Psikologi Agama
Psikologi Agama
kejiwaan, delusi, memgkhayalkan sesuatu yang tidak ada. Saya kutip dari Sdr Hireka sbb
Dalam pandangannya atas agama, Freud mengemukakan Tesis: “Praktek agama atau agama itu
sendiri tidak lain adalah neurosis yang dilakukan bersama-sama. (Neurosis as an individual
religiosity and religion as a universal obsessional neurosis.” (lih. “The Complete Psychological
Works of Sigmund Freud”, standard edition, Vol. IX, hlm. 126)
Melalui eksplorasi-psikologis diperoleh fakta bahwa ada berbagai macam
kemampuan dasar yang dimiliki manusia yang dapat dikembangkan guna
menunjang hidup dan kehidupannya. Sedangkan melalui pengamatan potensi-
diri diperoleh fakta bahwa dalam diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan
bawaan, termasuk diantaranya adalah potensi untuk percaya pada supernatural
(agama). Sinergi antara eksplorasi-psikologis dengan potensi-diri manusia akan
membentuk sumber-sumber keyakinan terhadap agama secara psikologis.
Karena itu, dalam konteks ini, tanpa adanya wahyu pun sesungguhnya manusia
akan mampu mengenal Tuhan. Wahyu hanya berfungsi sebagai pemberitaan dari
alam metafisika yang turun kepada manusia untuk menerangkan tentang Tuhan
sekaligus kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan manusia terhadap Sang
Khalik maupun sesamanya. Singkatnya secara psikologis, siapa mengenal
dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya. Karena itu manusia wajib
mempercayai dan meyakini akan adanya Tuhan serta melaksanakan ajaran-
ajaran agama dalam kehidupannya
Agama Menurut Pandangan Psikologi Pada Anak
a. Prinsip biologis
Anak dilahirkan dalam keadaan lemah, karena itu segala gerak dan tindak
tanduknya memerlukan bimbingan dari orang-orang dewasa dilingkungannya.
1) Jasmani baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.
2) Akal dan fungsi-fungsi mental baru akan menjadi berfungsi dengan baik jika
diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang
ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi
anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya
serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada
tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan
membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya
yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas,
maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.
1) Jika anak sudah memiliki instink keagamaan, mengapa orang tak terhayati
secara otomatis ketika mendengar lonceng gereja dibunyikan?
d. Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan
usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja
juga mencakupi:
1. Self-direktive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan
pribadi.
2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4. Unadjusted, belum meyakini akan ajaran agama dan moral. [9]
5. Devian, menolak dasar dan hukum keagmaan serta tatanan moral
masyarakat.
Kemampuan remaja untuk mengaktualisasikan nilai-nilai agama sangat
heterogen (beragam). Keragaman itu diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok, yaitu: (1) remaja yang mampu mengamalkannya secara konsisten, (2)
ramaja yang mengamalkannya secara insidential (kadang-kadang), (3) remaja
yang tidak mengamalkan ibadah mahdlah, tetapi dapat berinteraksi sosial
dengan oang lain (hablumminannaas) secara baik, (4) remaja yang melecehkan
nilai-nilai agama secara keseluruhan, dalam arti mereka tidak mengamalkan
perintah Allah, dan justru melakukan apa yang diharamkan-Nya, seperti: berzina,
meminum minuman keras (narkoba), mencuri (kriminal), mengganggu ketertiban
umum, dan bersikap tidak hormat kepada orang tua.
Keragaman profile remaja seperti di atas, mungkin di sebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya: (1) keragaman pendidikan agama yang diterima
remaja dari orang tuanya, ada yang baik, kurang, dan bahkan tidak sama sekali,
(2) keragaman keluarga remaja dalam mengamalkan nilai-nilai agama, ada yang
taat, kurang taat, dan yang sama sekali tidak mempedulikan nilai-nilai agama,
dan (3) keragaman kelompok teman bergaul, ada yang berakhlak baik, dan juga
yang berakhlak buruk
Agama Menurut Pandangan Psikologi Pada Orang Dewasa
Dengan berakhirnya masa remaja maka berakhir pula kegoncangan-kegoncangan
yang terjadi pada diri seseorang, sehingga bisa dikatakan pada usia dewasa ini seseorang
akan lebih tentram jiwanya, dan memiliki kepercayaan yang tegas dalam bentuk positif
maupun negatif. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada orang dewasa yang
masih mengalami kegoncangan-kegoncangan pada dirinya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
para ahli agama masih harus selalu memberikan ceramah dan ajakan-ajakan, dengan tujuan
memberikan pengertian-pengertian tentang agama.
Dari segi ilmu jiwa agama, perkembangan keagamaan pada dewasa bukan terjadi
secara kebetulan atau bawaan dari lahir dan bukan pula sebuah pertumbuhan yang wajar,
tetapi merupakan suatu kejadian yang didahuli dengan berbagai proses. [10] Ketika
seseorang telah dewasa, terlihat bahwasanya ada kematangan pada jiwa mereka. Dari kata
Charlotte Buchler: “saya hidup dan saya tahu untuk apa”, menggambarkan bahwa diusia
dewasa seseorang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.
Menurut H. Carl Witherington, orang dewasa telah berpikir tentang tanggung jawab
sosial moral, ekonomis, dan keagamaan. Dan pada saat dewasa, seseorang juga sudah
memiliki kepribadian yang setabil. Kesetabilan itu terlihat dari cara ia bertindak dan
bertingkah laku yang selalu konsinten dan optimis.
Dari sini dapat diketahui juga bahwa orang dewasa lebih bertanggung jawab dan
teguh dalam beragama, karena apa yang telah ia pilih merupakan merupakan hasil dari
pertimbangan-pertimbangan yang sangat matang sehingga sulit untuk dipengaruhi oleh
doktrin lain. Sikap beragama inilah akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian
meraka.
Adapun ciri-ciri sikap keberagamaan pada orang dewasa adalah sebagai berikut:
a. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang.
b. Cenderung bersifat realis.
c. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma agama, dan berusaha mempelajari
serta mendalaminya.
d. Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas.
e. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama, karena kematangan beragama
selain didasarkan pada pertimbangan pemikiran, juga pada pertimbagan hati
nurani.
f. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial.
[11]
Ketika telah sampai pada usia lanjut (65-meninggal), maka perubahan yang sangat
mencolok adalah pada fisiknya. Pada masa ini seseorang cenderung mengalami penurunan
kemampuan fisiknya, bahkan pada masa ini seseorang sering mengalami gangguan
kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Meskipun kondisi fisik usia
lanjut ini cenderung menurun, tetapi menurut hasil penelitian para psikolog, ternyata
keagamaannya justru malah meningkat. Pada masa ini mereka juga mengalami
kecenderungan yang meningkat untuk menerima pendapat keagamaan.
Menurut William James, bahwa pada usia lanjut inilah seseorang memiliki keagamaan
yang sangat luar biasa. Diindikasikan bahwa peningakatan keagamaan pada usia ini adalah
perasaan mengenai kematian yang akan segera menghampirinya. Secara garis besar ciri-ciri
keberagamaan pada usia lanjut adalah sebagai berikut;
a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut telah mencapai tingkat kemantapan
b. Kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan
c. Pengakuan mengenai realitas kehidupan akhirat yang sungguh-sungguh
d. Sikap keagamaan cenderung mengarah pada sikap saling cinta antar sesama
manusia, serta sifat-sifat yang luhur.
e. Rasa takut akan kematian meningkat [12]