Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN MENGENAI TRADISI DI KAMPUNG NAGA

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi)


Dosen Pengampu : Tati Suheti,SPd.,M.Kes

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Alya Delia Ailin M (P17320118003)


Maharani Adi (P17320118037)
Rafa Mufidah (P17320118048)
Martha Pramita (P17320118027)

Tingkat II-A

JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANDUNG
2019-2020
1. Pengertian Kampung Naga
Kampung Naga adalah sebuah kampung yang merupakan bagian dari Desa Negla
Sari Kecamatan Salawu Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya Provinsi Jawa
Barat. Letak kampung ini berada di jalur lalu lintas Tasikmalaya-Garut, dengan jarak
lebih kurang 1 km ke bawah/lembah dengan melalui anak tangga sebanyak lebih
kurang 444 anak tangga. daerah permukiman 1,5 hektar, penduduk berjumlah 298
jiwa dengan 102 kepala keluarga (KK). Mata pencaharian pokok penduduk adalah
tani di samping dagang dan membuat kerajinan anyaman.
Seluruh warga. Kampung Naga beragama Islam yang mereka anut secara turun
temurun dari leluhur mereka. Jumlah bangunan di Kampung Naga sebanyak 112
buah, terdiri dari rumah penduduk, 1 buah masjid, 1 buah balai/tempat pertemuan dan
terdapat lumbung padi. Kemudian terdapat 3 bangunan yang tidak semua orang bisa
masuk yaitu Pangsolatan, Bumi Ageung dan Lumbung Padi.
Jumlah bangunan tersebut tidak boleh bertambah, baik karena alasan adat maupun
karena lahan pemukimannya yang terbatas. Seluruh bangunan rumah mempunyai
bentuk dan posisi yang sama, dengan ukuran luas relatif sama. Bahan bangunan yang
digunakan adalah kayu dan bambu untuk rangka, bambu anyam/gedeg untuk dinding
dan langit-langit, serta ilalang dan ijuk untuk atap.
Sumber air untuk mandi, mencuci dan kakus adalah air sungai yang dialirkan ke
permukiman (kampung). Ini dilakukan melalui pipa-pipa PVC serta bambu yang
ditampung pada bak penampungan. Sebagian air dialirkan melalui pipa-pipa berupa
pancuran ke kolam tempat pemeliharaan ikan.yang sekaligus digunakan untuk mandi
dan buang aif besar. Air untuk memasak dan minum berasal dari sumber mata air
yang terletak di lingkungan kampung.

2. Konsep Sehat dan Sakit Kampung Naga


Dalam kehidupan masyarakat di Kampung Naga, terutama pada kalangan orang
tua dikenal istilah ‘kabadi’ yaitu penyakit, yang disebabkan oleh pekerjaan yang
kurang teliti misalnya menyimpan padi lebih dari dua jenis didalam rumah,
menancapkan kayu atau bambu secara terbalik. Selain itu, terdapat istilah ‘sasalad’
yaitu penyakit yang disebabkan oleh kejadian sehari-hari seperti masuk angin, dan
sebagainya.
Gangguan penyakit yang disebabkan oleh ‘kabadi’ bisa dalam bentuk panas, sakit
kepala yang hebat, muntah-muntah, lemas atau bengkak. Biasanya penyakit tersebut
menjadi parah setelah waktu dzuhur menuju malam hari. Pada anak-anak penyakit
bisa disebabkan oleh karena kesalahan dalam memberikan nama.
Menurut penuturan masyarakat penyakit yang sering dialami oleh warga
Kampung Naga adalah hipertensi dikarenakan mayoritas peduduk memiliki aktivitas
yang berat.

3. Cara Pengobatan di Kampung Naga


Untuk mengobati penyakit yang diderita, masyarakat di Kampung Naga
menggunakan kombinasi antara pengobatan tradisional dan medis. Dalam
menentukan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh ‘kabadi’ atau hanya
merupakan ‘sasalad’ penderita atau orang tua penderita menyediakan daun walen.
Kemudian daun tersebut digerus, bila hasil gerusan berwarna merah berarti benar
orang tersebut sakit karena ‘kabadi’ sedangkan bila berwarna hijau berarti bukan
‘kabadi’.
Jika penderita yang disebabkan ‘kabadi’ membawa gerusan daun tersebut ke
‘tukang nyampe’ kemudian diberikan jampi-jampi. Setelah diberi jampi-jampi
kemudian ramuan tersebut dioleskan secara silang dikening penderita dan sisanya
digosokkan ke bagian tubuh lain yang dirasakan sakit. Biasanya tidak lama setelah itu
akan sembuh, akan tetapi bila tidak sembuh masyarakat mencoba pergi ke ‘tukang
nyampe’ lain 2-3 kali.
Jika penyakit yang dianggap ‘sasalad’ biasanya dengan diberikan air putih yang
telah diberikan jampi-jampi langsung sembuh. Bila tidak, bisa menggunakan cara
pengobatan lain seperti menggunakan ramuan tradisional seperti teh pahit, daun
jambu (Psidium guajava) dan larutan gula garam untuk menguhuti diare: kunyit
(Curcuma domestica). daun suji' (Pleomela angustifolia), atau daun huntiris'
(Kolanchoe pinnata) untuk panas), membeli obat-obatan di warung, atau pergi ke
tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak-anak dan bayi, penyakit yang paling sering diderita adalah penyakit
panas, mencret. Dan 'singub' (sesak nafas). Untuk anak yang menderita panas
biasanya diberi 'daun buntiris' (Kolanchoe pinnata), sedangkan untuk mencret
penanganannya tergantung pada berat ringannya penyakit. Pada masyarakat
Kampung Naga, penderita mencret ringan disebut sebagai "indah'. Biasanya lama
mencret sampai 3 hari, dalam kotoránnya terdapat biji'. Dan penanganannya cukup
dengan cara pergi ke "tukang nyampe'. Pada mencret yang lebih berat, bila dengan
cara pengobatan ke tukang nyampe' belum sembuh biasanya pergi ke dokter, mantri
kesebatan, atau puskesmas.
Untuk pengobatan 'singub' penderita diberi lulur ramuan daun "karuk' (Piper
sarmentosum) yang bentuknya seperti daun sirih, daun 'talingkup' (Claorylonpolot),
dan daun paku andam' (Dipluzium proliferum) sebelah kiri yang telah digerus dan
diberi jampi-jampi oleh ‘tukang nyampe’.
Selain itu dikenal tanaman herbal lain yang dipercayai dapat menyembuhkan
beberapa penyakit seperti kapulaga untuk mengobayi batuk, babadotan untuk
mengobati gatal-gatal, jawer kotok untuk mengobati demam, dan kitajan untuk
mengobati sakit perut.

4. Tempat Pengobatan di Kampung Naga


Masyarakat Kampung Naga pada umumnya sudah mengenal dan menggunakan
fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, dokter, dan mantri. Meskipun sarana
pelayanan kesehatan tidak tersedia di Kampung Naga dan satu satunya yang terdekat
berjarak 5-7 km, namun masyarakat tetap dapat pergi ke puskesmas dengan
menggunakan angkutan umum.
Untuk pertolongan persalinan, masyarakat dibantu oleh bidan ataupun dokter
karena masyarakat sudah mengikuti program kesehatan dari pemerintah, namun
masih terdapat paraji atau dukun beranak untuk membantu menafsirkan waktu
persalinan, dan merawat bayi sesuai dengan adat istiadat.

5. Proses Pernikahan Adat Kampung Naga


Masyarakat Kampung Naga dibebaskan untuk memilih pasangannya sendiri baik
itu pada orang Kampung Naga atau di luar Kampung Naga. Namun, jika menikah
dengan sesama orang kampung Naga maka dapat dipastikan bahwa adatnya itu
mengikuti 100% seperti adat yang berada di Kampung Naga, tetapi jika menikah
dengan orang di luar Kampung Naga maka adatnya 50% di Kampung Naga 50% ikut
ke adat luar. Orang luar yang menikah dengan orang kampung naga bisa masuk ke
kampung Naga tapi harus mengikuti aturan yang ada di Kampung Naga.
Akan tetapi karena sudah penuhnya lahan terpaksa orang kampung Naga yang
menikah harus tinggal luar Kampung Naga kecuali mereka bersedia serumah dengan
orang tuanya menjadi 2 kepala keluarga dalam satu rumah. Keturunan Kampung
Naga itu kebanyakan 98% sudah berada di luar, yang berada di kampung ini hanya
2%. Namun di luar juga yang menjadi pembeda adalah rumah dan kegiatan-kegiatan.
Pernikahan Kampung Naga di awali oleh tradisi ‘narosan’. Tradisi ini
menggunakan sirih, jumlah sirih di sesuaikan dengan tanggal lahir pihak mempelai
wanita misal wanitanya lahir hari Senin berarti sirih yang digunakan itu harus ada 4
lembar atau 4 ikat. Sirih tersebut disertai oleh gambir. Jika lamaran pihak laki-laki
diterima maka pihak wanita harus memakan sirih tersebut. Namun, jika sirih tidak
dimakan berarti lamaran ditolak.
Setelah itu sehari sebelum dilaksanakan walimah ada tradisi ‘ngeuyeuk seureuh’,
yaitu pakaian baru calon mempelai wanita dan laki-laki ditumpuk secara silang dan
dimasukkan ke dalam ayakan lalu di gotong Bersama oleh calon mempelai, wali dan
juga orang tua. Kira-kira ada 6 orang yang menggotong pakaian tersebut lalu di
do;akan. Tradisi tersebut sebagai simbol bahwa dalam rumah tangga itu dibutuhkan
kerja sama antara pihak laki-laki dan perempuan.
Seusai dilaksanakan walimahan ada tradisi yaitu saweran Buhun. Dalam
pernikahan adat Kampung Naga tidak ada istilah hiburan atau mendekor rumah. Tapi
jika ingin ada hiburan maka harus dilaksanakn di luar Kampung Naga. Hal yang
disebut wajib dalam pernikahan di Kampung Naga yaitu wali, saksi dan pihak KUA.
Tidak ada undangan dan hanya mengundang keluarga saja

6. Tradisi Kehamilan di Kampung Naga


Ada beberapa hal yang dilarang dilakukan oleh suami dan istri ketika istrinya
hamil. Larangan tersebut antara lain dilarang memancing sebelum bayi lahir,
kemudian dilarang untuk memotong sesuatu, dilarang untuk melilitkan kain atau
samping di leher . Hal ini dianggap takut bayinya terbelit plasenta. Larangan-larangan
tersebut dipercaya untuk mencegah bayi mengalami suatu hal yang buruk seperti
kecacatan
Selain itu wanita hamil diharuskan untuk membereskan atau merapikan apa saja
misalkan rambut kusut harus disisir serta membersihkan kamar mandi. Hal ini supaya
diberi kelancaran saat melahirkan nanti. Saat kehamilan sudah mendekati persalinan
di bulan ke 9, ibu hamil harus merangkak di dalam rumah supaya posisi bayi yang
kepalanya di bawah itu tidak berubah. Lalu ketika ibu hamil ingin ke kamar mandi di
malam hari maka harus di antar dengan membawa lampu damar yang asli yaitu obor.

7. Proses Persalinan di Kampung Naga


Ketika ada perempuan yang sudah hamil tua dan merasakan mules sebelum
dibawa ke bidan maka diperiksakan dulu ke paraji untuk membantu dalam
menentukan taksiran persalinan. Jika menurut paraji perempuan tersebut akan segera
melahirkan baru wanita tersebut dibawa ke bidan. Walaupun paraji mampu untuk
membantu persalinan tapi karena Kampung Naga mengikuti program pemerintah jadi
tidak diperbolehkan melakukan persalinan oleh paraji.

8. Proses Perawatan Bayi di Kampung Naga


Setelah melahirkan ada tradisi ‘turun tanah’ yaitu bayi digendong oleh paraji dan
dibawa keluar. Lalu Bapak dari bayi tersebut menuntun ‘mumundingan’ yang bisa
dibuat dari bunga pisang atau kelapa sambil mengelilingi padi yang dibakar. Setelah
itu kelapa tersebut di tanam dan menjadi kenang-kenangan bayi sesudah dewasa
karena umur kelapa tersebut menunjukkan umur bayi. Selain itu ada tradisi
‘mahinum’ yaitu memotong pohon kawung/ aren untuk acara selametan bayi. .
Pada bayi baru lahir jika ibu ingin meninggalkan bayi keluar maka biasanya
ditaruh pisau di dekat bayi dan juga di simpan orang-orangan yang dipakaikan baju di
samping bayi. Biasanya orang-orangan tersebut terbuat dari boboko dan aseupan yang
dipakaiakan baju supaya mirip manusia. Hal ini di percaya supaya bayi tidak di
ganggu oleh makhluk halus.

9. Kesehatan Remaja (Menstruasi) di Kampung Naga


Ada beberapa hal yang di larang ketika perempuan mengalami menstruasi di
Kampung Naga salah satunya adalah di larang untuk masuk ke dalam rumah ageung.
Hal ini dikarenakan perempuan yang sedang haid di anggap tidak suci. Selain itu
larangan untuk ibadah seperti sholat dan mengaji.

10. Proses Pemakaman Adat Kampung Naga


Jika ada masyarakat yang meninggal, semua warga yang memiliki kegiatan di luar
Kampung dmeninggalkan semuanya dan mengutamakan untuk melayat ke orang
yang meninggal dan juga memberikan harta yang dimiliki seperti uang atau beras
kepada keluarga yang ditinggalkan. Setelah itu warga bersama-sama mencari bambo
untuk membuat keranda. Keranda yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga
bukan terbuat dari besin tapi dari bambu. Keranda ini dibuat untuk masing-masing
orang dan tidak dipakai secara bergantian.
Jika mayat sudah dikuburkan maka keranda tidak dibawa kembali tetapi di
letakkan di samping makam. Tempat pemakamannya sendiri berjarak ±1,5 km dari
Kampung Naga. Dinamakan pemakaman babakan sesuai dengan nama tempatnya
sendiri yaitu Babakan. Pemakaman babakan di khususkan untuk masyarakat
Kampung Naga saja.
Setelah itu di kenal tradisi ‘nyusur tanah’ yaitu mendatangi dan berdo’a di rumah
orang yang meninggal tersebut bersama dengan keluarga yang ditinggalkan. Sesudah
menyusur tanah, malamnya ada tahlilan atau dikenal dengan istilah ‘ngaos’ sampai 40
hari untuk memberi do’a.

11. Proses Pembuatan dan Penataan Rumah Adat Kampung Naga


Proses membuat rumah di kampung naga dimulai dari Nebang lalu tradisi ‘ngadek
kai’. Sebelum melakukan tradisi ‘ngadek kai’ perkakas yang akan digunakan untuk
membangun rumah dikumpulkan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan tradisi
selanjutnya yang dikenal dengan istilah di ‘rajah’ yang syaratnya itu adalah harus
menyediakan air beras, jawer kotok dan hasil bumi yang ada. Setelah itu air beras
yang disediakan di do’akan dan di cipratkan ke peralatan yang akan digunakan untuk
membangun rumah dengan harapan supaya pembangunan rumah tersebut berjalan
lancar
Dalam pembangunan rumah ada hal-hal yang harus diperhatikan seperti hari
untuk membuat rumah. Dalam menentukan hari pembangunan harus menggunakan
perhitungan secara tradisi sesuai tanggal lahir pemilik rumah. Hal ini di percaya
untuk mengindarkan dari kesialan atau kegagalan dalam pembangunan
rumah.Kemudian setelah rumah selesai di bangun atau ngadeg ada tradisi memotong
ayam untuk syukuran rumah. Acara syukuran atau selamatan tersebut dipimpin oleh
sesepuh yang berada di Kampung Naga.
Bentuk bangunan rumah di Kampung Naga saat ini berbeda dengan rumah
pertama yang didirikan di kampung Naga atau di kenal dengan nama rumah ageung.
Jika rumah ageung tidak memiliki kaca dan tidak memakai paku, rumah adat
kampung naga sekarang sudah memiliki kaca dan menggunakan paku. Selain itu
terdapat sekat antar ruangan di rumah adat Kampung Naga saat ini.
A.

Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai