TINJAUAN PUSTAKA
II-1
II-2
BAB II Tinjauan
Pustaka
Suatu zat dapat berlaku sebagai zat warna apabila mempunyai gugus yang dapat
menimbulkan warna (kromofor) dan dapat mengadakan ikatan dengan serat tekstil
Kromofor berasal dari kata Chromophore yang bersal dari bahasa Yunani yaitu
Chroma yang berarti warna dan phoros yang berarti mengemban (Fessenden,
1982).
Menurut sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2
yaitu: pertama, Zat Pewarna Alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari bahan-
bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan atau hewan. Kedua, Zat
Pewarna Sintesis (ZPS) yaitu Zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi
kimia dengan bahan dasar ter arang batu bara atau minyak bumi yang merupakan
hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan
antrasena (Isminingsih, 1978).
Mangga merupakan salah satu jenis buah-buahan yang banyak dikenal dan
ditanam di Indonesia. Tanaman mangga dapat tumbuh di hampir semua jenis
tanah.Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-300 meter di atas
permukaan laut. Kulit batang mangga dapat diolah menjadi zat warna soga karena
mengandung senyawa tanin. (Mumpuni Asih Pratiwi dan Sri Sutanti,2005).
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Sapindales
Suku : Anacardiaceae
Marga : Mangifera
Jenis : Mangifera indica L
II.3 Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa
tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman
dapat resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun
rumen (Kondoet et al, 2004).
Tanin selain mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari
degradasi enzim mikroba maupun enzim protease pada tanaman (Oliveira et
al 2009). Sehingga tanin sangat bermanfaat dalam menjaga kualitas silase.Tanin
merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol (Deaville
et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena
tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan
molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang
besar dan komplek yaitu protein tanin.
Tanin alami larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna
larutan tanin bervariasi dari warna terang sampai warna merah gelap atau
coklat, karena setiap tanin memiliki warna yang khas tergantung sumbernya
(Ahadi, 2003).
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan
tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan jenis tanin yang
BAB II Tinjauan
Pustaka
mempunyai struktur poliester yang mudah dihidrolisis oleh asam atau
enzim, dan sebagai hasil hidrolisisnya adalah suatu asam polifenolat dan
gula sederhana. Golongan tanin ini dapat dihidrolisis dengan asam, mineral
panas dan enzim-enzim saluran pencernaan. Sedangkan tanin terkondensasi,
yang sering disebut proantosianidin, merupakan polimer dari katekin dan
epikatekin (Maldonado, 1994).
Tanin yang tergolong tanin terkondensasi, banyak terdapat pada buah-
buahan, biji -bijian dan tanaman pangan, sementara yang tergolong tanin
terhidrolisis terdapat pada bahan non-pangan (Makkar, 1993), untuk jelasnya
struktur tanin dapat dilihat pada Gambar 2
a. Tanin Terhidrolisis b. Tanin
Terkondensasi
Gambar 2 Struktur tanin terhidrolisis (a) dan terkondensasi (b)
Sumber: (Dennis et al,, 2005)
Menurut Susanti (2000), sifat utama tanin pada tanama tergantung pada
gugus fenolik-OH yang terkandung dalam tanin. Secara garis besar sifat tanin
dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.Tanin secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid.
2.Semua jenis tanin dapat larut dalam air, kelarutannya besar dan akan
bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu pula dalam
pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya.
3. Reaksi warna terjadi bila disatukan dengan garam besi. Reaksi ini
digunakan untuk menguji klasifikasi tanin. Reaksi tanin dengan garam
besi akan memberikan warna hijau dan biru kehitaman, tetapi uji ini
kurang baik karena selain tanin yang dapat memberikan reaksi warna,
zat-zat lain juga dapat memberikan reaksi warna yang sama.
4. Tanin mulai terurai pada suhu 98,8ᵒ C
5. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim.
6. Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer lainnya
terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan ikatan kovalen.
7. Tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi
menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin amorf (tidak berbentuk)
dan tidak mempunyai titik leleh
8. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya atau dibiarkan
di udara terbuka.
9. Tanin mempunyai sifat bakteristatik dan fungistatik
BAB II Tinjauan
Pustaka
Getah pisang mengandung tanin dan asam galat. Tanin merupakan pigmen
pewarna alami berupa zat pewarna coklat. Tanin disebut juga asam tanah.
(C14H10O9) merupakan kelompok senyawa nabati yang bersifat asam, aromatik,
dan memberi rasa kesat. Tanin mengendapkan alkaloid, merkuri klorida, dan
logam berat. Membentuk larutan biru tua atau hitam dengan larutan ferri,
larutannya dalam basa menyerap (bereaksi ) dengan oksigen ( Pudjatmoko, 2004 )
II.7 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan suatu komponen dari bahan padat maupun
cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi merupakan proses
pemisahan suatu bahan dari campurannya , ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Ekstraksi menggunakan pelarut berdasarkan pada kelarutan komponen terhadap
komponen lain dalam campuran. (Suyitno, 1989).
Untuk mengekstraksi zat warna digunakan berbagai macam pelarut anorganik,
karena apabila digunakan pelarut organik maka yang terekstrak bukan hanya zat warna
melainkan semua zat yang terkandung didalamnya terlebih lagi kandungan minyaknya.
Senyawa anorganik yang sering digunakan adalah air.(Vogel, 1985).
Salah satu alat ekstraksi skala laboratorium yang sering digunakan adalah
soxhlet. Dengan alat ini maka ekstraksi dapat dilakukan berulang kali, sehingga
rendemennya lebih besar. Pada proses ekstraksi, besarnya kadar solute dalam berat hasil
ekstraksi dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut. Pada keadaan
setimbang kadar solute dalam solvent relatif tetap. Setelah proses ekstraksi selesai,
dilakukan distilasi untuk memisahkan zat warna dari pelarutnya.
Ekstraksi padat-cair, yang sering disebut leaching, adalah proses pemisahan zat
yang dapat melarut (solute) dari suatu campurannya dengan padatan yang tidak dapat
larut (inert) dengan menggunakan pelarut cair. Pada ekstraksi padatcair, perpindahan
terjadi secara difusi di dalam padatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi
adalah jenis pelarut, rasio berat bahan dengan volume pelarut, suhu, pengadukan, waktu
ekstraksi, dan ukuran padatan. Operasi pengontakan bahan dengan pelarut pada ekstraksi
padat-cair terdiri dari dua langkah (Mc.Cabe, 1985) yaitu:
1. Alat dengan unggun tetap (fixed bed), di mana pelarut dilewatkan
melalui partikel padatan yang tersusun dalam suatu unggun tetap.
2. Alat dengan kontak terdispersi (dispersed contact), di mana partikel
padatan didispersikan dalam pelarut sehingga di samping terjadi
pergerakan relative antara partikel padatan dan pelarut terdapat pula
pergerakan relatif antara partikel padatan itu sendiri.
Pada ekstraksi padat-cair, transfer massa suatu zat dari dalam padatan ke dalam
cairan melalui 2 tahapan pokok (Treyball, 1981) yaitu:
BAB II Tinjauan
Pustaka
1. Difusi pelarut dari permukaan padatan ke dalam padatan, lalu difusi
pelarut dan solute ke permukaan padatan. Semakin kecil ukuran
padatan, semakin dekat jarak difusi, sehingga semakin cepat proses
difusinya.
2. Transfer massa dari permukaan padatan ke cairan secara konveksi
(karena cairan diaduk terus).