Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
Renaldo Mulawa Tua Manalu (1842011010)
Dosen Pengajar :
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Perdagangan manusia (Human Trafficking) adalah suatu persoalan serius yang bersifat
menyeluruh dan merupakan suatu kejahatan sangat tragis. Suatu pondasi bagi
kebebasan, kurang lebih dapat diartikan sebagai, “segala bentuk dan tindakan dan
percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen, transportasi baik di dalam maupun
antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman dan penerimaan orang ( dalam hal ini
manusia ) atau Human Trafficking, dengan mengunakan tipu daya, kekerasan, atau
pelibatan utang untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual,
pembudakan atau segala kondisi kondisi pembudakan lain, baik orang (jenis kelamin
perempuan) tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang
berbeda dengan komunitas dimana orang itu tinggal.
Ketika penipuan, kekerasan atau pelibatan hutang itu pertama kali terjadi “
Melihat besarnya masalah yang sedemikian luas, bahkan nyaris tidak terukur, tentunya
langkah perlindungannya pun meliputi segala bentuk pencegahan, perlindungan,
penyelesaian, dan rehabilitas bagi mereka yang menjadi korban yang kesemuannya
dapat di lakukan dengan tepat jika kita tahu persis akan permasalahannya, baik dari sisi
Permintaan (supplay) maupun maupun dari sisi Penawaran (demand).
Bila dilihat secara aturan legal formal, terdapat banyak jaminan perlindungan bagi manusia
dari perdagangan. selain dalam konfensi hak asasi yang telah di ratifikasi oleh negara
Indonesia, terdapat sedikitnya intertrumen internasional lain yang mengatur tentang
tracfiking atau perdagangan manusia (berjenis kelamin perempuan) dan instrument
nasional itu adalah ; UU kesejahtraan anak, UU hak asasi manusia, uu perlindungan
anak, dan UU hukum pidana. Tetapi sekali lagi menyangkut instrument nasional,
namun persoalannya adalah seputar subtansi. interpretasi, dan implementasi. ditambah,
hambatan yang di hadapi dalam menanggani trafficking bukan hanya budaya hukum kita
yang sangat tidak mendukung, tetepi juga sistem sosial dan sistem kultur kita yang masih
sangat diskriminatif terhadap (perempuan) serta belum masksimalnya kesetaran gender.
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan
kemuliaan, harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga
dengan kata lain seseorang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang
memiliki derajat yang sama dengan yang lain.
Sebagaimana masalah perdagangan manusia ini dalam rumusan yang yang akan di lihat
dalam tulisan ini, Bagaimanakah bentuk perdagangan manusia dilakukan ? Selanjutnya
guna mengurangi merebaknya praktek-praktek yang melemahkan sendi-sendi sosial,
tidak salahnya jika dalam penulisan ini kita mengetahui bagaimanakah cara pencegahan
perdaganagan manusia ? dan yang terakhir, menfurmulasikan, fakor-faktor apa sajakah
yang menyebabkan terjadinya perdagangan manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pembatasan pengertian tentang perdagangan manusia dalam tulisan ini yang dipahami
dalam melingkupi: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan,
pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai
ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan,
muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan berupa pemberian atau
penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang
memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.
Sedangkan menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat
mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku
trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk
menjerumuskan korban ke dalam prostitusi. Pelaku trafiking menggunakan berbagai
teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh
mereka. Beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain
(ICMC/ACIL-Mimpi Yang Terkoyak, 2005): (1)Menahan gaji agar korban tidak
memiliki uang untuk melarikan diri; (2) Menahan paspor, visa dan dokumen penting
lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi; (3)
Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi
jika mereka berusaha kabur; (4) Mengancam akan menyakiti korban dan/atau
keluarganya; (5) Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari
mereka yang dapat menolong; (6) Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking
dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka
tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan (7) Memutus
hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;
Sejarah perdagangan orang, pertama kali tercatat dalam Alquran Surat Yusuf ayat 20 : “Dan
mereka menjual yusuf dengan murah…”. Perdagangan orang di Indonesia sudah terjadi
pada masa penjajahan. Saat pendudukan Jepang, nenek-nenek moyang kita yang pada
saat itu mungkin masih di bawah umur, telah mengalami hal yang serupa, yakni ditipu
dan dijanjikan untuk berkarier di Jepang, namun yang sebenarnya terjadi adalah mereka
disekap dan dijadikan budak-budak seks para tentara Jepang. Hingga kini, akibat tidak
banyaknya pihak yang peduli serta kurangnya informasi, membuat kasus perdagangan
anak terus berlarut-larut.
Data dari Kepolisian RI menyebutkan bahwa sejak tahun 2001 jumlah kasus perdagangan
anak khususnya perempuanada178 kasus, 2002 ada 155 kasus, 2003 ada 134 kasus,
tahun2004 rada 43 kasus, dan tahun 2005 terdapat 30 kasus. Sementara di luar Indonesia
data yang dihimpun International Catholic Migration Commission (ICMC) 2005
menyebutkan kasus perdagangan manusia yang berhasil dilaporkan berjumlah 130 kasus,
dengan jumlah pelaku 198 dan jumlah korbannya ada 715 orang.
Angka ini akan terus mengalami peningkatan pesat jika dibandingkan tahun 2003 yang
hanya ada 84 kasus.Sedangkan laporan dari Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak
yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan/dijadikan pelacur menjadi 40.000 sampai
dengan 70.000 anak diseluruh Indonesia, dan dari jumlah tersebut sebesar 30 % dari
mereka adalah anak perempuan usia kurang dari 18 tahun. Data lain menyebutkan 60 %
jumlah perkosaan terjadi pada anak dan setiap tahunnya tidak kurang dari 1500 hingga
2000 kasus perkosaan di Indonesia yang terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia
korbannya adalah anak perempuan..
Dalam kasus perdagangan perempuan, pelaku terbagi pada pelaku perekrutan (mengajak,
menampung atau membawa korban), pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau
memberangkatkan korban), pelaku penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau
memindahtangankan korban). Selain itu, dalam lingkup hubungan antara majikan dan
pekerja, dapat juga dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan
menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang sering terjadi adalah
tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual,
memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
Letak geografis Kota Tanjungpinang, sebagai Ibukota Provinsi Kepulauan Riau yang
berbatasan langsung dengan Negara Malaysia dan Singapura yang dapat dilalui
masyarakatnya dengan menggunakan kapal ferry melalui pelabuhan resmi, namun tidak
sedikit palabuhan rakyat yang tidak tersedia pihak imigrasi, masyakat kota
Tanjungpinang biasa menyebutnya “Pelabuhan Tikus” artinya dermaga yang digunakan
tanpa pengawasan pihak aparat berwenang. Hal itu memudahkan orang menggunakan
akses yang illegal itu untuk pergi dan pulang ke luar negeri, terutama para pencari kerja
di luar negeri, baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan.
Pembentukan jejaring dalam penanganan korban trafficking, sangat perlu dilakukan baik dari
pihak pemerintah maupun pihak, Lembaga Swadaya Masyarakat, yang intensif
melakukan penyuluhan terhadap calon korban-korban baik dari dalam dearah wilayah
Kepulauan Riau maupun dari daerah lain,yang menggunakan kota Tanjungpinang
sebagai kota transit bagi mereka. Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya pencegahan
dan penaganan trafficking, yakni sosialisasi dan Advokasi secara terpadu di Lingkup
Instansi Pemerintah Dan Masyarakat
PENUTUP
KESIMPULAN
Trafiking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks. Manusia yang ditrafiking
bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual.
Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar.
Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-
obatan terlarang. tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di
masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang
tergabung dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah, paling
tidak keputusan menteri untuk bersama-sama menangani masalah perdagangan manusia.
Kesimpulan lain salah satu faktor pendorng perdagangan manusia adalah ketidak-mampuan
sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya
tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Petugas kelurahan dan
kecamatan yang membantu pemalsuan KTP anak yang diperdagangkan juga menjadi
faktor pendorong utama perdagangan manusia. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan
instrumen hukum atau kebijakan yang lebih ketat secara efektif mencegah pemalsuan
KTP.
Sebagai catata penulis, ada beberapa saran-saran yang kelak menjadi patokan bagi pihak
yang berkepentingan dalam hal pengangan dan pencagahan perdaganagan manusia ; (1)
Diperlukan pengawasan orang tua, terhadap anak. (2) Diperlukannya pihak kepolisian
bekerja, menangani masalah masalah perdagangan manusia. (3) Perlunya pencegahan di
kalangan masyarakat agar tindak perdagangan manusia (4) Semua orang harus mampu
mencegah perdagangan manusia khusus perempuan dan anak (Human Trafficking),
karena sifatnya merugikan orang lain dan dampaknya tidak baik, bagi pihak yang
menjadi korban.
DAFTAR PUSTAKA
Bapeda dan BPS Kab. Indramayu (2002). Analisis Situasi Ibu dan Anak (ASIA)
Kabupaten Indramayu Tahun 2002. Bapeda dan BPS Kab. Indramayu. (2002).
Indramayu Dalam Angka 2001 Tahun 2002. Indramayu