Anda di halaman 1dari 2

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL BANK INDONESIA SEBELUM KRISIS KEUANGAN

GLOBAL TAHUN 2008


Krisis moneter yang terjadi pada tahun 2008, menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia, untuk
lebih meningkatkan kewaspadaan dalam mengelola sistem keuangan maupun intitusi-institusi
keuangan yang ada agar keduanya selalu dalam kondisi sehat. Hal ini dilakukan agar krisis
keuangan serupa tidak terjadi lagi, karena dampaknya bisa meluas menjadi krisis sosial bahkan
krisis politik. Selain itu, krisis keuangan membutuhkan biaya yang besar, dan waktu yang lama
untuk mengatasinya. Kondisi itu tentu saja tidak menguntungkan bagi perekonomian sebuah
negara.
Di Indonesia ada terdapat dua institusi yang mengawal stabilitas sistem keuangan, yaitu Otoritas
Jasa Keuangan yang melakukan pengaturan dan pengawasan mikroprudensial terhadap institusi-
institusi keuangan, serta Bank Indonesia yang melakukan pengaturan dan pengawasan
makroprudensial, dengan tanggung jawab mencegah menularnya risiko dalam sistem keuangan
dan menghindari terjadinya ‘boom’ dan ‘bust’ dalam sistem keuangan.

Pada saat krisis itu terjadi, kebijakan mikroprudensial, fiskal, dan moneter disusun memang
sudah disiapkan sedemikian rupa dan didukung dengan kondisi makroekonomi yang stabil, tetapi
hal ini ternyata tidak sanggup menangkap signal potensi risiko dari tindakan mengambil risiko
elemen sistem keuangan yang dalam hal ini individu-individu yang mengajukan mortgage
loan dan institusi perbankan terkait pada mortgage loan tersebut. Akibatnya timbulah
penggelembungan harga properti (bubble) yang berdampak sistemik terhadap stabilitas keuangan
Amerika Serikat dan secara otomatis berdampak pada keuangan internasional karena kiblat
terhadap keuangan global serta ketergantungan terhadap dolar Amerika masih sangat tinggi.
Selain itu, Amerika Serikat merupakan mitra dagang utama banyak negara di dunia. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya krisis keuangan global pada 2008.
Solusi utama yang diperlukan pada 2008 adalah suatu formulasi kebijakan makroprudensial yang
dapat berorientasi pada sistem keuangan yang menyeluruh, dapat membatasi dan
mengidentifikasi risiko sistemik terlebih mengenal batasan antara suatu risiko dapat berdampak
sistemik atau tidak, sekaligus juga secara integral dapat berkolaborasi dan melengkapi dengan
kebijakan mikroprudensial, fiskal dan moneter yang ada guna menjaga keseimbangan antara
tujuan makroekonomi dan mikroekonomi. Layaknya Medical Check Up (MCU), kebijakan
makroprudensial berperan untuk mengidentifikasi penyakit-penyakit yang dapat mengancam
sistem keuangan negara  sekaligus juga dapat menjadi formulasi untuk mencari cara
pengobatannya. Makroprudensial sendiri sebenarnya sebuah terminologi baru, karena istilah ini
baru muncul setelah krisis keuangan global di tahun 2008.  “Ketika itu, tidak ada yang mengira
akan terjadi krisis, karena kondisi ekonomi global terlihat baik-baik saja. Tingkat inflasi rendah,
dan pertumbuhan ekonomi global juga tinggi. Tapi tiba-tiba krisis terjadi. Hal ini menyadarkan
bahwa tinkgat inflasi yang rendah, dan kebijakan moneter saja, tidak cukup untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan. Dibutuhkan pula kebijakan makro ekonomi, yang kemudian disebut
makroprudensial dan menjadi trend serta standar kebijakan makro ekonomi di dunia dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan.
Magdalena. 2019 . BI Ajak Milenial Pahami Stabilitas Sistem Keuangan dan Makroprudensial.
http://rri.co.id/post/berita/686867/ekonomi/bi_ajak_milenial_pahami_stabilitas_sistem_keuangan
_dan_makroprudensial.html. (26 Juni 2019).
Faradhipta. 2019. Peran Bank Indonesia dan Kebijakan Makroprudensial dalam Mitigasi Risiko
Sistemik. https://www.kompasiana.com/adrian42207/5d08b2de097f3679e83d1bb6/peran-bank-
indonesia-dan-kebijakan-makroprudensial-dalam-mitigasi-risiko-sistemik?page=all. (18 Juni
2019).

Anda mungkin juga menyukai