BPJS Kel 1
BPJS Kel 1
Disusun oleh :
KELOMPOK 1 REGULER 2
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Biaya kesehatan dinilai sangat tinggi, mengingat manusia sehat semakin
penting dirasakan keberadaannya. Hal ini terkait dengan pola pikir yang menyatakan
tentang human investment. Di lain pihak biaya kesehatan terus menerus naik
sedangkan kemampuan membayar semakin terbatas. Ada 6 hal yang merupakan
faktor penyebab meningkatnya biaya pengeluaran kesehatan, diantaranya tingkat
inflasi, tingkat permintaan, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan
kesehatan, perubahan hubungan dokter/spesialis dengan pasiennya, kemudian
lemahnya mekanisme pengendalian biaya, dan penyalahgunaan asuransi kesehatan
(Handayani & Nadjib, 2016).
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan
nasional. Dalam pembangunan kesehatan, tujuan yang ingin dicapai adalah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi
sampai saat ini adalah derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya
masyarakat miskin. Hal ini dapat diketahui dari indikator Angka Kematian Bayi (AKB)
dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar
35 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses
ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah (Setyawan, 2018).
Program Jaminan Kesehatan Nasional dimulai pada tahun 2014 secara
bertahap menuju ke Universal Health Coverage. Program ini bertujuan untuk
mempermudah masyarakat mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu.
Perubahan pembiayaan menuju ke Universal Coverage merupakan terobosan yang
baik bagi masyarakat. Penyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional telah
disahkan melalui Undang-Udang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggaran
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 mulai
menyelenggarakan jaminan kesehatan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia baik
masyarakat mampu maupun tidak mampu. Program ini memerlukan upaya bersama
untuk meningkatkan kualitas dan keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang bermutu dan pemerataan pembiayaan kesehatan. Pasal 3 UU No
24/2011 Tentang BPJS: Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk
memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
peserta dan/atau anggota keluarganya. Prinsip penyelenggaraan BPJS adalah
kegotong-royongan, kepesertaan yang bersifat wajib, dan iuran berdasarkan
persentase upah/ penghasilan, serta pengelolaan yang bersifat nirlaba dan amanah
(Suryani, 2014).
Salah satu kebijakan strategis nasional pemerintah adalah dengan
menargetkan semua penduduk telah tercakup dalam program JKN di tahun 2019.
Program tersebut tentunya menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan baik di tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Namun, sejak JKN
ditetapkan sebagai program nasional selalu terjadi defisit dari angka Rp 3,3 triliun
(tahun 2014) menjadi Rp 6 triliun (tahun 2015) dan menyentuh Rp 8–9 triliun (tahun
2016) (Jawapos, 25 Oktober 2016 dalam Kharisma, 2018).
Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam dua tahun terakhir. Salah
satunya adalah menambah jumlah peserta JKN sebagai upaya untuk mewujudkan
Universal Health Coverage (UHC) dan mengatasi defisit anggaran JKN. Selain itu
berbagai inovasi terus digalakkan oleh pemerintah. Misalnya, program Dokter
Layanan Primer (DLP) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan
kesehatan, mencegah penyakit dan menjamin keberlanjutan layanan kesehatan di
tingkat primer. Pengiriman tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat ke
daerah perbatasan, tertinggal dan kepulauan (DPTK), dan daerah bermasalah
kesehatan (DBK) juga merupakan solusi pemerataan tenaga kesehatan (Kharisma,
2018).
Upaya serius pemerintah dalam pembangunan kesehatan diwujudkan juga
dalam alokasi anggaran kesehatan naik jadi 5 persen dari APBN. Sejak 2014 hingga
2016, pagu anggaran Kemenkes dan dana alokasi khusus (DAK) kesehatan terus
naik. Kenaikan anggaran Kemenkes dari 2014 ke 2015 sebesar 4,4 persen atau Rp
2,2 triliun. DAK kesehatan juga meningkat 195 persen dari tahun 2015 ke 2016 atau
Rp 11,8 triliun. Kenaikan dari 2016 ke 2017 sebesar 30 persen atau Rp 5,35 triliun
(Kompas, 2 Jan 2017 dalam Kharisma, 2018).
Namun, berbagai program itu belum cukup. Adanya defisit anggaran dalam
Program JKN setiap tahun menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang belum
sempurna dalam pelaksanaan program tersebut. Isu transparansi layanan kesehatan
juga masih menjadi problematika dalam masyarakat. Adanya isu penolakan pasien
apabila ingin berobat ke rumah sakit adalah bukti masih terbatasnya akses bagi
peserta JKN. Selain itu, mutu layanan dan sarana prasarana kesehatan di setiap
daerah yang masih belum merata menjadi permasalahan yang berdampak pada
pembangunan kesehatan di daerah. Dengan kata lain, walaupun progam JKN
penting untuk dilakukan, bagaimana masyarakat mendapatkan akses dan layanan
kesehatan yang baik, upaya pencegahan penyakit dan koordinasi lintas sektor dalam
pembangunan kesehatan juga penting untuk diperhatikan. Terkait dengan hal
tersebut, keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya terkait pada aspek
penerapan, tetapi juga proses kebijakan dan hubungan antar lembaga terkait. Artinya
kebijakan di bidang kesehatan baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah
penting untuk diperhatikan (Kharisma, 2018).
Keberhasilan Negara-negara maju seperti amerika dan jerman dalam
pembangunan kesehatan adalah dengan menggunakan pendekatan desentralisasi.
(Ricarda Milsteina, Carl Rudolf Blankart, 2016 : 7). Hal ini sebagaimana hasil
penelitian Mills (1990:5) yang menyatakan bahwa desentralisasi struktur dan
manajemen sistem kesehatan merupakan kunci utama dalam pelayanan kesehatan,
khususnya dalam mencapai “health for all” dan pengembangan pelayanan kesehatan
primer di berbagai negara. Wiku Adisasmito juga menambahkan cara berpikir dan
bertindak yg logis, sistematis, komprehensif, dan holistik dalam menyelenggarakan
pembangunan kesehatan penting untuk dilakukan (Wiku Adisasmito, 2010 : 7).
Artinya, bagi Indonesia yang saat ini sudah masuk di era JKN, desentralisasi urusan
kesehatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan membangun sistem
kesehatan baik di pusat dan di daerah penting untuk dilakukan (Kharisma, 2018).
2. Tujuan
2.1. Tujuan Umum
III. Sejarah
Program jaminan kesehatan sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak masa
kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, saat pengakuan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, program jaminan pelayanan kesehatan
tetap dilanjutkan oleh Prof. G. A. Siwabessy selaku Menteri Kesehatan saat itu,
tetapi masih dikhususkan untuk pegawai negeri sipil beserta keluarga. Prof. G.
A. Siwabessy mengajukan sebuah gagasan untuk segera membentuk jaminan
kesehatan universal yang kepesertaannya mencakup seluruh masyarakat yang
saat itu mulai diterapkan oleh negara-negara maju dan tengah berkembang
pesat.
Pada tahun 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1 Tahun 1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan
Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai
Negara dan penerima pensiun dan keluarganya.
Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari
sebuah badan di lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu
PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS,
pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.
Pada 1992, PHB berubah status menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero) mulai menjangkau
karyawan BUMN melalui program Askes Komersial.
Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk
melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM)
yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin dengan sasaran peserta
masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang iurannya
dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.
PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang belum tercover oleh
Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada lebih
dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU.
PJKMU adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya
diserahkan kepada PT Askes (Persero).
Pada 1 Januari 2014, PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan
dan mulai beroperasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
IV. Landasan hukum
Penyelenggaraan program jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dalam pengelolaan BPJS
Kesehatan, manajemen berpedoman pada Pedoman Umum Good Governance
BPJS Kesehatan, Board Manual BPJS Kesehatan, dan Kode Etik BPJS
Kesehatan.
V. Direksi
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 24/P Tahun 2016 tanggal 19
Februari 2016 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Kesehatan Masa Jabatan Tahun 2016-2021, Peraturan Direksi Nomor 10 Tahun
2017 tentang Struktur Organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan, dan Peraturan Direksi Nomor 251 Tahun 2017 tentang Susunan
Anggota Direksi BPJS Kesehatan Tahun 2017, maka susunan direksi BPJS
Kesehatan adalah sebagai berikut:
1) Fachmi Idris (Direktur Utama)
2) Kemal Imam Santoso (Dir. Keuangan dan Investasi)
3) Bayu Wahyudi (Dir. Hukum dan Hub. Antar Lembaga)
4) R. Maya A. Rusady (Dir. Jaminan Pelayanan Kesehatan)
5) Andayani Budi Lestari (Dir. Perluasan dan Pelayanan Peserta)
6) Mundiharno (Dir. Perencanaan dan Pengembangan)
7) Mira Anggraini (Dir. SDM dan Umum)
8) Wahyudin Bagenda (Dir. Teknologi Informasi)
VI. Dewan pengawas
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 24/P Tahun 2016 tanggal 19
Februari 2016 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Kesehatan Masa Jabatan Tahun 2016-2021, maka susunan Dewan Pengawas
adalah sebagai berikut:
1) Chairul Radjab Nasution (Ketua)
2) Sri Hartarti (Anggota)
3) La Tunreng (Anggota)
4) Misbahul Munir (Anggota)
5) Roni Febrianto (Anggota)
6) Michael Johannis Latuwael (Anggota)
7) Karun (Anggota)
VII. Identitas BPJS Kesehatan
Nama Institusi: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Alamat Kantor: Jl. Letjend Suprapto Kav. 20 No.14 Cempaka Putih
Nama Kota: Jakarta Pusat
Kode Pos: 10510
Telepon/Fax: (021) 4212938/ (021) 4212940
Website: http://bpjs-kesehatan.go.id/
Care center: 1-500-400
Contact center: Facebook: BPJS Kesehatan
Twitter: @BPJSKesehatanRI
Youtube: BPJS Kesehatan
Kompasiana: infobpjskesehatan
Kaskus: bpjskesehatan
Instagram: bpjskesehatan_ri
Program Preventif dan Kuratif BPJS Kesehatan
1. Program Promosi
Dalam rangka memberikan informasi kepada peserta akan pentingnya menjaga
kesehatan, maka dilakukan kegiatan promotif yang ditujukan kepada seluruh
masyarakat, khususnya peserta BPJS Kesehatan. Sampai dengan 31 Desember
2017, kegiatan promotif yang telah dilaksanakan yaitu:
(1) Penyuluhan langsung dalam bentuk Edukasi RISTI telah dilaksanakan
sebanyak 1.480 kali yang diikuti 68.191 orang.
(2) Seminar Kesehatan telah dilaksanakan 713 kali dengan jumlah peserta
sebanyak 63.573 orang.
(3) Kegiatan Mobil Promosi Kesehatan Keliling telah dilaksanakan sebanyak 432
kali.
2. Program Preventif
Kegiatan preventif ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup peserta sehingga
peserta tetap sehat. Kegiatan preventif yang telah dilaksanakan sampai dengan
31 Desember 2017, diantaranya adalah:
(1) Melaksanakan senam sehat Tingkat Kabupaten/Kota sebanyak 483 kali dan
senam di Instansi Tingkat Kabupaten/Kota sebanyak 263 kali.
(2) Program Pengelolaan Penyakit Kronis merupakan salah satu upaya promotif
preventif yang dilakukan di FKTP yang sekarang terus dikembangkan untuk
penderita penyakit DM dan HT. FKTP secara khusus mengembangkan
Prolanis, dimana mereka akan mengajak peserta penyandang DM maupun
Hipertensi untuk dapat bekerja bersama-sama dalam mengelolaan
penatalaksanaan kesehatan yang baik sehingga diharapkan akan
menghasilkan kualitas hidup yang optimal walaupun memiliki penyakit DM
ataupun hipertensi. Aktivitas prolanis diantaranya adalah konsultasi medis,
pemantauan status kesehatan, aktivitas klub, home visit, penyediaan obat,
monitoring spesialis, dan reminder/ SMS Gateway.
Implementasi Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS) melalui:
- Senam Peserta Prolanis sebanyak 256.584 kali. - Jumlah peserta program
Pengelolaan Penyakit DM (PPDM) Tipe 2 terdaftar adalah 345.657 peserta
dan Pengelolaan Penyakit Hipertensi (PPHT) sebanyak 400.066 peserta.
- Jumlah klub yang telah melaksanakan edukasi prolanis sebanyak 13.802
klub dengan frekuensi kegiatan sebanyak 149.206 kali.
- Pemeriksaan Rutin Prolanis telah dilaksanakan pemeriksaan HbA1C
kepada 71.158 peserta, pemeriksaan tahunan Kimia Darah kepada 270.100
peserta dan pemeriksaan GDP/GDPP kepada 200.111 peserta. Jumlah
peserta prolanis sampai dengan 31 Desember 2017 sebanyak 686.397 jiwa,
dengan rasio jumlah peserta yang rutin berkunjung sebesar 53,35% atau
366.209 jiwa.
(3) Mentoring Spesialis terhadap Faskes Primer. Telah dilaksanakan mentoring
spesialis terhadap Faskes Primer sebanyak 186 kali dengan jumlah peserta
sebanyak 6.059 peserta.
(4) Aktivitas Reminder (SMS Gateway). Kegiatan aktivitas reminder (SMS
Gateway) telah disampaikan kepada 19.485 peserta.
(5) BPJS Kesehatan menjamin Deteksi Dini Kanker Servix.
Kanker servix menjadi penyebab kematian paling tinggi pada perempuan
setelah kanker payudara dan termasuk penyakit yang menyedot dana BPJS
Kesehatan cukup tinggi. Karena karakteristik kanker yang disebabkan oleh
HPV ini tidak menimbulkan gejala apapun pada stadium awal. Menurut
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, tahun 2014 berdasarkan data
peserta BPJS Kesehatan secara nasional, jumlah kasus kanker serviks di
tingkat pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan mencapai 68.883 kasus dengan
total biaya sekitar Rp 48,2 miliar, sementara di tingkat rawat inap ada 18.092
kasus dengan total biaya sekitar Rp 123,1 miliar.
Sebagai salah satu upaya mengoptimalisasikan fungsi promotif dan preventif,
BPJS Kesehatan telah aktif menyelenggarakan sosialisasi pada masyarakat
mengenai bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini
kanker serviks. Pencanangan “Gerakan Nasional Deteksi Dini Kanker Leher
Rahim” yang dilakukan BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Yayasan
Kanker Indonesia telah dimulai sejak Juni 2014. Selain itu, deteksi dini kanker
serviks juga telah masuk dalam skema pembiayaan program JKN, sehingga
peserta BPJS Kesehatan yang ingin melakukan deteksi dini kanker serviks
tidak perlu lagi mengeluarkan uang.
Kegiatan deteksi dini kanker serviks ini sebetulnya telah digencarkan sejak
BPJS Kesehatan masih berbentuk PT Askes. Metode deteksi dini dilakukan
dengan dua cara, yaitu metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan tes
Pap smear. Layanan deteksi dini ini diberikan BPJS Kesehatan di Fasilitas
Kesehatan Tingkat pertama (FKTP).
Selain itu juga telah ditetapkan Bulan Deteksi Dini Kanker Serviks pada 13 –
31 Juli 2017, dimana peserta JKN-KIS dapat melakukan deteksi dini gratis di
FKTP tempat peserta tersebut terdaftar.
(6) Pada kesehatan ibu dan anak, terdapat pelayanan promotif preventif untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan pelayanan kebidanan dan
neonatal seperti ANC, klub ibu hamil, dan Keluarga Berencana yang alokasi
dananya disediakan oleh pemerintah (BKKBN).
3. Program Preventif Promotif Spesifik Daerah
Sampai dengan 31 Desember 2017, kegiatan Promotif Preventif Spesifik Daerah
telah dilaksanakan sebanyak 2.330 kali, antara lain:
(1) Kedeputian Wilayah Sulsel, Sulbar, Sultra dan Maluku: KC Watampone dan
KC Makale tentang Senam Jantung Sehat Puskesmas Kampala dan Senam
Ibu Hamil.
(2) Kedeputian Wilayah Papua dan Papua Barat: KC Jayapura tentang Kelas Ibu
hamil Puskesmas Arso VIII.
(3) Kedeputian Wilayah Sumsel, Kep. Babel dan Bengkulu: KC Lubuk Linggau
tentang senam hamil, KC Prabumulih tentang Klub Ibu Hamil dan KCU
Palembang tentang Klub Penderita SLE.
(4) Kedeputian Wilayah Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kaltara: KC Palangkaraya
tentang Klub Ibu Hamil.
(5) Kedeputian Wilayah Riau, Kepri, Sumbar dan Jambi: KC Padang dan KC
Bungo tentang Promprev bagi pasien asma dengan menjadikan penderita
asma mandiri.
(6) Kedeputian Wilayah DKI Jkt, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi: KC
Bekasitentang Pelatihan Kegawatan Kardiovaskuler.
(7) Kedeputian Wilayah Jabar: KC Tasikmalaya tentang Evaluasi Pilot Project
Prolanis Asma, Edukasi Pilot Project Asma dan Senam Pilot Project Asma.
(8) Kedeputian Wilayah Jatim: KCU Kediri tentang Penyuluhan 1 rumah 1
jumantik.
4. Program Kuratif
Pelayanan kuratif dapat dilakukan di Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
(PKTP) dan Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (PKRTL). Pelayanan
kuratif termasuk diantaranya pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis non
spesialistik baik operatif maupun non operatif, pelayanan obat dan bahan medis
habis pakai, pemeriksaan penunjang, rehabilitasi medis, dan rawat inap serta
persalinan dan pelayanan ambulans.
3. Konsep Pembiayaan Kesehatan Berbasis BPJS
A. Definisi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (Kemenkes RI, 2014).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS
Kesehatan mulai opersional pada tanggal 1 Januari 2014 (Kemenkes RI, 2014).
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes RI,
2014).
B. Prinsip JKN BPJS Kesehatan
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) berikut (Kemenkes RI, 2014):
a. Prinsip kegotongroyongan
Prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang
kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko
tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena
kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang
bulu.
b. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (non profit). Sebaliknya, tujuan
utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana
yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil
pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
peserta.
c. Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan
yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan
atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Prinsip kepesertaan bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh
rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat
dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
e. Prinsip dana amanat
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
f. Prinsip hasil pengelolaan
Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
C. Manfaat JKN BPJS Kesehatan
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan meliputi
(Kemenkes RI, 2014):
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non
spesialistikmencakup:
1. Administrasi pelayanan
2. Pelayanan promotif dan preventif
3. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
7. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama
8. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan
mencakup:
1. Rawat jalan, meliputi:
a) Administrasi pelayanan
b) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
spesialis dan sub spesialis
c) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
d) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e) Pelayanan alat kesehatan implant
f) Pelayanan penunjang diagnostic lanjutan sesuai dengan indikasi
medis
g) Rehabilitasi medis
h) Pelayanan darah
i) Peayanan kedokteran forensic
j) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
2. Rawat Inap yang meliputi:
a) Perawatan inap non intensif
b) Perawatan inap di ruang intensif
c) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
c. Pelayanan yang tidak dijamin
1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku.
2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan
kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja
atau hubungan kerja.
4. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri.
5. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/atau estetik.
6. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (Memperoleh Keturunan).
7. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi).
8. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau
alkohol.
9. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat
melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
10. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk
akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif
berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (Health Technology
Assessment/HTA).
11. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikansebagai percobaan
(eksperimen).
12. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu.
13. Perbekalan kesehatan rumah tangga.
14. Pelayanan kesehatan yang sudah dijamin dalam program kecelakaan
lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. Pelayanan kesehatan akibat bencana, kejadian luar biasa/wabah.
16. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat
jaminan kesehatan yang diberikan.
D. Kepesertaan BPJS Kesehatan
Beberapa pengertian (Kemenkes RI, 2014):
Peserta
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi Kerja
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara
negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lainnya.
Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI
JKN dengan rincian sebagai berikut:
a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin
dan orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu yang terdiri atas:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang
menerima Upah.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga
negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam)
bulan.
3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun;
d) Veteran;
e) Perintis Kemerdekaan; dan
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e
yang mampu membayar Iuran.
4) Penerima pensiun terdiri atas:
a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang
mendapat hak pensiun.
PEMBAHASAN
Total jumlah fasilitas kesehatan (tanpa dokter gigi praktek mandiri) yang
menjadi mitra BPJS sebanyak 20.208 faskes dengan jumlah terbanyak yakni
puskesmas sebanyak 9.842 Puskesmas.
B. Penghargaan yang Diraih
Certificates of Merit :
Fachmi menegaskan, apa yang ingin dicapai melalui tiga fokus utama
tersebut tidak akan terwujud tanpa dukungan SDM yang unggul, yang memiliki
kemampuan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya melalui
kepemimpinan yang efektif, memiliki kompetensi yang tinggi dalam
menjalankan bidang tugasnya, dan yang terakhir adalah memiliki karakter yang
dibentuk berdasarkan nilai-nilai organisasi, yaitu integritas, profesional,
pelayanan prima, dan efisiensi operasional, yang saat ini masih terus dibangun
sebagai karakter dan budaya organisasi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
a. Pemerataan peserta BPJS harus segera dilaksanakan agar mendapat pelayanan
sesuai apa yang diharapkan
b. Sosialisasi tentang ketertiban pembayaran rutin agar bisa menyesuaikan
anggaran yang telah dikeluarkan
c. Kerjasama dengan pemerintah pusat mengenai sistem yang harus diperbaiki dan
anggaran yang perlu di minimalisisr lagi
d. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pembayaran dan proses
penggunaan/alokasi dana agar masyaarakat tau tanggung jawab mereka untuk
membayar iuran.
REFERENSI PUSTAKA
Handayani, T., & Nadjib, M. (2016). Analisis Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber
Publik : Studi Kasus di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2012 , 2013 dan
2014. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 1(2), 35–43.
Kharisma, D. B. (2018). SISTEM KESEHATAN DAERAH : ISU DAN TANTANGAN BIDANG
KESEHATAN DI INDONESIA. Jurnal Rechts Vinding Online.
Setyawan, F. E. B. (2018). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal Kesehatan, 2(4), 57–70.
Suryani, D. H. Y. (2014). Analisis Ketersediaan Fasilitas dan Pembiayaan Kesehatan pada
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Provinsi Bengkulu. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia, 03(04), 219–226.
World Health Organization. 2009. The World Health Report. Health Systems : Improving
Performance. Geneva: WHO.
BPJS Kesehatan. 2018. Sejarah Perjalanan Jaminan Sosial di Indonesia. https://www.bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/pages/detail/2013/4. Diakses pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. Seputar BPJS Kesehatan. https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/eac4e7a830f58b4ade926754f74b6caf.pdf.
Diakses pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. 2018. Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan
Sosial Kesehatan. https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/5b8c446214547b3f6727a710cd62dae7.pdf.
Diunduh pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. 2015. Benefit: BPJS Kesehatan Menjamin Deteksi Dini Kanker Servix.
https://www.bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/4c9da8569d98d53a1307b06bd471255c.pdf.
Diakses pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. Panduan Praktis Tentang Kepesertaan Dan Pelayanan Kesehatan Yang
Diselenggarakan Oleh BPJS Kesehatan Berdasarkan Regulasi Yang Sudah Terbit.
https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/a9c04aa825ffc12d24aeee668747f284.pdf.
Diakses pada 6 April 2019.
Kesuma, Erna Jaya. 2016. Promotif dan Preventif di Era JKN-BPJS Kesehatan.
http://web10.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/345/2018/04/Sesi-1-
BPJS.pdf. Diakses pada 6 April 2019.
Rusady, Maya Amiarny. 2016. Kebijakan Pelayanan dan Pembayaran dalam Program JKN.
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/rakerkesnas_gel2_2016/Kepala%20BPJS.pdf. Diakses pada 6 April 2019.
Kemenkes RI. 2014. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional. https://bpjs-kesehatan.go.id , diakses pada Sabtu, 6
April 2019 pukul 08.36 WIB
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180917153108-4-33491/terungkap-defisit-kas-bpjs-
kesehatan-2018-tembus-rp-165-t
Idris, fachmi. 2018. Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan jaminan sosial
kesehatan tahun 2017.jakarta