Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

FUNDAMENTAL PATOFISIOLOGI DAN NURSING CARE


IBU HAMIL DENGAN HIV
Untuk memenuhi tugas Cinical Study 2

Departemen Maternitas

Dosen Pembimbing : Ns. Nurul Evi, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Mat

Oleh:
Choirunisa Aprilia S.P. 155070200111014
KELOMPOK 10 - PSIK REGULER 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
FUNDAMENTAL PATOFISIOLOGI

1. Definisi

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah retrovirus yang menginfeksi sistem

imunitas seluler, mengakibatkan kehancuran ataupun gangguan fungsi sistem tersebut. Jika

kerusakan fungsi imunitas seluler berlanjut, akan menimbulkan berbagai infeksi ataupun

gejala sindrom Acquired ImmunoDeficiency Syndrome (AIDS). Infeksi HIV merupakan salah

satu penyulit pada kehamilan yang paling sering terjadi di beberapa negara. HIV bahkan

masih menjadi penyebab utama kematian wanita usia reproduktif, salah satu penyebabnya

karena akses pelayanan kesehatan pada kasus transmisi vertikal masih belum memadai;

hanya 20% wanita hamil yang mendapat akses pelayanan Anti-RetroViral (ARV) (Hartanto,

Marianto, 2019).

2. Epidemiologi

The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan diperkirakan

bahwa 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV setiap tahunnya dan 1,4 juta wanita dengan infeksi

HIV hamil setiap tahun. Pada tahun 2016 5,1 juta (14%) orang terinfeksi HIV berada di Asia

Pasifik; Asia memiliki prevalensi HIV terbesar kedua setelah Afrika. Angka prevalensi HIV

nasional untuk kelompok usia 15 tahun ke atas diestimasi sebesar 0,33% pada tahun 2015.

Estimasi prevalensi HIV provinsi berkisar dari 0,1% hingga lebih dari 2,0%; sepuluh provinsi

tertinggi yang dilaporkan memiliki jumlah kumulatif AIDS terbanyak adalah provinsi Papua,

Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua Barat, Sulawesi Selatan,

Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara. Selama lima tahun (2011-2015) rasio kasus HIV

laki-laki dan perempuan adalah 1 berbanding 1,2-1,5. Peningkatan jumlah ODHIV pada

populasi wanita terutama pada usia reproduktif akan cenderung meningkatkan jumlah

kehamilan dengan HIV (Hartanto, Marianto, 2019).


Transmisi vertikal dari ibu ke anak atau lebih dikenal dengan istilah Mother to Child

Transmission (MTCT), telah meningkatkan jumlah anak hidup dengan HIV; di daerah sub-

Sahara Afrika, 88% anak berusia kurang dari 15 tahun terinfeksi HIV, tetapi hanya 28%-nya

yang menerima terapi ARV.3 Pelayanan MTCT di Indonesia makin menjadi perhatian

karena epidemi HIV/AIDS yang terus meningkat. Di negara maju, risiko MTCT adalah

sekitar 2% karena tersedianya layanan optimal pencegahan penularan HIV terutama dari

ibu ke bayi. Di negara berkembang ataupun negara miskin tanpa akses terhadap fasilitas

tersebut, risiko meningkat hingga 45% (Hartanto, Marianto, 2019).

3. Etiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan RNA virus termasuk lentivirus famili

retrovirus. Virus ini menyerang komponen sistem imunitas seluler manusia, yaitu sel limfosit

T – CD4, makrofag, dan sel Langerhans.

Infeksi HIV dapat menular melalui :

 Hubungan seksual

 Darah

 Transmisi vertikal dari ibu ke anak

Banyak faktor yang berperan dalam transmisi virus dari ibu ke anak. Ibu dengan

keadaan klinis dan indikator imunologis lanjut dan viral load meningkat memiliki risiko

transmisi vertikal lebih tinggi. Transmisi vertikal terhadap neonatus sangat dipengaruhi oleh

viral load. Cooper (2002) menemukan bahwa infeksi neonatus pada pasien dengan RNA

virus <400 kopi/mL adalah sebesar 1% dan meningkat hingga 23% jika jumlah RNA virus >

30.000 kopi/mL.

Mandelbrot (2015) menemukan bahwa dari 2.615 bayi yang lahir dari ibu yang

mengonsumsi ARV sebelum kelahiran, tidak ditemukan adanya transmisi vertikal pada ibu
dengan viral load <50 kopi/mL. Kourtis, et al, (2001) menyatakan bahwa risiko transmisi

vertikal 20% sebelum usia gestasi 36 minggu, 50 persen pada beberapa hari sebelum

partus, 30% intrapartum, dan 30% hingga 40% melalui pemberian ASI. Laju transmisi

vertical ini juga dikatakan meningkat apabila terdapat komorbiditas dengan IMS lain.

Risiko penularan paling besar terjadi pada saat proses kelahiran, yaitu saat kontak bayi

dengan cairan tubuh ataupun darah ibu. Penularan dapat terjadi dalam kandungan apabila

plasenta rusak, sehingga placental blood barrier tidak dapat lagi melindungi bayi dari infeksi

HIV. Faktor bayi seperti prematuritas dan buruknya nutrisi fetus juga nampaknya dapat

mempengaruhi risiko transmisi vertikal. Faktor-faktor lain yang memengaruhi dapat dilihat

pada tabel 1.

4. Patofisiologi
Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda

asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun

manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri

dari 2 proses yang kompleks yaitu : Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus

AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan

tubuh. “beraksi” bahkan kemudian dilumpuhkan.

Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau

berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang

mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan

limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T

helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T

helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut.

Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah

dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper sehingga

reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus

memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan

menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.

Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan

melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat

double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4

sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Fungsi T helper

dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom dari HIV ¬ proviral DNA ¬

dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga menumpang ikut berkembang

biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme

pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar

dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T
helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel

fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome)

Virus HIV Masuk

Menyerang CD4 & Sel T


helper

CD4 Viral Load

Resiko Penyebaran Sistem imun ibu


Infeksi Resiko Infeksi
terganggu

Ibu mudah terserang


penyakit

Terganggunya Bayi lahir cukup bulan


pertumbuhan janin

Rendahnya
IgA dan IgG Lahir Normal Lahir Sectio
ibu

Adanya kontak virus Resiko terpapar Luka post op


HIV dr ibu ke janin HIV ke bayi kecil
Resiko bayi lahir melalui gesekan bayi
prematur dengan jalan lahir Sukar sembuh
Resiko bayi
dengan HIV kecil
Bayi beresiko terkena Port de entry
Gangguan Tumbuh HIV
Kembang bayi
Resiko Infesksi
Sistem imun terganggu Pemberian ASI

Kurang
Resiko infeksi ASI terjangkit HIV pengetahuan

Bayi diberikan ASI Bayi tidak


diberikan ASI

ASI mengandung
antibody HIV Berkurang
terpaparnya virus
HIV dr IBU
Imun Bayi stabil

Resiko infeksi
karena imunitas
bayi
5. Klasifikasi

CDC telah mengeluarkan sebuah klasifikasi klinis yang digabungkan dengan klasifikasi

pemeriksaan CD4 sesuai dengan tabel 2.

6. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi dari paparan menuju penyakit klinis rata-rata tiga hingga enam minggu

Infeksi HIV akut sangat mirip dengan sindrom infeksi virus lain dan biasanya bertahan

kurang dari 10 hari.

Gejala umum :

 Demam
 Lemas
 Kemerahan di kulit
 Pusing
 Limfadenopati
 Faringitis
 Mialgia
 Mual
 Diare.

Setelah gejala mereda, tingkat viremia biasanya akan menurun.

7. Penatalaksanaan
Beberapa strategi PMTCT (Prevention Motherto-Child Transmission) telah

dikembangkan untuk menekan insidens transmisi, antara lain penggunaan kondom, skrining

kedua pasangan, dan tatalaksana infeksi menular seksual. Selain strategi tersebut, PrEP

(Pre- Exposure Prophylaxis) oral menggunakan ARV merupakan salah satu strategi yang

ditetapkan WHO. PrEP juga dianjurkan sebagai salah satu pendekatan preventif tambahan

untuk wanita hamil dan menyusui jika terpapar risiko HIV. PrEP diketahui efektif menekan

angka transmisi HIV sebanyak 92-96% pada pasangan heteroseksual jika pasangan yang

terkena HIV telah tersupresi virusnya selama 6 bulan.

Regimen PrEP yang dianjurkan adalah TDF (tenofovir disoproxil fumarate) + 3TC

(lamivudine) atau FTC (emtricitabine). Selain toleransi yang baik, efek sampingnya minimal.

PrEP juga diketahui tidak meningkatkan risiko cacat pada bayi. TDF+FTC per hari sebagai

regimen PrEP pada 4,758 pasangan serodiskordan, mempunyai angka proteksi penularan

HIV sebesar 75%.

Pemberian ARV

Setiap wanita hamil dengan HIV sebaiknya diberi konseling mengenai pilihan pemberian

makanan bagi bayi, persalinan aman serta KB pasca-persalinan, pemberian profilaksis ARV

dan kotrimoksazol pada anak, asupan gizi, dan hubungan seksual selama kehamilan

(termasuk penggunaan kondom secara teratur dan benar). Semua metode kontrasepsi

dapat digunakan oleh perempuan dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang

mengurangi efektivitas ARV.

Pemberian ARV untuk menurunkan angka transmisi vertikal paling efektif dimulai sejak

awal kehamilan. Pemberian ARV maternal sebelum trimester ketiga akan menurunkan risiko

transmisi hingga kurang dari 5 dari 1000 kelahiran.22 Pemberian ARV saat persalinan atau

beberapa jam setelah melahirkan, dapat menurunkan transmisi hingga 50%. Perlu
ditekankan kepatuhan konsumsi ARV untuk menekan angka virus dan meminimalkan

transmisi perinatal.

Apabila seorang wanita hamil ditemukan terinfeksi HIV, terapi ARV dapat langsung

diberikan tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan, selama seumur hidup

tanpa terputus. Regimen terapi ARV pada wanita hamil pada dasarnya mirip dengan pasien

tidak hamil. Wanita yang telah mengonsumsi ARV sebelum kehamilan disarankan

melanjutkan regimennya (hindari stavudine, didanosin, ritonavir dosis penuh) (Tabel 3).
Wanita yang belum pernah menerima regimen ARV diberi ARV terlepas dari usia

gestasinya. Bagi wanita yang sudah tidak lagi mengonsumsi ARV disarankan menjalani uji

resistensi HIV; pemilihan regimen ARV dapat menyesuaikan dengan regimen awal.

Untuk inisiasi ARV di Indonesia digunakan regimen sebagai berikut:

„ TDF + 3 TC (atau FTC) + EFV

„ TDF + 3 TC (atau FTC) + NVP

„ AZT + 3 TC + EFV

„ AZT + 3 TC + NVP
Pilihan obat ARV yang tersedia di Indonesia adalah:

„ Tenofovir (TDF) 300 mg

„ Lamivudin (3TC) 150 mg

„ Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg

„ Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg

„ Nevirapine (NVP) 200 mg

„ Kombinasi dosis tetap (KDT):

„ TDF+FTC 300 mg/200 mg

„ TDF+3TC+EFV 300 mg/150 mg/600 mg

Selama proses persalinan, ARV dapat diberikan secara oral. Zidovudine IV 2 mg/kg

bolus perlahan selama satu jam dilanjutkan dengan 1 mg/kg/jam hingga proses persalinan

selesai, dapat diberikan kepada wanita dengan viral load RNA HIV > 1.000 kopi/mL atau

yang tidak diketahui kadar viral load nya.

Pemilihan Jenis Persalinan

Jenis persalinan yang disarankan pada wanita hamil dengan infeksi HIV dipengaruhi

adanya kontraindikasi obstetrik dan viral load pada usia gestasi 36 minggu. Bagi wanita

dengan viral load < 50 kopi/mL tanpa kontraindikasi obstetrik, disarankan persalinan per

vaginam. Bagi wanita dengan viral load > 400 kopi/mL, disarankan persalinan dengan

seksio sesarea. Untuk wanita dengan viral load 50 – 399 kopi/mL pada usia gestasi 36

minggu seksio sesarea dapat dipertimbangkan sesuai perkiraan viral load, lama terapi,

faktor obstetrik, dan pertimbangan pasien. Bagi wanita dengan riwayat seksio sesarea dan

viral load kurang dari 50 kopi/mL, dapat dicoba persalinan per vaginam. Saat seksio

sesarea yang disarankan adalah pada usia gestasi 38 hingga 39 minggu.


Amniotomi saat persalinan per vaginam dalam kondisi ibu mengonsumsi ARV dan

tersupresi virusnya, tidak meningkatkan risiko transmisi perinatal. Bila ibu masih dalam

kondisi viremia, tindakan amniotomi, penggunaan vakum atau forsep, dan episiotomi

dihindari karena berpotensi meningkatkan risiko transmisi.

Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV harus mendapat ARV profilaksis (zidovudine) sejak

umur 12 jam selama 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan profilaksis kotrimoksazol

hingga diagnosis HIV dapat disingkirkan atau usia 12 bulan; pemeriksaan PCR HIV pada

bayi dilakukan pada saat lahir, usia 1 bulan, 3-4 bulan, dan 18 bulan. Perlu dipantau efek

jangka pendek dan jangka panjang, efek samping termasuk gangguan perkembangan bayi.

Pemberian ASI ibu dengan HIV pada dasarnya dikontraindikasikan. Namun, apabila

susu formula tidak dapat diberikan karena alasan ekonomi, ASI diberikan secara eksklusif

tanpa campuran susu formula. Hal ini harus sudah disampaikan sedini mungkin semenjak

perawatan antenatal. Di beberapa daerah, seperti Afrika Selatan, pemberian ASI eksklusif

diperbolehkan dengan catatan ibu atau anak mendapat obat antiretroviral. Pemberian ASI

eksklusif saja pada 6 bulan pertama berhubungan dengan penurunan transmisi tiga sampai

empat kali dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI dan susu formula atau makanan

lain.

8. Pemeriksaan Diagnostik

Skrining HIV pada kunjungan prenatal pertama meningkatkan kemungkinan

terdiagnosisnya infeksi HIV, sedangkan pemeriksaan HIV pada trimester 3 meningkatkan

kemungkinan teridentifikasinya infeksi HIV baru. Di Indonesia, pemeriksaan yang dianjurkan

adalah tes cepat, tes EIA (Enzyme Immunoassay) atau ELISA, dan Western Blot. Tes

ELISA memerlukan tenaga lebih, waktu lebih lama, peralatan lebih banyak, dan tenaga

berpengalaman. Kemampuan tes cepat dan ELISA kurang lebih sama. Direktur Jenderal

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Indonesia telah mengeluarkan

strategi diagnosis HIV dengan “strategi tiga serial” (Gambar 3).


Apabila hasil pemeriksaan laboratorium negatif dan berisiko, harus diperiksa ulang

minimal 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Apabila hasil

pemeriksaan laboratorium negatif pada wanita hamil yang tidak berisiko, tidak perlu

pemeriksaan ulang. Jika hasilnya meragukan, tes perlu diulang dengan spesimen baru

minimal 2 minggu setelah pemeriksaan pertama; bila hasilnya sama, dilanjutkan dengan

pemeriksaan PCR. Jika pemeriksaan PCR tidak mungkin, rapid test dapat diulang 3 bulan,

6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Pasien dapat dinyatakan negative bila

hasil tetap meragukan hingga 1 tahun dan faktor risiko rendah. Hasil pemeriksaan disebut
meragukan (indeterminate) apabila terdapat 2 hasil reaktif atau bila hanya 1 tes reaktif tetapi

berisiko atau pasangan berisiko.

Pada ibu hamil dengan HIV pemeriksaan ANC tetap meliputi anamnesis lengkap dan

terarah serta 10 T :

 Timbang berat badan dan ukur tinggi badan,


 pemeriksaan Tekanan darah,
 Tetapkan status gizi,
 Tinggi fundus uteri,
 Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin,
 Tetanus Toksoid,
 Tablet zat besi,
 Tes laboratorium,
 Tatalaksana kasus
 Temu wicara

9. Komplikasi

1. Oral

Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,

peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi,

penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-

bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan

berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai

mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri

retrosternal).

2. Neurologik

a. Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS

dementia complex).
b. Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan

berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.

stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal,

gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic,

psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.

c. Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,

kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis

ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.

3. Pernafasan

a. Pneumonia disebabkan o/ protozoa pneumocystis carini (paling sering ditemukan pd

AIDS) sangat jarang mempengaruhi org sehat. Gejala: sesak nafas, batuk-batuk,

nyeri dada, demam – tdk teratasi dapat gagal nafas (hipoksemia berat, sianosis,

takipnea dan perubahan status mental).

b. TBC

4. Gastrointestinal

a. Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk

penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal,

diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam

yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan

gejala ini.

b. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan

sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,

malabsorbsi, dan dehidrasi.

c. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.

Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.


d. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang

sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal

dan diare.

e. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),

batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi

infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),

cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.

f. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis

karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,

gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes

zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri

dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang

ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan

disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta

wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai

dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti

ekzema dan psoriasis.

5. Sensorik

a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis

sitomegalovirus berefek kebutaan

b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran

dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus

dan reaksi-reaksi obat.

10. Pencegahan
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa

dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara

tersebut yaitu:

1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang

baru dilahirkan.

Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah sehingga

jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan

HIV. Resiko penularan akan sangat rendah (1-2%) apabila terapi ARV ini dipakai.

Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara

yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu

persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet

nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi

2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan

mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistensi terhadap nevirapine

dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu

hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistensi

ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka

pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang.

2. Penanganan obstetrik selama persalinan

Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria karena

metode ini terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%.

Apabila pembedahan ini disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko

dapat diturunkan sampai 87%. Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai

resiko karena kondisi imunitas ibu yang rendah yang bisa memperlambat penyembuhan

luka. Oleh karena itu, persalinan per vagina atau sectio caesaria harus dipertimbangkan

sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain.


3. Penatalaksanaan selama menyusui

Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi

dengan ibu yang positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan bahwa ±

14 % bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi.


NURSING CARE

A. Pengkajian

a. Identitas ibu hamil

b. Keluhan utama

Keluhan yang paling sering terjadi pada pasien hamil dengan HIV / AIDS adalah selain

keluhan sehubungan dengan kehamilannya ibu juga mengeluh berbagai masalah

sesuai dengan stadium

1) Stadium Klinis 1

a) Asimtomatis

b) Limpa denopati persistent generalisata

c) Penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.

2) Stadium Klinis 2

a) Penurunan berat badan 10% dari berat badan sebelumnya

b) Manisfestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi

jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis agularis ).

c) Herpes zoster, dalam 5 tahun terakhir

d) Infeksi berulang pada saluran pernapasan atas (misalnya sinusitis bacterial)

3) Stadium klinis 3

a) Penurunan berat badan >10%

b) Diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bulan

c) Demam dengan sebab yang tidak jelas >1 bulan

d) Kandidiasis oris

e) Oral hairy leukoplakia

f) TB pulmoner dalam 1 tahun terakhir


g) Infeksi bacterial berat misalnya pneumonia, piomiositis.

4) Stadium klinis 4

a) HIV wasting syndrome, sesuai yang di tetapkan CDC

b) PCP (pneumocystis carinii pneumonia)

c) Cryptococcosis ekstrapulmoner

d) Infeksi virus sitomegali

e) Infeksi herper simpleks >1 bulan

f) Berbagai infeksi jamur berat

g) Kandidiasis esophagus, trachea atau bronkus

h) Mikobakteriosis atypical

i) Salmonlosis non tifoid disertai setikemia

j) TB, ekstrapulmoner

k) Limfoma maligna

l) Sarcoma kaposis

m) Ensefalopati HIV

c. Riwayat obstreti

1. Riwayat menstruasi

Fluor albus : banyak, gatal, berbau, warna hijau. Pada ibu dengan HIV mudah

terkena infeksi jamur yang bila mengenai organ genetal bisa menyebabkan

keputihan.

2. Riwayat obstetric lalu

Kehamilan yang lalu terinfeksi HIV, ibu dapat bersalin dengan SC

3. Riwayat kehamilan sekarang

Keluhan pada trimester I,II atau III pada ibu hamil dengan HIV seperti keluhan ibu

hamil normal terkadang dijumpai keluhan berdasarkan stadium HIV / AIDS


Trimester I : chloasma gravidarum, mual dan muntah (akan hilang pada kehamilan

12-14 minggu ) sering kencing, pusing, ngidam, obstipasi.

Trimester II : body image dan nafsu makan bertambah

Trimester III : sering kencing, obstipasi, sesak nafas (bila tidur terlentang) sakit

punggung, edema, varises

d. Riwayat perkawinan

Hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu kali atau

mempunyai banyak pasangan.

e. Riwayat kesehatan ibu

Pada ibu dengan HIV biasnya penyakit yang diderita beragam, antara lain :

demam, faringitis, limfadenopati, artalgia, myalgia, letargi, malaise, nyeri kepala,

mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan, dapat juga menimbulkan

kelainan saraf seperti meningitis, ensefaliitis neuropati perifer dan mielopati.

Gejala-gejala dermatologi yaitu ruam makropapulereritematosa dan ulkus

makokutan

f. Riwayat kesehatan keluarga

Penyakit HIV dapat diturunkan oleh orang tua ataupun ditularkan oleh suami

penderita.

g. Pola fungsional kesehatan

a) Pola nutrisi

Pada pasien HIV pola makan harus dijaga untuk menghindari terjadinya

infeksi oportinistik. Wanita dewasa memerlukan 2.500 kalori/hari, jumlah

tambahan kalori yang dibutuhkan pada ibu hamil adalah 300 kalori/hari

dengan komposisi menu seimbang. Pada pasien HIV yang mengalami

ulserasi mukosa oral terjadi gangguan pemenuhan nutrisi karena

ketidaknyamanan/sakit saat makan


b) Pola eliminasi

BAK dalam batas normal

BAB teratus setiap hari 1x

Pada stadium HIV lanjut (stadium III dan IV ) ibu dapat mengalami diare akut

c) Pola istirahat

Pada stadium lanjut HIV ibu membutuhkan istirahat selalu berada di tempat

tidur >50%/hari dalam bulan terakhir

d) Pola aktivitas

Stadium 1 : penampilan atau aktivitas fisik skala 1 : asimtomatis, aktivitas

normal.

Stadium 2 : dengan atau penampilan aktivitas fisik skala 2 : simtomatis,

aktivitas normal

Stadium 3 : dengan atau penampilan/ aktivitas fisik skala 3 : lemah, berada di

tempat tidur <50%/hari dalam bulan terakhir.

Stadium 4 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4 : sangat lemah,

selalu berada di tempat tidur >50%/hari dalam bulan terakhir .

h. Aktivitas seksual

Seberapa sering aktivitas sex yang dilakukan ibu dari suami sebelum dan selama

kehamilan. Mungkin ditemukan adanya penurunan aktivitas seksual utamanya pada

mereka yang sudah dikarenakan kondom dapat mencegah penularan HIV.

i. Pola kebiasaan

Merokok

Minum alcohol

Mengkonsumsi narkoba : pemakaian narkoba dengan suntik atau obat-obatan terlarang

lainnya dapat meningkatkan resiko terkena HIV / AIDS

Minum jamu-jamuan
Memelihara binatang peliharaan : (rantai penularan toxoplasmosis yang dapat

memperburuk HIV / AIDS dalam perkebangan janin)

j. Riwayat psikososial budaya

Perkawinan ibu dengan HIV seringkali ditemui dengan ibu atau suami menikah lebih dari

sekali. Perencanaan kehamilan akan berpengaruh pada penerimaan ibu dan keluarga

terhadap kehamilan ini dan bayinya nantinya, ibu merasa gelisah dn gemas apabila

keluhan yang dirasakan oleh ibu akan mengganggu kehamilannya.

k. Data objektif

1. Pemeriksaan fisik umum

a) TD : ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil

normal. Normal antara 100/60 – 140/90 mmHg

b) Suhu : suhu pada ibu hamil dengan HIV pada fase akut dan fase laten akan

mengalami demam . Normal antara 36,5oC – 37,5oC

c) Nadi : ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan jumlah nadi dengan ibu hamil

normal. Nadi normal antara 80 – 100 x/menit

d) RR : pada ibu dengan HIV tidak ada peningkatan jumlah pernapasan. Normal

16-20 x/menit

e) Berat badan sebelum hamil : Penumbangan berat badan harus terus dipantau.

Pada penderita HIV pada fase infeksi laten mengalami penurunan berat badan

10%

f) Berat badan sekarang

Mulai stadium II ibu mengalami penurunan BB tetapi <10 Kg, sedangkan pada

stadium III dan IV penurunan berat badan >10 Kg

l. Pemeriksaan Fisik

a) Mulut :
Mukosa bibir kering, caries gigi. Pada pasien HIV stadium klinis 2 terjadi ulserasi

mukosa berulang. Pada stadium klinis 3 terdapat kandidiasis oris (pada rongga

mulut terdapat pseudomembran yang berwarna putih krem sampai keabu-abuan.

Periksa adanya leukoplakia (plak putih di sekitar rongga mulut) (Nasronudin,

2007).

b) Dada :

Ada tarikan dinding dada. Ada ronchi dan wheezing sebagai indikasi kelainan

organ pernafasan ( apabila sudah terjadi TB pulmonar dan PCP (Pneumocystis

Carinii Pneumonia) manifestasi dari HIV/AIDS.

Pada pasien HIV mulai stadium 1 terdapat limpadenopati (pembengkakan kelenjar

limfe) (Nasronudin, 2007)

c) Abdomen :

Ada luka bekas SC apabila ibu persalinan yang lalu mengidap HIV mencegah

penularan ibu ke bayi.

Pembesaran uterus terkadang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Hal tersebut

dikarenakan adanya infeksi HIV menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.

d) Ekstrimitas :

Atas : tidak ada edema

Bawah : tidak ada varises

Pada stadium II terlihat luka infeksi/ ulkus pada kuku.

e) Kulit :

Kadang ditemukan tanda-tanda dermatitis, herpes zoster, prurigo, dan kelainan

kulit lainnya akibat infeksi jamur.

f) Genetalia :

Vulva dan vagina


Keluaran : Pada wanita hamil sering mengeluarkan cairan pervaginam lebih

banyak. Keadaan ini dalam batas normal (tidak berwarna, tidak berbau, tidak

gatal). Pada ibu hamil dengan HIV memungkinkan adanya infeksi candida yang

menyebabkan flour albus (Nasronudin, 2007).

m. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan lab

1. Pemeriksaan HIV

Saat ini ada 2 standar untuk melakukan uji HIV yaitu dengan enzyme-linked

immuosorbent assay (ELISA) dan western blot

Apabila setelah melakukan uji ELISA hasilnya positif maka penderita

harus melakukan uji ELISA lagi, sebelum melakukan western Blod untuk

mengonfirmasi status HIV positif, ELISA awal dapat bereaksi silang untuk

memberi hasil positif palsu jika digunakan tanpa uji konfirmasi,Western Blod

akan dibaca positif bila ada antibody dua atau lebih “pita: protein ditemukan

dalam HIV. Adanya pita tunggal tidak dapat meyakinkan dan mungkin hasil

dari pejanan HIV atau sebuah temuan kronis. Diantara penyebab hasil

menetap yang tidak dapat disimpulkan ini adalah sebuah autoimun atau

penyakit vascular kolagen, aloantibodi dari kehamilan atau tranfusi dan

infeksi HIV subtype jarang HIV 2. Hasil positif palsu pada ELISA dan Western

Blod kurang dari 0,0001 persen dalam area prevalensi yang rendah.

Selain 2 uji standar tersebut ada banyak uji lain yang digunakan untuk

mengevaluasi kesehatan dan perkembangan penyakit. Beberapa diantaranya

penting bagi perawat untuk mengenalinya dalam rangka meningkatkan status

kesehatan wanita. Penguji ini termasuk pengukuran CD4, limfosit muatan

virus plasma perubahan dalam hitung sel darah lengkap dan panel kimia.
Karena pada saat hamil diharapkan varial load serendah-rendahnya.

Selain itu perlu untuk dilakukan USG untuk melihat pertumbuhan janin pada

pasien HIV / AIDS janin dapat IUGR atau bahkan IUFD)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan depresi system imun, aktifitas yang tidak

terorganisir

2. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan diare berat, status hipermetabolik.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hambatan asupan makanan

(muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.

4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, melemahnya

otot pernafasan.

5. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,

kelelahan.

6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang

dicintai

C. Intervensi Keperawatan

1. Diagnosa 1: Resiko terjadinya infeksi b/d depresi system imun, aktifitas yang tdk

terorganisir

 Tujuan : Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda-tanda infeksi (tdk ada

demam, sekresi tdk purulent)

Intervensi:

1) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dgn pasin

R/. Resiko cros infeksi dpt melalui prosedur yang dilakukan

2) Ciptakan lingkungan yang bersih dan ventilasi yang cukup

R/. Lingkungan yang kotor akan mneingkatkan pertumbuhan kuman pathogen


3) Informasikan perlunya tindakan isolasi

R/. Penurunan daya tahan tubuh memudahkan berkembangbiaknya kuman

pathogen. Tindakan isolasi sebagai upaya menjauhkan dari kontak langsung dgn

kuman pathogen

4) Kaji tanda-tanda vital termasuk suhu badan.

R/. Peningkatan suhu badan menunjukkan adanya infeksi sekunder.

5) Kaji frekwensi nafas, bunyi nafas, batuk dan karakterostik sputum. Observasi

kulit/membrane mucosa kemungkinan adanya lesi/perubahan warna, bersihkan kuku

setiap hari

R/ Luka akibat garukan memudahkan timbul infeksi luka

6) Perhatikan adanya tanda-tanda adanya inflamasi

R/ Panas kemerahan pembengkakan merupakan tanda adanya infeksi

7) Awasi penggunaan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan

wadah tersendiri.

R/ Tindakan prosuder dapat menyebabkan perlukaan pada permukaan kulit.

2. Diagnosa 2 : Defisit volume cairan tubuh b/d diare berat, status hipermetabolik.

 Tujuan : Klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat

Intervensi:

1) Pantau tanda-tanda vital termasuk CVP bila terpasang.

R/ denyut nadi/HR meningkat, suhu tubuh menurun, TD menurun menunjukkan

adanya dehidrasi.

2) Catat peningkatan suhu dan lamanya, berikan kmpres hangat, pertahankan pakaian

tetap kering, kenyamanan suhu lingkungan.

R/ Suhu badan meningkat menunjukkan adanya hipermetabolisme.

3) Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus.


4) Timbang BB setiap hari

R/. penurunan BB menunjukkan pengurangan volume cairan tubuh.

5) Catat pemasukan cairan mll oral sedikitnya 2500 ml/hr.

R/ Mempertahankan keseimbangan, mengurangi rasa haus  dan melembabkan

membrane mucosa.

6) Berikan maknan yang mudah dicerna dan tdk merangsang

R/ Peningkatan peristaltic menyebabkan penyerapan cairan pada dinding usus akan

kurang.

3. Diagnosa 3: Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hambatan

asupan makanan (muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.

 Tujuan: klien akan menunjukkan peningkatan BB ideal.

Intervensi:

1) Kaji kemampuan mengunyah, merasakan dan menelan.

R/ Lesi pada mulut, esophagus dpt menyebabkan disfagia

2) Auskultasi bising usus

R/ Hipermetabolisme saluran gastrointestinal akan menurunkan tingkat penyerapan

usus.

3) Timbang BB setiap hari

R/ BB sebagai indicator kebutuhan nutrisi yang adekuat

4) Hindari adanya stimulus leingkungan yang berlebihan.

5) Berikan perawatan mulut, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari obat kumur

yang mengandung alcohol.

R/ Pengeringan mucosa, lesi pd mulut dan bau mulut akan menurunkan nafsu

makan.
6) Rencanakan makan bersama keluarga/orang terdekat. Berikan makan sesuai

keinginannya (bila tdk ada kontraindidkasi)

7) Sajikan makanan yang hangat dan berikan dalam volume sedikit

8) Dorong klien untuk duduk saat makan.

4. Diagnosa 4: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi

paru, melemahnya otot pernafasan.

 Tujuan: klien akan mmempertahankan pola nafas yang efektif

Intervensi:

1) Auskultasi bunyi nafas tambahan

R/ bunyi nafas tambahan menunjukkan adanya infeksi jalan nafas/peningkatan

sekresi.

2) Catat kemungkinan adanya sianosis, perubahan frekwensi nafas dan penggunaan

otot asesoris.

3) Berikan posisi semi fowler

R/ untuk memudahkan pasien bernapas

4) Lakukan suction bila terjadi retensi sekresi jalan nafas

R/ membersihkan secret yang ada di jalan napas yang dapat mengganggu

pernapasan.

5. Diagnosa 5: Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran

oksigen, malnutrisi, kelelahan

 Tujuan: Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea

dan takikardi selama aktivitas

Intervensi:

1) Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas


R/ Respon bervariasi dari hari ke hari

2) Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu

R/ Mengurangi kebutuhan energi

3) Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

R/ Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik

6. Diagnosa 6: Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang

keadaan yang orang dicintai

 Tujuan: Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan

adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan

keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif

Intervensi:

1) Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya

R/ Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga

2) Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal

R/ Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas

3) Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

R/ Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana


DAFTAR PUSTAKA

Bruner, Suddarth.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan

dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: EGC

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo

Surabaya.

Hartanto, Marianto. 2019. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam Kehamilan. CDK-

246. vol 46, no. 5.

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Kajian epidemiologi HIV [Internet].

Indonesia: Kementerian Kesehatan Indonesia; 2017 Feb.

http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/KAJIAN_EPIDOMIOLOGY_HIV_INDONESIA_

2016.pdf

Infodatin: Situasi dan analisis HIV AIDS. Kementerian Kesehatan Indonesia; 2014.

Mandelbrot L, Tubiana R, Le Chenadec J, Dollfus C, Faye A, Pannier E. No perinatal HIV-1

transmission from women with effective antiretroviral therapy starting before conception.

Clin Infect Dis. 2015;61(11):1715–25.

Anda mungkin juga menyukai