Anda di halaman 1dari 86

9 Maret 2017

Pancasila dan Ketimpangan


Radhar Panca Dahana

Berita itu, walau sebenarnya lama sudah kita ketahui, tetap saja
mengejutkan. Betapa luar biasa kenyataan yang digambarkan
dalam laporan terbaru INFID dan Oxfam: Indonesia adalah negara
keenam dunia dalam hal ketimpangan ekonomi atau
kesejahteraan publiknya. Bagaimana kekayaan empat orang,
sekali lagi hanya empat orang terkaya di Indonesia, melebihi
kekayaan 100 juta penduduk termiskin?
Jangankan menyebut angka, merinding pun tidak berani saya: Rp
325 triliun (25 miliar dollar AS)! Dalam angka lain, 10 persen orang
terkaya menguasai 77 persen dari kekayaan nasional. Bagaimana
sisa kekayaan (23 persen) harus dibagi pada 90 persen penduduk?
Pada akhirnya, dalam perebutan kekayaan itu rakyat jelata hanya
bisa bisu dan gigit jari karena agresivitas dan kerakusan kelas
menengah (dan sebagian elite) memperebutkan sisa itu.
Negeri apa sebenarnya Indonesia ini? Ketika mereka yang menjadi
obligor terbesar-karena amanah dan fasilitas luar biasa yang kita
berikan pada mereka-ternyata justru menikmati keuntungan dari
tragedi kebangsaan kita itu. Parlemen, misalnya, bukan prihatin
dan bersatu untuk berjuang memperbaiki itu, tetapi malah sibuk
dengan kepentingan sempit kelompoknya; otak-utik undang-
undang politik, mengurus dan ikut-ikutan demonstrasi, hak
angket yang mokal-mokal yang tidak terlalu prinsipil, dan
sebagainya.

Negeri apa ini jika semua tragedi kesejahteraan publik di atas lebih
banyak diakibatkan oleh kekeliruan sistemik, "struktural" dalam
bahasa Oxfam, yang artinya kita menyusun, memutuskan, dan
memberlakukan sebuah sistem yang justru menciptakan
kesengsaraan yang kian luas.
Negeri apa ini di kala yang menyedihkan itu para kapitalis dan
korporat besar terus sibuk menimbun harta di gudang "Paman
Gober" mereka yang telah penuh. Hingga kapan hingga berapa
gudang, padahal mereka tidak berbuat apa pun? Sementara
hartanya membutuhkan lebih dari satu generasi untuk
menghabiskannya.
Berapa ribu pengusaha UKM tertolong dengan angka Rp 13 miliar
yang mereka belanjakan sehari itu? Berapa gudang dan generasi
lagi mereka harus merebut (kadang dengan paksa) rezeki orang
lain yang umumnya orang-orang kurang dan tak berdaya karena
tidak punya sumber daya: modal, relasi, pendidikan, dan
seterusnya?
Negeri apa Indonesia kita ini jika membiarkan semua hal itu
terjadi? Inikah negeri yang kita idealisasikan dengan Pancasila?
Pancasilaiskah kita, wahai kaum elite, jika 90 persen dari
rakyatmu, konstituen yang harusnya kalian wakili dan bela,
berebut remah-remah (sisa pesta ekonomi kalian) dari rezeki
nasional kita?
Lalu, untuk apa ideologi? Untuk apa dia yang kita sebut "harga
mati"?
Negeri tidak Pancasilais
Marilah kita mulai jujur, berbening hati, dan berpikir jernih.
Berulang kali saya telah menyatakan betapa persoalan mendasar

rony_sandra25@yahoo.com


3

yang menjadi muasal semua tragik di atas bersifat sistemik.


Artinya, selama sistem yang kita berlakukan saat ini-entah sistem
ekonomi yang tak cuma berkelindan, tetapi juga "berkonspirasi
secara epistemik" dengan sistem politik, hukum hingga akademik-
tidak juga kita ubah secara fundamental hingga ke akar
epistemologis bahkan ontologisnya, kita tidak akan sampai pada
solusi yang komprehensif. Solusi yang sungguh-sungguh
memberikan perubahan hingga ke dasar piramida sosial, kultural
kita.
Apa yang menjadi desakan kuat bagi itu, bukan saja kenyataan-
kenyataan (ekonomis, politis, yuridis) yang kian tragis terjadi,
melainkan juga fakta yang sering kali kita menutup mata pada
keberadaannya: negeri ini kian jauh dari cita-cita ideologis. Akui
saja, kita semakin kuat mengkhianati Pancasila.
Tentu dengan catatan: jika memang benar kita memiliki ideologi
itu. Jika memang benar Pancasila itu ideologi. Jika memang benar
Pancasila itu adalah idea (l) abstrak yang kita konsensuskan, yang
dalam pergerakan waktu, abstraksi-yang tak kunjung menjadi
nyata itu-menjadi semacam obsesi, lalu akhirnya menjadi ilusi.
Bagaimana tidak? Sederhana saja cara kita membuktikannya.
Kita dapat memeriksa semua sistem yang berlaku nasional saat ini,
termasuk regulasi turunannya. Mana yang memerikan dengan
jelas dan jitu pasal-pasal atau sila dari ideologi kita? Terlebih
dalam praksisnya. Di mana dan yang mana praktik-praktik
kenegaraan dan kemasyarakatan kita merupakan perwujudan
konsisten dari semua sila Pancasila? Periksalah satu per satu. Kita
mudah menemukan jawabannya: tidak ada!
Fakta dari laporan Oxfam dan INFID di atas juga menunjukkan
bahwa penyebab "struktural", atau sistemik dalam terminologi

rony_sandra25@yahoo.com


4

saya berlaku setidaknya sejak 1997. Sejak IMF memaksakan resep


"penyembuhan" ekonominya, dalam letter of intent yang heboh
itu. Resep yang membodohi, menjerumuskan, dan dipaksakan
secara koersif oleh masyarakat (-konspiratif) internasional itu
berkelindan dengan aksi massa "reformasi". Aksi massa itu pun
akhirnya menjadi konspiratif karena seperti menjadi semacam
"legitimator" diterimanya resep itu. Dengan kata lain, kekalahan
Soeharto pada IMF adalah kekalahan bangsa kita.
Dan ajaibnya, saat semua hal diliberalisasi, negara kita rugi luar
biasa besar. Begitu pun resep itu masih saja dilaksanakan.
Ada apa dengan negeri ini? Ada apa dengan Pancasila, ketika
ideologi yang "harga mati" itu benar-benar seperti mati
menghadapi konspiratif ini?
Negeri tidak ideologis
Lalu di manakah "kesaktian" Pancasila itu, yang kita peringati
setiap 1 Oktober itu? Adakah ia hanya "sakti" dalam menumpas
komunis di negeri ini dan menegakkan orde penumpasnya?
Adakah ia hanya sakti dalam momen sejarah dari sang pemenang,
tetapi lumpuh melempem di kalangan rakyat yang selalu kalah?
Adakah Pancasila, kalaupun kurang atau tidak sakti, juga tidak
berlaku bagi kita, masyarakat atau bangsa ini keseluruhannya?
Pertanyaan pun menjadi: apakah arti atau adakah makna ideologi
bagi (bangsa) kita? Lebih mendasar lagi, benarkah kita ini bangsa
yang ideologis, pada mula dan dasarnya? Pertanyaan-pertanyaan
ini mungkin mengganggu, bahkan dengan sangat keras bagi
mereka yang cinta buta, meng"harga mati"kan, atau taklid pada
Pancasila. Sekali lagi mari kita jujur, ikhlas, berbening hati, dan
berjernih pikiran melihat persoalan besar ini.
Satu argumen dasar saja untuk saya kemudian menjelaskan

rony_sandra25@yahoo.com


5

pandangan saya mengenai hal di atas. Pancasila, sebagaimana kita


pahami, adalah hasil renungan dan kristalisasi para bapak dan ibu
pendiri bangsa ini berbasis pada realitas sosial, kultural, dan
historis dari masyarakat Nusantara. Sehebat dan sejenius apa pun
bapak dan ibu yang mulia itu, tetaplah mereka manusia, bukan
nabi, rasul apalagi Yang Kuasa. Artinya, ciptaan mereka pada
dasarnya tidak abadi, sebagaimana manusia itu sendiri.
Pancasila tidaklah abadi, dalam rumusannya. Ia adalah harga
yang selalu hidup, tidak pernah mati. Kenapa? Karena kita
manusia, kita bangsa yang terus hidup, berkembang, maju, dan
konsisten melakukan semacam adjustment dengan realitas
mutakhir (kontemporer) yang labil dan tak berhenti berubah.
Kenyataan bahwa dalam perubahan zaman itu, data, hasil riset,
hingga kesehatan atau infrastruktur hasil pembangunan
berkembang signifikan, harusnya membuat kita lebih hebat, lebih
mumpuni, dan lebih kuat/dalam memahami diri (bangsa) kita,
ketimbang para pendiri bangsa itu.
Di titik inilah Pancasila harus kita hidupkan seiring bahkan secara
inheren dalam kehidupan yang tumbuh dalam diri bangsa. Tentu
saja bukan tumbuh dalam pergeseran libido keserakahan sistemik
seperti yang terjadi sekarang. Namun, sebaliknya tumbuh kian
matang, dewasa, cerdas, dan jitu dalam merespons dan memberi
solusi pada tantangan kerakusan sistemik tersebut.
Caranya, bukan hanya kita (1) memeriksa ulang dan berani
mengubah sistem yang menjerat serta mengimperialisasi bangsa
sendiri ini, melainkan juga (2) memeriksa ulang semua dasar
pikiran hingga sila-sila Pancasila hingga (3) mengoreksi dan
menggeser modus atau cara kita bereksistensi, berpikir-bersikap-
berperilaku sebagai manusia, sebagai sebuah bangsa. Revolusi
mental berada di basis terakhir ini.

rony_sandra25@yahoo.com


6

Hal terakhir yang perlu kita renungkan, benarkah Pancasila itu


sesungguhnya sebuah ideologi bagi kita? Atau mungkin ia hanya
semacam idealitas, mungkin idealisme biasa dalam hidup
keseharian kita? Karena sesungguhnya dalam sikap hidup
manusia atau masyarakat bahari yang pragmatis dan sederhana,
ideologi tidaklah punya arti. Tak punya daya kerja atau daya
operasionalnya.
Seperti juga dalam Islam, misalnya. Sabang sampai Merauke,
lihatlah dan periksalah diri Anda sendiri, adakah ideologi
sembunyi dalam nurani, dalam dasar pikiran atau perbuatan
Anda?
Pertanyaan sejenis: adakah partai politik di Indonesia, yang dalam
sejarah awalnya di belahan sana berdiri dengan tiang ideologis
sebagai penyangga, digerakkan dan bekerja dengan ideologi?
Ideologi apa? Ketika seorang anggota partai begitu mudah
menjadi "kutu loncat", berpindah dari "ideologi" satu ke lainnya?
Ketika seluruh anggota parpol hanya digerakkan olah syahwat
kekuasaan dan akses ekonomis saja? Mungkin itu "ideologi"
sesungguhnya parpol di negeri ini.
Kenyataannya, sebagai ideologi negara, ternyata tak satu pun
pasal hukum yang diproduksi negara (cq pemerintah) dapat
menjadi alat pemaksa (represi) untuk melaksanakan norma, nilai,
atau acuan lain dari ideologi itu sendiri. Kita tuna ideologi.
Namun, tentu, tak perlu kuatir karena pada dasarnya kita-bangsa
bahari-memang masyarakat yang punya cita-cita atau ideal yang
tinggi, kita orang yang idealis, tetapi tidak ideologis.
Jadi, Pancasila tak lain adalah idea, cita-cita kita bersama. Namun,
siapa yang telah (berani) memperjuangkannya? Anda?
RADHAR PANCA DAHANA: Budayawan

rony_sandra25@yahoo.com


7

22 Oktober 2016

Jihad Ideologis: Ekonomi Pancasila


Ahmad Erani Yustika
Dalam sejarah, beberapa kali muncul perdebatan serius bernuansa
keilmuan di Tanah Air. Misalnya, polemik pilihan bentuk negara
kesatuan atau federal. Di ranah kebudayaan, ada polemik antara
kelompok pengusung Manifes
Kebudayaan dan kelompok seniman
Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dalam
pemikiran ekonomi, berlangsung
polemik keras terkait sistem ekonomi
nasional yang berkembang menjadi
debat ”Ekonomi Pancasila”.
Akar rumusan ekonomi negara sendiri
dipengaruhi pikiran Mohammad
Hatta. Bahkan, diyakini Pasal 33 UUD
1945 adalah ide otentik Hatta. Namun,
istilah Ekonomi Pancasila sendiri tak
dipakai oleh Hatta. Emil Salim, lewat
dua risalah yang dipublikasikan pada 1965 (Sistem Ekonomi dan
Ekonomi Indonesia dan Politik dan Ekonomi Pantjasila) adalah
ekonom yang menggunakan istilah itu pertama kali.
Bermula dari tulisan Emil itulah meluncur pertukaran gagasan
dari beragam ekonom pada zamannya, seperti Sumitro
Djojohadikusumo, Mubyarto, Budiono, Anwar Nasution,
Mohammad Sadli, Sukadji Ranuwihardjo, Ace Partadiredja, Frans
Seda, Kwik Kian Gie, ataupun Sri-Edi Swasono. Bahkan, terlibat

rony_sandra25@yahoo.com


8

pula dalam bidang lain, seperti Franz-Magnis Suseno (filsafat),


Arief Budiman (sosiologi), Ismail Suny (Hukum), dan beragam
nama lagi.
Salah satu yang tekun menggeluti wacana Ekonomi Pancasila
tersebut, tak sekadar berpolemik dengan Emil, adalah Mubyarto.
Tulisan-tulisan terkait topik tersebut terserak dan menjadi
penanda ”jenis kelamin” Mubyarto dalam memosisikan lokus
akademiknya. Mubyarto meletakkan dasar-dasar persemaian
debat intelektual dan sekaligus menjadi ”die hard” pertempuran
wacana ini.
Publikasi Emil pada tahun 1965 sendiri juga menarik ditelaah.
Hatta sebagai pusat pembentuk karakter sistem dan kebijakan
ekonomi harus diakui telah meletakkan dasar-dasar sosialisme
(penyebutan ini juga menimbulkan perdebatan). Pilihan tersebut
menimbulkan implikasi yang dipandang tak enak terhadap
perekonomian, seperti kemajuan ekonomi yang lambat, investasi
yang tersendat, inisiatif warga yang tertekan, dan inefisiensi
ekonomi. Faktor ini menjadi pangkal kritik Emil dari spirit
risalahnya sehingga pesan ”Sistem” Ekonomi Pancasila-nya bisa
dipersepsikan sebagai hasrat menanggalkan praktik ”ekonomi
sosialis”. Namun, Emil berhati-hati untuk berbicara sistem
ekonomi pasar, seperti apa yang ditulisnya, ”Apabila kita ingin
mengarahkan kegiatan-kegiatan ekonomi ke arah pembangunan,
maka organisasi ekonomi yang terlalu tergantung kepada pasar
tidak begitu jitu memenuhi kebutuhan kita,” (hal 62).
Publikasi pada 1965 bukan sebuah kebetulan karena pada saat itu
telah terjadi akumulasi proses ekonomi dan politik atas dinamika
yang terjadi sejak 1945. Itu sebabnya, gagasan Ekonomi Pancasila
yang dicetuskan Emil mulanya tak diniatkan sebagai ”jihad
ideologis” mencari karakter paling sesuai dengan corak Indonesia.

rony_sandra25@yahoo.com


9

Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hatta dan Mubyarto.


Hatta jelas ideologis karena watak anti kapitalisme mengendap
dalam nadi intelektualnya sehingga muncul rumusan Pasal 33
UUD 1945. Selini dengan anggapan ini, pada Juni 1979 Hatta juga
menulis risalah Ekonomi Terpimpin yang disampaikan sebagai
bahan pengarahan di Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila.
Adapun Mubyarto selalu bertolak dari Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan) sebagai basis merumuskan ”Teori” Ekonomi
Pancasila.
Muara perdebatan
Apakah perdebatan serius tersebut telah bermuara kepada
penemuan bentuk Ekonomi Pancasila sebagai dasar
penyelenggaraan ekonomi? Jika mengacu kepada kehendak
memformulasikan ”teori” Ekonomi Pancasila, jawabannya belum.
Namun, apabila kerangka jawaban berhilir kepada ”ciri” Ekonomi
Pancasila, persilangan ide itu sudah memberi arah yang lumayan
jelas. Seperti ditulis Mubyarto, setidaknya ciri itu tersebut dalam
lima corak (hal 709): 1. Roda perekonomian digerakkan oleh
rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; 2. Kehendak kuat dari
seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial sesuai
asas-asas kemanusiaan; 3. Prioritas kebijakan ekonomi adalah
penciptaan perekonomian nasional yang tangguh dan jiwa
nasionalisme; 4 Koperasi merupakan soko guru perekonomian;
dan 5. Adanya imbangan yang jelas antara perencanaan di tingkat
nasional dengan desentralisasi untuk menjamin keadilan ekonomi
dan sosial.
Pandangan lain, dengan sebagian kerangka pemikiran yang
berbeda, dilayangkan oleh Emil. Ia memberikan tekanan pada
keberadaan perencanaan ekonomi, kegiatan ekonomi dipasrahkan

rony_sandra25@yahoo.com


10

kepada satuan-ekonomi-individual, pasar yang bekerja aktif, dan


mekanisme harga terpakai untuk alokasi sumber-sumber dana
dan faktor produksi. Pelaku ekonomi bekerja dalam hubungan
keselarasan antara sesama, kegandrungannya pada unsur
kemanusiaan, dan nilai-nilai agama sebagai basis aktivitas
ekonomi (hal 123-125). Tampak bahwa ”sistem” Ekonomi
Pancasila yang didesain Emil mewarisi tradisi berpikir ekonomi
klasik yang bertumpu kepada mekanisme pasar dengan sentuhan
nilai-nilai lain yang termaktub dalam Pancasila. Dengan tepat,
Tarli Nugroho (penyusun buku ini) menyebut formula yang
disusun Emil itu bukanlah sistem, melainkan ”orde ekonomi”.
Sementara gagasan Mubyarto bukan teori, tetapi ”politik
perekonomian” (hal 16).
Istilah-istilah itu merujuk tulisan Hatta yang membedakan antara
teori ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Ilmu ekonomi
adalah ilmu empiris mengenai cara manusia dalam mencapai
kemakmuran. Politik ekonomi adalah siasat untuk melaksanakan
teori ekonomi secara rasional dalam tindakan nyata. Orde
ekonomi adalah bangun ekonomi, atau organisasi yang dibentuk
untuk memecahkan persoalan ekonomi riil yang bersifat historis-
relatif (hal 13). Jadi, ruang besar yang tersisa dari perdebatan ini
adalah pekerjaan menata balok ”teori” Ekonomi Pancasila. Salah
satunya bisa dilacak dari kritik Arief Budiman yang menganggap
perdebatan Ekonomi Pancasila ini abai dalam dua hal pokok:
filsafat manusia dan struktur sosial. Baginya, mustahil sistem
perekonomian (Pancasila) tak berbicara soal asumsi manusia dan
struktur sosial, tempat di mana penyelenggaraan ekonomi
dilakukan (hal 373-376).
Buku ini sumbangan luar biasa bagi khazanah keilmuan nasional,
lebih-lebih dalam konteks mendokumentasikan perdebatan

rony_sandra25@yahoo.com


11

sebuah topik khusus. Tarli Nugroho layak diberi apresiasi tinggi


atas ketekunannya mengumpulkan bahan-bahan serta
memberikan catatan yang menggugah. Buku ini makin relevan
ketika pemerintah kembali mengagungkan terma ”Berdikari,
Trisakti, Konstitusi, dan Pancasila” sebagai tulang punggung
penyusun Nawacita. Tugas kita selanjutnya, seperti diungkapkan
M Dawam Rahardjo dalam pengantarnya, menghidupkan
kembali kajian mengenai Pancasila. Bergerak!
AHMAD ERANI YUSTIKA, EKONOM, DIRJEN PPMD
KEMENDES; PENDAPAT PRIBADI

rony_sandra25@yahoo.com


12

2 Juni 2016

Pancasila dan Desa


AHMAD ERANI YUSTIKA
Desa telah menjadi altar baru dalam gempita pembangunan
nasional. Seusai aneka percobaan pembangunan dijalankan
dengan hasil yang sebagian mengecewakan, muncul hasrat baru
dengan meletakkan desa sebagai sumbu pembangunan. Namun,
di sini muncul pertanyaan kritis: jika desa ditunjuk sebagai titik
tumpu pembangunan, apakah desa menjadi sekadar lokus
pembangunan ataukah filosofi dan kerangka dasar pembangunan
juga berubah?
Pertanyaan ini bukan cuma penting, tetapi sekaligus penanda ke
mana arah pembangunan desa mesti digerakkan. Warta bagusnya,
kita punya stok dasar negara yang amat kukuh meski selama ini
nyaris tak dijadikan sebagai kompas. Hari ini, saat Pancasila
dirayakan di seluruh penjuru negeri, kodratnya sebagai fondasi
bernegara menggema kembali. Oleh karena itu, misi suci
pembangunan desa seharusnya bertolak dari titik ini:
menjadikannya satu tarikan napas dalam merawat roh dasar
negara.
Gugusan baru pembangunan
Pada 28 Agustus 1959, Soekarno menyampaikan Amanat Presiden
tentang Pembangunan Semesta Berencana kepada Depernas
(Dewan Perantjang Nasional): ”..tudjuan dan maksud
pembangunan semesta ialah membangun masjarakat jang adil dan
makmur; adil dan makmur jaitu menurut tindjauan adjaran
Pantjasila...” (Departemen Penerangan RI, 1959).

rony_sandra25@yahoo.com


13

Setelah hampir 71 tahun merdeka, amanat ini menjadi agenda


pokok yang mesti dijawab: apakah pembangunan sudah
bersendikan ajaran Pancasila? Sulit menampik, pembangunan
yang diselenggarakan selama ini telah banyak memproduksi
keberhasilan, baik yang dirasakan khalayak domestik maupun
publik negara lain. Namun, ukuran keberhasilan itu lebih
berdasarkan norma yang diterima umum sehingga parameter
yang bersumber dari dasar negara tak banyak mendapatkan
ruang. Implikasinya, jarak antara pencapaian pembangunan dan
ajaran Pancasila bisa berpunggungan.
Di sinilah noktah terpenting untuk menjaga dan membela
Pancasila dalam konteks pembangunan desa. Afirmasi terhadap
pembangunan mesti diletakkan sebagai usaha menegakkan
Pancasila sampai ke akarnya, yang kemudian tumbuh menjadi
batang dan ranting yang kokoh pada setiap lini pembangunan
nasional.
Desa menjadi pangkal harapan karena dua pertimbangan.
Pertama, saat perumusan Pancasila kondisi sosio-ekonomi-politik
nasional bisa merujuk kepada situasi desa hari ini meski tentu saja
tak sama persis. Perikehidupan manusia dan alam pada masa
kemerdekaan adalah pantulan derap nadi desa masa kini. Dengan
demikian, menempatkan desa sebagai alas penegakan isi dasar
negara merupakan persinggungan yang layak digelar.
Kedua, persentuhan desa dengan modernisasi (pembangunan)
masih belum begitu jauh sehingga eksperimen membentuk
gugusan baru pembangunan dengan nilai dasar negara tersebut
masih mudah dijalankan.

rony_sandra25@yahoo.com


14

Sila pertama ”Ketuhanan yang Maha Esa” adalah akar tunjang


pembangunan yang tak meletakkan materialitas sebagai usaha
pencapaian puncak tujuan. Prinsip ini meyakini sumber
pembangunan adalah spiritualitas. Agama sebagai mata air
spiritualitas dan moralitas menjadi daya dorong manusia berpikir,
berucap, dan bertindak. Tuhan bersemayam dalam kalbu dan
menjadi pandu atas setiap niat dan perbuatan yang bakal
dikerjakan. Sungguh pun begitu, agama tak perlu menjadi asas
kenegaraan formal karena kondisi sosio-politik nasional yang
beraneka ragam, yang terangkum dalam frasa ”Bhinneka Tunggal
Ika”.
Dalam banyak segi, desa dihidupi oleh kekuatan spiritualitas
tersebut. Ritual keagamaan menjadi tradisi, bahkan kemudian
menjadi budaya, dan menghidupi gerak masyarakat. Modal itulah
yang membuat desa tak tercerabut dalam kemalangan penyakit
materialitas karena dijaga oleh moralitas agama. Pembangunan
merupakan pendalaman ritual keagamaan itu sendiri. Refleksi
pembangunan yang paling konkret selalu terkait dengan manusia
dan hubungan antarmanusia. Dengan demikian, sila kedua
”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” merupakan tangkai
terpenting berhubungan dengan pembangunan. Moda produksi
sebagai mata rantai pembangunan (ekonomi) berurusan dengan
modal, tanah, dan tenaga kerja (manusia). Hanya pada faktor
produksi tenaga kerja tersebut terdapat dimensi sosial, budaya,
politik, dan seterusnya.
Maknanya, hubungan antarmanusia dalam pembangunan tak
boleh mereduksi kemanusiaan. Di desa, hubungan antarmanusia
(dalam bingkai ekonomi sekalipun) selalu menganggap
persaudaraan sebagai penanda sikap. Persaudaraan merupakan
inti kemanusiaan sehingga relasi pembangunan tidak menjadi

rony_sandra25@yahoo.com


15

isolasi antarkelas dan menjadi basis pertarungan. Oleh karena itu,


sila ini menjadi pengingat bahwa pembangunan mesti menjadi
pengungkit nilai kemanusiaan dan bukan malah menggerusnya.
Hasil pembangunan yang kerap dicemaskan adalah:
pertumbuhan menghasilkan peminggiran. Pelaku ekonomi yang
satu tumbuh, lainnya mati. Pembangunan bukan merangkul,
melainkan memisahkan. Itulah deskripsi yang terjadi selama ini.
Agenda persatuan menjadi jauh panggang dari api. Di desa,
kosakata gotong royong menggaung hingga kini meski mulai
terkikis oleh sistem persaingan individu yang kian bengis.
Sekurangnya, gotong royong masih menjadi bahasa relasi
antarmanusia di desa. Nilai ini yang harus diselamatkan karena
modal sosial ini adalah sumber keabadian bangsa. Bahkan, ketika
Soekarno diminta memeras Pancasila menjadi Ekasila, yang dia
sampaikan adalah kata ”gotong royong”. Jadi, titik tolak sila
”Persatuan Indonesia” berhulu dari gotong royong tersebut.
Demikian pula pasal 33 ayat 1 yang berbunyi ”Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” juga
amat dinapasi oleh sila ketiga ini, seperti diungkapkan oleh
Mohammad Hatta.
Persatuan itu masih terbungkus jejaknya pada saat mengonstruksi
kedaulatan rakyat dalam panggung politik dengan sila yang
memiliki bobot dahsyat: ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Persatuan
akan solid apabila keputusan berporos kepada permusyawaratan.
Keputusan yang hanya berlatar kepada kuantitas suara kerap tak
berpijak kepada pengetahuan sehingga memungkinkan terjadinya
dikte mayoritas.

rony_sandra25@yahoo.com


16

Sebaliknya, permusyawaratan mesti berbasis pengetahuan. Itulah


sebabnya frasa ”hikmat kebijaksanaan” muncul sebagai muara
dari pengetahuan. Di desa, praktik semacam itu terus terjaga,
misalnya di desa adat, sehingga setiap pikiran warga terserap
dalam sistem sosial yang dibangun. Musyawarah desa menjadi
salah satu perwujudan sila keempat dan langgeng hingga kini.
Nilai dan kecerdasan lokal yang bersumber dari agama, budaya,
dan lain-lain menjadi dasar lahirnya hikmat kebijaksanaan.
Perayaan Pancasila
Akumulasi dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan
Permusyawaratan bisa terpantul dari hasil keseluruhan
pembangunan. Terma ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” adalah keagungan dari empat dasar tersebut. Keadilan
sosial memiliki makna yang amat mendalam, yakni kesejahteraan
yang tak kehilangan spiritualitas, manusia tidak dianggap sebagai
semata faktor produksi, penguatan relasi dan distribusi sosial, dan
pengejawantahan konsensus (kedaulatan). Perasaan kehidupan
yang makin kering, meskipun kesejahteraan meningkat, tak
menggambarkan adanya spiritualitas, kemanusiaan, persatuan,
dan permusyawaratan tersebut. Tentu saja keadilan sosial menjadi
tak bisa digapai. Oleh karena itu, puncak pembangunan yang
dimaknai sebagai adil dan makmur, seperti diucapkan oleh
pendiri negara di atas, sebetulnya merupakan agregasi dari
praktik perikehidupan atas implementasi empat sila sebelumnya.
Bara api Pancasila itu harus menjadi penyala pembangunan dan
pemberdayaan (warga) desa. Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang diberi mandat
memanggul misi ini meletakkan fondasi negara sebagai ajaran
yang harus berdiri tegak. Tiga pilar/matra pembangunan desa
yang dikonseptualisasikan Direktorat Jenderal PPMD

rony_sandra25@yahoo.com


17

(Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa), yaitu


Lingkar Budaya Desa (Karya Desa), Jaring Komunitas Wiradesa
(Jamu Desa), dan Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa),
diabdikan untuk memberi jejak dasar negara ini.
Budaya yang bersumber dari agama dan spiritualitas menjadi
dasar gerak pembangunan desa (Karya Desa). Pengabaian
terhadapnya membuat pembangunan kehilangan panggung dan
upacara. Pembangunan adalah kerja budaya itu sendiri, di mana
keseluruhan nilai-nilai menjelma menjadi tata cara dan pilihan
program yang diambil warga. ”Jamu Desa” adalah ikhtiar
meningkatkan kapabilitas warga (desa) sebagai esensi
pembangunan. Prinsip ini dibangun berangkat dari kesadaran
untuk memuliakan manusia (kemanusiaan), penguatan
komunitas (sebagai basis persatuan), dan pendalaman konsensus
(permusyawaratan). ”Balai Rakyat” adalah agenda yang didorong
sebagai pembelajaran mandiri komunitas untuk menambah bobot
stok pengetahuan warga.
Demikian pula Musdes (musyawarah desa) menjadi napas
partisipasi warga dan tidak hanya menjadi ritual proses
perencanaan ketika desa membuat APBDes ataupun RPJMDes
sehingga kedaulatan rakyat terjaga sebagaimana mestinya.
Terakhir, ”Bumi Desa” diturunkan sebagai upaya penguasaan
sumber daya (ekonomi) oleh desa dan warga desa sehingga
keadilan sosial dapat dimaklumatkan. Institusi koperasi dan
BUMDes terus dipromosikan untuk memastikan kegotong-
royongan menjadi sumbu ekonomi bagi pencapaian keadilan
sosial. Singkatnya, pembangunan desa adalah perayaan Pancasila.
AHMAD ERANI YUSTIKA, DIRJEN PEMBANGUNAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (PPMD)—KEMENTERIAN
DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI

rony_sandra25@yahoo.com


18

22 Juli 2016

Desa Pancasila
M DAWAM RAHARDJO

Desa Pancasila adalah nama sebuah desa di Kecamatan Natar,


Lampung. Namun, desa Pancasila bisa juga merupakan suatu tipe
desa yang multikultural, yang warganya memeluk lebih dari satu
agama, selain Islam, Hindu sebagai agama dominan sebelumnya,
dan Kristen sebagai agama yang baru datang.
Walaupun berbeda agama, warga Desa Bulun di daerah yang
dahulu adalah wilayah Kerajaan Blambangan, Jawa Timur, yang
Hindu itu hidup rukun dan bebas menjalankan ajaran agama
mereka masing-masing. Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Ahmad telah menulis artikel berjudul ”Pancasila
dan Desa” di Kompas (7/6) yang merupakan gagasan mengenai
sebuah desa yang dibangun dengan menerapkan lima sila dalam
Pancasila. Gagasan ini mirip dengan pemikiran Sumitro
Djojohadikusumo mengenai ekonomi Pancasila yang berbeda
dengan konsep Emil Salim dan Mubyarto.
Pada versi Emil Salim, yang disebut sebagai sistem ekonomi
Pancasila itu adalah sebuah model sistem yang seimbang antara
sistem pasar dan pengendalian oleh negara. Dalam konsep
Mubyarto, sistem ekonomi Pancasila itu memiliki lima sendi.
Pertama, perilaku ekonomi bersumber pada motif ekonomi, sosial,
moral, dan religi. Kedua, berasaskan prinsip egalitarianisme.
Ketiga, dijiwai semangat nasionalisme ekonomi yang mencita-
citakan kemakmuran bangsa. Keempat, bersendikan koperasi.
Kelima, keseimbangan antara perencanaan pusat dan daerah.

rony_sandra25@yahoo.com


19

Terapan esensi Pancasila


Desa Pancasila bisa dipahami juga sebagai penerapan esensi
Pancasila, sedangkan Pancasila itu sendiri dalam teori liberalisme
politik John Rawls adalah suatu kerangka dasar bagi sistem tata
kelola masyarakat yang majemuk secara lestari dan berkelanjutan.
Namun, setiap silanya harus sudah merupakan kesepakatan yang
tumpang tindih atau paradigma antar doktrin komprehensif,
khususnya agama yang hidup. Menurut Mubyarto, kesepakatan
itu masih dijalankan oleh masyarakat desa, khususnya dalam
masyarakat adat.
Lima esensi yang menjadi kerangka dasar itu adalah Ketuhanan
yang Maha Esa sebagai dasar moral atau perilaku warganya.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai dasar pergaulan
antarindividu, agama, dan kelompok yang majemuk sehingga
menciptakan keadilan dan keadaban ketika setiap warga
memperoleh hak-hak asasinya. Persatuan Indonesia merupakan
tali pengikat yang membentuk asas kekeluargaan dan gotong
royong. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah asas kepemimpinan
dan penilikan masyarakat. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia adalah tujuan berbangsa, bermasyarakat, dan
bernegara.
Kesepakatan yang tumpang tindih itu di Indonesia bukan
merupakan kerangka dasar masyarakat yang liberal, melainkan
yang integralistik karena menurut Sri-Edi Swasono, Indonesia tak
mengikuti tradisi kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat,
tetapi konsensus atas dasar kerakyatan dalam permusyawaratan
atau demokrasi deliberatif.

rony_sandra25@yahoo.com


20

Masalahnya adalah bagaimana penerapan esensi Pancasila itu


pada tingkat desa yang mengalami urbanisasi, bukan dalam arti
perpindahan penduduk dari desa ke kota, melainkan
berkembangnya kehidupan urbanyang makin individualistis di
daerah pedesaan yang mengerosi solidaritas.
Para ahli umumnya berpendapat bahwa nilai-nilai esensial
Pancasila itu masih mengakar pada masyarakat desa. Persoalan
baru timbul saat dilakukan pembangunan yang dipimpin negara
atau pembangunan dari atas yang sentralistis sehingga
berdampak berkembangnya materialisme dan persaingan yang
melahirkan konflik. Padahal, pembangunan seharusnya
bersumber dari gagasan kemajuan, yaitu kebebasan, persamaan,
dan persaudaraan yang kian meningkat.
Pembangunan desa
Pembangunan pada umumnya, termasuk pembangunan desa,
diartikan sebagai upaya penyediaan alat-alat pemuas kebutuhan
yang bersifat material atau kebutuhan ekonomi. Kepentingan
ekonomi yang meluas akan menimbulkan organisasi yang besar
dan rumit yang mengancam kemartabatan warga. Padahal,
kebutuhan itu bukan hanya bersifat ekonomi, melainkan sosial
dan juga spiritual.
Pemenuhan aneka kebutuhan material dianggap oleh Milton
Friedman sebagai peningkatan kebebasan, yaitu kebebasan untuk
memilih barang dan jasa. Namun, pembangunan ekonomi ini
membutuhkan motif dan rangsangan yang bersifat material,
sehingga menimbulkan pandangan hidup yang materialis.
Rangsangan ini akan menimbulkan erosi terhadap nilai-nilai sosial
dan spiritual pada masyarakat desa.

rony_sandra25@yahoo.com


21

Sebagaimana dikatakan Boeke, pembangunan ekonomi akan


membutuhkan pemberdayaan masyarakat desa melalui
pengembangan rasionalitas ekonomi, sementara masyarakat desa
sendiri masih kuat dikuasai motif sosial dan spiritual sesuai
dengan hipotesis ekonomi Pancasila gagasan Mubyarto. Karena
itu, pemberdayaan masyarakat desa akan menimbulkan
ketegangan sosial, moral, dan spiritual.
Pembangunan ekonomi umumnya juga menimbulkan eksploitasi,
persaingan, dan konflik kepentingan. Karena tujuan masyarakat
yang adil dan makmur itu harus berpedoman pada nilai Pancasila,
sebagaimana dikatakan Bung Karno, maka pertanyaannya:
apakah penerapan nilai-nilai Pancasila itu seharusnya akan
merupakan solusi.
Apabila Johnn Rawls berpendapat dalam teori liberalisme
politiknya bahwa tata kelola masyarakat yang majemuk itu harus
didasarkan pada kerangka dasar yang berintikan keadilan, maka
dalam pembangunan Indonesia, kerangka dasar itu terkandung
dalam lima sila, tiap sila merupakan kesepakatan yang tumpang
tindih. Ini sejalan dengan gagasan filsuf sosial India, Amartya K
Sen, bahwa gagasan keadilan itu tidak tunggal atau demikian juga
kerangka dasar tata kelola masyarakat itu tidak bersifat tunggal,
tetapi plural sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
Dengan demikian, pembangunan desa dalam arti modernisasi
harus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat dalam
menerapkan esensi Pancasila yang lima itu. Melalui
pemberdayaan itu, ekses-ekses pembangunan dalam arti
modernisasi akan bisa dicegah.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa akan mengimbangi materialisasi
yang memang dibutuhkan sebagai rangsangan itu dapat

rony_sandra25@yahoo.com


22

diimbangi dengan spiritualisasi. Sila Kemanusiaan yang Adil dan


Beradab akan menimbulkan humanisasi pembangunan dan
mencegah eksploitasi sumber daya yang menimbulkan
dehumanisasi. Sila Persatuan Indonesia akan meneguhkan asas
kekeluargaan dan gotong royong yang dinamis. Sila Kerakyatan
akan mencegah konflik. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia akan menimbulkan Kesejahteraan Sosial: kekayaan
bangsa akan tetap beredar di tingkat desa melalui mekanisme
koperasi. Dengan demikian, pembangunan Desa Pancasila adalah
pelaksanaan desentralisasi pembangunan dan pembangunan dari
pinggiran.
M DAWAM RAHARDJO, REKTOR UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45, YOGYAKARTA

rony_sandra25@yahoo.com


23

16 November 2015

Desa Punya Cara, Negara Punya Aturan


SUTORO EKO
Hubungan antara negara dan desa tidak pernah cocok dan tuntas.
Negara mengalami kesulitan membangun desa. Berbagai program
pembangunan terus mengalir ke desa sejak 1970-an, tetapi seakan
selalu pudar seperti "istana pasir".
Hari ini pelaksanaan UU Desa mengalami kesulitan serius.
Setahun lalu, kehadiran UU Desa disambut dengan penuh
antusias oleh para pemangku desa, tetapi kehadiran dana desa
tahun ini mereka sambut dengan keraguan dan ketakutan.
Mengapa? Itu adalah misteri desa. Clifford Geertz (1980) pernah
berujar: "Negara-yang sewenang-wenang, kejam, hierarkis, kaku,
tetapi pada dasarnya berlebihan-menunggangi 'komunisme
patriarkal' masyarakat desa, memperoleh makan darinya, dan
sekali-sekali merusaknya, tetapi tidak pernah benar-benar berhasil
masuk ke dalamnya. Negara adalah impor dari luar dan
merupakan gangguan eksternal, selalu mencoba menyerap desa,
tetapi tidak pernah berhasil kecuali ketika menindas."
Intervensi "tata negara"
Desa bukan hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan
wilayah dan unit administrasi pemerintahan yang mudah
dikendalikan oleh pemerintah. Desa juga bukan sekadar
komunitas lokal, pun bukan sebagai lahan kosong yang siap
menerima beragam intervensi pembangunan, atau bukan pula
sebagai pasar outlet proyek pembangunan. Desa merupakan
identitas, institusi, dan entitas lokal seperti "negara kecil" yang

rony_sandra25@yahoo.com


24

memiliki wilayah, kekuasaan, sumber daya, pranata lokal, dan


masyarakat.
Untuk memahami misteri desa, saya tidak perlu mencari teori-
teori impor. Saya mengingat kembali pepatah dan petuah Jawa
"desa mawa cara, negara mawa tata". Petuah ini bukan hanya
memberikan pesan tentang multikuluralisme seperti halnya
pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", desa
mawa cara (desa dengan cara) membuahkan frasa "cara desa",
yang bermakna desa memiliki cara, adat, kebiasaan, kearifan lokal
dan prakarsa lokal. Negara mawa tata (negara dengan tatanan)
menghadirkan frase "tata negara" bahwa negara memiliki
peraturan, hukum, administrasi, birokrasi, perencanaan,
keuangan, akuntansi, dan sebagainya.
"Cara desa" dan "tata negara" merupakan dua paradigma yang
memiliki nalar dan kepentingan berbeda. Benturan antara dua
paradigma itu membuahkan dilema intervensi negara masuk
desa. Kalau negara tidak hadir, salah, tetapi kalau hadir, keliru.
Negara tidak hadir disebut isolasi, yakni negara membiarkan desa
tumbuh sendiri dengan swadaya lokal atau membiarkan desa
dirusak oleh tengkulak ataupun korporasi. Desa bisa miskin,
terbelakang, dan menjadi penonton di rumahnya sendiri karena
negara tidak hadir (isolasi).
Negara hadir secara keliru dengan jalan memasukkan dan
memaksakan (imposition) "tata negara" ke dalam desa. Dengan
niat memperbaiki, para aparatus negara memandang desa dari
Jakarta, berupaya mengubah "cara desa" menjadi "tata negara".
Mereka tidak mengakui, menghormati, memberdayakan dan
memuliakan "cara desa", tetapi memasukkan "tata negara" dengan
modernisasi, korporatisasi, teknokratisasi, dan birokratisasi.
Bahkan, aparatus negara melakukan mutilasi desa dengan cara

rony_sandra25@yahoo.com


25

beternak banyak kelompok masyarakat, sebuah kerumunan yang


dilembagakan sebagai bentuk kanalisasi proyek pembangunan.
Rekognisi "cara desa"
Intervensi "tata negara" bukan hanya gagal dari sisi kehendak
untuk memperbaiki dan membangun desa, tetapi juga
menundukkan, melemahkan, dan merusak "cara desa". Dalam
praktik, teknokratisasi-birokratisasi telah menghadirkan tiga
penyimpangan.
Pertama, siasat lokal biasa ditempuh para pemangku desa yang
cerdik untuk menembus kerumitan birokrasi, dengan spirit
"melakukan hal yang salah dengan cara yang benar".
Kedua, penumpang gelap adalah para "konsultan jalanan" yang
membantu desa menyiapkan dokumen perencanaan dan
penganggaran desa guna memperoleh kucuran dana desa.
Ketiga, para aparat daerah sibuk melakukan asistensi dan
verifikasi terhadap dokumen yang disiapkan desa, tetapi semua
ini berujung pada pencarian rente.
UU Desa telah menyajikan rekognisi-subsidiaritas untuk
menembus dilema negara antara isolasi dan imposisi. Negara
mengakui desa dan memberikan mandat kepada desa untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
(pelayanan dasar, infrastruktur, ekonomi lokal, sumber daya
alam, lingkungan, ketenteraman, kerukunan, dan sebagainya)
dengan "cara desa" (adat istiadat, prakarsa, kearifan). Rekognisi ini
merupakan jalan yang lebih tepat untuk menghadirkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus membuat desa
memiliki imajinasi dan kontribusi yang lebih baik kepada NKRI.

rony_sandra25@yahoo.com


26

Karena mengakui dan memberi mandat, negara melakukan


redistribusi dana desa. Dana desa adalah hak dan kewajiban desa
(rezim desa), bukan rezim keuangan yang teknokratis-birokratis.
Menjalankan rekognisi-subsidiaritas memang tidak mudah, tetapi
juga tidak sulit. Sisi pertama adalah memotong kerumitan rezim
administrasi-keuangan (penyaluran, pengelolaan, penggunaan,
pengadaan, penatausahaan, pelaporan), seraya membuat
instrumen dan prosedur yang simpel. Desa bisa mengelola
keuangan secara sederhana, seperti yang dilakukan oleh pengurus
RT atau takmir masjid.
Sisi kedua adalah tindakan pemberdayaan, yakni edukasi,
katalisasi dan fasilitasi terhadap desa untuk menemukan,
menyatukan, dan melembagakan kekuatan lokal (pengetahuan,
kearifan, kepentingan, prakarsa) secara partisipatoris, menjadi
basis tindakan kolektif para pemangku kepentingan di desa.
Pemberdayaan ini tentu jauh lebih bermakna ketimbang para
pemangku desa sibuk mengurus administrasi keuangan.
SUTORO EKO: GURU DESA STPMD "APMD" YOGYAKARTA DAN
PERANCANG UU DESA

rony_sandra25@yahoo.com


27

2 Juli 2015

Pendampingan Desa
SUTORO EKO
Pemerintah akan segera memobilisasi fasilitator atau pendamping
untuk menjalankan pendampingan desa, sebagai bentuk
pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa.
Dalam diskusi para pihak di berbagai ruang dan tempat,
pendampingan desa berpijak kepada dua argumen dan tujuan.
Pertama, pendampingan desa merupakan tindakan meningkatkan
kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan, dan kemasyarakatan. Kedua, banyak pihak
khawatir dana desa yang diamanatkan UU desa tak efektif dan
berpotensi menimbulkan korupsi besar-besaran oleh kepala desa.
Karena itu, pendampingan desa merupakan tindakan untuk
mengawal efektivitas dan akuntabilitas dana desa.
Kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas harus menjadi perhatian
serius dalam pendampingan desa. Tetapi, pengutamaan ketiga
aspek itu bisa membuat pendampingan, seperti halnya
pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan, terjebak pada
apa yang disebut James Ferguson (1990) sebagai "mesin anti
politik". Dalam The Anti-Politics Machine: Development,
Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho, Ferguson
menunjukkan pembangunan sebagai nilai utama telah gagal
membawa kesejahteraan rakyat. Mengapa?
Pembangunan adalah instrumen teknis, proyek dan industri yang
anti politik. Di satu sisi, pembangunan adalah instrumen

rony_sandra25@yahoo.com


28

representasi ekonomi dan rekayasa sosial yang mengabaikan


representasi politik. Depolitisasi dilakukan dengan mengabaikan
realitas dan aspirasi politik, menyingkirkan rakyat dari politik,
sekaligus menggiring mereka sibuk dalam dunia sosial dan
ekonomi. Di sisi lain pembangunan dirancang canggih oleh
teknokrat dan dijalankan oleh birokrat untuk ekspansi kekuasaan
birokrasi negara. Dengan demikian, mesin anti politik
mengandung depolitisasi (kebijakan, pembangunan dan rakyat)
dan ekspansi kontrol birokrasi negara.
Anti politik
Karya Ferguson itu tentu sudah kedaluwarsa, tetapi penting saya
angkat sebagai perspektif kritis atas jebakan teknokratis-birokratis
dalam pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan juga
pendampingan desa. Belajar dari pengalaman pendampingan
program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) dan
proyek-proyek sejenis selama ini, ada sejumlah gejala operasi
mesin anti politik.
Pertama, pendampingan merupakan perangkat teknokratik untuk
mengamankan uang dalam bentuk bantuan langsung masyarakat
(BLM) dan menyukseskan target artifisial yang telah digariskan
proyek. Para pendamping mengajarkan hal-hal teknis-
administratif proyek kepada orang desa mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan sampai pelaporan proyek. Lalu
masyarakat desa tampil sebagai operator mesin pengelolaan uang
dan proyek.
Kedua, pendampingan mengedepankan partisipasi, tetapi
mengandung depolitisasi rakyat. Baik pengelolaan proyek
maupun pendampingan mengabaikan edukasi politik dan
penguatan representasi politik rakyat. Pendamping tak mendidik

rony_sandra25@yahoo.com


29

dan mengorganisasikan rakyat agar berdaya dalam


memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Sekalipun ada
partisipasi, yang terjadi adalah mobilisasi partisipasi dalam
pengelolaan proyek.
Ketiga, pendampingan digerakkan dan dikendalikan oleh mesin
birokrasi dengan petunjuk teknis operasional (PTO). Para
pendamping tak hadir sebagai katalisator perubahan, tetapi hanya
menjadi mandor proyek yang harus patuh pada PTO sehingga tak
tumbuh menjadi wirausaha sosial yang kreatif dan mandiri.
Pendampingan tentu telah memberikan kontribusi besar terhadap
cerita sukses proyek PNPM, seperti infrastruktur fasilitas publik,
pembesaran dana bergulir, pelembagaan instrumen good
governance dalam pengelolaan proyek, peningkatan kemampuan
masyarakat dalam pengelolaan proyek, serta kebocoran dana
proyek yang mendekati titik nol. Tetapi, kesuksesan itu hanya
terbatas pada proyek, tak berdampak besar secara organik dalam
tatanan kehidupan desa.
Instrumen good governance hanya dipakai dalam proyek, tetapi
tak berdampak dalam pemerintahan desa. Tingkat kebocoran
sangat rendah bukan berarti tumbuh kultur anti korupsi, tetapi
hanya pertanda keberhasilan mengamankan dana proyek.
Terbukti masyarakat sangat gemar politik uang dalam setiap
proses elektoral. Peningkatan kemampuan hanya terjadi dalam
pengelolaan proyek, tetapi kemampuan desa secara organik
dalam mengelola pembangunan tak tumbuh baik. Wirausaha
lokal tak tumbuh signifikan. PNPM hanya mampu membangun
istana pasir, sekaligus sebagai proyek yang menyenangkan, tetapi
tak menolong/berdayakan rakyat.

rony_sandra25@yahoo.com


30

Propolitik
Saya berulang kali berdiskusi tentang pendampingan desa dengan
Menteri Marwan Jafar maupun tim teknokrat-birokrat di
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi. Kami membangun
sebuah pemahaman bahwa pendampingan desa bukan perkara
proyek dan teknis-manajerial yang anti politik, tetapi harus
mengandung politik. Propolitik bukan dalam pengertian mesin
politik, tetapi pendampingan desa harus mengandung jalan
ideologis sesuai dengan UU desa, representasi politik, serta
pemberdayaan, dan edukasi politik.
Pertama, Marwan berulang kali menegaskan pendampingan desa
jangan terjebak pada proyek, tetapi harus menjadi jalan ideologis
memuliakan dan memperkuat desa, termasuk mewujudkan
idealisme Nawacita di ranah desa, dengan spirit "Desa
Membangun Indonesia". Kami menjabarkan gagasan ini dengan
menegaskan bahwa pendampingan desa bukan sekadar
berurusan dengan kapasitas dan efektivitas, tetapi hendak
mempromosikan desa sebagai "masyarakat berpemerintahan"
(self governing community) yang maju, kuat, mandiri, dan
demokratis.
Kedua, pendampingan merupakan jalan perubahan yang
mengandung repolitisasi rakyat. Repolitisasi ini bukan membuat
rakyat menjadi mesin politik atau mobilisasi partisipasi, tetapi
memperkuat representasi politik rakyat agar punya kesadaran
kritis dalam dunia politik dan berdaulat dalam hak dan
kepentingan mereka. Salah satu indikator kesadaran kritis adalah
tumbuhnya sikap dan tindakan orang desa menolak (anti) politik
uang.

rony_sandra25@yahoo.com


31

Ketiga, pendampingan tak ditempuh dengan pembinaan (power


over) melainkan pemberdayaan (empowerment). Pembinaan
adalah pendekatan dari atas yang menumbuhkan mentalitas
memerintah, kontrol, dan ekspansi birokrasi terhadap desa dan
masyarakat. Sedangkan pemberdayaan adalah pendekatan untuk
memperkuat desa dan rakyat secara sosial, budaya, ekonomi,
politik.
Keempat, setiap aktivitas desa (musyawarah desa, perencanaan
dan penganggaran, pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang
memperoleh sentuhan pendampingan, tak boleh terjebak pada
penggunaan alat dan menghasilkan dokumen semata tanpa ada
sentuhan filosofis (roh). Pendampingan terhadap seluruh aktivitas
desa harus disertai edukasi sosial dan politik secara inklusif dan
partisipatoris. Dalam perencanaan desa, misalnya tak hanya
berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan
dijabarkan jadi agenda proyek.
Di balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang desa
membangun impian kolektif dan mandiri mengambil keputusan
politik. Demikian juga sistem informasi desa (SID) yang kaya data,
aplikasi dan disertai jaringan online. SID tak hanya alat dan
teknologi. Di balik SID ada pembelajaran bagi orang desa untuk
membangun kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri
sekaligus memperkuat representasi hak dan kepentingan rakyat.
SUTORO EKOGURU DESA, PERANCANG UU DESA

rony_sandra25@yahoo.com


32

16 Mei 2016

Badan Usaha Milik Desa Mengapitalisasi Dana Desa


IVANOVICH AGUSTA
Sebanyak 89,5 persen dana desa dibelanjakan secara konvensional
bagi pembangunan infrastruktur. Konsekuensinya, Rp 17 triliun
kucuran negara sekadar berperan sebagai tambahan pemasukan
senilai Rp 24 triliun pendapatan desa tahun 2015.
Sayang, hingga sejauh ini dana desa belum dikapitalisasi untuk
meningkatkan aset pemerintah desa dan kesejahteraan warga.
Indikasinya, dana desa memenuhi 40 persen anggaran
pendapatan desa, tetapi menurunkan pendapatan asli desa (PAD)
dari 15 persen menjadi 9 persen.
Sebenarnya, UU No 6/2014 tentang Desa menyediakan badan
usaha milik desa (bumdes) sebagai instrumen pemerintah desa
guna mengelola pendapatan secara produktif. Becermin pada
masa keemasan PAD rata-rata 80 persen pada 1970-an, tidak
berlebihan untuk berharap kucuran lengkap dana desa tahun 2017
sebesar Rp 1,4 miliar per desa akan mengembangkan PAD sampai
Rp 6 miliar di setiap desa pada tahun berikutnya.
Menata bumdes
Diinisiasi melalui Peraturan Mendagri No 39/2010, dasar legal
penyusunan bumdes kini didasarkan pada Peraturan Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No
4/2015. Namun, yang menggelitik, redaksi pada Pasal 34 peraturan
menteri ini sampai menghapus peraturan mendagri sebelumnya.
Padahal, kedua peraturan tersebut setara secara hukum.

rony_sandra25@yahoo.com


33

Sementara peraturan lama mengharuskan pendirian bumdes


berbasis peraturan daerah, pada aturan terkini cukup didasarkan
pada peraturan desa (perdes). Di satu sisi, kemudahan pendirian
berpotensi menyuburkan bumdes. Namun, perdes bukanlah basis
legalitas badan hukum untuk berbisnis sehingga menyulitkan
akuntabilitas kerja sama dengan pihak ketiga, termasuk kala
badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah
(BUMD) dan swasta berminat menyertakan modal ke dalamnya.
Beranalogi BUMD sebagai instrumen pemerintah daerah dan
BUMN sebagai perangkat pemerintah pusat, bumdes diarahkan
menjadi tangan korporasi bagi pemerintah desa. UU No 6/2014
menuliskan, bumdes milik pemerintah desa karena didirikan
melalui peraturan desa dan dimodali dari APB Desa. PP No
43/2014 juga menempatkan kepala desa sebagai pembina bumdes,
sementara pengelolanya wajib berada di luar pemerintahan agar
terhindar dari kolusi otokratif.
Undang-undang mewajibkan bumdes menyerahkan keuntungan
sebagai PAD ke dalam APB Desa. Dengan begitu, pemerintah desa
dapat menggunakan profit badan usaha bagi pembangunan,
pemberdayaan masyarakat, hingga bantuan sosial golongan
miskin.
Kesulitan penataan bumdes secara nasional muncul lantaran
pertentangan Kementerian Desa PDTT dan Kemendagri tak
kunjung padam. Undang-undang menegaskan bumdes sebagai
urusan eksekutif desa sehingga wewenang penataan selayaknya
pada Kemendagri. Namun, PP No 47/2015 memilah urusan
bumdes kepada Kementerian Desa PDTT lantaran mengiranya
sebagai wadah pemberdayaan warga.

rony_sandra25@yahoo.com


34

Basis data kedua kementerian juga berlainan. Di berbagai media


massa, Kementerian Desa PDTT melansir jumlah bumdes 8.000-
10.000 buah. Adapun Kemendagri merujuk pada isian aparatur
pemerintah desa dalam Sistem Informasi Desa dan Kelurahan
(www.prodeskel.binapemdes.kemendagri.go.id). Publik dapat
menguji data rinci setiap desa, dan terbaca pada April 2016 berdiri
5.754 bumdes, atau 8 persen dari keseluruhan desa.
Perpres bumdes
Geliat pemerintah untuk mencanangkan, menggerakkan, dan
mendukung pendirian bumdes bagi keseluruhan 74.754 desa
patut diapresiasi. Upaya afirmatif tersebut membutuhkan
koordinasi antarkementerian, lembaga, bahkan dengan BUMN
dan BUMD. Peraturan presiden (perpres) menjadi relevan sebagai
senjata legal yang ampuh guna menggerakkan koordinasi
antarlembaga berikut koordinasi penyertaan modal bumdes.
Namun, dikhawatirkan ketergesaan pemerintah masih melalaikan
kalkulasi risiko kegagalan bumdes bagi negara. Kepala desa
berwenang mengajukan kepailitan bumdes kepada pengadilan
manakala usaha-usaha bumdes merugi.
Di titik ini, pendirian yang bertopang perdes otomatis mengaitkan
kepailitan bumdes dengan mengorek kantong APB Desa.
Berdasarkan simulasi kerugian BUMD yang menguras APBD
kabupaten/kota dan provinsi selama krisis moneter, Indra Bastian
memperhitungkan simulasi puluhan ribu bumdes pailit secara
massal mampu membangkrutkan lebih dari separuh pemerintah
desa.

rony_sandra25@yahoo.com


35

Dua tahap
Sebagai konsekuensi dari tata birokrasi, pemerintah daerah dan
pusat harus turun tangan mengatasi kepailitan desa. Pemerintah
daerah di kawasan timur mungkin menderita lebih parah
sehubungan dengan peluang persentase bumdes pailit lebih besar.
Oleh sebab itu, Endang Basuni menggagas dua tahap penerbitan
perpres bumdes. Pertama, peraturan diarahkan untuk
menginisiasi model-model pengelolaan bumdes. Legalitas
presiden menjadi fondasi penyusunan peta jalan, pengembangan
model percontohan, dan kerja sama dengan pihak ketiga. Tahap
ini diakhiri dengan rangkuman pola-pola pengelolaan bumdes
yang berbeda-beda seturut keragaman tipologi desa di Indonesia.
Kedua, barulah diluncurkan perpres percepatan pendirian
bumdes di sebagian besar desa. Legalitas bersubstansi memilah
kelayakan desa dalam mendirikan bumdes, serta keragaman
dukungan yang dibutuhkan untuk mengembangkannya. Tentu
saja termasuk dukungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia untuk mempermudah pendirian badan hukum bisnis
bagi bumdes.
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN INSTITUT
PERTANIAN BOGOR

rony_sandra25@yahoo.com


36

2 September 2016

Menggunting Dana ke Desa


IVANOVICH AGUSTA
Akhirnya dana desa dipotong Rp 2,8 triliun (Kompas, 27/8),
padahal beberapa bulan lalu sempat kalis dari pemotongan APBN
Perubahan 2016. Dibandingkan rencana Rp 46,7 triliun, dana
tergunting 6 persen. Konsekuensinya, 4.482 desa batal
mendapatkan dana senilai Rp 625 juta per desa.
Hal yang paling merisaukan, pemerintah tidak merasa memotong
dana desa, tetapi meyakini bahwa 6 persen desa itu tidak bakal
mampu menyiapkan prasyarat dan laporan pencairannya. Secara
ironis, hal ini bisa dimaknai pemerintah tak memercayai kapasitas
pemerintah desa sekaligus menafikan sendiri manfaat pelatihan
aparat desa oleh Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT).
Sebagai catatan, pemotongan anggaran kementerian diperkirakan
turut menghilangkan rencana pelatihan dan pendampingan
seluruh desa setidaknya Rp 1 triliun. Momentum mengenaskan ini
sebaiknya sudah cukup melecut desa untuk mengalihkan fokus:
dari menadah transfer dana pusat dan daerah menjadi mandiri
mencipta investasi dari dalam desa.
Efek bagi desa
Rasionalisasi anggaran menegaskan kekhawatiran aparat desa
setahun terakhir, yaitu mungkinkah dana desa digelontorkan
secara kontinu sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa? Mengingat penghitungannya terpaut

rony_sandra25@yahoo.com


37

dengan 10 persen transfer dana pusat ke daerah, setiap guncangan


pada keuangan daerah berefek domino pada dana desa.
Tanpa pemotongan dana transfer ke daerah pun, anggaran dana
desa pada 2015 sebesar Rp 20,7 triliun dan anggaran pada 2016
sebanyak Rp 46,7 triliun baru memenuhi 32 persen, lalu 64 persen
dari mandat UU.
Luput dari penghitungan ialah turut melemahnya penghasilan
tetap aparat desa. Honor tetap itu diperoleh dari 30 persen transfer
kabupaten kepada desa. Meskipun surat edaran Kemendagri
menyarankan 10 persen dari Rp 644 triliun dana transfer
pemerintah pusat ke daerah pada 2015, kenyataannya transfer
alokasi dana desa (ADD) itu hanya Rp 33 triliun atau 5 persen.
Alhasil, penghasilan tetap seluruh aparat desa hanya Rp 11 triliun.
Sayang, dana ke daerah kali ini dipotong Rp 70 triliun sehingga
berpeluang menurunkan penghasilan tetap aparat desa Rp 3,5
triliun. Ini senilai batalnya gaji bagi aparat pada 23.810 desa.
Tanpa honor dari ADD, keberlangsungan pemerintahan desa
dapat menggerogoti dana desa (DD), melalui pengalihan Rp 147
juta tiap desa guna menggaji aparat. Namun, Peraturan Menteri
Desa PDTT No 8/2016 mengharamkan penggunaannya bagi
bidang pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan. Artinya,
aturan ini melarang pengalokasian dana desa untuk honor kepada
aparat desa dan badan permusyawaratan desa. Maka,
penggunaan secara tidak sah menerbitkan dilema gugatan korupsi
kepada aparat desa atau mandeknya pemerintahan faktual
terbawah ini.
Pengguntingan anggaran ke desa perlu direspons dengan surat
edaran Mendagri agar pemerintah provinsi dan kabupaten
bergotong royong menyelenggarakan pelatihan bagi aparat desa.

rony_sandra25@yahoo.com


38

Relevansi pelatihan berkulminasi lantaran 14 persen kepala desa


berikut perangkatnya baru dilantik pada 2015, sementara 29
persen kepala desa segera diganti tahun ini. Pemerintahan baru
jelas membutuhkan pelatihan manajemen penyelenggaraan desa,
penyusunan peraturan perundang-undangan yang sah, deliberasi
musyawarah desa, dan alokasi keuangan desa.
Menteri Desa PDTT perlu merevisi peraturan No 8/2016 tentang
Penggunaan Dana Desa sekalipun aturan itu sudah mengubah
peraturan No 21/2015. Aturan mutakhir sebaiknya justru
menghapus pembatasan penggunaan dana desa oleh menteri,
tetapi dialihkan kepada kebebasan keputusan musyawarah desa.
Akuntabilitas rancangan dan realisasi penggunaan dana desa
perlu ditetapkan dalam peraturan desa sehingga pasti dibahas
bersama badan permusyawaratan desa serta wajib dipublikasikan
kepada warga.
Investasi desa
Dalam Peraturan Mendagri No 113/2014, investasi desa terselip
sebagai komponen penyertaan modal badan usaha milik desa
(bumdes) dan kerja sama desa. Kalau kapasitas alokasi anggaran
permodalan terlalu rendah, kerja sama antardesa perlu ditempuh
guna mengakumulasi modal bersama. Namun, jika sama sekali
tidak mampu menganggarkan biaya permodalan, kerja sama
dengan pihak ketiga dibutuhkan untuk mengapitalisasi aset agar
produktif mengisi kas desa.
Menurut Nata Irawan, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa
Kemendagri, nilai aset tak bergerak tiap desa mencapai Rp 5,4
miliar. Aset mencakup lahan pertanian, tanah tidak produktif,
gedung pertemuan, irigasi, dan jalan yang dibangun desa.

rony_sandra25@yahoo.com


39

Penyertaan modal pemerintah desa dalam jumlah besar sebaiknya


disalurkan ke bumdes. Lembaga ini dapat mewadahi hasil
retribusi lahan pertanian berikut irigasinya, parkir tempat wisata,
penyewaan gedung dan perangkat pesta. Keuntungan bumdes
memasok pendapatan asli desa.
Saat ini, Nata Irawan mencatat, penyertaan modal kurang dari 1
persen anggaran desa sehingga resiliensi keuangan desa terlalu
ringkih menghadapi tekanan fiskal dan moneter. Perlu penguatan
daya saing melalui penyertaan modal secara bertahap menurut
tangga 2,5 persen, 5 persen, 10 persen, dan terakhir 20 persen.
Dengan tetap menjaga politik deliberatif, itulah tahapan investasi
desa menuju tinggal landas.
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN
IPB BOGOR

rony_sandra25@yahoo.com


40

27 Februari 2017

APBD Desa dan Kemiskinan


TRISNO YULIANTO
Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun
terakhir memunculkan keprihatinan mendalam.
Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski
pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa
(DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh
Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750
juta.
Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena desa
juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa
(ADD) serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah
(DBHPRD). Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir
Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014
tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara
khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas
menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan
kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan
memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Sayangnya, dari hasil review implementasi DD secara spesifik
(baca: APBDes), sangat minim desa yang secara serius menggarap
program penanggulangan kemiskinan. Hampir 99 persen desa di
seluruh Indonesia lebih tertarik membiayai program
pembangunan fisik yang mudah dalam perencanaan dan
kasatmata dalam pelaksanaan. Program pembangunan fisik
bahkan disebutkan sebagai solusi dalam penanggulangan

rony_sandra25@yahoo.com


41

kemiskinan. Sebuah alasan yang absurd dan sulit diuraikan dalam


logika akal sehat.
Idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai
operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan
pemberdayaan masyarakat desa didorong untuk jadi peranti
dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan. Program
kegiatan penanggulangan kemiskinan di desa akan maksimal jika
jadi bagian dari program prioritas dalam rancangan
pembangunan jangka menengah pedesaan (RPJMDes) atau dalam
format rencana kegiatan pembangunan desa (RKPDes). Dengan
begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan
penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang
memadai.
Program prioritas ataupun superprioritas dalam implementasi
APBDes cenderung mengabaikan itikad pemberdayaan
masyarakat yang di dalamnya terdapat inisiasi penanggulangan
kemiskinan. Juga kegiatan rutin musyawarah pembangunan desa
(Musrenbangdes) cenderung dominan oleh kepentingan elite desa
yang tidak memiliki perspektif dalam visi penanggulangan
kemiskinan.
Hasilnya sudah bisa diprediksi: semakin meningkatnya profil
kucuran DD yang sekaligus membesarnya volume pendapatan
APBDes tidak berkontribusi secara signifikan dalam
penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Dalam data Badan
Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa meningkat
11,6 persen. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori
miskin, 70 persen merupakan warga perdesaan.

rony_sandra25@yahoo.com


42

Anggaran untuk si miskin


Kemiskinan di desa merupakan sesuatu yang ironis, mengingat
desa adalah zona produksi pangan yang seharusnya mampu
menyediakan segala aktivitas pekerjaan dan penambahan
penghasilan yang memadai bagi warga desa. Demikian pula
dengan formula APBDes yang besar, fasilitasi penangulangan
kemiskinan oleh pemerintah desa idealnya bisa dilaksanakan dan
memunculkan standar keberhasilan.
Indikator kemiskinan dalam definisi BPS dan Bank Dunia
sebenarnya bisa dijadikan rujukan bagi desa untuk dicarikan
resolusi melalui program/kegiatan yang masuk dalam APBDes.
Indikator kemiskinan, seperti kriteria rumah tidak layak huni, bisa
dijadikan basis keprograman rehabilitasi rumah warga miskin.
Minimnya pendapatan keluarga miskin bisa diselesaikan dengan
program pemberian permodalan usaha melalui dukungan
anggaran bagi badan usaha milik desa (BUMDes) melalui unit
simpan- pinjam. Ketakmampuan warga miskin membayar
anggaran kesehatan yang mahal bisa difasilitasi desa melalui
subsidi premi BPJS yang dianggarkan dalam APBDes.
Desa ataupun pemerintah desa sudah saatnya mengembangkan
paradigma anggaran yang progresif, semisal anggaran desa untuk
si miskin. Paradigma itu meletakkan APBDes sebagai peranti
untuk menjalankan program penanggulangan kemiskinan dalam
perspektif pemberdayaan atau pengembangan usaha mikro
perdesaan.
Profil APBDes mayoritas desa tahun 2017 semakin kuat karena
volume DD meningkat jadi Rp 60 triliun dalam APBN. Setiap desa
minimal akan mendapat jatah Rp 800 juta dan sangat memadai
untuk digunakan bagi program prioritas penanggulangan

rony_sandra25@yahoo.com


43

kemiskinan di desa. Jangan sampai akhir 2017 persentase


kemiskinan desa justru meningkat saat APBDes semakin gemuk
oleh "guyuran" anggaran dari pemerintah pusat dan kabupaten.
TRISNO YULIANTO: Alumnus FISIP Undip, Koordinator Forum
Kajian dan Transparansi Anggaran

rony_sandra25@yahoo.com


44

21 Juni 2016

Korupsi di Desa
IVANOVICH AGUSTA
Komisi Pemberantasan Korupsi menduga potensi korupsi dalam
pengelolaan dana desa sangat besar (Kompas, 13/5/2016).
Meskipun argumen yang dibangun cacat tautologis, tetapi
gagasan untuk menjernihkan aparat pemerintah perlu didukung
melalui telisik pola korupsi (di) desa.
Tautologi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditunjukkan oleh
analogi korupsi program nasional pemberdayaan masyarakat
(PNPM) masa lalu terhadap transfer dana desa masa kini. PNPM
dikelola kelompok masyarakat dan pendamping, sehingga
korupsi hanya mungkin dilakukan keduanya. PNPM justru
mengharamkan aparat desa pada semua tahapan kegiatan.
Namun, mengherankan bila KPK menyodorkan pendamping
guna mengawasi dan menghilangkan korupsi dana desa.
Menggali akar politik korupsi desa sejak abad ke-17, sejarawan
Ong Hok Ham mencatat, raja meminjamkan tanah lungguh
(duduk, akar kata kedudukan), tetapi tanpa kepastian gaji aparat.
Kepala desa menggalang rakyat bekerja bakti mengolah lahan.
Buah pemanenan menjadi upeti raja, adapun kelebihan panen
halal dikuasai kepala desa. Semakin tinggi keuntungannya, kepala
desa dinilai piawai mengapitalisasi kedudukannya.
Namun, interpretasi kehalalan runtuh sejak gaji bulanan birokrasi
diterapkan Deandels pada 1808. Kelebihan hasil bumi di luar gaji
menjadi haram dan jatuh sebagai kasus korupsi.

rony_sandra25@yahoo.com


45

Dialektika interpretasi korupsi atau kapitalisasi kedudukan terus


berlangsung hingga era UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Alokasi dana desa (ADD) dan dana desa menyediakan sumber
daya bagi pemerintah kabupaten guna mengucurkan penghasilan
tetap seluruh aparat pemerintahan desa. Kepala desa hingga ketua
rukun tetangga mengenggam gaji dan tunjangan bulanan, dari
ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Surat edaran dari Kemendagri
membatasi penghasilan tetap ini maksimal 30 persen ADD.
Hampir tidak pernah dijumpai kasus korupsi penghasilan tetap
aparat desa karena aturan dan pelaporannya telah pasti dan kaku.
Penghasilan tetap itu hanya mungkin dipungli oleh aparat
kabupaten atau kecamatan.
Laporan korupsi hampir semuanya mencuat dari ranah
pembangunan, lantaran diinterpretasi sebagai lahan kapitalisasi
kedudukan kepala desa. Pemahaman serupa menggiring
wartawan gadungan, LSM palsu, dan oknum birokrasi di atas desa
menakut-nakuti kepala desa seraya berharap remah recehan.
Sejak krisis moneter hingga 2014, program-program
pemberdayaan mengubah aliran dana dari aparat desa kepada
kelompok masyarakat dan pendamping. Tidak mengherankan,
lahir kasus-kasus pelarian dana oleh pendamping, serta
penggelapan uang oleh pengurus unit pengelola keuangan di
kecamatan dan kelompok masyarakat di desa. Tercatat pula kasus
pembentukan kelompok fiktif.
Dua pencegahan
Berkaca dari PNPM, KPK memberi contoh korupsi sampai Rp 200
juta pada satu desa. Dibandingkan rata-rata aliran pembangunan
sebesar Rp 250 juta, nilainya fantastis setara 80 persen.
Sebenarnya, PNPM hanya melaporkan penyalahgunaan dana 0,3

rony_sandra25@yahoo.com


46

persen, walau nilainya tetap menjulang, Rp 63 miliar selama 2007-


2012.
Luput terdeteksi, butir pendapatan asli desa (PAD) yang rendah
dalam anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) kerap
menyembunyikan lubang korupsi. Jasa layanan administrasi,
retribusi pasar dan perdagangan, jual beli lahan, bahan galian
hingga mineral pertambangan seharusnya tercatat sebagai PAD.
Sayangnya, kuasa interpretasi kapitalisasi kedudukan
membelokkan dana ke saku aparat pemerintah desa.
Sangkaan korupsi kepada aparat desa mudah merembet kepada
aparat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Modusnya
pungutan liar dan korupsi berjemaah. Yang lebih rumit diatasi
berupa sinyalemen lubang korupsi yang tercipta melalui pasal-
pasal peraturan dari pusat hingga kabupaten.
Pemerintah pusat dan kabupaten meresponsnya dengan
menambah rinci aturan pelaporan anggaran. Tujuannya kian
mempersempit celah kapitalisasi kedudukan, dan mendeteksi
secepat mungkin tindakan koruptif melalui butir-butir laporan.
Di lapangan, strategi pertama ini melahirkan kelemahan,
manakala aturan yang rinci dan seragam berlawanan dari
keragaman kebutuhan belanja pemerintah desa atau munculnya
kejadian luar biasa (KLB). Dalam setahun terakhir, adanya
penghasilan tetap aparat desa menggerakkan kehadiran kerja
mereka rutin tiap hari, tetapi pembangunan kantor desa baru
tergolong pelanggaran anggaran. Anggaran KLB bencana atau
penyakit menular lazim dicadangkan rendah, sehingga tidak
pernah cukup kala musibah benar- benar terjadi dalam skala
besar. Strategi kedua menekankan transparansi dan akuntabilitas
keuangan. Di Kabupaten Serang, Banten, perencanaan anggaran

rony_sandra25@yahoo.com


47

tiap desa disusun dalam musyawarah desa, ditetapkan dalam


peraturan desa, kemudian diumumkan secara lisan dan tertulis.
Di akhir tahun, pemerintah desa mempresentasikan laporan
keuangan dalam musyawarah desa kembali.
Setelah melalui perdebatan, keputusan akhir penerimaan laporan
keuangan dituangkan pula dalam peraturan desa. Pada awal
tahun anggaran berikutnya, inspektorat kabupaten mengecek
laporan desa sekaligus memberikan bimbingan teknis perbaikan
untuk laporan tahun berikutnya.
Strategi kedua lebih mungkin mencegah korupsi di desa secara
berkelanjutan. Daripada sinyalemen korupsi berkembang politis
hingga mengganggu proses pelayanan warga, lebih baik lawan
politik kepala desa, wartawan gadungan, LSM palsu, aparat
inspektorat kabupaten, hingga BKPK beradu argumentasi dalam
musyawarah desa.
IVANOVICH AGUSTASOSIOLOG PEDESAAN INSTITUT
PERTANIAN BOGOR (IPB)

rony_sandra25@yahoo.com


48

10 Juli 2015

Revolusi Desa
BUDIMAN SUDJATMIKO
Saya ingin dana yang diterima desa bisa menjadi modal
pembangunan desa serta uang itu bisa berputar, berkembang, dan
kembali ke desa dan kawasan perdesaan. Jangan lari ke mana-
mana.” Itu adalah kata-kata yang pernah disampaikan Joko
Widodo kepada penulis di sela-sela kampanye pemilu presiden
lalu.
Sebagai konsekuensi dari kata-kata itu, pemerintahan Jokowi-
Kalla akhirnya meningkatkan dana desa dari Rp 9,1 triliun (dalam
APBN 2015) menjadi Rp 20,8 triliun (dalam APBN-P 2015). Suatu
peningkatan sangat signifikan guna mewujudkan amanat Pasal 72
UU No 6/2014 tentang Desa.Penjelasan Pasal 72 Ayat 2 memang
memungkinkan jumlah dana desa dari APBN dilaksanakan
bertahap, menunggu kesiapan aparat desa.
Jika pemerintah benar-benar menjalankan amanat UU Desa, setiap
desa nantinya akan memperoleh rata-rata Rp 1,4 miliar dari
APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/kota. Artinya, akan
ada sekitar Rp 103,6 triliun dana yang mengalir langsung ke desa.
Ini peningkatan jumlah yang sangat besar, yaitu mencapai 5
persen dari total belanja APBN (atau 1 persen dari produk
domestik bruto Indonesia).
Pendapatan wilayah
Apa faedah alokasi dana desa yang begitu besar bagi
perekonomian nasional? Pertanyaan ini penting untuk dijawab
mengingat besarnya anggaran dan jumlah masyarakat yang

rony_sandra25@yahoo.com


49

terkena langsung kebijakan tersebut. Namun, sayangnya, kajian


makro ekonomi terhadap kebijakan ini masih sangat minim.
Untuk itu, dalam tulisan ini diusulkan sebuah telaah makro
ekonomi terhadap kebijakan tersebut.
Ada perkara serius dalam sistem pengukuran ekonomi di negeri
ini. UU Desa berusaha menggugat sistem tersebut. BPS, Bappenas,
dan Bappeda selama ini rupanya mengukur matriks ekonomi
dengan menggunakan ”pendekatan wilayah”, yaitu dengan
menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB).
Pendekatan ini mengukur nilai barang dan jasa yang diproduksi
dalam suatu wilayah pada periode tertentu. Pendekatan ini
memiliki bias yang sangat besar dalam mengukur kesejahteraan
masyarakat.
Misalnya, ada satu perkebunan sawit di Desa Y. Pendapatan
perkebunan sawit itu akan masuk dalam PDRB Desa Y. Namun,
pada kenyataannya mayoritas pendapatan perkebunan sawit
justru mengalir kepada pemilik modal dan pekerja kerah putih
yang berdomisili di kota dan di luar negeri. Sangat kecil bagian
pendapatan perkebunan sawit yang dinikmati warga Desa Y.
Menghadapi soal ini, penulis percaya, seharusnya yang
dimaksudkan ”pendapatan wilayah” adalah ”total pendapatan
penduduk di wilayah tersebut”, bukan ”total pendapatan pada
wilayah tersebut”. Untuk itu, tulisan ini tidak menggunakan
”pendekatan wilayah”, tetapi ”pendekatan manusiadalam
wilayah”. Artinya, pendapatan wilayah diukur dari total nilai
barang dan jasa yang diproduksi penduduk di wilayah tersebut.
Perhitungan semacam ini dilakukan dengan metode ekstrapolasi
distribusi pendapatan, yang dikembangkan Rolf Aaberge, ahli
statistik dari Universitas Oslo, Norwegia. Berdasarkan

rony_sandra25@yahoo.com


50

perhitungan yang dikembangkan Aaberge ini, penulis


menggunakan data demografi, kemiskinan, serta kesenjangan
antara kota dan desa, dari BPS tahun 2014.
Dari hasil perhitungan diketahui, pendapatan penduduk desa
32,08 persen dari PDB nasional atau sekitar Rp 3.381,8 triliun.
Mengingat persentase penduduk desa dan kota tahun 2014
berimbang, 50-50, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
pendapatan penduduk kota 2,11 kali lebih besar daripada di desa.
Inilah yang menjelaskan mengapa terjadi urbanisasi besar-besaran
selama ini. Satu perkara serius yang menimbulkan persoalan
sosial di kota-kota, sementara di sisi lain menyebabkan turunnya
jumlah angkatan kerja pertanian di desa-desa.
Optimalisasi dana desa
Lalu, seberapa besar peningkatan kesejahteraan penduduk desa
dengan adanya kebijakan dana desa? Secara umum ada tiga jenis
pertumbuhan yang terjadi.
Pertama, pertumbuhan alamiah atau pertumbuhan yang terjadi
secara natural tanpa dipengaruhi kebijakan belanja dari
pemerintah. Mengingat persentase dana belanja langsung
pemerintah ke desa sebelum adanya UU Desa sangat kecil, kita
anggap saja besarannya mengikuti pertumbuhan ekonomi
nasional, antara 4 dan 8 persen.
Kedua, pertumbuhan langsung atau pertumbuhan yang terjadi
akibat langsung dari belanja pemerintah. Jika total dana desa
sudah dioptimalkan 100 persen (sesuai dengan amanat Pasal 72
Ayat 2) hingga mencapai Rp 103,6 triliun (dari APBN dan APBD)
dan nilai pendapatan penduduk desa hasil penghitungan adalah
Rp 3.381,8 triliun, potensi pertumbuhan langsung adalah 3,06
persen.

rony_sandra25@yahoo.com


51

Ketiga, pertumbuhan rentetan atau pertumbuhan yang terjadi


akibat efek rentetan (multiplier) dari belanja pemerintah.
Masuknya dana ke desa dapat memacu usaha baru di desa
tersebut. Sebuah usaha baru dapat memacu timbulnya usaha baru
lainnya, demikian seterusnya.
Nilai pertumbuhan rentetan yang dihasilkan sangat ditentukan
tingkat produktivitas penggunaan dana desa. UU Desa
memberikan sejumlah panduan untuk meningkatkan
produktivitas melalui optimalisasi penggunaan dana. Di bawah
ini adalah beberapa di antaranya.
Peruntukan dana harus melibatkan partisipasi masyarakat (Pasal
54). Sistem informasi desa (e-budget) harus dibangun untuk
meminimalkan kebocoran anggaran (Pasal 86). Badan Usaha Milik
Desa (Pasal 87-90) dan Badan Kerja Sama Antar-Desa (Pasal 92)
harus didorong untuk mengembangkan antardesa guna
meningkatkan skala ekonomi usaha produktif rakyat desa.
Pemerintah pusat dan daerah juga perlu melakukan pembinaan
(Pasal 112-115), khususnya yang berkaitan dengan peningkatan
kapasitas pemerintah dan masyarakat serta penerapan teknologi.
Jika panduan ini dilakukan dengan baik,angka pertumbuhan
rentetan berpotensi lebih dari 1,5 persen atau setengah dari nilai
pertumbuhan langsung.
Kombinasi pertumbuhan alamiah, langsung, dan pertumbuhan
rentetan berpotensi meningkatkan pendapatan penduduk desa
mendekati 10 persen per tahun. Kuncinya: optimalkan tingkat
pertumbuhan rentetan dengan memanfaatkan potensi desa yang
begitu besar. Apabila pertumbuhan desa dapat dipacu di atas rata-
rata nasional, diharapkan tingkat kesenjangan akan berkurang
secara signifikan.

rony_sandra25@yahoo.com


52

Pada akhirnya optimalisasi dana desa merupakan sebuah peluru


yang dapat menembak dua burung secara bersamaan: mendorong
pertumbuhan sekaligus mengurangi kesenjangan secara
bersamaan. Jika sudah demikian, ia bukan sekadar merupakan
revolusi bagi desa, tetapi juga revolusi ekonomi Indonesia secara
nasional. Desa sebagai salah satu pengungkit utama pertumbuhan
sekaligus menyediakan sarana- sarana bagi pemerataannya secara
terorganisasi dengan baik.
Instrumen hukum, yaitu UU Desa, yang memungkinkan turunnya
anggaran dan pendampingan teknis serta pemberdayaan
masyarakat telah disiapkan. Untuk mencapai tujuan-tujuan
”memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa”, hanya ada tiga syarat tambahan: keberanian politik,
keberanian politik, dan keberanian politik!
BUDIMAN SUDJATMIKO, DEWAN PENGARAH BADAN
PRAKARSA PEMBERDAYAAN DESA DAN KAWASAN
(BP2DK); FRAKSI PDI-P DPR

rony_sandra25@yahoo.com


53

22 April 2015

Mantra Membangun Desa


ISMAIL HASANI
Promosi ”1 desa 1 miliar” pada Pemilu 2014 adalah mantra politik
yang diucapkan dalam banyak pertemuan politik saat itu.
Meski materi itu bukanlah gagasan para kandidat, melainkan
bersumber dari UU No 6/2014 tentang Desa, daya tarik materi
kampanye itu sempat memukau masyarakat yang mengimpikan
pembangunan desa dengan paradigma desa membangun menuju
kesejahteraan dan keadilan.
Secara sederhana, paradigma ini bertolak dari pengakuan negara
atas otoritas desa sebagai satu kesatuan hukum yang otonom.
Desa bukan obyek pembangunan, melainkan subyek yang bisa
mandiri, termasuk mendesain sektor pembangunan mana yang
paling prioritas bagi sebuah desa. Tugas negara terbatas pada
penyediaan alokasi dana dan berbagai standar, sementara tugas
membangun diserahkan kepada desa.
Meskipun desa membangun bukan paradigma baru, karena
sebelumnya telah menjadi praktik di desa-desa di beberapa
wilayah, kehadiran UU Desa telah menjadi spirit baru
pembangunan pedesaan. Sebelumnya pembelajaran juga
diperoleh dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Pedesaan yang berlangsung selama 10 tahun.
Meskipun paradigmanya sentralistis, model dan pendekatan
PNPM Mandiri dalam pengambilan keputusannya mengadopsi
paradigma desa membangun.

rony_sandra25@yahoo.com


54

PNPM Mandiri telah berkontribusi pada peningkatan


pengetahuan kepala desa dan pelaku pemberdayaan desa dengan
prinsip kerja partisipatif dan orientasi pembangunan inklusif.
Menguji mantra
Begitu pemerintahan baru terbentuk, tekad UU Desa
menyejahterakan masyarakat langsung menghadapi sejumlah
ujian. Ujian pertama terkait dengan kewenangan kementerian
yang menangani urusan desa. Ketegangan antara Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi ini berjalan hampir enam bulan dan
baru selesai setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan dua
peraturan presiden, yaitu Perpres 11/2015 tentang Kementerian
Dalam Negeri dan Perpres 12/2015 tentang Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dua
peraturan yang merupakan penegas dari Perpres 165/2014 tentang
Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja pada intinya mengatur
kewenangan dua kementerian terkait dengan desa. Kemendagri
akan tetap memiliki kaki hingga ke desa yang dikelola Direktorat
Jenderal Bina Pemerintahan Desa, sedangkan Kementerian Desa
akan mengurus urusan desa selain soal pemerintahan.
Jalan tengah ala Jokowi ini dianggap solusi politik tepat, tetapi
tetap menyisakan potensi masalah hukum karena membonsai
otonomi desa dengan tetap menjadikan desa sebagai unit
pemerintahan paling rendah di bawah Kemendagri yang
menganut rezim hukum pemerintahan daerah. Padahal, rezim UU
Desa tegas mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang otonom dalam NKRI.
Selain itu, potensi lapangan muncul terkait kepatuhan kepala desa
pada standar-standar yang dikeluarkan dua kementerian. Namun,

rony_sandra25@yahoo.com


55

setidaknya langkah Jokowi ini telah memutus kebekuan


pembangunan desa sehingga akselerasi pembangunan desa bisa
segera berjalan.
Ihwal akuntabilitas dana desa adalah ujian kedua implementasi
UU Desa. April 2015 adalah awal implementasi UU Desa,
khususnya tahap awal pencairan dana desa. Pada tahap awal, desa
baru akan memperoleh alokasi Rp 250 juta-Rp 280 juta. Jumlah ini
pun dibatasi penggunaannya sesuai dengan standar prioritas
pembangunan desa, yang tertuang dalam Permendes 5/2015
tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Pencairan
dana juga baru bisa dilakukan setelah desa melengkapi dokumen
pokok RPJM Desa, APBDesa, dan RKP Desa. Untuk pemenuhan
dokumen, atas bantuan fasilitator PNPM dan inisiatif para kepala
daerah, desa-desa hampir semuanya telah memenuhi.
Namun, potensi ujian justru datang dari pemerintahan desa.
Memang tidak pada tempatnya pemerintah meragukan
kemampuan pemerintah desa dalam mengelola keuangan.
Namun, pembelajaran praktik PNPM menunjukkan bahwa dana
pemberdayaan sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi di
lapangan tidak banyak dirasakan masyarakat. Betul bahwa hanya
di angka 0,5 persen tingkat korupsi dana PNPM (data 2012), tetapi
dari berbagai kasus yang muncul, cukup bagi Kementerian Desa
menjaga marwah pembangunan desa dengan standar
akuntabilitas yang tinggi. Tantangan akuntabilitas ini harus
dijawab oleh Kementerian Desa dengan mencipta atau
mengadopsi model-model pengawasan yang telah diinisiasi
PNPM atau masyarakat sipil.
Memastikan dana desa tidak dikorupsi oknum pemerintahan desa
dan pemerintahan daerah tidak cukup mengandalkan
pendamping yang akan direkrut oleh Kementerian Desa secara

rony_sandra25@yahoo.com


56

massal. Rekrutmen dalam jumlah besar, dengan kompensasi yang


lumayan tinggi untuk standar sarjana, jelas berpotensi
memunculkan masalah. Apalagi, standar tenaga pendamping
yang ditetapkan oleh Permendes 3/2015 jauh lebih longgar
dibandingkan dengan standar yang tercantum dalam UU Desa.
Marwah desa
Mantra ”1 desa 1 miliar” memang tak mudah direalisasikan dalam
tahun 2015-2016. Menteri Marwan Jafar menjanjikan baru pada
2018 dana desa bisa digenapi sesuai dengan mantra politik
membangun desa seperti saat pemilu. Bahkan, jumlahnya hingga
Rp 1,4 miliar sesuai dengan persentase alokasi dana dalam skema
APBN pada setiap tahunnya. Mantra yang teruji secara bertahap
ini bisa dimaklumi mengingat tingkat kesiapan desa yang variatif
dan penerapan standar akuntabilitas tinggi dari penggunaan dana
desa. Sebagai dana yang bersumber dari APBN, pengelolaan dana
desa tunduk pada rezim hukum keuangan negara, di mana ia
harus dikelola dengan standar akuntansi negara, termasuk
menjadikan dana tersebut sebagai obyek audit BPK dan BPKP.
Dana desa berbeda dengan dana yang bersumber dari tanah
bengkok. Jika pada masa sebelumnya sumber dana dari tanah
bengkok menjadi otoritas penuh kepala desa, dalam skema UU
Desa, dana ini harus dikelola secara transparan, akuntabel,
berbasis perencanaan, dan menjadi obyek audit.
Berbagai ujian yang muncul harus dikelola secara sehat, solutif,
dan berintegritas. Menteri Desa tak perlu ragu membuat jaring
pengaman berlapis meski berdampak pada keterlambatan karena
menjaga marwah pembangunan desa jauh lebih utama.
ISMAIL HASANI, PENGAJAR HUKUM TATA NEGARA UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA DAN DIREKTUR RISET SETARA
INSTITUTE

rony_sandra25@yahoo.com


57

12 Oktober 2015

Pemerintah Daerah dan Desa


IVANOVICH AGUSTA
Pemerintah daerah sedang merenda kisah merana kala
berhubungan dengan desa. Berposisi di ujung wilayah otonom,
peraturan perundangan menimpakan puluhan tugas pengelolaan
desa. Ditambah lagi sebagai penanggung jawab atas puluhan ribu
laporan penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.
Menempati simpul strategis, selayaknya pemerintah daerah
mendapatkan tambahan porsi wewenang, seraya pengembangan
identitasnya sendiri saat meningkatkan kapasitas perangkat dan
pembangunan desa. Ini dapat dilakukan melalui penciptaan
peluang kolaborasi baru antara pemerintah pusat dan daerah,
bersama perangkat desa.
Urusan daerah
Seandainya UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
ditetapkan mendahului UU No 6/2014 tentang Desa, mungkin
lebih banyak urusan terhadap desa dibebankan kepada
pemerintah provinsi. Hal ini sejalan dengan penguatan peran
pemerintah provinsi dalam UU tersebut.
Namun, berada dalam ranah perundangan yang lebih lama, UU
No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kini sudah
dicabut, akhirnya desa lebih banyak berurusan dengan
pemerintah kabupaten/kota. Tugas terberat bupati/wali kota
tampaknya pembuatan aturan dana desa dan alokasi dana desa.
Rinciannya mencakup penyusunan ukuran pembagian dana,
prasyarat pencairan, hingga pemeriksaan dokumen perencanaan

rony_sandra25@yahoo.com


58

tiap desa. Bupati dan wali kota sekaligus bertanggung jawab atas
pelaporan penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.
Karena diposisikan sekadar menyalurkan dana, kementerian di
pusat dengan ringan menyatakan tak mungkin ada korupsi.
Namun, perlu diingat, operasionalisasi penyaluran, penggunaan,
dan pelaporan dana ditangani pemerintah kabupaten/kota.
Artinya, peluang munculnya lembar-lembar kesalahan
administrasi hingga korupsi hampir sepenuhnya berada di sini.
Bupati dan wali kota juga wajib mengatur pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan perubahan status desa.
Selanjutnya mengatur pemilihan kepala desa serentak,
manajemen perangkat desa dan badan permusyawaratan desa.
Berikutnya, pengaturan pembangunan desa dan kawasan
pedesaan. Tugas teknis yang juga berat adalah berupa penetapan
peta batas wilayah desa dan desa adat.
Tabel lampiran UU No 23/2014 memang menuliskan juga urusan
wajib pemerintah daerah terhadap pemberdayaan masyarakat
dan desa. Namun, jelas tidak sebanyak rincian dalam UU No
6/2014 beserta peraturan perundangan turunannya selama dua
tahun terakhir.
Sementara itu, tugas pemerintah provinsi terbatas mengurus desa
adat. Tugasnya menyusun aturan kelembagaan, pengisian
jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat. Sebenarnya dukungan
pemerintah kabupaten/kota terhadap desa terbaca kuat pada
keuangan desa. Kontribusinya mencapai 54 persen dari
pendapatan desa. Sementara pemerintah provinsi berkontribusi
13 persen. Artinya, keseluruhan kontribusi pemerintah daerah
memuncak hingga 67 persen dari pendapatan desa.

rony_sandra25@yahoo.com


59

Persoalannya, dukungan sebanyak itu jarang dimaknai sebagai


uluran tangan pemerintah daerah. Dinilai sebagai tugas, identitas
pendukung desa tetap ditabalkan kepada pemerintah pusat.
Ketidakseimbangan tingginya dukungan dan hilangnya identitas
menyumbang pada surutnya prioritas pemerintah daerah untuk
pembangunan desa.
Kolaborasi pemda
Setelah negara menyatakan kesediaannya mengurus langsung
seluruh 74.093 desa, ada baiknya ditegaskan bahwa urusan desa
menjadi tugas kolaboratif kementerian dan lembaga di pusat,
pemerintah daerah, serta perangkat desa. Operasionalisasinya
berupa pemberian ruang untuk berkarya seraya mengenalkan
identitas masing-masing.
Upaya koordinasi antara 17 kementerian dan enam lembaga di
pusat dengan pemerintah daerah dapat dikelola secara efektif oleh
Menteri Dalam Negeri. Sebab, setiap tahun dikeluarkan peraturan
menteri berisikan panduan isian anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Panduan tersebut memastikan penyediaan
program dan anggaran oleh pemerintah daerah yang sesuai
dengan kebutuhan nasional.
Dalam kaitan desa, misalnya, dipastikan pemerintah daerah
menyiapkan dana dan kegiatan untuk pemilihan kepala desa
serentak 2016. Lingkup koordinasi dalam peraturan menteri
sebaiknya diperluas hingga mencakup kepentingan kementerian
dan lembaga lain yang turut mendukung pembangunan desa.
PP No 22/2015 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN
memang memberikan wewenang kepada Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) untuk
menentukan penggunaan dana desa. Peraturan Menteri Desa

rony_sandra25@yahoo.com


60

PDTT No 5/2015 telah mengunci jenis penggunaannya. Namun,


ada baiknya diciptakan ruang bagi pemerintah daerah. Misalnya,
untuk tahun depan dituliskan 5-10 persen penggunaannya
disesuaikan dengan rencana pembangunan pemerintah daerah
bagi kawasan pedesaan. Hal serupa bisa dilakukan Menteri Dalam
Negeri, yang memiliki wewenang dalam menentukan skema
alokasi dana desa.
Menteri Dalam Negeri telah menambah fungsi aparat kecamatan
agar mendampingi pemerintah desa. Peningkatan kapasitas
aparat telah diarahkan untuk membantu pemerintah desa dalam
menjalankan pemerintahan, mengelola musyawarah dan
pembangunan, serta meningkatkan pelayanan kepada warga.
Sebenarnya aparat kecamatan perlu juga diajak agar piawai
menciptakan peluang kerja sama pembangunan antardesa serta
menguatkan koordinasi pembangunan desa dan daerah.
Menteri Desa PDTT juga dapat membuka kiprah pemerintah
daerah dalam memutuskan pilihan pendamping tingkat desa
hingga provinsi. Peran deliberatif menambah motivasi
pemerintah daerah dalam koordinasi pendampingan desa.
IVANOVICH AGUSTA SOSIOLOG PEDESAAN IPB
BOGOR

rony_sandra25@yahoo.com


61

29 Maret 2016

Pendamping Desa sebagai Orang Luar


IVANOVICH AGUSTA
Kisruh pendampingan desa mengelompok pada dua persoalan.
Pertama, setelah menabur puluhan ribu konsultan pendamping
program pemberdayaan 1998-2014, kini diunduh tuntutan
kelanjutan lowongan kerja pendampingan. Kedua, Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
bersikeras menyediakan satu pendamping per desa guna
menertibkan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Meskipun di lapangan kedua pihak berhadapan
demi kepentingan personalia, konsep yang diusung sama-sama
menempatkan pendamping sebagai ”orang dalam” pengaturan
desa.
Kini ditemukan akar masalah pendampingan, yaitu justru orang
desa ditempatkan sebagai ”orang luar” dari pagar kebijakan desa.
Mengayun berlawanan dari proyek pemberdayaan dekade
sebelumnya, dapat dipahami ketiadaan pasal pendampingan
dalam UU Desa. Namun, berbagai aturan dan desain
implementasinya mengembalikan peran pendamping sebagai
penjaga kebijakan pemerintah pusat di lapangan. Posisi itu
menyeret pendamping jadi ”orang dalam” bagi program
pemerintah. Ini yang membuka wajah asli implementasi secara top
down meski berbedak program pemberdayaan atau kebijakan
desa membangun.
Pemberdayaan berbasis keputusan masyarakat (community-
driven development/CDD) ciptaan Bank Dunia ini dimulai

rony_sandra25@yahoo.com


62

dengan membangun pagar negatives list, buah khuldi yang haram


dipilih desa. Berprasangka desa kebablasan, dulu program
pemberdayaan antara lain melarang rehabilitasi bangunan
pemerintahan. Larangan ini diulang dalam Permendesa 21/2015
untuk penggunaan dana desa 2016. Berlanggam partisipasi,
pendamping mencipta konsep halus untuk kontrol, yaitu
pengondisian. Musyawarah desa dikondisikan sehingga hasilnya
sesuai aturan jika perlu memutuskan proyek infrastruktur yang
mudah dikontrol.
Gampang bagi pendamping mengondisikan desa karena program
pemberdayaan pada masa lalu mengharamkan peran pemerintah
desa. Kekosongan pucuk hierarki desa akhirnya ditempati
pendamping. Apalagi, sebagai ”orang dalam”, pendamping
dinilai berkuasa sebagai wakil pemilik dana pemberdayaan. Saat
ini, pendamping ganti mewakili pemerintah pusat dalam
mengarahkan dana desa. Efektivitas pendampingan masih dinilai
dari ketepatan pelaksanaan di desa dengan aturan pemerintah
pusat. Meniru program pemberdayaan, standardisasi dituliskan
sebagai petunjuk teknis operasional. Mengulang sejarah, kontrol
atas penerapan standardisasi ditegaskan melalui birokrasi
pendampingan. Gunanya, mengganjar dan menghukum
pendamping secara terukur dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten, dan desa.
Mungkin pilihan pendampingan ”orang dalam” ala CDD dahulu
tidak sepenuhnya orisinalitas pemerintah. Sebab, Bank Dunia
mengaku menyeragamkan 110 negara pengutang. Dalam 10 tahun
terakhir saja berputar 28 miliar dollar AS (sekitar Rp 364 biliun)
pada lebih dari 600 proyek pemberdayaan. Sayang, hasrat
pemerintah menempatkan satu pendamping untuk satu desa
periode 2015-2019 mengulang praktik pendamping sebagai

rony_sandra25@yahoo.com


63

”orang dalam” guna mengetatkan operasionalisasi UU Desa.


Target rekrutmen berlebih 84.000 pendamping bagi 74.754 desa
pasti mewujud hierarki pendampingan tingkat pusat, provinsi,
kabupaten, kecamatan, dan desa.
Arah ”orang luar”
Desakan ribuan pendamping agar terus direkrut telah
menerbitkan pertanyaan orang desa, ”Kalau pendamping sendiri
tak mandiri, bagaimana mampu memandirikan desa?”
Menyarikan praktik bertahun-tahun, Budi Baik Siregar
menemukan desa-desa mandiri bergerak bersama pendamping
sebagai ”orang luar”. Orang desa sendiri menjadi subyek
pengelola penataan hingga pembangunan, maka berposisi sebagai
”orang dalam”.
Saat mempraktikkannya pada Program Inpres Desa Tertinggal,
Sajogyo dan Mubyarto mengingatkan prasyaratnya, yaitu
memercayai aparat dan warga desa. Termasuk, menghargai
seluruh keputusan mereka dalam musyawarah desa. sekaligus
menghilangkan negatives list, sebagai sisa tanda kecurigaan pada
desa.
Menganut posisi pendamping sebagai ”orang luar”, kemandirian
justru diindikasikan lepasnya kebutuhan desa terhadap
pendamping. Maka, pendampingan senantiasa bersifat insidental,
yaitu saat desa membutuhkan, maka akan menggunakannya.
Apalagi, UU Desa menjadi tugas rutin bagi pemerintahan desa,
bukan proyek ad hoc dari pihak luar desa.
Konsekuensinya, jumlah pendamping tak perlu sebanyak desain
pemerintah, apalagi membayar birokrasi pendampingan. APBN
dapat dihemat hingga Rp 15 triliun sampai 2019. Dana desa Rp 600
juta pada 2016 cukup untuk membayar pendamping. Sebagai

rony_sandra25@yahoo.com


64

perbandingan, rata-rata biaya pendamping program


pemberdayaan Rp 68 juta setahun. Agar pendamping selalu siap
menerima panggilan desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat di
kabupaten dapat berinisiatif menyediakan tenaga fungsional
pendamping. Hal itu termasuk menguatkan peran pendampingan
pada aparat kecamatan.
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN
IPB BOGOR

rony_sandra25@yahoo.com


65

11 Agustus 2015

Desa dan Pulau Harapan


AHMAD ERANI YUSTIKA
Pemerintah telah memberi identitas baru atas pilihan
pembangunan ekonomi yang harus diambil. Pada isi Nawacita,
sekurangnya tafsir itu terpapar di tiga cita, yakni membangun dari
pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan
kemandirian ekonomi.
Jika dibenturkan dengan konsep ekonomi pembangunan,
”Tricita” tersebut berteduh dalam pohon teori ”struktural”. Istilah
”pinggiran” (periphery) adalah frasa populer untuk
membenturkan dengan negara/wilayah ”pusat” (center) dalam
tradisi Marxianeconomics. Demikian pula, terma ”ekonomi
rakyat” dan ”kemandirian ekonomi” lekat dengan konsep yang
bersinggungan dengan mazhab tersebut, seperti yang kerap
diteriakkan oleh Samir Amin ataupun Fernando Henrique
Cardoso (tentu dengan istilah yang tak sepenuhnya persis). Inilah
babak baru yang secara sadar diayak pemerintah setelah
mengamati secara jeli watak pembangunan (ekonomi) Indonesia
sepanjang 70 tahun seusai kemerdekaan.
Pasokan pengetahuan
Salah satu alas pokok yang dipakai untuk menjalankan Tricita di
atas adalah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. UU ini
mendapatkan atensi yang luar biasa dari khalayak karena
dipandang sebagai horizon baru pembangunan. Desa diletakkan
sebagai pusat arena pembangunan, bukan lagi semata lokus

rony_sandra25@yahoo.com


66

keberadaan sumber daya (ekonomi) yang dengan mudah disedot


oleh wilayah lain (kota) untuk beragam kepentingan.
Perhatian menjadi kian luar biasa begitu pemerintah
meneruskannya dengan membentuk kementerian yang khusus
mengawal urusan desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi. Dengan begitu, urusan desa tak
hanya disantuni secara legal (UU), tetapi secara politik dengan
lugas afirmasi telah ditunjukkan pemerintah via pembentukan
kementerian baru itu (dan dana desa) sehingga pada hari-hari
mendatang pusat pertaruhannya adalah bagaimana kekuatan
legal dan politik itu menjelma dalam kerja teknokratis di
lapangan.
Teknokratisme pembangunan desa itu berdiri tegak di atas tiga
pilar (Desa Berdikari). Pertama, mengarusutamakan penguatan
kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan sehingga mereka
menjadi subyek-berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil.
Kedua, mendorong geliat ekonomi yang menempatkan rakyat
sebagai pemilik dan partisipan gerakan. Ketiga, mempromosikan
pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas
sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Menyangkut kapabilitas manusia, penguatan pendidikan
(pengetahuan) dan kesehatan merupakan dua pilar pokok yang
mesti dibangun. Pendidikan kerap disederhanakan sebagai lama
waktu sekolah untuk menunjukkan level keterampilan seseorang.
Parameter itu sebagian bisa diterima, tetapi jelas tak
menggambarkan seluruh tingkat pengetahuan individu. Di luar
sekolah (formal), pilihan lain peningkatan stok pengetahuan
adalah penciptaan komunitas belajar dan balai pencerahan
dengan basis karakteristik sosial dan budaya setempat.

rony_sandra25@yahoo.com


67

Pola semacam itu tidak sekadar menambah pengetahuan dan


keterampilan (sesuai dengan pilihan hidup yang telah ditetapkan),
tetapi juga menegakkan matra komunitas yang menjadi corak
hidup warga desa. Berikutnya, perkara kesehatan juga patut
menjadi fokus pendalaman kapabilitas karena masih rendahnya
daya dukung pada aspek ini. Kenaikan angka ibu yang meninggal
saat melahirkan, peningkatan bayi dengan ukuran tubuh tidak
normal (stunting), gizi buruk, ketersediaan sanitasi, pasokan air
bersih, dan lain-lain masih merupakan kenyataan pahit di
pedesaan.
Perlu gerakan masif untuk memperbaiki aspek ini karena
jumlahnya sangat banyak dan tersebar secara geografis (yang
sebagian sulit dijangkau). Di sini tidak hanya perlu anggaran yang
besar, tetapi juga pilihan program yang efektif untuk
mengatasinya. Perbaikan kualitas manusia merupakan misi yang
harus dimenangi karena hakikat pembangunan tak lain adalah
ekspansi kapabilitas manusia.
Lumbung ekonomi rakyat
Kesejahteraan adalah salah isu mendesak di desa mengingat
kantong-kantong kemiskinan berada di sana (sekitar 65 persen
penduduk miskin berdiam di desa). Urbanisasi masif yang terjadi
disebabkan oleh involusi desa tersebut, bukan karena ada tarikan
permintaan tenaga kerja di kota. Inilah yang membuat fenomena
”urbanisasi prematur” terjadi di Indonesia. Oleh karena itu,
gerakan lumbung ekonomi rakyat merupakan palang pintu utama
untuk mendongkrak kesejahteraan ekonomi tersebut. Pokok soal
yang utama adalah membekali aset produktif yang memadai
sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih
besar.

rony_sandra25@yahoo.com


68

Problemnya, sebagian besar kaum miskin itu tak memiliki aset


produktif yang mencukupi (khususnya lahan dan modal). Dengan
begitu, kebijakan reformasi agraria (yang juga menjadi salah satu
komitmen pemerintah) menjadi sangat strategis
diimplementasikan dengan lokus penduduk desa yang tunaaset
tersebut, di samping kebijakan drastis terkait akses terhadap
modal.
Berikutnya, menempatkan kegiatan ekonomi hanya pada hulu
(misalnya produksi komoditas pertanian atau eksplorasi sumber
daya alam lain) terbukti hanya meninggalkan desa dalam kubang
keterbelakangan. Desa hanya dimanfaatkan sebagai penyedia
bahan baku dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan
oleh pelaku dan di wilayah yang lain). Situasi ini harus dihentikan
sehingga desa tak lagi cuma memperoleh porsi di hulu, tetapi juga
memasuki aktivitas di sektor hilir.
Sumber daya ekonomi sebanyak mungkin ditahan desa dan hanya
keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah. Tentu saja
proses ini tak mesti bertumpu hanya di satu desa, tetapi bisa pada
kawasan pedesaan karena harus disesuaikan dengan skala
ekonomi. Intervensi inovasi dan adopsi teknologi menjadi penting
agar proses ekonomi pengolahan itu bisa berjalan dengan layak.
Jika hal ini berlangsung dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan
posisi desa tak lagi inferior.
Pekerjaan rumah setelahnya adalah menyusun organisasi
ekonomi di desa. Tentu ini mandat yang rumit, tetapi niscaya
harus dijalankan. Organisasi ekonomi yang berbasis persaingan
dengan meletakkan individu sebagai pusaran aktivitas ekonomi
terbukti menciptakan luka pembangunan, salah satunya berwujud
dalam ketimpangan (pendapatan) ekonomi yang makin parah.
Realitas itu harus dimaknai sebagai sinyal kebutuhan kembali

rony_sandra25@yahoo.com


69

pada penataan organisasi ekonomi yang menyantuni semangat


kolektivitas, pemerataan, dan solidaritas sosial. Apa pun pilihan
aktivitas ekonomi yang dikerjakan mesti paralel dengan
kebutuhan tersebut agar pembangunan tak menciptakan
paradoks: pertumbuhan berbarengan dengan kesenjangan.
Konstitusi dengan tepat telah memberikan panduan pada Pasal 33
Ayat (1) UUD 1945. Desain Pasal 33 adalah bangun usaha yang
bersemangat koperasi. Pengambil kebijakan ekonomi mesti punya
keberanian moral untuk menjalankan misi daulat ekonomi rakyat
ini.
Menumbuhkan daya hidup
Pembangunan yang secara sengaja meretakkan relasi manusia dan
pilihan yang akan diambilnya dipastikan justru menciptakan
keterasingan, di samping ketergantungan. Pembangunan menjadi
ritus berjarak jika program yang dijalankan tidak menyertakan
rakyat sebagai partisipan gerakan, mulai dari perumusan
masalah, desain, implementasi, hingga monitoring program.
Pembangunan menjadi proses mematikan, bukan menumbuhkan
daya hidup rakyat.
Proses itulah yang sebagian terjadi atas kebijakan yang diambil
selama ini sehingga terjadi mekanisme keterasingan dan
ketergantungan secara sistematis. Dana desa mesti dicegah tidak
mengulang pengalaman itu (dan tak seharusnya perhatian hanya
fokus pada dana desa) sehingga anggaran yang digelontorkan
harus dimaknai sebatas afirmasi pemerintah untuk menjadikan
desa sebagai arena pembangunan tanpa merebut hak (warga) desa
menyusun masa depannya sendiri. Ruang harus dibuka selebar-
lebarnya bagi warga desa untuk menentukan hajat hidupnya
lewat program yang digagas secara partisipatoris.

rony_sandra25@yahoo.com


70

Jika pilihan itu yang diambil, modal (finansial) bukanlah amunisi


utama pembangunan. Modal yang terpenting adalah kapabilitas
manusia yang telah terberdayakan dan gerak sosial yang
emansipatoris. Modal finansial hanyalah instrumen sekunder
karena kebutuhan primer adalah manusia tercerahkan dan
otentisitas jaringan sosial yang tersambung secara pekat. Proses
inilah yang sebetulnya menjadi jantung perubahan paradigma
pembangunan agar geraknya tidak ditindih oleh modal finansial
yang kemudian justru mengisolasi sebagian (besar) kaum dari
berkah pembangunan itu sendiri.
Jika kemudian para pendamping desa diturunkan ke segala
penjuru, fungsinya yang pokok adalah menjadi aktor pemberdaya
yang menumbuhkan daya hidup warga tersebut, bukan
mengambil alih hak warga merumuskan jalan hidupnya. Ujung
dari proses ini adalah lenyapnya praktik ekonomi subordinatif
yang menempatkan pemilik modal sebagai tuan ekonomi.
Penting pula dipahami bahwa seluruh cakupan di atas harus
sensitif terhadap kesinambungan lingkungan dan partisipasi
perempuan. Pembangunan yang terlalu memberi bobot pada
aspek ekonomi mungkin menjadi eskalator untuk mempercepat
pencapaian ketinggian kesejahteraan, tetapi juga punya risiko
terhadap destruksi lingkungan. Keduanya tentu tak boleh
dikorbankan meski kerap kali tak mudah mencapainya secara
bersamaan. Demikian pula, banyak kasus inisiasi pembangunan
yang dilakukan dan menyertakan kaum perempuan secara eksesif
lebih punya potensi keberhasilan, seperti dalam model
pengelolaan lembaga keuangan. Ekspansi kapabilitas
manusia/komunitas harus menyasar perempuan sebagai target
utama akibat warisan konstruksi sosial yang tak berpihak kepada
mereka selama ini.

rony_sandra25@yahoo.com


71

Pada akhirnya, seluruh urusan ini harus dipayungi oleh kebijakan


makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan,
investasi, dan lain sebagainya yang memihak dan menjadikan
desa sebagai arus utama pembangunan. Jika kita bisa merawat
konsistensi keseluruhan bangunan ini, paras desa akan berubah
menjadi pulau-pulau harapan yang laik dijadikan sandaran masa
depan.
AHMAD ERANI YUSTIKA, DIRJEN PEMBANGUNAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA KEMENTERIAN DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI

rony_sandra25@yahoo.com


72

18 Februari 2016

Desa, Tanah, dan Pasar


AHMAD ERANI YUSTIKA
Harian Kompas telah mengoyak empat isu strategis terkait desa
dalam sebulan terakhir.
Pertama, penguasaan lahan di desa sudah tidak dalam genggaman
warga desa, tetapi dikuasai pemodal kakap di luar desa (kota).
Kedua, desa telah menjadi pasar barang/jasa yang mengalir dari
kota (juga komoditas impor) sehingga mekanisme pengisapan
ekonomi terus terjadi. Ketiga, rantai distribusi/logistik yang amat
panjang dianggap pemicu tingginya harga pangan, sehingga
koperasi dan/atau badan usaha milik desa (BUMDes) diharapkan
punya daya memperpendek rantai tersebut agar inflasi pangan
bisa dikendalikan. Keempat, rasio gini di desa turun drastis
setahun terakhir ini dari 0,32 (September 2014) menjadi 0,27
(September 2015).
Sebagian menduga penurunan ini karena terjadi pemiskinan
massal sehingga yang berlangsung di desa adalah "pemerataan
kemiskinan". Sebetulnya keempat isu itu saling bertautan dan
punya daya pukul mematikan jika tak diurus sejak sekarang.
Penguasaan sumber daya
Belakangan ini teori ekonomi yang mengupas soal faktor produksi
digeser pemaknaannya dengan menyatakan tak penting siapa
yang memilikinya. Bahkan, bila dikuasai pelaku ekonomi
asingpun juga tak masalah, sepanjang bisa menciptakan lapangan
kerja, memproduksi barang/jasa, dan seterusnya.

rony_sandra25@yahoo.com


73

Faktanya, penguasaan faktor produksi tersebut, khususnya lahan


dan modal, menjadi jangkar paling dalam bagi penciptaan
ketimpangan (pendapatan) yang akut. Ragam kebijakan yang
diluncurkan untuk mengatasi ketimpangan tak bertenaga karena
tak menyentuh perkara penguasaan sumber daya itu. Bahkan,
ketimpangan dalam 10 tahun terakhir melaju cepat seiring dengan
pemburukan pemerataan distribusi sumber daya ekonomi.
Oleh karena itu, penguasaan sumber daya di tangan kaum
tunalahan atau tunamodal merupakan agenda serius yang mesti
diperjuangkan. Kenyataan inilah yang enggan dijangkau sehingga
dengan kepastian yang tinggi tanah di desa sudah berpindah
tangan dan dikuasai sekelompok tuan tanah (baru).
Jika kemudian penguasaan lahan di desa (juga sumber daya
ekonomi lainnya) tak lagi di tangan warga desa (petani), maka hal
itu tidaklah mengejutkan karena prosesnya dibiarkan terus terjadi,
bahkan difasilitasi. Ini berbeda sekali dengan konstruksi para
pendiri bangsa yang mendesain Pasal 33 UUD 1945, di mana
perekonomian diwujudkan dalam semangat kolektivitas dan
tidak dibiarkan sumber daya dikuasai oleh orang per orang dalam
jumlah yang sangat besar.
Hal itu dipertegas dengan hadirnya Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), UU Nomor 5 Tahun 1960, yang memberi makna
"sosial" terhadap sumber daya tanah. Oleh karena itu, distribusi
penguasaan tanah tak boleh dibiarkan semata karena kalkulasi
ekonomi dengan menumpang mekanisme pasar, tetapi harus
lebih banyak menafkahi aspek sosial (keadilan). Problem inilah
yang terjadi saat ini, di mana Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA tak
lagi dijadikan sandaran dalam mendesain konsepsi hak
kepemilikan dan alokasi penguasaan lahan (tanah).

rony_sandra25@yahoo.com


74

Harapan kembali mengalir ketika program reforma agraria yang


digelindingkan saat ini hendak dijadikan satu paket dengan
pembangunan desa. Penguasaan lahan di desa harus dihentikan
dan didistribusikan demi menyemai daya hidup warga desa.
Politik fiskal yang memberikan desa anggaran dalam jumlah
memadai dan terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan
syarat perlu, akan tetapi tak mencukupi.
Pada posisi ini, reforma agraria adalah bagian dari syarat cukup
(di luar kebijakan keuangan, pertanian, perdagangan, industri,
dan lain-lain). Pilihan reforma agraria bukan hanya
mendistribusikan lahan yang menganggur atau dikuasai oleh
negara (seperti Perhutani), tetapi juga memangkas korporasi
swasta yang telah membekap gurita lahan dan sumber daya alam
lainnya. Pada level tertentu, dengan bekal UU Desa (UU No
6/2014), desa bahkan memiliki otoritas melakukan reforma agraria
skala lokal dan penguasaan lahan bagi kemaslahatan bersama.
Desa dan pasar
Desa sebagai pasar tentu saja realitas yang tak bisa ditolak. Dalam
pengertian tertentu, desa adalah pasar yang besar karena sebagian
besar penduduk saat ini masih tinggal di desa, meski dengan
proporsi jumlah yang kian mengecil dengan daya beli yang
rendah. Meski demikian, nasib paling nahas yang dihadapi desa
sekarang adalah tertikam oleh pasar yang dinyatakan dalam
abstraksi: "produsen barang primer dan konsumen barang
sekunder/tersier".
Jadi, produsen komoditas primer bukanlah hal buruk karena hal
itu bagian dari matra aktivitas ekonomi yang penting. Menjadi
persoalan bila komoditas primer itu dijual keluar (kota) untuk

rony_sandra25@yahoo.com


75

diolah kembali dengan nilai tambah yang besar dan dijual balik ke
desa. Situasi yang mudah ditebak dari kisah itu adalah
penyedotan ekonomi secara sistematis, sehingga hasil penjualan
tak cukup untuk mengongkosi kebutuhan hidup. Bahkan, pada
produk primer sekalipun banyak petani sudah menjadi
konsumen.
Dua isu berikut telah digelindingkan dan hendak dikonversi jadi
kebijakan. Pertama, penguasaan dan kepemilikan sumber daya di
desa mesti digandakan jadi kegiatan yang mempunyai nilai
tambah, yang sering disebut "industrialisasi desa".
Istilah ini tidak salah, tetapi imajinasi atas model industrialisasi
perlu dipetakan dengan baik. Industrialiasi yang memiliki arti
transformasi ke aktivitas ekonomi modern dengan induksi modal,
teknologi, dan inovasi tak boleh dibiarkan berlalu di atas
hamparan kepadatan modal yang berlebih ataupun injeksi
teknologi yang asing bagi warga desa.
Perlu dipahami, industrialisasi di sini dimaknai sebagai ikhtiar
memuliakan sumber daya ekonomi di desa lewat modal yang
ditanggung secara kolektif, memasukkan sebagian besar pelaku ke
tengah arena, dan mengerjakan secara bersama. Bila ini yang
dijalankan, tidak akan terjadi sebagian (kecil) pelaku ekonomi
membajak hasil pembangunan untuk kaumnya sendiri.
Kedua, pasar tak boleh dilepaskan dari aturan main yang di-
kendalikan oleh desa. Komoditas yang sudah memiliki nilai
tambah tersebut selain berfungsi memproteksi sumber daya agar
tidak keluar dari desa terlebih dulu, juga memastikan komoditas
yang diproduksi dalam kendali mereka dalam distribusinya.
Bahkan, distribusi tersebut juga termasuk dalam komoditas yang
hendak masuk ke desa.

rony_sandra25@yahoo.com


76

Banjir komoditas ke desa harus dimaknai sebagai penetrasi


barang/jasa yang bukan merupakan kebutuhan, tetapi sebagian
besar daftar "keinginan" yang dilesakkan lewat media iklan secara
masif. Demikian pula pelaku distribusi itu tidak dalam
cengkeraman warga desa sehingga nilai tambah mata rantai tata
niaga juga lepas dari mereka. Aturan main ini mesti dibuat secara
mikro (level desa/komunitas) dan makro (pemerintah
pusat/daerah), khususnya kebijakan perdagangan. Kementerian
atau dinas perdagangan jadi titik tumpu regulasi pada level
makro.
Lumbung ekonomi desa
Sampai titik ini, agenda penguatan organisasi ekonomi yang
kukuh di desa menjadi amat vital. Koperasi merupakan tulang
punggung untuk menyulut energi atas kelemahan pelaku
ekonomi di desa. Spirit kebersamaan, persaudaraan, dan gotong
royong menjadi akar dari gerakan ekonomi ini.
Di masa lalu, sebelum digerus oleh aneka penyimpangan nilai,
koperasi jadi penyangga harkat hidup warga desa. Sekarangpun
masih banyak koperasi yang berjalan sesuai khitah, sehingga
fungsinya berjalan dengan rapi di masyarakat. Di luar itu, UU
Desa juga memberikan mandat membentuk BUMDes sebagai
penyangga perekonomian desa. BUMDes digagas untuk
mengelola sumber daya ekonomi, sekaligus memperkuat watak
kolektivitas yang berakar kuat di desa. Sungguhpun begitu,
operasi BUMDes tak boleh bertubrukan dengan aktivitas ekonomi
yang sudah dijalankan rakyat selama puluhan tahun.
Keberadaannya justru harus berpadu dan memperkuat ekonomi
rakyat.

rony_sandra25@yahoo.com


77

Pada konteks desa, dua jalur yang relevan dimasuki oleh


BUMDes. Pertama, jadi perekat atas titik kegiatan ekonomi yang
telah dijalankan rakyat secara mandiri. Mereka biasanya
dikendalai dengan permodalan, bahan baku yang murah, dan
distribusi yang lemah. BUMDes memasuki wilayah tersebut,
sehingga posisi tawar dan efisiensi aktivitas ekonomi rakyat
menjadi lebih bagus. Ini sekaligus menjadi jawaban atas inefisiensi
rantai distribusi yang membuat desa selalu memperoleh nisbah
ekonomi yang kecil dan konsumen harus membeli dengan harga
mahal.
Kedua, BUMDes beroperasi menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945
sehingga hanya masuk ke cabang produksi penting dan atau
terkait sumber daya alam. Beberapa BUMDes sudah berjalan
dengan, misalnya, mengelola sumber daya air yang dikonversi
untuk tujuan ekonomi, sebagian lagi murni kepentingan
pelayanan publik (menyalurkan air bersih untuk warga desa).
Jika cara-cara semacam itu hidup dan langgeng di desa, maka tak
usah cemas dengan paradoks pertumbuhan dan ketimpangan,
seperti yang terjadi di kota saat ini. Pola dominasi penguasaan dan
kepemilikan (juga ekonomi yang sangat padat modal dan
teknologi) di kota telah menjadi sumber peningkatan
ketimpangan (pendapatan). Desa harus dijadikan pulau yang kalis
dari praktik tersebut.
Jika saat ini ketimpangan pendapatan di desa telah menurun
sangat drastis, maka itu harus disambut dengan sukacita, sambil
memeriksa kemungkinan terjadinya pemerataan kemiskinan. Jika
kemungkinan terburuk itu yang terjadi, tetap saja peluang terbuka
lebih lebar untuk memperbaiki di masa depan karena telah
tumbuh politik fiskal yang berpihak pada desa (dana desa dan
alokasi dana desa). Jika itu diperkaya dengan penguatan ekonomi

rony_sandra25@yahoo.com


78

yang bernilai tambah, pasar yang dikontrol secara efektif,


penguasaan sumber daya, dan organisasi/lembaga ekonomi yang
mapan, maka lumbung ekonomi desa akan terbangun dan
kesejahteraan warga desa akan segera turun dari langit.
AHMAD ERANI YUSTIK: Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa (PPMD), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi

rony_sandra25@yahoo.com


79

14 Maret 2016

SISTEM INFORMASI DESA

Kabar Baik Itu Berasal dari Desa


AUFRIDA WISMI WARASTRI
Berbaju ala kadarnya dan senyum mengembang, Rukiah (38)
berpose membawa keripik gosong, produksi ibu-ibu di Desa
Tanjung Harap, Kecamatan Serba Jadi, Kabupaten Serdang
Bedagai, Sumatera Utara. Pose gembira itu terpampang di laman
Desa Tanjung Harap di tanjungharap.pe.hu.
Foto itu ternyata menimbulkan protes anak Rukiah yang tengah
menempuh studi di Jakarta yang membuka laman desanya. "Lain
kali kalau foto pakai baju yang bagus," kata Helmi Fachri (28),
jurnalis warga dan pengelola Sistem Informasi Desa (SID) Tanjung
Harap.
Setelah keripik gosong itu masuk di situs desa, permintaan keripik
meningkat. Bahkan ada permintaan dari Medan 30 kilogram per
hari yang belum bisa mereka penuhi karena kesulitan bahan baku.
Keripik gosong hanyalah satu dari produk warga desa yang
ditampilkan di situs desa.
Situs desa tersebut dikelola tiga orang, yakni Kepala Urusan
Umum Desa Tanjung Harap Yuli Agustina (30) dan dua
sukarelawan, yakni Fachri dan Taufik Nasution (28), yang juga
menjadi jurnalis warga.
Mereka mengunggah cerita soal Boinem (62) yang terharu karena
rumahnya direnovasi oleh PT Perusahaan Negara III. Ada

rony_sandra25@yahoo.com


80

kegiatan gotong royong membersihkan jalan protokol dan parit


desa, dan sebagainya.
Pengelola juga mengunggah informasi seputar kebijakan
pemerintah, termasuk informasi rincian dana desa tahun 2016.
Cerita-cerita ringan khas desa yang berjarak sekitar 60 kilometer
atau sekitar dua jam perjalanan dari Medan itu pun kini mulai
diketahui dunia.
Di Desa Bingkat, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang
Bedagai, Fitri Nurmalasari (28), Kepala Urusan Umum Desa
Bingkat, juga mengelola situs desa di bingkat.pe.hu. Produk desa,
seperti opak bulat, mi yeye, dan opak lidah, terpampang
dipromosikan.
Namun, informasi itu justru susah diakses di Kantor Desa Bingkat.
Sambungan internet yang dibangun Kementerian Komunikasi
dan Informatika di kantor desa itu tiba-tiba padam. Kegiatan
memperbarui informasi terhenti. Ini berbeda dengan kondisi di
Tanjung Harap. Pengelola mendapat modem dari perangkat desa
setempat yang cukup lancar jaringannya.
Fitri dibantu oleh sukarelawan warga yang turut memasok
informasi desa, Kasah (51) dan Mulyono (38).
Mereka memahami SID setelah mengikuti pelatihan SID di
Yogyakarta, kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat Bitra
Indonesia dengan Combine Research Institute tahun lalu. Warga
juga mengunjungi Desa Balerante di Klaten, Jawa Tengah, dan
Dlingo, Bantul, yang sudah memiliki SID yang bagus. Bitra juga
membantu penyediaan komputer dan mengajari warga
bagaimana cara menulis dan menjadi jurnalis warga.

rony_sandra25@yahoo.com


81

Pelayanan cepat
Kini, dengan adanya SID, pelayanan desa berlangsung cepat.
Seluruh data penduduk tersimpan dalam pangkalan data SID.
Pengurusan surat keterangan warga, misalnya, hanya cukup
menghabiskan waktu dua menit.
Di Bingkat, Fitri cukup memasukkan nama warga atau nomor KTP
ke komputer, langsung keluar informasi tentang warga itu.
Tinggal pilih menu yang diinginkan, misalnya membuat surat
keterangan warga, data langsung keluar dan dicetak, selesai.
"Kami tidak perlu membuka buku induk dan mengetik ulang,"
ujar Fitri
Dasar data warga dalam bentuk digital diperoleh dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Serdang Bedagai yang terus
diperbarui. Sesuai Pasal 86 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
desa berhak mendapatkan akses informasi melalui SID.
Pemerintah dan pemda wajib mengembangkan SID dan
pembangunan kawasan pedesaan meliputi penyediaan fasilitas
perangkat keras, lunak, jaringan, dan sumber daya manusia.
Di Sumatera Utara baru sembilan desa yang memiliki SID dari
lebih 6.000 desa yang ada. Tujuh desa sudah online, sementara dua
masih offline. Desa-desa itu ada di Kabupaten Langkat (1 desa),
Serdang Bedagai (5), Batubara (1), Tebing Tinggi (1), dan Deli
Serdang (1).
Manajer Riset Pengembangan Informasi, Komunikasi, dan
Teknologi Yayasan Bitra Indonesia Iswan Kaputra mengatakan,
Bitra mendesak pemda agar mengembangkan SID di semua desa.
Bitra berharap pemerintah menyediakan domain SID yang
diperlukan.

rony_sandra25@yahoo.com


82

Hal ini untuk menyelesaikan konflik data desa dan menganalisis


kemiskinan secara partisipatif. Konflik data biasanya terjadi pada
data warga miskin yang bisa tiba-tiba menyusut atau
membengkak. "Kami baru membangun analisis kemiskinan
partisipatif," ujar Iswan.
SID diharapkan juga memberikan ruang untuk menampung
keluhan. Namun, kebanyakan desa yang ia dampingi tidak
memasukkan keluhan itu mentah- mentah ke situs desa. Keluhan
diwadahi di Facebook desa. Pengelola akan menyortir keluhan
yang sopan untuk ditampilkan di situs desa.
Bitra juga mendorong agar pemerintah kabupaten bekerja sama
dengan sekretariat presiden sehingga keluhan warga bisa masuk
ke lapor.go.id, situs Kantor Staf Presiden yang menampung
keluhan warga.
"Kami juga mendorong agar operator SID didukung dana desa.
Minimal dua orang," kata Iswan. Ini semua agar kabar baik dari
desa tersebar ke seluruh Nusantara, bahkan dunia.

rony_sandra25@yahoo.com


83

4 April 2015

Memandirikan Keuangan Desa


IVANOVICH AGUSTA
Kesangsian akan efektivitas dana desa berpangkal kepada
prasangka kelemahan pengelolaan keuangan pemerintah desa.
Apalagi keluar peraturan-peraturan main yang berlawanan
sebagai buah perseteruan tanpa ujung antara Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa
PDTT) dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Cermin kemandirian
Amanat tertulis Presiden Soekarno untuk Dewan Perancang
Nasional 1959 serta pidato Presiden Soeharto menjelang Repelita I
mengagungkan desa sebagai basis keswadayaan bangsa. Namun,
jika saat ini menanam cermin kemandirian desa di depan kinerja
keuangan, seperti iming-iming kampanye dana desa, yang terlihat
justru buah ketergantungan.
Kemerosotan swadaya masyarakat desa dimulai awal 1980-an.
Derasnya dana bantuan desa sejak 1981, mengikuti penetrasi
proyek infrastruktur pedesaan 1970-an, telah membalik proporsi
pendapatan asli desa dari semula sekitar 80 persen menjadi hanya
20 persen.
Sejak itu ketergantungan keuangan desa menetap secara
struktural. Survei Keuangan Desa 2009-2013 oleh Badan Pusat
Statistik senantiasa menyajikan proporsi pendapatan dan belanja
desa yang relatif sama setiap tahun. Pendapatan asli desa berkisar
20 persen, bantuan keuangan pemerintah hampir 40 persen, dan
alokasi dana desa lebih 35 persen. Sisanya sumbangan swasta.

rony_sandra25@yahoo.com


84

Tahun ini guyuran dana desa Rp 20 triliun, menukikkan proporsi


swadaya masyarakat tinggal 12 persen. Sebaliknya proporsi dana
desa terangkat hingga 60 persen dari pendapatan. Jumlah dana
desa pada 2015 setara dengan pendapatan seluruh desa di
Indonesia pada 2013.
Hingga menuju janji Rp 1,4 miliar per desa, dominasi dana desa
bakal kian dominan. Jelaslah prospek kemandirian desa tidak
akan terpenuhi lewat anggaran pendapatan, tetapi masih
berpeluang tercapai melalui anggaran belanja.
Pembelanjaan rasional tecermin dari Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran (Silpa) Desa 2009-2013. Silpa meningkat lebih dua kali
lipat, semula Rp 119 miliar menjadi Rp 527 miliar. Meskipun
peningkatan Silpa kerap didiskusikan pemda dan desa, tetapi
belum diputuskan solusi penyimpanan Silpa yang berasal dari
transfer pemerintah pusat dan daerah tersebut. Ketakjelasan
aturan selama ini mematikan tambahan motor penggerak
pembangunan desa.
Proporsi belanja pegawai masih tinggi, namun cenderung
menurun. Pada 2009 mencapai 45 persen lalu 39 persen pada 2013.
Penurunan proporsi tersebut sejalan dengan peningkatan
pendapatan tahunan setiap desa, yaitu dari 141 juta menjadi 254
juta. Dengan pola yang sama, diperkirakan lonjakan pendapatan
desa empat kali lipat tahun ini menurunkan secara drastis
proporsi belanja pegawai.
Terdapat 33 persen belanja modal pada 2013, meningkat 31 persen
dari 2010. Dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, ini mengindikasikan upaya peningkatan aset
desa. Jika ditambahkan belanja pemberdayaan masyarakat 26
persen, terbaca porsi pengeluaran pemerintah desa didominasi

rony_sandra25@yahoo.com


85

kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, lonjakan dana desa


berpeluang memeratakan pembangunan nasional.
Konflik celaka
Sekarang desa memiliki dua pengatur yang sayangnya terus
berkonflik, yaitu Kemendesa PDTT dan Kemendagri. Kedua
kementerian telah mengeluarkan aturan keuangan yang saling
menafikan pihak lain.
Diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah No 60/2014, dana desa
akan tersalur 40 persen (Rp 8 triliun) pada April, lalu Agustus
tersalur 40 persen (Rp 8 triliun), dan November 20 persen (Rp 4
triliun).
Menurut Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 5/2015, mulai
Pasal 5, dana desa diprioritaskan hanya untuk aspek
pembangunan. Menurut Perpres 12/2015, tugas kementerian ini
memang pada aspek pembangunan desa.
Rumusan prioritas dana desa tersebut menafikan pembiayaan
operasional pemerintah desa. Artinya menghilangkan tugas
Kemendagri untuk menguatkan pemerintah desa sesuai Perpres
11/2015. Padahal, dalam UU 6/2014, PP 43/2014, dan PP 60/2014
tentang Anggaran Desa yang Bersumber dari APBN jelas tertulis
fungsi dana desa untuk pemerintahan, pembangunan,
pembinaan, dan pemberdayaan.
Di pihak lain, Peraturan Mendagri No 113/2014, Pasal 10,
membedakan antara transfer ”dana desa” dari pemerintah pusat
dan ”alokasi dana desa” via pemda. Pembedaan keduanya dapat
dilihat sebagai upaya balik mengatur prioritas penggunaan
transfer dana ke desa. Padahal, UU No 6/2014 hanya mengenal
alokasi dana desa untuk kedua pengertian tersebut.

rony_sandra25@yahoo.com


86

Perlu segera direvisi


Perseteruan kedua kementerian menyulitkan pemerintah desa
dalam menggunakan dan menyusun pertanggungjawaban dana
desa berikut anggaran pendapatan dan belanja desa mulai Juli
2015. Pemerintah desa akan terjerat kesalahan nomenklatur
peraturan salah satu atau kedua kementerian, saat menggunakan
84 persen pendapatan desa yang mengucur dari pemerintah.
Namun, jika memilih mengabaikan dana transfer pemerintah,
preseden keberhasilan pengelolaan keuangan desa menjadi
percuma dan akhirnya merugikan warga desa sendiri.
Oleh sebab itu, berbagai peraturan pemerintah dan menteri yang
berlawanan dari UU No 6/2014 harus segera direvisi. Mungkin
perlu juga menunjuk pejabat baru atau lembaga lain yang dapat
saling berkoordinasi guna memandirikan desa.
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN
IPB BOGOR

rony_sandra25@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai