Buku Imk Bab I 5
Buku Imk Bab I 5
DIAJUKAN OLEH
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tanah adalah salah satu objek hukum yang paling sering mengalami sengketa dewasa
ini. oleh karena itu pengaturan terhadap hak-hak atas tanah telah dilakukan oleh pemerintah
dan para pembuat undang-undang sejak masa silam. Di Indonesia hak-hak atas tanah diatur
dalam undang-undang pokok agraria atau UUPA. Hak-hak atas tanah menurut UUPA antara
lain adalah hak milik, hak hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memugut hasil hutan,hak guna bagunan dan hak-hak lain yang bersifat sementara.
Bagi orang Papua tanah adalah seorang ibu yang memberikan kehidupan, begitu sakral
karena peranannya yang begitu kuat dan penting dalam kehidupan orang Papua. Rata-rata
semua suku di Papua melihat tanah sebagai sumber kehidupan yang memiliki peranan sangat
penting dalam kehidupan mereka.
2
Pentingnya tanah tersebut mempegaruhi sistem kepemilikan yakni berdasarkan hak
ulayat yang sudah dibagi-bagikan menurut suku, klen, dan marga/keret. Hal ini menunjukkan
bahwa semua tanah di Papua sudah dimiliki oleh orang papua melalui hak ulayat masing-
masing suku, klen, dan marga/keret yang ada. Kepemilikan atas tanah pada masyarakat adat
Papua adalah kepemilikan komunal berdasarkan klen, keret atau marga .Dijumpai pula
kepemilikan komunal berdasarkan beberapa klen seperti di Sentani dan genyem.
Kemudian terkait dengan tanah hak milik dan hak pakai, menurut sebagian besar klen
adalah milik hak bersama. Setiap klen mempunyai hak milik atas wilayah – wilayah tertentu
dan bukan milik pribadi. Oleh karena itu pemakaian hak milik bersama jika dimanfaatkan
oleh mereka sendiri yang mempunyai hak atas tanah itu tidak jadi masalah. Tetapi akan
menjadi masalah jika ada pihak lain yang dengan sengaja mengklaim tanah tersebut menjadi
hak milik; untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti konflik antar klen karena
tanah maka terlebih dahulu harus berunding secara kekeluargaan.
Dalam budaya orang Papua sebenarnya tidak mengenal yang namanya hak pemilikan dan
pelepasan tanah, istilah ini merupakan budaya baru karena ada mobilisasi karena kepentingan
dari pemerintah atau perusahaan dan pembagunan yang membutuhkan tanah.karena bagi
orang Papua melepaskan tanah berati sama saja dengan membiarkan diri kelaparan dan
akhirnya akan mati jika dia sebagai petani yang sehari-hari hidupnya hanya bergantung pada
tanahnya.
Dewasa ini, banyak orang Papua yang mulai menjual tanahnya sendiri, dan mereka
kelihatan sebagai pendatang di tanahnya sendiri. Kadang dalam proses jual beli tanah ini
sering menimbulkan konflik tanah. Seperti salah satu marga menjual tanah tanpa berunding
terlebih dahulu dengan keluarganya (klen/marga/keret). Sehingga dikemudian hari sesama
marganya yang masih memiliki hak atas tanah tersebut bisa kapan saja mengklaim tanah
tersebut kembali sebagai milik bersama klen sehingga pihak yang membeli sering bertikai
dengan orang yang menjual.
Ada sekitar ± 250 Suku di Papua ini memiliki sistem pembagian tanah sebagai ahli
waris untuk setiap suku berbeda-beda. Tetapi pada umumnya di bagi berdasarkan masing-
masing suku, klen, dan marga/keret seperti yang telah dibahas sebelumnya. Salah satu suku
dari yang sudah di sebutkan diatas adalah suku Dani yang mendiami daerah pegunungan
tengah Papua. salah satu wilayah yang di diami oleh suku Dani adalah di Kabupaten Puncak
secara geografis terletak di bawah kaki Gunung Puncak Cartenz masih sangat kental dengan
budanya.
Peneliti tentang pembagian hak milik tanah adat menurut suku Dani yang tinggal di
distrik Sinak, Kabupaten Puncak Papua menurut peneliti perlu dilakukan karena mereka
meganggap bahwa tanah adalah milik mereka yang diwarisi terus menerus dan jika ada marga
lain mengklaim mereka akan perang yang menelan banyak korban jiwa.
3
1. Bagaimana pembagian hak milik tanah adat menurut suku Dani Di Distrik Sinak
Kabupaten Puncak Papua.
2. Apa dampak positif dan negatif dari pembagian hak milik tanah adat menurut suku
Dani Di Distrik Sinak Kabupaten Puncak Papua
1.4. Mengetahui bagaimana pembagian hak milik tanah adat menurut suku Dani Di
Distrik Sinak Kabupaten Puncak Papua.
1.5. Mengetahui apa dampak positif dan negatif dari pembagian hak milik tanah adat
menurut suku Dani Di Distrik Sinak Kabupaten Puncak Papua.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini bagi peneliti dapat menambah pengetahuan terkait masalah yang
diteliti yaitu mengenai pembagian hak milik tanah adat pada suku Dani. Secara teoritis
penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan referensi bagi penulis lain
jika mengambil judul skripsi mirip dengan judul yang saya teliti. Kemudian secara praktis
penelitian ini bermanfaat memberi gambaran kepada pemerintah, dan masyarakat khususnya
Kab.Puncak dan pada umumnya masyarakat luas,mengenai sistem pembagian hak milik tanah
adat pada suku Dani yang ada di distrik Sinak Kab.Puncak.
4
BAB III
PERMASALAH PEMBAHASAN
Jadi yang dimaksud dengan hak milik, adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah. Hak milik dapat berlangsung terus menerus,
diwariskan dari satu orang ke orang lainya yang memenuhi sebagai ahli waris, tidak
mempunyai jangka waktu tidak mudah terhapus dan mudah dipertahankan hak milik ini
terjadi karena antara lain pewarisan dan hukum adat,pembukaan tanah,dan penetapan
pemerintah. Hak milik bisa juga hapus karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 UUPA,
dilepas secara suka rela oleh pemiliknya untuk kepentigan umum
Menurut soepomo dalam Soekanto (1983) masyarakat hukum adat di Indonesia dapat
dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu
keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial); kemudian hal itu
ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut di atas (Soepomo
1977:51dan seterusnya). Dari sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada
yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau
mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah serta merupakan
perseringkatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing bentuk
masyarakat hukum adat tersebut, dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang
tinggal, bertingkat, dan berangkai. Ter Haar dan Soepomo mempunyai pandagan yang
berbeda ; disini akan diusahakan untuk menggabungkannya supaya diperoleh suatu gambaran
yang lebih luas. Dengan demikian maka dapat diperoleh satu skema dari dasar dan bentuk
masyarakat adat sebagai berikut:
5
Masyarakat Hukum Adat
Dasarnya BentukNya
Tunggal
Genealogis
Bertingkat
Teritorial
Berangkai
Genealogis dan Teritorial
Apa bila pembicaraan dibatasi pada masyarakat hukum adat genealogis dan teritorial
maka menurut Soepomo ada lima jenis masyarakat hukum adat semacam itu dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soepomo, 1977:55, 56,57).
1). Suatu daerah atau kampong yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian
golongan (clandeel). Tidak ada golongan lain yang tinggal di daerah itu.Daerah atau
kampong- kampong yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu
bagian clan. Ter Haar menulis bahwa susunan rakyat semacam itu barangkali terdapat di
daerah pedalaman di pulau-pulau Enggano. Buru, Seram, dan Flores. Di tepi-tepi laut di
pulau-pulau adalah kampong- kampong yang terbaur yang penduduknya terdiri atas beberapa
famili yang telah memisahkan diri dari golongan-golongan (clan)di pedalaman. Pun terdapat
pula pada tepi-tepi laut tersebut penduduk orang-orang Indonesia yang berasal dari seberang
lautan. Di daerah pedalamanIrian Barat adalah Clan-calan yang masing-masing mendiami
daerah sendiri-sendiri akan tetapi dekat tepi laut adalah terdapat beberapa golongan kecil
bernama keret yang berdiri sendiri dan masing-masing mendiami tanah yang tertentu.
Tempat-tempat kediaman para famili tersebut berada di dalam daerah kampong – kampong
yang di kepalai oleh seorang kepala kampong kepala kampong ini hanya mempunyai sedikit
kekuasaan terhadaporang-orang diluar golongannya sendiri.
2). Di Tapanuli terdapat tatasusunan rakyat sebagai berikut; Bagian-bagian clan (marga)
masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu
marga, didalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu ada juga terdapat satu atau marga lain
yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula
mendiami daerah itu yang di dirikan huta-huta di daerah tersebut disebut marga asal, marga
raja, atau marga tanah yaitu marga yang menguasai tanah- tanah didaerah itu di sebut marga
6
rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suat huta adalah kurang daripada kedudukan marga
raja. Antara marga asal dan marga rakyat ada hubungan perkawinan yang erat.
3). Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat genealogis-teritorial ialah yang kitadapati
pada Sumba Tengah dan Sumba Timur. Disitu terdapat satu clan yang mula-mula mendiami
suatu daerah yang tertentu dan berkuasa didaerah itu akan tetapi kekasaan itu kemudian
berpindah ke Clan lain yang masuk ke daerah tersebut dan merebut kekuasaan pemerintah dari
clan yang asli itu. Kedua clan itu kemudian berdamai dan bersama-sama merupakan kesatuan
badan persekutuan daerah. Kekuasaan pemerintah dipegang oleh clan yang datang kemudian
sedang clan yang asli tetap menguasai tanah-tanah di daerah itu sebagai wali tanah
Soepomo (1977:81,82) dalam Soepomo (1983) menyatakan bahwa “hukum waris itu
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-
barang harta benda dan barang-barang dan tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia
kepada trurunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia . memang meningggalnya
bapak atau ibu adalah suat proses yang penting bagi proses itu. Akan tetapi sesungguhnya
tidak mempegaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta
bukan benda tersebut”.
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang
berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, yang mungkin merupakan prinsip patrilineal ,
dan matrilineal. Prinsip –prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapanahli
waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.
a). Sistem kewarisan individu yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli
waris mewarisi secara peroragan .
b). Sistem kewarisan kolektif dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama)
mewarisi peninggalannya yang tidak dapat dibagai-bagi pemiliknya kepada masing-
masing ahli waris.
c). Sistem kewarisan mayor. Dimana mayor laki-laki yaitu apabila anak laki-laki tertua
pada saat pewarisan meninggal merupakan ahli waris tunggal. Dan sebaliknya mayor
perempuan yaitu apabilah anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah
ahli waris tuggal.
“sifat individu ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu
langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat dimana hukum kewarisan itu berlaku
sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat
7
yang bilateral tetapi juga dapat dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di
tanah batak, malahan di tanah batak itu disana sini mungkin pulah dijumpai sistem
mayorat dan sistem kolektif yang terbatas demikian juga sistem mayor.
Pada hakikatnya subyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris.Pewaris adalah
seseorang yang meninggalkan harta warisan sedangkan ahli waris adalah seseorang atau
beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan.
Pada umumnya mereka yang ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan hidup
sangat dekat dengan si peningal warisan.Pertama pada dasarnya yang menjadi ahli waris
adalah anak-anak dari si peninggal harta,baik anak laki-laki dan ata pun perempuan.Apabila di
adakan perincian,maka masyarakat hukm di Indonesia mengadakan pembedaan dalam hal
anak-anak sebagai ahli waris.
Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris itu adalah harta keluarga itu. Di
muka telah dinyatakan harta keluarga itu dapat berupa :
8
a). Harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa ke
dalam keluarga,
b). Usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan,
c). Harta yang merupakan hadiah kepada suami isteri pada waktu perkawinan.
d). Harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan. Yang menjadi
pertanyaan kita adalah bahwa dalam daftar harta yang diungkapkan diatas,harta mana sajakah
yang dapat menjadi harta yang diwariskan?
a). Harta milik sendiri dari ayah yang berupa pusaka (tanah),
1) Milik sendiri,
Sedangkan pada masyarakat Bali, berdasarkan hasil diskusi kedudukan wanita dalam Hukum
Waris menurut Hukum Adat Bali,maka hukum warisan itu terdiri dari:
1). Harta pusaka yang tidak dapat dibagi, ialah harta warisan yang mempunyai nilai magis-
relegius contohnya adalah tempat ibadah (pemerejaan,sanggah),alat pemjaan (siwa
krana),keris yang bertua,dan lain-lain.
2). Harta pusaka yang dapat dibagi adalah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis-
relegius,misalnya sawah, ladang, dan lain-lain
b). Harta bawa,yaitu harta yang dibawa baik mempelai wanita Maupun pria ke dalam
perkawinan,misalnya: jiwa dana,tatadan,akskaya.
9
Hukum waris memiliki kaitan erat dengan hukum adat dalam arti luas. Pusat kehidupan
pribadi masyarakat Dani terdapat pada satuan keluarga, dalam arti tercakup di dalamnya
suami, istri dan anak-anaknya yang menempati suatu rumah. Di samping keluarga kecil,
terkadang dalam keluarga dari anak pria yang telah menikah tinggal menyatu di dalamnya.
Sedangkan anak wanita yang telah kawin mengikuti suami dan tinggal pada kerabatnya, dan
bagi anggota keluarga yang sudah mampu bekerja terkadang diadakan pembagian kerja dan
atau bersama secara gotong-royong. Pembagian kerja itu terdapat pada bidang-bidang
pekerjaan, misalnya untuk pria bekerja berburu sedangkan wanita bekerja di rumah serta
mengumpulkan kayu api, bekerja bersama dalam berkebun, dan sesekali berburu.
a). Harta benda material berupa rumah, peralatan rumah, alat-alat kebun, alat-alat
berburu, alat-alat tombak (SEGE), busur panah (SIKHE), kapak batu(JE), noken (SU atau
JERAK) serta bulu kawari (SUELAGE). Perhiasan dansa dari batu putih (MUKHAK),
perhiasan dada (WALIMO). Penutup kemaluan wanita (JOKAL), alat penutup kemaluan
lelaki (HOLIM atau KOTEKA) dan sebagainya.
b). Harta benda immaterial berupa hak tanah, hak mengambil hasil hutan, hak menuntut,
hak menyatakan perang suku, dan sebagainya.
c). Ilmu-ilmu gaib hanya dimiliki oleh beberapa keluarga saja ya\ng jumlahnya tidak
terlalu banyak. Ilmu tersebut maksud baik meliputi : menolong orang sakit,
menyembuhkan orang yang kemasukan setan, dan sebagainya, sedangkan maksud jahat
meliputi : segala maksud dan tindakan yang merugikan orang lain.
Dari ketiga harta benda tersebut, diwariskan oleh kepala keluarga kepada keturunannnya
secara turun-temurun. Pada masa sekarang ilmu-ilmu gaib tidak diwariskan, karena pengaruh
difusi dan akulturasi budaya, baik melalui ]roses pendidikan maupun melalui ajaran agama.
Dengan demikian yang menjadi sasaran utama warisan adalah harta benda material dan
immaterial.
2. Pewaris
Di seluruh kampong atau dusun masyarakat suku Dani menganut sistem kekerabatab
dengan garis keturunan Patrulinel. Suami merupakan pemilik dan pengusaha penuh atas harta
benda. Ia sebagai kepala keluarga berhak mewaris.
Apabila di dalam suatu rumah terdapat beberapa keluarga yang disebabkan oleh karena
anak lelaki yang sudah kawin masih tinggal bersama keluarga orang tuanya, maka si pria
orang tua dan anak laki-laki itulah yang menjadi kepala rumah tangga (keluarga), dan
memiliki kekuasaan penuh atas harga benda dan dialah pewaris.
Harta benda yang dimiliki suatu keluarga pada umumnya dikuasai penuh oleh si kepala
keluarga secara turun-temurun. Jika seorang kepala keluarga meninggal dunia maka harta
benda seluruhnya diserahkan kepada anak lelaki sulung yang telah kawin. Dialah yang berhak
mengurusi penggunaan harta benda tersebut. Jika seorang adiknya laki-laki kawin, maka ia
10
akan diberi harta benda khususnya yang berupa: tanah, perabot rumah, alat berburu, dan alat
perlengakapan hidup lainnya.
Anak sulung tersebut bertanggung jawab penuh atas pembiayaan kehidupan anggota
keluarganya sepeninggal almarhum ayahnya. Harta benda yang ditinggalkan oleh kepala
keluarga tersebut tetap digunakan untuk keperluan anggota keluarga sebagaimana biasa
sebelum sang ayah meninggal. Tidak terdapat perubahana atas harta warisan karena tidak ada
pembagian secara difinitif kecuali sebagian kecil saja. Hanya kepengurusanya saja yang
beralih tangan pada anak lelaki tersebut.
4. Ahli Waris
Semua harta benda, baik yang bersifat material maupun yang bersifta immaterial yang
diwariskan jatuh ke tangan anak lelaki tertua, jika ternyata kepala keluarga yang meninggal
memiliki anak lelaki dewasa. Terdapat beberapa ketentuan sebagai berikut:
a). Jika si anak lelaki masih kecil maka harta benda jatuh ke tangan istri dan dialah yang
bertanggung jawab atas kepengurusanJika sudah ada lelaki yang sudah dewasa dan
kawin, maka beralihlah tugas pengurusan harta benda warisan tersebut dan istri
almarhum (ibu sang anak) kepada anak tersebut.
c). Jika seorang kepala keluarga meninggal tidak memiliki istri lagi dan anak-anak lelaki
masih kecil maka harta benda warisan jatuh ke tangan adik almarhum.
d). Warga kampung (dusun) dri komunitas adat, baik rakyat biasa maupun tokoh atau
pemimpin adat dapat beristri lebih dari satu. Kemungkinan sebabnya karena istri tidak
mendapat anak. Dalam hal begini suami umumnya mengambil istri kedua dari keluarga
atau kerabat dekat istri pertamanya. Istri pertama, kedua, dan ketiga secara tradsional
(walaupun tidak ada ketentuan hukum adat yang tegas, maksimal seorang pria hanya
dapat beristri tiga), tinggal dalam satu rumah karena hubungan famili masih dekat. Jika
kepala keluarga meninggal keluarga, maka harta benda jatuh ke tangan anak laki-laki jika
sudah ada yang dewasa atau sudah kawin. Jika belum, maka harta benda jatuh ke tangan
istri pertama.
e).Khusus bagi para pejabat adat, hak untuk mewarisi harta benda simbul-simbul pejabat
adat seperti mahkota, panah, gelang, ikat pinggang adalah anak laki-laki yang sulung.
Dengan beralihnya barang-barang simbul pejabat adat, maka beralih pulalah jabatannya.
f). Setiap warga kampong yang tidak mempunyai anak laki-laki, akan selalu berusaha
agar famnya dapat diteruskan dengan cara mengangkat anak, terutama diambilkan dari
anak saudara laki-laki atau saudara perempuan. (Poesprodjo 1992: 62-67)
Hukum tanah ini menyangkut hak milik tanah, yang setidaknya dapat dibagi di dalam
sub-sub bagian hak milik tanah berupa: tanah adat, tanah perseorangan, pemindahan hak atas
tanah, penyelesaian perkaraa perselisihan tanah dan tanah milik perseorangan.
Tanah adat berupa areal dusun atau tanah tertentu yang dikuasai oleh peresekutuan
hukum. Di berbagai kampong (dusun) di Assologaima sperti kampung atau dusun Perabaga,
11
KImbim, dan sebagainya dikenal 2 (dua) macam tanah dalam hal penggunaan, yaitu: tanah
yang digarap dan tanah yang tidak digarap.
Tercakup di dalam tanah yang digarap adalah tanah kebun, daerah pengembalaan
ternak, perikanan bahkan pada setengah dasa warsa tgerakhir ada juga areal tanah yang
dijadiakn tanah persawahan bersama. Sedangkan tanah yang tidak digarap dimaksud dalam
hal ini adalah tanah gundul, semak-semak belukar, rawa-rawa hutan, dan alang-alang.
Tanah adat bukankalah tanah yang dikuasai atau dimilki secara perseorangan, ataupun
oleh kepala suku (keret suku maupun ONDAFI), akan tetapi tanah yang dimiliki oleh
persekutuan yang disebut TANDUT. Luas tanah TANDUT tidak ditentukan secara pasti,
karena batas-batasnya umumnya berwujud sungai, batu, gunung, pohon-pohonan dan dapat
pula berwujud patok berupa kayu atau anak panah, yang umumnya tanah tersebut terletak di
dalam dan di luar kampong (dusun) yang didiami sebagai pemukiman kolektif.
Setiap orang warga suku (masyarakat adat), akan mendapat sebidang tanah yang
luasnya sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk menggarapnya. Tanah milik
bersama ini berada di bawah kekuasaan seorang IRAM dan para pejabat adat lainnya. Segala
suku yang berada di dalam kampong ini juga mempunyai hak milik atas tanah ini yang
terbatas pada hak mengusahakan saja, baik terhadap tanah liar maupun tanah garapan.
(Poesprodjo 1992:68)
Tentang tanah liar yang tidak digarap, prinsipnya juga tidak dibenarkan bagi orang
luar untuk mengambil manfaatnya, kecuali jika mendapat ijin si pemilik atau persekutuan.
Yang berhak menggarap tanah adat adalah perseorangan warga suku bersangkutan.
Umumnya tanah yang telah digarap ini diberi tanda pengenal berupa jenis pohon yang
lazim dikenal oleh pendududk setempat, yang dalam istilah local tanda itu dinamakam
UNGGRE dan WANGGI. Orang yang berhak mengerjakan tanah tersebut adalah untuk
seumur hidupnya, sehingga jika meninggal hak itu diserahkan kepada keturunannya. Tanah
yang telah digarap umumnya dekat letaknya dengan kampong, sementara yang jauh dari
kampong umumnya belum digarap. Bagi mereka yang berasal dari luar kampong yang
diijinkan mengerjakan tanah kampung, harus memenuhi syarat berupa:
12
Tanah yang dikerjakan orang diluar ini umumnya diberi tanda tertentu sesuai denagn sifat
kesementaraannya. Pemilik tanah tetap menjadi pengusaha pertama. Jika tanah itu berbatasan
denagn tanah garapan orang lain, maka pemberian tanda untuk batas harus dilakukan, dalam
hal mulai timbulnya hak penggarapan, seseorang dapat digolongakan ke dalam:
1. Bagi seorang warga kampong hak itu berlaku sejak tanah itu diserahkan oleh Kepala suku
Besar atau seorang bangsawan lainnya sebagai imbalan terhadap jasa-jasanya yang diberikan;
2. Bagi yang bukan warga kampong hak usaha itu berlaku setelah tanahh itu diserahkan oleh
pemilik pertamanya dengan persetujuan Kepala Suku Besar yang bersangkutan.
Hak mendirikan rumah di atas tanah adat, bagi yang bukan warga kampung, hanya diberikan
denga syarat-syarat tertentu pula. Dengan menetap untuk kemujdian menjadi warga kampong,
maka ia menjadi berhak menggarap dan memungut hasilnya.
Perbedaannya dengan warga kampong biasa adalah bahwa orang itu hanya diberikan hak
sampai meninggalnya. Artinya tanah itu kemudian menjadi milik pengusaha tanah
pendahulunya. Jadi tidak dapat diwariskan kepada keturunannya.
Di daerah ini pemindahan hak atas tanah tidak dilaksanakan dengan cara jual beli, sebab
menurut pandangan orang-orang suku Dani tanah itu diberikan oleh Tuhan kepada manusia
untuk dipakai. Semboyan mereka adalah selama hidup tanah itu mereka pakai bersama.
Apabila meninggal dunia dapat diwariskan kepada yang masih hidup, jadi apabila ada orang
luar yang ingin memiliki sebidang tanah untuk diusahakan, maka kepadanya dapat diberikan
atau diserahkan tanah untuk diusahakan dengan syarat-syarat tertentu yaitu membayar ganti
rugi atas tanah dan tumbuh-tumbuhan dan benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut.
(Poesprodjo 1992:68-71).
Tanah memiliki nilai yang sangat tinggi dilihat dari kaca mata apa pun, termasuk kaca mata
sosiologi,antropologi, psikologi, politik, militer, dan ekonomi. Tanah merupakan tempat
berdiam,mencari nafka, berketurunan serta berketurunan, menjalankan adat istiadat dan ritus
keagaamaan.Di mata masyarakat tradisional, tanah merupakan kediaman para dewa dan roh
sehingga harus senantiasa di pelihara dengan baik.kalau tidak dewa dan roh akan murka.
Begitu bernilainya tanah sehingga manusia yang merupakan makhluk sosial akan
mempertahankan tanahnya dengan cara apa pun.Hal itu sudah dilakukan jauh sebelum
kebudayaan terbentuk. Artinya sudah demikian adanya sejak zaman manusia purba. Seperti
pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahakan wilayah kekuasaanya
yang sekarang kita kenal sebagai ‘teritori’ mereka sadar bahwa keberadaan wilayah teritori
merupakan penentu langsungan hidup diri. Perangpun dilakkan untuk mempertahankanya.
Perang demi perang tetap saja dilakukan manusia untuk mempertahankan dan meluaskan
teritori. Hal ini berlangsung hingga sekarang. Perang Palestina-Israel yang sering menguncang
13
stabilitas Timur Tengah dan dunia contohnya tanah atau teritori yang menjadi rebutan sejak
israel menajdi negara pada tahn 1948. Jadi tak terpungkiri bahwa tanah ini memiliki nilai.
Jika ditinjau dari sisi yuridis praktis,masalah pertanahan yang dapat disengketakan dapat
dirincikan dalam jenis-jenis sengketa diantaranya sebagai berikut:
Endang Suhendar dalam Syarief (2012) yang meneliti pola konflik pertanahan di Jawa
Barat tahun 1994 membuat pemetaan tentang sengketa pertanahan tentu pola yang kurang
lebih sama akan kita temukan di belahan negeri kita yang lain. Berikut ini pemetaan yang
dibuat. Penyebab status kepemilikan tanah (22,6%), status pengasaan tanah (31,5%), ganti
rugi akibat pembebasan lahan (34,70, dan status penggunaan (11,3).
14
2.2. Kerangka Pikir
Kerangka pikir
Hak Milik
(UUPA Nomor 5 Tahun 1960)
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini di Distrik Sinak Kab. Puncak. Penelitian ini akan segera dilakukan jika
telah disetujui.
Metode penelitian digunakan penulis dengan maksud untuk memperoleh data yang lengkap
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metode penelitian yang akan
penulis gunakan adalah Metode Kualitatif.
Informan penelitian yang dimaksud disini adalah narasumber yang terdiri atas kepala suku,
Pemerintah ( Instansi terkait, Kepala kampung dan Kepala distrik Sinak), Selain kedua
informan utama diatas masyarakat juga akan di wawancarai untuk memperoleh data yang
lebih akurat.
1. Jenis Data
Jenis data yang dimaksudkan disini adalah data primer dan sekunder
a). Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu hasil wawancara
kepada informan yaitu kepala suku, Pemerintah (Instansi terkait, Kepala kampung dan Kepala
distrik Sinak) dan masyarakat setempat.
b). Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku pustaka, artikel, media cetak, dan
dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
2. Sumber Data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti untuk mengambil data yaitu
pertama dengan cara observasi secara langsung di lokasi penelitian, kedua dengan cara
wawancara tidak terstruktur dan ketiga adalah study pustaka.(Tika, 2005).
16
Pengamatan langsung dilapangan yaitu peneliti langsung turun kelapangan atau lokasi
penelitian dan mewawancarai informan atas kejadian konflik perang suku yang terjadi pada
tahun 2011.
2.Wawancara mendalam
Wawancara mendalam ini peneliti lakukan kepada informen yaitu pemerintah (diwakili salah
satu orang) kemudian Tokoh agama (perwakilan dari gereja yaitu pendeta), dan Tokoh adat
( salah satu kepala suku baik itu perwakilan dari suku Dani atau suku Damal) yang akan
menjadi responden dalam penelitian ini.
Kemudian quisioner atau pertanyaan yang akan diberikan kepada responden adalah mengenai
penyebab dan proses penyelesaian konflik perang suku ini.
3.Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu data-data atau informasi yang diperoleh melalui buku-buku yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti, dokumen-dokumen yang terkait dari pemerintah setempat,
artikel-artikel, dan media cetak. Intinya merupakan data sekunder yang mendukung data
primer.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian dengan tujuan untuk
mengambarkan suatu keadaan secara objektif. (Natoadmodso,1993). Dimana teknik analisa
data yang digunakan adalah analisis kualitatif yang mengutamakan urutan dan penjelasan dari
informan. menurut Nasution(1996:69) teknik Menganalisa atau mengolah data kualitatif
dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini. Pertama Reduksi data, kedua Display
data, dan ketiga Pengambilan kesimpulan verifikasi.
Pada penelitian ini reduksi data dilakukan dengan mengolah kembali seluruh cacatan lapangan
yang di peroleh dari hasil wawancara mendalam opservasi dan dokumentasi yang
keseluruhannya di rangkum. Dalam display data, seluruh data dirangkum secara lebih
sistemmatis agar mudah di ketahui temannya yang berhubungan dengan penelitian dan setelah
jelas maka peneliti dapat membuat kesimpulan. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi
dilakukan dengan menggunakan member cheek, megadakan trigulasi.
Ketiga macam kegiatan analisis data yang dikemukakan diatas saling berhubungan dan
berlangsung terus selama penelitian berlangsung jadi analisis data adalah kegiatan yang
kontiyu dari awal sampai akhir penelitian.
17
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Andri Prastowo, 1986. Inti Hukum Adat Indonesia. Surakarta:UNS Press
Poesprodjo, Monografi Hukum Adat daerarah Irian Jaya, Depkeh
Soekanto,Soerjono.1983.Hukum Adat Indonsia.Jakarta:Rajawali Pers
UU No.5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA)
http://prayitnobambang.blogspot.com/2011/11/kearifan-lokal-masyarakat-suku-dani.html?
m=1
18