Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“TIGA LANDASAN UTAMA FILSAFAT PENDIDIKAN”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat dan Ilmu Pendidikan 2C

Oleh
Kelompok 4 :
Muhammad Amarudin K.A 11190183000052
Reyhan Boy Hutasuhut 11190183000076
Hanifa Ulfah 11190183000129

Dosen Pengampu:
Dr. Zaenul Slam,M.Pd
NIP : 196512261988031003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat nikmat Rahmat serta
Hidayah-Nya lah kita dapat diberikan kesehatan jasmaniyah serta rohaniah sehingga dapat
menyelesaikan salah satu tugas pada Mata Kuliah Filsafat dan Ilmu Pendidikan pada jurusan
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah semester 2C, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain itu tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
sekaligus menjadi salah satu sumber referensi khususnya bagi calon guru maupun orang-orang
yang terlibat dalam bidang pendidikan formal maupun non formal. Dalam pembuatan makalah
ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Zaenul Slam, M.Pd. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Filsafat dan
Ilmu Pendidikan yang memberikan bimbingan dalam belajar.
2. Kedua orang tua, yang selalu memberikan berbagai dukungan baik secara moril
maupun materil.
3. Seluruh rekan mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah semester 2C yang
selalu memberikan semangat dan motivasi.
Kami segabagai sangat menyadari kekurangan-kekurangan yang dimiliki, karena
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan yang akan datang.

ii

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………….…………1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………….…….……. 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….2
2.1 Landasan Ontologi …………………………………………….……………………. 3
2.2 Landasan Epistimologi …………………………..………………………………….. 6
2.3 Landasan Aksiologi ………………….………………………………………………10
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan …………………………………………………………………………… 12
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..13

iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perjalananan dan kajian keilmuan, kita tahu bahwa sejarah filsafat tidak selalu
lurus terkadang berbelok kembali ke belakang dan terkadang juga ke depan, sedangkan sejarah
ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan
bersamaan, beriringan, saling membutuhkan dan berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik
singgung dalam mencari kebenaran. Secara historis ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Ilmu
bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada
disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Hal
demikian menjadi tampak bahwa perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Tujuan
befilsafat adalah menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran itu disusun secara
sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga
cabang besar filsafat, yatu teori hakikat, teori nilai, dan teori pengetahuan. Keberadaan ilmu
pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir merupakan obor peradaban dimana manusia
menemukan dirinya, memahami eksistensinya dan menghayati hidup lebih sempurna.
Munculnya masalah dalam diri manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu mencari
jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia menjadi mahluk yang mampu
menemukan dan mencari sinar kebenaran dalam hidupnya.

Pengembangan ilmu pengetahuan dilatarbelakangi oleh adanya tiga dorongan. Pertama dorongan
untuk mengetahui yang lahir dari keterpaksaan untuk mempertahankan hidup. Kedua dorongan
manusia untuk memenuhi kebutuhan yang mendalam dan menemukan tata susunan yang
sesungguhnya. Ketiga dorongan menyangkut penilaian mengenai realitas eksistensi manusia itu
sendiri. Pada dasarnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga
masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh pengetahuan
dan apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat sederhana,
namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk menjawabnya diperlukan sistem
berpikir secara radikal, sistematis dan universal sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam

1
filsafat keilmuan Ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada“ dengan perkataan
lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi
membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas
tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan
membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang
sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan membahas tentang ontologi, epistemologi dan
aksiologi dalam keilmuan sebagai unsur yang sangat penting dalam filsafat ilmu, yang dipandang
sebagai satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian ontologi dan apa relasinya dengan pendidikan?
2. Apa pengertian epistimologi dan apa relasinya dengan pendidikan?
3. Apa pengertian aksiologi dan apa relasinya dengan pendidikan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami landasan filsafat pendidikan
2. Mengetahui realisasi dari landasan filsafat pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Ontologis

2.1.1 Pengertian
Kata ontologi berasal dari kata yunani, On:being, Logos:logic. Jadi ontologi adalah pemikiran
mengenani yang ada dan keberadaannya1. Kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani artinya
knowledge yaitu pengetahuan. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia artinya
pengetahuan dan episteme artinya tentang pengetahuan. 2 Jadi pengertian etimologi tersebut,
maka dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan. Dan
kata Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata tersebut
ditambah dengan kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori. Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai.3

Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan
bagaimana keadaan yang sebenarnya.4 Epistemologi adalah ilmu yang membahas secara
mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan yang benar. 5 Sedangkan Aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut
kefilsafatan.6

Ontologi Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret.7 Kajian ini ingin mendapatkan pengetahuan tentang objek
yang dipelajari, membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau

1
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: rajawali Pers, 2013), 15
2
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta: rajawali Pers, 2013), 148
3
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: rajawali Pers, 2013), 162
4
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 69.
5
Ibid, 75
6
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 327
7
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2013), 30

3
suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Ontologi adalah bagian filsafat yang paling
umum, atau merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab
dari filsafat. Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan
tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari
inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.8

Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat manusia,
alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial, kemudian disusunlah uraian
ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang
filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang filsafat yang paling sukar. Ditinjau dari segi
ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris. 9 Objek penelaah ilmu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia
tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris,
sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris.
Dalam ontologi ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara: metodis, sistematis,
koheren, rasional, komprehensif, radikal, universal.10 Berdasarkan objek yang ditelaah
dalam ilmu pengetahuan dua macam:

1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau
bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang
terhadap obyek material.11

Beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu:
1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu dengan
yang lainnya.

8
Inu Kencana Syafii, Pengantar Filsafat, ( Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 9.
9
Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, (Cet. IX; Jakarta:
Gramedia, 1991), h. 5
10
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2013), 31
11
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: rajawali Pers, 2013), 158

4
2. Menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu.
3. Determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu kejadian
yang bersifat kebetulan.12

Asumsi tersebut dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan


berbagia disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal: Pertama, asumsi
harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini
harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus
disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya”.13

2.1.2 Relasi Ontologi dengan pendidikan

Tugas ontologi dalam filsafat pendidikan tidak terlalu membenarkan salah satu
macam praktik mengajar atas praktik mengajar yang lainnya.14

Dalam kaitannya dengan pendidikan, Gutek (1988: 2) mengatakan bahwa metafisika


berkaitan dengan perumusan teori dan praktik pendidikan dalam berbagai hal.
Subjek, pengalaman dan keterampilan yang termuat di dalam kurikulum
merefleksikan konsep tentang kenyataan yang diyakini oleh suatu masyarakat yang
menjadi pendukung keberadaan sebuah sekolah. Persekolahan mewakili upaya dari
pembuat kurikulum, guru-guru dan pengarang buku-buku teks dalam
menggambarkan aspek-aspek kenyataaan kepada subjek didik.  
Contohnya, pelajaran sejarah, geografi, kimia dan lain-lain menggambar-kan fase
tertentu dari kenyataaan kepada subjek didik.

12
Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, (Cet. IX; Jakarta:
Gramedia, 1991), h., 7-8
13
Inu Kencana Syafii, Pengantar Filsafat, ( Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 33
14
Tri Prasetya,Filsafat Pendidikan,(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 94.

5
2.2 Landasan Epistimologis
2.2.1 Pengertian

Dalam mengkaji epistemologi, kita harus memahami bahwa epistemologi


merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan
manusia.18 Hal demikian memunculkan Terjadinya perdebatan filosofis yang sengit di
sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat,
terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk
membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-
sumber pemikiran manusia, kriteriakriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah
mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.15
Perdebatan besar itu, salah satunya adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-
sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba
mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan
kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana
kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-konsep (nations)
yang muncul sejak dini ? dan apa sumber yang memberikan kepada manusia arus
pemikiran dan pengetahuan ini ? Bagaimanah validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Hal
yang perlu dipahami, sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita
harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua.
Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran),
yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan
dengan penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat
dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari dan
bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat meledak.16
Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya, karena konsepsi merupakan
penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan
pembenaran terhadap objek. Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi

15
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran Filsafat Dunia, (Cet. VII; Bandung: Mizan,
1999), h. 25.
16
Ibid, 26

6
selanjutnya digiring ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan
ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu.17
Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia
empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam pada pengamatan
objek empiris. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa,
bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya
adalah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi masingmasing ilmu. Objek telaah
epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita
mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan
situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.18

Landasan yang ada dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan
prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang
disebut dengan kebenaran ilmiah, kebaikan moral, dan keindahan seni. Untuk dapat
memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak hanya cukup dengan berpikir
secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya
mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian
kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan
gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan
yang saling melengkapi. Langkah inilah yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga
disebut dengan metode ilmiah.
Secara sederhana semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu:
1. Harus konsisten dengan teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya
kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.

17
Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Prenamedia group, 2015), 149
18
Inu Kencana Syafii, Pengantar Filsafat, ( Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 35

7
2. Harus cocok dengan fakta empiris sebab yang bagaimanapun konsistennya
sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya
secara ilmiah.19
Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah
sebagai berikut:
1. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
2. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
3. Penyusunan atau klarifikasi data
4. Perumusan hipotesis
5. Deduksi dari hipotesis
6. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi).20

Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masingmasing


terdapat unsur-unsur empiris dan rasional. Proses metode keilmuan pada akhirnya
berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian kebenaran” untuk mendiskusikan
benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran yang tampil dalam
gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan
pragmatis.21

Penilaian ini sangat menentukan untuk menerima, menolak, menambah atau


merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam teori
pengetahuan, diantaranya adalah:
1. Metode induktif adalah metode yang menyimpulkan pernyataanpernyataan
hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
2. Metode deduktif adalah metode yang menyimpulkan data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
3. Metode positivisme adalah metode yang berpangkal dari apa yang telah
diketahui, faktual, yang positif.

19
Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Prenamedia group, 2015), 151
20
Ibid, 152
21
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2013), 35

8
4. Metode kontemplatif adalah metodenyang mengatakan adanta keterbatasan
indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan.
5. Metode Dialektis adalah Metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat.22

2.2.2 Realisasi Epistimologi

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa relasi atau


hubungan antara epistimologi dengan pendidikan adalah untuk mengembangkan ilmu
yang produktif dan bertanggungjawab serta memberikan suatu gambaran umum
mengenai kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan. Dalam penjelasan
epistimologi, kita diajarkan  bagaimana caranya memperoleh sesuatu, maka di dalam
pendidikan mulai dari hal perencanaan sampai dengan evalusai harus dilaksanakan
dengan benar. Desain pendidikan merupakan proses yang sangat  berharga dalam tujuan
nasional bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Epistemology sangat
diperlukan dalam pendidikan dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum.
Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada peserta didik? Bagaimana peserta didik
dapat memperoleh pengetahuan itu? Bagaimana cara menyampaikan pengetahuan kepada
peserta didik?, Pertanyaan-pertanyaan adalah termasuk epistimologinya pendidikan.

Pengetahuan yang harus diberikan kepada peserta didik adalah sesuatu yang
dibutuhkan oleh peserta didik. Pada pendidikan, cara memperoleh penddikan adalah
dengan bersekolah. Di zaman tradisional, guru lebih aktif daripada siswa, guru di sana
dianggap sebagai gudang ilmu dan sebagai pusat segala-galanya. Sementara zaman
sekarang lebih banyak mengembangkan active learning yang mana siswa lebih aktif
daripada gurunya. Guru di sini hanyalah sebagai fasilitator saja dan mengarahkan siswa-
siswanya. Zaman tradisional, cara guru menyampaikan ilmu kepada siswanya adalah
dengan metode ceramah, akan tetapi di zaman sekarang metode ini sudah sangat jarang

22
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta: rajawali Pers, 2013), 152-153

9
digunakan karena dianggap sebagai metode yang kurang efektif membentuk siswa
menjadi aktif.

2.3 Landasan Aksiologi

2.3.1 Pengertian Aksiologi

Istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani kuno dan tersusun dari dua kata:
axios (bermanfaat) dan Logos (ilmu atau teori). Menurut Hexter bahwa aksiologi
berarti ilmu atau teori tentang manfaat. Sedangkan menurut Kattsoff dalam
penjelasan yang berbeda, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sementara itu, H.B.
Sarwan menerangkan bahwa aksiologi merupakan studi tentang hakikat tertinggi,
realitas, dan arti dari nilai-nilai, seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan.23

  Maka, dengan demikian kami menyimpulkan bahwa aksiologi ialah studi tentang
nilai-nilai etika (apakah kelakuan baik itu?) maupun estetika (apakah kelakukan
bagus itu?). Nilai adalah sesuatu yang berharga dan sangat diinginkan oleh setiap
manusia, yaitu nilai  jasmani (sesuatu yang tampak) dan nilai rohani (yang tidak
tampak).
Contoh dari hal-hal yang mengandung nilai adalah:24
a) Nilai hidup : sehat-sakit, lestari-binasa, awas-buta.
b) Nilai nikmat : suka-duka, manis-pahit, harum-busuk.
c) Nilai guna : manfaat-mudarat, mengambil-membuang.
d) Nilai intelek : cermat-ceroboh, ingat-lupa.
e) Nilai estetika : mulus-cacat, mekar-kuncup.
f) Nilai etika : bakti-durhaka, jujur-curang.
g) Nilai religi : tauhid-syirik, mustahil-mungkin, yakin, curiga

23
Mi’raj Dodi Kurniawan & Andi Suwirta “Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah” (www.mindamas-
journals.com) , diakses tanggal 23 September 2017.
24
Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, 136

10
2.3.2 Realisasi Aksiologi dengan pendidikan

Dalam bidang aksiologi, pemikiran filsafat diarahkan pada persoalan


nilai, baik dalam konteks estetika, moral maupun agama. Yang menjadi
pertanyaan dalam wilayah ini terkait pada apa hakikat nilai, apakah ia absolut atau
relatif, bagaimana menentukan nilai, apakah sumber nilai itu dan lain sebagainya.
Persoalan nilai ini sesungguhnya adalah muara bagi keseluruhan aktivitas berpikir
filsafat itu sendiri. Pendeknya, ujung dari dari keseluruhan aktivitas filsafat dalam
bidang metafisika maupun epistimologi ialah terwujudnya tingkah laku dan
perbuatan-perbuatan manusia yang mengandung nilai. Kearifan sebagai lambang
orientasi kegiatan filsafat tidak akan terwujud jika aktivitas filsafat hanya
bergerak dalam dua bidang kajiannya saja dan menegasikan wilayah aksiologi.

Dari keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika fokus


telaahan filsafat diarahkan untuk mencari pemecahan terhadap masalah hakikat
dan kebenaran dalam suatu realitas yang ada, maka kajiannya termasuk dalam
filsafat metafisik. Jika seseorang berupaya memberikan jawaban atas persoalan-
persoalan pengetahuan baik hakikat, kriteria, validitas, sumber-sumber, prosedur
maupun klasifikasi dan jenis- jenis ilmu, maka dalam hal ini telaah filsafat berada
dalam wilayah kajian epistimologi.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

A.Ontologi

Istilah “ontologi” berasal dari bahasa Yunani kuno dan tersusun dari dua kata:
ontos (sesuatu yang berwujud) dan logos (ilmu atau teori). Jadi, ontologi dapat diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud atau mengenai hakikat yang ada (Sjamsuddin).
Landasan ontologi disebut juga cabang filsafat metafisik yang merupakan landasan
filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau substansi sesuatu.

B.Epistimologi

Istilah “epistimologi” berasal dari bahasa Yunani kuno, dan tersusun dari duakata:
episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu atau teori). Maka epistimologi dapat dimaknai
sebagai ilmu atau teori pengetahuan. Dalam  bahasa Inggris, ia biasanya dipadankan
dengan istilah theory of knowledge; sedangkan dalam Bahasa Indonesia, ia biasanya
disamaartikan dengan “filsafat ilmu”. Epistimologi adalah teori mengenai hakikat ilmu
pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan (Sjamsuddin).

C.Aksiologi

Istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani kuno dan tersusun dari dua kata:
axios (bermanfaat) dan logos (ilmu atau teori). Menurut Hexter bahwa aksiologi berarti
ilmu atau teori tentang manfaat. Sedangkan menurut Kattsoff dalam penjelasan yang
berbeda, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu  pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sementara itu, H.B. Sarwan menerangkan
bahwa aksiologi merupakan studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-
nilai, seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: rajawali Pers.

Jalaluddin&Idi, Abdullah. 1998. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: rajawali Pers.

Kattsoff, Louis. 1992. Pengantar Filsafat . Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana.

Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Surabaya: Prestasi Pustaka.

Syafii, Inu Kencana. 2004. Pengantar Filsafat. Cet. I; Bandung: Refika Aditama.

Suariasumantri, Jujun. 1991. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu. Cet. IX; Jakarta: Gramedia

https://www.academia.edu/36209137/Landasan_Utama_Filsafat_Pendidikan_revisi_.docx

13

Anda mungkin juga menyukai