Anda di halaman 1dari 13

Edjaan Tempo Doeloe hingga Ejaan yang Disempurnakan

 FAJAR ERIKHA  October 28, 2015  25 COMMENTS

Penjelasan sejarah panjang perubahan ejaan Bahasa Indonesia dari awal abad ke-20 hingga menjadi ejaan yang disempurnakan (EYD) yang
kita pakai sekarang ini.

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. 
Pada 28 Oktober 1928, beberapa perwakilan pemuda di Nusantara yang berkumpul dalam Kongres Pemuda Kedua
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kongres_Pemuda_Kedua) untuk mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak bersejarah dalam pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini menegaskan cita-cita akan “Tanah air Indonesia”, “Bangsa Indonesia”, dan “Bahasa Indonesia” yang akhirnya baru
terwujud 17 tahun kemudian pada 17-08-45.

Setelah 87 tahun berselang, cita-cita ikrar tersebut telah menjadi identitas tak terbantahkan untuk negara yang telah merdeka selama 70 tahun ini.
Kita sebagai bangsa Indonesia memiliki tumpah darah satu, yaitu tanah air Indonesia, dan berbahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia.

Akan tetapi, ada suatu hal yang mungkin bikin penasaran, kenapa kok ejaan bahasa yang dituangkan pada Sumpah Pemuda 87 tahun yang lalu
bebeda dengan ejaan yang kita gunakan sehari-hari sekarang? Sebagian dari kita mungkin dengan gampangnya berpikir bahwa bahasa Indonesia
yang kita gunakan sekarang pertama kali disahkan pada momentum Sumpah Pemuda tersebut, tapi sekarang malah beda ejaannya. Apakah benar
demikian? Dari mana sih asalnya ejaan yang tertuang di zaman Sumpah Pemuda? Bagaimana pula ceritanya bahasa persatuan kita bisa
bertransformasi dari edjaan tempoe doeloe menjadi ejaan yang disempurnakan (EyD) yang dipakai dalam kehidupan Indonesia modern?

Nah, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, Zenius Blog kali ini mau mengulik sejarah bahasa persatuan kita, khususnya tentang ejaannya.
Siapa yang menyangka, ejaan sebagai bagian dari bahasa, ternyata bisa dijadikan alat politik untuk mengendalikan suatu kelompok masyarakat? Ya,
ternyata penetapan standar ejaan yang mungkin terlihat sepele terkait erat dengan usaha sekelompok penguasa untuk melenggangkan pengaruhnya
sehingga kadang menuai pro dan kontra. Siapa saja penguasa-penguasa di Indonesia yang turut andil dalam ejaan bahasa kita sehari-hari?

Baiklah, langsung saja kita masuk ke mesin waktu bahasa Indonesia.


(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/ejaan.jpg)

Pengenalan Ejaan
Salah satu sifat bahasa adalah berubah. Perubahan itu bisa karena pemakainya, baik karena kesepakatan atau keterbiasaan, bisa juga atas kemauan
pemerintah, atau kebutuhan lainnnya. Salah satu yang bisa berubah dari bahasa adalah ejaan. Apa sih ejaan itu?


Ejaan merupakan kata turunan dari eja yang ditambahkan imbuhan –an. Kalau kita cek di Tesaurus Bahasa Indonesia, bikinan
Eko Endarmoko, ejaan juga berarti pelafalan, pelafazan, pengucapan, penyuaraan, atau penyebutan suatu huruf atau kata.

Ya, intinya ejaan adalah bagaimana sih kita mengucapkan (secara lisan) sebuah kata. Ejaan sendiri diatur dalam kaidah berbahasa baku, termasuk di
dalam bahasa Indonesia. Jadi, ejaan tidak hanya diatur dari segi cara pengucapan tapi juga cara menulis dan penggunaan tanda baca.

Asal Mula Ejaan Bahasa Indonesia Mengalami Standardisasi


Sebelum mempunyai tata bahasa baku dan resmi menggunakan aksara latin, bahasa Melayu (sebagai cikal-bakal Bahasa Indonesia) ditulis
menggunakan aksara Jawi (arab gundul) selama beratus-ratus tahun lamanya. Lalu, sejak bangsa Eropa datang dan nangkring di Nusantara, barulah
kita mengenal aksara latin. Ejaan latin yang dipakai untuk bahasa Melayu pun sudah berubah berkali-kali sesuai dengan kebijakan para penulis buku
pada waktu itu. Ternyata Nusantara yang diduduki Belanda punya gaya ejaan yang berbeda dengan Semenanjung Melaya yang notabene
dikolonisasi Inggris.

Hal ini pastinya bikin ruwet, bahasa sama tapi kaidah ejaan latin beda. Eh, ditambah dengan aksara Jawi yang asing di mata bangsa Eropa. Untuk
mengatasinya, tahun 1897, seorang linguis Londo (sebutan orang Belanda) kelahiran Batavia, yang bernama A.A. Fokker mengusulkan agar ada
penyeragaman ejaan di antara dua wilayah ini. Hingga akhirnya, van Ophuijsen (https://en.wikipedia.org/wiki/Van_Ophuijsen_Spelling_System) (sistem orthogra )
membakukan segalanya tentang Bahasa Melayu.

Prinsip-prinsip yang Mendasari Perubahan Ejaan dalam Bahasa Indonesia


Ejaan dalam konteks Bahasa Indonesia sendiri mengalami perubahan beberapa kali sejak seratus tahun ini. Motif yang mendasari perubahan ejaan
itu umumnya karena alasan politik. Tapi, sebelum kita masuk ke cerita pengaruh-pengaruh politik apa saja yang memotori perubahan tersebut, ada
baiknya kita perlu tahu dulu nih prinsip aja sih yang biasanya digunakan para ahli bahasa dalam melakukan perubahan ejaan. Prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Prinsip kehematan (e siensi)


Bayangkan, kalau elo disuruh menulis kalimat ini menggunakan ejaan jadul (zaman doele): saya selalu galau jika memikirkannya. Jadinya seperti ini:
saja selaloe galaoe djika memiirkannja. Lebih e sien kalau kita pakai ejaan yang sekarang, kan? Lagipula, ada beda antara pengucapan dan penulisan.

2. Prinsip keluwesan
Keluwesan berarti kemampuan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Pada contoh yang gue sebutin sebelumnya, keliatan kan, dengan ejaan
zaman sekarang, kita lebih luwes menulis dan mengucapkannya.


 “Kalau begitu, huruf x bisa mewakili partikel –nya seperti yang digunakan bahasa alay akhir-akhir ini, dong?”- anak muda masa
kini

(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/meme-from-iphonetextgenerator.png)

Ya, masuk akal. Tapi tidak bisa masuk ke dalam konteks bahasa baku kita. Kenapa tidak bisa? Coba bayangkan, nama tokoh kartun X-men atau merk
fotokopi Xerox dibaca menjadi nya-emen atau nya-ero-nya. Jadi enggak universal, kan??

3. Prinsip kepraktisan
(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/diakritik.png)Prinsip
kepraktisan ini
terkait dengan penggunaan tanda diakritis. Apa tuh tanda diakritis? Itu lho, tanda di
atas huruf yang biasanya dipake di negara-negara yang masih berbahasa tonal, kayak
Mandarin, Jerman, Ceko, Vietnam, Islandia, atau Spanyol. Tanda diakritis tetap
dipertahankan di negara-negara tersebut karena adanya perbedaan makna yang
dikandung. Dulu, bahasa kita sempat menggunakan penanda diakritis lho, tetapi
dihapuskan dengan alasan kepraktisan.

Nah, selanjutnya, kita akan lihat perjalanan ejaan dalam Bahasa Indonesia sejak
bahasa Melayu dibakukan. Lalu, setelah berselang tiga puluh enam tahun, berganti
(meskipun tidak banyak namun cukup signi kan) menjadi ejaan Republik, sebagai
penanda Indonesia tidak lagi dibayang-bayangi Belanda (1947). Berikutnya, terdapat tiga ejaan yang kurang beken yang menjadi tahapan hingga ke
Ejaan yang Disempurnakan (EyD), yaitu ejaan Pembaruan (1957), ejaan Melindo (1959) dan ejaan Baru (1966). Setelah melalui masa-masa kegalauan
perencanaan bahasa di era Soekarno, masalah-masalah ini dirampungkan hingga akhirnya Soeharto meresmikan EyD pada perayaan kemerdekaan
Indonesia, tahun 1972 lalu.

1. Ejaan van Ophuysen (1901-1947)


Charles Adrian van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) merupakan tokoh penting dalam tonggak bahasa Indonesia. Seperti yang udah gue sebutkan
sebelumnya di atas, ejaan Ophuijsen lahir dari niat pemerintah kolonial Belanda untuk menengahi keberagaman variasi bahasa Melayu yang ada di
Nusantara saat itu, sekaligus memudahkan Belanda menyebarkan kekuasaan di daerah kolonisasinya.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan van Ophuysen


Dulu, bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal BI ditulis menggunakan huruf Jawi (Arab Melayu atau Arab gundul). Meskipun bahasa ini tetap hidup di
masyarakat, para sarjana Belanda menilai bahasa Melayu tidak cocok menggunakan huruf Arab karena penulisan huruf vokal seperti e, i, o ditulis
sama saja saat ingin menuliskan kata yang memiliki vocal a dan u. Bagi yang tinggal di daerah Riau dan pernah mendapatkan pelajaran Arab Melayu
dari sekolahnya, mungkin ngerti nih dengan apa yang gue maksud. Sebagai ilustrasi, coba lihat deh contoh tulisan Arab Melayu (arab gundul) di bawah
ini.

(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/arab-melayu.jpg)

Sebenarnya sih bukan itu saja, salah satunya karena ancaman militansi umat Islam bagi kolonial Belanda membuat Belanda merasa perlu mengurangi
pengaruh Islam-arab di Nusantara.

Faktor lain penetapan ejaan baku ini diresmikan Belanda karena pada saat itu pemerintah kolonial sedang menjalankan politik etisnya di Nusantara,
yaitu sebuah kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum ningrat Nusantara. Masalahnya, jika bahasa Melayu tidak
distandarkan, proses pendidikan ini akan terhambat. Coba bayangkan kalau tidak ada standar bahasa, pasti susah kan melakukan proses belajar-
mengajar?

Dalam karirnya sebagai inspektur pendidikan ulayat (kaum bumiputera, saat itu), van Ophuijsen telah membuat Kitab Logat Melayu: Woordenlijst voor
de spelling der Malaisch taal met Latijnch karakter (Perbendaharaan Kosakata: daftar kata untuk ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin) yang
diterbitkan di Batavia 1901 dan berisi 10.130 kata-kata Melayu dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa Belanda. Kitab ini merupakan upaya
Belanda dalam membuat standar bahasa saat mereka bercokol di Nusantara. Yah, namanya berbasis alasan kolonial, tentu ini dibuat agar bisa
meluaskan kekuasaan mereka sekaligus dapat menyatukan Nusantara di bawah kendalinya. Belanda menerapkan bahasa ini mulai dari sekolah-
sekolah bumiputera. Oleh karena itu, bahasa Melayu Ophuijsen ini sering disebut “bahasa Melayu sekolahan”. Tidak berhenti di situ, sejak penerbit
Balai Poestaka (sekarang: Balai Pustaka) didirikan Belanda, bahasa ini semakin menancap di kaum terdidik Nusantara. Ya, artinya Belanda melalui
pemerintah kolonialnya berhasil melakukan politik bahasa dengan menjadikan bahasa (Melayu) Indonesia sebagai standar bahasa kita, yang bahkan
masih berlaku hingga saat ini.

Pernah terpikir enggak sih, bagaimana bisa seorang Belanda totok macam van Ophuijsen bisa menulis kitab bahasa Melayu yang demikian kompleks?
Ternyata eyang buyut Ophuijsenini lahir di Solok, Sumatera Barat, tempat digunakannya bahasa Melayu dengan masif. Selain memang suka
mempelajari bahasa-bahasa di Nusantara, kehidupan masa kecil van Ophuijsen yang lahir di tanah Minangkabau ini memudahkannya membuat
standar yang menjadi cikal-bakal Bahasa Indonesia yang kita pakai hingga saat ini. Enggak heran juga, akhirnya dia diangkat menjadi profesor bahasa
Melayu di Universitas Leiden, Belanda.

Ciri-Ciri Ejaan van Ophuysen


Dalam merumuskan buku tersebut (1896), van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer (https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Nawawi_Soetan_Ma%E2%80%99moer&action=edit&redlink=1) dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim (https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Moehammad_Taib_Soetan_Ibrahim&action=edit&redlink=1). Pedoman tata bahasa ini selanjutnya dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen dan diakui
pemerintah kolonial tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri
dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, saja, wajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata doeloe, akoe, Soekarni, repoeblik (perhatikan gambar prangko di atas), dsb.
4. Tandadiakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, jum’at, ta’(dieja tak), pa’, (dieja pak), dsb.
5. Huruf tj yang dieja c saat ejaan ini dihapuskan, seperti Tjikini, tjara, pertjaya, dsb.
6. Huruh ch yang dieja kh, seperti chusus, achir, machloe’, dsb.

Ternyata, jauh sebelum menerbitkan Kitab Logat Bahasa Melayu, lelaki yang lahir tahun 1856 dan meninggal tahun 1917 ini sudah membuat dua buku
bahasa lain: Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak) tahun 1879 dan Maleische
Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu) tahun 1910. Buku Tata Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi pedoman dalam berbahasa Melayu di
Indonesia setelah diterjemahkan oleh T.W. Kamil dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kecakapannya di bidang bahasa membuat pemerintah kolonial
menugaskannya untuk merumuskan tata bahasa Melayu baku. Maka mulailah Ophuysen berjalan menyusuri Sumatera hingga Semenanjung Malaya
untuk meneliti bentuk murni dari bahasa Melayu hingga terpilihlah bahasa Melayu Riau sebagai patokan standardisasi.

Pro-Kontra Ejaan van Ophuysen


Layaknya pro dan kontra, ada yang sepakat dan menolak, hal itu terjadi pada karya Ophuijsen ini. Meskipun jasa Ophuijsen ini begitu besar, ada juga
yang menudingnya sebagai arsitek yang telah menggusur varian bahasa Melayu lain. Joss Wibisono, sejarawan, menyalahkan Ophuijsen sebagai pihak
yang menjadikan derajat bahasa Melayu Riau (Riouw Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag Maleis) yang memang digunakan secara
meluas oleh khalayak di Nusantara dulu. Bagi Joss, Melayu Riau itu mitos, dan hanya ditemui di karya sastra (yang nanti setelah dibakukan oleh
Belanda kemudian disebarluaskan melalui novel-novel terbitan Balai Pustaka).

Meski ejaan Ophuysen sudah dihilangkan oleh pemerintah dulu, tetapi ejaan ini nyatanya tidak benar-benar hilang. Tengok saja merek dagang: Bakoel
Ko e (http://www.bakoelko e.com/ (http://www.bakoelko e.com/)) yang ingin memunculkan kembali suasana tempo doeloe. Selain itu, Eka Kurniawan
(https://id.wikipedia.org/wiki/Eka_Kurniawan), seorang sastrawan muda, pernah menelurkan kompilasi cerpen berjudul Cinta Tak Ada Mati
(http://www.goodreads.com/book/show/1934438.Cinta_Tak_Ada_Mati) (2005), dengan memakai ejaan Ophuysen di salah satu cerpennya: Pengakoean Seorang
Pemadat Indis. Eka beralasan ingin tampil orisinal dengan ejaan ini dan berniat menggugah generasi muda pada ejaan lama agar tidak enggan
membaca tulisan-tulisan jadul.

2. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) – 1947-1972


Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947 oleh
Menteri, Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden Soeawandi,
menggantikan ejaan Ophuijsen. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan Republik, namun
lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.

Raden Soewandi

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Soewandi


Menteri yang sebenarnya ahli hukum dan merupakan notaris pertama bumiputera ini punya alasan mencanangkan ejaan ini. Faktor kebangsaan
Indonesia yang sudah merdeka dan ingin mengikis citra Belanda yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat pentingnya adanya perubahan ejaan di
bahasa kita. Apalagi, saat itu Londo sedang sirik-siriknya melihat pencapaian kemerdekaan mantan negara jajahannya ini hingga datang lagi ke
Indonesia dengan memboncengi sekutu (tahun 1947). Semakin jelek deh impresi Belanda yang terwakilkan dalam ejaan Ophuijsen.

Ciri-ciri Ejaan Soewandi


1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata dulu, aku, Sukarni, republik (perhatikan gambar prangko di atas), dsb.

Ternyata yah, perubahan ejaan ini mendapat pertentangan dari orang-orang yang namanya menggunakan ejaan oe. Sebagian tetap mempertahankan
menggunakan ejaan Ophuijsen untuk nama mereka meskipun ejaan Republik sudah diberlakukan. Mungkin salah satu orangnya adalah Mr. Soewandi
sendiri Belakangan, varian penulisan nama dua mantan presiden kita, Soeharto (Suharto) dan Soekarno (Sukarno), membuat salah satu komponen
ejaan Ophuijsen dimaklumkan untuk dimunculkan kembali (lihat dua gambar di bawah).

(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/sukarno.jpg)

(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/suharto.jpg)

Duo contoh di atas membuktikan bahwa nama orang yang mestinya tetap (enggak berubah), ternyata bisa juga berubah disesuaikan dengan ejaan
yang sudah lazim.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, pada kata-kata makmur, tak, pak, atau hamzahnya dihilangkan menjadi kira-kira, apa elo masih
menulis jum’at alih-alih jumat?
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada mobil2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Jadi terjawab deh kenapa sampai saat ini kita masih sering
menuliskan angka 2 sebagai perwakilan kata ulang. Tapi sayang, kalau konteks bahasa baku, hal ini sudah kedaluarsa.
4. Awalan di– dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang menyertainya. Alhasil, penulisan disekolah atau dijalan disamakan
dengan dijual atau diminum. Nah, penulisan di- sebagai awalan dan kata depan selalu menjadi momok dalam tutur lisan maupun tulisan. Saat
mestinya digabung, dijalankan menjadi di jalankan. Sebaliknya, di mana menjadi dimana.
5. Penghapusan tanda diakritis atau pembeda antara huruf vokal tengah / yang disebut schwa oleh para linguis atau e ‘pepet’ disamakan dengan e
‘taling’. Gue pribadi agak keberatan dengan penghapusan ini. Akibatnya, karena dialek bahasa Indonesia kita sangat beragam dan dipengaruhi
bahasa daerah masing-masing, jadi mestinya kita bisa maklum jika ada orang Ambon/Papua yang kesulitan mengeja Tebet (konsensusnya Tbt)
tetapi malah dieja Tebet (seperti mengeja bebek). Atau misalnya, komputer yang bagi orang Batak dieja sebagai komputer (seperti mengeja e
pada kemah) alih-alih komputer (seperti mengeja e pada terbang). Namun begitu, ada juga pendapat bahwa hal ini baik karena menuliskan tanda
diakritis tidaklah praktis.

3. Ejaan Pembaharuan (1957)


Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Pembaharuan
Ejaan ini bermula dari polemik yang terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di Medan tahun 1954. Kongres kedua ini akhirnya diadakan setelah
pertama kali diadakan di Solo tahun 1938. Yamin selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan pemrakarsa Kongres Bahasa Indonesia
ke-2 mengatakan bahwa kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya akan kondisi bahasa Indonesia saat itu yang masih belum mapan. Medan
pun dipilih karena di kota itulah bahasa Indonesia dipakai dan terpelihara, baik dalam rumah tangga ataupun dalam masyarakat, setidaknya itu alasan
Yamin. Di kongres ini, memang diusulkan banyak hal dan salah satunya adalah perubahan ejaan. Usulan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu
dengan membentuk panitia pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia.

Ciri-ciri Ejaan Pembaharuan


Panitia ini diharapkan bisa membuat standar satu fonem dengan satu huruf (misalnya menyanyi: menjanji menjadi meñañi; atau mengalah: mengalah
menjadi meɳalah). Penyederhanaan ini sesuai dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai dalam keseharian. Selain itu, isu tanda
diakritis diputuskan agar kembali digunakan. Walhasil, k-e-ndaraan dengan é (seperti elo mengeja k-e-lainan) yang tadinya ditulis sama dengan k-e-
mah, akhirnya ditulis berbeda. Untuk kata sjarat (syarat) dibedakan menjadi śarat.

Kalau enggak hati-hati, bisa saja nyaru antara sarat (penuh/termuat) dengan syarat. Sedangkan huruf j yang digunakan pada kata jang (yang) malah
sudah disepakai ditulis menjadi yang (seperti kita pakai sekarang). Kata mengapa pun akan dieja menjadi meɳapa. Untuk kata-kata berdiftong ai, au,
dan oi seperti sungai, kerbau, dan koboiakan dieja dengan sungay, kerbaw, dan koboy.

Ejaan Pembaharuan ini dibuat dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan juga
disebut dengan Ejaan Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres menyatakan
supaya ejaan itu ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan. Meskipun demikian,
ejaan ini disinyalir menjadi pemantik awal diberlakukannya EyD tahun 1972.

Prof. Priyono

4. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)


Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia, maka mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu
ini untuk menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan kita pun menandatangani kesepakatan untuk
membicarakan ejaan bersama tahun 1959-nya. Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia sedang condong ke poros
Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang Inggris banget), akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya. Hal lain yang membuat ejaan ini
kurang seksi adalah perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh. Misalnya, kata “menyapu” akan ditulis “meɳapu”; “syair” ditulis “Ŝyair”; “ngopi”
menjadi “ɳopi”; atau “koboi” ditulis “koboy”. Mungkin aneh karena belum biasa dan harus menyesuaikan diri lagi. Tapi, akhirnya, usulan yang mustahil
dilaksanakan ini dengan cepat ditinggalkan.
 

5. Ejaan Baru atau Ejaan LBK


Sebelum adanya EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang bernama Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK).
Ejaan ini, sebenarnya estafet dari ikhtiar yang sudah dirintis oleh panitia Ejaan Melindo. Anggota pelaksananya pun terdiri dari panitia ejaan dari
Malaysia. Pada intinya, hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-kaidah saja.

6. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

(https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/10/facepalm.jpg)

Nah, sekarang, kita bahas ejaan yang paling populer se-Indonesia: EyD! Anak sekolahan mana yang enggak kenal “makhluk” ini? Mahasiswa mana yang
belum pernah ditegur oleh dosennya karena makalahnya tidak sesuai EyD? Kapan sih ejaan yang selalu jadi acuan para guru bahasa Indonesia elo ini
muncul? Ejaan ini diresmikan sejak 16 Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Sejak itulah, muncul perubahan signi kan pada ejaan kita hingga saat ini.
Bayangkan, semua kop surat+amplop, kartu nama, papan jalan, papan nama kantor dan toko, mulai dari Sabang sampai Merauke diganti dan
menyesuaikan diri.

Lalu kenapa sih ejaan kita berganti lagi? Kenapa enggak pake ejaan sebelumnya saja. Kan bisa menghemat, tak perlu gonta-ganti. Sebenarnya
perjalanan menuju EyD ini relatif panjang. Dimulai dari era Soekarno masih presiden (1954), lalu sempat sudah ada perubahan melalui Ejaan
Pembaharuan (1957), dilanjutkan dengan Ejaan Melindo (1959) yang akhirnya batal lagi karena Soekarno menyerukan Ganyang Malaysia!. Kondisi
terkatung-katung itu lagi-lagi mandek karena peristiwa kudeta 30 September 1965. Kondisi ekonomi kita parah, politik dan keamanan yang buruk.
Tentu maklum kalau urusan bahasa menjadi ditangguhkan dulu. Mulai Mei 1966, urusan ejaan dibuka kembali dan kepanitiaan diketuai oleh
pendekar bahasa Indonesia, Anton Moeliono.

Meskipun ejaan ini rampung setahun sesudahnya, dan telah dirundingkan dengan Malaysia (karena sejak 1959 memang kita sudah bersepakat buat
menyamakan ejaan), tapi lagi-lagi ejaan ini urung diluncurkan. Ejaan ini mendapatkan kritik karena isu politis, alih-alih linguistis. Namun, setelah
Mendikbud kala itu mengeluarkan SK tahun 1972 barulah ejaan ini dapat melenggangkan diri ke permukaan. Di negeri jiran sendiri, namanya bukan
EYD tapi ERB (Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia/ New Roman Spelling of Malaysian).

Ciri-ciri EYD
Jadi, apa saja perubahan sejak EYD? Versi lengkap elo bisa unduh dari sini:

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/ les/pedoman_umum-ejaan_yang_disempurnakan.pdf
(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/ les/pedoman_umum-ejaan_yang_disempurnakan.pdf)

Kalau ada waktu untuk baca, lebih bagus dibaca. Hitung-hitung nyicil sebelum menjadi mahasiswa nanti (kalau mahasiswa, semoga enggak terbentur
dengan persoalan EYD dengan sang dosen tercinta).

Jadi, kalau biasanya Djajalah Indonesia!, maka sesuai EYD diubah menjadi Jayalah Indonesia!. Perubahan ejaan dj menjadi j pun tak terhindarkan.
Kalau dalam teks proklamasi 1945 dulu masih tertulis “Djakarta, hari 17……”, maka diubah menjadi “Jakarta, hari 17…..”. Untuk sebagian orang tetap
mengeja namanya jika mengandung ejaan dj. Misalnya, Djojobojo alih-alih Joyoboyo; Selain itu, ejaan nj juga diubah menjadi ny, sehingga penulisan
njonja menjadi nyonya; Hal ini juga berlaku untuk ejaan kata ch dan menyesuaikan diri menjadi kh. Kalau dulu achirnya, sekarang menjadi akhirnya.

Pro-Kontra EYD
Pemberlakuan EyD bukan tanpa kritik, lho. Bagi pengritik zaman Orba, EyD dianggap sebagai produk Soeharto yang “sukses” mengatur cara pikir
masyarakatnya. Kok bisa? Jadi, ketika aturan berbahasa sudah seragam dan terstandar, pemerintah akan mudah mengatur masyarakatnya. Itulah
yang menyebabkan indonesianis, Benedict Anderson, yang sangat anti-Soeharto menjadi oposisi EYD.

Salah satu bentuk perlawanannya, ia tuangkan melalui tulisan bergaya ejaan Suwandi. Menurutnya, pemberlakuan EYD adalah bentuk ketakutan
Soeharto terhadap pengaruh Soekarno kala itu. Memang, sejak Soeharto berkuasa, ada kecenderungan segala bentuk ke-Soekarno-an dihilangkan.
Ada juga sebagian pengamat sejarah politik yang menduga, bahwa dengan membiasakan masyarakat Indonesia baca-tulis dengan ejaan yang baru
tanpa dj, tj, cha atau nj akan membuat masyarakat malas membaca tulisan-tulisan era sebelum Orde Baru.

Rangkuman Sejarah Perubahan Ejaan Bahasa Indonesia


Di bawah ini, rangkuman bagaimana sejarah ejaan di Indonesia mulai dari edjaan tempo doeloe hingga EYD yang tidak asing di kuping kita:

Van Ophuysen Soewandi Pembaruan Melindo Ejaan Baru Ejaan yang


(1901) (1947) (1957) (1959) (1966) Disempurnakan
(1972)

j J y y y y

dj dj j j j j

nj nj ñ ɳ ny ny

sj – ś Ŝ sy sy

tj tj – c c c

ch – – – kh kh

ng ng ɳ ɳ ng ng

z – z z z z

F – F F F f

– – V V V v

é e é é e e

e e e e e e

oe u u u u u

ai ai ay ay ai ai

au au aw aw au au

oi oi oy oy oi oi

Ejaan di Indonesia dari waktu ke waktu (Harimurdi Kridalaksana & Hermina Sutami, 2007)

****

Memang tidak dapat dimungkiri, standardisasi bahasa erat kaitannya dengan politik bahasa. Namun, dalam melakukan standardisasi, tetap
dibutuhkan perencanaan bahasa untuk mengakomodasi kebutuhan bahasa saat itu. Jika ini tidak diterapkan, maka akan terjadi kekacauan bahasa
(karena tidak ada standar utama untuk mudah dipelajari dan dikembangkan). Perencanaan bahasa pun jamak dilakukan di negara manapun. Tak
terkecuali Belanda sekalipun, mereka punya undang-undang ejaan (Spellingwet) dan diejawantahkan ke dalam Buku Hijau (het Groene Boekje).

Apakah EYD abadi atau masih bisa berubah? Bisa saja berubah tergantung apa yang diinginkan pemerintah atau dibutuhkan masyarakat bahasa kita
nanti. Tetapi, sebuah perencanaan bahasa yang baik, pastinya akan bisa digunakan dalam rentang waktu yang lama. Proses panjang dari tahun 1954
menuju 1972 adalah waktu yang tidak sedikit dan melibatkan para sarjana bahasa yang trengginas untuk membuat perencanaan bahasa Indonesia.
Buktinya? Sejak ejaan terakhir diresmikan 43 tahun yang lalu, ini masih dipakai dengan (relatif) baik oleh penuturnya. Artinya, EYD sudah terbilang
mapan. Perencanaan bahasa pun tidak melulu tentang ejaan saja, persoalan tata bahasa juga termasuk. Mungkin ini yang perlu diperbarui dan
disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
Rujukan bacaan

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/242/Charles-Adriaan-van-Ophuysen

https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/07/05/dari-mana-datangnya-tuan/

Pesona Bahasa

https://books.google.co.id/books?
id=8rt2JikaPCoC&pg=PA86&lpg=PA86&dq=ejaan+pembaharuan&source=bl&ots=cemvTm2eOH&sig=0TAQtg1v1s6BD5npq00Z9oeRPug&hl=id&sa=X&ved=0CE8Q6AEwCGoVChMIlPiV_7eWyAIVDHCOCh1Jbgo
0#v=onepage&q=ejaan%20pembaharuan&f=false

Sumber Gambar Diakritis:

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://cdn.ilovetypography.com/img/diacritical-marks1.gif&imgrefurl=http://ilovetypography.com/2008/04/25/extreme-type-terminology-part-
4/&h=262&w=500&tbnid=knqyBCiqSdJABM:&docid=LHviU-kiu2KdaM&ei=P

==========CATATAN EDITOR===========
Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi sama Fajar tentang sejarah ejaan Bahasa Indonesia, langsung aja tinggalin comment di bawah
artikel ini. Kalo kamu tertarik dengan Bahasa Indonesia dan dunia linguistik secara luas, zenius sangat merekomendasikan beberapa artikel di bawah
ini:

10 Salah Kaprah dalam Bahasa Indonesia

6 (Lagi) Salah Kaprah dalam Berbahasa Indonesia

Asal-Usul Kata dalam Bahasa Indonesia

Apa itu zenius.net?

Tertarik belajar dengan zenius.net? Kamu bisa pesan membership zenius.net di sini (https://www.zenius.net/voucher-purchase-online).

 EJAAN / EYD / OPHUYSEN / SOEWANDI / TEMPOE DOELOE

AUTHOR: FAJAR ERIKHA


Fajar pernah menjadi Tutor Bahasa Indonesia di Zenius Education pada 2015-2016. Saat ini, Fajar merupakan mahasiswa
doktoral Ilmu Linguistik di Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya, Fajar mengambil gelar sarjana psikologi dan magister ilmu
linguistiknya di UI. Selain itu, Fajar juga bekerja sebagai peneliti di Divisi Riset Psikologi Sosial Terapan UI dan dosen psikologi
UNUSIA. Sejumlah publikasi ilmiah dan populer Fajar dapat diakses melalui akun Google Scholar, Researchgate, ataupun
Academia a.n Fajar Erikha.

25 Comments blog zenius.net 1 Login


25 Comments blog zenius.net  Login

 Recommend 3 t Tweet f Share Sort by Oldest

Join the discussion…

LOG IN WITH
OR SIGN UP WITH DISQUS ?

Name

cazador
− ⚑
3 years ago

pedoman umum EYDnya gak bisa diakses tuh bos,ada link alternatifnya gak?

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > cazador


− ⚑
3 years ago

Iya nih. Bentar diedit dulu ya. Utk sementara bisa akses ke http://badanbahasa.kemdikbu... Trims masukannya, yah!

△ ▽ Reply

Surya Putera
− ⚑
3 years ago

Ka tolong kasih contoh dong gimana sih dulu bahasa melayu kuno sblm ejaan van ophuysen? yg masih pake bhs jawi gitu... pnasaran nih :P

△ ▽ Reply

Fanny Rofalina > Surya Putera


− ⚑
3 years ago

Hai Surya, kebetulan gue dulu smp-sma di Pekanbaru, Riau dan dapat pelajaran Arab Melayu dari sekolah. Jadi gue lumayan masih inget gimana

caranya nulis pake aksara melayu gundul. Ini contohnya.

Gambarnya juga udah gue update di artikel di atas ya. Thnak you masukannya.
⛺ View

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > Fanny Rofalina


− ⚑
3 years ago

Fanny, makasih udh bantu kasih contoh yah :)

△ ▽ Reply

Neki Reilena
− ⚑
3 years ago

Kak, punya link buat kata serapan asing2 gitu ga yang sering keluar di TPA gituuu ???

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > Neki Reilena


− ⚑
3 years ago

Hei Neki. Km pernah baca tulisan ini? https://www.zenius.net/blog... Mgkn tautan asal kata dlm bhs Indonesia ini bisa membantu
http://asalkata.com/
http://asalkata.com/

△ ▽ Reply

Neki Reilena > Fajar Erikha


− ⚑
3 years ago

oke kak, thanks tautannya :)

△ ▽ Reply

sooyoungssi
− ⚑
3 years ago

kak gimana sih cara yang enak buat belajar linguistik, apalagi soal fonetik fonologi? aku masih maba dan masih ga ngerti sampe skrg padahal uts DDL

udah lewat :(

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > sooyoungssi


− ⚑
3 years ago

Wah sama dong. Sy bln lalu jg tes utk matkul fonologi hehe. Coba belajar pakai Youtube. Cari dgn kata kunci Introduction to linguistics. Rekamannya
Steven Pinker jg bagus: ▶ Steven Pinker: Linguistics as a Window to Understanding… — disq.us atau ▶ [Introduction to Linguistics] Phonetics and
Basics of… — disq.us . Km bisa pakai kata kunci phonology: ▶ Intro to Phonology: Phonemes & Allophones (lesson 1 of 4) — disq.us (isi tautannya

reliabel).

△ ▽ Reply

Neki Reilena
− ⚑
3 years ago

kak, mau nanya nih, katanya sabda ada kumpulan kata2 yg sering muncul di tes tes gitu ama root words nyaa, itu dimana ya download nya??? katanya bisa

didownload, makasih sebelumnya

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > Neki Reilena


− ⚑
3 years ago

Hahaha msh proses itu. Sabar yaa Neki :)

△ ▽ Reply

Neki Reilena > Fajar Erikha


− ⚑
3 years ago

kak, yang bahasa indo (teori) bagian tata kalimat, dll itu kalo mau bljr lebih lanjut di buku apa ya??

walopun udah dengerin video materinya sih, tpi pengen bljr lbh lengkap hahaha

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > Neki Reilena


− ⚑
3 years ago

Ada bbrp bukunya, @Neki Reilena, versi buku ataupun ebook. Kamu mau?maaf baru balas.

△ ▽ Reply

Neki Reilena > Fajar Erikha


− ⚑
3 years ago

ebook nya aja kak


ebook nya aja kak

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > Neki Reilena


− ⚑
3 years ago

minta alamat emailnya yah, nanti sy kirim @Neki Reilena

△ ▽ Reply

Neki Reilena > Fajar Erikha


− ⚑
3 years ago

nekireilena98@gmail.com

makasih kak hihi :)

△ ▽ Reply

Fajar Erikha > Neki Reilena


− ⚑
3 years ago

udah sy kirim yah. Monggo dicek :D

△ ▽ Reply

Neki Reilena > Fajar Erikha


− ⚑
3 years ago

sipp, makasih kak

△ ▽ Reply

Bayu
− ⚑
3 years ago

Klo nulis di buku iya pake EyD (Ejaan yang Disempurnakan ) biar jadi kebiasaan
Klo dah ngetik di forum chit chat buat ngediscuss gini enaknya pake EyD (Ejaan yang Digaulkan) biar kekinian hahaha

△ ▽ Reply

Load more comments

✉ Subscribe d Add Disqus to your siteAdd DisqusAdd 🔒 Disqus' Privacy PolicyPrivacy PolicyPrivacy

Anda mungkin juga menyukai