Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil, bersalin, atau
42 hari setelah persalinan dengan penyebab yang berhubungan langsung atau tidak langsung
terhadap persalinan. World Health Organization (WHO) memperkirakan 800 perempuan
meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan dan proses kelahiran. Sekitar 99%
dari seluruh kematian ibu terjadi di Negara berkembang. Sekitar 80% kematian maternal
merupakan akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan dan setelah
persalinan (WHO, 2014).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menilai angka kematian ibu melahirkan
di Indonesia relatif tinggi. Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) menunjukkan bahwa secara nasional Angka Kematian Ibu pada tahun 2012 di
Indonesia adalah 359/100.000 kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak
dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228/ 100.000 kelahiran hidup (KemenkesRI,
2013).
Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014 empat penyebab kematian ibu
terbesar yaitu perdarahan 30,3%, hipertensi dalam kehamilan (HDK) 27,1%, infeksi 7,3%,
dan lainlain yaitu penyebab kematian ibu tidak langsung seperti kondisi penyakit kanker,
ginjal, jantung atau penyakit lain yang diderita ibu sebesar 35,3% (KemenkesRI, Profil
Kesehatan Indonesia, 2014).
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi
lahir pervaginam atau lebih dari 1000 cc setelah persalinan abdominal dalam 24 jam dan
sebeleum 6 minggu setelah persalinan. Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat
mengakibatkan syok dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal
ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan
hipovolemia berat. Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan
(Cunningham, 2010).
1.2. Rumusan Masalah
 Apa definisi dari perdarahan postpartum?

 Bagaimana etiologi dan patofisiologi perdarahan postpartum?

 Apa tanda dan gejala pada ibu dengan perdarahan postpartum?

 Apa faktor risiko dari perdarahan postpartum?

 Bagaimana pemeriksaan dan penatalaksanaan medis yang dibutuhkan pada ibu


dengan perdarahan postpartum?

 Bagaimana asuhan keperawatan pada ibu dengan perdarahan postpartum?

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada ibu dengan perdarahan
postpartum.
1.3.2 Tujuan Khusus
 Memahami definisi tentang perdarahan postpartum.

 Memahami etiologi dan patofisiologi perdarahan postpartum.

 Memahami tanda dan gejala pada ibu dengan perdarahan postpartum.

 Memahami faktor risiko dari perdarahan postpartum.

 Memahami pemeriksaan dan penatalaksanaan medis yang dibutuhkan pada ibu


dengan perdarahan postpartum.

 Memahami asuhan keperawatan pada ibu dengan perdarahan postpartum, meliputi


pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi keperawatan berasa
rasionalnya.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang berpotensi mengancam jiwa
dengan komplikasi yang dapat terjadi setelah masa kelahiran, baik kelahiran pervaginam
atau SC. Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar dari
500 mL setelah kelahiran pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah kelahiran sesar.
Kehilangan darah yang terjadi dalam 24 jam setelah lahir disebut perdarahan postpartum
dini; kehilangan darah yang terjadi 24 jam hingga 6 minggu setelah kelahiran disebut
pendarahan postpartum terlambat. Namun definisi ini tidak sangat dijadikan patokan,
karena perkiraan kehilangan darah saat lahir bersifat subyektif dan umumnya tidak akurat
(Susan Scott Ricci, 2009).
Definisi saat ini termasuk darah kehilangan lebih dari 500 mL setelah kelahiran
pervaginam atau 1000 mL setelah sesar lahir, penurunan hematokrit 10% atau lebih sejak
masuk atau membutuhkan untuk transfusi darah dan terus berdarah bahkan dengan
“perawatan biasa”. Perkiraan kehilangan darah seringkali hanya sekitar setengahnya
jumlah aktual (Gary F. Cunningham, 2010).
Perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) biasanya terjadi pada
24 jam pertama setelah melahirkan dan paling sering disebabkan oleh atonia uteri, trauma
ke jalan lahir selama persalinan dan kelahiran, hematoma (koleksi darah terlokalisasi
dalam ruang atau jaringan), retensi fragmen plasenta, dan kelainan koagulasi adalah
penyebab lainnya (Gary F. Cunningham, 2010).
Penyebab paling umum dari pendarahan postpartum lanjut (late postpartum
hemorrhage) adalah subinvolusi (keterlambatan pengembalian uterus ke ukuran tidak
hamil dan konsistensi) dan fragmen plasenta yang tetap melekat pada miometrium saat
plasenta dilahirkan. Gumpalan terbentuk di sekitar fragmen yang tertahan, dan
pendarahan yang berlebihan dapat terjadi ketika gumpalan terkelupas beberapa hari
setelah melahirkan. Infeksi rahim juga bisa menjadi penyebab. Perdarahan postpartum
yang terlambat disebabkan oleh fragmen plasenta yang tertahan umumnya dapat dicegah.
Ketika plasenta dilahirkan, penyedia layanan kesehatan dengan cermat memeriksanya
untuk menentukan apakah plasenta utuh. Jika sebagian plasenta hilang, penyedia secara
manual menjelajahi rahim, menemukan fragmen yang hilang, dan mengangkatnya (Susan
Scott Ricci, 2009).
Perdarahan postpartum lanjut, juga disebut postpartum sekunder hemoragi,
didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah
kelahiran. Ini biasanya terjadi setelahnya keluar rumah sakit dan bisa berbahaya bagi ibu
yang tidak curiga. Wanita harus diajarkan bagaimana menilai fundus dan karakteristik
normal dan durasi aliran lokia. Mereka harus diinstruksikan untuk memberi tahu
penyedia layanan kesehatan jika perdarahan berlanjut atau menjadi sangat berat (Repke,
2011).
2.2. Etiologi Herpes Simpleks pada Ibu Hamil
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perdarahan post partum, antara lain 4T
(Tone dimished, Trauma, Tissue, Thrombin) :

1. Tone Dimished: Atonia uteri

Atonia uteri adalah suatu keadaan di mana uterus tidak mampu untuk berkontraksi
dengan baik dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum
secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang
berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan
plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada
perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia
uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat
uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama
perdarahan postpartum. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya atonia
uteri:

 Manipulasi uterus yang berlebihan

 General anestesi (pada persalinan dengan operasi) atau anestesi yang dalam

 Uterus yang teregang berlebihan, disebabkan oleh kehamilan kembar

 Fetal macrosomia (berat janin antara 4500-5000 gram)


 Polyhydramnion

 Kehamilan lewat waktu, partus lama

 Grande multipara (fibrosis otot-otot uterus)

 Infeksi uterus (chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)

 Plasenta previa, Solutio plasenta (Fransisca, 2012)

2. Tissue

 Retensio plasenta

 Sisa plasenta

 Plasenta acreta dan variasinya

Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan
retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama
sekali, tidak terjadi perdarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi
perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari
dinding uterus karena:

 Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)

 Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus
desidva sampai miometrium sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-
perkreta)
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan
kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal
merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum (Fransisca, 2012).
3. Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir
akibat:

 Ruptur uterus

 Inversi uterus

 Perlukaan jalan lahir

 Vaginal hematom

Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan
antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya,
dan persalinan dengan induksi oksitosin. Reptur uterus sering terjadi akibat
jaringan parut section secarea sebelumnya. Laserasi dapat mengenai uterus,
serviks, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi
ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan
vacuum atau forcep, walaupun begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang
persalinan. Laserasi pembuluh darah di bawah mukosa vagina dan vulva akan
menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi
berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa
menyebabkan terjadinya syok.
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai
arteri atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan
episitomi. Perdarahan yang terus terjadi (terutama merah menyala) dan kontraksi
uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi.
Ketika laserasi serviks atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka
repair adalah solusi terbaik.
Pada inversi uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga
tundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi
tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat
dibagi menjadi:
 Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang
tersebut

 Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina

 Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar
vagina

Tindakan yang dapat menyebabkan inversi uteri ialah perasat crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan
plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok
perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III
atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor
yang lunak di atas serviks uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat
menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi (15-70 %). Reposisi
secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita
(Fransisca, 2012).
4. Thrombin: Kelainan pembekuan darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
 Hipofibrinogenemia

 Trombocitopeni

 Idiopathic thrombocytopenic purpura

 HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count)

 Disseminated Intravasculer Coagulation

Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit
sudah rusak (Fransisca, 2012).
2.3. Patofisiologi Perdarahan Postpartum
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum
sehingga sinus-sinus maternalis di tempat insersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus
berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh
darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan
retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama
penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan
seperti robekan serviks, vagina, dan perineum.

Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk


meningkatkan sirkulasi ke sana, atonia uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan
kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup
sempura sehingga terjadi per darahan terus menerus. Trauma jalan terakhir seperti
epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan ruptur uteri juga menyebabkan perdarahan
karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya afibrinogemia
atau hipofibrinogemia karena tidak ada kurangnya fibrin untuk membantu proses
pembekuan darah juga merupakan penyabab dari perdarahan dari postpartum. Perdarahan
yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan syok hemoragik.

Lepasnya plasenta tidak terjadi bersamaan sehingga sebagian masih melekat pada
tempat implementasinya yang akan menyebabkan terganggunya retraksi dan kontraksi
otot uterus, sehingga sebagian pembuluh darah terbuka serta menimbulkan perdarahan.
Perdarahan plasenta dapat diterangkan dalam mekanisme yang sama di mana akan terjadi
gangguan pembentukan trombus di ujung pembuluh darah, sehingga menghambat
terjadinya perdarahan. Pembentukan epitel akan terganggu sehingga akan menimbulkan
perdarahan berkepanjangan (Manuaba, 2007).
2.4. Tanda dan Gejala Perdarahan Postpartum
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang
terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-
tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).
Adapun gambaran klinis perdarahan postpartum, yaitu sebagai berikut:
(B-Lynch, 2006)
2.5. Faktor Risiko Perdarahan Postpartum
 Umur
Ibu yang hamil berumur < 20 tahun dan > 35 tahun lebih beresiko mengalami
perdarahan pasca persalinan. Menurut Depkes (2007) yaitu usia ibu hamil kurang
dari 20 tahun lebih berisiko karena rahim dan panggul ibu belum siap bereproduksi
dengan baik, sehingga perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang
sulit dan keracunan kehamilan yang bisa berakibat terjadinya komplikasi persalinan.
Sebaliknya jika terjadi kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun kurang siap untuk
menghadapi kehamilan dan persalinan cenderung mengalami perdarahan, hipertensi,
obesitas, diabetes, mioma uterus persalinan lama dan penyakit-penyakit lainnya
(Megasari, 2013).
 IMT
Ibu dengan IMB >40 memiliki risiko terjadinya PPH, sebab obesitas bisa
menyebabkan kontraktilitas uterus melemah, sehingga berhubungan dengan proses
persalinan yang panjang dan dapat meningkatkan risiko PPH (Blomberg, 2011).
 Ibu dengan paritas tinggi
Cunningham (2010) mengatakan bahwa paritas tinggi merupakan salah satu faktor
risiko untuk terjadinya perdarahan postpartum. Paritas lebih dari 4 mempunyai risiko
lebih besar untuk terjadinya perdarahan postpartum karena otot uterus lebih sering
meregang sehingga dindingnya menipis dan kontraksinya menjadi lebih lemah (Yekti
Satriyandari, 2017).
 Ibu dengan peregangan uterus yang berlebihan
Penyebab peregangan uterus yang berlebihan antara lain kehamilan ganda dan
macrosomia janin (janin besar). Peregangan tersebut dapat mengakibatkan uterus
tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir sehingga sering menyebabkan
PPH (Yekti Satriyandari, 2017).
 Ibu dengan riwayat obstreti buruk pada kehamilan dan persalinan
Ibu dengan riwayat obstreti buruk seperti riwayat IUFD, kelahiran prematur, dan
riwayat PPH terdahulu berisiko terjadinya PPH, maka petugas harus waspada
terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan (Dina, 2013).
 Perpanjangan pemberian oksitosin
Pemberian okstiosin berkepanjangan atauu dengan dosis tinggi dapat menyebabkan
tetania uteri terjadi trauma jalan lahir ibu yang luas dan menimbulkan perdarahan
(Yekti Satriyandari, 2017).
 Ibu dengan Anemia
Risiko perdarahan postpartum meningkat pada ibu dengan anemia berat, di mana
uterus kekurangan oksigen, glukosa dan nutrisi esensial, cenderung bekerja tidak
efisien pada semua persalinan, hal inilah yang dapat menyebabkan perdarahan
postpartum semakin meningkat (Yekti Satriyandari, 2017).
 Ibu dengan partus lama
Partus lama dapat menyebabkan terjadinya inersia uteri karena kelelahan pada otot-
otot uterus sehingga rahim berkontraksi lemah setelah bayi lahir dan dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum (Yekti Satriyandari, 2017).
2.6. Pemeriksaan Penunjang Ibu dengan Perdarahan Postpartum
Onset perdarahan postpartum biasanya sangat cepat, dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau
radiologis dapat dilakukan.

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting adalah untuk menilai Hb darah.


Tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin, namun yang menjadi poin penting adalah Hb,
terutama jika Hb kurang dari 8mg/dL. Selain itu juga diperlukan pemeriksaan golongan
darah untuk keperluan tranfusi darah jika nantinya diperlukan. Pemeriksaan waktu
perdarahan dan waktu pembekuan darah juga diperlukan untuk menyingkirkan adanya
penyebab gangguan pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan radiologi, yaitu USG.
Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan retensi
sisa plasenta. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan risiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarah postpartum,
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan
spesifitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.
Pemeriksaan penunjang:

a) Golongan darah: menentukan Rh, ABO dan percocokan silang

b) Jumlah darah lengkap: menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah


sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl.
Ht saat tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil
4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)

c) Kultur uterus dan vagina: mengesampingkan infeksi pasca partum

d) Urinalisis: memastikan kerusakan kandung kemih

e) Profil koagulasi: peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin


(FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi,
masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID

f) Sonografi: menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan (Mitayani, 2009)


2.7. Penatalaksanaan Medis pada Ibu dengan Perdarahan Postpartum
Penatalaksanaan pada perdarahan postpartum terbagi menjadi dua yakni tatalaksana
umum dan khusus.
 Tatalaksana Umum
Penatalaksanaan secara umum pada perdarahan postpartum meliputi :
 Penilaian kegawatdaruratan, tanda-tanda syok, dan pemberian oksigen.
 Memasang jalur intravena dengan menggunakan jarum besar (ukuran 16 G atau
18 G) untuk resusitasi.
 Pemberian cairan kristaloid atau normal saline. Dapat diberikan secara bolus jika
terdapat syok hipovolemik.
 Pada pasien PPH primer dengan perdarahan aktif yang masif atau gejala
hipovolemia pada PPH primer dan sekunder, dilakukan pemeriksaan golongan
darah, crossmatch dan darah lengkap, serta transfusi sesuai protokol.
 Memasang kateter urin untuk memantau urine output.
 Pada PPH sekunder, persiapkan tranfusi darah apabila Hb <8g/dL atau secara
klinis menunjukkan tanda-tanda anemia berat.
 Pantau terus tanda-tanda vital pasien.
 Menentukan penyebab atau sumber perdarahan dan mulai dilakukan tatalaksana
khusus.
 Tatalaksana Khusus
Penatalaksanaan khusus diberikan sesuai dengan penyebab perdarahan postpartum,
yakni mnemonic 4T. (Medscape) (Prawirohardjo, 2014)
1. Tonus
Pada keadaan gangguan tonus, pemijatan uterus dapat dilakukan untuk
membantu memperbaiki tonus dan menghentikan perdarahan. Selain itu, obat-obat
uterotonika yang merangsang kontraksi uterus juga dapat digunakan, seperti :
 Oksitosin: Berfungsi untuk menstimulasi segmen atas dari miometrium agar
dapat berkontraksi dengan teratur dan dapat mengkonstriksi arteri-arteri spiral
serta menurunkan aliran darah ke uterus. Dosis yang direkomendasikan 20 – 40
IU dalam 1 liter normal saline, berikan secara intravena sebanyak 500 mL
dalam 10 menit, kemudian selanjutnya 250 mL setiap jam.
 Misoprostol: Bekerja dengan menginduksi kontraksi uterus secara menyeluruh.
Dosis yang direkomendasikan adalah 800 – 1000 mcg diberikan per rektal atau
600 – 800 mcg diberikan per sublingual atau per oral. Misoprostol digunakan
hanya jika tidak tersedia oksitosin.
2. Trauma
Pada keadaan trauma misalnya pada laserasi jalan lahir dapat dilakukan
penjahitan laserasi secara kontinu. Sedangkan pada inversio uteri dapat dilakukan
reposisi uterus.
3. Tissue
Pada keadaan sisa plasenta dapat dilakukan manual plasenta dengan hati-hati.
Sedangkan pada sisa bekuan darah, dapat dilakukan eksplorasi digital atau aspirasi
vakum manual dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan sisa.
4. Thrombin
Pada keadaan dengan gangguan faktor pembekuan darah dapat diberikan
transfusi darah lengkap untuk menggantikan faktor pembekuan darah dan sel darah
merah.
 Pembedahan
Perdarahan postpartum yang tidak dapat dihentikan melalui penatalaksanaan
farmakologis harus ditangani dengan teknik pembedahan. Tindakan pembedahan
yang dapat dilakukan di antaranya adalah ligasi arteri uterina, ovarika, atau iliaka
interna, serta operasi histerektomi jika perdarahan masih tidak dapat dikontrol.
2.8. Asuhan Keperawatan Ibu dengan Perdarahan Postpartum
1. Pengkajian fokus

Pengkajian fokus pada perdarahan post portum (Doenges & Marilyn, 2001) sebagai
berikut :

a. Alasan dan keluhan pertama masuk Rumah Sakit

Apa yang dirasakan saat itu ditujukan untuj mengenali tanda atau gejala yang
berkaitan dengan perdarahan post portum misalnya antonio uteri, retensio plasenta
robekan jalan lahir, vagina, perineum, adanya sisa selaput plsenta dan biasanya
ibu nampak perdarahan banyak > 500 CC.
b. Riwayat kesehatan sekarang

Dikaji untuk mengetahui apakah seorang ibu menderita penyakit yang bisa
menyebabkan perdarahan post portum seperti aspek fisiologis dan psikososialnya.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Dikaji untuk mengrtahui apakah seorang ibu perah menderita penyakit yang lain
yang menyertai dan bisa memperburuk keadaan atau mempersulit penyambuhan.
Seperti penyakit diabetus mellitus dan jantung.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada yang
mempunyai riwayat yang sama.

Pola pengkajian kesehatan (Doenges & Marilyn, 2001) sebagai berikut :

1) Aktivitas istirahat

Insomia mungkin teramat.

2) Sirkulasi

Kehilangan darah selama proses post partum.

3) Integritas ego

Peka rangsang, takut atau menangis sering terlihat kira-kira 3hari setelah
melahirkan “post partum blues”.

4) Eliminasi

BAK tidak teratur sampai hari ke-2 dan ke-5.

5) Makan dan cairan

Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan kira-kira sampai hari ke 5.

6) Persepsi sensori
Tidak ada gerakan dan sensori.

7) Nyeri dan ketidaknyamanan

Nyeri tekan payudara dan pembesaran dapat terjadi diantara hari ke 3 sampai
hari ke 5 post partum.

8) Seksualitas

 Uterus diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran menurun satu jari
setiap harinya.

 Lochea rubra berlanjut sampai hari ke 2.

 Payudara produksi kolostrum 24 jam pertama

9) Pengkajian Psikologis

 Apakah pasien dalam keadaan stabil.

 Apakah pasien biasanya cemas sebelum persalinan dan masa


penyembuhan.

10) Data pemeriksaan penunjang, meliputi : pemeriksaan hemoglobin dan


hematokrit darah, leukosit.

2. Pengkajian Dasar Data Klien

a. Sirkulasi : Rembesan kontinu atau perdarahan tiba-tiba. Dapat tampak pucat, anemik.

b. Ketidaknyamanan : Nyeri tekan uterus (fragmen-fragmen plasenta tertahan);


Ketidaknyamanan vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma).

c. Keamanan : Pecah ketuban dini.

d. Seksualitas : Tinggi fundus atau baan uterus gagal kembali pada ukuran dan fungsi
kehamilan (Subinvorusi), leukorea mungkin ada.

3. Diagnosis Keperawatan (Herdman & Kamitsuru , 2018)


Rumusan diagnosa keperawatannya adalah sebagai berikut :

a. Defisit volume cairan b. d kehilangan aktif volume cairan.

b. Nyeri akut b. d agen injuri fisik.

c. Resiko infeksi b. d prosedur invasif.

d. Defisit perawatan diri b. d kelemahan fisik.

e. Ansietas b. d krisis siuasional.

4. Intervensi dan Rasional (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2016) (Moorhead,
Johnson, Maas, & Swanson, 2016)

a. Defisit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan.

 Tujuan : Tidak terjadi perdarahan.

Kriteria hasil :

1) Perdarahan berhenti.

2) Hb diatas normal.

3) Tanda vital diatas normal.

 Rencana tindakan keperawatan

4) Monitor jumlah pendarahan pasien.

Rasional : Kehilangan darah akibat perdarahan bisa berakibat syok.

2) Monitor hasil laboratorium pasien.

Rasional : Anemi akibat kehilangan darah dapat terjadi. Terapi pengantian darah
mungkin diperlukan.

3) Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedang badanya tetap
terlentang.
Rasional : Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatan aliran darah ke otak dan
organ lain.

4) Monitor tanda vital.

Rasional : Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin berat.

5) Monitor intake dan output setiap 1 jam.

Rasional : Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan sirkulasi darah.

6) Lakukan message uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakkan
diatas simpisis.

Rasional : Message uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu


pelepasan plasenta, satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio
uteri.

7) Batasi pemeriksaan vagina dan rektum.

Rasional : Trauma yang terjadi di daerah vagina dan rektum meningkatkan


terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks /
perineum.

8) Berikan infus atau cairan intravana.

Rasional : Cairan intravana dapat meningkatkan volume intravascular.

9) Kolaborasi dengan tim medis dengan pemberian anti perdarahan

Rasional : Anti perdarahan mencegah perdarahan yang lebih hebat dan


mengetahui intervensi selanjutnya.

10) Berikan tranfusi whole blood (bila perlu).

Rasional : Whole blood membentu menormalkan volume cairan tubuh akibat


perdarahan.

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (luka jahitan perineum).
 Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang.

Kriteria hasil :

1) Skala nyeri berkurang atau hilang.

2) Pasien tampak tenang.

 Rencana tindakan keperawatan

3) Kaji nyeri setiap 6 jam, baik skala, intensitas, lokasi, frekuensi.

Rasional : Untuk mengetahui derajat dan tingkat nyeri yang dialami dan untuk
dapat melakukan intervensi selanjutnya.

2) Ajarkan teknik relaksasi.

Rasional : untuk mengalihkan perhatian pasien dari nyerinya.

3) Kaji tanda vital.

Rasional : Mengetaui perubahan tanda vital dan untuk dapat melakukan


intervensi selanjutya.

4) Pemberian dengan tim medis dengan pemberian analgetik.

Rasional : mengurangi rasa nyeri.

c. Resiko infeksi sehubungan dengan prosedur invasif.

 Tujuan : tidak terjadi infeksi.

Kriteria hasil :

1) Lochea tidak berbau.

2) Tanda vital dalam batas vital.

 Rencana tindakan keperawatan

3) Catat perubahan tanda vital.


Rasional : Perubahan tanda vital (suhu) merupakan indikasi terjadinya infeksi.

2) Obsevasi luka dan jahitan perineum tiap ganti balut.

Rasional : mengetahui seberapa besar resiko untuk infeksi dan menentuakan


intervensi selanjutnya.

3) Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea.

Rasional : infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lochea


yang berkepanjangan.

4) Perhatikan kemungkinan infeksi ditempat lain, misalnya infeksi di saluran


nafas, mastitis dan saluran kencing.

Rasional : Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan.

5) Berikan perawatan perineal, dan pertahankan agar pembalut jangan sampai


terlalu basah.

Rasional : pembalut yang terlalu basah bisa menyebabkan iritasi dan dapat
menjadi media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.

6) Kolaborasi dengan tim medis dengan pemberian zat besi dan antibiotika.

Rasional : Anemi memperberat keadaan dan antibiotika yang tepat diperlukan


untuk keadaan infeksi.

d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

 Tujuan : Kebutuhan akan aktivitas fisik pasien terpenuhi.

Kriteria hasil :

1) Pasien dapat melakukan aktivitas dengan bantuan.

2) Pasien menyatakan kenyamanan terhadap kemempuan melakukan aktivitas.

3) Klien terbebas dari bau badan.


 Rencana tindakan keperawatan

4) Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.

Rasional : Kemampuan pasien dalam perawatan diri dan meningkatakan rasa


percaya diri.

2) Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri,


berpakaian berhias, toileting dan makan.

Rasional : Membantu meningkakan kemampuan aktivitas pasien.

3) Sediakan bantuan sampai klien mampu scara utuh untuk melakukan selfcare.

Rasional : Meningkatakan kemampuan melakukan perawatan diri mandiri


yang optimal sesuai kemampuan.

4) Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak
mampu melakukannya.

Rasional : Kemampuan individu untuk meningkatkan rasa percaya diri.

5) Ajarkan klien atau keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk


memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.

Rasional : Memberikan dukungan kepada keluarga dan pasien dalam


perawatan diri yang mandiri.

e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.

 Tujuan : Ansietas hilang atau berkurang.

Kriteria hasil :

1) Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya.

2) Pasien mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.

 Rencana tindakan keperawatan


3) Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan.

Rasional : Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya.

2) Kaji respon fisiologis klien (takikardia, takipnea, gemetar).

Rasional : Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon


fisiologis.

3) Perlakukan pasien secara empati serta sikap mendukung.

Rasional : Memberikan dukungan emosi.

4) Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan.

Rasional : Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang
tidak diketahui.

5) Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya.

Rasional : Ungkapan perasaan dapat mengurangi rasa cemas.

6) Kaji mekanisme koping yang digunakan klien.

Rasional : cemas yang berkepanjangan dapat dicagah dengan mekanisme koping yang
tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Blomberg, M. (2011). Maternal Obesity and Risk of Postpartum Hemorrhage. Obstet Gynecol,
118(3).

B-Lynch, C. (2006). Postpartum Hemorrhage 1st Published. UK: Sapiens Publishing.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) 6th Indonesian Edition. Singapura: Elsevier.

Cunningham, F. G. (2010). Obstreti William. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Dina, D. (2013). FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN PERDARAHAN POST PARTUM DI


RSUD MAJENE KABUPATEN MAJENE.

Doenges, & Marilyn, E. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta: EGC.

Fransisca, S. K. (2012). Perdarahan Postpartum. Surabaya: Fakultas Kedokteran Univ. Wijaya


Kusuma.

Gary F. Cunningham, K. J. (2010). William's Obstertics 23rd Edition. New York: McGraw-Hill
Medical.

IBI, M. I. (2013). Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kemenkes RI.

Herdman, T. H., & Kamitsuru , S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2018 - 2020. Jakarta: EGC.
KemenkesRI. (2013). Angka Kematian Ibu. Jakarta: Kemenkes Republik Indonesia.

KemenkesRI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia.

Manuaba Gde bagus Ida. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Buku Kedokteran

Manuaba, I. B. (2007). Pengantar Kuliah Obstreti. Jakarta: EGC.

Medscape. (n.d.). Postpartum Hemorrhage. Retrieved April 20, 2020, from


https://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#a4

Megasari, M. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Perdarahan Pasca


Persalinan di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau 2009-2010. Jurnal Kesehatan
Komunitas, 2(2), 72-77.

Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Salemba Medika Jakarta.

Mitayani. (2009). Pemeriksaan Penunjang Perdarahan Postpartum. In Mitayani, Asuhan


Keperawatan Maternitas (p. 141). Jakarta: Salemba Medika.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Indonesian Edition. Singapura: Elsevier.

Mukherjee S, Arulkumaran S, (2009): Post-partum haemorrhage; Obsterics, Gynaecology and


Reproductive medicine, vol 19:5, hal 122-126

Prawirohardjo, S. (2014). Ilmu Kebidanan 4th ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Repke, A. &. (2011). Maternal-Child Nursing.

Sulistyowati Sri dan Yahya Nadjibah. 2011. Pendarahan Dalam Kehamilan. P.T pustaka 3 kelana
Jakarta

Susan Scott Ricci, T. K. (2009). Maternity and Pediatric Nursing.

WHO. (2014). Maternal Mortality. World Health Organization.


Wiknjosastro, H. (2005). Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Yekti Satriyandari, N. R. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


PERDARAHAN POSTPARTUM. Journal of Health Studies, 1(1), 49-64.

Anda mungkin juga menyukai