Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

A. DEFINISI

Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan
fakta dan keyakinan tersebut mungkin “aneh” (misalnya”saya adalah nabi yang
menciptakan biji mata manusia”) atau bias pula “tidak aneh” (hanya sangat tidak
mungkin, contoh masyarakat di surge selalu menyertai saya kemanapun saya pergi”)
dan tetap dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya (Purba dkk, 2008).

Kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan dengan isi pikirannya
padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Atau kepercayaan yang telah
terpaku/terpancang kuat dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan
kenyataan tetapi tetap dipertahankan. Jika disuruh membuktikan berdasar akal
sehatnya, tidak bias. Atau disebut juga kepercayaan yang palsu dan sudah tidak
dapat dikoreksi (Baihaqi, 2007).

Delusi atau waham merupakan gagasan (idea) atau pendapat bahwa seorang
individu meyakini sutu kebenaran, yang kemungkinan besar bahkan hamper pasti,
jelas, tidak mungkin. Tentu saja, banyak orang memegang keyakinan yang
kemungkinan besar bias menjadi salah, seperti keyakinan akan menang lotre. Self
deception (penipuan atau pembodohan diri sendiri ) semacam ini berbeda dengan
delusi, setidaknya dalam tiga cara atau tiga hal hal berikut :
Pertama, self-deception tidaklah secara penuh mustahil, sedangkan waham
memang sering begitu. Memang mungkin memenangi lotre, tetapi tidak mungkin
bahwa tubuh anda menghilang/melarut atau mengambang di udara.

Kedua, orang yang memiliki self deception ini kadang-kadang memikirkan


keyakinan tersebut, tetapi orang yang mengalami waham cenderung terokupasi
(dikuasai) keyakinan sendiri. Orang-orang yang mengalami delusi atau waham
mencari bukti-bukti untuk mendukung keyakinan mereka, berusaha untuk
menyakinkan orang lain, dan melakukan tindakan-tindakan yang didasari
keyakinannya itu, seperti mengajukan tuntutan secara hokum melawan orang-orang
yang mereka yakini mencoba mengendalikan pikiran mereka.
Ketiga, orang-orang dengan self-deception secara tipikal (khas) mengakui
bahwa keyakinan mereka bisa jadi salah, tetapi orang-orang yang mengalami delusi
sering kali sangat bertahan untuk mendebat fakta-fakta yang berlawanan
(contradicting) dengan keyakinan mereka. Mereka mungkin memandang argumen
atau pendapat orang lain yang melawan keyakinan mereka sebagai sebuah
konspirasi (persekongkolan) untuk membungkam atau membunuh mereka, dan
sebagai bukti benarnya keyakinan mereka (Wiramihardja, 2007).

B. FAKTOR PENYEBAB WAHAM PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

1. Faktor Predisposisi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya waham yang dijelaskan


oleh Towsend 1998 adalah :

1. Teori Biologis

Teori biologi terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap


waham:

a. Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan


suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan
kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).

b. Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan


skizofrenia mungkin pada kenyataannya merupakan suatu kecacatan sejak
lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan
suatu kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang
menderita skizofrenia.

c. Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamin


neurotransmiter yang dipertukarkan menghasilkan gejala-gejala peningkatan
aktivitas yang berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya
diobservasi pada psikosis.

2. Teori Psikososial
a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Towsend (1998 : 147) menggambarkan
perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam
anak akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansielas dan
suatu kondsi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan
yang saling mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan
anakanak. Anak harus meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua
dan anak dan masuk ke dalam masa dewasa, dan dimana dimasa ini anak
tidak akan mamapu memenuhi tugas perkembangan dewasanya.
b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan
menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak
menerima pesan-pesan yang membingungkan dan penuh konflik dari orang tua dan
tidak mampu membentuk rasa percaya terhadap orang lain.

c. Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego yang
lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling mempengaruhi
antara orang tua, anak. Karena ego menjadi lebih lemah penggunaan mekanisme
pertahanan ego pada waktu kecemasan yang ekstrim menjadi suatu yang maladaptif
dan perilakunya sering kali merupakan penampilan dan segmen id dalam
kepribadian.

2. Faktor Presipitasi

1. Biologis

Stressor biologis yang berhubungan dengan neurobiologis yang maladaptif


termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi
informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.

Pada pasien dengan waham, pemeriksa MRI menunjukkan bahwa derajat


lobus temporal €tidak simetris. Akan tetapi perbedaan ini sangat kecil, sehingga
terjadinya waham kemungkinan melibatkan komponen degeneratif dari neuron.
Waham somatic terjadi kemungkinan karena disebabkan adanya gangguan sensori
pada sistem saraf atau kesalahan penafsiran dari input sensori karena terjadi sedikit
perubahan pada saraf kortikal akibat penuaan (Boyd, 2005 dalam Purba dkk, 2008).

2. Stres Lingkungan

Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stres yang


berinterasksi dengan sterssor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
prilaku.
3. Pemicu Gejala

Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologis yang maladaptif


berhubungan dengan kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti : gizi
buruk, kurang tidur, infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkungan yang penuh
kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap penampilan, stres gangguan dalam
berhubungan interpersonal, kesepain, tekanan, pekerjaan, kemiskinan, keputusasaan
dan sebagainya.

C. SUMBER KOPING

Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang dapat
berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan dalam sumber koping dapat
meliputi seperti : modal intelegensi atau kreativitas yang tinggi. Orang tua harus secara
aktif mendidik anak-anaknya, dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka
biasanya tidak hanya belajar dan pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa
pengetahuan tentang penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan
kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan.

D. TANDA DAN GEJALA WAHAM

Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham yaitu : klien menyatakan
dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan atau kekayaan luar
biasa, klien menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau sekelompok orang,
klien menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri
dan isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang
berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara memelan,
ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa tidak percaya kepada
orang lain, gelisah.
Menurut Kaplan dan shadok( 1997):

1. Status Mental

a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal, kecuali bila
ada sistem waham abnormal yang jelas.

b. Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.

c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga

d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri,


mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal

e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas


depresi ringan.
f. Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap., kecuali
pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.

2. Sensorium dan kognisi

a. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki wham
spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.

b. Daya ingat dan proses kognitif klien dengan intak (utuh)

c. Klien waham hampir seluruh memiliki insight (daya tilik diri) yang jelek.

d. Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya, keputusan


yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah dengan menilai
perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.

Tanda dan gejala waham berdasarkan jenis waham menurut Keliat (2009):

a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan


khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “saya
ini pejabat departemen kesehatan lho!” atau, “saya punya tambang emas”.
b. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurka hidup
saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya”.

c. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh, “kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setip
hari”.

d. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Contoh, “saya sakit kanker”. (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengataka
bahwa ia sakit kanker.)

e. Waham nihilistic: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada


didunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kadaan
nyata. Misalnya, “Ini kana lam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”

E. KEMAMPUAN PASIEN

Kemampuan seseorang untuk menilai realitas. Kemampuan ini akan menentukan


persepsi, respons emosi dan perilaku dalam berelasi dengan realitas kehidupan. Kekacauan
perilaku, waham, dan halusinasi adalah salah satu contoh penggambaran gangguan berat
dalam kemampuan menilai realitas (RTA). Daya nilai adalah kemampuan untuk menilai
situasi secara benar dan bertindak yang sesuai dengan situasi tersebut.

1. Daya Nilai Sosial: kemampuan seseorang untuk menilai situasi secara benar (situasi
nyata dalam kehidupan sehari-hari) dan bertindak yang sesuai dalam situasi tersebut
dengan memperhatikan kaidah sosial yang berlaku di dalam kehidupan sosial
budayanya. Pada gangguan jiwa berat atau kepribadian antisosial maka daya nilai
sosialnya sering terganggu.
2. Uji Daya Nilai: kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan bertindak yang
sesuai dalam situasi imajiner yang diberikan (Kaplan dan Shadock,

1997)
Kemampuan menilai realita berkaitan dengan kemampuan untuk

menerima realitas, banyak sekali masalah-masalah kehidupan yang muncul. Perbedaan


(discrepancy) antara impuls-impuls, harapan-harapan dan ambisi seseorang bias dilihat di
pihak lain, kesempatan dan kemampuan yang bersifat aktual di pihak lainnya. Maksud dari
pernyataan ini adalah bahwa pada dasarnya kita dapat menghadapi dua pihak yang
bertentangan antara keinginan dan kenyataan (Wiramihardja, 2007).

Pada orang-orang yang tidak normal, keinginan dan harapan seringkali terlalu jauh
dibandingkan dengan kenyataan. Hal ini disebabkan oleh orientaasi orang tersebut terlalu
bersifat subyektif atau terhadap dirinya sendiri saja. Orangorang dewasa atau normal dalam
membuat suatu keputusan bahkan merumuskan keinginan senantiasa memperhatikan
mengenai kemungkinan suatu keinginan tercapai. Artinya, mempertimbangkan realitas,
orientasi bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada pihak-pihak lain yang tersangkut.
Sebaliknya, pada mereka yang kurang sehat mental, antara keinginan dan kenyataan tidak
banyak berbeda, sehingga tidak memperlihatkan adanya motivasi dan usaha (Wiramihardja,
2007).

Pada mereka yang dinilai tidak mampu mengenali realitas, sering melakukan apa
yang disebut oleh Freud sebagai defends mechanism. Defends mechanism ini bersifat
alamiah dan timbul karena individu berkeinginan untuk mempertahankan diri dari ancaman-
ancaman yang timbul dari realitas yang tidak mampu ia tanggulangi. Bentuk-bentuk defends
mechanism semakin hari semakin banyak, karena pada dasarny manusia ingin bertahan dari
jenis-jenis ancaman tersebut. Jenis-jenis ancaman ini akan bertambah banyak pada
kehidupan yang lebih kompleks atau modern, diantaranya:

1. Denial, yaitu menolak, dalam bentuk melupakan atau melakukan tindakantindakan


lain yang bertentangan dengan suatu realitas yang tidak menyenangkannya.

2. Fantasi, yaitu realitas-realitas yang tidak menyenangkan ia persepsikan justru


sebagai hal yang menyenangkan.

3. Projection, yaitu menumpahkan pengalaman dan penghayatan atau ingatan yang


tidak menyenangkan di dalam dirinya pada hal lain atau pihak lain.

4. Kompensasi, yaitu melakukan tindakan untuk “mengurangi atau menyembunyikan


“kekurangan yang dirasakannya.
Kompensasi berlebih atau “over compensation” merupakan istilah yang lebih
penting dalam wacana gangguan kejiwaan, yang berarti tindakan berlebihan
(Wiramihardja, 2007).

Menurut Keliat (1998), gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien


menilai dan berespon pada realitas. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan.
Klien tidak mampu memberikan respon secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar
dimengerti dan mungkin menakutkan. Hal ini disebabkan karena terganggunya fungsi
kognitif dan proses pikir, fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan fungsi sosial.
Gangguan pada fungsi kognitif dan persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan
menilik terganggu. Gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial mengakibatkan kemampuan
berespon terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi muka, gerakan tangan)
dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).

F. POHON MASALAH
Kerusakan komunikasi verbal Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan
lingkungan

Core Problem : Perubahan isi pikir


waham

Etiologi : Gg. Konsep diri : Harga diri rendah

G. STRATEGI PERTEMUAN PADA PASIEN WAHAM

1. Defenisi

Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang


diterapkan pada klien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah
keperawatan jiwa yang ditangani, dalam asuhan keperawatan jiwa pada pasien waham.
2. Tujuan

1. Pasien dapat berorientasi pada realitas secara bertahap

2. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar

3. Pasien mampu berinteraksi denan orang lain dan lingkungannya

4. Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.

3. Tindakan

1. Membantu orientasi realitas

a. Tidak mendukung atau membantah waham

b. Meyakinkan pasien berada dalam keadaan aman

c. Mengobservasi pengaruh waham pada aktifitas sehari-hari

d. Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa


memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya.

e. Memberikan pujian jika penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.

2. Mendiskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga


menimblkan kecemasan, rasa takut da marah.

3. Meningkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien

4. Mendikusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki

5. Membantu melakukan kemampuan yang dimiliki

6. Mendiskusikan tentang obat yang diminum

7. Melatih minum obat yang benar (Keliat & Akemat, 2009).


4. Pembagian Strategi Pertemuan (SP) Pasien Waham

SP 1 pasien: Membina hubungan saling percaya; mengidetifikasi kebutuhan yang tidak


terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktikan pemenuhan kebutuhan yang tidak
terpenuhi.

SP 2 pasien: Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu


mempraktikannya.
SP 3 pasien: Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar.

Strategi Pertemuan Pada Pasien Waham

NO Kemampuan / Kompetensi

A Kemampuan Merawat Pasien

1. 1. Membantu orientasi realita


(SP1)
2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi

3. Membantu pasien memenuhi kebutuhannya

4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

2. 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien


(SP2)
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki

3. Melatih kemampuan yang dimiliki

3. 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien


(SP3)
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara

teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

5. Evaluasi

Proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
pasien atau kemampuan, hasil yang diharapkan dari pasien yang mengalami waham setelah
diberikan tindakan keperawatan.

Pasien mampu:
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan

b. Berkomunikasi sesuai dengan kenyataan

c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh (Purba, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 thed.). St.Louis
Mosby Year Book, 1995
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003

Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2000

Anda mungkin juga menyukai