Anda di halaman 1dari 14

1.1.

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)


Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam
bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak
yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek
Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
A. Jenis-Jenis Subjek Pajak Penghasilan
1) Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak penghasilan dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia.
Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi terdiri :
1. Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri.
Subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan domisili pendiriannya atau lamanya suatu aktivitas
bisnis dilakukan di Indonesia. Subjek pajak dalam negeri bisa berupa orang perorangan.
 Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap
dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi Luar Negeri.


Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri menurut Undang-Undang Pajak
Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008 diantaranya:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

1
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris.Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak
pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap
dapat dilaksanakan.Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam
negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) mengikuti status pewaris.Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila
warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang
tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak
dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
3) Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha. Bentuk Badan dapat berupa Perseroan Terbatas (PT), Perseroan
Komanditer (CV), perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga,
bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
Yang termasuk dalam pengertian perkumpulan dapat berbentuk asosiasi, persatuan, perhimpunan atau
ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Badan sebagai Subjek Pajak Penghasilan terdiri dari :
1. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

4) Bentuk Usaha Tetap (BUT)


Bentuk Usaha Tetap merupakan Subjek Pajak Penghasilan yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan Subjek Pajak Badan. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya
suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga

2
mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara
yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak
sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan
bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia
melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
B. Jenis-Jenis Obyek Pajak Penghasilan
1. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, kecuali ditentukan lain oleh Undang-
Undang PPh :
 Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti ; upah, gaji, premi asuransi
kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya merupakan obyek
pajak.
 Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang diberikan
oleh non subyek pajak penghasilan.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan :


 Meliputi hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti ; hadiah undian tabungan, hadiah
pertandingan olah raga, dan sebagainya.
 Yang dimaksud penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu,
misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
3. Laba Usaha
4. Keuntungan penjualan atau pengalihan harta (capital gain):
 Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta (aktiva) merupakan selisih lebih antara harga jual
atau harga pasar wajar harta pada saat dijual/dialihkan dengan nilai perolehan (atas harta yang
tidak dapat disusutkan) atau nilai sisa buku fiskal (nilai sisa buku berdasarkan penyusutan secara
fiskal) atas harta yang disusutkan. Misalnya, PT Abadi menjual sebuah aktiva berupa truk dengan
harga jual Rp 80 Juta. Apabila nilai sisa buku fiscal truk tersebut sebesar Rp 20 Juta, maka
keuntungannya adalah Rp 60 Juta (merupakan obyek Pajak Penghasilan).

3
 Apabila penjualan harta tersebut dilakukan antara badan usaha dengan pemegang sahamnya (pihak
yang memiliki hubungan istimewa), maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung
keuntungan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT Abadi dalam kasus di atas menjual truknya
kepada Amin (pemegang saham) seharga Rp 40 Juta. Keuntungan PT Abadi yang merupakan obyek
PPh tetap sebesar Rp 60 Juta (harga pasar wajar - nilai sisa buku fiskal). Bagi Amin pun jumlah
sebesar Rp 40 merupakan obyek pajak penghasilan (nilai pasar wajar - jumlah yang dibayar).
 Keuntungan atas pengalihan harta bukan merupakan obyek PPh dalam hal :
1) Pengalihan harta sebagai bantuan atau sumbangan atau hibah yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk Koperasi yang ditetapkan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan (604/KMK.04/1994).
2) Pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha wajib pajak
yang diperkenankan melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dengan nilai
buku (perusahaan yang akan menjual sahamnya di bursa efek).
(422/KMK.04/1998 Jo 469/KMK.04/1998). Artinya, baik bagi pihak yang mengalihkan maupun
pihak yang menerima pengalihan tidak terdapat keuntungan yang merupakan obyek PPh. Pihak
yang mengalihkan pun tidak dapat membebankan nilai sisa buku fiskal aktiva tersebut sebagai
biaya (non deductible sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000).
5. Penerimaan kembali pajak yang semula telah dibebankan sebagai biaya
Pengembalian (restitusi pajak) yang semula telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak, merupakan obyek pajak penghasilan. Misalnya, Pajak Bumi dan Bangunan
yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya yang karena suatu sebab dikembalikan. Jumlah yang
dikembalikan tersebut merupakan penghasilan.
6. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan jaminan karena pengembalian utang
Premium terjadi apabila obligasi dijual di atas nilai nominalnya. Sedangkan diskonto terjadi apabila
surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerbitkan obligasi, sedangkan diskonto merupakan penghasilan bagi pihak yang membeli obligasi.
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, yaitu terdiri dari :
 Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk
apapun
 Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor
 Pemberian saham bonus tanpa penyetoran, termasuk saham bonus dari kapitalisasi agio saham,
kecuali, apabila jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus
tersebut tidak melebihi jumlah setoran modalnya ( Peraturan Pemerintah Nomor 138 TAHUN 2000 )
 Pembagian laba dalam bentuk saham (dividen saham)
 Pencatatan tambahan modal tanpa penyetoran, kecuali yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih
revaluasi aktiva tetap ( Peraturan Pemeritah Nomor 138 TAHUN 2000 )

4
 Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham
karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan
 Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam tahun-tahun yang
lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali tersebut akibat dari pengecilan
modal (statuter) yang dilakukan secara sah
 Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-
tanda laba tersebut
 Bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi
 Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis
 Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota koperasi
 Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
8. Royalti
Imbalan sehubungan dengan penggunaan hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang,
paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan. Hak atas harta berwujud, hak atas alat-alat
industri, komersial, dan ilmu pengetahuan, yaitu setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual,
misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran
minyak (drilling rig). Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri atau bidang lainnya.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran secara berkala, misalnya alimentasi atau tunjangan seumur
hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu.
11. Keuntungan karena pembebasan utang
Pembebasan utang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berutang dan biaya bagi pihak
yang semula berpiutang. Pembebasan utang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berutang
dan biaya bagi pihak yang semula berpiutang. Utang debitur kecil adalah utang usaha yang jumlahnya
tidak lebih dari Rp 350 Juta ( Peraturan Pemerintah Nomor 130 TAHUN 2000 )
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
Dapat disebabkan oleh fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijakan Pemerintah di bidang
moneter. Keuntungan selisih kurs yang disebabkan oleh fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan
pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut wajib pajak dengan syarat dilakukan secara
taat asas. Apabila wajib pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis),
keuntungan selisih kurs-nya diakui pada saat terjadinya realisasi mata uang asing tersebut. Apabila wajib
pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun (per tanggal neraca), maka keuntungan selisih kurs-nya diakui pada
setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada
akhir tahun.
Keuntungan selisih kurs karena kebijakan Pemerintah di bidang moneter dapat dibukukan dalam
perkiraan sementara di neraca, dan diakui secara bertahap berdasarkan realisasi mata uang tersebut.

5
13. Premi asuransi yang diterima atau diperoleh perusahaan asuransi dari para peserta asuransi (pemegang
polis).
14. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak:
Tambahan kekayaan netto pada hakikatnya merupakan akumulasi penghasilan baik penghasilan
yang telah dikenakan pajak, yang belum dikenakan pajak, maupun penghasilan yang bukan obyek pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah
dikenakan pajak dan yang bukan merupakan oyek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan (objek pajak).

6
1.2. Penghasilan Kena Pajak (PhKP)
Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang PPh. Salah satu poin yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008, tepatnya pada Pasal 17,
adalah tarif PPh atas Penghasilan Kena Pajak.
Istilah Penghasilan Kena Pajak mengacu pada jumlah penghasilan bruto dikurangi komponen pengurang
penghasilan bruto dan PTKP (Pajak Tidak Kena Pajak).
Perlu diketahui wajib pajak, tarif ini dibedakan menjadi dua jenis. Perbedaan itu ditentukan berdasarkan
kepada siapa pajak dikenakan. Pertama, tarif Pasal 17 untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Kedua,
tarif pasal 17 untuk wajib pajak badan dalam negeri serta bentuk usaha.
Ketentuan lain mengenai Pajak Penghasilan yang patut diperhatikan dalam Pasal 17 adalah pajak yang
terutang dalam bagian tahun pajak. Seperti yang tertulis dalam Pasal 5
“Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam
bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam
bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 tahun pajak.”
Sebagai pelengkap, ada pula ketentuan dalam Pasal 6,
“Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 5, tiap bulan yang penuh
dihitung 30 hari.”
Ketentuan terbaru mengenai tarif PPh untuk Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Orang pribadi yang merupakan warga negara Indonesia dikenakan pajak dengan tarif yang berbeda
sesuai jumlah penghasilan.
 Untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun, tarif PPh yang dikenakan adalah 5%.
 Untuk penghasilan Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 per tahun, tarif PPh yang diberlakukan
adalah 15%.
 Untuk penghasilan Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000 per tahun, tarif PPh-nya sebesar 25%.
 Untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun, tarif PPh yang dikenakan adalah 30%.
2) Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap
Wajib Pajak yang merupakan badan atau bentuk usaha tetap wajib membayar PPh dengan tarif yang
berbeda. Khusus untuk subjek pajak ini, tarif yang dikenakan adalah 25% dari seluruh jumlah penghasilan.

1.3. Tarif Pajak dan Penghitungan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan
A. Wajib Pajak Orang Pribadi
Dasar hukum perhitungan dan pemotongan pajak penghasilan terdapat dalam:
 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) 2019.
Komponen-komponen Perhitungan PPh Pasal 21

1. Penghasilan Bruto (Penghasilan Kotor) PPh Pasal 21

7
Penghasilan bruto atau penghasilan kotor adalah jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21.
Unsur-unsur penambah penghasilan yang termasuk dalam penghasilan bruto, adalah:
 Penghasilan Rutin
Cara perhitungan PPh 21 tidak akan terlepas dari penghasilan rutin wajib pajak orang pribadi, yakni
upah atau gaji yang diterima secara teratur dalam jangka waktu tertentu, seperti:
1) Gaji Pokok 
Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu jabatan atau pekerjaan
tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu. 
2) Tunjangan
Tunjangan adalah penghasilan tambahan di luar gaji pokok yang berkaitan dalam pelaksanaan
tugas dan sebagai insentif. Misalnya adalah tunjangan jabatan, tunjangan transportasi, tunjangan
makan, dll.
 
 Penghasilan Tidak Rutin
Penghasilan tidak rutin adalah upah atau gaji yang diterima secara tidak teratur oleh seorang pegawai
atau penerima penghasilan lainnya, seperti:
1) Bonus 
Bonus adalah tambahan penghasilan di luar gaji kepada pegawai atau dividen tambahan kepada
pemegang saham.
2) Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR)
THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan dengan perhitungan proposional dan dibayarkan
menjelang hari raya keagamaan. 
3) Upah Lembur 
Upah lembur adalah tambahan upah yang dibayarkan perusahaan karena pekerja melakukan
perpanjangan jam kerja dari jam kerja normal yang telah ditentukan 
 
2. Iuran BPJS atau premi asuransi pegawai yang dibayarkan perusahaan
BPJS adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Setiap warga negara Indonesia dan asing yang telah tinggal di Indonesia selama lebih dari 6 bulan
wajib menjadi anggota BPJS.
Iuran BPJS dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja dengan persentase iuran dari gaji atau upah (tidak
dijelaskan dalam peraturan bahwa apakah gaji ini merupakan gaji pokok, gaji bruto, gaji bersih, dsb) yang
telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.
 Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Jaminan Kecelakaan Kerja adalah kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan saat mulai berangkat kerja sampai tiba kembali di rumah atau menderita penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan.

8
Iuran JKK dibayar sepenuhnya oleh perusahaan. Besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha
dan risiko:
1) Kelompok I : premi sebesar 0,24% x upah kerja sebulan.
2) Kelompok II : premi sebesar 0,54% x upah kerja sebulan.
3) Kelompok III : premi sebesar 0,89% x upah kerja sebulan.
4) Kelompok IV : premi sebesar 1,27% x upah kerja sebulan.
5) Kelompok V : premi sebesar 1,74% x upah kerja sebulan.
 Jaminan Kematian (JK)
Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang
meninggal bukan karena kecelakaan kerja. Pengusaha wajib menanggung iuran program Jaminan
Kematian sebesar 0,3% dari gaji atau upah.
 Jaminan Kesehatan (JKes / BPJS Kesehatan) berlaku sejak Juli 2015
Jaminan Kesehatan adalah program BPJS Kesehatan yang diikuti wajib pajak. Sejak 1 Juli 2015, tarif
iuran Jaminan Kesehatan adalah 5% dari gaji per bulan yaitu sebanyak 4% dibayar oleh pemberi kerja dan
1% oleh pegawai.
Gaji atau upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan iuran Jaminan Kesehatan terdiri dari gaji
atau upah pokok dan tunjangan tetap. Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai
dasar perhitungan iuran adalah 2 kali PTKP dengan status kawin dengan 1 anak. Untuk keluarga lainnya,
yaitu terdiri dari anak keempat dan seterusnya, orang tua dan mertua, besarnya iuran adalah 1% per orang
dari gaji/upah.
 Tunjangan PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan, jika ada)
Bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh 21 kepada pegawainya, dalam hal ini tunjangan
PPh 21 penuh atau sebagian, maka jumlah tunjangan PPh 21 ini merupakan komponen penambah
penghasilan bruto.
Sedangkan metode perhitungan gaji bagi pegawai yang menerima tunjangan PPh 21 adalah metode
gaji bersih atau gross-up. 

3. Pengurang Penghasilan Bruto


Pengurang penghasilan bruto adalah biaya-biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto atau kotor.
Termasuk di dalamnya adalah:
 Biaya Jabatan
Biaya jabatan adalah biaya yang diasumsikan petugas perpajakan sebagai pengeluaran (biaya)
selama setahun yang berhubungan dengan pekerjaan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
16/PJ/2016 menetapkan, biaya jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto setahun dan setinggi-
tingginya Rp 500.000 sebulan atau Rp 6 juta setahun. Dari staf biasa hingga direktur berhak
mendapatkan pengurang penghasilan bruto ini.
 Biaya Pensiun
Biaya pensiun adalah pengurang penghasilan bruto dalam menghitung PPh Pasal 21 yang terutang
dan harus dipotong atas penghasilan yang diterima penerima pensiun secara bulanan. Besarnya biaya

9
pensiun yang ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 adalah 5% dari
penghasilan bruto dan setinggi-tingginya Rp 200.000 per bulan atau Rp 2.400.000 per tahun.
 Iuran BPJS yang Dibayarkan Karyawan
Dalam hal iuran BPJS yang persentasenya dibayarkan karyawan, maka komponen dimasukkan
sebagai pengurang penghasilan bruto. Iuran BPJS yang termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto
tersebut adalah:
1) Jaminan Hari Tua (JHT)
Program ini ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena
meninggal, cacat atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Jumlah
iuran program jaminan hari tua yang ditanggung perusahaan adalah 3,7%, sedangkan yang
ditanggung pekerja adalah 2%. Premi JHT yang diberikan pemberi kerja tidak dimasukkan
sebagai komponen penambah penghasilan. Pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat
karyawan menerima JHT. Sedangkan premi JHT yang dibayar sendiri oleh karyawan merupakan
pengurang penghasilan bruto.
2) Jaminan Pensiun (JP)
Jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan memberikan derajat kehidupan yang
layak bagi pesertanya dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta
memasuki usia pensiun, cacat total atau meninggal dunia. Jaminan Pensiun (JP) berlaku sejak
Juli 2015. Iuran program JP adalah 3%, yang terdiri atas 2% iuran pemberi kerja dan 1% iuran
pekerja.
3) Jaminan Kesehatan (JKes)
Sejak 1 Juli 2015, tarif iuran Jaminan Kesehatan yang dibayarkan pegawai adalah 1%.

4. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang merupakan komponen penting cara perhitungan PPh
21 adalah jumlah nilai penghasilan bruto bagi wajib pajak yang tidak dikenakan pajak. Sesuai dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 dan PMK No. 101/PMK.010/2016, berikut ini
tarif PTKP terbaru yang perlu Anda ketahui:
a. Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 4.500.000 per bulan untuk diri Wajib Pajak orang pribadi
b. Rp 4.500.000, per tahun atau Rp 375.000 per bulan tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
c. Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan untuk istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami
d. Rp 4.500.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

10
PTKP Laki-laki /     PTKP Suami dan Istri
PTKP Laki-laki Kawin
Perempuan Lajang Digabung
 TK/0  Rp54.000.000  K/0  Rp58.500.000  K/I/  Rp112.500.000
0
 TK/1  Rp58.500.000  K/1  Rp63.000.000  K/I/  Rp117.000.000
1
 TK/2  Rp63.000.000  K/2  Rp67.500.000  K/I/  Rp121.500.000
2
 TK/3  Rp67.500.000  K/3  Rp72.000.000  K/I/  Rp126.000.000
3
Contoh Penghitungan :
Pak Andi memiliki penghasilan tahunan sebesar Rp150.000.000, dengan status menikah dan memiliki
satu tanggungan. Besar PPh yang harus dibayar adalah sebagai berikut.
 PTKP Pak Andi (menikah dengan 1 tanggungan)
= Rp58.500.000 + Rp4.500.000 = Rp63.000.000
 Penghasilan Kena Pajak Pak Andi (penghasilan bruto – PTKP)
= Rp150.000.000 – Rp63.000.000 = Rp87.000.000
 Total PPh Pasal 21 yang harus dibayarkan
= (Rp50.000.000 x 5%) + (Rp37.000.000 x 15%)
= Rp2.500.000 + Rp5.550.000 = Rp8.050.000/tahun.
 PPh 21 per bulan = Rp. 8.050.000 ÷ 12 = Rp670.833.
Tarif progresif ditunjukkan dengan penghitungan pajaknya, dari total penghasilan kena pajak
berjumlah Rp87.000.000, terlebih dahulu dikenakan pajak 5% pada Rp50.000.000 kemudian sisanya
dikenakan pada tarif pajak selanjutnya.
Contoh di atas merupakan ilustrasi dengan hitungan sederhana saja. Pada praktek yang sebenarnya,
besaran penghasilan bersih yang dikenakan pajak akan dikurangi berbagai variabel lain seperti iuran BPJS
Ketenagakerjaan, iuran bulanan rutin lain, potongan absensi, dan variabel lainnya. Prosesnya seperti yang
dijelaskan di atas, namun dengan variabel yang lebih banyak.

B. Wajib Pajak Badan


Setiap badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia sudah pasti merupakan Subjek
Pajak Dalam Negeri. Sementara, penghasilan atas usaha yang didapatkan oleh badan disebut sebagai
objek pajak. Dengan demikian, status Badan tersebut menjadi wajib pajak yang berkewajiban
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak atas penghasilannya sesuai ketentuan perpajakan. PPh

11
Badan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh WP Badan selama tahun pajak berjalan
tanpa pengecualian, baik itu WP Badan skala mikro, kecil, menengah, maupun besar.
Pemerintah memang telah mengatur pembedaan tarif PPh berdasarkan skala bisnis suatu badan,
seperti WP Badan UMKM (peredaran bruto di bawah Rp 4,8 M dan belum wajib melakukan
pembukuan) diberikan kesempatan untuk memanfaatkan tarif PPh Final sebesar 0,5%. Akan tetapi,
pemanfaatan PPh Final tersebut berlaku secara opsional sehingga WP Badan UMKM sekalipun bebas
memilih untuk menghitung PPh Badannya mengggunakan tarif PPh normal  seperti diatur dalam pasal
17 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu sebesar 25% x Penghasilan Kena Pajak
(Taxable Income).
1. Mekanisme Penghitungan Pajak Badan
 Penghasilan Kena Pajak
Sebelum melakukan perhitungan Pajak Penghasilan Badan Usaha, terlebih dulu harus
mengetahui nominal penghasilan kena pajak badan. Bagaimana caranya? Dengan mengurangi
penghasilan neto fiskal dengan kompensasi kerugian fiskal. Di mana penghasilan neto fiskal
merupakan penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha
maupun bukan, setelah melewati penyesuaian fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan.
Sedangkan kompensasi neto fiskal adalah kerugian yang dialami badan. Apabila menggunakan
pembukuan, kerugian tersebut dapat dikompensasi selama lima tahun secara berturut-turut.

 Penghitungan PPh Terutang


Untuk mendapatkan nominal ini, Anda dapat mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif
pajak yang berlaku. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini berlaku sejak
tahun pajak 2010. Tarif lebih rendah dapat dikenakan kepada wajib pajak badan dalam negeri
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Berbentuk perseroan terbuka.
2. Memiliki sedikitnya 40% jumlah keseluruhan saham yang disetor dan diperdagangkan di bursa
efek Indonesia.
3. Tarif yang dikenakan sebesar 5% lebih rendah daripada tarif normal.
2. Ketentuan Lain Tentang PPh Badan
Selain mekanisme di atas, ada juga hal lain yang harus Anda pahami, yaitu peredaran bruto dan
kepentingannya dalam penghitungan PPh Badan. Peredaran bruto adalah seluruh penghasilan yang
diterima, baik orang pribadi maupun badan. Jika wajib pajak memilih untuk tidak melakukan
pembukuan, PKP akan dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Sebaliknya,
jika wajib pajak melakukan pembukuan yang benar, penghitungan PKP dilakukan berdasarkan
catatan yang tertulis di pembukuan.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang dimaksud dapat dilihat pada pasal 14 UU No. 36
Tahun 2008 tentang PPh. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dibagi dalam 2 jenis berdasarkan jumlah peredaran bruto, yaitu:

12
 Peredaran Bruto hingga Rp50 Miliar
Penghasilan Kotor (Bruto)
Tarif Pajak
(Rp)
Kurang dari Rp4,8 Miliar 50% x 25% x Penghasilan Kena Pajak
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d [(50%x25%) x Penghasilan Kena Pajak yang Memperoleh
Rp50 Miliar Fasilitas] + (25% x Penghasilan Kena Pajak Tidak Memperoleh
Fasilitas

 Peredaran Bruto di atas Rp50 miliar


PPh badan terutang dengan peredaran bruto di atas Rp50 miliar akan dihitung berdasarkan ketentuan umum
atau tanpa fasilitas pengurangan tarif. Jadi dapat disimpulkan bahwa besar PPh badan tetap adalah 25% x
penghasilan kena pajak.

Penghasilan Kotor (Bruto)


Tarif Pajak
(Rp)
Kurang dari Rp4.8 Miliar 1% x Penghasilan Kotor (Peredaran Bruto)
{0.25 – (0.6 Miliar/Penghasilan Kotor)} x
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
PKP
Lebih dari Rp50 Miliar 25% x PKP

Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan Usaha


Pada tahun 2018, PT Maju Bersama memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp2 Miliar. Maka besar pajak
penghasilan PT Maju Bersama adalah:
 Pajak yang harus dibayar adalah
= 50% x 25% x Rp5 Miliar = Rp625 juta.
Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2018, PT Maju Bersama telah menyetor pajak
penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp100 juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp200 juta.
 Pajak penghasilan terutang PT Maju Bersama adalah
= Rp625 juta – Rp100 juta – Rp200 juta = Rp325 juta.
Rp325 Juta adalah angka yang bisa dicicil oleh PT Maju Bersama ke kas negara atas penghasilan Badan
Usaha di tahun 2018. Inilah sisa pajak yang dibayar PT Maju Bersama ke Kas Negara atas pajak penghasilan
badan usaha di tahun 2018. Dalam bentuk tabel, berikut adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan
PT. Maju Bersama.
No Keterangan Jumlah
1 Penghasilan Kotor Rp 2.000.000.000
2 Kredit Pajak PPh 21 Rp 100.000.000
3 Kredit Pajak PPh 23 Rp 200.000.000
4 Pajak Penghasilan Badan (50% x 25% Rp2 Miliar) Rp 625.000.000
5 Pajak Penghasilan Terutang ((4)-(2)-(3)) Rp 325.000.000

Contoh penghitungan pajak penghasilan perusahaan di atas merupakan ilustrasi perhitungan pajak yang sudah
disederhanakan. Pada kenyataannya, proses penghitungan pajak penghasilan dalam perusahaan tidaklah
sesederhana itu dan memerlukan laporan dari berbagai akun keuangan.

13
14

Anda mungkin juga menyukai