Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KELOMPOK

EKONOMI PEMBIAYAAN KESEHATAN (BPJS)

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Community Health Nursing 1

Disusun oleh :
KELOMPOK 1 REGULER 2

Chynthia Putri Irawan 155070200111008


Choirunnisa Aprilia Setyo Putri 155070200111014
Dika Febrianti 165070200111002
Nafisah 165070200111004
Nurmalia Filda Syafiky 165070200111006
Tyas Febri Ghea Rachmadi 165070200111008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Biaya kesehatan dinilai sangat tinggi, mengingat manusia sehat semakin
penting dirasakan keberadaannya. Hal ini terkait dengan pola pikir yang menyatakan
tentang human investment. Di lain pihak biaya kesehatan terus menerus naik
sedangkan kemampuan membayar semakin terbatas. Ada 6 hal yang merupakan
faktor penyebab meningkatnya biaya pengeluaran kesehatan, diantaranya tingkat
inflasi, tingkat permintaan, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan
kesehatan, perubahan hubungan dokter/spesialis dengan pasiennya, kemudian
lemahnya mekanisme pengendalian biaya, dan penyalahgunaan asuransi kesehatan
(Handayani & Nadjib, 2016).
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan
nasional. Dalam pembangunan kesehatan, tujuan yang ingin dicapai adalah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi
sampai saat ini adalah derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya
masyarakat miskin. Hal ini dapat diketahui dari indikator Angka Kematian Bayi (AKB)
dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar
35 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses
ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah (Setyawan, 2018).
Program Jaminan Kesehatan Nasional dimulai pada tahun 2014 secara
bertahap menuju ke Universal Health Coverage. Program ini bertujuan untuk
mempermudah masyarakat mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu.
Perubahan pembiayaan menuju ke Universal Coverage merupakan terobosan yang
baik bagi masyarakat. Penyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional telah
disahkan melalui Undang-Udang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggaran
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 mulai
menyelenggarakan jaminan kesehatan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia baik
masyarakat mampu maupun tidak mampu. Program ini memerlukan upaya bersama
untuk meningkatkan kualitas dan keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang bermutu dan pemerataan pembiayaan kesehatan. Pasal 3 UU No
24/2011 Tentang BPJS: Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk
memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
peserta dan/atau anggota keluarganya. Prinsip penyelenggaraan BPJS adalah
kegotong-royongan, kepesertaan yang bersifat wajib, dan iuran berdasarkan
persentase upah/ penghasilan, serta pengelolaan yang bersifat nirlaba dan amanah
(Suryani, 2014).
Salah satu kebijakan strategis nasional pemerintah adalah dengan
menargetkan semua penduduk telah tercakup dalam program JKN di tahun 2019.
Program tersebut tentunya menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan baik di tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Namun, sejak JKN
ditetapkan sebagai program nasional selalu terjadi defisit dari angka Rp 3,3 triliun
(tahun 2014) menjadi Rp 6 triliun (tahun 2015) dan menyentuh Rp 8–9 triliun (tahun
2016) (Jawapos, 25 Oktober 2016 dalam Kharisma, 2018).
Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam dua tahun terakhir. Salah
satunya adalah menambah jumlah peserta JKN sebagai upaya untuk mewujudkan
Universal Health Coverage (UHC) dan mengatasi defisit anggaran JKN. Selain itu
berbagai inovasi terus digalakkan oleh pemerintah. Misalnya, program Dokter
Layanan Primer (DLP) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan
kesehatan, mencegah penyakit dan menjamin keberlanjutan layanan kesehatan di
tingkat primer. Pengiriman tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat ke
daerah perbatasan, tertinggal dan kepulauan (DPTK), dan daerah bermasalah
kesehatan (DBK) juga merupakan solusi pemerataan tenaga kesehatan (Kharisma,
2018).
Upaya serius pemerintah dalam pembangunan kesehatan diwujudkan juga
dalam alokasi anggaran kesehatan naik jadi 5 persen dari APBN. Sejak 2014 hingga
2016, pagu anggaran Kemenkes dan dana alokasi khusus (DAK) kesehatan terus
naik. Kenaikan anggaran Kemenkes dari 2014 ke 2015 sebesar 4,4 persen atau Rp
2,2 triliun. DAK kesehatan juga meningkat 195 persen dari tahun 2015 ke 2016 atau
Rp 11,8 triliun. Kenaikan dari 2016 ke 2017 sebesar 30 persen atau Rp 5,35 triliun
(Kompas, 2 Jan 2017 dalam Kharisma, 2018).
Namun, berbagai program itu belum cukup. Adanya defisit anggaran dalam
Program JKN setiap tahun menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang belum
sempurna dalam pelaksanaan program tersebut. Isu transparansi layanan kesehatan
juga masih menjadi problematika dalam masyarakat. Adanya isu penolakan pasien
apabila ingin berobat ke rumah sakit adalah bukti masih terbatasnya akses bagi
peserta JKN. Selain itu, mutu layanan dan sarana prasarana kesehatan di setiap
daerah yang masih belum merata menjadi permasalahan yang berdampak pada
pembangunan kesehatan di daerah. Dengan kata lain, walaupun progam JKN
penting untuk dilakukan, bagaimana masyarakat mendapatkan akses dan layanan
kesehatan yang baik, upaya pencegahan penyakit dan koordinasi lintas sektor dalam
pembangunan kesehatan juga penting untuk diperhatikan. Terkait dengan hal
tersebut, keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya terkait pada aspek
penerapan, tetapi juga proses kebijakan dan hubungan antar lembaga terkait. Artinya
kebijakan di bidang kesehatan baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah
penting untuk diperhatikan (Kharisma, 2018).
Keberhasilan Negara-negara maju seperti amerika dan jerman dalam
pembangunan kesehatan adalah dengan menggunakan pendekatan desentralisasi.
(Ricarda Milsteina, Carl Rudolf Blankart, 2016 : 7). Hal ini sebagaimana hasil
penelitian Mills (1990:5) yang menyatakan bahwa desentralisasi struktur dan
manajemen sistem kesehatan merupakan kunci utama dalam pelayanan kesehatan,
khususnya dalam mencapai “health for all” dan pengembangan pelayanan kesehatan
primer di berbagai negara. Wiku Adisasmito juga menambahkan cara berpikir dan
bertindak yg logis, sistematis, komprehensif, dan holistik dalam menyelenggarakan
pembangunan kesehatan penting untuk dilakukan (Wiku Adisasmito, 2010 : 7).
Artinya, bagi Indonesia yang saat ini sudah masuk di era JKN, desentralisasi urusan
kesehatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan membangun sistem
kesehatan baik di pusat dan di daerah penting untuk dilakukan (Kharisma, 2018).
2. Tujuan
2.1. Tujuan Umum

Mengetahui seara umum Program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan


Padan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) di Indonesia

2.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui konsep BPJS Kesehatan
2. Mengetahui profil BPJS Kesehatan
3. Mengetahui strategi BPJS Kesehatan
4. Mengetahui hasil capaian BPJS Kesehatan
BAB II

TEORI DAN KONSEP

1. Konsep Pembiayaan Kesehatan di Indonesia


Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan
kesehatan. Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan/ atau memanfatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Berdasarkan
pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu
berdasarkan:
1) Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider)
Besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya
kesehatan. Biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan kesehatan adalah
persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang
akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
2) Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer)
Besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa
pelayanan. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada
jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan
suatu upaya kesehatan. (Azwar A., 1999).
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan penting untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam mencapai
pembangunan kesehatan berupa pemerataan pelayanan, akses kesehatan
(equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality).
Oleh karena itu kebijakan pembiayaan kesehatan suatu negara harus berfokus
dalam menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity),
efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) (Departemen Kesehatan RI, 2004
dalam Setyawan, 2018).
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health
care financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi
sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta
menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang
mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable
and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada
aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi
pada perkembangan sosial dan ekonomi. Akhir-akhir ini, pelayanan kesehatan
menjadi sangat mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang.
Penggunaan pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu
penyebab utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan
kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya
kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri
(poor management of resources and services) (Departemen Kesehatan RI, 2004
dalam Setyawan, 2018).
Biaya kesehatan berdasarkan jenis pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Biaya pelayanan kedokteran
Biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan memanfaatkan pelayanan
kedokteran, yaitu bertujuan untuk mengobati penyakit serta memulihkan
kesehatan penderita.
2) Biaya pelayanan kesehatan masyarakat
Biaya yang yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan memanfaatkan
pelayanan kesehatan masyarakat, yaitu bertujuan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit.
Pelayanan kesehatan dibiayai dari berbagai sumber, yaitu :
1) Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) dengan dana berasal dari pajak (umum dan penjualan), deficit
financial(pinjaman luar negeri) serta asuransi sosial.
2) Swasta, dengan sumber dana dari perusahaan, asuransi kesehatan swasta,
sumbangan sosial, pengeluaran rumah tangga serta communan self help.
Pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan dalam UU
Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan solusi untuk kejadian sakit dan
kebutuhan pelayanan kesehatan. Definisi asuransi menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 adalah adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan (Andreas,
2009 dalam Setyawan, 2018).
Pada umumnya model asuransi mendorong munculnya moral hazard:
1) Di sisi tertanggung (pasien)
Kecenderungan untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan karena semua
biaya akan ditanggung asuransi, dan kecenderungan untuk tidak melakukan
tindakan preventif
2) Di sisi provider
Kecenderungan memberikan terapi secara berlebihan untuk memaksimalkan
pendapatan. Sehingga beberapa skema asuransi diatur sedemikian rupa untuk
mengurangi terjadinya moral hazard, misalnya dengan mengatur batasan paket
pelayanan, mengatur besaran kontribusi sesuai dengan tingkat resiko
tertanggung. Sistem ini dapat dibedakan menjadi asuransi yang bersifat umum
yaitu mencakup semua golongan dan asuransi yang bersifat khusus untuk
kelompok masyarakat tertentu.
a. Asuransi bersifat umum
1. General taxation
Sumber pembiayaan diambil dari pajak pendapatan secara proporsional
dari seluruh populasi dan dialokasikan untuk berbagai sektor (tidak
terbatas pelayanan kesehatan). Alokasi pada sektor kesehatan biasanya
berupa budget pada fasilitas kesehatan dan gaji staf kesehatan.
2. Earmarked Payroll tax
Sistem ini memiliki karakteristik yang hampir sama dengan general
taxation hanya saja penarikan pajak dialokasikan langsung bagi
pelayanan kesehatan sehingga lebih bersifat transparan dan dapat
mendorong kesadaran pembayaran pajak karena kejelasan penggunaan.
b. Asuransi bersifat khusus
1. Social insurance
Social insurance mempunyai karakteristik khusus yang membedakan
dengan private insurance, yaitu:
- Keanggotaan bersifat wajib
- Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji
- Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai dengan
besaran kontribusi
- Pelayanan dirupakan dalam bentuk paket
- Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom
- Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang
berskala luas
- Umumnya terjadi cross subsidi
2. Voluntary community
Perbedaan utama sistem ini dengan asuransi sosial adalah keanggotaan
yang bersifat sukarela serta skala cakupan tertanggung yang lebih
sempit. Biasanya asuransi ini berkembang pada kelompok masyarakat
yang tidak tertanggung oleh asuransi sosial yaitu kelompok yang tidak
memiliki pekerjaan formal, yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
penarikan kontribusi rutin dari penghasilan. Contoh penerapan dari sistem
ini adalah kartu sehat/kartu gakin yang dikembangkan pemerintah daerah
dan ditujukan pada kelompok tertentu (masyarakat miskin).
3. Private Insurance
Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah tidak
adanya risk pooling dan bersifat voluntary. Disamping itu private
insurance juga memperhitungkan resiko kesakitan individu dengan
besaran premium dan cakupan pelayanan asuransi yang diberikan.
Artinya individu yang lebih beresiko sakit misalnya kelompok rentan (bayi,
ibu hami, lansia), orang dengan perilaku tertentu misalnya perokok, dan
orang dengan pekerjaan yang beresiko akan dikenakan premi yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok yang dengan resiko rendah. Bentuk private
insurance dapat berupa lembaga asuransi swasta atau NGO bagi umum
maupun asuransi kelompok khusus seperti asuransi pekerja
4. Funding/Donation
Model funding tidak ditujukan langsung pada kelompok individu tetapi
lebih pada program kesehatan misalnya bantuan alat kesehatan,
pelatihan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan (Setyawan, 2018).
Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2
sistem yaitu:
1) Fee for Service (Out of Pocket)
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan,
dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi
pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan
pendapatan berdasarkan pelayanan yang diberikan. Semakin banyak pasien
yang dilayani, maka semakin banyak pula pendapatan yang diterima (WHO,
2009).
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem
pembiayaan kesehatan secara Fee for Service. Dari laporan World Health
Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti
sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah
terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk
memanfaatkan hubungan Agency Relationship, dimana PPK mendapat imbalan
berupa uang jasa medis untuk pelayanan yang diberikan. Besar kecilnya uang
jasa medis yang diterima ditentukan dari negosiasi antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan (PPK). Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani,
maka semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medis yang
ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong
untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan
imbalan jasa yang lebih banyak (WHO, 2009).
2) Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak
ketiga atau pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem
health insurance ini dapat berupa sistem kapitasi dan sistem Diagnosis Related
Group (DRG system) (WHO, 2009).
Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan
kesehatan, dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk
pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu. Pembayaran untuk PPK
dengan sistem koperasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga
kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan dengan pembayaran
dimuka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit
cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara
JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang telah
menjadi peserta akan membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan
kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan dengan kualitas yang terjaga dan biaya
terjangkau (WHO, 2009).
Sistem kedua adalah DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh
dengan sistem kapitas. Pada sistem ini, pembayaran dilakukan dengan melihat
diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam
penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang
berbeda untuk setiap diagnosis penyakit. Jika PPK dapat mengoptimalkan jumlah
dana yang telah diberikan demi kesehatan pasien, maka sisa dana akan menjadi
masukan tambahan bagi PPK (WHO, 2009).
Kelemahan dari sistem Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization
dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien
untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak
banyak bergabung dalam sistem ini, maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan.
Namun, kelebihan dalam sistem ini adalah PPK mendapat jaminan adanya pasien
(captive market), mendapat kepastian dana pada setiap awal periode waktu tertentu,
PPK harus mentaati prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan multi
diagnose. Dan sistem ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan promotif
kesehatan (WHO, 2009).
2. Profil BPJS
I. Visi dan misi
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan kesehatan dan memiliki visi dan misi untuk mewujudkan
programnya, yaitu:
Visi
Terwujudnya Jaminan Kesehatan (JKN-KIS) yang berkualitas dan
berkesinambungan bagi seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019
berlandaskan gotong royong yang berkeadilan melalui BPJS Kesehatan yang
handal, unggul, dan terpercaya.
Misi
Untuk mencapai visi tersebut, BPJS Kesehatan kemudian berupaya
mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki yang tercermin
melalui pernyataan misi sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas layanan yang berkeadilan kepada peserta, pemberi
pelayanan kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya melalui sistem
kerja yang efektif dan efisien.
b. Memperluas kepesertaan JKN-KIS mencakup seluruh penduduk Indonesia
paling lambat 1 Januari 2019 melalui peningkatan kemitraan dengan seluruh
pemangku kepentingan dan mendorong partisipasi masyarakat, serta
meningkatkan kepatuhan kepesertaan.
c. Menjaga kesinambungan program JKN-KIS dengan mengoptimalkan
kolektibilitas iuran, sistem pembayaran fasilitas kesehatan, dan pengelolaan
keuangan secara transparan dan akuntabel.
d. Memperkuat kebijakan dan implementasi program JKN-KIS melalui
peningkatan kerja sama antar lembaga, kemitraan, koordinasi, dan
komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan.
e. Memperkuat kapasitas dan tata kelola organisasi dengan didukung SDM
yang profesional, penelitian, perencanaan dan evaluasi, pengelolaan proses
bisnis dan manajemen risiko yang efektif dan efisien, serta infrastruktur dan
teknologi informasi yang handal.
II. Struktur organisasi

III. Sejarah
Program jaminan kesehatan sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak masa
kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, saat pengakuan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, program jaminan pelayanan kesehatan
tetap dilanjutkan oleh Prof. G. A. Siwabessy selaku Menteri Kesehatan saat itu,
tetapi masih dikhususkan untuk pegawai negeri sipil beserta keluarga. Prof. G.
A. Siwabessy mengajukan sebuah gagasan untuk segera membentuk jaminan
kesehatan universal yang kepesertaannya mencakup seluruh masyarakat yang
saat itu mulai diterapkan oleh negara-negara maju dan tengah berkembang
pesat.
Pada tahun 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1 Tahun 1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan
Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai
Negara dan penerima pensiun dan keluarganya.
Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari
sebuah badan di lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu
PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS,
pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.
Pada 1992, PHB berubah status menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero) mulai menjangkau
karyawan BUMN melalui program Askes Komersial.
Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk
melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM)
yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin dengan sasaran peserta
masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang iurannya
dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.
PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang belum tercover oleh
Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada lebih
dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU.
PJKMU adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya
diserahkan kepada PT Askes (Persero). 
Pada 1 Januari 2014, PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan
dan mulai beroperasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
IV. Landasan hukum
Penyelenggaraan program jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dalam pengelolaan BPJS
Kesehatan, manajemen berpedoman pada Pedoman Umum Good Governance
BPJS Kesehatan, Board Manual BPJS Kesehatan, dan Kode Etik BPJS
Kesehatan.
V. Direksi
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 24/P Tahun 2016 tanggal 19
Februari 2016 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Kesehatan Masa Jabatan Tahun 2016-2021, Peraturan Direksi Nomor 10 Tahun
2017 tentang Struktur Organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan, dan Peraturan Direksi Nomor 251 Tahun 2017 tentang Susunan
Anggota Direksi BPJS Kesehatan Tahun 2017, maka susunan direksi BPJS
Kesehatan adalah sebagai berikut:
1) Fachmi Idris (Direktur Utama)
2) Kemal Imam Santoso (Dir. Keuangan dan Investasi)
3) Bayu Wahyudi (Dir. Hukum dan Hub. Antar Lembaga)
4) R. Maya A. Rusady (Dir. Jaminan Pelayanan Kesehatan)
5) Andayani Budi Lestari (Dir. Perluasan dan Pelayanan Peserta)
6) Mundiharno (Dir. Perencanaan dan Pengembangan)
7) Mira Anggraini (Dir. SDM dan Umum)
8) Wahyudin Bagenda (Dir. Teknologi Informasi)
VI. Dewan pengawas
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 24/P Tahun 2016 tanggal 19
Februari 2016 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Kesehatan Masa Jabatan Tahun 2016-2021, maka susunan Dewan Pengawas
adalah sebagai berikut:
1) Chairul Radjab Nasution (Ketua)
2) Sri Hartarti (Anggota)
3) La Tunreng (Anggota)
4) Misbahul Munir (Anggota)
5) Roni Febrianto (Anggota)
6) Michael Johannis Latuwael (Anggota)
7) Karun (Anggota)
VII. Identitas BPJS Kesehatan
Nama Institusi: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Alamat Kantor: Jl. Letjend Suprapto Kav. 20 No.14 Cempaka Putih
Nama Kota: Jakarta Pusat
Kode Pos: 10510
Telepon/Fax: (021) 4212938/ (021) 4212940
Website: http://bpjs-kesehatan.go.id/
Care center: 1-500-400
Contact center: Facebook: BPJS Kesehatan
Twitter: @BPJSKesehatanRI
Youtube: BPJS Kesehatan
Kompasiana: infobpjskesehatan
Kaskus: bpjskesehatan
Instagram: bpjskesehatan_ri
Program Preventif dan Kuratif BPJS Kesehatan
1. Program Promosi
Dalam rangka memberikan informasi kepada peserta akan pentingnya menjaga
kesehatan, maka dilakukan kegiatan promotif yang ditujukan kepada seluruh
masyarakat, khususnya peserta BPJS Kesehatan. Sampai dengan 31 Desember
2017, kegiatan promotif yang telah dilaksanakan yaitu:
(1) Penyuluhan langsung dalam bentuk Edukasi RISTI telah dilaksanakan
sebanyak 1.480 kali yang diikuti 68.191 orang.
(2) Seminar Kesehatan telah dilaksanakan 713 kali dengan jumlah peserta
sebanyak 63.573 orang.
(3) Kegiatan Mobil Promosi Kesehatan Keliling telah dilaksanakan sebanyak 432
kali.
2. Program Preventif
Kegiatan preventif ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup peserta sehingga
peserta tetap sehat. Kegiatan preventif yang telah dilaksanakan sampai dengan
31 Desember 2017, diantaranya adalah:
(1) Melaksanakan senam sehat Tingkat Kabupaten/Kota sebanyak 483 kali dan
senam di Instansi Tingkat Kabupaten/Kota sebanyak 263 kali.
(2) Program Pengelolaan Penyakit Kronis merupakan salah satu upaya promotif
preventif yang dilakukan di FKTP yang sekarang terus dikembangkan untuk
penderita penyakit DM dan HT. FKTP secara khusus mengembangkan
Prolanis, dimana mereka akan mengajak peserta penyandang DM maupun
Hipertensi untuk dapat bekerja bersama-sama dalam mengelolaan
penatalaksanaan kesehatan yang baik sehingga diharapkan akan
menghasilkan kualitas hidup yang optimal walaupun memiliki penyakit DM
ataupun hipertensi. Aktivitas prolanis diantaranya adalah konsultasi medis,
pemantauan status kesehatan, aktivitas klub, home visit, penyediaan obat,
monitoring spesialis, dan reminder/ SMS Gateway.
Implementasi Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS) melalui:
- Senam Peserta Prolanis sebanyak 256.584 kali. - Jumlah peserta program
Pengelolaan Penyakit DM (PPDM) Tipe 2 terdaftar adalah 345.657 peserta
dan Pengelolaan Penyakit Hipertensi (PPHT) sebanyak 400.066 peserta.
- Jumlah klub yang telah melaksanakan edukasi prolanis sebanyak 13.802
klub dengan frekuensi kegiatan sebanyak 149.206 kali.
- Pemeriksaan Rutin Prolanis telah dilaksanakan pemeriksaan HbA1C
kepada 71.158 peserta, pemeriksaan tahunan Kimia Darah kepada 270.100
peserta dan pemeriksaan GDP/GDPP kepada 200.111 peserta. Jumlah
peserta prolanis sampai dengan 31 Desember 2017 sebanyak 686.397 jiwa,
dengan rasio jumlah peserta yang rutin berkunjung sebesar 53,35% atau
366.209 jiwa.
(3) Mentoring Spesialis terhadap Faskes Primer. Telah dilaksanakan mentoring
spesialis terhadap Faskes Primer sebanyak 186 kali dengan jumlah peserta
sebanyak 6.059 peserta.
(4) Aktivitas Reminder (SMS Gateway). Kegiatan aktivitas reminder (SMS
Gateway) telah disampaikan kepada 19.485 peserta.
(5) BPJS Kesehatan menjamin Deteksi Dini Kanker Servix.
Kanker servix menjadi penyebab kematian paling tinggi pada perempuan
setelah kanker payudara dan termasuk penyakit yang menyedot dana BPJS
Kesehatan cukup tinggi. Karena karakteristik kanker yang disebabkan oleh
HPV ini tidak menimbulkan gejala apapun pada stadium awal. Menurut
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, tahun 2014 berdasarkan data
peserta BPJS Kesehatan secara nasional, jumlah kasus kanker serviks di
tingkat pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan mencapai 68.883 kasus dengan
total biaya sekitar Rp 48,2 miliar, sementara di tingkat rawat inap ada 18.092
kasus dengan total biaya sekitar Rp 123,1 miliar.
Sebagai salah satu upaya mengoptimalisasikan fungsi promotif dan preventif,
BPJS Kesehatan telah aktif menyelenggarakan sosialisasi pada masyarakat
mengenai bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini
kanker serviks. Pencanangan “Gerakan Nasional Deteksi Dini Kanker Leher
Rahim” yang dilakukan BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Yayasan
Kanker Indonesia telah dimulai sejak Juni 2014. Selain itu, deteksi dini kanker
serviks juga telah masuk dalam skema pembiayaan program JKN, sehingga
peserta BPJS Kesehatan yang ingin melakukan deteksi dini kanker serviks
tidak perlu lagi mengeluarkan uang.
Kegiatan deteksi dini kanker serviks ini sebetulnya telah digencarkan sejak
BPJS Kesehatan masih berbentuk PT Askes. Metode deteksi dini dilakukan
dengan dua cara, yaitu metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan tes
Pap smear. Layanan deteksi dini ini diberikan BPJS Kesehatan di Fasilitas
Kesehatan Tingkat pertama (FKTP).
Selain itu juga telah ditetapkan Bulan Deteksi Dini Kanker Serviks pada 13 –
31 Juli 2017, dimana peserta JKN-KIS dapat melakukan deteksi dini gratis di
FKTP tempat peserta tersebut terdaftar.
(6) Pada kesehatan ibu dan anak, terdapat pelayanan promotif preventif untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan pelayanan kebidanan dan
neonatal seperti ANC, klub ibu hamil, dan Keluarga Berencana yang alokasi
dananya disediakan oleh pemerintah (BKKBN).
3. Program Preventif Promotif Spesifik Daerah
Sampai dengan 31 Desember 2017, kegiatan Promotif Preventif Spesifik Daerah
telah dilaksanakan sebanyak 2.330 kali, antara lain:
(1) Kedeputian Wilayah Sulsel, Sulbar, Sultra dan Maluku: KC Watampone dan
KC Makale tentang Senam Jantung Sehat Puskesmas Kampala dan Senam
Ibu Hamil.
(2) Kedeputian Wilayah Papua dan Papua Barat: KC Jayapura tentang Kelas Ibu
hamil Puskesmas Arso VIII.
(3) Kedeputian Wilayah Sumsel, Kep. Babel dan Bengkulu: KC Lubuk Linggau
tentang senam hamil, KC Prabumulih tentang Klub Ibu Hamil dan KCU
Palembang tentang Klub Penderita SLE.
(4) Kedeputian Wilayah Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kaltara: KC Palangkaraya
tentang Klub Ibu Hamil.
(5) Kedeputian Wilayah Riau, Kepri, Sumbar dan Jambi: KC Padang dan KC
Bungo tentang Promprev bagi pasien asma dengan menjadikan penderita
asma mandiri.
(6) Kedeputian Wilayah DKI Jkt, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi: KC
Bekasitentang Pelatihan Kegawatan Kardiovaskuler.
(7) Kedeputian Wilayah Jabar: KC Tasikmalaya tentang Evaluasi Pilot Project
Prolanis Asma, Edukasi Pilot Project Asma dan Senam Pilot Project Asma.
(8) Kedeputian Wilayah Jatim: KCU Kediri tentang Penyuluhan 1 rumah 1
jumantik.
4. Program Kuratif
Pelayanan kuratif dapat dilakukan di Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
(PKTP) dan Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (PKRTL). Pelayanan
kuratif termasuk diantaranya pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis non
spesialistik baik operatif maupun non operatif, pelayanan obat dan bahan medis
habis pakai, pemeriksaan penunjang, rehabilitasi medis, dan rawat inap serta
persalinan dan pelayanan ambulans.
3. Konsep Pembiayaan Kesehatan Berbasis BPJS
A. Definisi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (Kemenkes RI, 2014).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS
Kesehatan mulai opersional pada tanggal 1 Januari 2014 (Kemenkes RI, 2014).
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes RI,
2014).
B. Prinsip JKN BPJS Kesehatan
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) berikut (Kemenkes RI, 2014):

a. Prinsip kegotongroyongan
Prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang
kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko
tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena
kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang
bulu.

b. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (non profit). Sebaliknya, tujuan
utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana
yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil
pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
peserta.

Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.


Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana
yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

c. Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan
yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan
atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Prinsip kepesertaan bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh
rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat
dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
e. Prinsip dana amanat
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
f. Prinsip hasil pengelolaan
Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
C. Manfaat JKN BPJS Kesehatan
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan meliputi
(Kemenkes RI, 2014):
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non
spesialistikmencakup:
1. Administrasi pelayanan
2. Pelayanan promotif dan preventif
3. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
7. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama
8. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan
mencakup:
1. Rawat jalan, meliputi:
a) Administrasi pelayanan
b) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
spesialis dan sub spesialis
c) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
d) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e) Pelayanan alat kesehatan implant
f) Pelayanan penunjang diagnostic lanjutan sesuai dengan indikasi
medis
g) Rehabilitasi medis
h) Pelayanan darah
i) Peayanan kedokteran forensic
j) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
2. Rawat Inap yang meliputi: 
a) Perawatan inap non intensif
b) Perawatan inap di ruang intensif
c) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
c. Pelayanan yang tidak dijamin
1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku.
2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan
kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja
atau hubungan kerja.
4. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri.
5. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/atau estetik.
6. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (Memperoleh Keturunan).
7. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi).
8. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau
alkohol.
9. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat
melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
10. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk
akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif
berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (Health Technology
Assessment/HTA).
11. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikansebagai percobaan
(eksperimen).
12. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu.
13. Perbekalan kesehatan rumah tangga.
14. Pelayanan kesehatan yang sudah dijamin dalam program kecelakaan
lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. Pelayanan kesehatan akibat bencana, kejadian luar biasa/wabah.
16. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat
jaminan kesehatan yang diberikan.
D. Kepesertaan BPJS Kesehatan
Beberapa pengertian (Kemenkes RI, 2014):
 Peserta
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
 Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau
imbalan dalam bentuk lain.
 Pemberi Kerja
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara
negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lainnya.

Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI
JKN dengan rincian sebagai berikut:

a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin
dan orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu yang terdiri atas:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang
menerima Upah.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga
negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam)
bulan.
3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun;
d) Veteran;
e) Perintis Kemerdekaan; dan
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e
yang mampu membayar Iuran.
4) Penerima pensiun terdiri atas:
a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang
mendapat hak pensiun.

Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:


a) Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan
b) Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta,
dengan kriteria:
1) Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai
penghasilan sendiri; dan
2) Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25
(duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan
formal.

Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota


keluarga yang lain.
5) WNI di Luar Negeri
Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.
6) Hak dan kewajiban Peserta
 Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak
mendapatkan
a) identitas Peserta dan
b) manfaat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
 Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan
berkewajiban untuk:
a) membayar iuran dan
b) melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan
menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau
pindah kerja.
7) Masa berlaku kepesertaan
a) Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama yang
bersangkutan membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta.
b) Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran
atau meninggal dunia.
c) Ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut diatas, akan diatur oleh
Peraturan BPJS.
8) Pentahapan kepesertaan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional
dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014,
kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota
TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota
keluarganya; Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota
keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta
anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan
Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi
seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan
paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.
E. Prosedur Pendaftaran Peserta JKN BPJS Kesehatan
I. Pendaftaran Bagi Penerima Ba ntuan Iuran / PBI
Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak mampu yang menjadi peserta
PBI dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang statistik (Badan Pusat Statistik) yang diverifikasi
dan divalidasi oleh Kementerian Sosial (Kemenkes RI, 2104).
Selain peserta PBI yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, juga terdapat
penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan
SK Gubernur/Bupati/Walikota bagi Pemda yang mengintegrasikan program
Jamkesda ke program JKN (Kemenkes RI, 2014).
II. Pendaftaran Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah / PPU
1. Perusahaan / Badan usaha mendaftarkan seluruh karyawan beserta
anggota keluarganya ke Kantor BPJS Kesehatan dengan melampirkan
:
a. Formulir Registrasi Badan Usaha / Badan Hukum Lainnya
b. Data Migrasi karyawan dan anggota keluarganya sesuai format
yang ditentukan oleh BPJS Kesehatan.
2. Perusahaan / Badan Usaha menerima  nomor Virtual Account
(VA) untuk dilakukan pembayaran ke Bank yang telah bekerja sama   
(BRI/Mandiri/BNI)
Bukti Pembayaran iuran diserahkan ke Kantor BPJS Kesehatan
untuk dicetakkan kartu JKN atau mencetak e-ID secara mandiri oleh
Perusahaan / Badan Usaha.
III. Pendaftaran Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah / PBPU dan
Bukan Pekerja
 Pendaftaran PBPU dan Bukan Pekerja
1. Calon peserta mendaftar secara perorangan di Kantor BPJS
Kesehatan
2. Mendaftarkan seluruh anggota keluarga yang ada di Kartu
Keluarga
3. Mengisi formulir Daftar Isian Peserta (DIP) dengan melampirkan :
      - Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
      - Fotokopi KTP/Paspor, masing-masing 1 lembar
      - Fotokopi Buku Tabungan salah satu peserta yang ada didalam
Kartu Keluarga
      - Pasfoto 3 x 4, masing-masing sebanyak 1 lembar.
4. Setelah mendaftar, calon peserta memperoleh Nomor Virtual
Account (VA)
5. Melakukan pembayaran iuran ke Bank yang bekerja sama
(BRI/Mandiri/BNI)
6. Bukti pembayaran iuran diserahkan ke kantor BPJS Kesehatan
untuk dicetakkan kartu JKN. Pendaftaran selain di Kantor BPJS
Kesehatan, dapat melalui Website BPJS Kesehatan
 Pendaftaran Bukan Pekerja Melalui Entitas Berbadan Hukum
(Pensiunan BUMN/BUMD)
Proses pendaftaran pensiunan yang dana pensiunnya dikelola
oleh entitas berbadan hukum dapat didaftarkan secara kolektif melalui
entitas berbadan hukum yaitu dengan mengisi formulir registrasi
dan formulir migrasi data peserta.
F. Sistem Iuran
1. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar
oleh Pemerintah.
2. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga
Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri,
pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5%
(lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 3% (tiga
persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua persen) dibayar oleh
peserta.
3. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD
dan Swasta sebesar 5% ( lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan
dengan ketentuan : 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1%
(satu persen) dibayar oleh Peserta.
4. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari
anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar
sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan,
dibayar oleh pekerja penerima upah.
5. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara
kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima
upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah sebesar:
a. Sebesar Rp. 25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang
per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. 
b. Sebesar Rp. 51.000,- (lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan
dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II. 
c. Sebesar Rp. 80.000,- (delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan
dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda,
duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan,
iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima
persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa
kerja 14 (empat belas) tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah.
7. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan
Tidak ada denda keterlambatan pembayaran iuran terhitung mulai tanggal 1
Juli 2016 denda dikenakan apabila dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari
sejak status kepesertaan diaktifkan kembali, peserta yang bersangkutan
memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap, maka  dikenakan denda
sebesar 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan
tertunggak, dengan ketentuan :
1. Jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 (dua belas) bulan.
2. Besar denda paling tinggi Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
(Kemenkes RI, 2014).
G. Persyaratan Menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 
A. Untuk Klinik Pratama atau yang setara harus memiliki (Kemenkes RI, 2014):
1. Surat Ijin Operasional
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi dan Surat Ijin Praktik atau
Surat Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain
3. Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker dalam hal klinik
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan
5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan
6. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
Jaminan Kesehatan Nasional
B. Untuk Praktik Dokter atau Dokter Gigi harus memiliki :
1. Surat Ijin Praktik
2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
3. Perjanjian kerja sama dengan laboratorium, apotek, dan jejaring lainnya
4. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
JKN
C. Untuk Puskesmas atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi, Surat Ijin Praktik Apoteker
(SIPA) bagi Apoteker, dan Surat Ijin Praktik atau Surat Ijin Kerja
(SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain;
3. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan
4. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
JKN 
D. Untuk Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan
4. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
Jaminan Kesehatan Nasional
BAB III

PEMBAHASAN

Laporan Pelaksanaan/Evaluasi Program BPJS

I. Hasil Capaian (Target)


A. Jumlah Peserta

Hingga Oktober 2017, jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 184.486.348


jiwa. Capaian ini merupakan 82,67% dari target awal capaian 2017 dengan
223.150.000 juta jiwa. Pada 2019, BPJS menargetkan sebanyak 257.000.000
jiwa yang bergabung.

Total jumlah fasilitas kesehatan (tanpa dokter gigi praktek mandiri) yang
menjadi mitra BPJS sebanyak 20.208 faskes dengan jumlah terbanyak yakni
puskesmas sebanyak 9.842 Puskesmas.
B. Penghargaan yang Diraih

Pada tahun 2018, BPJS Kesehatan meraih 9 penghargaan dari Asosiasi


Jaminan Sosial Internasional, International Social Security Association (ISSA).
ISSA merupakan asosiasi lembaga jaminan sosial yang beranggotakan 158
negara di dunia. BPJS Kesehatan menjadi satu-satunya peraih 9 penghargaan
pada acara yang dihadiri lebih dari 40 negara di kawasan Asia Pasifik.
Penghargaan yang diberi nama ISSA Good Practice Award ini diberikan tiga
tahun sekali untuk masing-masing kawasan. Indonesia masuk kawasan Asia
Pasifik. Tiga negara lain masing masing hanya meraih 2 penghargaan
(Malaysia) dan 1 penghargaan (Iran dan China)
Berikut ini 9 Penghargaan ISSA untuk BPJS Kesehatan :
Certificates of Merit With Spesial Mention :
1. Implementation of integrated risk management in line with ISSA Guidelines
to manage the National Health Social Security programme.
2. Involving the society to care about social health care through Kader JKN
Programme.
3. Mobile JKN : A one-stop solution for social security health services at
people’s fingertips.

Certificates of Merit :

1. Commitmend-based capitation as Indonesia’s model for performance-


based payment system for primary care providers: Resolving the
challenges of implementing the KBK Scheme in Indonesia’s National
Health Social Security Program.
2. Customer Service Time Index and Customer Voice Integrated System
CSTI-SUPEL
3. DEFRADA (Deteksi Potensi Fraud dengan Analisa Data Klaim) The
Development of a fraud detection tool in hospital service.
4. Ease of registration for National Health Social Security through Fast Track.
5. Health Facilities Information System (HFIS) for better contracting
accountability and more effective referral system.
6. Implementing digital claim hospital verification in National Health Social
Security in Indonesia.
II. Kendala/Masalah Dihadapi
Program JKN-KIS merupakan salah satu program unggulan pemerintah yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, melalui jaminan
pelayanan kesehatan yang komprehensif. Namun demikian, terdapat tantangan
dalam penyelenggaraan program JKN-KIS yaitu defisit Dana Jaminan Sosial (DJS)
Kesehatan yang berdampak pada kesinambungan program JKN-KIS. Tindakan
antisipasi BPJS Kesehatan dalam menjaga likuiditas Dana Jaminan Sosial (DJS)
Kesehatan adalah:
1. Optimalisasi tambahan pendanaan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 87
Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
Penanggulangan defisit arus kas dilakukan melalui Realisasi dana talangan
sebesar 25% dari aset investasi Dana BPJS Kesehatan yaitu sebesar Rp3,1
triliun dan menyerahkan surplus Dana BPJS Kesehatan kepada Dana Jaminan
Sosial (DJS) sebesar Rp1,1 triliun.
2. Mengusulkan bauran kebijakan kepada pemerintah yang mencakup perubahan
kebijakan pemerintah yang berdampak positif terhadap fundamental program
JKN-KIS, baik dari aspek pendapatan maupun aspek pembiayaan. selain itu,
upaya internal BPJS Kesehatan adalah meningkatkan efisiensi melalui
strategic purchasing dengan fokus pada FKTP sebagai gate keeper. Upaya-
upaya yang telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan dalam jangka pendek belum
memberikan output yang signifikan terhadap permasalahan defisit Dana
Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Oleh karena itu, saatnya diperlukan langkah-
langkah kebijakan strategis dari Pemerintah baik yang bersifat antisipasi jangka
pendek maupun jangka panjang untuk menjaga kesinambungan program JKN,
khususnya dalam menanggulangi defisit program JKN melalui:
1) Memastikan bahwa Bauran Kebijakan yang sudah Ditetapkan dalam rapat
antar Kementerian/Lembaga tertuang di dalam Perubahan Regulasi. Hal ini
untuk memastikan bahwa perubahan regulasi secara signfikan dapat
berpengaruh terhadap aspek fundamental program JKN-KIS, baik dari
aspek pendapatan maupun pembiayaan.
2) Memastikan kecukupan dana dari pemerintah untuk menanggulangi defisit
Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh
pemerintah demi menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. Pemerintah
telah memberikan beberapa solusi yang berdampak positif terhadap
likuiditas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, antara lain suntikan dana
dalam bentuk Penanaman Modal Nasional (PMN) sebesar Rp5 triliun pada
tahun 2015 dan Rp6,828 triliun pada tahun 2016. Pada tahun 2016,
pemerintah juga telah melakukan perubahan kebijakan terkait kenaikan
iuran yang berdampak pada kenaikan pendapatan iuran. Pada tahun 2017
pemerintah telah mencairkan suntikan dana dalam bentuk Belanja Negara
sebesar Rp3,6 triliun untuk menjaga likuiditas Dana Jaminan Sosial (DJS)
Kesehatan. Namun demikian, untuk tahun 2018 kondisi keuangan Dana
Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan diperkirakan masih akan mencatatkan
defisit, sehingga tetap dibutuhkan dukungan pemerintah demi
keberlangsungan finansial program JKN-KIS.
3) Perhitungan Iuran Peserta PBI dan Non PBI yang melibatkan berbagai
pihak terkait. Diperlukan adanya penyesuaian terhadap perhitungan
besaran iuran baik peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun Non PBI
yang melibatkan berbagai pihak, khususnya Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan
stakeholder lainnya dengan tujuan untuk menjawab tantangan
kesinambungan program JKN-KIS dimasa yang akan datang. BPJS
Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN-KIS siap untuk
memberikan data dan informasi termutakhir yang diperlukan untuk proses
perhitungan iuran tersebut. Hasil perhitungan iuran tersebut dapat menjadi
dasar pertimbangan untuk melakukan perubahan atas Peraturan Presiden
tentang Jaminan Kesehatan pada masa 2 tahun mendatang.
4) Dukungan Pemerintah Pusat dan Daerah, terhadap Peningkatan Kualitas
Layanan di Fasilitas Kesehatan (Faskes). Faskes baik tingkat primer
maupun rujukan saat ini berperan sebagai mitra kerja BPJS Kesehatan dan
penyedia layanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS. Kepuasan peserta
merupakan salah satu indikator utama dalam keberhasilan
penyelenggaraan program JKN-KIS, yang dipengaruhi oleh efektivitas
pelayanan di BPJS Kesehatan dan faskes. Dalam upaya peningkatan
kepuasan peserta melalui kualitas layanan di faskes, diperlukan dukungan
Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memperbaiki sistem pelayanan dan
infrastruktur fasilitas kesehatan.
Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih
mencatatkan defisit arus kas yang besar. Dalam rapat kerja bersama tentang
Bailout BPJS Kesehatan, Senin (17/9/2018) BPJS Kesehatan mencatatkan defisit
arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 Rp 16,5 triliun. 
Komposisinya, defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017
sebesar Rp 4,4 triliun. Untuk menutupi defisit arus kas ini, BPJS mengandalkan
pendapatan iuran. Pada Juni 2018, pendapatan dari penerima bantuan iuran (PBI)
mencapai Rp 12,73 triliun. Sementara non-PBI mencapai Rp 27,64 triliun.
Adapun pembayaran biaya manfaat menurut RKA 2018 mencapai Rp 87,81
triliiun. Komposisinya, biaya rawat jalan tingkat pertama mencapai Rp 14,58 triliun
dan biaya rawat inap tingkat pertama Rp 1,12 triliun. Kemudian biaya rawat jalan
tingkat lanjutan Rp 23,88 triliun dan biaya rawat inap tingkat lanjutan Rp 43,75
triliun, promosi dan preventif Rp 475,65 miliar.
Realisasi pembayaran manfaat per 30 Juni 2018 mencapai Rp 43,3 triliun.
Komposisi biaya rawat jalan tingkat pertama Rp 6,74 triliun, biaya rawat jalan
tingkat pertama Rp 518 miliar, biaya rawat jalan tingkat lanjutan Rp 12,49 triliun,
biaya rawat inap tingkat lanjutan Rp 23,5 triliun, promosi dan preventif Rp 81,8
miliar.
III. Strategi
Melihat kondisi yang berkembang serta potensi tantangan yang akan terjadi,
BPJS Kesehatan telah menetapkan tiga fokus utama yang menjadi acuan dalam
pelaksanaan program bagi seluruh unit kerja, yaitu Menjaga Kesinambungan
Program JKN-KIS, Meningkatkan Kepuasan Peserta, serta Efektivitas dalam
Pengelolaan Program Kerja. (BPJS, 2018)
1. Menjaga Kesinambungan Program JKN-KIS

Untuk menjaga kesinambungan program JKN-KIS ini, Fachmi Idris


menjelaskan terdapat tiga pilar asuransi kesehatan sosial yang harus
dioptimalkan. Pilar pertama adalah risk pooling atau bauran kepesertaan,
dengan melakukan percepatan rekrutmen peserta melalui proses canvassing
pekerja penerima upah pada Badan Usaha, serta meningkatkan kepatuhan
pekerja dan pemberi kerja dengan melakukan integrasi program pemasaran
sosial dan kepatuhan pekerja dan pemberi kerja.

Untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), upayanya adalah melalui


optimalisasi kanal, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat serta
optimalisasi data Dukcapil. Integrasi Jakmesda ke dalam program JKN-KIS
juga terus didorong dengan melakukan edukasi dan advokasi kepada
Pemerintah Daerah. Pilar kedua yang juga terus dioptimalkan adalah revenue
collection , melalui optimalisasi fungsi Kader JKN yang telah dibentuk untuk
membantu meningkatkan pertumbuhan jumlah kepesertaan dan meningkatkan
kolektabilitas iuran bagi segmen PBPU, serta meningkatkan awareness kepada
peserta terhadap pentingnya Program JKN-KIS.

Terobosan lainnya yaitu melalui program cicilan piutang iuran khusus


peserta Mandiri. Optimalisasi pembayaran iuran autodebet juga terus
dilakukan, khususnya bagi peserta PBPU. Selanjutnya adalah melakukan
penyelesaian tunggakan iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah melalui
pemotongan Dana Alokasi Umum atau Dana Bagi Hasil. Hal ini juga sudah
tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 183/ PMK.07/2017.

Pilar ketiga dalam upaya menjaga kesinambungan program JKN-KIS


yaitu purchasing , di antaranya optimalisasi mekanisme pembayaran provider
melalui pengembangan sistem pembayaran berbasis kinerja di FKRTL, serta
pengembangan mekanisme cara pembayaran lain melalui implementasi hasil
kajian Strategic Purchasing .

Melakukan koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga juga menjadi


hal yang penting dalam implementasi cost sharing yang berpotensi moral
hazard. Selanjutnya adalah sinergitas penjaminan peserta JKN-KIS untuk
kasus kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dengan BPJS Ketenagakerjaan dan PT Jasa Raharja. Upaya lainnya adalah
pengembangan manajemen e-claim di FKRTL (Vedika) dan di FKTP, serta
melakukan penanganan terhadap risiko fraud.

2. Meningkatkan Kepuasan Peserta

Sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik yang kinerjanya


diukur dari kemampuan melayani masyarakat dengan baik, kepuasan peserta
juga ditempatkan sebagai prioritas. Fachmi Idris mengatakan, fokus
peningkatan kepuasan peserta ini diwujudkan melalui peningkatan pelayanan
administrasi, antara lain dengan memperluas sarana dan kanal pendaftaran
terintegrasi dan pengiriman KIS, melakukan pengembangan SMS mobile
advertising dalam rangka pemberian informasi terintegrasi, hingga melakukan
pengembangan sistem pembayaran iuran dengan kode identik melalui i d-
transaksi.

Upaya lainnya adalah meningkatkan kemudahan akses ke fasilitas


kesehatan, serta meningkatkan mutu layanan faskes. Peningkatan layanan
customer feedback system juga dilakukan untuk memberi kemudahan dalam
penyampaian keluhan melalui berbagai saluran, dan tata kelola penanganan
keluhan.

November 2017 lalu, BPJS Kesehatan juga telah meluncurkan aplikasi


Mobile JKN. Tujuannya untuk memberikan kemudahan bagi peserta dalam
mendapatkan layanan JKN-KIS melalui fitur-fitur inovatif yang dihadirkan.

Fachmi menegaskan, kepuasan peserta tidak hanya menjadi perspektif


Duta BPJS Kesehatan yang tugasnya langsung berhubungan dengan peserta,
tetapi harus menjadi orientasi seluruh Duta BPJS Kesehatan di seluruh fungsi
organisasi, baik di Kantor Pusat maupun di daerah. Selain itu, kepuasan
peserta juga sangat dipengaruhi oleh ketanggapan Duta BPJS Kesehatan
dalam menangani keluhan dengan cepat dan tuntas.

3. Efektifitas Pengelolaan Program Kerja

Efektivitas dalam Pengelolaan Program Kerja menjadi fokus ketiga BPJS


Kesehatan. Berbagai terobosan yang dilakukan antara lain peningkatan
produktifitas pegawai melalui review Analisa Beban Kerja (ABK), implementasi
manajemen talenta dan manajemen karier. Upaya lainnya seperti melakukan
pengendalian dan optimalisasi aset tetap, review dan penyempurnaan proses
bisnis melalui penguatan fungsi Change Management Action Team (CMAT),
serta monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program kerja yang fokus
pada pencapaian target kinerja. Strategi untuk memenuhi kebutuhan SDM
yaitu salah satunya adalah dengan melakukan otomasi proses verifikasi klaim
melalui implementasi Verifikasi Digital Klaim (Vedika).

Fachmi menyadari, pemahaman terhadap konsep Vedika yang


mengubah model pengelolaan klaim secara signifikan, serta kesiapan sarana
dan prasarana merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam implementasi
Vedika. Dalam struktur organisasi baru yang diimplementasikan, sudah tidak
ada lagi unit BPJS Kesehatan Center di rumah sakit. BPJS Kesehatan
melakukan pengalihan fungsi BPJS Kesehatan Center menjadi Petugas
Pemberian Informasi dan Penanganan Pengaduan (PIPP) di Rumah Sakit.

Fachmi menegaskan, apa yang ingin dicapai melalui tiga fokus utama
tersebut tidak akan terwujud tanpa dukungan SDM yang unggul, yang memiliki
kemampuan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya melalui
kepemimpinan yang efektif, memiliki kompetensi yang tinggi dalam
menjalankan bidang tugasnya, dan yang terakhir adalah memiliki karakter yang
dibentuk berdasarkan nilai-nilai organisasi, yaitu integritas, profesional,
pelayanan prima, dan efisiensi operasional, yang saat ini masih terus dibangun
sebagai karakter dan budaya organisasi.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Indonesia merupakan negara berkembang yang didalam nya terdapat


layanna kesehatan yang dinilai sangat mahal bagi masyarakat. pembangunan
kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan yang salah satu indikatornya adalah AKB dan AKI.
Pada tahun 2014 sudah di tetapkan dalam UU mengenai jaminan kesehatan yang
ada di Indonesia yang bertujuan untuk peningkatan layanan kesehatan dan
pemerataan mutu layanan kesehatan yang ada di Indonesia. Banyak upaya yang
telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan layannan dan pemeratuaan
kesehatan salah satunya dengan meambah anggaran JKN sebesar 5% dari APBN.
Namun, berbagai program itu belum cukup. Adanya defisit anggaran dalam
Program JKN setiap tahun menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang belum
sempurna dalam pelaksanaan program tersebut. Isu transparansi layanan kesehatan
juga masih menjadi problematika dalam masyarakat. Adanya isu penolakan pasien
apabila ingin berobat ke rumah sakit adalah bukti masih terbatasnya akses bagi
peserta JKN. Selain itu, mutu layanan dan sarana prasarana kesehatan di setiap
daerah yang masih belum merata menjadi permasalahan yang berdampak pada
pembangunan kesehatan di daerah. Dengan kata lain, walaupun progam JKN
penting untuk dilakukan, bagaimana masyarakat mendapatkan akses dan layanan
kesehatan yang baik, upaya pencegahan penyakit dan koordinasi lintas sektor dalam
pembangunan kesehatan juga penting untuk diperhatikan.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan penting untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam mencapai
pembangunan kesehatan berupa pemerataan pelayanan, akses kesehatan
(equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality).
Tidak ada sistem kesehatan yang sempurna, terutama dalam pembiayaan pelayanan
kesehatan. Setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak
dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif.
Sehingga dapat mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan
kesehatan, serta dapat terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Banyak permasalahan yang di hadapi BPJS atau badan pelayanan JKN di
Indonesia seperti masalah yang baru saja muncul yaitu tentang defisit pembiayaan
pada BPJS, hal ini masih di kembangkan dan terus di perbaiki oleh pihak BPJS dan
pemerintah. BPJS juga memutus kerja sama dengan beberapa rumah sakit bukan
karena mereka tidak bisa memenuhi terget tetapi memang rumah sakit tersebut
beum memiliki fasilitas yang sesuai dengan syarat menjadi mitra BPJS.
Strategi BPJS untuk meningkatkan keefektifan semua programnya antara lain
: menjaga kesenimbungan program JKN-KIS, meningkatkan kepuasan peserta,
efektifitas pengelolaan program kerja.

Saran
a. Pemerataan peserta BPJS harus segera dilaksanakan agar mendapat pelayanan
sesuai apa yang diharapkan
b. Sosialisasi tentang ketertiban pembayaran rutin agar bisa menyesuaikan
anggaran yang telah dikeluarkan
c. Kerjasama dengan pemerintah pusat mengenai sistem yang harus diperbaiki dan
anggaran yang perlu di minimalisisr lagi
d. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pembayaran dan proses
penggunaan/alokasi dana agar masyaarakat tau tanggung jawab mereka untuk
membayar iuran.
REFERENSI PUSTAKA

Handayani, T., & Nadjib, M. (2016). Analisis Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber
Publik : Studi Kasus di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2012 , 2013 dan
2014. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 1(2), 35–43.
Kharisma, D. B. (2018). SISTEM KESEHATAN DAERAH : ISU DAN TANTANGAN BIDANG
KESEHATAN DI INDONESIA. Jurnal Rechts Vinding Online.
Setyawan, F. E. B. (2018). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal Kesehatan, 2(4), 57–70.
Suryani, D. H. Y. (2014). Analisis Ketersediaan Fasilitas dan Pembiayaan Kesehatan pada
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Provinsi Bengkulu. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia, 03(04), 219–226.
World Health Organization. 2009. The World Health Report. Health Systems : Improving
Performance. Geneva: WHO.
BPJS Kesehatan. 2018. Sejarah Perjalanan Jaminan Sosial di Indonesia. https://www.bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/pages/detail/2013/4. Diakses pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. Seputar BPJS Kesehatan. https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/eac4e7a830f58b4ade926754f74b6caf.pdf.
Diakses pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. 2018. Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan
Sosial Kesehatan. https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/5b8c446214547b3f6727a710cd62dae7.pdf.
Diunduh pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. 2015. Benefit: BPJS Kesehatan Menjamin Deteksi Dini Kanker Servix.
https://www.bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/4c9da8569d98d53a1307b06bd471255c.pdf.
Diakses pada 6 April 2019.
BPJS Kesehatan. Panduan Praktis Tentang Kepesertaan Dan Pelayanan Kesehatan Yang
Diselenggarakan Oleh BPJS Kesehatan Berdasarkan Regulasi Yang Sudah Terbit.
https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/a9c04aa825ffc12d24aeee668747f284.pdf.
Diakses pada 6 April 2019.
Kesuma, Erna Jaya. 2016. Promotif dan Preventif di Era JKN-BPJS Kesehatan.
http://web10.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/345/2018/04/Sesi-1-
BPJS.pdf. Diakses pada 6 April 2019.
Rusady, Maya Amiarny. 2016. Kebijakan Pelayanan dan Pembayaran dalam Program JKN.
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/rakerkesnas_gel2_2016/Kepala%20BPJS.pdf. Diakses pada 6 April 2019.
Kemenkes RI. 2014. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional. https://bpjs-kesehatan.go.id , diakses pada Sabtu, 6
April 2019 pukul 08.36 WIB

https://www.cnbcindonesia.com/news/20180917153108-4-33491/terungkap-defisit-kas-bpjs-
kesehatan-2018-tembus-rp-165-t

Idris, fachmi. 2018. Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan jaminan sosial
kesehatan tahun 2017.jakarta

Sumantri, Usman. 2017. Pencapaian dan Tantangan Program Jaminan Kesehatan


Nasional.
http://www.djsn.go.id/storage/app/uploads/public/5a4/480/4a8/5a44804a8f4090193512
74.pdf

BPJS Kesehatan. 2018. Setelah Penghargaan ASEAN, BPJS Kesehatan Sabet 9


Penghargaan Asia Pasific. http://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/7ee18431181281428814b5174ee6eb94.pdf

BPJS, R. (2018). Strategi Utama Menuju Sukses 2018 edisi 58.

Anda mungkin juga menyukai