperti asam lemak omega-3 (5,053-3,323 %) yang baik bagi pertumbuhan otak
dan peningkatan kesehatan. Kandungan terpenting yang terdapat pada ikan laut adalah

226
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Omega-3 yang merupakan asam lemak tak jenuh dan mampu menurunkan kadar
kolesterol, sehingga jelaslah bahwa dengan mengkonsumsi cukup ikan laut mampu
menurunkan resiko terserang penyakit-penyakit degeneratif seperti serangan jantung
koroner dan stroke yang diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol pada darah. Sosis
frankfurters adalah jenis sosis yang sangat digemari dan dikenal secara internasional,
memiliki kadar garam relatif rendah, dan tekstur yang lembut karena kadar lemak yang
tinggi. Untuk menjadikan sosis frankfurters lebih mendukung kesehatan diperlukan
kreatifitas untuk menurunkan kadar lemaknya, tanpa mengurangi kualitas teksturnya.
Salah satu yang mungkin dilakukan adalah mengganti daging sapi atau ayam dengan
daging ikan tongkol. Akan tetapi, diperlukan usaha membentuk tekstur sosis yang baik.
Upaya pembentukan tekstur yang baik dapat dilakukan dengan penambahan tepung
konjak dan seaweed.
Frankfurters adalah sejenis sosis yang mengandung lemak dan garam dalam jumlah
yang tinggi, frankfurters biasanya dibuat dengan menggunakan campuran daging babi dan
sapi, kadar lemak frankfurters berkisar antara 20-30 % dan kadar garam 2 % atau lebih.
Sosis jenis frankfurters dianggap sebagai makanan yang beresiko menyebabkan
hipertensi, kegemukan, diabetes dan kanker perut. Jumlah lemak didalam diet tidak boleh
lebih dari jumah yang setara dengan 20-30 % masukan kalori (Nasional Academy, 2011).
Kadar garam 2,5 % pada frankfurters menghasilkan tingkat penerimaan konsumen yang
tertinggi, apabila kadar garam dikurangi sampai dibawah 1,5% penerimaan konsumen
turun dengan sangat nyata. Penerimaan yang tinggi terhadap frankfurters dengan kadar
lemak rendah 10-15 masih dapat dipertahankan, jika kadar garam berkisar antar 2,5-5 %
(Tobin et al., 2012).
Tepung porang (konjak) sebagai lemak analog pengganti lemak dari daging sapi
atau ayam (Jimenez-Colmenero et al., 2013). Pengganti lemak ditambahkan ke produk
olahan daging sebagai alternatif lemak hewan. Kualitas dari produk bergantung pada jenis
pengganti lemak yang ditambahkan. Karena sifat fisikokimia, reologi dan mikrostruktur
dari gel konjak sehingga gel konjak dapat digunakan sebagai pengganti lemak pada
olahan produk daging rendah lemak yang dipengaruhi oleh penyimpanan dingin dan
pembekuan atau pencairan (Jimenez-Colmenero et al., 2013). Penambahan gel konjak
sebanyak 10 % memiliki sifat yang mirip dengan kontrol produk sosis rendah lemak,
sedangkan penambahan gel konjak sebanyak 20 % dapat mengurangi tekstur alot pada
produk sosis rendah lemak. Penggunaan gel konjak sebagai lemak tiruan dapat
mengurangi total energi kalori dengan mengganti sebagian daging dalam formulasi sosis
(Osburn dan Keeton, 2004). Konjak glukomanan adalah sejenis polisakarida netral
dengan biokompatibilitas yang sangat baik dan biasa digunakan dalam bidang
biodegradable. Studi terbaru aplikasi konjak glukomanan adalah pada bidang farmasi,
bio-teknis, kimia halus dan lain-lain (Zhang et al., 2005).
Sedangkan tepung seaweed mampu mengikat air dan lemak sehingga dapat
meningkatkan kestabilan emulsi (Cofrades, 2008). Oleh karena itu, penelitian ini penting
dilakukan untuk memformulasi sosis frakfurters rendah lemak menggunakan daging ikan
tongkol dan kombinasi lemak analog dari ekstrak porang dan pengemulsi dari ekstrak
rumput laut, untuk mencapai tekstur sosis kualitas sensoris yang baik. Penambahan
rumput laut pada sosis frankfurters dapat atau tidak dapat meningkatkan profil asam
amino bergantung pada jenis rumput laut yang digunakan. Kapasitas antioksidan naik
karena adanya senyawa-senyawa polyfenol terlarut dalam air (Lopez-lopez et al., 2009).
Tekstur yang empuk dalam sosis sangat penting dan tekstur yang empuk ini disebkan
karena kandungan lemak yg tinggi yg menyebabkan sosis menjadi makanan yg tidak baik
bagi kesehatan. Rumput laut dapat digunakan untuk membentuk tektur sosis sehingga
mengurangi penggunaan lemak dalam sosis (Lopez-lopez et al, 2009). Kandungan

227
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mineral pada rumput laut sangat tinggi berkisar antara 20-39 % dan terdiri dari mineral
makro (Na, K, Ca, Mg) serta mineral mikro (Fe, Zn, Mn, Cu) (Ruperez, 2002 dan
Gomez-Ordonez et al., 2012).
Tujuan pelitian ini adalah membuat sosis rendah lemak dari ikan tongkol dengan
menggunakan pembentuk tekstur ekstrak porang dan pengemulsi ekstrak rumput laut.

METODE PENELITIAN

Faktor penelitian adalah kadar konjak (0, 5 dan 10 %), kadar seaweed (0, 1 dan 3,3
%) dan konsentrasi garam (1, 2 dan 3 %). Rancangan penelitian disusun menurut susunan
dalam RSM, sebagaimana dalam Tabel 1.
Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu uji tekstur dengan metode
texture profile analysis (TPA) menggunakan Texture Analyzer TAXT Plus Stable Micro
System (Surrey, UK). Dengan diameter silinder 2,5 cm, tinggi 2,0 cm dan kecepatan 0,8
mm/s (Jimenez-Colmenero et al. 2010). Uji organoptik dilakukan dengan 20 orang
panelis tidak terlatih dengan parameter pengujian aroma, rasa, warna, tekstur dimulut dan
kesukaan secara keseluruhan. Analisis kadar protein, lemak, keasaman dan kadar air,
dilakukan menurut metode yang umum digunakan.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan konsentrasi tepung konjak (X1), konsentrasi tepung
seaweed (X2) dan konsentrasi garam (X3)
Dengan kode Tanpa kode
Konsentrasi
Run Konsentrasi Konsentrasi
X1 X2 X3 Rumput
Konjak Garam
Laut
1 -1 -1 0 0% 0% 2
2 -1 1 0 0% 3,3 % 2
3 1 -1 0 10 % 0% 2
4 1 1 0 10 % 3,3 % 2
5 -1 0 -1 0% 1% 1
6 -1 0 1 0% 1% 3
7 1 0 -1 10 % 1% 1
8 1 0 1 10 % 1% 3
9 0 -1 1 5% 0% 3
10 0 -1 1 5% 0% 3
11 0 1 -1 5% 3,3 % 1
12 0 1 1 5% 3,3 % 3
13 0 0 0 5% 1% 2
14 0 0 0 5% 1% 2
15 0 0 0 5% 1% 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis variansi data pengujian sensoris menunjukkan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi aroma dan rasa adalah interaksi antara rumput laut dengan rumput laut
dan konjak dengan rumput laut. Sedangkan untuk tekstur faktor yang mepengaruhi adalah
konsentrasi penambahan tepung porang dan garam yang memiliki nilai positif yang
berarti semakin banyak penambahan porang dan garam tekstur semakin di sukai oleh
panelis, selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi tekstur adalah interaksi antara
tepung porang dengan rumput laut dan interaksi antara rumput laut dengan garam.

228
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Sedangkan pada uji tekstur faktor yang dikaji pun sama tidak memiliki pengaruh
nyata bagi firmness dan stickiness sosis frankfuters dari ikan tongkol (Tabel 3). Parameter
tekstur yang muncul pada penelitian ini adalah stickiness dan firmness sedangkan pada
penelitian Jimenez-Colmenero et al. (2010) dan Jimenez-Colmenero et al. (2013)
parameter yang muncul adalah hardness, springiness, cohesiveness dan chewiness. Nilai
hardness tidak muncul karena tekstur dari sosis tongkol memang sangat lunak sehingga
cohesivenessnya pun tidak muncul, yang menunnjukkan tidak adanya kepaduan antara
bahan-bahan penyusunnya. Hal ini diakibatkan karena perbedaan bahan baku, yaitu
daging babi dan daging ikan tongkol yang tentunya sifat fisik dan kimianya pun akan
berbeda termasuk teksturnya. Menurut Jimenez-Colmenero (2013) konjak glukomanan
dan rumput laut pada sosis daging babi akan membentuk tekstur yang baik atau akan
menyatu dengan sempurna. Sedangkan pada penelitian ini, konjak dengan rumput laut
tidak bisa menyatu dengan sempurna karena tidak bisa menyatu dengan daging ikan
tongkol yang merupakan bahan baku utama.
Menurut penelitian Jimenez-Colmenero (2010) ada pengaruh nyata pada interaksi
antara penambahan konjak dan rumput laut, sedangkan pada penelitian ini menunjukkan
bahwa interaksi yang berpengaruh nyata adalah antara rumput laut dan garam pada
parameter stikiness.
Tabel 2. Koefisien regresi penilaian sensoris sosis frankfuters ikan tongkol
Sumber Koefisien Regresi
Warna Aroma Rasa Tekstur Kesukaan
Keseluruhan
Konstanta 3,800 3,500 3,600 3,500 3,700
Konjak 0,112 0,012 0,062 0,212* -0,000
Rumput laut 0,153 0,028 -0,021 0,146 -0,014
Garam 0,121 -0,003 -0,003 0,228* 0,064
Konjak*konjak 0,028 0,016 0,091 0,146 0,110
Rumput laut*rumput -0,103 0,233*** 0,258* 0,028 0,089
laut
Garam*garam 0,071 0,158** -0,166 -0,196 -0,060
Konjak*rumput laut -0,175 - -0,200* -0,275* -0,150**
0,250***
Konjak*garam -0,050 0,075 -0,075 -0,150 -0,050
Rumput laut*garam -0,242 0.017 -0,067 -0,407* -0,178*

Tabel 3. Koefisien regresi sifat tekstural sosis frankfurters ikan tongkol


Sumber Koefisien Regresi
Stickiness Firmness
Konstanta -14,833 249,917
Konjak -5,593 -125,850
Rumput Laut 3,580 -81,116
Garam -4,517 -50,084
Konjak*konjak 9,622 292,269
Rumput laut*Rumput laut -0,851 -22,324
Garam*Garam -8,538 -28,474
Konjak*Rumput laut 0,687 42,738
Konjak*Garam -4,750 39,438
Rumput laut*Garam 14,410* -0,770

229
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor konsentrasi konjak, seaweed dan
garam tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap firmness dan stickiness. Konsentrasi
konjak yang semakin sedikit menyebabkan nilai stickiness yang semakin menurun.
Sedangkan konsentrasi garam yang berkisar antar 1,5-2,5 % juga menyebakan nilai
stickiness yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi yang berkisar antara 2,5-3
%. Garam berfungsi sebagai penyerapan air sehingga dengan penyerapan air yang lebih
banyak maka kandungan air akan lebih sedikit dan mengakibatkan sosis fraknfuter yang
mempunyai nilai kelengketan lebih rendah.Tepung konjak berfungsi sebagai pengganti
lemak sehingga dapat memperbaiki tekstur dari sosis. Jadi dengan penambahan tepung
yang lebih banyak dapat menghasilkan sosis yang mempunyai nilai firmness yang lebih
rendah.
Untuk hasil terbaik dari uji sensoris dan uji tekstur, diambil tiga perlakuan terbaik
yang selanjutnya diuji kandungan kimianya (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Uji Kimia


Kode Sampel Kadar Air (%) Protein (%) Lemak (%) pH
K5.RL1.G2 28,8158 16,698 4,0783 6,93
K10.RL1.G3 29,5921 16,047 4,2274 7
K10.RL3.G2 21,6593 10,751 0,663 6,87
K: Konjak; RL: Rumput laut; G: Garam dan angka menunjukkan presentase
Berdasarkan penelitian yangdikalukan oleh Lopez-Lopez et al. (2009) dan
Jimenez-Colmenero et al. (2010) yang menggunakan daging babi dan olive oil dengan
pengemulsi konjak dan tepung rumput laut, hasil uji kimia menunjukkan perbedaan yang
signifikan dengan hasil penelitian ini. Kadar air pada penelitian tersebut (Lopez-Lopez et
al., 2009, Jimenez-Colmenero et al. 2010) antara 65,55 sampai 70,20 gram/100 gram
bahan. Sedangkan Tabel 4 menunjukkan bahwa sosis ikan tongkol memiliki kadar air
yang cukup rendah yaitu 29,5921 untuk hasil tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa
sosis ikan tongkol akan lebih awet (tahan lama) daya simpannya. Kadar protein sosis
frankfurters tongkol (16,698 %) sama dengan kadar protein sosis daging babi kontrol
(16,37 gram/100 gram bahan dan 16,28 %) pada penelitian Lopez-Lopez et al. (2009) dan
Jimenez-Colmenero et al. (2010). Hasil pengujian kadar lemak pada penelitian ini sangat
rendah, dengan hasil 0,663% atau hampir tidak memiliki kandungan lemak. Ini berbeda
dengan sosis frankfuters pada umumya yang sangat ditekankan pada kandungan lemak
karena akan mempengaruhi tekstur dari sosis. Sedangkan untuk pengukuran pH, hasil
menunnjukkan angka yang cukup tinggi dan sama pada semua penelitian yaitu antara 6
sampai 7.
Jika dibandingkan dengan sosis frankfuters daging pada umumnya, sosis tongkol
memang mempunyai banyak perbendaan di antaranya tekstur di mulut yang masih kasar,
tidak sehalus sosis daging. Selain itu, warna yang kurang menarik pada beberapa
perlakuan. Akan tetapi sifat kimia dari sosis ikan tongkol ini pun berbeda terutama pada
kandungan lemaknya yang jauh lebih rendah dari pada sosis pada umumnya yang hasil
terbaiknya hanya 0,66 %, yang berarti hampir tidak memiliki kandungan lemak.
Berdasarkan analisis kimia, perlakuan 10K.3RL.2G (konsentrasi tepung konjak 10 %,
rumput laut 3 % dan garam 2 %) mempunyai nilai kadar air, protein, lemak dan pH
terendah. Jadi dengan konsentrasi tepung konjak yang lebih banyak, rumput laut dan
garam yang lebih sedikit, dapat mengurangi kandungan lemak pada sosis. Namun hal itu
tidak meningkatkan kandungan protein pada sosis. Protein pada sosis akan meningkat jika
konsentrasi tepung konjak, rumput laut dan garam lebih rendah. Selisih kandungan
protein sosis frankfuter dari ikan tongkol dan sosis daging SNI yaitu 3,689 %. Jadi sosis
frankfuter mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibanding sosis daging yaitu

230
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

sebesar 13 % (Afriana dan Pangesthi, 2013). Sedangkan kandungan lemak (maksimal)


sosis menurut SNI adalah 25 %. Jadi sosis frankfuters mempunyai kandungan lemak yang
relatif rendah atau sedikit mengandung lemak. Hal ini dapat disebabkan karena ikan
tongkol mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan sosis yang
terbuat dari daging sapi. Kandungan lemak terendah adalah pada perlakuan 10.3.2
(konsentrasi tepung porang 10 %, seaweed 3,3, % dan garam 2 %), karena pada perlakuan
ini konsentrasi tepung porang yang digunakan lebih banyak. Dimana tepung porang ini
berfungsi sebagai pengganti lemak pada sosis ikan tongkol.
Lemak analog atau pengganti lemak dengan tepung porang dapat mengurangi total
energi kalori sehingga sosis yang dihasilkan baik untuk diet sehat. Sedangkan rumput laut
berperan sebagai pengikat air dan lemak sehingga mampu meningkatkan kestabilan
emulsi. Selain sebagai pengemulsi rumput laut juga mampu membentuk tekstur sosis
sehingga penggunaan lemak pun bisa dihindari karena tekstur lembut pada sosis
merupakan pengaruh dari kadar lemak yang dikandung, rumput laut juga dapat
memberikan pengaruh kimia dengan zat yang dikandungnya seperti antioksidan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Sosis frankfuters yang dibuat dengan lemak analog ektrak porang dan pengemulsi
dari ekstrak rumput laut ternyata memilki kandungan lemak yang jauh lebih rendah dari
sosis yang terbuat dari daging sapi atau daging ayam pada umumnya. Tekstur yang
dihasilkan pun disukai oleh panelis untuk beberapa perlakuan.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji daya tahan atau umur simpan dari
sosis frankfuters ikan tongkol serta untuk memperbaiki sensoris dari sosis terutama rasa
sosis.

DAFTAR PUSTAKA

Tobin B. D., O'Sullivan M G., Hamill R M., Kerry J P. 2012. Effect of Varying Salt and
Fat Levels on the Sensory and Physiochemical Quality of Frankfurters. Meat Sci.
92:659–666.
Cofrades S., Lopez-Lopez I., Solas M T., Bravo L., Jimenez-Colmenero F. 2008.
Influence of Different Types and Proportions of Added Edible Seaweeds on
Characteristics of Low-Salt Gel/Emulsion Meat Systems. Meat Sci. 79: 767–
776
Gomez-Ordonez E., Jimenez-Escrig A., Rupérez P. 2010. Dietary Fibre and
Physicochemical Properties of Several Edible Seaweeds from the
Northwestern Spanish Coast. Food Res Int. 43:2289–2294
Jimenez-Colmenero F., Cofrades S., Herrero A M., Solas M T., Ruiz-Capillas C. 2013.
Konjac Gel for Use as Potential Fat Analogue for Healthier Meat Product
Development: Effect of Chilled and Frozen Storage. Food Hydrocolloid. 30:351-
357
Jimenez-Escrig A B., Sanchez-Muniz F J. 2013. Dietary Fibre from Edible Seaweeds:
Chemical Structure, Physicochemical Properties and Effects on Cholesterol
Metabolism. Nurt Res. 20: 585-598.
Lopez-Lopez I., Cofrades S., Ruiz-Capillas C., Jimenez-Colmenero F. 2009. Design and
Nutritional Properties of Potential Functional Frankfurters Based on Lipid
Formulation, Added Seaweed and Low Salt Content. Meat Sci. 83:255–262

231
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Lopez-Lopez, S., Bastida, C., Ruiz-Capillas, L., Bravo, M T, Larrea, F., Sánchez-Muniz,
S., Cofrades, F., Jiménez-Colmenero. 2009. Composition and Antioxidant
Capacity of Low-Salt Meat Emulsion Model Systems Containing Edible
Seaweeds. Meat Sci. 83:492–498
Osburn W N., Keeton J T. 2004. Evaluation of Low-Fat sausage Containing Desinewed
Lamb and Konjac Gel. Meat Sci. 68:221–233
Ruperez P. 2002. Mineral Content of Edible Marine Seaweeds. Food Chem. 79:23–26
Zhang Y., Xie B., Gan X. 2005. Advance in the Applications of Konjac Glucomannan
and its Derivatives. Carbohyd Polym. 60:27–31

232
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN DAN BIJI KELOR (MORINGA


OLEIFERA) SERTA LAMA PENYIMPANAN TERHADAP SENSORIS TAHU

Puspitasari C1, Hidayati D2, Rahman A3


1. Mahasiswa, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
2. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
3. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan
PO Box 2 Kamal, Jawa Timur 69162
pcandytias@yahoo.com

ABSTRAK

Tahu merupakan salah satu makanan yang mudah busuk karena kandungan gizinya yang
cukup tinggi menjadikan tahu sebagai media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Banyak produsen tahu yang menambahkan pengawet non pangan seperti formalin untuk
meningkatkan umur simpannya. Banyaknya kasus penyalahgunaan formalin perlu diminimalisir
dengan pengawet pangan alami. Biji dan daun Moringa oleifera (kelor) dapat digunakan sebagai
alternatif pengawet pangan alami karena mengandung senyawa-senyawa yang bertindak sebagai
antimirobia. Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap 3 faktor yaitu sumber
ekstrak (daun dan biji kelor), konsentrasi (10% dan 20%) dengan pembanding tahu 0% ekstrak
sebagai kontrol dan lama penyimpanan (hari ke 0,1,2, dan 3). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh faktor terhadap mutu tahu secara sensoris dengan mendeskripsikan masing-
masing parameter (penampakan, aroma, dan tekstur) pada tiap sampel. Analisis data menggunakan
uji variansi (ANOVA) dengan taraf signifikansi 5% untuk beda nyata dan dilanjutkan dengan uji
lanjut Tukey untuk mengetahui beda nyata pada setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sumber ekstrak dan lama penyimpanan berpengaruh (p≤0,05) terhadap sensoris tahu,
namun konsentrasi yang ditambahkan tidak memberi pengaruh. Penambahan ekstrak daun dapat
mempertahankan mutu tahu secara sensoris selama 2 hari sama dengan tahu kontrol, sedangkan
ekstrak biji kelor dapat mempertahankan hingga 3 hari penyimpanan.

Kata Kunci: Moringa oleifera, Tahu, Sensoris, Mutu, dan Umur simpan

PENDAHULUAN

Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang populer di semua kalangan
masyarakat dan memiliki kandungan gizi cukup tinggi. Menurut Herlinda dan Atmasjuri
dalam Setyadi (2008), kandungan protein dan kadar lemak pada tahu lokal mencapai
8,3% dan 5,4%, selain itu tahu juga mengandung air kurang lebih 82,4%. Kandungan
protein, lemak, dan air yang cukup tinggi menyebabkan tahu menjadi media yang cocok
pertumbuhan mikroorganisme sehingga cepat rusak dan busuk. Akibatnya banyak
produsen yang menggunakan pengawet untuk meningkatkan umur simpan tahu. Saat ini
banyak ditemui penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai bahan tambahan pangan.
Salah satu jenisnya adalah pengawet yang berfungsi untuk meningkatkan umur simpan
produk, tetapi banyak beredar penggunaan pengawet berbahaya seperti formalin.
Pengawet pangan alami saat ini sangat dibutuhkan guna meminimalisir maraknya kasus
penggunaan pengawet non pangan yang berbahaya.
Sumber pengawet alami dapat ditemukan dari tanaman yang memiliki sifat
antimikrobia. Antimikrobia adalah suatu senyawa yang dapat menghambat aktivitas atau
pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kelor merupakan
tanaman yang cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan atau aktivitas

233
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

mikroorganisme patogen karena memiliki senyawa saponin, flavonoid, tannin, alkanoid


dan fenol (Oluduro 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al. (2012)
menunjukkan bahwa daun kelor yang diekstrak dengan air efektif terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus subtilis dengan zona penghambat
mulai 12-18 mm. Penelitian Bukar et al. (2010) menyatakan bahwa ekstrak daun dan biji
kelor dengan pelarut etanol dan kloroform memiliki aktivitas antimikrobia, akan tetapi
sifat antimikrobia yang paling efektif adalah pada bijinya.
Kajian tentang sifat antimikrobia pada kelor menunjukkan bahwa tanaman ini
berpotensi sebagai pengawet alami. Penelitian ini mengkaji mutu tahu selama
penyimpanan dengan mengamati dan mendeskripsikan pengaruh penambahan ekstrak
daun dan biji kelor terhadap sensoris tahu untuk mengetahui umur simpannya.

METODE

Preparasi Ekstrak Daun Dan Biji Kelor


Daun dan biji kelor segar dicuci hingga bersih, kemudian diblender menggunakan
pelarut air dengan perbandingan 1:5. Jus daun dan biji kelor masing-masing dipanaskan
selama 5 menit kemudian didinginkan dan disaring hingga terpisah antara ampas dan
larutannya (Chumark et al. 2008). Ekstrak daun dan biji kelor kemudian dicampurkan
pada proses penggumpalan tahu

Pembuatan Tahu dengan Penambahan Ekstrak Daun dan Biji Kelor


Kedelai dicuci dengan air hingga bersih, selanjutnya direndam dalam air selama 1
malam dan dicuci lagi. Kedelai yang telah bersih dihancurkan menggunakan blender
selama ±10 menit hingga halus, kemudian disaring untuk memisahkan padatan dan susu
kedelai. Susu kedelai dimasak kemudian dicampur dengan ekstrak daun dan biji kelor
masing-masing sebanyak 0% (kontrol), 10%,dan 20%. Tahapan selanjutnya adalah
penggumpalan, dimana campuran susu kedelai dan ekstrak daun Moringa oleifera
ditambah dengan larutan cuka dan siap untuk dicetak.

Pengujian Sensoris Tahu


Pengujian sensoris bertujuan untuk mengamati kerusakan tahu selama
penyimpanan. Parameter yang menunjukkan mutu tahu yang mulai rusak adalah
munculnya lendir pada permukaan tahu, baunya asam dan busuk, tumbuhnya kapang, dan
tekstur tahu mulai tidak kompak. Analisis sensoris yang dilakukan diujian pada 20 penelis
tidak terlatih (Gallagher dalam Ummah et al. 2013). Panelis mengamati perubahan yang
terjadi pada tahu selama penyimpanan mulai hari ke 0 hingga hari ke 3. Panelis diminta
memberikan penilaian pada sampel yang meliputi penampakan, aroma, dan tekstur
dengan penilaian skala 1-5, dimana skala terbesar yaitu 5 mewakili deskripsi parameter
tahu yang paling baik dan skala 1 mewakili deskripsi tahu yang paling rusak atau busuk
(Setyadi 2008).
Analisis Data
Analisis data menggunakan uji variansi (ANOVA) dengan taraf signifikansi 5%
untuk beda nyata dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui beda nyata
pada setiap perlakuan.

234
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Sensoris terhadap Penampakan Tahu


Penampakan permukaan tahu merupakan pengamatan secara sensori yang
memanfaatkan rangsangan indera peraba. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa faktor
sumber ekstrak dan lama penimpanan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap penampakan
tahu. Namun faktor penambahan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
penampakannya.
Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan ekstrak biji menunjukkan nilai rata-rata
yang lebih tinggi dari ekstrak daun yaitu sebesar 3,058 dan untuk ekstrak daun sebesar
2,783. Berdasarkan uji lanjut Tukey nilai rata-rata penampakan tahu dengan ekstrak biji
dan daun kelor masing-masing berbeda nyata.
Tabel 1. Nilai rata-rata penampakan tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber
ekstrak
Sumber ekstrak Nilai Rata-rata
a
Daun 2,783
Biji 3,058b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Faktor lama penyimpanan pada Tabel 2 juga berpengaruh nyata (p≤0,05)
terhadap penampakan tahu, semakin lama waktu penyimpanan maka nilai penampakan
semakin kecil. Nilai rata-rata penampakan tahu berurutan adalah 4,025; 3,275; 2,500; dan
1,883. Hasil uji lanjut Tukey menjelaskan bahwa nilai rata-rata mulai hari ke 0 hingga ke
3 tersebut berbeda nyata.
Tabel 2. Nilai rata-rata penampakan tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama
penyimpanan
Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata
0 4.025d
1 3.275c
2 2.500b
3 1.883a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan memberi pengaruh
nyata (p≤0,05) terhadap penampakan tahu. Nilai penampakan tertinggi ditunjukkan oleh
tahu dengan konsentrasi 0% atau kontrol pada hari ke 0, namun nilai tersebut tidak
berbeda nyata dengan tahu yang ditambahkan konsentrasi 10% dan 20% pada hari yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa tahu pada hari ke 0 memiliki penampakan tahu yang
sama. Sedangkan nilai terendah ditunjukkan oleh tahu kontrol pada penyimpanan hari ke
3 dan nilai tersebut berbeda nyata dengan tahu yang mengandung ekstrak kelor 10% dan
20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara sensori terdapat perbedaan penampakan
tahu di hari ke 3.

235
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 3. Nilai rata-rata penampakan secara sensoris berdasarkan interaksi faktor


konsentrasi dengan lama penyimpanan
Konsentrasi Lama penyimpanan
(%) Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
f e b
0 4,200 3,600 2,000 1,400a
10 3,925f 3,100d 2,600c 2,125b
20 3,925f 3,125d 2,900d 2,125b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)

Interaksi antar tiga faktor yaitu sumber ekstrak, konsentrasi, dan lama
penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penampakan tahu.

Gambar 1. Tren permukaan tahu secara sensoris selama penyimpanan


Keterangan: Skala (1) Paling berlendir, (2) Berlendir, (3) Sedikit lendir, (4) Permukaan
agak halus tanpa lendir, (5) Permukaan paling halus dan bagus tanpa lendir.
Gambar 1 menjelaskan bahwa pada hari ke 0 nilai tahu cukup tinggi yaitu berkisar
antara 3 – 5. Hasil penelitian yang diujikan secara sensori pada hari ke 0 ini menunjukkan
bahwa penampakan permukaan tahu masih halus dan belum berlendir, sehingga tahu
masih layak untuk dikonsumsi. Pada penyimpanan hari pertama terjadi penurunan tren
terhadap penampakan tahu. Akan tetapi nilai-nilai yang dihasilkan menunjukkan mutu
tahu yang masih cukup baik. Terjadi penurunan tren yang cukup tajam pada tahu kontrol
pada penyimpanan hari ke 2 dimana nilainya turun hingga 2, hal ini menunjukkan bahwa
tahu kontrol telah berlendir di seluruh permukaan tahu dan mulai muncul jamur. Tahu
perlakuan dengan penambahan ekstrak daun juga telah mengalami pelendiran hampir
diseluruh permukaannya. Sedangkan tahu dengan penambahan ekstrak biji masih mulai
muncul lendir. Dihari ke 3 kelima sampel terus mengalami penurunan tren yang
mendeskripsikan bahwa permukaan tahu berlendir diseluruh bagiannya dan hal ini
menandakan bahwa tahu telah rusak.
Analisis Sensoris Terhadap Aroma
Aroma merupakan salah satu parameter uji untuk analisis sensori yang melibatkan
respon indera pembau. Dengan memanfaatkan indera pembau panelis dapat
mendeskripsikan tingkat kesegaran tahu selama penyimpanan.
Penilaian aroma tahu secara statistik menunjukkan bahwa masing-masing faktor
berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap aroma tahu, namun tidak pada faktor konsentrasi
karena p=0,28.

236
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Penambahan ekstrak biji memiliki nilai rata-rata 2,992 dan lebih tinggi dari ekstrak
daun, uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa keduanya berbeda nyata.
Tabel 4. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak
Sumber ekstrak Nilai Rata-rata
Daun 2,637a
Biji 2,992b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Tabel 5 menunjukkan bahwa penyimpanan yang semakin lama akan menurunkan
nilai aroma tahu. Nilai rata-rata yang ditunjukkan faktor lama penyimpanan secara
berturut-turut adalah 3,992; 3,267; 2,633; 1,367, dan nilai tersebut secara statistik berbeda
nyata.
Tabel 5. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan
Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata
d
0 3,992
1 3,267c
2 2,633b
3 1,367a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Hasil interaksi faktor sumber ekstrak dengan konsentrasi menunjukkan bahwa
pemberian konsentrasi 10% dan 20% pada ekstrak biji meningkatkan nilai aroma pada
tahu dan nilai tersebut tidak berbeda nyata. Namun sebaliknya, tahu dengan ekstrak daun
10% dan 20% menurunkan nilai aroma.
Tabel 6. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan interaksi faktor sumber
ekstrak dengan konsentrasi
Konsentrasi (%)
Sumber ekstrak
0 10 20
Daun 2,700b 2,700b 2,512a
Biji 2,700b 3,175c 3,100c
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Penilaian aroma tahu berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak dengan lama
penyimpanan menunjukkan bahwa ekstrak biji memiliki nilai aroma yang lebih tinggi
dari ekstrak daun selama penyimpanan dan nilainya juga berbeda nyata. Namun seiring
dengan bertambahnya waktu penyimpanan terjadi penurunan nilai aroma tahu pada kedua
sumber ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan maka
mutu tahu akan semakin menurun.

237
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Tabel 7. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan interaksi faktor sumber
ekstrak dengan lama penyimpanan
Sumber Lama penyimpanan
ekstrak Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
Daun 3,950e 3,067c 2,200b 1,333a
Biji 4,033e 3,467d 3,067c 1,400a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Pada Gambar 2 disajikan tren perubahan nilai rata-rata aroma tahu selama
penyimpanan berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak, konsentrasi, dan lama
penyimpanan.

Gambar 2. Tren aroma tahu secara sensoris selama penyimpanan


Keterangan: Skala (1) Sangat asam dan basi (busuk), (2) Berbau busuk, (3) Mulai berbau
asam, (4) Agak Segar (5) Khas tahu segar.

Pada hari ke 0 tingkat kesegaran tahu memiliki nilai yang cukup tinggi. Nilai
tersebut berkisar antara 4 – 5 yang menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar dan
layak untuk dikonsumsi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tahu sampel pada hari ke
1 terjadi penurunan tren, dimana tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak daun 10%,
daun 20%, dan kontrol memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
penambahan ekstrak biji 10% dan 20%. Akan tetapi nilai tersebut menunjukkan bahwa
aroma tahu masih segar belum terjadi tanda-tanda kerusakan. Pada hari ke 2 nilai
tertinggi ditunjukkan oleh tahu dengan penambahan ekstrak biji 10% dan 20%, nilai
tersebut menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar. Sedangkan nilai tiga sampel tahu
lainnya menunjukkan bahwa aroma tahu telah busuk. Gambar 2 menyatakan bahwa
penyimpanan hari ke 3 kelima perlakuan mengalami penurunan tren hingga nilai 1 – 2.
Nilai tersebut menunjukkan mutu tahu sudah tidak layak dikonsumsi yang ditandai
dengan munculnya aroma busuk.

Analisis Sensoris Terhadap Tekstur Tahu


Parameter tekstur merupakan penilaian sensoris untuk mengetahui tingkat
kekenyalan tahu dengan bantuan indera peraba. Hasil penilaian tekstur secara statistik
menunjukkan bahwa sumber ekstrak dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (p≤0,05)
terhadap tekstur tahu secara sensoris, begitu pula dengan pengaruh yang diberikan oleh

238
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan. Namun interaksi antara 3
faktor tidak berpengaruh pengaruh nyata (p>0,05) sehingga nilainya tidak berbeda nyata.
Penambahan ekstrak daun menunjukkan nilai rata-rata tekstur yang lebih rendah
dari ekstrak biji dan keduanya berbeda nyata. Penambahan ekstrak daun dan biji memiliki
nilai rata-rata sebesar 2,608 dan 2,908, keduanya berdeda nyata.
Tabel 8. Nilai rata-rata tekstur tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak
Sumber ekstrak Nilai Rata-rata
a
Daun 2.608
Biji 2.908b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Tabel 9 menunjukkan nilai rata-rata tekstur tahu pada hari ke 0 hingga ke 3 sebesar
3,833; 3,033; 2,542; 1,625. Nilai rata-rata tersebut cenderung mengalami penurunan
seiring bertambahnya waktu simpan dan uji lanjut Tukey menunjukkan nilai pada
masing-masing hari berbeda nyata.
Tabel 9. Nilai rata-rata tekstur tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan
Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata
0 3,833d
1 3,033c
2 2,542b
3 1,625a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)
Penilaian tekstur tahu secara sensoris pada interaksi antara faktor konsentrasi
dengan lama penyimpanan menunjukkan bahwa pada masing-masing konsentrasi yang
ditambahkan terjadi penurunan nilai tekstur tahu. Namun hasil uji lanjut Tukey
menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi 10% pada hari ke 1 dan hari ke 2
tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan pemberian konsentrasi 10% lebih dapat
mempertahankan tekstur tahu hingga hari ke 2 dibandingkan kontrol dan konsentrasi
20%.
Tabel 10. Nilai rata-rata tekstur secara sensoris berdasarkan interaksi faktor konsentrasi
dengan lama penyimpanan
Konsentrasi Lama penyimpanan
(%) Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
h f d
0 3,850 3,150 2,200 1,750c
10 4,075h 3,075f 2,925f 1,475ab
20 3,575g 2,875f 2,500e 1,650b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar
perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05)

239
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

Interaksi 3 faktor tidak memberi pengaruh terhadap tekstur tahu, namun nilai rata-
rata yang dihasilkan masing-masing sampel setiap harinya selama penyimpanan
bervariasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tren tekstur tahu secara sensoris selama penyimpanan


Keterangan: Skala (1) Sangat mudah hancur dan sangat lengket, (2) Mudah hancur, (3)
Mulai lunak dan sedikit lengket, (4) Agak kenyal, (5) Paling kenyal dan kompak.
Penilaian tekstur tahu dilakukan dengan mengamati tingkat kekenyalan dan
kelengketan pada kelima tahu perlakuan. Pada hari ke 0 nilai parameter tekstur tahu
beragam yaitu 3 – 5. Nilai kelima sampel tahu tersebut menunjukkan bahwa tingkat
kekenyalan tahu masih masih bagus. Penyimpanan hari ke 1 terjadi penurunan nilai
tekstur, namun nilai tersebut menunjukkan tekstur tahu yang masih cukup baik dan
mendeskripsikan mulai terjadi pelunakan tekstur. Hasil penilaian sensori hari ke 2 pada
Gambar 3 menjelaskan bahwa terjadi penurunan tren pada beberapa sampel tahu yang
diujikan. Sampel tahu kontrol dan tahu dengan penambahan ekstrak daun 20%
menunjukkan nilai yang menjelaskan bahwa tahu tersebut pada fase mudah hancur. Hal
ini menunjukkan muncul tanda telah terjadi kerusakan tahu. Penilaian sensori hari ke 3
kelima sampel tahu mengalami penurunan tren dengan nilai 1 – 2 yang menunjukkan
bahwa tekstur tahu mengalami kerusakan yang ditandai dengan menurunnya tingkat
kekenyalan dan kekompakannya. Sehingga tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak
biji hanya dapat mempertahankan tekstur tahu satu hari lebih lama dari pada kontrol dan
penambahan ekstrak daun.
Hasil analisis sensoris yang meliputi penampakan, aroma, dan tekstur
menunjukkan bahwa tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak daun 10%, daun 20%,
dan kontrol dapat mempertahankan parameter uji hingga penyimpanan hari ke 2.
Sedangkan perlakuan penambahan ekstrak biji 10% dan 20% dapat mempertahankan
mutu tahu hingga penyimpanan hari ke-3. Hal ini menunjukkan bahwa sifat antimikrobia
pada biji Moringa oleifera lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada tahu dibandingkan dengan daunnya. Tahu yang dinyatakan rusak
karena terjadi tanda-tanda kerusakan tahu seperti munculnya lendir pada permukaan tahu,
tahu mulai berbau busuk, dan tekstur tahu mudah hancur. Kerusakan tersebut disebabkan
oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk, dimana pelendiran yang terjadi pada tahu
disebabkan oleh hidrolisis zat pati dan protein yang menghasilkan sifat lekat. Sedangkan
bau busuk timbul dari hasil fermentasi karbohidrat oleh bakteri golongan Bacillus,
Clostridium, dan Coliform.

240
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung
Agroindustri Berkelanjutan”

KESIMPULAN

Penambahan ekstrak daun dan biji kelor dan lama penyimpanan berpengaruh
nyata terhadap penampakan, aroma, tekstur, dan warna tahu, namun penambahan
konsentrasi sebanyak 10% dan 20% tidak berpengaruh nyata. Tahu dengan ekstrak daun
kelor dan kontrol mampu mempertahankan parameter uji selama 2 hari, sedangkan tahu
dengan tambahan ekstrak biji kelor dapat mempertahankan hingga 3 hari penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA

Bukar A., Uba A., Oyeyi T.I. 2010. Antitimokrobial Profile of Moringa oleifera lam.
Extracts Against Some Food – Borne Microorganisms. Bayero Journalof Pure and
Applied Sciences Vol 3(1): 43-48

Chumark P., Panya K., Yupin S., Srinchan P., Noppawan P.M., Laddawal P., Piyanee R.,
Supath S., dan Klai-upsorn S. P. 2008. The In Vitro and Ex Vivo Antioxidant
Properties, Hypolipidaemic and Antiatherosclerotic Activities of Water Extract of
Moringa oleifera lam Leaves. Journal of Ethenopharmacology

Kumar V., Nishtha P., Nitin M., dan Ram P.S. 2012. Antibacterial and Antioxidant
Activity of Different Extract of Moringa oleifera Leaves – An in-Vitro Study.
International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research Vol. 12

Oluduro A. 2012. Evaluation of Antimikrobial properties and Nutritional Potentials of


Moringa oleifera lam. In South-Western Nigeria. Malaysian Journal of
Microbiology Vol. 8(2): 59-67
Setyadi D. 2008. Pengaruh Pencelupan Tahu Dalam Pengawet Asam Organik Terhadap
Mutu Sensori Dan Umur Simpan.[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Ummah S., Umi P., Rahmad F. 2013. Efek Pre-Gelatinisasi dan Proporsi Tepung Porang
Keriting Terhadap Penilaian Sensoris Korelasi Sifat Sensoris Mi Porang.
Universitas Trunojoyo Madura

241

Anda mungkin juga menyukai