Anda di halaman 1dari 6

Edukasi pada Pasien Sindroma Kardiorenal

dalam Upaya Pencegahan dan Peningkatan Pengetahuan


Hidayat Fatahillah
Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran,
UniversitasSebelas Maret, Surakarta, Indonesia
hidayatfatahillah002@gmail.com

Abstract. Cardiorenal syndrome is generally defined as a pathophysiological disruption in


the heart and kidneys, where acute or chronic dysfunction occurs in one of the organs wich
causes interference with other organs. This research was conducted by descriptive research.
Patient education is very important to be done so as toincrease the patient’s knowledge of
desease so that he can prevent the desease.

Keywords: cardiorenal syndrome, education, prevention, knowledge

1. PENDAHULUAN

Keseimbangan kardiovaskular dipengaruhi oleh interaksi antara jantung dan ginjal; gangguan
ginjal sering disertai gagal jantung dan gangguan jantung sering disertai gagal ginjal, yang dikenal
dengan sindroma kardiorenal.
Sindroma Kardiorenal pada umumnya didefinisikan sebagai kondisi gangguan secara
patofisiologi pada jantung dan ginjal, dimana terjadi disfungsi yang akut atau kronis pada salah satu
organ yang menyebabkan gangguan pada organ lainnya (Orvalho, 2017). Sindroma Kardiorenal
adalah penurunan fungsi ginjal akibat adanya penurunan fungsi jantung. Salah satu fungsi ginjal
adalah untuk mengatur garam dan cairan maka penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan
pengobatan terhadap gagal jantung terganggu (Roesli RM, 2009).
Sindroma Kardiorenal berlangsung seperti suatu lingkaran yang saling berhubungan dimana
gagal jantung dapat memperberat gagal ginjal kronik, demikian juga sebaliknya. Patofisiologi
terjadinya Sindroma Kardiorenal sangat rumit dan belum sepenuhnya dipahami. Pada sindrom
kardiorenal terdapat ketidakseimbangan interaksi antara gagal jantung, sistem neurohormonal, dan
respon inflamasi. Rumitnya proses perlangsungan sindrom ini dan kurangnya pemahaman
menyebabkan pengobatan pada sindrom kardiorenal masih merupakan tantangan bagi para klinisi.
Sekitar 10,8% (20 juta) penduduk Amerika Serikat mengalami penyakit ginjal kronis dan
sekitar 0,1% (400.000) penduduk Amerika Serikat mengalami gagal ginjal terminal. Laporan dari
studi Hemodialisis (HEMO) menunjukan prevalensi gagal ginjal terminal berkisar 40%. Pada
pasien-pasien gagal ginjal terminal prevalensi hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit jantung koroner
adalah 75% dan 40% ( Kulkarni, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Studies of Left Ventricular Dysfunction
(SOLVD), dengan skala yang cukup luas, mendapatkan bahwa sepertiga dari pasien-pasien dengan
gagal jantung sedang memiliki laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2.10
Penelitian yang dilakukan Adhere Decom-pensated Heart Failure National Registry (ADHERE)
yang melibatkan 275 rumah sakit mendapatkan dari 107.362 pasien gagal jantung akut
dekompensata yang didata pada Januari 2004, terdapat 30% (32.000) yang sudah memiliki
insufisiensi ginjal. Serum kreatinin > 2 mg/dl didapatkan pada 20% populasi, serum kreatinin > 3
mg/dl pada 9% populasi, serta 5% dari pasien-pasien tersebut telah menjalani dialisis kronis. Rerata
konsentrasi kreatinin pada laki-laki dan perempuan adalah sebesar 1,9 mg/dl dan 1,6 mg/dl.
Kematian pada gagal jantung akut dekompensasi yang berhu-bungan dengan fungsi ginjal adalah
sebesar 9,4% pada pasien-pasien dengan serum kreatinin > 3.0 mg/dl. Jumlah total sebesar 60%
pasien dengan gagal jantung akut dekompensata mengalami disfungsi ginjal sedang sampai
berat.1,11 Dari prevalensi disfungsi ginjal pada pasien gagal jantung akut dekompensata dengan
menggunakan laju filtrasi glomerulus sebagai prediktor kematian yang kuat didapatkan mayoritas
pasien yang terdaftar dalam penelitian ADHERE memiliki kerusakan ginjal sedang pada > 60%
laki-laki sedangkan pada perempuan 46,8% dengan disfungsi ginjal berat.11 Penelitian Mcclellan
dkk, menda-patkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronik sebesar 60,4% pada pasien gagal jantung
kronik dan 51,7% pada pasien infark miokard akut. Bila dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit
ginjal kronik, angka rawat inap ulang dalam 30 hari lebih sering terjadi pada pasien gagal jantung
kronis dengan penyakit ginjal kronik dengan odd ratio 1,70 dan 1,78 kali lebih sering pada pasien
infark miokard akut dengan penyakit ginjal kronik (Ronco, 2010).
Sindroma Kardiorenal mempunyai 5 tipe klasifikasi , yaitu :
1. Sindroma Kardiorenal tipe 1
Meupakan Sindroma Kardiorenal akut, dimana disfungsi jantung akut menyebabkan perubahan
akut pada ginjal yaitu Acute Kidney Injury (AKI). Perburukan akut fungsi jantung pada syok
kardiogenik, gagal jantung kongestif dekompensata, dan sindrom koroner akut mencetuskan
secara mendadak penurunan fungsi ginjal ataupun gagal ginjal akut. Sekitar 27-40% pasien acute
decompensated heartfailure (ADHF) akan mengalami acute kidney injury (AKI) yang ditandai
dengan peningkatan kadarkreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL;13 kondisi ini meningkatkan
mortalitas dan morbiditas serta meningkatkan lamanya rawat inap(Neki, 2015).
2. Sindroma Kardiorenal tipe 2
Merupakan Sindroma Kardiorenal kronik, dimana penyakit jantung kronik (gagal jantung kronik)
menyebabkan kelainan pada ginjal yang bersifat kronik (contoh : gagal jantung kronik). Gagal
jantung kronik berkomplikasi penyakit ginjal kronik akibat kerusakan mikrovaskular dan
makrovaskular ginjal yang disertai gangguan hemodinamik. Sekitar 63% pasien congestive heart
failure (CHF) mengalami chronic kidney disease (CKD) stage III-V (Neki, 2015).
3. Sindroma Kardiorenal tipe 3
Merupakan Sindroma Renokardial akut, dengan karakteristik disfungsi ginjal yang akut atau
mendadak dapat mengakibatkan kelainan jantung akut (gagal jantung akut, iskemia, aritmia).
Penurunan fungsi ginjal akut seperti glomerulonefritis akut ataupun pada stenosis arteri renal
bilateral yang menyebabkan gangguan ataupun penurunan fungsi jantung yang akut
dimanifestasikan dengan gagal jantung akut, aritmia, ataupun iskemia. Bagian dari tipe ini
mengacu pada kelainan fungsi jantung sekunder terhadap AKI (Neki, 2015).
4. Sindroma Kardiorenal tipe 4
Merupakan Sindroma Renokardial kronik, dimana kelainan ginjal kronik atau gagal jantung
kronik (seperti penyakit glomerulal) menyebabkan penurunan fungsi jantung, hipertrofi ventrikel,
disfungsi diastolik, serta peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penyakit ginjal
kronik mengakibatkan penurunan fungsi jantung atau gagal jantung, dan penyakit jantung
iskemik. Berbagai efek disfungsi ginjal menyebabkan gangguan fungsi jantung meliputi
ketidakseimbangan hemodinamik, inflamasi kronik, dan prosesaterosklerosis progresif (Neki,
2015).
5. Sindroma Kardiorenal tipe 5
Merupakan Sindroma Kardiorenal sekunder, dimana terdapat kombinasi disfungsi antara jantung
dan ginjal yang disebabkan oleh penyakit sistemik akut atau kronik. Gangguan ataupun disfungsi
simultan fungsi jantung atau ginjal disebabkan baik oleh obat-obatan maupun gangguan sistemik
seperti penyakit autoimun, diabetes melitus, amiloidosis, hipertensi, sepsis, ataupun disseminated
intravascular coagulation (DIC). Gangguan tersebut dapat bersifat akut (seperti pada sepsis)
ataupun kronik (seperti akibat diabetes melitus) (Neki, 2015).

Ketika terjadi gagal jantung, penurunan fungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri
menyebabkan sejumlah perubahan hemodinamik termasuk penurunan cardiac output, stroke volume
dan pengisian arterial. Penurunan darah arterial ini ditangkap oleh baroreseptor arterial dan terjadi
pelepasan neurohormonal sebagai mekanisme kompensasi dengan tujuan mengoreksi dan
memperbaiki perfusi organ. Pengaktifan pada sistem renin-angiotensin (SRA), sistem saraf simpatis,
endothelin dan arginin vasopresin mendorong terjadinya retensi cairan. Sistem vasokonstriksi
dengan retensi natrium ini diimbangi oleh vasodilator, sistem hormonal natriuretik atau sistem
sitokin, termasuk natriuretik peptida, prostaglandin, bradikinin dan nitric oxide (NO) (Obi, 2015).
Pada kondisi fisiologis normal jalur ini akan membantu ketersediaan status volume dan tonus
vaskular dengan mengoptimalkan cardiac output dan perfusi organ. Kondisi ini bila berlangsung
secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya disfungsi ginjal yang mendorong aktivasi
patologik dari SRA, yang akan mengaktifkan jalur nikotinamida adenin dinukleotida fosfat-oksidase
(NADPH-oksidase), yang menyebabkan pembentukan reactive oxygen species (ROS) secara
berlebihan.
Sindroma Kardiorenal selalu melibatkan secara bersama-sama gagal jantung dan gagal ginjal.
Gagal jantung merupakan suatu sindrom yang kompleks sebagai akibat dari gangguan fungsi dan
struktur jantung yang menghambat kemampuan jantung dalam berfungsi sebagai pompa untuk
mendukung sirkulasi fisiologis (Bart, 2012). Sindrom gagal jantung ini ditandai oleh gejala seperti
sesak napas, rasa capek, dan tanda-tanda seperti retensi cairan. Manifestasi klinis dari sindrom
kardiorenal dapat berupa satu atau lebih dari gambaran spesifiknya yaitu: 1) kegagalan kardiorenal
ringan (gagal jantung + LFG 30-59 ml/menit/1,73 m 2); sedang (gagal jantung + LFG 15-29
ml/menit/1,73 m2); dan berat (gagal jantung + LFG < 15 ml/menit/1,73m 2). 2) penurunan fungsi
ginjal selama pengobatan gagal jantung (perubahan kreatinin > 0,3 mg/dl atau > 25% kreatinin
awal). 3) adanya resistensi terhadap diuretik (kongesti yang menetap meskipun dengan > 80 mg
furosemid/ hari, > 240 mg furosemid/hari, infus furosemid kontinyu, serta kombinasi terapi diuretik
(diuretic loop + thiazide + antagonis aldosteron) (Komal, 2016).
Penurunan fungsi ginjal dengan atau tanpa resistensi terhadap diuretik selama pengobatan
gagal jantung selalu menjadi faktor yang mempersulit klinisi (Cortesi,2017). Guideline tatalaksana
gagal jantung dan gagal ginjal belum mencakup strategi yang konsisten dan efektif; masih dilakukan
pendekatan empirik, yaitu: deteksi sindrom kardiorenal, mengantisipasi perburukan fungsi ginjal
dan/atau resistensi diuretik, optimalisasi pengobatan gagal jantung, evaluasi struktur dan fungsi
ginjal, serta optimalisasi dosis diuretik dan terapi khusus untuk ginjal.
1. Deteksi Sindroma Kardiorenal dan antisipasi timbulnya perburukan fungsi ginjal atau resistensi
diuretik
Pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami Sindroma Kardiorenal adalah pasien
disfungsi diastolik berat (tanpa melihat fraksi ejeksi), hipertensi pulmonal sekunder, disfungsi
ventrikel kanan, regurgitasi mitral atau trikuspid fungsional yang bermakna, riwayat gagal jantung
hingga dirawat di rumah sakit, ada riwayat perburukan fungsi ginjal dengan episode ADHF, atau
riwayat dialisis sementara (sering setelah operasi jantung atau pemberian kontras).
2. Optimalisasi terapi gagal jantung
Pengobatan gagal jantung berkelanjutan dapat meningkatkan dan menimbulkan disfungsi
kardiorenal (Komal, 2016). Tindakan prevensi primer seperti tekanan darah, kolesterol, gula,
aktivitas fisik, dan penghentian merokok harus dilakukan.
Inotropik
Obat-obatan inotropik seperti dobutamine, dopamine, dan milrinone dapat digunakan
secara intravena dalam tatalaksana syok kardiogenik sesuai panduan.
Beta-blocker
Beta-blocker dikontraindikasikan pada ADHF tetapi digunakan pada kasus CHF. Pada
kasus CHF dan CKD, beta-blocker terbukti menurunkan angka mortalitas tetapi berkaitan dengan
kejadian bradikardia dan hipotensi.
Cardiac Resynchronisation (CRT)
CRT meningkatkan fungsi ejeksi fraksi ventrikel kiri dan GFR; meskipun masih harus
diteliti lebih lanjut. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI).
Penggunaan ACEI pada pasien insufisiensi ginjal berat harus sangat hati-hati karena
meskipun memperbaiki survival rate, banyak pasien tidak dapat mentoleransi obat ini karena efek
hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjal sedang sampai berat
ACEI harus dimulai dari dosis rendah, ditingkatkan bertahap dengan pengawasan ketat elektrolit
serum dan fungsi ginjal.
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Pada gagal jantung pengaruh ARB terhadap survival rate dan komplikasi ginjal tidak
berbeda makna dibandingkan ACEI. ARB dapat memperbaiki survival pasien yang tidak dapat
mentoleransi ACEI karena batuk. Efek samping hiperkalemia atau perburukan fungsi ginjal pada
penggunaan ACEI juga terjadi pada penggunaan ARB.
3. Evaluasi struktur dan fungsi ginjal
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan gagal jantung dan disfungsi ginjal seperti infeksi,
penggunaan agen nefrotoksik, atau faktor risiko stenosis arteri renal harus diketahui. Urinalisis
termasuk analisis urin mikroskopis, ultrasound ginjal dengan Doppler arteri renalis dan penilaian
renal resistive indices untuk menilai ukuran ginjal, adanya stenosis arteri renalis, serta untuk
mengetahui karakteristik struktur penyakit ginjal dilakukan untuk diagnosis pasti, terapi, dan
penentuan prognosis.
4. Optimalisasi dosis diuretik
Diuretik digunakan untuk tatalaksana overload cairan pada gagal jantung dan gagal ginjal.
Meskipun penggunaan diuretik jangka pendek efektif menghilangkan gejala gagal jantung,
penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan aktivitas RAAS, sistem saraf simpatis,
mengurangi laju filtrasi glomerulus, disfungsi ginjal, dan akhirnya dapat memperburuk gagal
jantung. Pada keadaan ini, kombinasi diuretik dosis rendah misalnya kombinasi diuretic loop dan
golongan tiazid lebih efektif dan lebih sedikit memberikan efek sekunder dibanding dosis tinggi
satu diuretik.
5. Terapi khusus ginjal
Nesiritide merupakan ß-type natriuretic peptide (BNP) sintetik yang menyebabkan
natriuresis dan diuresis serta menekan norepinefrin, endothelin-1, dan aldosteron. Nesiritide
bersama furosemid dapat meningkatkan lajufiltrasi glomerulus dibandingkan furosemid sendiri.
Nesiritide dan furosemid efektifmelindungi fungsi ginjal dan menghambat aktivitas RAAS,
memaksimalkan natriuresis dan diuresis, serta menghambat progresivitas gagal jantung; namun
masih perlu penelitianlebih lanjut.Ultrafitrasi Tiga penelitian acak (Ultrafiltration versus
Intravenous Diuretics for Patients Hospitalised for Acute Decompensated Congestive Heart
Failure [UNLOAD], Relief for Acutely Fluid-Overloaded Patients with Decompensated
Congestive Heart Failure [RAPIDCHF], Cardiorenal Rescue Study in Acute Decompensated
Heart Failure [CARESSHF]) dilakukan untuk membandingkan penggunaan diuretik dengan
ultrafiltrasi pada pasien ADHF. Pada penelitian UNLOAD yang membandingkan diuretik
intravena dan ultrafiltrasi pada 200 pasiengagal jantung akut, didapatkan pasien yang mendapat
ultrafiltrasi mengalami penurunanberat badan lebih banyak pada 90 hari dan mengalami rawat
inap ulang lebih rendahmeskipun tidak terdapat pengaruh proteksi terhadap fungsi ginjal.
Sedangkan padapenelitian CARESS-HF, didapatkan pengaruh proteksi terhadap fungsi ginjal
yang ditandai dengan perbaikan nilai kreatinin pada filtrasi ( Bart et al, 2012).
2. METODE

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik
yang berlangsung saat ini maupun yang berlangsung saat lampau. Penelitian ini dilakukan dengan
tidak memanipulasi data atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan
suatu kondisi apa adanya (Yusuf, A. M., 2013). Data penelitian didapatkan dengan cara melakukan
wawancara pada dokter yang pernah menangani beberapa pasien Sindroma Kardiorenal.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Edukasi pasien merupakan kewajiban seorang dokter. Edukasi pasien merupakan upaya
untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan pasien mengenai faktor resiko penyakit dan
pola hidup sehat dalam upaya meningkatkan status kesehatan dan mencegah timbulnya kembali
penyakit. Berikut merupakan beberapa hal yang perlu disampaikan dalam mengedukasi pasien :
1. Penjelasan singkat mengenai Sindroma Kardiorenal
Sindroma Kardiorenal merupakan kondisi patofisiologi timbal balik antara jantung dan ginjal,
dimana jika tejadi kondisi penyakit yang akut atau kronis pada salah satu dari kedua organ
tersebut maka akan mempengaruhi organ lainnya. Conthnya orang yang terkena penyakit gagal
jantung kronis, juga dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal kronis, begitupun sebaliknya.
2. Perbaikan pola hidup
Pada saat melakukan edukasi kepada pasien mengenai perbaikan pola hidup, yang paling penting
disampaikan adalah untuk menghindari faktor-faktor yang dapat mengganggu kinerja jantung
ataupun ginjal. Walaupun sebagian besar pasien sudah memiliki pola hidup yang tergolong
sehat, perlu disampaikan lagi pola hidup seperti apa yang baik untuk menjaga kinerja jantung
dan ginjal, seperti:
- Mengonsumsi buah-buahan seperti pir, jeruk, pisang, dan apel
- Mengonsumsi sayuran seperti kubis dan brokoli
- Meminum produk susu bebas lemak
- Menghindari minuman bersoda karena minuman bersoda dapat memperberat kinerja pada
ginjal
- Berhenti merokok, karena merokok tidak hanya merusak paru-paru tetapi juga mengganggu
kinerja jantung
- Menjaga berat badan, karena berat badan berlebih memerlukan kinerja jantung yang ekstra
- Mengontrol gula darah dan tekanan darah secara rutin
- Olahraga yang teratur agar mempertahankan stabilitas kinerja jantung
3. Langkah pengobatan
Pengobatan yang dilakukan pada pasien yang terkena Sindroma Kardiorenal sangat bergantung
dari penyakit yang dideritanya. Pemberian obat pada pasien Sindroma Kardiorenal dilakukan
pada penyakit kronis terlebih dahulu, lalu kemudain dilanjutkan dengan pemberian obat pada
penyakit akut. Salah satu caontohnya ialah apabila seseorang mengidap gagal jantung kronis
yang sampai menyebabkan gagal ginjal akut, maka yang harus dilakukan adalah pengobatan
pada jantung terlebih dahulu sebelum melakukan pengobatan pada ginjal.
4. SIMPULAN

Eduaksi pasien sangat penting dilakukan guna meningkatkan pengetahuan pasien mengenai
penyakit yang dideritanya, faktor-faktor yang mempengaruhinya, pola hidup yang baik agar
terhindar dari penyakit tersebut, serta langkah pengobatan yang benar terhadap Sindroma
Kardiorenal. Dengan mengetahui semua itu, seorang pasien dapat melakukan pencegahan
timbulnya kembali penyakit.
Pada penelitian kali ini, edukasi oleh dokter yang diperoleh dari hasil wawancara sudah
sesuai dengan teori yang ada, menggunakan Bahasa sehari-hari agar lebih mudah dipahami oleh
pasien, serta menjelaskan dengan baik mengenai pengertian penyakit, faktor yang berpengaruh, dan
langkah pengobatannya.
5. SARAN

Sebaiknya edukasi pasien dilakukan secara lebih detail agar pasien mengetahui secara konkrit
mengenai penyakit yang diderita sehingga dapat mencegah timbul kembalinya penyakit. Selain itu,
edukasi pasien sebaiknya menyertakan pola hidup yang dapat mennyebabkan penyakit ginjal
ataupun penyakit jantung secara lengkap agar pasien dapat menghindari pola hidup atau kebiasaan
tersebut.
6. DAFTAR PUSTAKA

Bart BA, Goldsmith SR, Lee KL, Givertz MM, O’Connor CM, Bull DA, et al.(2012).
Ultrafiltration in decompensated heart failure with cardiorenal syndrome. N Engl J
Med.;367:2296.
Cortesi, C., Ibrahim, M., Rivera, F. C., & Hernandez, G. A. (2017). Cardiorenal Syndrome,
Hemodynamics, and Noninvasive Evaluation. Clinical Medicine Insights: Therapeutics, 9,
1179559X1774237. doi:10.1177/1179559x17742376
Kamal, F. A., Travers, J. G., Schafer, A. E., Ma, Q., Devarajan, P., & Blaxall, B. C. (2016). G
Protein–Coupled Receptor-G–Proteinβγ–Subunit Signaling Mediates Renal Dysfunction and
Fibrosis in Heart Failure. Journal of the American Society of Nephrology, 28(1), 197–208.
doi:10.1681/asn.2015080852
Kulkarni DM, M. (2016). Cardio Renal Syndrome. Journal of Nephrology & Therapeutics, 06(01).
doi:10.4172/2161-0959.1000233.
Kulkarni M. (2016).Cardiorenal syndrome. J Nephrol Therapeut.;6:233.
Neki, N. (2015). Cardiorenal Syndrome - A Review Article. Journal of Medicine, 16(1).
doi:10.3329/jom.v16i1.22400
Obi, Y., Kim, T., Kovesdy, C. P., Amin, A. N., & Kalantar-Zadeh, K. (2015). Current and
Potential Therapeutic Strategies for Hemodynamic Cardiorenal Syndrome. Cardiorenal
Medicine, 6(2), 83–98. doi:10.1159/000441283
Orvalho, J. S., & Cowgill, L. D. (2017). Cardiorenal Syndrome. Veterinary Clinics of North
America: Small Animal Practice, 47(5), 1083–1102. doi:10.1016/j.cvsm.2017.05.004
Ronco C, McCullough P, Anker SD, Anand I, Aspromonte N, Bagshaw SM, et al.(2010)
Cardiorenal syndromes: Report from the consensus conference of the acute dialysis quality
initiative. Eur Heart J.;31:703-11.
Yusuf, A. M., & Daharnis, D. (2013). Jurnal konseling dan pendidikan. Jurnal Konseling
Dan Pendidikan, 1(3), 9–27.

Anda mungkin juga menyukai