Anda di halaman 1dari 51

Teori Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek - aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak
mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa
belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu. Dengan kata lain proses pembelajaran menurut teori Behaviorisme adalah bahwa
proses pembelajaran lebih menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas
respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada
stimulus respon (S-R).
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
(Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon.

B. Ringksan Artikel
1. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
a. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000).
b. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana
reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku.
Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum
dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Paul, 1997)
c. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang
bila dikenai hukuman.

2. Teori belajar behavioristik


a. Pengertian teori belajar behavioritik
Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia
adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan.
Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor
lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.
Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan.
Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka
b. Ciri-ciri Teori Belajar Behavioristik
Teori Belajar Behavioristik memilki ciri-ciri untuk mempermudah menggunakannya
c. Aplikasi dalam Pembelajaran Behaviorisme
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
d. Implikasi Teori Belajar Behaviorisme
Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam sistem
pendidikan nasional, terlebih lagi pada jenjang pendidikan usia dewasa.

3. Penerapan Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada
Anak Sekolah Dasar
A. pengertian teori belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
B. Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi anak Sekolah Dasar

Salah satu tujuan utama pengajaran bahasa adalah mempersiapkan siswa untuk melakukan
interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah. Agar interaksi dapat bermakna bagi siswa,
perlu didesain secara mendalam program pembelajaran bahasa Indonesia. Desain yang bertumpu
pada kontekstual, konstruktif, komunikatif, intergratif, dan kuantum yang didasari oleh kompetensi
dasar siswa.
Kemampuan berbahasa Indonesia berarti siswa terampil menggunakan bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi. Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasa Indonesia. Menghayati bahasa dan sastra Indonesia berarti siswa memiliki
pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia, dan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Komentar Dari Artikel
1. Artikel Pertama
Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Pada artikel ini membahas tentang analisis dan aplikasi yang mempengaruhi dalam proses
pembelajaran
1. Analisis tengtang teori behavioristi

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-
respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan
yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif
dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau
shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta
didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang ber
pengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan
teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan
berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa
alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum)
bila hukuman berlangsung lama.
3. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk)
agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
2. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai
hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat,
reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori
behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini
tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti
kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai
Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan
reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa.Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar
siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat
unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas "mimetic", yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan
pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila siswa menjawab secara "benar" sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
2. Artikel Kedua
Teori Belajar Behavioristik
3. Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan
akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep "manusia mesin" (Homo
Mechanicus).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan
hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini
sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang
menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana
reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku.
Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum
dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan
yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan
peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi
proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan
semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and
Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4)
Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of
Responses (Gage, Berliner, 1984).
Prinsip-prinsip teori behaviorisme
o Obyek psikologi adalah tingkah laku
o semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek
o mementingkan pembentukan kebiasaan

4. Ciri-ciri Teori Belajar Behavioristik


Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni:
1. mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
2. mementingkan bagian-bagian (elentaristis)
3. mementingkan peranan reaksi (respon)
4. mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
5. mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
6. mementingkan pembentukan kebiasaan.
7. ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan "mencoba dan gagal' atau trial and error.

5. Aplikasi dalam Pembelajaran Behaviorisme


Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi
mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami
oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
6. Implikasi Teori Belajar Behaviorisme
Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi anak yang belum
dewasa. Karena hasil eksperimentasi bihavioristik cenderung mengesampingkan aspek-aspek
potensial dan kemampuan manusia yang dilahirkan. Bahkan bihaviorisme cenderung menerapkan
sistem pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang
netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia. Oleh karena itu
behaviorisme cenderung antropomorfis skularistik.
3. Penerapan Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada
Anak Sekolah Dasar
Kemampuan berbahasa Indonesia berarti siswa terampil menggunakan bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi. Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasa Indonesia. Menghayati bahasa dan sastra Indonesia berarti siswa memiliki
pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia, dan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia.
Pengertian Metodologi Pembelajaran Bahasa
Strategi pembelajaran merupakan aspek penting dalam kemajuan pendidikan di sekolah. Apalagi
saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam pelaksanaan pendidikan bagi warganya mulai
diversifikasi kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan siswa,
sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Guru diharapkan menjadi seorang yang kaya akan
teknik pembelajaran dan mampu menerapkan kapan, di mana, bagaimana, dan dengan siapa
diterapkan metode tersebut. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya aspek yang juga
paling penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah penguasaan metode pembelajaran.
Guru bahasa Indonesia harus menyadari sungguh-sungguh bahwa keterampilan
menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi akan tercapai bila siswa diberi kesempatan:
memahami teori, mempraktikkan teori, serta berlatih menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Metode adalah cara-cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem
tertentu. Hakikat metode pengajaran bahasa berdasarkan pendapat Basennang sesungguhnya tidak
lain adalah persoalan pemilihan bahan yang akan diajarkan, penentuan cara-cara penyajiannya, dan
cara mengevaluasinya. Orientasi pada tujuan pengajaran yang ingin dicapai.
Teknik merupakan satu rancangan menyeluruh untuk menyajikan secara teratur bahan-bahan
pengajaran bahasa, tidak ada bagian-bagian yang saling bertentangan dan semuanya berdasarkan
pada asumsi pendekatan (Parera,1993:93).

H.G. Tarigan (1989:18) menyatakan bahwa "Metodologi adalah ilmu mengenai metode, dan
istilah metode ini mencakup: silabus, pendekatan, strategi/teknik, materi, dan gaya guru. Jadi dalam
setiap pengajaran diperlukan suatu metode untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut".
2. Aplikasi Teknik Pengajaran Bahasa Indonesia di SD
Bahasa Indonesia diajarkan pada setiap jenjang sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar,
menengah, sampai ke perguruan tinggi. Walaupun pengajaran bahasa Indonesia sudah dilaksanakan
secara ekstensif dalam lembaga pendidikan formal, hasilnya belum memuaskan. Kemampuan
berbahasa Indonesia para siswa lulusan SD, SMP, ataupun SMA belum memadai. Bahkan para
dosen pembimbing skripsi di perguruan tinggi pun sering mengeluh karena kemampuan berbahasa
mahasiswanya kurang memuaskan.
Ahli pengajaran bahasa yang terkenal.
Macky,1972 dalam Djago Tarigan (1995: 21) menyatakan sebagai berikut:
metode bersifat netral, tidak ada metode yang baik dan dan tidak ada metode yang jelek . Baik atau
buruknya sesuatu metode ditentukan oleh guru yang menggunakan metode tersebut. Bila guru dapat
menggunakan metode tersebut maka maka metode itu menjadi baik. Sebaliknya, bila guru
menggunakan metode itu secara tidak tepat maka metode itu pun menjadi tidak baik.
3. Teknik Pengajaran Menyimak
Guru bahasa Indonesia di SD harus berupaya agar pengajaran menyimak disenangi oleh siswa. Hal
ini dapat terlaksana apabila guru benar-benar menguasai materi dan cara atau metode pengajaran
menyimak. Khusus dalam metode pengajaran menyimak tersebut guru harus mengenal, memahami,
menghayati, serta dapat mempraktikkan berbagai cara pengajaran menyimak. Teknik pengajaran
menyimak yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, antara
lain:
1. Teknik Pengajaran Berbicara
2. Teknik Pengajaran Membaca
3. Teknik Pengajaran Menulis
4. Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra
5. Teknik Pengajaran Kebahasaan
4. Penerapan Teori Behavioristik Dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Bagi Anak Sekolah
Dasar
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi
mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami
oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
teori behavioristik ini lebih menekankan pada hasil yang dicapai dan proses yang dilakukan.
Maka proses untuk pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia bagi anak sekolah dasar itu
sendiri lebih cocok pada metode pembelajaran yang lebih mementingkan hasil yang dicapai. Seperti
post test dan evaluasi hasil belajar yang bisa juga disebut ulangan atau ujian. Selain itu juga dengan
wawancara juga mampu mengetahui hasil berbicara siswa. Namun juga tidak dapat menghilangkan
pendekatan, metode, serta teknik pengajaran guru terhadap murid. Karena hal tersebut sangat
diperlukan untuk memberi pengetahuan atau stimulus pada murid unruk belajar dan mendapat ilmu
pengathuan yang baru dan murid juga akan berusaha belajar dengan sendirinya.
Selain itu yang harus diperhatikan adalah hasil dari ujian itu sendiri harus memenuhi aspek
kelulusan murid ata peserta didik, antara lain berbicara, menyimak, menulis, membaca, dan
kebahasaannya. Menurut penulis yang lebih cocok teknik pengajaran dalam bahasa Indonesia anak
sekolah dasar itu adalah dengan teknik pengajaran menulis. Karena kebanyakan pada era masa kini
dalam proses ujian adalah teknik menulis.
Adapun uraian teknik pengajaran menulis antara lain dijelaskan dibawah ini.
a. Teknik Menggambar Garis
b. Teknik Menyalin Huruf

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Teori behaviorisme memandang bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara stimulus dan respons.
b. Keberhasilan pembelajaran dipengaruhi banyak faktor, salah satu diantaranya adalah proses
pelaksanaan. Pelaksanaan pembelajaran yang baik dipengaruhi oleh perencanaan yang baik pula.
c. Suatu perencanaan berkaitan dengan penentuan apa yang harus dilakukan. Dalam perencanaan
pembelajaran, guru harus menentukan skenario atau strategi atau biasa disebut langkah-langkah
pembelajaran dengan baik sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan bagi para siswa.
d. Dalam pembelajaran, guru perlu memahami kondisi siswa dengan memberikan bimbingan dan
menyediakan lingkungan belajar yang tepat bagi siswa. Agar seorang guru dapat memberikan
perlakuan mendidik yang diharapkan, digunakan beberapa prinsip dalam pengajaran. Prinsip
pengajaran yang diberikan biasanya mengacu pada teori-teori belajar atau konsep psikologi tertentu.
e. Dalam perencanaan program pengajaran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar
pelaksanaan pengajaran dapat berjalan lebih lancar dan hasilnya dapat lebih baik, yaitu : Kurikulum,
kondisi sekolah, kemampuan dan perkembangan siswa serta keadaan guru. Apabila hal-hal tersebut
diperhatikan dan dilaksanakan maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.

?
Makalah Teori Belajar Sosial Albert Bandura

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim
Syukur alhamdulillah ke hadirat Allah subhanahu Wata'ala atas segala rahmat dan karuniaNya,
sebab hanya berkat izin dan ridhoNya kami dapat menyusun makalah dengan judul "Teori Belajar
Sosial Albert Bandura " yang sederhana ini. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan pada Program Pasca Sarjana MTP UIA Jakarta.
Sholawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Rosululloh SAW, beserta keluarga
dan sahabatnya serta kepada seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami sadar bahwa tersusunnya makalah ini tidak lepas dari adanya petunjuk, arahan serta
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkan kami untuk mengucapkan terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada yang terhormat:
1. Ibu Dr. Hj Rugaiyah, M.Pd
2. Rekan-rekan mahasiswa program Pasca Sarjana MTP UIA yang selalu bersemangat dan kepada
semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan penuh pada pembuatan makalah ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Makalah ini kami susun dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan segala kemampuan yang
kami miliki, namun kami sadar bahwa makalah ini masih banyak memiliki kelemahan dan
kekurangan, Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami mohon kritik, saran serta
masukan-masukan berharga dari semua pihak, terutama dari Ibu Dosen, teman-teman mahasiswa
pasca sarjana MTP UIA Jakarta serta pihak-pihak lain yang terkait, demi perbaikan dan kelengkapan
makalah ini di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis serta para pembaca pada
umumnya. Hanya kepada Allah kami mohon petunjuk dan ridhoNya, amin ya robbal alamin
Wassalamu'alaikum.

Penyusun

DAFTAR ISI
Hal

KATA PENGANTAR………………………………………………………i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……….……….……………………………… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 2
C. Tujuan Perumusan Masalah……….…………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………. 4
A. Latar Belakang Tokoh ………………………………………………… 4
B. Teori Pembelajaran Sosial……………………………………………... 4
C. Teori Peniruan ( Modeling )…………………………………………… 6
D. Unsur Utama Dalam Peniruan……………………………………….... 8
E. Ciri - ciri Teori Pemodelan Bandura…………………………………. 9
F. Eksperimen Albert Bandura…………………………………………… 11
G. Jenis - jenis Peniruan ( Modelling )…………………………………… 12
H. Kelemahan Teori Albert Bandura……………………………………… 14
I. Kelebihan Teori Albert Bandura………………………………………. 14
J. Implementasi Teori Bandura dalam Pembelajaran……………………. 15

BAB III KESIMPULAN…………………………………………………... 16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial ( Social Learning Teory ) salah
satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran,
pemahaman dan evaluasi. Ia seorang psikologi yang terkenal dengan teori belajar sosial atau
kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll
yang menunjukkan anak - anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan
bahwa faktor sosial dan kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam
pembelajaran. Faktor kognitif berupa ekspektasi/ penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan,
faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orangtuanya. AlbertBandura
merupakan salah satu perancang teori kognitif sosial. Menurut Bandura ketika siswa belajar
mereka dapat merepresentasikan atau mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif.
Banduramengembangkan model deterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktorutama yaitu
perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa salingberinteraksi dalam proses
pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi
lingkungan, faktor person/kognitifmempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya
kecenderungankognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor
kognitifmencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peranan penting. Faktor
person (kognitif) yang dimaksud saat iniadalah self-efficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté
(2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasidiri juga berarti meyakini diri sendiri
mampu berhasil dan sukses. Individudengan efikasi

diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika
menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itutidak berhasil. Menurut Bandura (1994),
individu yang memiliki efikasi diriyang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan.
Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan
dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepatmenghadapi masalah dan mampu bangkit
dari kegagalan yang ia alami.
Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model
merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi
timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi
lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Contohnya,
seseorang yang hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka dia cenderung untuk
memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap bahwa judi itu adalah tidak baik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan :
1. Bagaimana Latar Belakang Tokoh ?
2. Bagaimana Teori Pembelajaran Sosial ?
3. Bagaimana Teori Peniruan ( Modeling ) ?
4. Apa Unsur Utama Dalam Peniruan ?
5. Apa Ciri - ciri Teori Pemodelan Bandura ?
6. Bagaimana Eksperimen Albert Bandura?
7. Apa saja jenis - jenis Peniruan ?
8. Bagaimana Kelemahan dan Kelebihan Teori Albert Bandura ?
9. Bagaimana Implementasi Teori Albert Bandura dalam pembelajaran ?
C. Tujuan Perumusan Masalah
1. Untuk mengetahui Latar belakang Tokoh
2. Untuk mengetahui Teori Pembelajaran Sosial
3. Untuk mengetahui Teori Peniruan ( modeling )
4. Untuk mengetahui Unsur Utama dalam Peniruan
5. Untuk mengetahui Ciri - cirri Teori Pemodelan Bandura
6. Untuk mengetahui Eksperimen Albert Bandura
7. Untuk mengetahui Jenis - jenis Peniruan
8. Untuk mengetahui Kelemahan dan Kelebihan Teori Albert Bandura
9. Untuk mengetahui Implementasi Teori Bandura dalam Pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Tokoh


Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada 04 Desember 1925. Masa
kecil dan remajanya dihabiskan di desa kecil dan juga mendapat pendidikan disana. Pada tahun 1949
beliau mendapat pendidikan di University of British Columbia, dalam jurusan psikologi. Dia
memperoleh gelar Master didalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga
meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi
klinik, setelah lulus ia bekerja di Standford University.Beliau banyak terjun dalam pendekatan teori
pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen.Pada tahun
1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor dan seterusnya menerima anugerah American
Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahun 1980.
Pada tahun berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh
keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti
tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama
mendapat gelar doctor sebagai asistennya. Bandura berpendapat, walaupun prinsip belajar cukup
untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua
fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat
terkenal dengan teori pembelajaran sosial, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang
menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi.
B. Teori Pembelajaran Sosial
Teori Pembelajaran Sosial atau disebut juga Teori Observasional atau Teori belajar dari model.
Teori belajar ini relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya dan merupakan
perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan
oleh Albert Bandura (1986). Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga
akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu
itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward
dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan.
Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip - prinsip teori - teori belajar perilaku, tetapi
memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat - isyarat perubahan perilaku, dan pada
proses - proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan
penjelasan - penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan - penjelasan kognitif internal untuk
memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial " manusia " itu tidak
didorong oleh kekuatan - kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus - stimulus
lingkungan.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan - lingkungan yang dihadapkan pada seseorang
secara kebetulan ; lingkungan - lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui
perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa "sebagian
besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain".
Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah
satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan dapat
terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji
dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain
yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan
melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku
model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negative, saat
mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari
oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai
secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung,
tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur,
M,1998.a:4).
Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran sosial berdasarkan
pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia
adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan
bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori - teori sebelumnya kurang memberi
perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa
banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat
tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu
menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.
Bandura mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran observasional:
1. Model hidup, yang melibatkan seorang individu yang sebenarnya mendemonstrasikan atau
bertindak keluar perilaku.
2. Sebuah model pembelajaran verbal, yang melibatkan deskripsi dan penjelasan perilaku.
3. Model simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku dalam buku-
buku, film, program televisi, atau media online.
C. Teori Peniruan ( Modeling )
Pada tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John Dollard dalam laporan hasil
eksperimennya mengatakan bahwa peniruan ( imitation ) merupakan hasil proses pembelajaran yang
ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan " social learning " - "pembelajaran sosial " .
Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika kita
meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Menurut Bandura,
sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah
laku ( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang
model atau tokoh bagi anak - anak untuk menirukan tingkah laku membaca.
Dua puluh tahun berikutnya ," Albert Bandura dan Richard Walters ( 1959, 1963 ) telah melakukan
eksperimen pada anak - anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka
mendapati, bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model
(orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar
semacam ini disebut "observationallearning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Bandura
(1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori
pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek
mental seseorang.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri(kognitif) dan
lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori pembelajaran peniruan,
dalam teori ini beliau telah menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan anak-
anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk
sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video anak-anak ini diarah bermain di kamar
permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam video. Setelah anak-anak tersebut
melihat patung tersebut,mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton
dalam video.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru
membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru secara langsung.
Seterusnya proses peniruan melalui contoh tingkah laku. Contohnya anak-anak meniru tingkah laku
bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan. Keadaan
sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru mengajar,semestinya guru akan
memarahi dan memberi tahu tingkahlaku yang dilakukan tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut,
jadi tingkah laku tersebut menjadi contoh perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang
seterusnya ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang lain.
Contohnya seorang anak-anak melihat temannya melukis bunga dan timbul keinginan dalam diri
anak-anak tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu, peniruan berlaku apabila anak-anak
tersebut melihat temannya melukis bunga.
Perkembangan kognitif anak-anak menurut pandangan pemikir islam yang terkenal pada abad ke-14
yaitu Ibnu Khaldun perkembangan anak-anak hendaklah diarahkan dari perkara yang mudah kepada
perkara yang lebih susah yaitu mengikut peringkat-peringkat dan anak-anak hendaklah diberikan
dengan contoh-contoh yang konkrit yang boleh difahami melalui pancaindera. Menurut Ibnu
Khaldun, anak-anak hendaklah diajar atau dibentuk dengan lemah lembut dan bukannya dengan
kekerasan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibebankan dengan
perkara-perkara yang di luar kemampuan mereka. Hal ini akan menyebabkan anak-anak tidak mau
belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.
D. Unsur Utama dalam Peniruan (Proses Modeling/Permodelan)
Menurut teori belajar sosial (Albert Bandura) ada 4 tahap Unsur Utama dalam Peniruan (Proses
Modeling/Pemodelan) yaitu : perhatian / atensi, mengingat / retensi, reproduksi gerak , dan motivasi.
1) Perhatian ('Attention')
Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi
perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Contohnya, seorang
pemain musik yang tidak percaya diri mungkin meniru tingkah laku pemain musik terkenal sehingga
tidak menunjukkan gayanya sendiri. Bandura & Walters(1963) dalam buku mereka "Sosial Learning
& Personality Development"menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain
pembelajaran dapat dipelajari.
2) Mengingat ('Retention')
Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Ini
membolehkan subjek melakukan peristiwa itu kelak bila diperlukan atau diingini. Kemampuan
untuk menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar.
3) Reproduksi gerak ('Reproduction')
Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku, subjek juga dapat menunjukkan
kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Contohnya,
mengendarai mobil, bermain tenis. Jadi setelah subyek memperhatikan model dan menyimpan
informasi, sekarang saatnya untuk benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih
lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
4) Motivasi
Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena ia adalah penggerak individu untuk
terus melakukan sesuatu. Jadi subyek harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah
dimodelkan.

E. Ciri - ciri teori Pemodelan Bandura


1. Unsur pembelajaran utama ialah perhatian dan peniruan
2. Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain - lain
3. Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai model
4. Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang positif
5. Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau timbal
balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya
bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni "sense of self Efficacy"
dan "self - regulatory system". Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat
menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku
dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku
kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan "goal setting" dan "self
evaluation" pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan
sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat
menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan
"self of mastery", self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu
sebagai berikut :
1. Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri :
a. Apakah karakter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skill atau
afektif?
b. Bagaimanakah urutan dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam urutan atau rangkaian tersebut?
2. Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan
dimasa datang? (success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting) model manakah
yang lebih penting?
c. Apakah model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai
dan tingkah laku.
d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?
3. Pengembangan urutan atau rangkaian (sekuen) instruksional
Untuk mengajar motor skill, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan/kemampuan yang dipelajari
:how to do this" dan bukannya "not this".Langkah-langkah manakah menurut urutan atau rangkaian
(sekuen)yang harus dipresentasikan secara perlahan-lahan
4. Implementasi pengajaran untuk menuntut proses kognitif dan motor reproduksi.
a. Motor skill
1) Hadirkan model
2) Beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik
3) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan balik visual
b. Proses kognitif
1) Tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau petunjuk untuk mencari
konsistensi pada berbagai contoh
2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau summary
3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan
pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif
4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.
F. Eksperimen Albert Bandura
Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak - anak
meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Albert Bandura seorang tokoh teori belajar sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat
dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan "permodelan ". Beliau
menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh
guru dan aspek peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang optimum kepada
pemahaman pelajar.
Eksperimen Pemodelan Bandura :
Kelompok A = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa memukul, menumbuk,
menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.
Hasil = Meniru apa yang dilakukan orng dewasa malahan lebih agresif

Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa bermesra dengan patung besar
Bobo
Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok A
Rumusan :
Tingkah laku anak - anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah hasil dari penguatan.

Hasil Keseluruhan Eksperimen :


Kelompok A menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dari orang dewasa. Kelompok B tidak
menunjukkan tingkah laku yang agresif

G. Jenis - jenis Peniruan (modelling)


Jenis - jenis Peniruan (modeling) adalah :

1. Peniruan Langsung
Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran sosial Albert Bandura. Ciri
khas pembelajaran ini adalah adanya modelling , yaitu suatu fase dimana seseorang memodelkan
atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu ketrampilan itu dilakukan. Meniru
tingkah laku yang ditunjukkan oleh model melalui proses perhatian. Contoh : Meniru gaya penyanyi
yang disukai.

2. Peniruan Tak Langsung


Peniruan Tak Langsung adalah melalui imaginasi atau perhatian secara tidak langsung. Contoh :
Meniru watak yang dibaca dalam buku, memperhatikan seorang guru mengajarkan rekannya / teman
sejawat.

3. Peniruan Gabungan
Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan yaitu peniruan
langsung dan tidak langsung. Contoh : Pelajar meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarnai
daripada buku yang dibacanya.

4. Peniruan Sesaat / seketika.


Tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja.
Contoh : Meniru Gaya Pakaian di TV, tetapi tidak boleh dipakai di sekolah.

5. Peniruan Berkelanjutan
Tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam situasi apapun.
Contoh : Pelajar meniru gaya bahasa gurunya.
Hal lain yang harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip - prinsip
sebagai berikut :
1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak
awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan
lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata - kata, tanda atau gambar
daripada hanya melihat saja. Sebagai contoh : Belajar gerakan tari dari pelatih memerlukan
pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan seterusnya ditiru oleh para pelajar pada
masa yang sama, kemudian proses meniru akan efisien jika gerakan tari tadi juga didukung dengan
penayangan video, gambar, atau kaedah yang ditulis dalam buku panduan.
2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta
perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan
penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar masih
berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Sebagai contoh : Penerapan teori belajar sosial dalam iklan sabun ditelevisi. Iklan selalu
menampilkan bintang - bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong
konsumen agar membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para "bintang ".
Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan
karakteristik modelnya. Ciri - ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan
kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak - anak lebih senang meniru model
seusianya daripada model dewasa. Anak - anak juga cenderung meniru model yang sama
prestasinya dalam jangkauannya. Anak - anak yang sangat dependen cenderung imitasi model yang
dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan
observernya.

H. Kelemahan Teori Albert Bandura


Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini
karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya
cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru.
Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui
peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini
juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam
masyarakat.

I. Kelebihan Teori Albert Bandura


Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu menekankan
bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata - mata reflex atas stimulus ( S-R bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif
manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon )
dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian
empiris dalam mempelajari perkembangan anak - anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang
menjelaskan perkembangan anak - anak, faktor sosial dan kognitif.
J. Implementasi Teori Albert Bandura dalam Pembelajaran
Penerapan dalam proses pembelajaran di dalam kelas, antara lain :
1. Penyampaian guru hendaklah cakap dan menarik agar dapat menjadi model bagi siswa
2. Demonstrasi yang dilakukan oleh guru hendaknya jelas serta menarik agar siswa dapat meniru
dengan cepat
3. Hasil pekerjaan guru, lukisan, hendaknya bermutu
4. Guru boleh menggunakan teman sejawat yang terbaik sebagai model

BAB III
KESIMPULAN

? Teori Belajar Sosial , Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli psikologi
pendidikan dari Stanford University,USA. Teori pembelajaran ini dikembangkan untuk menjelaskan
bagaimana seseorang mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya.
? Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku lingkungan dan kejadian - kejadian
internal pada pembelajaran yang mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang
saling berpengaruh.
? Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan,
faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
? Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model
dan proses-proses kognitif pembelajar.
? Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau
tidak (retrievel).
? Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran
komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan "sense of efficacy" dan self regulatory"
pembelajar.
? Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan
secara mental sebelum latihan fisik, dan "reinforcement" dan hindari punishment yang tidak perlu.
? Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks atas stimulus (S-R bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif
manusia itu sendiri.
? Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning(pembiasaan
merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya
penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak-anak. Penelitian ini berfokus pada proses
yang menjelaskan perkembangan anak, faktor sosial dan kognitif.
?
Teori-teori Belajar

1. Teori Belajar Secara Filosofis


a. Teori Belajar Behaviorisme
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
b. Teori Belajar Kognitifisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku
yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para
peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan
kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga
peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek
pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.Bruner bekerja pada
pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta
didik memperoleh informasi dari lingkungan.
c. Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan
membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina
pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi.
Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
2. Teori Belajar Secara Psikologis
a. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui
adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar
semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya:
1) Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya:
a) Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang
dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
b) Law of Readiness, artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme
itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c) Law of Exercise, artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2) Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov


Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
a) Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks
dan stimulus lainnya akan meningkat.
b) Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah
diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer,
maka kekuatannya akan menurun
3) Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun
bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam
operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan
oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4) Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang
relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut
Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis
atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini,
seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan
teorinya yang disebutContiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method),
metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible
Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan
Kelebihan Teori Behavioristik
a) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai reson yang
diinginkan muncul.
b) Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan
yang mengandung unsur-unsur kecepatan,spontanitas,dan daya tahan.
c) Teori behavioristik juga cocok diginakan untuk melatih anak-anak yang msih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa,suak mengulangi dan dibiasakan,suka meniru dan sengan dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan teori behavioristik
a) Cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier,konvergen,tidak kreatif,tidak roduktif dan
cenderung mendudkkan siswa sebagai individu yang pasif.
b) Pembelajaran siswa yang berpusat oada guru dan bersifat mekanistik dan hanya berorientasi
pada hasil yang diamati dan di ukur.
c) Penerapan metode yang salah dalam pembeljaran mengakibatkan terjadinya poses oembelajaran
yang tidak menyenangkan bagi siswa.
b. Teori Belajar Kognitif Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme.
Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami
perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget
bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
1) Sensory motor
2) Pre operational
3) Concrete operational
4) Formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan
akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah "the process by which a
person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence
of their senses to make it fit" dan akomodasi adalah "the difference made to one's mind or concepts
by the process of assimilation".
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan
eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan tilikan dari guru.Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik
agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1) Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4) Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
c. Teori Belajar Pemrosesan Informasi
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting
dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne
bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya
interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal
yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif
yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang
mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu:
1) Motivasi
2) Pemahaman
3) Pemerolehan
4) Penyimpanan
5) Ingatan Kembali
6) Generalisasi
7) Perlakuan
8) Umpan Balik
d. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai "bentuk atau konfigurasi".
Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai
sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi
yang terpenting yaitu:
1) Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship), yaitu menganggap bahwa setiap
bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu
obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila
figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan
figure.
2) Kedekatan (proxmity), bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang)
dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3) Kesamaan (similarity), bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang
sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4) Arah bersama (common direction), bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam
arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5) Kesederhanaan (simplicity), bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk
yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan
susunan simetris dan keteraturan.
6) Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau
pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1) Perilaku "Molar" hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku "Molecular".
Perilaku"Molecular" adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar,
sedangkan perilaku"Molar" adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari,
berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku "Molar".Perilaku "Molar"
lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku "Molecular".
2) Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis
dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada,
sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang
nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya
merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3) Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa,
akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan
kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari
prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4) Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang
dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses
yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain:
1) Pengalaman tilikan (insight), bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku.
Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa
2) Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait
akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan
suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan
pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-
hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses
kehidupannya.
3) Perilaku bertujuan (pusposive behavior), bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan
hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan
yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan
yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya
4) Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik
5) Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan
pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam
situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan
prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan
umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-
prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam
memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta
didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya

Pengertian Teori Belajar 


Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling
berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai
fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan
hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.

Menurut Slavin dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan proses


perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Menurut Gagne dalam
Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan sebuah sistem yang didalamnya
terdapat berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan
perilaku. Sedangkan menurut Bell-Gredler dalam Udin S. Winataputra (2008)
pengertian belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan
aneka ragam competencies, skills, and attitude. Kemampuan (competencies),
keterampilan (skills), dan sikap (attitude) tersebut diperoleh secara bertahap dan
berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses
belajar sepanjang hayat.

Dengan demikian belajar dapat sdisimpulkan rangkaian kegiatan atau aktivitas


yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam
dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera
dan pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada
perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta
wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa
belajarnya belum sempurna.

Adapun yang dimaksud pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan wagner dalam
Udin S. Winataputra (2008) dalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk
memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Sedangkan menurut UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkingan belajar.

Jadi pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
pengetahuan. Jadi dapat pengertian Teori belajar merupakan upaya untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua
memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Selain itupengertian Teori
Belajar dapat pula diartikan sebagai teori  yang  mempelajari perkembangan 
intelektual (mental)  siswa. 

TEORI DESKRIPTIF DAN TEORI PRESKRIPTIF


Menurut Bruner (dalam Degeng,1989) mengemukakan bahwa teori pembelajaran
adalah preskriptif dan deskriptif. Preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran
adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan deskriptif
karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori belajar
menaruh perhatian pada hubungan di antara variable-variabel yang menentukan
hasil belajar. Sedangkan teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana
seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi suatu proses belajar.

Teori pembelajaran yang deskriptif menempatkan kondisi dan metode pembelajaran


sebagai given, dan memberikan hasil pembelajaran sebagai variable yang diamati.
Atau, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variable bebas dan hasil
pembelajaran sebagai variable tergantung. Sedangkan teori pembelajran yang
preskriptif, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given, dan metode
yang optimal ditempatkan sebagai variable yang diamati, atau metode
pembelajaran sebagi variable tergantung.
Teori preskriptif adalah goal oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori
deskriptif adalah goal free (untuk memberikan hasil).Variabel yang diamati dalam
pengembangan teori-teori pembeajaran yang preskriptif adalah metode yang
optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori
pembelajaran deskriptif variable yang diamati adalah hasil sebagai efek dari
interaksi antara metode dan kondisi.

Hasil pembelajaran yang diamati dalam pengembangan teori preskriptif adalah hasil
pembelajaran yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan lebih dulu,
sedangkan dalam pengembangan teori deskriptif, yang diamati adalah hasil
pembelajaran yang nyata (actual outcomes), hasil pembelajaran yang mungkin
muncul, dan bisa jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang diinginkan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa teori pembelajaran preskriptif berisi
seperangkat preskripsi guna mengoptimalkan hasil pembelajaran yang diinginkan di
bawah kondisi tettentu, sedangkan teori pembelajarn deskriptif berisi deskripsi
mengenai hasil pembelajaran yang muncul sebagai akibat dari digunakannya
metode tertentu di bawah kondisi tertentu.

JENIS-JENIS TEORI BELAJAR

Dalam  proses  mengajar  belajar,  penguasaan  seorang    guru  dan  cara


menyampaikannya  merupakan  syarat    yang  sangat  essensial.  Penguasaan
guru  terhadap  materi  pelajaran  dan  pengelolaan  kelas  sangatlah  penting,
namun demikian   belum  cukup untuk  menghasilkan pembelajaran  yang  optimal.
Selain menguasai  materi  matematika  guru  sebaiknya  menguasai   tentang
teori-teori belajar,  agar  dapat  mengarahkan  peserta  didik  berpartisipasi secara
intelektual dalam  belajar,  sehingga  belajar menjadi    bermakna  bagi  siswa.  Hal
ini  sesuai dengan  isi  lampiran  Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional
(Permendiknas) Nomor 16  Tahun  2007  tentang  Standar    Kualifikasi  Akademik
dan  Kompetensi Guru  yang  menyebutkan  bahwa  penguasaan  teori  belajar 
dan  prinsip-prinsip pembelajaran  yang  mendidik menjadi salah satu  unsur
kompetensi  pedagogik  yang harus dimiliki guru.

Jika    seorang   guru  akan    menerapkan    suatu teori      belajar      dalam proses
belajar mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori  belajar
tersebut  sehingga  selanjutnya  dapat    merancang  dengan    baik  bentuk  
proses  belajar  mengajar  yang  akan  dilaksanakan.  Psikologi  belajar atau disebut
dengan  Teori Belajar adalah teori  yang  mempelajari perkembangan  intelektual
(mental)  siswa. 

Penjelasan berikut merangkum berbagai jenis Teori belajar, antara lain:

A) TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK


Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dengan
kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya.

Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang berupa
stimulus dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini, apa yang
tejadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus
dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang
dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting
untuk melihat terjadinya perubahan tungkah laku tersebut. Faktor lain yang juga
dianggap penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat
memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan
semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan
dikuatkan. Jadi, penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting
diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan
terjadinya respon.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik diantaranya:

1. Thorndike 
Menurut thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon.
Dan perubahan tingkah laku merupakan akibat dari kegiatan belajar yang berwujud
konkrit yaitu dapat diamati atau berwujud tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati.
Teori ini juga disebut sebagai aliran koneksionisme (connectinism).

2. Watson
Menurut Watson, belajar merpakan proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang
dapat diamati dan dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia
tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam bentuk benak siswa itu
penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar
atau belum karena tidak dapat diamati.

3. Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variable hubangan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi Charles Darwin. Baginya, seperti teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu,
teori ini mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh bagian manusia,
sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis,walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam
bentuknya.

4. Edwin Guthrie
Demikian juga Edwin, ia juga menggunakan variabel stimulus dan respon. Namun
ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan
atau pemuasan biologis sebagaimana Clark Hull. Ia juga mengemukakan, agar
respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan
berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.

5. Skinner 
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu
mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya.
Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat
menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurutnya,
hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam
lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya


dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan
kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan
perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini,
diantaranya :
1) Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya:

1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka
semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar
(conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons
akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang
apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov


Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika


dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya
berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner


Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan


stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada
dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya
seperti dalam classical conditioning.

4) Social Learning menurut Albert Bandura


Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah
teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya.
Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku
individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan
juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan
skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa
yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar


behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip
kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang
menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The
Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response
Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

Dari beberapa tokoh teori behavioristik Skinner merupaka tokoh yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik.

Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi pengembangan teori dan
praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Karena
aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan faktor-faktor penguat (reinforcement), dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.

Teori ini hingga sekarang masih merajai praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini
tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini,
seperti Kelompok Belajar, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah, bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan
cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering
dilakukan. Teori ini memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata
telah terstruktur rapi dan teratur, sehingga siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar,
sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.

Berdasarkan uraian di atas, Inti dari teori belajar behavioristik, adalah  

1. Belajar adalah perubahan tingkah laku.


2. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan
perubahan tingkah laku.
3. Pentingnya masukan atau input  yang berupa stimulus dan keluaran yang
berupa respon .
4. sesuatu yang terjadi  diantara stimulus dan respon tidak dianggap
penting sebab tidak bisa diukur dan diamati.
5. Yang bisa di amati dan diukur hanya stimulus dan respon.
6. Penguatan adalah faktor penting dalam belajar.
7. Bila penguatan ditambah maka respon akan semakin kuat , demikian juga
jika respon dikurangi maka respon juga menguat.

Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan
dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban yang benar. Jawaban yang benar
menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.

B. TEORI BELAJAR KOGNITIF


Berbeda dengan teori behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses belajar
dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar
melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga menekankan bahwa
bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi
tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal
yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks.

TEORI BELAJAR KOGNITIF

Prinsip umum teori Belajar Kognitif, antara lain:

1. Lebih mementingkan proses belajar daripada hasil


2. DIsebut model perseptual
3. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya
4. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu
dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak
5. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran  menjadi
komponen-komponen yang kecil-kecil dan memperlajarinya secara terpisah-
pisah, akan kehilangan makna.
6. Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
7. Belajar merupakan  aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks.
8. Dalam praktek pembelajaran  teori ini tampak pada tahap-tahap
perkembangan(J. Piaget), Advance organizer (Ausubel), Pemahaman konsep
(Bruner), Hierarki belajar (Gagne), Webteaching (Norman)
9. Dalam kegiatan pembelajaran keterlibatan siswa aktif amat dipentingkan
10. Materi pelajaran disusun dengan  pola dari sederhana  ke kompleks
11. Perbedaan individu siswa perlu diperhatikan, karena sangat mempengaruhi
keberhasilan siswa belajar.

Beberapa pandangan tentang teori kognitif, diantaranya:


1. Teori perkembangan Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan
sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori
tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif
merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya
umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin
meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif
sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan
bahwa daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula
secara kualitatif. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-
tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan antara asimilasi dan
akomodasi).
Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu:

1. Tahap sensorimotorik (umur 0-2 tahun)


2. Ciri pokok perkembangan berdasarkan tindakan, dan dilakukan selangkah
demi selangkah. 
3. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
4. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah penggunanaan symbol atau
tanda bahasa, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif.
5. Tahap operasional konkret (umur 7/8-11/12 tahun)
6. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan
kekekalan.
7. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir
abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”.
Adapun beberapa prinsip teori perkembangan Piaget, adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan kognitif merupakan suatu proses gentik. Yaitu suatu


perkembangan yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan
sistem syaraf
2. Semakin bertambah umur maka semakin bertambah kompleks susunan
syarafnya dan akan meningkat pula kemampuannya. Daya pikir anak yangb
berbeda usia akan berbeda secara kualitatif
3. Proses adaptasi mmepunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan yaitu
akomidasi dan asimilasi
4. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang di pahami seseuai
denganstruktur kognitif. (apabila individu menerima infomasi atau
pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok
dengan  struktur kognitif yang dipunyai)
5. Akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat
dipahami (apabila struktur kognitif yang sudah dimiliki harus disesuaikan
dengan informasi yang diterima).
6. Proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi
dan ekuilibrasi (penyeimbangan)
7. Asimilasi (proses penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang
telah dimiliki individu), Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif ke
dalam situasi yang baru), Ekuilibrasi (penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi)
8. Seorang anak sudah mempunyai prinsip pengurangan, ketika mempelajri
pembagianmaka terjadi prses intrgtasi antara pengurangan  (telah
dikuasai)dan pembagian (info baru) inilah asimilasi.
9. Jika anak diberi soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya
anak sudah dapat mengaplikasikan  atau memakai prinsip pembagian dalam
situasi baru
10. Proses penyesuaian antara ling luar dan struktur kognitif yang ada dlm dirinya
disebut ekuilibrasi
11. Proses belajar akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan
umurnya
12. Tahap sensorimotor (0-2 thn), preoperasional (2-8 thn), operasional
konkret(8-11 thn), operasional formal (12-18 thn)
13. Hanya dengan mengaktifkan pengetahuan dan pengalaman secara optimal
asimilasi dan akomodasi pengatahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan
baik

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena
itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak
asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temanya.

2. Teori belajar menurut Bruner


Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh
kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dalam teorinya, “free discovery
learning” ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai
dengan tahap perkembangan orang tersebut.

Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam Degeng,1989) menjelaskan bahwa


pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan
mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula.
Menurutnya, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah banyak
menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan
kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting untuk
mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip,
dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang
baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses
intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning).
Beberapa prinsip teori Bruner adalah:

1. Perkembangan kognitif ditandai dengan adanya kemajuan menaggapi


rangsang
2. Peningkatan pengatahun bergantung pada perkembangan sistem
penyimpanan informasi secara realistis
3. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara
pada diri sendiri atau pada orang lain
4. Interaksi secara sistematis diperlukan antara pembimbing, guru dan anak
untuk perkembangan  kognitifnya
5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif
6. Perkembangan kognitif ditandai denfgan kecakapan untuk mengemukakan
bebrapa alternatisf secara simultan, memilih tindakan yang tepat.
7. Perkembangan kognitif di bagi dalam tiga tahap yaitu enactive, iconic,
symbolic.
8. Enaktif yaitu tahap jika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk emmahami lingkungan sekitaanya. (gigitan, sentuhan, pegangan)
9. Ikonik, yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal (anak belajar melalui bentuk
perumpamaan dan perbandingan
10. Simbolik yaitu tahap seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan
logika.( anak belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika)
11. Model pemahaman dan penemuan konsep
12. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan
memlalui proses intuitif untuk akhirnya sampai pada kesimpulan (discovery
learning)
13. Siswa diberi kekebasan untuk belajar  sendiri  melalui aktivitas menemukan
(discovery)

3. Teori belajar bermakna Ausubel


Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi
siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengtahuan
yang telah dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak
memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi
pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal.
Atau dengan kata lain, belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak
selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi
bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata
dalam bentuk struktur kognitif yang dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan
baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif
tang telah dimiliki seseorang.
Beberapa Prinsip Teori Ausubel adalah

1. Proses belajar akan terjadi jika seseorang mampu


mengasimilasikan pengetahuan yang tlah dimilikinya dengan pengetahuan
baru
2. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap  memperhatikan stimulus,
memamahi makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang
sudah dipahami
3. Siswa lebih ditekankan unuk berpikir secara deduktif  (konsep advance
organizer)

Adapun aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran :

1. Keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan


2. Untuk meningkatkan minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
siswa.
3. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks.
4. Perbedaan individu pada siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar.

C. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK


Konstruktivistik merupakan metode pembelajaran yang lebih menekankan pada
proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam
mengkonstruksi pengalaman atau dengan kata lain teori ini memberikan keaktifan
terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek untuk aktif


menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya.
Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus
diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi.

Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:

1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman suatu
konsep secara lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng


mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu
berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari
pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta
menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

Teori ini lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam,
pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif
membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap saja tidak akan
berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila
pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau
fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan
harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan
sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-
menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang sangat menentukan
perrkembangan pengetahuannya.

Unsur-unsur penting dalam teori konstruktivistik:

1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa


2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
3. Adanya lingkungan social yang kondusif
4. Adanya dorongan agar siswa mandiri
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah

Secara garis besar, prinsip-prinsip teori konstruktivistik adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.


2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya
dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses
konstruksi berjalan lancar.
5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pernyataan.
7. Mencari dan menilai pendapat siswa.
8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Proses belajar konstrutivistik dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu:


1) Proses belajar konstruktivistik
Esensi dari teori konstruktivistik adalah siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Sehingga dalam proses
belajar, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka dengan keterlibatan aktif
dalam kegiatan belajar mengajar.

2) Peranan siswa
Dalam pembelajaran konstruktivistik, siswa menjadi pusat kegiatan dan guru
sebagai fasiitator. Karena belajar merupakan suatu proses pemaknaan atau
pembentukan pengetahuan dari pengalaman secara konkrit, aktivitas kolaboratif,
refleksi serta interpretasi yang harus dilukukan oleh siswa sendiri.

3) Peranan guru
Guru atau pendidik berperan sebagai fasilitator artinya membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri dan proses pengkonstruksian pengetahuan
agar berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya pada
siswa tetapi guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang setiap
siswa dalam belajar.

4) Sarana belajar
Sarana belajar dibutuhkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan yang telah
diperoleh agar mendapatkan pengetahuan yang maksimal.

5) Evaluasi hasil belajar


Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar yang menekankan pada ketrampilan
proses baik individu maupun kelompok. Dengan cara ini, maka kita dapat
mengetahui seberapa besar suatu pengetahuan telah dipahami oleh siswa.

Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran :

1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas


yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengmbangkan ide-idenya secara lebih bebas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan ide-ide  atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan
kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia
adalah kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan  tentang
kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya  merupakan suatu
usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah
dikelola.

Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran :

1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas


yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengmbangkan ide-idenya secara lebih bebas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan ide-ide  atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan
kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia
adalah kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan  tentang
kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya  merupakan suatu
usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah
dikelola.
D. TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar
humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori
humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri serta lebih banyak berbiacara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuk
yang paling ideal.

Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar,
sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi
asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori
humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri,
pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.

Teori humanistik bersifat sangat eklektik yaitu memanfaatkan atau merangkumkan


berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia dan mencapai
tujuan yang diinginkan karena tidak dapat disangkal bahwa setiap teori mempunyai
kelebihan dan kekurangan.

Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya:


1) Kolb
    Pandangan Kolb tentang belajar dikenal dengan “Belajar Empat Tahap” yaitu:
a. Tahap pandangan konkret
Pada tahap ini seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu
kejadian sebagaimana adanya namun belum memilki kesadaran tentang hakikat
dari peristiwa tersebut,
b. Tahap pemgamatan aktif dan reflektif
Tahap ini seseorang semakin lama akan semakin mampu melakukan observasi
secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya dan lebih berkembang.
c. Tahap konseptualisasi
Pada tahap ini seseorang mulai berupaya untuk membuat abstraksi,
mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu
yang menjadi objek perhatiannya dan cara berpikirnya menggunakan induktif.
d. Tahap eksperimentasi aktif
Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-
teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata dan cara berpikirnya menggunakan
deduktif.

2) Honey dan Mumford


Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar ke dalam empat macam
atau golongan, yaitu:
a. Kelompok aktivis
Yaitu mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai
kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru.
b. Kelompok reflector
Yaitu mereka yang mempunyai kecenderungan berlawanan dengan kelompok
aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan kelompok ini sangat berhati-hati dan
penuh pertimbangan.
c. Kelompok teoris
Yaitu mereka yang memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis,
selalu berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya.
d. Kelompok pragmatis
Yaitu mereka yang memiliki sifat-sifat praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan
teori-teori, konsep-komsep, dalil-dalil, dan sebagainya.

3) Habermas
Menurut Habernas, belajar baru akan tejadi jika ada interaksi antara individu
dengan lingkungannya. Ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu:
a. Belajar teknis (technical learning)
Yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya
secara benar.
b. Belajar praktis (practical learning)
Yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik.
c. Belajar emansipatoris (emancipatory learning)
Yaitu belajar yang menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu
pemahaman dan kesadaran tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi
budaya dengan lingkungan sosialnya.

4). Bloom dan Krathwohl


Bloom dan Krathmohl lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti
dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa
belajar. Tujuan belajarnya dikemukakan dengan sebutan Taksonomi Bloom, yaitu:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1) Peniruan
2) Penggunaan
3) Ketepatan
4) Perangkaian
5) Naturalisasi
c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1) Pengenalan
2) Merespon
3) Penghargaan
4) Pengorganisasian
5) Pengalaman

Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah
belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan
pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai
tujuannya. Meskipun teori humanistik sering dikritik karena sulit diterapkan dalam
konteks yang lebih praktis dan dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori
kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sulit
diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun
sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi
tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk
memahami hakikat kejiwaan manusia.

Dalam praktiknya teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif,
mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses belajar.

E.  TEORI BELAJAR SIBERNETIK


Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan
dengan teori-teori yang sudah dibahas sebelumnya. Menurut teori ini, belajar
adalah pengolahan informasi. Proses belajar memang penting dalam teori ini,
namun yang lebih penting adalah system informasi yang diproses yang akan
dipelajari siswa. Asumsi lain adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang
ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar
sangat ditentukan oleh sistem informasi.

Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran telah dikembangkan


oleh beberapa tokoh dengan beberapa teori, diantaranya:

1. Teori pemrosesan informasi


Pada teori ini, komponen pemrosesan informasi dibagi menjadi tiga berdasarkan
perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya. Ketiga
komponen itu adalah:
a. Sensory Receptor (SR)
SR merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar.

b. Working Memory (WM)


WM diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu.
Karakteristik WM adalah :
1) Memiliki kapasitas yang terbatas, kurang dari 7 slot. Informasi yang didapat
hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa adanya upaya
pengulangan (rehearsal).
2) Informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya baik
dalam bentuk verbal, visua, ataupun semantic, yang dipengaruhi oleh peran proses
kontrol dan seseorang dapat dengan sadar mengendalikannya.

c. Long Term Memory (LTM)


LTM diasumsikan :
1) Berisi semua pengetahuan yang telah dimilki oleh individu
2) Mempunyai kapasitas tidak terbatas
3) Sekali informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau
hilang. Persoalan “lupa” hanya disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan
memunculkan kembali informasi yang diperlukan.

Asumsi yang mendasari teori pemrosesan informasi ini adalah bahwa pembelajaran
merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan
merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi
terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal
individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk
mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan
kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu
dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1)
motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali;
(6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

2. Teori belajar menurut Landa


Dalam teori ini Landa membedakan ada dua macam proses berpikir, yaitu:
a. Proses berpikir algoritmik
Yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus,
menuju ke satu target tujuan tertentu.
b. Proses berpikir heuristik
Yaitu cara berpikir devergen yang menuju ke beberapa target tujuan sekaligus.
Menurut Landa proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang
hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan diketahui cirri-cirinya.
Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur,
sedangkan materi pelajaran lainnya akanlebih tepat bila disajikan dalam bentuk
“terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir.

3. Teori belajar menurut Pask dan Scott


Menurut Pask dan Scott ada dua macam cara berpikir, yaitu:
a. Cara berpikir serialis
Cara berpikir ini hampir sama dengan cara berpikir algoritmik. Yaitu berpikir
menggunakan cara setahap demi setahap atau linier.
b. Cara berpikir menyeluruh atau wholist
Cara berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap
sebuah sistem informasi atau mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju
ke hal yang lebih khusus.
Teori belajar pengolahan informasi termasuk teori kognitif yang mengemukakan
bahwa belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan
merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Namun
memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas. Menurut Gagne, untuk
mengurangi muatan memori kerja tersebut dapat diatur sesuai dengan:
a. Kapabilitas belajar
b. Peristiwa pembelajaran
c. Pengorganisasian atau urutan pembelajaran

Tahap sebernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena lebih menekankan
pada sistem informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagaimana proses
belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh sistem informasi
yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi, pemikir,
dan pencipta. Berdasarkan itu, maka diasumsikan bahwa manusia merupakan
makhluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.

F. TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURAL


Pembahasan pada teori ini diarahkan pada hal-hal seperti teori belajar Piagetin dan
teori belajar Vygotsky. Berikut ini pembahasan tentang kedua teori tersebut.

1. Teori Belajar Piagetin


Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu
proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan
syaraf. Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola tahap-tahap perkembangan
tertentu dan umur seseorang. Perolehan kecakapan intelektual akan berhubungan
dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan
ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai
pengalaman dan persoalan. Untuk memperoleh keseimbangan atau equilibrasi,
seseorang harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Proses adaptasi
terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa mengintegrasikan
pengetahuan baru dari luar ke dalam struktur kognitif yang telah ada dalam
dirinya.sedangkan melalui akomodasi siswa memodifikasi struktur kognitif yang ada
dalam dirinya dengan pengetahuan yang baru.

Teori konflik-sosiokognitif Piaget ini mampu berkembang luas dan merajai bidang
psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada beberapa aspek dari teori
Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada kegiatan
pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat ini. Dilihat dari
asal usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya,
pengetahuan berasal dari dalam diri individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri
terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan social. Ia mengkonstruksi
pengetahuannya lewat tindakan yang dilakukannya terhadap lingkungan sosial.

Di samping itu, dalam kegiatan belajar Piaget lebih mementingkan interaksi antara
siswa dengan kelompoknya. Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi
antara siswa dengan kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang
lebih dewasa. Pembenaran terhadap teori ini jika diterapkan dalam kegiatan
pendidikan dan pembelajaran akan kurang sesuai dengan perspektif revolusi-
sosiokultural yang sedang diupayakan saat ini.

2. Teori Belajar Vygotsky


Pandangan yang mampu mengakomodasi teori revolusi-sosiokultural dalam teori
belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Ia mengatakan bahwa
jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya.
Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa
yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal usul
tindakan sadarnya, dari interaksi social yang dilatari oleh sejarah hidupnya.

Mekanisme teori yang digunakan untuk menspesifikasi hubungan antara


pendekatan sosio-kultural dan pemfungsian mental didasarkan pada tema mediasi
semiotik, yang artinya adalah tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna
yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas
dalam pendekatan sosio-kultural dan manusia sebagai tempat berlangsungnya
proses mental.

Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang


seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat primer,
sedangkan dimensi individualnya bersifat derivative atau merupakan turunan dan
bersifat sekunder. Artinya, pengetahuan dan perkembangn kognitif individu berasal
dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Konsep-konsep penting teori
sociogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan
revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran adalah:
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumuh dan berkembang
melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang memebentuk
lingkungan sosialnya, dan tataran psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan.
Pandang teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor
primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang.

b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)


Menurut Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke
dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri.
Ini disebut kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan potensial
tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan
memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika
berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten, ini disebut kemampuan
itermental. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan potensial
ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal diartikan
sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang
masih berada pada proses pematangan. Gagasan Vygotsky tentang zona
perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar dan
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan
kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa
perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling terkait,
perkembangan kemampuan seseorang bersifat context dependent atau tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai fundamental dalam belajar adalah
partisipasi dalam kegiatan sosial.

c. Mediasi
Ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif. Mediasi
metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan
regulasi diri, meliputi self planning, self-monitoring, self-checking, dan self-
evaluating. Sedangkan mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-
domain problem serta berkaitan pula dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan
konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).

Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang
kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan ideologi

G. TEORI BELAJAR GESTALT


Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk
atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu


menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure
(bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran,
potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang.
Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan
penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik
waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai
satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung
akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan
yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu
figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang
pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung
membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan
keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan
suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku


“Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot
atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam
keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah,
bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih
mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara
lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis
adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral
merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari
jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal
kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang
lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu
bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau
peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius,
virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh
lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan
suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis.
Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam
memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting


dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik
memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-
unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-
unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses
pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki
makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan.
Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang
ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai
arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan
dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan
hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi
pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer
belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu
konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam
situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan
pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum
(generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam
situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik
untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

H. TEORI BELAJAR KECERDASAN GANDA


Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau
menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu. Seseorang
dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam
hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berharga atau berguna bagi
dirinya maupun umat manusia. Howard Gardner memperkenalkan hasil
penelitiannya yang berkaitan dengan teori kecerdasan ganda, yaitu teorinya tentang
menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satupun kegiatan manusia yang hanya
menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang ada.
Semua kecerdasan tersebut bekerja sama sebagai satu kesatuan yang utuh dan
terpadu. Komposisi keterpaduannya tentu saja berbeda-beda pada masing-masing
orang. Namun kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan
yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam
memecahkan masalah. Berikut ini beberapa kecerdasan manusia, yaitu:

1. Kecerdasan verbal/Bahasa (verbal linguistic intelligence)


2. Kecerdasan logika/matematik (logical mathematical intelligence)
3. Kecerdasan visual/ruang (visual/spatial intelligence)
4. Kecerdasan tubuh/gerak tubuh (body/kinesthic intelligence)
5. Kecerdasan musical/ritmik (musical/rhythmic intelligence)
6. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)
7. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
8. Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence)
9. Kecerdasan spiritual (spiritualist intelligence)
10. Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence)

Pada dasarnya semua orang memilki semua macam kecerdasan di atas, namun
tentu saja tidak semuanya berkembang atau dikembangkan pada tingkatan yang
sama, sehingga tidak dapat digunakan secara efektif. Pada umumnya satu
kecerdasan lebih menonjol/kuat dari pada yang lain. Tetapi tidak berarti bahwa hal
itu bersifat permanen/tetap. Di dalam diri manusia tersedia kemampuan untuk
mengaktifkan semua kecerdasan tersebut.
Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan tehadap
kecerdasan hanya terbatas pada aspek kognitif, sehingga manusia telah tereduksi
menjadi sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yang berbeda, ia
memandang manusia tidak hanya sekedar komponen kognitif namun suatu
keseluruhan. Melalui kecerdasan ganda (multiple intelligence) ia berusaha
menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang
kecerdasan. Tidak ada manusia yang sangat cerdas dan tidak cerdas untuk seluruh
aspek yang da pada dirinya. Yang ada adalah ada manusia yang memilki
kecerdasan tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya.

Strategi pembelajaran kecerdasan ganda betujuan agar semua potensi anak dapat
berkembang. Strategi dasar pembelajarannya dapat dimulai dengan:
1. Membangunkan/memicu kecerdasan (awakening intelligence)
Yaitu upaya untuk mengaktifkan indra dan menghidupkan kerja otak
2. Memperkuat kecerdasan (amplifying intelligence)
Yaitu dengan cara memberi latihan dan memperkuat kemampuan membangunkan
kecerdasan
3. Mengajarkan dengan/untuk kecerdasan (teaching for with intelligence)
Yaitu upaya-upaya mengembangkan struktur pelajaran yang mengacu pada
penggunaan kecerdasan manusia
4. Mentransfer kecerdasan (transferring intelligence)
Yaitu usaha untuk memanfaatkan berbagai cara yang telah dilatihkan di kelas untuk
memahami realitas di luar kelas atau pada lingkunga nyata
Sedangkan kegiatan-kegiatannya dapat dilakukan dengan cara menyediakan studi
tour, biografi, pembelajaran teprogram, eksperimen, majalah dinding, serta
membaca buku-buku guna untuk mengembangkan kecerdasan ganda. Upaya untuk
mengembangakan siswa sendiri dapat berupa self monitoring dan konseling atau
tutor sebaya akan sangat efektif untuk mengembangkan kecerdasan ganda.

I. TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL


Konsep  motivasi  belajar  berkaitan  erat  dengan  prinsip  bahwa  perilaku  yang 
memperoleh penguatan(reinforcement)  di  masa  lalu  lebih  memiliki 
kemungkinan  diulang  dibandingkan dengan  perilaku  yang  tidak  memperoleh 
penguatan  atau  perilaku  yang  terkena  hukuman (punishment).  Dalam 
kenyataannya,  daripada  membahas  konsep  motivasi  belajar,  penganut teori 
perilaku  lebih  memfokuskan  pada  seberapa  jauh  siswa  telah  belajar  untuk 
mengerjakan pekerjaan  sekolah  dalam  rangka  mendapatkan  hasil  yang 
diinginkan  (Bandura,  1986  dan Wielkeiwicks, 1995).

J. TEORI BELAJAR SOSIAL


Dalam  dasawarsa  terakhir,  penganut  teori  konstruktivisme  memperluas  fokus 
tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif
dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-
aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vyangotsky. Istilah
Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun  2001.  Dalam 
model  ini,  "siswa  tidak  hanya  mengikuti  pembelajaran  seperti halnya  air
mengalir  melalui  saringan  namun  membiarkan  mereka  membentuk  dirinya." 
Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar
pendidikan. Pijakan  awal  teori  belajar   sosial  adalah  bahwa  manusia  belajar 
melalui  pengamatannya terhadap  perilaku  orang  lain.  Pakar  yang  paling 
banyak  melakukan  riset  teori  belajar  sosial adalah Albert Bandura dan Bernard
Weiner. 
TEORI BELAJAR SOSIAL

Meskipun  classical  dan  operant  conditioning  dalam  hal-hal  tertentu  masih 


merupakan  tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar
apa yang ia ketahui melalui observasi  (pengamatan).  Belajar  melalui 
pengamatan  berbeda  dari  classical  dan  operant conditioning  karena  tidak 
membutuhkan  pengalaman  personal  langsung  dengan  stimuli, penguatan 
kembali,  maupun  hukuman.   Belajar   melalui  pengamatan  secara  sederhana
melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian
meniru perilaku model tersebut. 

Baik  anak-anak  maupun  orang  dewasa  belajar  banyak  hal  dari  pengamatan 
dan  imitasi (peniruan)  ini.  Anak  muda  belajar  bahasa,  keterampilan  sosial, 
kebiasaan,  ketakutan,  dan banyak  perilaku  lain  dengan  mengamati  orang 
tuanya  atau  anak  yang  lebih  dewasa.  Banyak orang  belajar  akademik,  atletik, 
dan  keterampilan  musik  dengan  mengamati  dan  kemudian menirukan 
gueunya.  Menurut  psikolog  Amerika  Serikat  kelahiran  Kanada  Albert  Bandura,
pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan
peran yang penting  dalam  perkembangan  kepribadian  anak.
Bandura menemukan   bukti   bahwa   belajar   sifat-sifat   seperti  keindustrian, 
keramahan, pengendalian  diri, keagresivan,  dan  ketidak  sabaran  sebagian  dari
meniru  orang tua,  anggota keluarga lain, dan teman-temannya.

K. TEORI BELAJAR VAN HIELE


Dalam pembelajaran geometri terdapat teori  belajar  yang dikemukakan oleh  van
Hiele  (1954) yang  menguraikan tahap-tahap  perkembangan mental  anak  dalam
geometri.  van  Hiele  adalah  seorang    guru  bangsa  Belanda  yang  mengadakan
penelitiandalam  pembelajaran  geometri.  Penelitian  yang  dilakukan    van  Hiele
melahirkan    beberapa    kesimpulan  mengenai      tahap-tahap    perkembangan
kognitif anak  dalam  memahami geometri. van  Hielemenyatakan bahwa  terdapat
5  tahap  pemahaman  geometri  yaitu:  pengenalan,  analisis,  pengurutan, 
deduksi, dan akurasi.

a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)


Pada  tingkat ini,  siswa  memandang  sesuatu  bangun   geometri  sebagai   suatu
keseluruhan (holistic). Pada  tingkat  ini  siswa  belum  memperhatikan komponen-
komponen dari masing-masing bangun. Dengan  demikian, meskipun pada  tingkat
ini siswa  sudah  mengenal  nama  sesuatu bangun, siswa  belum  mengamati ciri-
ciri  dari  bangun    itu.  Sebagai  contoh,  pada  tingkat    ini  siswa  tahu  suatu   
bangun  bernama  persegipanjang,  tetapi  ia  belum  menyadari  ciri-ciri  bangun
persegipanjang tersebut.

b) Tahap Analisis (Deskriptif)


Pada tingkat  ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-
ciri  dari  masing-masing bangun. Dengan  kata  lain, pada  tingkat  ini  siswa  sudah
terbiasa  menganalisis  bagian-bagian  yang  ada    pada    suatu    bangun    dan 
mengamati  sifat-sifat    yang  dimiliki  oleh  unsur-unsur  tersebut.  Sebagai  contoh,
pada  tingkat    ini  siswa    sudah      bisa    mengatakan    bahwa      suatu     
bangun   merupakan persegipanjang karena  bangun  itu  “mempunyai  empat  sisi,
sisi-sisi  yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”

c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)


Pada  tingkat    ini,  siswa  sudah  bisa  memahami  hubungan  antar    ciri  yang 
satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini
siswa sudah  bisa  mengatakan  bahwa    jika    pada    suatu    segiempat  sisi-
sisi    yang  berhadapan sejajar, maka  sisi-sisi  yang berhadapan itu sama 
panjang. Di samping  itu  pada    tingkat    ini  siswa    sudah    memahami 
pelunya    definisi    untuk    tiap-tiap bangun.  Pada    tahap    ini,  siswa    juga   
sudah      bisa    memahami  hubungan  antara  bangun   yang  satu  dengan
bangun  yang  lain. Misalnya  pada  tingkat  ini siswa  sudah    bisa    memahami 
bahwa  setiap    persegi    adalah    juga    persegipanjang, karena   persegi  juga 
memiliki  ciri-ciri persegipanjang.

d) Tahap Deduksi
Pada  tingkat  ini (1)  siswa  sudah dapat  mengambil  kesimpulan secara  deduktif,
yakni    menarik  kesimpulan  dari    hal-hal    yang bersifat  khusus,  (2)    siswa  
mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-
aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai 
mampu  menyusun bukti-bukti  secara  formal.  Ini  berarti  bahwa  pada  tingkat  ini 
siswa  sudah memahami  proses    berpikir  yang  bersifat    deduktif-aksiomatis 
dan  mampu  menggunakan proses berpikir tersebut.

Sebagai  contoh  untuk  menunjukkan  bahwa  jumlah  sudut-sudut  dalam 


jajargenjang  adalah    360°    secara    deduktif    dibuktikan  dengan   
menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara  induktif  yaitu dengan 
memotong-motong sudut-sudut  benda  jajargenjang,  kemudian  setelah  itu 
ditunjukkan  semua  sudutnya  membentuk  sudut  satu  putaran  penuh  atau  360° 
belum  tuntas  dan belum  tentu    tepat.  Seperti  diketahui  bahwa    pengukuran 
itu    pada    dasarnya mencari   nilai  yang  paling  dekat  dengan ukuran yang
sebenarnya. Jadi, mungkin  saja dapat  keliru  dalam  mengukur sudut- sudut 
jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara  deduktif  merupakan cara yang
tepat dalam pembuktian pada matematika.

Anak pada  tahap  ini telah  mengerti pentingnya peranan unsur-unsur  yang  tidak
didefinisikan,    di  samping    unsur-unsur  yang    didefinisikan,    aksioma    atau 
problem,  dan    teorema.  Anak  pada    tahap    ini  belum    memahami  kegunaan 
dari  suatu    sistem  deduktif.  Oleh  karena    itu,  anak  pada    tahap    ini  belum   
dapat  menjawab  pertanyaan:  “mengapa  sesuatu  itu  perlu  disajikan  dalam 
bentuk teorema atau dalil?”

e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)


Pada tingkat  ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-
prinsip  dasar  yang  melandasi  suatu  pembuktian.  Sudah  memahami  mengapa
sesuatu  itu  dijadikan  postulat  atau  dalil.  Dalam  matematika  kita  tahu  bahwa
betapa  pentingnya  suatu  sistem  deduktif.  Tahap  keakuratan  merupakan  tahap 
tertinggi dalam memahami geometri.
Pada  tahap    ini  memerlukan  tahap    berpikir  yang  kompleks    dan  rumit, 
siswa mampu  melakukan  penalaran  secara    formal    tentang  sistem-sistem 
matematika (termasuk  sistem-sistem  geometri),  tanpa    membutuhkan  model-
model  yang konkret sebagai acuan. Pada  tingkat  ini, siswa  memahami bahwa 
dimungkinkan adanya    lebih    dari  satu    geometri.  Sebagai  contoh,  pada   
tingkat    ini  siswa  menyadari bahwa  jika salah satu  aksioma  pada  suatu  sistem 
geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut  juga  akan   berubah.  Sehingga, 
pada   tahap   ini siswa    sudah      memahami    adanya  geometri-geometri  yang 
lain  di  samping geometri Euclides.

Selain  mengemukakan  mengenai    tahap-tahap  perkembangan  kognitif  dalam


memahami geometri, van  Hiele  juga  mengemukakan bahwa  terdapat tiga  unsur
yang  utama    pembelajaran  geometri  yaitu  waktu,  materi    pembelajaran  dan
metode  penyusun  yang  apabila  dikelola  secara  terpadu  dapat    mengakibatkan
meningkatnya  kemampuan    berpikir    anak      kepada      tahap      yang   lebih     
tinggi   dari   tahap   yang sebelumnya.

Menurut    van  Hiele,  semua    anak  mempelajari  geometri  dengan    melalui 


tahap-tahap  tersebut,  dengan    urutan  yang  sama,  dan    tidak    dimungkinkan 
adanya  tingkat    yang  diloncati.  Akan  tetapi,  kapan    seseorang  siswa    mulai   
memasuki suatu    tingkat    yang  baru    tidak    selalu    sama    antara  siswa   
yang    satu    dengan  siswa  yang  lain. Proses perkembangan dari tahap  yang
satu ke tahap  berikutnya terutama  tidak  ditentukan  oleh  umur    atau   
kematangan  biologis,  tetapi    lebih bergantung pada pengajaran dari guru  dan
proses  belajar  yang dilalui siswa. Bila dua  orang    yang  mempunyai  tahap 
berpikir  berlainan  satu    sama    lain,  kemudian saling  bertukar pikiran  maka 
kedua orang tersebut tidak akan mengerti.

Menurut    van  Hiele  seorang    anak  yang  berada  pada  tingkat    yang  lebih 
rendah tidak  mungkin    dapat   mengerti  atau    memahami  materi    yang 
berada  pada  tingkat    yang  lebih  tinggi  dari  anak tersebut. Kalaupun anak itu
dipaksakan untuk memahaminya,  anak    itu    baru bisa    memahami    melalui   
hafalan    saja    bukan   melalui pengertian.  Adapun  fase-fase pembelajaran yang 
menunjukkan  tujuan  belajar  siswa dan peran guru   dalam   pembelajaran  dalam  
mencapai   tujuan itu. Fase-fase      pembelajaran  tersebut  adalah:    1)  fase   
informasi,  2)    fase orientasi,  3)    fase    eksplisitasi,  4)    fase  orientasi  bebas, 
dan  5)  fase  integrasi. 

Berdasar  hasil  penelitian  di  beberapa  negara,  tingkatan  dari    van    Hiele   
berguna untuk    menggambarkan  perkembangan  konsep  geometrik  siswa  dari 
SD  sampai Perguruan Tinggi.

Van  de  Walle  (1990:270)  membuat  deskripsi  aktivitas  yang  lebih  sederhana
dibandingkan  dengan   deskripsi  yang  dibuat   Crowley.  Menurut   Van  de  Walle
aktivitas  pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:
a.  Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat  digunakan  untuk memanipulasi.
2)  Melibatkan  berbagai  contoh  bangun-bangun  yang  bervariasi  dan berbeda
sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
3) Melibatkan  kegiatan  memilih,  mengidentifikasi  dan  mendeskripsikan berbagai 
bangun, dan
4) Menyediakan kesempatan  untuk membentuk,  membuat, menggambar, menyusun
atau menggunting bangun.

b.  Aktivitas tahap 1 (analisis)  


Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama  model-model yang dapat
digunakan untuk mendeskripsikan berbagai  sifat bangun.
2)  Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3)  Mengklasifikasi  bangun  berdasar  sifat-sifatnya  berdasarkan  nama  bangun
tersebut.
4)  Menggunakan  pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.

c.  Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)


Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus  pada  pendefinisian sifat, 
membuat  daftar    sifat  dan  mendiskusikan  sifat  yang  perlu    dan cukup untuk
kondisi suatu bangun atau konsep.
2)  Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif  informal, misalnya semua,
suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi  suatu relasi.
3)  Menggunakan  model  dan  gambar  sebagai  sarana  untuk  berpikir  dan mulai
mencari generalisasi atau kontra

L. TEORI BELAJAR BERMAKNA


David      Ausubel      adalah      seorang        ahli      psikologi      pendidikan.     
Ausubel   memberi  penekanan    pada    proses     belajar      yang    bermakna.   
Teori    belajar   Ausubel    terkenal  dengan    belajar    bermakna  dan   
pentingnya  pengulangan sebelum  belajar   dimulai. Menurut   Ausubel  belajar   
dapat   dikalifikasikan  ke  dalam  dua  dimensi.  Dimensi pertama berhubungan
dengan  cara informasi  atau  materi    pelajaran  yang  disajikan  pada    siswa   
melalui    penerimaan  atau  penemuan. Dimensi  kedua  menyangkut cara
bagimana  siswa  dapat  mengaitkan informasi  itu pada  struktur kognitif yang telah
ada, yang meliputi  fakta, konsep, dan generalisasi yang telah  dipelajari dan diingat
oleh siswa.

Pada  tingkat    pertama  dalam    belajar,  informasi    dapat    dikomunikasikan 


pada  siswa  baik  dalam  bentuk    belajar  penerimaan  yang  menyajikan 
informasi    itu dalam  bentuk  final,  maupun  dengan   bentuk    belajar   
penemuan  yang mengharuskan  siswa    untuk  menemukan  sendiri    sebagian   
atau  seluruh  materi  yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa 
menghubungkan atau  mengaitkan informasi    itu    pada    pengetahuan  yang 
telah  dimilikinya,  dalam  hal  ini  terjadi  belajar  bermakna.  Akan  tetapi,  siswa 
itu  dapat    juga  hanya  mencoba-coba menghafalkan informasi  baru itu, tanpa
menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya, dalam  hal ini terjadi  belajar  hafalan

Belajar    bermakna    merupakan    suatu      proses      dikaitkannya    informasi     


baru   pada  konsep-konsep    yang    relevan      yang    terdapat    dalam     
struktur    kognitif  seseorang.  Dalam    belajar      bermakna  informasi      baru   
diasimilasikan    pada  subsume-subsume  yang    telah    ada.    Ausubel   
membedakan  antara    belajar   menerima  dengan      belajar  menemukan.  Pada 
belajar    menerima  siswa  hanya menerima,  jadi  tinggal menghapalkannya,   
sedangkan  pada   belajar    menemukan konsep   ditemukan  oleh  siswa,    jadi     
siswa      tidak      menerima    pelajaran    begitu   saja.    Selain      itu      terdapat 
perbedaan    antara    belajar      menghafal      dengan   belajar    bermakna,  pada  
belajar  menghapal siswa  menghafalkan materi  yang sudah    diperolehnya, 
sedangkan  pada  belajar      bermakna    materi      yang      telah   diperoleh  itu  
dikembangkannya  dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

Menurut    Ausubel    (dalam    Dahar,  1988:116)  prasyarat-prasyarat  belajar 


bermakna  ada    dua    sebagai    berikut.  (1)    Materi    yang    akan    dipelajari 
harus  bermakna secara potensial;  kebermaknaan    materi      tergantung    dua     
faktor,   yakni      materi      harus  memiliki    kebermaknaan  logis    dan    gagasan-
gagasan  yang  relevan    harus    terdapat  dalam    struktur  kognitif  siswa.  (2)   
Siswa  yang  akan belajar   harus    bertujuan  untuk  melaksanakan  belajar   
bermakna.  Dengan demikian mempunyai kesiapan dan  niat untuk belajar
bermakna.

Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel (Teori Belajar Bermakna)


Menurut  Ausubel faktor yang paling penting  yang mempengaruhi belajar adalah
apa  yang  sudah    diketahui  siswa.  Jadi  agar    terjadi    belajar    bermakna, 
konsep  baru  atau informasi   baru   harus   dikaitkan  dengan   konsep-konsep 
yang  telah   ada    dalam  struktur  kognitif  siswa.  Dalam  menerapkan  teori 
Ausubel  dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang  harus 
diperhatikan.   Prinsip-prinsip tersebut adalah:

a.Pengaturan  Awal  (advance    organizer).  Pengaturan  Awal  mengarahkan  para


siswa    ke    materi  yang  akan  dipelajari  dan  mengingatkan  siswa  pada  materi
sebelumnya  yang  dapat  digunakanm  siswa  dalam  membantu  menanamkan
pengetahuan baru.

b.Diferensiasi    Progresif.  Pengembangan  konsep  berlangsung  paling   baik  jika


unsur-unsur  yang  paling  umum,paling  inklusif  dari  suatu  konsep  diperkenalkan 
terklebih  dahulu, dan kemudian barudiberikan  hal-hal  yang lebih  mendetail dan 
lebih khusus dari konsep itu. Menurut  Sulaiman  (1988: 203) diferensiasi progresif 
adalah  cara  mengembangkan  pokok  bahasan  melalui penguraian  bahan   
secara  heirarkhis  sehingga    setiap    bagian    dapat    dipelajari  secara  terpisah 
dari  satu kesatuan yang besar.

c. Belajar  Superordinat.  Selama  informasi   diterima  dan  diasosiasikan  dengan


konsep    dalam  struktur  kognitif  (subsumsi),  konsep    itu  tumbuh  dan 
mengalami diferensiasi.  Belajar    superordinat  dapat    terjadi      apabila   
konsep-konsep  yang telah  dipelajari sebelumnya dikenal  sebagai  unsur-unsur
dari  suatu  konsep yang lebih luas, lebih inklusif.

d. Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi  Integratif). Mengajar  bukan  hanya  urutan


menurut  diferensiasi  progresif  yang  diperhatikan,  melainkan  juga  harus
diperlihatkan      bagaimana    konsep-konsepbaru      dihubungkan      pada       
konsep- konsep    superordinat.  Guru  harus    memperlihatkan  secara    eksplisit   
bagaimana arti-arti  baru    dibandingkan  dan    dipertentangkan  dengan    arti-arti 
sebelumnya yang  lebih  sempit,  dan  bagimana    konsep-konsep  yang 
tingkatannya  lebih  tinggi sekarang mengambil  arti baru.

Penerapan Teori Ausubel (Teori Belajar Bermakna) dalam Pembelajaran


Untuk    menerapkan  teori    Ausubel    dalam    pembelajaran,  Dadang   
Sulaiman  (1988)  menyarankan  agar  menggunakan  dua  fase,  yakni  fase 
perencanaan  dan fase  pelaksanaan.  Fase  perencanaan  terdiri  dari 
menetapkan  tujuan  pembelajaran,  mendiagnosis    latar    belakang   
pengetahuan  siswa,    membuat struktur  materi   dan memformulasikan 
pengaturan   awal.  Sedangkan  fase  pelaksanaan  dalam  pemebelajaran  terdiri 
dari  pengaturan  awal,  diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.

Anda mungkin juga menyukai