Anda di halaman 1dari 16

BAB.

I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan
alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena
kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium
yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri
terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah
jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian
plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early
postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang
biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.

B. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
 Tujuan Umum:
 Memenuhi tugas Mata Ajaran Maternitas.
 Untuk memberikan gambaran dan pengetahuan mengenai Atonia Uteri
dan Retensio Plasenta.
 Tujuan Khusus :
 Untuk memberikan gambaran dan meningkatkan pengetahuan mengenai
Ibu Intranatal yang bermasalah dengan Atonia Uteri dan Retensio Plasenta.

C. METODE PENULISAN
Metode penulisan dalam pembuatan laporan ini adalah metode deskriptif yaitu suatu metode
yang memberikan gambaran tentang suatu masalah; yang dibuat dengan cara mengumpulkan data dan
menganalisis data. Metode tersebut mencakup:
1. Study Dokumentasi
Dimana penulis mempelajari dokumen yang ada kaitannya dengan masalah Atonia uteri dan
Retensio Plasenta.
2. Study Kepustakaan
Dimana penulis mempelajari teori dan membaca literature yang berhubungan dengan masalah
Atonia uteri dan Retensio Plasenta.
Selain itu, penulis juga memanfaatkan media internet untuk melengkapi data yang telah didapat
dan dikumpulkan oleh penulis.
D. SISTEMATIKA
Pada BAB I, penulis menjelaskan tentang latar belakang penulisan makalah, tujuan dari
penulisan makalah, metode penulisan yang digunakan oleh penulis dan sistematika penulisan makalah
yang digunakan oleh penulis.
Pada BAB II, penulis mengungkapkan tentang konsep dasar medik yang meliputi:
definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, penatalaksanaan medis, test
diagnostik dan laboratorium, dan komplikasi.
BAB. II
ATONIA UTERI
A. DEFINISI
Atonia uteria adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan
fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002).

Atonia juga dapat timbul karana salah penangan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan
mendorongnya kebawah dalam usaha melhirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari
uterus

B. ETIOLOGI

1. overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.


2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
3. Multipara dengan jarak keahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi
6.Dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum
terlepas dari uterus.

Kadang – kadang perdarahan disebabkan karna kelainan proses pembekuan darah akibat dari
hipofibrinogenemia (solusio plasenta, retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban). Apabila
sebagian plasenta lepas, dan sebagian lagi belum, terjadi perdarahan karna uterus tidak bisa
berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya, apabila
sebagian besar plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat
timbul perdarahan dalam masa nifas.

C. MANIFESTASI KLINIS

Uterus tidak berkontraksi dan lembek

Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)

D. PENCEGAHAN ATONIA UTERI


Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari
40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak
menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin
paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian
oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit
per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk
mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset
kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di
Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang
dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

E. MANAJEMEN ATONIA UTERI


1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan
oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan
monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.

2. Masase dan kompresi bimanual


Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik) jika uterus berkontraksi.
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum
/ vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera

*Jika uterus tidak berkontraksi maka :


Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

^ Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan
pantau kala empat dengan ketat.

^ Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan
diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL
+ 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI Jika uterus berkontraksi,
pantau ibu dengan seksama selama kala empat. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini
menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan
dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan
secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter,
jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian
oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi
cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani
uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit
sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan
(IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan
hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan hipertensi.

Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat


diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum
2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg =
1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping
prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang
disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal
temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan
pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan
kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia
uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh
atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan
masif yang terjadi.

4. Uterine lavage dan Uterine Packing


Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri
mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C
langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi
vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah
hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.

Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum


pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam
penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-
36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan
jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.

5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%.
Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas
segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang
sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk
ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan
ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium,
untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa
uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim
dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu
dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

• Ligasi arteri Iliaka Interna


Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum
dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna
dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable
dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi
denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.
Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

• Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch
1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.

• Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan
pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran,
dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

F. KOMPRESI BIMANUAL UTERUS ATONI

Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang
yang telah dicuci
Teknik :
Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan
1. Eksplorasi dengan tangan kiri

Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina


1. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus
dari belakang atas.
2. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga
menyempitkan lumennya.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan
secara sempurna.
Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka
histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir!

BAB. III
RETENSIO PLASENTA

A. DEFINISI
Retensio placenta adalah terlambatnya kelahiran placenta selama setengah jam setelah
persalinan bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio placenta berulang (habitual
retention placenta). Plasenta harus dikeluarkan karana dpat menimbulkaan bahaya perdarahan,
infeksi karana berbagai benda mati, dapat terjadi placenta inkarserata, dapat terjadi poli
placenta, dan terjadi segenerasi ganas korio karsinoma.
B. ANATOMI
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan tebal
lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram. Tali-pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di
tengah (insertio sentralis).

Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang
amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari
sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari
bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.

Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di desidua
basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam
ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah
tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-
vena di desidua.

Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa
metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur
berbagai antibodi ke janin.

C. ETIOLOGI
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
a). plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau
b). plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.

Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi
perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding
uterus karena:
a). kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva);
b). plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai
miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak
adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

D. PATOGENESIS

Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot
uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak
relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung
kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga
mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.

Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi
mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah
yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi
serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah
terjepit serta perdarahan berhenti.

Pengamatan terhadap persalinan kala III dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara
dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang
normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun
dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding
uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta.
Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang
aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta.
Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.

4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah
pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini
menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab.
Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan
ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.

Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus
menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta
yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.

Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding
uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang,
plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang
berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan.
Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang
biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan
pada tali pusat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :

1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak
efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di
cornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu
sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian
uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan
plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.

E. GEJALA KLINIS

a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai


episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion.
Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan
aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi
secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct),
melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi,
leukosit biasanya meningkat.

b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan activated
Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding
Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.

G. DIAGNOSA BANDING

Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis
pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.

H. PENATALAKSANAAN
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter
besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat,
apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9%
(normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta
adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit
anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang
(cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan
dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim
relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder.

.
I. PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta
efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi
organ.
3. Sepsis
4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA
Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas
Padjajaran Bandung, 1993.

Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.

Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana.
Jakarta: EGC, 1998.

Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A.
Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004

Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad
martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
http://askep-askeb-kita.blogspot.com/

Read more: http://askep-askeb.cz.cc/2010/01/askep-atonia-uteri.html#ixzz0jdBkGzXO

Anda mungkin juga menyukai