Anda di halaman 1dari 52

RESPONSI

SEORANG WANITA P2A0, 44 TAHUN DENGAN ADENOMIOSIS, KISTA


COKLAT BILATERAL DAN HBSAG POSITIF

Oleh:
Dewi Amani Husna G991902012
Dheajeng Intan M. A G991902013
Faizah Nur Narendra G991906013
Mariyah Mustaqimah G99181043

Pembimbing:
dr. Eriana Melinawati, Sp.OG(K)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah:


pendarahan 45%, infeksi 15%, dan preeklampsia 13%. Sisanya terbagi atas partus
macet, abortus yang tidak aman, dan penyebab tidak langsung lainnya. Dalam
perjalanannya, berkat kemajuan dalam bidang anestesia, teknik operasi,
pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotik yang semakin
meningkat, maka penyebab kematian ibu karena pendarahan dan infeksi dapat
diturunkan secara nyata. Sebaliknya pada penderita preeklampsia, karena
ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinis
berkembang menjadi preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka
kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan.
Pada ibu hamil dikatakan terjadi preeklampsia apabila dijumpai tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria ≥
300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick ≥ 1+. Dalam pengelolaan klinis,
preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan, preeklampsia berat, impending
eklampsia, dan eklampsia. Disebut impending eklampsia apabila pada penderita
ditemukan keluhan seperti nyeri epigastrium, nyeri kepala frontal, skotoma, dan
pandangan kabur (gangguan susunan syaraf pusat), gangguan fungsi hepar dengan
meningkatnya alanine atau aspartate amino transferase, tanda-tanda hemolisis dan
mikroangiopatik, trombositopenia < 100.000/mm3, dan munculnya komplikasi
sindroma HELLP.
Impending eklampsia merupakan masalah yang serius dalam kehamilan
karena komplikasi-komplikasi yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada
janin. Komplikasi pada ibu antara lain gagal ginjal akibat nekrosis tubuler akut,
nekrosis kortikal akut, gagal jantung, edema paru, trombositopenia, DIC, dan
cerebrovascular accident. Sedangkan komplikasi pada janin antara lain
prematuritas ekstrem, intrauterine growth retardation (IUGR), abruptio plasenta,
dan asfiksia perinatal. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan secara cepat dan
tepat apabila dijumpai kasus kehamilan dengan impending eklampsia.

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. ERM
No RM : 01468981
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ceper, Ceper, Klaten
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 31 Desember 2019
Berat badan : 48 kg
Tinggi badan : 145 cm

2. Keluhan Utama
Terdapat benjolan pada perut sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang P2A0, 44 tahun, rujukan dari RS swasta dengan
keterangan kista ovarii susp ganas dd endometrioma. Datang dengan
keluhan terasa ada benjolan di perut sejak 1 bulan lalu. Tidak terasa makin
membesar perdarahan dari jalan lahir (-), keputihan (-), riwayat menstruasi
reguler 1x/bulan 4-5 hari 2x ganti pembalut sehari, nyeri saat menstruasi
(+), nafsu makan (-), penurunan BB (-), BAK dan BAB dalam batas
normal.
Riwayat pengobatan
Tanggal 09/05/2019 ->
USG dari RSI Amal Sehat Sragen

3
Kesan: uterus bernodul masing-masing 1 nodul terusku,
4,34x4,37x3,97cm volume 39,33cm3 dan 5,44x5,38x4,92cm volume
75,43cm3
Tanggal 13/05/2019 ->
membawa hasil lab
Ca 125 : 285,5
He 4 : 71,7
RoMA : 18,51 (premenopause)
RoMA : 62,06 (Postmenopause)

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal

6. Riwayat Fertilitas
Baik

7. Riwayat Menstruasi
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 4-5 hari

4
Siklus menstruasi : 30 hari

8. Riwayat Obstetri
Hamil I : Perempuan, 23 tahun, BBL 3000 gram, spontan
Hamil II : Laki-laki, 19 tahun, BBL 3000 gram, spontan

9. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah selama 24 tahun

10. Riwayat KB
Pil, suntik

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respiratory Rate : 18 x/menit
Suhu : 36,60C
SpO2 : 99%
IMT : 22,8 kg/m2 (gizi baik)
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorax : Normothorax, Gld. mammae dalam batas
normal,
areola mammae hiperpigmentasi (+)
1) Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

5
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor// sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba massa 2 jari diatas
SOP
Perkusi : timpani
i. Genital : darah (-), discharge (-)
j. Ekstremitas :
edema akral dingin
- - - -
- - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM DARAH (14 Januari 2020)

6
Hb : 9,2 g/dL (L)
Hct : 30 % (L)
AL : 7,1 x103/uL
AT : 348 x103/uL
AE : 4,32 x106/uL
Kimia Klinik
GDS : 97 mg/dl
SGOT : 13 u/l
SGPT : 2 u/l
Creatinine: 0,6 mg/dl
Ureum : 16 mg/dl
Albumin : 4,1 g/dl
Elektrolit
K : 4,0 mmol/L
Cl : 105 mmol/L
Na darah : 135 mmol/L (L)
Hemostasis
PT : 13,1 detik
APTT : 30,8 detik
INR : 1,030

2. LABORATORIUM DARAH (14 Januari 2020)


Hb : 9,2 g/dL (L) Creatinine: 0,6 mg/dl
Hct : 30 % (L) Ureum : 16 mg/dl
AL : 7,1 x103/uL Albumin : 4,1 g/dl
AT : 348 x103/uL Elektrolit
AE : 4,32 x106/uL K : 4,0 mmol/L
Kimia Klinik Cl : 105 mmol/L
GDS : 97 mg/dl Na darah : 135 mmol/L (L)
SGOT : 13 u/l Hemostasis
SGPT : 2 u/l PT : 13,1 detik

1
APTT : 30,8 detik
INR : 1,030

2
3. Ultrasonografi (USG) tanggal 17 Desember 2019
Tampak janin tunggal, intrauterin, DJJ (+), dengan biometri:
 BPD : 8,19 cm
 HC : 29,73
 FL : 6,18 cm
 AC : 27,38 cm
 EFBW : 1940 gram
 Plasenta insersi di corpus posterior grade III
 Air ketuban kesan habis
 Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor
Kesimpulan: saat ini janin dalam keadaan baik
D. SIMPULAN
Seorang G2P1A0 usia 37 tahun usia kehamilan 35+3 minggu, riwayat
obstetri dan fertilitas baik, pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi
203/123 mmHg. Dari pemeriksaan fisik abdomen teraba janin tunggal IU,
memanjang, presbo, bokong belum masuk panggul, his (-), DJJ (+)
120x/menit reguler, TFU 24 cm, pemeriksaan genital darah (-), discharge (-).
Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan proteinuria (+1) pada
urinalisis.
E. DIAGNOSIS AWAL
Fetal hipoxia PEB parsial HELLP Syndrome, presbo pada sekundigravida
hamil preterm BDP + oligohidramnion

F. PROGNOSIS
Malam

G. TERAPI
1. Pro SCTP emergency
2. Resusitasi intrauterine

3
3. Protab PEB:
a. O2 nasal 3 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Injeksi MgSO4 20 % initial dose 4gr dalam 15 menit dilanjutkan
maintenance dose 1gr/jamselama 24 jam
d. Nifedipine 3x10mg
e. Awasi KUVS/DJJ/tanda impending eklamsia/balance cairan
4. Metildopa 3x500 mg

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

PREEKLAMPSIA
A. Definisi
Preeklamsia adalah hipertensi dan proteinuria pada ibu pada
usia kehamilan di atas 20 minggu dengan atau tanpa diikuti edema
yang signifikan. Jika gejala yang muncul adalah gejala
preeklampsia dan ditambah dengan gejala lain, seperti koma
dan/atau kejang, maka hal tersebut diklasifikasikan sebagai
eklampsia (ACOG, 2013).
Preeklampsia dideskripsikan sebagai disease of theories
karena penyebab pastinya yang masih belum diketahui. Beberapa
teori menunjukkan hubungan preeklampsia dengan (1) invasi
abnormal sitotrofoblas terhadap arteriol spiralis, (2) hipoperfusi
uteroplasenta, (3) ketidakseimbangan antara peningkatan sintesis
thromboxane dengan penurunan produksi prostaglandin I, (4)
peningkatan stress oksidatif, (5) gangguan metabolisme
endothelin, atau disfungsi endothelial, (6) perubahan reaktivitas
vaskuler, (7) penurunan laju filtrasi ginjal dengan retensi natrium
dan air, (8) penurunan volume intravaskuler, (9) peningkatan
iritabilitas sistem saraf pusat dengan hipotesis terkuat pada poin
terganggunya plasenta pada awal kehamilan (Bearelly et al, 2012).

B. Epidemiologi
Kejadian preeklampsia adalah komplikasi medis pada
kehamilan yang paling umum, yang kejadiannya terus meningkat di
seluruh dunia. Kematian ibu hamil terhitung sekitar 50.000 di
seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2016). Kondisi hipertensi
kehamilan dapat berupa preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik
(hipertensi primer, maupun hipertensi sekunder yang disebabkan
oleh insufisiensi renal, penyakit endokrin, dan penyebab lain),

5
hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, dan
hipertensi transien (Bailis et al, 2007).
Preeklampsia yang merupakan bagian dari kondisi hipertensi
dalam kehamilan adalah gangguan multiorgan pada kehamilan
yang sangat berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas
maternal dan perinatal (Greenberg, 2007). Komplikasi kehamilan
berupa preeklampsia di Amerika Serikat mencapai angka 6-11%,
dengan insidensi 23.6 kasus per 1000 persalinan, sementara angka
preeklampsia di negara berkembang dipastikan lebih tinggi. Data
terbaru menyatakan bahwa preeklampsia menyebabkan 15.9%
kematian ibu di Amerikat Serikat dan merupakan penyebab utama
angka mortalitas dan morbiditas perinatal (WHO, 2016).
Preeklampsia juga bertanggungjawab terhadap 30-50% kematian
perinatal dan kasus bayi kecil untuk masa kehamilan (Riskesdas,
2013).
C. Patofisiologi Preeklampsia
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arteri spiralis uterus,
mengganti lapisan endothelial dari arteri tersebut dengan merusak jaringan elastis
medial, muskular, dan neural secara berurutan. Sebelum trimester kedua kehamilan
berakhir, arteri spiralis uteri dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel endothelial tidak lagi
ada pada bagian endometrium atau bagian superfisial dari miometrium. Proses
remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan sistem arteriolar yang
rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai volume darah yang signifikan
untuk kebutuhan pertumbuhan janin.
Pada preeklampsia, invasi arteri spiralis uteri hanya terbatas pada bagian desidua
proksimal, dengan 30% sampai dengan 50% arteri spiralis dari placental bed luput
dari proses remodeling trofoblas endovaskuler. Segmen miometrium dari arteri
tersebut secara anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal
dari arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali lebih kecil dari
diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi. Kegagalan dalam proses
remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat terhadap kebutuhan suplai darah
janin yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi integrin yang tidak
sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat menjelaskan tidak sempurnanya
remodeling arteri yang terjadi pada preeklampsia. Kegagalan invasi trofobas pada

6
preeklampsia menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta, sehingga menghasilkan
plasenta yang mengalami iskemi progresif selama kehamilan.

Selain itu, plasenta pada ibu dengan preeklampsia menunjukkan


peningkatan frekuensi infark plasenta dan perubahan morfologi yang
dibuktikan dengan proliferasi sitotrofoblas yang tidak normal. Bukti empiris
lain yang mendukung gagasan bahwa plasenta merupakan etiologi dari
preeklampsia adalah periode penyembuhan pasien yang cepat setelah
melahirkan. Jaringan endotel vaskuler memiliki beberapa fungsi penting,
termasuk di antaranya adalah fungsi pengontrolan tonus otot polos melalui
pelepasan substansi vasokonstriktor dan vasodilator, serta regulasi fungsi anti
koagulan, anti platelet, fibrinolisis melalui pelepasan faktor yang berbeda. Hal
ini menyebabkan munculnya gagasan bahwa pelepasan faktor dari plasenta
yang merupakan respon dari iskemi menyebabkan disfungsi endotel pada
sirkulasi maternal. hasil penelitian mengenai disfungsi endotel sebagai
patogenesis awal preeklampsia menunjukkan bahwa hal tersebut kemungkinan
merupakan penyebab dari preeklampsia, dan bukan efek dari gangguan
kehamilan tersebut. Selanjutnya, pada ibu dengan preeklampsia, faktor
gangguan kesehatan pada ibu yang sudah ada sebelumnya seperti hipertensi
kronis, diabetes, dan hiperlipidemia dapat menjadi faktor predisposisi atas
kerusakan endotel maternal yang lebih lanjut.

D.Faktor Risiko
Faktor risiko adalah faktor yang memperbesar kemungkinan
seseorang untuk menderita penyakit tertentu. Hal ini penting untuk
diketahui agar pemberi layanan kesehatan dapat melakukan
tindakan preventif atau rencana tata laksana untuk mencegah atau
mengurangi derajat kesakitan penyakit tersebut. Faktor risiko yang
dipaparkan akan menjadi karakteristik maternal pada penelitian ini.
1. Usia
Ibu dengan usia ≥40 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih
besar untuk mengalami preeklampsia. Dari penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa risiko preeklampsia meningkat

7
hingga 30% setiap penambahan 1 tahun setelah ibu mencapai
usia 34 tahun. Sedangkan ibu yang hamil di usia muda
cenderung tidak mempengaruhi risiko terjadinya preeklampsia.
2. Paritas
Preeklampsia sering disebut sebaga penyakit kehamilan
pertama karena banyaknya kasus preeklampsia yang muncul
pada kehamilan pertama. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa nuliparitas meningkatkan kemungkinan terjadinya
preeklampsia sebanyak 3 kali lipat. Sedangkan ibu yang masuk
ke dalam golongan multipara adalah ibu yang sudah melahirkan
lebih dari 1 kali dan tidak lebih dari 4 kali, memiliki risiko
sebesar 1% untuk mengalami preeklampsia
3. Riwayat Preeklampsia Sebelumnya
Ibu yang mengalami preeklampsia pada kehamilan
pertamanya, akan memiliki risiko 7 kali lipat lebih besar untuk
mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
4. Kehamilan Multiple
Ketika seorang ibu mengandung lebih dari 1 janin dalam
kandungannya, maka risiko ibu tersebut mengalami
preeklampsia meningkat hampir 3 kali lipat. Satu buah
penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dengan 3 janin berisiko
mengalami preeklampsia 3 kali lipat lebih besar dari pada ibu
hamil dengan 2 janin.
5. Penyakit Terdahulu
Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes,
kemungkinan terkena preeklampsia meningkat 4 kali lipat.
Sedangkan untuk kasus hipertensi, Davies et al mengemukakan
bahwa prevalensi preeklampsia pada ibu dengan hipertensi
kronik lebih tinggi dari pada ibu yang tidak menderita hipertensi
kronik. McGowan et al membandingkan luaran pada 129 ibu
dengan hipertensi kronik yang tidak mengalami preeklampsia
superimpos dengan 26 ibu yang mengalami preeklampsia
superimpos. Data menunjukkan bahwa ibu yang mengalami

8
preeklampsia superimpos memiliki tingkat morbiditas perinatal,
bayi yang kecil untuk umur kehamilan tersebut, dan persalinan
sebelum umur kehamilan 32 minggu yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk ibu yang sebelumnya didiagnosis dengan
sindrom antifosfolipid meningkatkan risiko terjadinya
preeklampsia secara signifikan.
6. Jarak Antara Kehamilan
Hubungan antara risiko terjadinya preeklampsia dengan
interval kehamilan lebih signifikan dibandingkan dengan risiko
yang ditimbulkan dari pergantian pasangan seksual. Risiko pada
kehamilan kedua atau ketiga secara langsung berhubungan
dengan waktu persalinan sebelumnya. Ketika intervalnya adalah
lebih dari sama dengan 10 tahun, maka risiko ibu tersebut
mengalami preeklampsia adalah sama dengan ibu yang belum
pernah melahirkan sebelumnya.
7. Indeks Massa Tubuh
Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko
munculnya preeklampsia pada setiap peningkatan indeks masa
tubuh. Sebuah studi kohort mengemukakan bahwa ibu dengan
indeks masa tubuh >35 memiliki risiko untuk mengalami
preeklampsia sebanyak 2 kali lipat. Sebuah studi lain yang
membandingkan risiko antara ibu dengan indeks masa tubuh
rendah dan normal menemukan bahwa risiko terjadinya
preeklampsia menurun drastis pada ibu dengan indeks masa
tubuh <20.
8. Usia Kehamilan
Preeklampsia dapat dibagi menjadi 2 subtipe
dideskripsikan berdasarkan waktu onset dari preeklampsia.
Preeklampsia early-onset terjadi pada usia kehamilan <34
minggu, sedangkan late onset muncul pada usia kehamilan ≥34
minggu. Preeklampsia early onset merupakan gangguan
kehamilan yang dapat mengancam jiwa ibu maupun janin yang
dikandungnya. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa

9
insidensi preeklampsia meningkat seiring dengan semakin
tuanya usia kehamilan yang dibuktikan dengan preeklampsia
yang terjadi pada usia kehamilan 20 minggu adalah 0.01/1000
persalinan dan insidensi preeklampsia pada usia kehamilan 40
minggu adalah 9.62/1000 persalinan.

E. Klasifikasi Preeklampsia
Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan
menjadi dua golongan yaitu :

1. Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai


berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg setelah 20 minggu
kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau
kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau
midstream.
 Edema pada lengan, muka, perut, atau edema
geralisata. Edema lokal tidak dimasukkan dalam
kriteria preeklamsia.
2. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai
berikut:
 Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 110 mmHg atau lebih. Tekanan
darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil
sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani
tirah baring.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam
atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per
24 jam.

10
 Adanya gangguan serebral, gangguan
penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium
kuadran kanan atas abdomen (teregang kapsula
Glisson).
 Kenaikan kadar kreatinin plasma
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Trombositopeni berat <100.000 sel/mm3 atau
penurunan trombosit dengan cepat.
 Gangguan fungsi hati : peningkatan kadar SGOT
dan SGPT.
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP

Pembagian Preeklampsia berat


Dibagi menjadi preeklamsia berat dengan impending
eclampsia kalau disertai gejala-gejala subjektif seperti nyeri
kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium, kenaikan progresif tekanan darah dan
preeklamsia berat tanpa impending eclampsia.

KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

DIAGNOSIS TEKANAN DARAH TANDA LAIN


1. HIPERTENSI KRONIK
Hipertensi kronik Hipertensi Kehamilan < 20
minggu
Superimposed Hipertensi kronik Proteinuria dan tanda
preeclampsia lain dari preeklampsia
2. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Hipertensi Tekanan diastolik ≥ 90 Proteinuria (-)
mmHg atau kenaikan 15 Kehamilan > 20
mmHg dalam 2 pengukuran minggu

11
berjarak 1 jam
Preeklampsia Idem Proteinuria 1+
ringan
Preeklampsia Tekanan diastolik > 110 Proteinuria 2+
berat mmHg Oliguria
Hiperrefleksia
Gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium
Eklampsia Hipertensi Kejang

F. Diagnosis
Proses menyingkirkan diagnosis banding harus dilakukan
dengan hati-hati karena gejala klinik dan tanda yang muncul
mungkin saja tidak spesifik. Prinsip yang harus ditekankan adalah
preeklampsia sangat potensial untuk menjadi fulminan, maka dari
itu kecurigaan akan terjadinya preeklampsia harus ada walaupun
gejala yang muncul tidak berat. Sebanyak 40%-90% ibu dengan
preeklampsia sering mengeluh nyeri epigastrik atau nyeri pada
kuadran kanan atas abdomen, selain itu gejala klinik yang sering
muncul adalah sakit kepala, penglihatan kabur, dan mual atau
muntah.
Pada preeklampsia, kriteria diagnosis yang dibutuhkan adalah
tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih, atau tekanan darah
diastolik 90 mmHg atau lebih pada ibu dengan umur kehamilan
lebih dari 20 minggu dan riwayat tekanan darah sebelum kehamilan
ibu tersebut adalah normal. Selain itu kriteria diagnosis yang
dibutuhkan adalah adanya protenuria 0.3 gram atau lebih protein
pada urin tampung 24 jam (diindikasikan dengan uji protein carik
celup+1 atau lebih).
Sedangkan kriteria diagnosis yang dibutuhkan untuk
preeklampsia berat adalah tekanan darah sistolik 160 mmHg atau
lebih, atau tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih pada dua

12
kali pengukuran dengan jeda antara masing-masing pengukuran
adalah 6 jam dan pasien dalam keadaan istirahat tirah baring.
Kriteria proteinuria pada preeklampsia berat adalah adanya 5 gram
atau lebih protein pada urin tampung 24 jam ditunjukkan dengan
hasil uji carik celup +3 atau lebih pada uji carik celup dengan 2 kali
pengujian dan jarak antara satu pengukuran dengan pengukuran
lain adalah paling tidak 4 jam. Gejala lain yang mendukung
diagnosis preeklampsia berat adalah oliguria (produksi urin dalam
24 jam tidak lebih dari 500 ml), skotoma penglihatan, edem pulmo
atau sianosis, trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis
mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, oligohidramnion, dan
intrauterine growth restriction.
Hal yang membedakan preeklampsia dengan eklampsia
adalah jika muncul kriteria diagnosis preeklampsia ringan atau
preeklampsia berat yang diikuti dengan koma atau kejang tanpa ada
kemungkinan penyakit lain yang mendasari seperti epilepsi,
perdarahan subaraknoid, dan meningitis, maka pasien tersebut
memenuhi kriteria diagnosis eklampsia. Hal ini juga menunjukkan
bahwa tidak menutup kemungkinan ibu dengan preeklampsia ringan
langsung mengalami eklampsia tanpa harus melewati fase
preeklampsia berat terdahulu.

G.Tatalaksana
Sebagai bagian dari pemeriksaan antenatal, dalam melakukan
anamnesis harus didapatkan data ibu hamil mengenai faktor risiko
yang berkaitan dengan preeklampsia. Pertanyaan tersebut meliputi
riwayat obstetri, terutama riwayat hipertensi atau preeklampsia
pada kehamilan sebelumnya. Penyakit lain yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia adalah diabetes
mellitus, penyakit vaskuler dan jaringan ikat, nefropati, dan sindrom
antifosfolipid antibodi.
Pada setiap kunjungan ibu dalam pemeriksaan antenatal,
pengukuran tekanan darah harus selalu dilakukan dengan

13
sebelumnya memberi waktu kepada ibu untuk beristirahat paling
tidak selama 10 menit. Tinggi fundus uteri juga diperiksa karena
tinggi fundus uteri yang tidak sesuai dengan usia kehamilan dapat
mengindikasikan pertumbuhan janin yang terhambat. Edema wajah
dan peningkatan berat badan yang sangat cepat juga harus
mendapatkan perhatian lebih, karena retensi cairan berasosiasi erat
dengan preeklampsia. Jika pada ibu ditemukan gejala preeklampsia
ringan, maka manajemen yang dilakukan adalah meminta pasien
untuk istirahat yang cukup serta melakukan monitoring tekanan
darah dan protein pada urin pasien secara rutin. Pasien
mendapatkan edukasi mengenai gejala preeklampsia berat seperti
nyeri epigastrik dan gangguan penglihatan, agar jika gejala tersebut
dialami oleh pasien, pasien diharapkan untuk segera melapor ke
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Obat antihipertensif tidak
diberikan kecuali tekanan darah diastolik pasien mencapai 100
mmHg dan usia kehamilan ≤30 minggu. Tujuan dari manajemen
preeklampsia berat adalah (1) mencegah terjadinya kejang, (2)
mengontrol tekanan darah ibu, (3) menginisiasi persalinan.
Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklampsia terjadi pada
usia kehamilan ≥36 minggu atau jika ditemukan bukti maturitas dari
paru janin atau gawat janin. Sedangkan untuk usia kehamilan <36
minggu, untuk mengantisipasi persalinan prematur, ibu harus
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki alat
kesehatan yang memadai sehingga pada saat bayi lahir, bayi
tersebut dapat langsung mendapatkan perawatan intensif di bagian
neonatal intensive care unit (NICU)12. Untuk mencegah terjadinya
kejang, administrasi intra muskular magnesium sulfat 40% sebanyak
10 gram dengan syarat (1) refleks tendo lutut positif, (2) tersedia
glukonas kalsikus/kalsium klorida, (3) respiratory rate ≥16 kali per
menit, (4) diuresis ≥100 cc per jam. Di sisi lain, magnesium sulfat
juga berguna untuk menurunkan mortalitas serta morbiditas
maternal dan perinatal pada kasus preeklampsia.

14
H.Mortalitas dan Morbiditas Maternal
1. Mortalitas Maternal
Setiap tahunnya, diperkirakan bahwa preeklampsia
bertanggungjawab atas 50.000 kematian maternal di seluruh
dunia, bahkan di negara maju dengan tingkat mortalitas
maternal yang rendah, preeklampsia dan eklampsia
menyumbang angka kematian yang cukup tinggi. Sebagai
contoh, di Inggris preeklampsia dan eklampsia menyebabkan
15% dari total mortalitas maternal, dengan dua per tiga
kematian tersebut berhubungan dengan preeklampsia. Di
negara-negara berpendapatan rendah maupun moderat dimana
akses akan fasilitas kesehatan, seperti ventilator, sangat
terbatas, angka case fatality dapat mencapai 3%-5%. Penelitian
di RSUP Dr. Kariadi menunjukkan bahwa kematian ibu pada
tahun 1999-2000 disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia
(52,9%), perdarahan (26,5%), dan infeksi (14,7%).
Preeklampsia berhubungan erat dengan komplikasi
maternal, baik akut maupun kronik. Kematian yang terjadi
sebagai efek sekunder dari preeklampsia biasanya terjadi akibat
eklampsia, tekanan darah yang tidak terkontrol, atau inflamasi
sistemik. Kematian sekunder preeklampsia juga banyak
disebabkan oleh perdarahan serebral.
2. Morbiditas Maternal
Hipertensi adalah hal yang sering terjadi pada selama kehamilan.
Sebanyak 10% ibu tercatat mengalami peningkatan tekanan
darah lebih dari normal sesaat sebelum persalinan. Ibu dengan
preeklampsia ringan mungkin tidak merasakan dampak yang
begitu besar, tetapi ibu yang mengalami preeklampsia berat
dapat mengalami gangguan pada hati, ginjal, otak, dan
gangguan pada sistem pembekuan darah. Morbiditas berat yang
berasosiasi dengan preeklampsia adalah gagal ginjal, stroke,
gagal jantung, adult respiratory distress syndrome, koagulopati,
dan gagal hati. Komplikasi yang jarang terjadi tapi sangat serius

15
adalah eklampsia, stroke, hemolisis, peningkatan enzim hati,
penurunan jumlah trombosit (HELLP syndrome), dan
disseminated intravascular coagulation 26. Ibu dengan komplikasi
tersebut membutuhkan perawatan intensif atau fasilitas
pelayanan kesehatan yang khusus seperti ventilator dan dialisis
ginjal. Sejumlah komplikasi maternal terkait dengan
preeklampsia, meliputi ablatio plasenta (22%), eklampsia (17%),
koagulopati (8%), gagal ginjal (5%), hipertensi ensefalopati (3%),
dan ruptur hati (1%).
a. Sindrom HELLP
Sindrom HELLP adalah respon inflamasi disertai aktivasi
koagulasi dan komplemen yang disebabkan oleh partikel
sinsisiotrofoblas dan substansi dari plasenta yang berinteraksi
dengan imun sistem ibu dan sel endotel vaskuler. Klasifikasi
sindrom HELLP menurut klasifikasi Mississippi adalah
- platelet <150x109/l,
- aspartat aminotransferase >1.16ᵤkat/l, dan
- total laktat dehidrogenase >10ᵤkat/l.
Sindrom HELLP yang tidak lengkap didefinisikan sebagai
absennya hemolisis, peningkatan enzim hati, atau rendahnya
hitung trombosit. Sindrom HELLP lazim ditemukan pada ibu
dengan preeklampsia berat.

16
b. Gagal Ginjal
Nekrosisi tubular akut, yang menyebabkan gagal ginjal akut,
jarang terjadi hanya disebabkan oleh preeklampsia berat. Hal
yang lebih sering terjadi adalah salah satu komplikasi dari
preeklampsia adalah ablatio plasenta yang dapat
menyebabkan perdarahan antepartum. Perdarahan
antepartum yang tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan syok dan hipotensi sehingga muncul tanda
klinik gagal ginjal akut
c. Gangguan Penglihatan
Pada preeklampsia berat, gangguan penglihatan yang sering
muncul adalah diplopia dan penglihatan kabur. Ablasio retina
dapat terjadi pada ibu dengan preeklampsia dalam bentuk
gangguan penglihatan yang tidak total atau unilateral.
Sedangkan kebutaan lebih jarang terjadi, dan biasanya
reversibel. Ibu yang mengalami kebutaan oksipital biasanya
mengalami edema vasogenik yang luas di lobus oksipital.
Infark pada retina maupun nucleus geniculatum juga dapat
menyebabkan kebutaan.
d. Edema Serebri
Edema vasogenik sangat mungkin terjadi pada kasus
preeklampsia, tidak terkecuali edema pada jaringan otak. Efek
yang timbul dari edema serebri yang luas dapat berupa
letargi, kebingungan, hingga koma. Ibu dengan preeklampsia
adalah kelompok yang sangat rentan akan peningkatan
tekanan darah yang hebat dan mendadak, yang berakibat
memburuknya edema vasogenik tersebut.
e. Perdarahan Serebri
Bahaya dari tingginya tekanan darah sistolik, terutama jika
dikombinasikan dengan rendahnya jumlah trombosit dalam
morbiditas preeklampsia adalah adanya risiko tinggi untuk
terjadinya perdarahan serebral. Terlebih lagi jika adanya

17
kombinasi gangguan endotel, trombositopenia, dan
perubahan tekanan darah yang mendadak, maka risiko untuk
terjadinya komplikasi intraserebral pada ibu dengan
preeklampsia akan semakin besar25.
f. Edema Paru
Komplikasi preeklampsia berat dapat berupa payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload yang menyebabkan
terjadinya edema paru. Selain penyebab kardiogenik, edema
paru juga dapat disebabkan oleh penyebab non-kardiogenik
akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah kapiler paru.
g. Eklampsia
Periode kejang eklamptik sebagai komplikasi dari
preeklampsia dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti
edema serebri, perdarahan intraserebral, infark serebral,
vasospasme serebral, dan ensefalopati hipertensi. Sedangkan
periode koma dapat disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
untuk memetabolisme substansi toksik dalam tubuh,
sehingga muncul asidosis. Penyebab koma yang lain adalah
kerusakan serebral berupa edema serebri, perubahan dan
nekrosis di sekitar perdarahan, dan hernia batang otak 31.

I. TATALAKSANA
Pengobatan dilakukan secara simptomatis, karena faktor
penyebab yang belum diketahui secara pasti. Tujuan dari
penangannannya adalah

1. Mencegah terjadinya eklampsi.


2. Anak harus lahir dengan kemungkinan hidup besar.
3. Persalinan harus dengan trauma yang sedikit-sedikitnya.
4. Mencegah hipertensi yang menetap.
Dasar pengobatannya terdiri dari pengobatan medik dan
penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan
untuk melahirkan bayi pada saat optimal, yaitu sebelum

18
janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup
matur hidup di luar uterus.
Indikasi untuk merawat pasien dengan preeklamsia di
rumah sakit adalah dengan

1. Tekanan darah sistolik 140mmHg atau lebih dan/atau


tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih.
2. Proteinuria 1+ atau lebih.
3. Kenaikan berat badan 1,5 kg atau lebih dalam seminggu
yang berulang.
4. Penambahan edema yang berlebihan secara tiba-tiba.

Penanganan pada Preeklamsi Berat


Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah
sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring
ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklamsia berat adalah pengelolaan cairan karena
penderita preeklamsia dan eklamsia mempunya risiko
tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab
terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi
faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan
oliguria ialah hipovolamia, vasospasme, kerusakan sel
endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/
pulmonary capillary wedge pressure.
Oleh sebab itu, monitoring input cairan (melalui oral
maupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya, harus dilakukan pengukuran
secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda edema
paru, segera lakukan tindakan koreksi. Cairan yang
diberikan dapat berupa 5% dekstrosa atau cairan garam
faali dengan jumlah 125 cc/jam atau infus 5% dekstrosa

19
yang tiap 1 liternya diselingi infus ringer laktat (60-125
cc/jam) sebanyak 500 cc.
Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran
urin. Oliguria terjadi bila produksi urin <30 cc/jam dalam 2-
3 jam atau <500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung.
Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia,
magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral adalah
obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi
susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat
ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu
atau intramuskular dengan injeksi intermiten.
Infus intravena kontinu :

1. Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang


diencerkan dalam 100 ml cairan dan diberikan dalam
15-20 menit.
2. Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100
ml cairan intravena selama 6 jam.
3. Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian
dan disesuaikan kecepatan infuse untuk
mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-
8,4 mg/l).

Injeksi intramuskular intermiten:

1. Berikan 4 gram MgSO4 sebagai larutan 20% secara


intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 g/menit.
Lanjutkan segera dengan 10 gram MgSO4 50%,
sebahagian (5%) disuntikan dalam di kuadran lateral

20
atas bokong (penambahan 1 ml lidokain 2 % dapat
mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah
15 menit, berikan MgSO4 sampai 2 gram dalam
bentuk larutan 20% secara intravena dengan
kecepatan tidak melebihi 1g/menit. Apabila wanita
tersebut bertubuh besar, MgSo4 dapat diberikan
sampai 4 gram perlahan.
2. Setiap 4 jam sesudahnya, berikan 5 gram larutan
MgSO4 50% yang disuntikan dalam ke kuadran lateral
atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi setelah
dipastikan bahwa:
 Refleks patela (+)
 Tidak terdapat depresi pernapasan (frekuensi
>16x/menit)
 Pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya
melebihi 100 ml
 Harus sedia antidotum (kalsium glukonas 10%
dalam 10 cc = 1 g).
 MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir atau
24 jam setelah kejang berakhir atau jika ada
tanda-tanda intoksikasi.
Selain itu dapat juga diberikanobat antihipertensi, yaitu
antara lain :

1. Penghambat adrenergik
Adrenolitik sentral
 Metildopa : 3x125 mg/hari sampai 3x500 mg/hari.
 Klonidin : 3x0,1 mg/hari atau 0,3 mg/500 ml glukosa
5%/6jam
Beta bloker
 Pindolol : 1x5 mg/hari sampai 3x10 mg/hari

21
Alfa bloker
 Prazosin : 3x1 mg/hari sampai 3x5 mg/hari
Alfa dan Beta Bloker
 Labetolol : 3x100 mg/hari
2. Vasodilator
Hidralazin : 4x25 mg/hari atau parenteral 2,5 mg – 5
mg
3. Antagonis kalsium
Nifedipin : 3 x 10 mg/hari.

Tindakan terminasi kehamilan


Pelahiran jalan adalah penyembuhan bagi preeklamsia.
Nyeri kepala, gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium
merupakan petunjuk bahwa akan terjadi kejang dan
oliguria adalah tanda buruk lainnya. Preeklamsia berat
memerlukan anti kejang dan biasanya terapi antihipertensi
diikuti kelahiran. Terapi serupa dengan yang akan
dijelaskan kemudian untuk eklamsia. Tujuan utama adalah
mencegah kejang, perdarahan intrakranial dan kerusakan
serius pada organ vital lain, serta melahirkan bayi yang
sehat.

Namun, apabila janin dicurigai atau diketahui prematur,


cenderung penundaan persalinan dengan harapan bahwa
tambahan beberapa minggu in utero akan menurunkan
risiko kematian atau morbiditas serius pada neonatus.
Seperti telah dibicarakan, kebijakan semacam ini jelas
dibenarkan untuk kasus yang lebih ringan. Dilakukan
penilaian kesejahteraan janin dan fungsi plasenta,
terutama apabila terdapat keenganan unutk melahirkan
janin dengan alasan prematuritas. Sebagian besar peneliti

22
menganjurkan pemeriksaan berkala berbagai uji yang saat
ini digunakan untuk menilai kesejahteraan janin.
Pada preeklamsia sedang atau berat tidak membaik
setelah rawat inap, demi kesejahteraan ibu dan janinnya
biasanya dianjurkan pelahiran. Persalinan sebaiknya
diinduksi dengan oksitosin intravena. Banyak dokter
menyarankan pematangan serviks dengan prostaglandin
atau dilator osmotik. Bila tampak bahwa induksi persalinan
hampir pasti tidak berhasil, atau upaya melakukan induksi
persalinan gagal, diindikasikan sesar untuk kasus-kasus
yang parah.
Bagi wanita menjelang aterm, serviks yang mengalami
pendataran parsial, bahkan preeklamsia yang lebih ringan
pun mungkin membawa risiko lebih besar bagi ibu dan
janinnya daripada induksi persalinan dengan infus
oksitosin yang dipantau ketat. Akan tetapi, tidak demikian
jika preeklamsianya ringan dengan serviks masih padat
dan tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin perlu
dilakukan pelahiran per abdomen jika kehamilan akan
dihcntikan. Bahaya sesar mungkin lebih besar
dibandingkan kehamilan dibiarkan berlanjut di bawah
observasi ketat sampai servik memadai untuk induksi.

Apabila ditegakkan diagnosis preeklamsia berat,


kecenderungan obstetris adalah melahirkan janin dengan
segera. lnduksi persalinan untuk menghasilkan pelahiran per
vaginam secara tradisional dianggap merupakan tindakan demi
keselamatan ibu. Beberapa pertimbangan, termasuk kondisi
serviks yang kurang memadai.

23
HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYMES, AND LOW
PLATELET COUNT (HELLP) SYNDROME
A. Definisi
HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan
gejala yang mencakup hemolisis, peningkatan enzim liver, dan
jumlah platelet yang kurang dari batas bawah yang disebabkan
adanya respon inflamasi disertai aktivasi koagulasi dan
komplemen yang disebabkan oleh partikel sinsitiotrofoblas dan
substansi dari plasenta yang berinteraksi dengan imun sistem
ibu dan sel endotel vaskuler. Sindrom HELLP yang tidak
lengkap didefinisikan sebagai absennya hemolisis, atau
peningkatan enzim hati,atau trombositopenia (Bearelly et al,
2012).
Bersama dengan preeklampsia, sindroma HELLP adalah
penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil di
dunia (WHO, 2015). HELLP biasanya berkembang secara tiba-
tiba dalam kehamilan (Usia Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau
pada masa puerperium. Sebagai salah satu bentuk kriteria dari
preeklampsia berat, HELLP memiliki onset yang juga
mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi
plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang
secara akumulatif akan mengganggu endothelium melalui
aktivasi platelet, vasokonstriktor, dan menyebabkan
terganggunya kehamilan normal yang ditunjukkan dengan
abnormalitas relaksasi vaskular (Cunningham, 2006).
Walaupun sebagian besar pasien dengan sindrom HELLP
menunjukkan tanda berupa hipertensi dan proteinuria, kedua
tanda PEB tersebut tidak memiliki hubungan yang konsisten
dengan parameter laboratorium dari vaskulopati yang
merupakan penyebab dasarnya. Kumpulan gejala dapat

24
tampak ambigu, namun juga dapat terfokus pada sIstem
gastrointestinal. Kesamaan antara HELLP dan Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS) ditekankan oleh
beberapa peneliti. Gangguan hemodinamik yang terjadi pada
pasien HELLP syndrome dapat merupakan hasil dari
mekanisme patofisiologi yang berujung pada preeklampsia
secara umum (Duff & Edwards, 2004).

B. Epidemiologi
Kejadian sindrom HELLP pada saat kehamilan (70%)
paling sering terjadi pada umur kehamilan 27-35 minggu
(70%), dan 30% terjadi pasca persalinan. Timbulnya sindrom
HELLP memiliki risiko tinggi baik untuk maternal ataupun
perinatal. Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan
kematian perinatal berkisar 30-40%. Sindrom HELLP juga
terbukti lebih sering terjadi pada kelompok ibu usia lebih tua
(rata-rata usia 25 tahun), begitu sebaliknya preeklampsia
paling sering terjadi pada ibu yang lebih muda (rata-rata usia
19 tahun) (Haram et al, 2009).
C. Manifestasi Klinis HELLP
Pasien dengan preeklampsia-eklampsia dan sindrom
HELLP dapat datang dengan berbagai tanda dan gejala yang
sama sekali tidak mengarah ke diagnosis. Wanita hamil
biasanya hadir di trimester ketiga dengan keluhan malaise
(90%), epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas (90%),
mual atau muntah (50%), atau gejala mirip virus yang tidak
spesifik. Meskipun sebagian besar pasien ini hadir pada
trimester ketiga, tidak jarang pasien datang pada akhir
trimester kedua atau pada periode postpartum. Untuk alasan
ini, wanita hamil dengan gejala yang mengkhawatirkan

25
harus menjalani pemeriksaan diagnostik termasuk hitung
darah lengkap, jumlah trombosit, evaluasi enzim hepar, dan
dipstik urin untuk protein, terlepas dari tekanan darah
mereka. Adanya hasil protein yang abnormal pada uji dipstik
urin harus diikuti dengan evaluasi kuantitatif untuk protein
dalam uji 24 jam spesimen urin.
Nyeri abdomen sering terjadi dan dapat ditemukan
pada sekitar 50% pasien. Nyeri perut biasanya ditemui di
daerah kuadran kanan atas, epigastrik atau substernal dan
sering dikaitkan dengan kelainan laboratorium yang
mendefinisikan sindrom HELLP. Nyeri perut umumnya tidak
ada pada gangguan lain yang unik pada kehamilan seperti
kolestasis dan hiperemesis, namun sering ditemukan di
HELLP dan acute fatty liver of pregnancy (AFLP) atau
sindrom perlemakan hati akut pada kehamilan. Meskipun
sindrom HELLP mungkin memiliki gejala yang mirip dengan
preeklamsia dan merupakan salah satu kriteria yang dapat
menentukan preeklamsia berat, sindrom ini dapat
berkembang pada wanita yang mungkin tidak memiliki
tanda atau gejala preeklamsia lainnya. Preeklampsia
bukanlah prasyarat untuk sindrom HELLP dan hipertensi, jika
ada, tidak harus parah. Hipertensi berat didefinisikan
sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥110 mmHg. Hemolisis, didefinisikan sebagai
adanya anemia hemolitik mikroangiopati, adalah ciri khas
dari triad sindrom HELLP. Temuan klasik hemolisis
microangiopatik termasuk penurunan yang signifikan dalam
kadar hemoglobin, peningkatan serum bilirubin tidak
langsung, kadar haptoglobin serum yang rendah,
peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH) dan apus

26
perifer abnormal (schistocytes, sel duri, dan echinocytes).
Ambiguitas yang sama ada pada penggunaan tes fungsi hati
yang abnormal untuk mendefinisikan sindrom HELLP. Tidak
ada konsensus mengenai tingkat peningkatan enzim hati
yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom HELLP. Jumlah
trombosit yang rendah adalah kelainan lain yang diperlukan
untuk membuat diagnosis sindrom HELLP. Namun, tidak ada
kriteria yang menentukan untuk jumlah trombosit yang
rendah. Diferensial diagnosis dari sindrom HELLP adalah
sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), disseminated
intravascular coagulation (DIC), thrombocytopenic purpura
(TTP), sindrom uremik hemolitik (HUS) dan AFLP.
C. Diagnosis dan Klasifikasi HELLP Syndrome
Dua sistem klasifikasi diagnostik utama saat ini
digunakan untuk klasifikasi sindrom HELLP (Tabel 1). Dalam
sistem klasifikasi Tennessee, diagnosis sindrom HELLP
membutuhkan kehadiran ketiga komponen utama,
sedangkan sindrom HELLP parsial atau tidak lengkap hanya
terdiri dari satu atau dua elemen dari triad. Kehadiran hasil
apusan darah perifer abnormal (misalnya, anemia
mikroangioplastik dengan schistocytosis), trombositopenia,
dan peningkatan kadar AST, ALT, bilirubin, dan laktat
dehidrogenase (LDH) adalah penanda diagnostik. Sistem
klasifikasi Mississippi telah diusulkan untuk menilai tingkat
keparahan proses patologis, dengan sindrom HELLP kelas 1
memiliki prognosis yang lebih buruk dan tinggal di rumah
sakit yang lebih lama daripada kelas 2 atau kelas 3. Sistem
klasifikasi ini didasarkan pada tingkatan trombositopenia dan
tingkat peningkatan kadar transaminase dan LDH, seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 1 Jumlah trombosit dan kadar

27
LDH serum tidak hanya menjadi cukup prediktif untuk
mendeteksi keparahan penyakit tetapi juga untuk
menunjukkan kecepatan pemulihan.
Tabel. Kriteria diagnostik utama dan sistem klasifikasi
HELLP Syndrome

Klasifikasi Klasifikasi
Kelas HELLP Mississippi Tennessee

platel
1 Hitung et ≤ Hitung platelet
50.000/µ ≤100.000/µ
L L
SGOT atau SGPT ≥ SGOT atau SGPT ≥
70 70
IU/L IU/L
LDH ≥ 600 IU/L LDH ≥ 600 IU/L

50.000/µ Hitun
2 L ≤ g -
platelet ≤ 100.000/µL
SGOT atau SGPT ≥
70
IU/L
LDH ≥ 600 IU/L

100.000/ Hitun
3 µL ≤ g -
platelet ≤ 150.000/µL
SGOT atau SGPT ≥

28
40
IU/L
LDH ≥ 600 IU/L

PEB salah
HELLP parsial/inkomplit - ditambah satu
dari: ELLP, EL, atau LP

Keterangan: PEB, preeklampsia berat; ELLP, peningkatan


enzim liver dan jumlah platelet rendah (tidak terdapat
hemolisis); EL, peningkatan enzim liver; LP, jumlah platelet
yang rendah.

D. Tatalaksana

Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan


kondisi ibu, terutama kelainan koagulasi. Langkah
selanjutnya adalah evaluasi kesejahteraan janin dan usia
kehamilan [ CITATION Har09 \l 1033 ]. Akhirnya, keputusan harus
dibuat mengenai apakah pengiriman segera diindikasikan
atau tidak. Terdapat konsensus yang pendapat bahwa
persalinan yang cepat diindikasikan jika sindrom
berkembang setelah 34 minggu kehamilan atau lebih awal
jika ada disfungsi multi-organ, DIC, infark hepar atau
perdarahan, gagal ginjal, dugaan abrupsi plasenta, atau
status janin yang tidak meyakinkan untuk bertahan. Ada
ketidaksepakatan yang signifikan mengenai manajemen
wanita dengan sindrom HELLP sebelum 34 minggu
kehamilan, yaitu kematangan paru janin belum tercapai
pada UK tersebut. Beberapa penulis merekomendasikan

29
memperpanjang kehamilan sampai 34 minggu kehamilan
atau sampai adanya perkembangan sebagai indikasi ibu
atau janin untuk persalinan. Meskipun tampaknya bahwa
manajemen kehamilan mungkin bermanfaat, hasil perinatal
secara keseluruhan tampaknya tidak membaik bila
dibandingkan dengan kasus usia kehamilan yang sama yang
dilahirkan dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sindrom
HELLP[ CITATION Per18 \l 1033 ].

E. Komplikasi
1. ruptur liver
2. gagal ginjal.
3. gagal pernapasan akut.
4. cairan di paru-paru (edema paru)
5. perdarahan berlebihan saat melahirkan.
6. solusio plasenta, yang terjadi ketika plasenta terlepas
dari rahim sebelum bayi lahir.
7. kematian.
F. Edukasi

Pemberian informasi terkait dengan komplikasi lebih lanjut.

G. Prognosis

Pasien dengan sindrom HELLP yang membutuhkan ventilasi mekanis


memiliki prognosis yang buruk.

FETAL HIPOKSIA

A. Pengertian

Ada beberapa istilah yang sering dikemukakan terkait dengan berkurang/ tidak
cukupnya supalai osigen ke janin, yaitu hipoksemia, hipoksia, dan asfiksia.
Istilah-istilah tersebut merupakan istilah yang dipakai dalam membicarakan

30
keseimbangan asam basa. Fahey, and King, (2005) menjelaskan beberapa istilah
yang terkait dengan keseimbangan asam basa seperti berikut:

 Hipoksemia: berkurangnya kandungan oksigen dalam darah.


 Hipoksia: berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan.
 Hiperkapnia: meningkatnya konsentrasi CO2 atau asam karbonat dalam
jaringan.
 Asidemia: Meningkatnya konsentrasi ion Hidrogen dalam darah.
 Asfiksia: Hipoksemia dan hiperkapnia yang progresif diserta asidemia
metabolik atau asidemia metabolik dan asidemia respiratorik.
Dalam klinik tak jarang dipakai istilah gawat janin menggantikan istilah-istilah
di atas.

B. Fisiologi dan Patofisiologi

Oksigen yang diperoleh janin dari ibu melalui plasenta akan diikat oleh sel darah
merah (eritrosit) janin, untuk selanjutnya ditransportasi dan didistribusikan
melalui sistim kardiovaskuller ke seluruh tubuh (sel), untuk dimanfaatkan dalam
proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dan zat-zat lain seperti glukosa,
berbagai ion, asam amino dan bahan-bahan lemak serta unsur pokok lainnya
dalam jumlah yang cukup, sel-sel akan mampu untuk hidup, tumbuh, dan
melakukan fungsi-fungsi khususnya. Kondisi seperti ini dapat berlangsung dengan
baik selama homeostasis dapat dipertahankan; dan dalam hal ini sistim
kardiovaskuler dan sistim pengaturan keseimbangan asam basa sangat berperan.
Sistim kardiovaskuler
Denyut jantung janin
Denyut jantung janin (djj) berfluktuasi pada batas-batas tertentu.Pada keadaan
tertentu seperti kekurangan volume sirkulasi, kekurangan oksigen, gangguan
keseimbangan asam basa, djj juga mengalami perubahan. Hal ini dimungkinkan
karena djj dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor terebut adalah (Joerizal
Serudji, 2002):

31
1. Sistim syaraf otonom. Rangsangan pada syaraf simpatis akan
meningkatkan frekuensi djj, menambah kekuatan kontraksi dan
meningkatkan kardiak output. Inhibisi syaraf simpatis menyebabkan
penurunan frekuensi djj, Rangsangan pada syaraf parasimpatis akan
menurunkan frekuensi djj, dan inhibisinya akan meningkatkan djj.
2. Baroreseptor. Rangsangan pada baroreseptor akibat peningkatan tekanan
darah akan menyebabkan penurunan frekuensi djj, yang berakibat kardiak
output menjadi berkurang.
3. Kemoreseptor. Bila kadar O2 berkurang atau CO2 meningkat, timbul
rangsangan pada kemoreseptor, yang akan meningkatkan frekuensi djj dan
kenaikan tekanan darah. Hipoksia merangsang kemoreseptor, yang
berakibat penurunan djj.
4. Susunan syaraf pusat. Aktivitas otak akan merangsang pusat regulasi
jantung yang berakibat peningkatan djj dan variabilitas.
5. Sistim hormonal. Pada keadaan stress, seperti pada hipoksia, medula
adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin, yang menyebabkan
takikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung, dan kenaikan tekanan
darah.
Frekuensi djj dasar dan variabilitas adalah merupakan hasil interaksi antara sistim
syaraf simpatis dan sistim syaraf parasimpatis (Whittle & Martin, 2002). Fungsi
batang otak, yang memiliki sebagian tanggungjawab terhadap aktivitas sistim
syaraf otonom, juga dipengaruhi oleh pusat yang lebih tinggi, sehingga depresi
serebrum seperti karena opiat maupun kondisi hipoksia menyebabkan penurunan
variabilitas djj. Frekuensi djj dasar menurun secara gradual selama kehamilan,
mungkin disebabkan penguatan pengaruh sistin syaraf parasimpatik seiring
bertambahnya usia keamilan; tapi selama persalinan hanya terdapat sedikit
perubahan dalam djj dasar. Selama persalinan, terjadi peningkatan produksi
kortikosteroid dan katekolamin janin, khususnya bila terjadi hipoksia.
Peningkatan produksi katekolamin menyebabkan takikardia janin; oleh sebab itu
meningkatnya djj dasar selama persalinan dapat merupakan gambaran dini
terjadinya hipoksia (Whittle & Martin, 2002).

32
Oksigenasi janin
Oksigenasi pada janin dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Aliran darah arteri uterina. Aliran darah melalui pembuluh-pembuluh
darah intrmural akan berkurang atau terhenti sama sekali selama kontraksi
uterus. Pada saat relaksasi akan terjadi kondisi hiperemia reaktif; dan
selagi kontraksi uterus tidak berlebihan (tidak melebihi tiga kali dalam
sepuluh menit), keadaan hiperemia realatif ini mampu memulihkan
keadaan hipoksemia yang terjadi saat kontraksi, sehingga oksigenasi janin
dapat dipelihara. Bila kontraksi terlalu sering, berkurangnya waktu
pemulihan antar kontraksi akan menimbulkan kondisi hipoksia pada janin.
2. Transfer gas melalui plasenta. Dalam kondisi normal terdapat perbedaan
tekanan (pressure gradient) oksigen yang besar antara sisi maternal (pO2:
100-120 mmHg) dengan sisi fetal (pO2: 20-30 mmHg). Pada persalinan
normal, janin mengkonsumsi 5 ml O2/kg/menit, sedangkan plasenta dua
kali yang demikian; sehingga terjadi sedikit perubahan kebutuhan
sepanjang proses persalinan. Janin memiliki kemampuan untuk
beradaptasi terhadap perubahan tekanan O2 lingkungan yang rendah,
karena afiditas hemoglobin fetus (HbF) yang cukup tinggi terhadap
oksigen.
3. Sirkulasi darah janin. Darah yang datang dari plasenta melalui vena
umbilikalis hampir seluruhnya memasuki duktus venosus, dari atrium
kanan melewati foramen ovale untuk masuk ke atrium kiri, untuk
kemudian dipompakan oleh ventrikel kiri ke arkus aorta dan pembuluh-
pembuluh leher dan kepala. Arkus aorta dan badan karotid (carotid
bodies) yang memiliki kemoreseptor, sensitif terhadap perubahan kadar
oksigen dalam darah yang berasal dari plasenta, dan janin memberikan
respons kadiovaskuler terhadap kondidi yang demikian.
4. Kardiak output janin. Kardiak output janin lebih kurang 230 ml/kg/menit.
Menurut Wladomiroff & Moghie, 70 % persen akan mamasuki aorta
desendens, 50 % memasuki arteri umbilikalis dan 10 % ke paru ( Whittle
& Martin, 2002). Sirkulasi plasenta merupakan sistim sirkulasi yang

33
rendah-tekanan dan tinggi kapasitas, di mana aliran darahnya bersifat
pressure dependent. Sistim ini hanya rensponsif terhadap faktor humoral,
karena pembuluh darah umbilikal tidak memiliki persyarafan. Sirkulasi
perifer janin akan berespon dengan cepat terhadap stress hipoksia melalui
mekanisme vasokonstriksi perifer, yang akan membantu meredistribusi
darah ke area vital seperti otak dan jantung. Peningkatan tahanan perifer
juga membantu dalam memelihara aliran darah umbilikal. Namun
demikian, vasokonstriksi yang lama menyebabkan iskemia pada paru,
usus, dan ginjal, yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan
begitu janin dilahirkan, terutama pada bayi prematur (respiratory distress
syndrome, necrotising enteritis, dan renal insufficiency) yang pada
akhirnya terjadi metabolisme anaerob dan timbulnya asidosis.
Kompensasi dan adaptasi
Berkurangnya kandungan oksigen dalam darah (hipoksemia) akan
merangsang syaraf simpatis, sehingga akan menimbulkan takikardi (Guyton &
Hall, 2006). Bila kondisi hipoksemia tidak teratasi dan berlanjut jadi hipoksia,
akan menyebabkan perubahan aktivitas biofisk. Belum diketahui secara pasti
bagaimana mekanisme hipoksia janin menyebabkan perubahan aktivitas
biofisik, tapi diduga disebabkan disfungsi seluler sistim syaraf pusat yang
dipicu hipoksemia (hypoxemia-induced central nervous system cellular
disfunction) (Manning, 1992). Kemoreseptor pada aortic body meresponi
kondisi hipoksemia ateri dengan mekanisme adaptasi. Mekanisme adaptasi ini
ada 4, yaitu 1} berkurangnya denyut jantung, 2) berkurangnya konsumsi
oksigen, sekunder terhadap berhentinya fungsi yang tidak penting, 3)
redistribusi kardiak output ke organ-organ penting, seperti otak, jantung,
kelenjar adrenal, dan 4) metabolisme seluler anerobik. Sejauh mana
mekanisme tersebut efektif, ditentukan oleh kesehatan janin dan plasenta
sebelumnya, dan frekuensi, lama, dan intensitas even hioksemik (Fahey &
King, 2005). Gardner, et al. (2002), menemukan bahwa keterpaparan janin
dalam masa kehamilan akhir terhadap kondisi intrauterin yang tidak
diharapkan (adverse)/hipoksia, -meskipun dalam periode yang relatif singkat,

34
-akan mengurangi respon vasokonstriktor/redistribusi janin pada episode-
episode hipoksia akut selanjutnya. Setiap even hipoksia akan merangsang
respon kompensasi janin dalam bentuk percepatan eritropoisis, yang
menyebabkan influk sel darah merah immatur ke dalam sirkulasi janin, di
mana tingkatannya berkorelasi dengan terjadinya asfiksia perinatal (Ghost,
Mittal, Kumar, and Dadhwal, 2003).
Menurut Manning (1992), respon biofisik terhadap kondisi hipoksia
terbagi menjadi 2 kategori yaitu pertama respons akut/intermediat (yakni
perubahan atau hilangnya aktivitas yang diregulasi oleh sistim syaraf
pusat/SSP), dan kedua respons kronik (yakni berkurangnya produksi air
ketuban/ oligohidramnion, gangguan pertumbuhan, dan meningkatnya risiko
komplikasi neonatal).
APLIKASI DALAM ALAT DIAGNOSTIK
Alat diagnostik yang akan dikemukakan di sini adalah alat diagnostik yang tidak
bersifat invasif.
1. Gerak Janin
Gerak janin dapat memberikan informasi mengenai kesejahteraan janin. ”Janin
yang sehat adalah janin yang aktif. Janin yang geraknya kurang, mungkin
sedang mengalami masalah”. Gerak janin dapat dihitung oleh pasien sendiri
atau oleh pemeriksa. Penghitungan gerak janin oleh pasien, meskipun
akurasinya dalam menilai kesejahteraan janin/terjadinya hipoksia tidak dapat
dijadikan pegangan secara penuh, namun setidaknya dapat dijadikan sebagai
penapisan awal oleh pasien.
Salah satu pedoman dalam menghitung gerak janin adalah seperti berikut:
Dianjurkan dilakukan sekali sehari semenjak kehamilan berusia 27 minggu (7
bulan kehamilan). Caranya adalah:
 Pilih waktu dalam satu hari di mana gerak janin paling aktif, dan mulai
menghitung gerak janin lebih kurang pada saat yang sama untuk tiap hari.
 Berbaring ke satu sisi atau duduk di atas kursi yang nyaman. Jangan
menonton TV atau melakukan percakapan, pusatkan perhatian terhadap
gerak janin.

35
 Catat waktu mulai pertama kali gerak janin dirasakan, kemudian hitung
gerak janin sampai 10 kali, dan catat berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Bila:
 Janin tidak bergerak sebanyak 10 kali dalam 2 jam, atau
 Tidak dirasakan gerak janin sepanjang hari (12 jam), atau
 Dirasakan perubahan gerak janin yang sangat bermakna,
berkemungkinan janin mengalami masalah, dan harus segera diperiksakan ke
sarana pelayanan obstetri untuk dievaluasi lebih lanjut.
Cara lain menilai gerakan janin adalah menghitung gerakan janin selama 12
jam (Cardiff Count-to-Ten). Gerakan yang kurang dari 10 kali merupakan
signal bahwa kemungkinan janin mengalami gangguan, dan untuk itu
pemeriksaan lebih lanjut dengan tes tanpa tekaan dan USG perlu dilakukan
(Mangesi & Hofmeyr, 2003; Sing & Sidhu, 2008).
2. Auskultasi
Ada 2 cara auskultasi djj, yaitu auskultasi biasa pada punktum maksimum dan
auskultasi menurut metode Whitfield (Pernoll, 1982). Dengan cara biasa, yang
menggunakan stetoskop janin (fetoskop) atau hand-handled Dopplert, dapat
dihitung djj, baik dengan ‘mengalikan hasil hitungan dalam 15 detik dengan
empat’, atau ‘dihitung satu menit penuh’. Hasilnya menggambarkan frekuensi
djj. Dianggap normal bila berada antara 120—160 kali permenit, disebut
takikardi bila lebih dari 160 kali permenit, dan bradikardi bila kurang dari 120
kali permenit.
Pemantauan djj menurut metode Whitfield menggambarkan pengaruh
kontraksi terhadap denyut jantung janin. Djj dipantau selama dan sehabis
kontraksi uterus. Seperti dikutip oleh Pernoll (1982), pemeriksaan djj menurut
metode Whitfield adalah seperti berikut:
 Hitung djj setiap periode 5-detik secara berkelanjutan.
 Hitungan periode 5-detik ’paling rendah’ dikali 12 menggambarkan
rata-rata kedalaman bradikardi dalam satuan denjut permenit.
 Jumlah ’periode 5-detik’ semenjak akhir kontraksi samapi didapatkan
hitungan pertama yang lebih dari 10, -yakni denyutan yang lebih dari

36
`120 kali permenit, - secara sederhana menggambarkan perlambatan
pemulihan pola insufisiensi plasenta atau lamanya episode deselerasi
lambat.
 Setiap aritmia beat-to-beat harus dicatat.
 Lama observasi dapat dipersingkat bila ditemukan bradikardi atau
iregularitas.
Prinsip pemeriksaan menurut metode Whitfield adalah sama dengan prinsip
pemeriksaan Kardiotokografi. Putri Sri Llasmini (2000) melakukan penelitian
tentang kesesuaian antara metode Whitfield dan kardiotokografi dalam
menilai deselerasi lambat dan deselerasi variabel. Didapatkan kesesuaian yang
baik dalam menentukan adanya deselerasi lambat antara metode Whitfield dan
KTG dengan nilai Kappa = 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan
memakai metode Whitfield dapat menduga adanya deselerasi lambat.
Sedangkan dalam menentukan adanya deselerasi variabel, didapatkan
kesesuaian yang ideal, dengan nilai Kappa = 1. Hasil menunjukkan bahwa
pemeriksaan dengan metode Whitfield dapat menduga adanya deselerasi
variabel.
Penghitungan djj dengan metode Whitfield dapat juga digunakan untuk
menilai adanya akselerasi. Hitungan ‘periode-5 detik’ tertinggi dikali 12
menunjukkan tingginya akselerasi. Terjadinya akselerasi setelah janin dikejuti
dengan cara manipulasi kepala/badan janin menunjukkan janin masih dalam
keadaan baik.
3. Kardiotokografi
KTG dapat memberikan informasi tentang pola djj dihubungkan dengan
adanya kontraksi uterus (tes dengan tekanan =TDT), dan pola djj dihubungkan
dengan adanya gerak janin (tes tanpa tekanan = TTT). Ada empat hal
mengenai djj yang dinilai pada KTG, yaitu frekuensi dasar djj (baseline fetal
heart rate), variabilitas djj, akselerasi, dan deselerasi (dini, lambat, dan
variabel).
 Frekuensi dasar djj. Dalam keadaan normal, frekuensi dasar djj
berkisar antara 120-160 denyut permenit (dpm). Di atas 160 dpm

37
disebut takikardi dan di bawah 120 dpm disebut bradikardi. Takikardi
menggambarkan kompensasi janin terhadap kondisi hipoksemia,
sedangkan bradikardi menggambarkan kompensasi terhadap kondisi
hipoksia atau menggambarkan bahwa telah terjadi depresi sistem
syaraf dan/atau depresi miokar, sehingga gagal memelihara djj pada
batas yang normal.
 Variabilitas djj adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada
frekuensi djj. Diduga terjadi akibat tarik menarik antara sistim simpatis
(kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator). Variabilitas
yang normal menunjukkann bahwa sistim persyarafan mulai dari
korteks serebri, batang otak, nervus vagus, dan sistim konduksi jantung
janin berada dalam keadaan baik. Variabilitas akan berkurang/hilang
pada asfiksia intrauterin, dan hal ini merupakan tanda bahaya.
 Akselerasi adalah peningkatan djj 15 dpm atau lebih di atas frekuensi
dasar, yang berlangsung selama 15 detik atau lebih. Diduga terjadi
karena aktivitas simpatis jauh melebihi aktivitas parasimpatis.
Akselerasi merupakan ”hallmark” bahwa janin dalam keadaan sehat
(Gibb & Arulkumaran, 1992). Akselelrasi sporadik yang terjadi pada
pergerakan janin diduga terjadi karena sel-sel syaraf yang berhubungan
dengan fungsi motorik terletak dekat sekali dengan sel syaraf yang
mengatur fungsi kardiovaskuler (Sadovsky, et al, 1984).
 Deselerasi dini. Terjadi karena kompresi kepala, menyebabkan
peninggian tekanan intrakranial yang akan merangsang vagal. Muncul
dan hilang bersamaan dengan timbul dan hilangnya kontraksi uterus,
dan tidak ada hubungannya dengan hipoksia sehingga tidak
membutuhkan terapi.
 Deselerasi lambat, terjadi pada insufisiensi plasenta. Pada saat
kontraksi uterus terjadi pengurangan suplai oksigen ke janin
(hipoksia), kemoreseptor dan baroreseptor terangsang diikuti oleh
rangsangan pada simpatis; dan diperberat oleh depresi miokar akibat
adanya asidemia.

38
 Deselerasi variabel. Terjadi karena kompresi tali pusat. Komppresi
pada vena umbilikalis menyebabkan berkurangnya venous return,
terjadi hipovolemia, merangsang baroreseptor, dengan akibat
akselelrasi djj. Kompresi pada arteri umbilikalis menyebabkan
hipertensi, merangsang vagal, dengan akibat perlambatan djj.
Kompresi yang berulang menyebabkan hipoksemia dan depresi
miokar. Bila disertai insufisiensi plasenta, muncul gambaran late
variable deceleration.
Untuk menilai kondisi janin, hasil KTG harus diinterpretasikan dengan
mengacu pada keadaan klinis dan pemahaman mengenai kompensasi dan
adaptasi janin terhadap kondisi kekurangan suplai oksigen (hipoksia).
Tes Tanpa Tekanan
Tes ini adalah melihat fetal-activity acceleration determination (FAD), yakni
terjadinya akselerasi djj dengan adanya gerakan janin (reakttivitas). Dasarnya
adalah kontrol djj oleh sisitim syaraf otonom atas adanya peningkatan
kebutuhan oksigen, dan gerak janin yang tidak ada/ berkurang dihubungkan
dengan penghematan pemakaian enerji/oksigen. Pada tes ini dinilai frekuensi
dasar djj, variabilitas, dan akselerasi djj akibat adanya gerakan janin.
Interpretasi hasil pemeriksaan dapat dikategoorikan sebagai normal,
memperlihatkan abnormalitas transien, suspisius, dan abnormal (Owen, 2002).
 Normal; bila frekuensi dasar djj dalam batas normal, variabilitas
normal, dan terdapat akselelrasi dan gerak janin, dan tidak ditemukan
deselerasi yang signifikans.
 Memperlihatkan abnormalitas transien; misalnya variabilitas yang
berkurang secara transien (sepintas) dan kurangnya aktivitas karena
janin sedang tidur atau akibat obat-obatan yang diberikan pada ibu.
 Suspisius; bila ditemukan aktivitas janin dan reaktivitas yang
berkurang. Atau bila variabilitas berkurang tanpa danya akselerasi.
Atau adanya deselerasi ringan yang berulang disertai adanya
akselerasi. Hasil suspisius memerlukan pemeriksaan diulang.

39
 Abnormal; bila ditemukan variabilitas yang sangat berkurang,
akselerasi tidak ada, dan adanya deselerasi. Hasil abnormal
membutuhkan intervensi.

40
Tes Dengan Tekanan
Stress test (tes dengan tekanan), disebut juga dengan contraction stress test,
karena yang menjadi tekanan/beban adalah kontraksi uterus. Kontraksi dapat
ditimbulkan dengan pemberian oksitosin atau dengan rangsangan papila
mamae. Yang diamati adalah munculnya gambaran deselerasi lambat akibat
adanya kontrraksi uterus. Adanya deselerasi lambat mengindikasikan bahwa
telah terjadi hipoksia janin. Interpretasi atas TDT adalah seperti berikut
(Cunningham, et al, 2003):
 Negatif; bila tidak ada deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang
berat.
 Positif; bila didapatkan deselerasi lambat yang mengikuti 50% atau
lebih kontraksi uterus.
 Suspisius, bila didapatkan deselerasi lambat atau deselerasi variabel
yang berat secara intermiten.
 Hiperstimulasi; bila didapatkan deselerasi yang terjadi akibat kontraksi
uterus yang lebih sering dari setiap 2 menit atau kontraksi yang
berlangsung lebih dari 90 detik.
 Tidak memuaskan; bila kontraksi uterus kurang dari 3 kali dalam 10
menit atau bila gambaran tidak bisa diinterpretasikan.
Tes Stimulasi Akustik
Dasar tes ini adalah mengejuti janin (to startle the fetus), sehingga memicu
akselerasi denyut jantung (Cunningham, et al, 2003). Janin yang tidak dalam
keadaan hipoksia akan bereaksi akselerasi djj, demikian pula sebaliknya.
Asmawinta (2001) melakukan penelitian tentang ”hubungan tes stimulasi
vibroakustik” dengan ”tes dengan kontraksi” pada kehamilan risiko tinggi.
Didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p< 0,05) antara tes
stimulasi vibroakustik dan tes dengan kontraksi, di mana terdapat kesesuaian
antara kedua tes ini pada 38 kasus dari 40 kasus yang diteliti. Dengan
demikian dapat diyakini bahwa tes stimulasi vibroakustik yang positif
mengindikasikan janin tidak mengalami hipoksia intrauterin.
4. Ultrasonografi

41
Prinsip pemeriksaan USG adalah pemantulan gelombang ultrasound oleh suatu
benda, kemudian pantulan ini ditangkap dan ditayangkan (display) melalui layar,
baik dalam bentuk B-Mode, M-Mode, B-Scan, A-Mode, atau velosimetri Doppler
(Ziskin, 1991).

42
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang G2P1A0 berusia 37 tahun usia kehamilan 35+3 minggu merupakan


pasien rujukan dari RS Swasta dengan keterangan PEB, HELLP Syndrome,
IUGR, presbo, fetal hipoxia, oligohidramnion. Pasien datang dengan keluhan
tekanan darah tinggi sejak usia kehamilan 7 bulan dengan riwayat hipertensi pada
kehamilan sebelumnya. Salah satu faktor risiko terjadinya preeklampsia pada
kehamilan adalah riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya dengan
risiko lebih besar 7 kali lipat. Saat datang ke RSDM, tekanan darah pasien 203/
123 mmHg dan dari pemeriksaan urin didapatkan proteinuria +1 (positif satu).
Menurut klasifikasi preeklampsia, pasien ini masuk ke dalam preeklampsia berat
dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan diastolik ≥
110 mmHg, didapatkan peningkatan hasil laboratorium SGOT
(112 u/l, n= <31u/l) dan SGPT (66 u/l, n= <16u/l), dan dari hasil
pemeriksan USG didapatkan oligohidramnion. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium juga didapatkan peningkatan kadar
LDH 661 u/l (n= <600 u/l) yang menunjukkan adanya gangguan
hepar yang dapat mengindikasikan pasien masuk dalam kategori
diagnostik partial HELPP Syndrome. Prinsip penanganan pasien
dengan PEB dengan komplikasi HELPP Syndrome adalah
mencegah terjadinya eklampsia, terminasi kehamilan, mencegah
trauma saat persalinan dan mencegah hipertensi yang menetap.
Sehingga pada pasien dilakukan terminasi kehamilan segera
dengan sectio caesarea walaupun usia kehamilan masih
tergolong prematur karena sudah terjadi komplikasi yaitu HELLP
Syndrome. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi lebih
lanjut yang dapat terjadi pada pasien dan bayi. Terminasi
kehamilan tidak dilakukan dengan induksi persalinan karena
persalinan pada pasien dengan PEB dan HELPP Syndrome harus
terjadi dalam waktu 24 jam ditambah dengan adanya tanda

43
gawat janin yaitu fetal hipoksia. Pada pasien dilakukan tindakan
pencegahan eklampsia, diberikan protab PEB yang terdiri dari O2
nasal 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi MgSO4 20 % initial dose 4gr dalam 15
menit dilanjutkan maintenance dose 1gr/jam selama 24 jam, nifedipine 3x10mg,
dan mengawasi KUVS/ DJJ/ tanda impending eklamsia/ balance cairan.
Selain itu, dari hasil pemeriksaan juga didapatkan fetal
hipoxia yang ditandai dengan adanya bradikardi sebagai
kompensasi terhadap kondisi hipoksia, dari hasil CTG juga
didapatkan variabilitas <5 dan didapatkan deselerasi sehingga
dilakukan resusitasi intrauterine untuk mengurangi risiko luaran
maternal yang buruk. Fetal hipoksia pada kasus ini dapat terjadi
karena adanya disfungsi plasenta sehingga gangguan perfusi
uteroplasenta menyebabkan suplai darah ke janin tidak adekuat.

44
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologists. Task Force on


Hypertension in Pregnancy. 2013. Hypertension in Pregnancy.
Washington DC: ACOG.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.
Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins
Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2007
Bearelly D, Hammoud GM, Koontz G, Merril DC, Ibdah JA. 2012. Preeclampsia-
Induced Liver Disease and HELLP Syndrome. Maternal Liver Disease
74-91
Cunningham, F.G., 2006. Obstetric William. Edisi 21. Jakarta: EGC: 422-40; 624-
73; 825-50
Duff, P., Edwards,. 2004. Obstetric and Gynecology. Boston: Mc Graw Hill Co.,
pp.51
Gaillard R, Steegers EA, Hofman A, Jaddoe VW. Associations of maternal
obesity with blood pressure and the risks of gestational hypertensive
disorders. The Generation R Study. J Hypertens. 2011;29(5):937–44.
Greenberg M. 2007. Preeklampsia/ Eklampsia dalam Teks Kedokteran
Kedaruratan Jilid 2. Jakarta: Erlangga: 378-79
Gunatilake RP, Perlow JH. Obesity and pregnancy: Clinical man-agement of the
obese gravida. Am J Obstet Gynecol. 2011;204(2):106–19.
Guyton, A.C. and Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia:
Elseviers Sauders.
Haram, L., Svendesn, E., Abildgaard, U. 2009. The HELLP Syndrome: Clinical
issues and management. A Review. BMJ Pregnancy and Childbirth:
15:1-15
Harrington, K., Hecher, K., and Campbell, S. 2002. ‘The fetal haemodynamic
response to hypoxia’. In: Harrington, K and Campbell, S. 2002. A

45
Colour Atlas of Doppler Ultrasonography in Obstetrics. An
Introduction to its Use in Maternal Fetal Medicine. Pp. 81-94. New
Delhi: Jaypee Brothers.
Manning, F.A. ‘Fetal Biophysical Profile Scoring: Application in High-risk
Obstetrics’. In: Reece, E.A, Hobbins, J.C, Mahoney, M.J, and Petrie,
R.H. 1992. Medicine of the Fetus and Mother. Pp. 724-738.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Neerhof, M.G., and Thaete, L.G. 2008. The Fetal Response to Chronic Placental
Insufficiency. Semin. Perinatol. 2008 (32).
Owen, P. 2002. ‘Fetal Assessment in the third Trimester: fetal growth and
biphysical methods’. In: Chamberlein, G and Steer, P.J. 2002.
Turnbull’s Obstetrics. 3rd ed. Pp. 129-154. London: Churchill
Livingstone.
World Health Organization. 2016. Maternal Mortality in 2014
Yu CKH, Teoh TG, Robinson S, The Royal Australian and New Zealand College
of Obstetricians and Gynaecologists, Spellacy W, Sewell M, et al.
CMACE/RCOG Joint Guideline: Management of Women with Obesity
in Pregnancy. BJOG. 2010;113(4):CD007122.

46

Anda mungkin juga menyukai