Anda di halaman 1dari 9

PERSPEKTIF TEORI STRUKTURAL DAN

FUNGSIONAL DALAM BENTUK


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
YANG ADA DI SEKITAR KITA
(PERDA Pelestarian Hutan yang di Terapkan oleh Masyarakat
Desa Bone-Bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang)

ANDI ZULKARNAIM SUMANG


P032192001

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


MAGISTER SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019/2020
PERDA PELESTARIAN HUTAN DALAM PERSPEKTIF
STRUKURAL FUNGSIONAL

A. Latar Belakang dan Gambaran Masyarakat dalam Program Pelestarian Hutan


Desa Bone-Bone yang terletak di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang
merupakan Desa yang sangat damai dan asri dengan kondisi alam yang masih sangat
terjaga. Dilihat dari keadaan geografi dan topografi, dimana desa ini terletak dibawah
kaki gunung Latimojong. Desa Bone-Bone ini memiliki banyak hal yang membuat desa
ini berbeda dari desa-desa yang lain. Diantaranya adalah (1) Desa Bone-Bone terkenal
secara Internasional merupakan Desa Bebas Asap Rokok pertama di dunia, (2) Desa ini
terkenal dengan kopi arabikanya yang memiliki aroma terbaik dan berkategori
spesiality, (3) Memiliki alam yang masih terjaga dengan baik, (4) Program Pelestarian
hutan menjadi hal utama, (5) masyarakat sangat religius, dan masih banyak lagi.
Desa Bone-Bone Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang merupakan
suatu kawasan percontohan untuk daerah atau desa sehat dan asri. Untuk
menciptakan atau membangun desa yang sehat dan asri bukanlah hal yang
mudah bagi kepala Desa Bone-Bone. Butuh tekad dan kerja keras untuk
mewujudkan hal tersebut. Diperlukan pengetahuan kesadaran, kemauan dan
kemampuan masyarakat untuk senantiasa membiasakan hidup sehat dan menjaga
lingkungan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Desa Bone-Bone.
Kepala Desa Bone-Bone menerapkan aturan yang telah disepakati
dan dituangkan dalam Peraturan Desa. Diantara aturan yang dibuat dalam
peraturn desa tersebut terkait pelestarian hutan. Peraturan Desa No. 2 Tahun
2009 tentang pelestarian hutan adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Desa Bone-Bone mewajibkan masyarakatnya yang akan menikah harus menanam
pohon suren sebanyak 5 pohon masing-masing pasangan. Latar belakang
terbentuknnya aturan ini didasari atas banyaknya penebangan pohon
khususnya pohon suren untuk digunakan membangun rumah.
Pohon suren di Desa Bone-Bone banyak tumbuh dan kayunya terkenal bagus, kuat
dan tahan lama. Sehingga hampir seluruh masyarakat yang tinggal di Desa Bone-Bone
menggunakannya untuk membangun rumah. Secara ekonomi masyarakat tidak perlu
mengeluarkan uang yang banyak untuk membangun rumah, karena ketika ingin
membeli bahan-bahan bangunan itu sangat jauh dari desa dan biaya yang dikeluarkan
sangat banyak. Sehingga penebangan pohon pun tidak terkendali, semakin banyak
masyarakat yang menebang. Banyaknya penebangan yang terjadi oleh masyarakat
sehingga sebagian wilayah desa yang ditumbuhi banyak pohon suren tersebut mulai
habis dan wilayah yang tadinya rimbun oleh pepohonan sudah mulai terbuka.
Akibatnya wilayah tersebut ketika musim penghujan akan longsor.

B. Pendekatan Teori Struktural Fungsional


Menurut teori struktural fungsional seperti yang dikemukakan Parsons
bahwa masyarakat akan berada dalam kedaaan harmonis dan seimbang bila
institusi atau lembaga-lembaga yang ada pada masyarakat dan negara mampu
menjaga stabilitas pada masyarakat tersebut. Struktur masyarakat yang dapat
menjalankan fungsinya dengan baik dengan tetap menjaga nilai dan norma
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat maka hal ini akan menciptakan
stabilitas pada masyarakat itu sendiri.
Teori struktural fungsional Talcot Parsons dimulai dengan empat fungsi
penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan skema AGIL.
Melalui AGIL ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan
sistem. Menurut Parson fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan
ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Menurut Parson
agar dapat bertahan sebuah sistem harus terdiri dari 4 fungsi yaitu :
1. Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan
itu dengan kebutuhannya.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistem mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Setiap
tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu. Akan tetapi
tujuan tindakan individual seringkali bertentangan dengan tujuan-tujuan
lingkungan sosial yang lebih besar dari sekedar kepentingan individu.
3. Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang
menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi
penting lainnya (A, G, L). Masyarakat harus mengatur hubungan di
antara komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara
maksimal.
4. Latency (pemeliharaan pola)
Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik
motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan
menopang motivasi. Fungsi mempertahankan pola termasuk ke dalam kerangka
hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan subsistem budaya atau
kultur sebagai subsistem dari sistem gerak sosial.
Menurut Parsons sebuah sistem sosial harus memiliki
persyaratan-persyaratan yaitu ; Pertama, sistem sosial harus terstruktur (ditata)
sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang
harmonis dengan sistem lainya. Kedua, untuk menjaga kelangsungan
hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari
sistem yang lain. Ketiga, sistem sosial harus mampu memenuhi
kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan. Keempat, sistem
harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari anggotanya.
Kelima, sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi
menganggu. Keenam, bila konflik akan menimbulkan kekacauan maka itu
harus dikendalikan. Ketujuh, untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial
memerlukan bahasa.
Masyarakat sebagai suatu sistem diatur oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
mapan. Suatu masyarakat yang bisa menjalankan fungsinya dengan baik,
maka secara fungsional masyarakat tersebut telah mampu menjaga nilai
dan norma agar kehidupan masyarakat tersebut dapat berjalan selaras dan
harmonis. Konflik dalam suatu sistem masyarakat struktur fungsional
yang teratur akan mampu teratasi dengan sendirinya, karena sistem selalu
akan membawa pada keteraturan. Tetapi pada masyarakat yang secara
struktural fungsional tidak mampu menjalan kan perananya maka akan
terjadi gesekan (Sidi, 2014: 75-76).
Berikut skema AGIL untuk mengetahui fungsi dari sitem:

Lingkungan External
(Alami dan Sosial)

•Adaptation •Goal
(Adaptasi) Attainment
(Pencapaian
Tujuan)
Perilaku Sistem
Organisme: Kepribadian:
Energi untuk Penentuan
Interaksi Nasib Sendiri
Lingkungan Secara Selektif

Sistem
Kulutural: Sistem Sosial:
Nilai Dan Institusi
Norma, Sosialisasi dan
Kepercayaan, Kontrol Sosial
dan Ideologi

•Latency •Integration
(Pemeliharaan (Integrasi)
Pola)

Sifat Alami Manusia

Gambar 1. Sekama struktural fungsional AGIL Talcott Parson.

C. Dampak yang Dihasilkan dari Perubahan Struktural Fungsional


Pendekatan teori struktural fungsional PERDES No.2 Tahun 2009 tentang
pelestarian hutan masyarakat Desa Bone-Bone dengan skema AGIL seperti pada
Gambar 1 sebagai berikut:
Lingkungan External (Alami dan Sosial)
Masyarakat Desa Bone-Bone banyak menebang pohon suren dan membuatnya jadi bahan
kayu untuk membangun rumah sehingga membuat kerusakan lingkungan.

•Proses menyesuaikan diri dengan PERDES


Adaptation
pelestarian hutan

•PERDES pelestarian hutan ini dapat


Goal Attainment dilaksanakan dan menjadi hal penting bagi
seluruh masyarakat.

•Penyesuaian PERDES pelestarian hutan dalam


Integration kehidupan masyarakat dan lingkungan sehingga
menghasilkan keseimbangan diantara keduanya.

•Upaya menjaga, mememlihara dan


mempertahankan nilai dan norma yang
Latency terbentuk dari PERDES ke dalam masyarakat
sehingga sistem sosial dengan subsistem budaya
menjadi sistem gerak sosial.

Sifat Alami Manusia


Masyarakat Desa Bone-Bone menjadi sadar akan lingkungan sekitarya penting untuk
dijaga melalui pelestarian hutan, sehingga tidak lagi menebang pohon secara
sembarangan. Bentuk pelestarian hutanpun menjadi budaya yang melekat sebagai sistem
soial di masyarakat Desa Bone-Bone.

Gambar 2. Skema struktural fungsional PERDES No. 2 tahun 2009 tentang


pelestarian hutan masyarakat Desa Bone-Bone.
Masyarakat Desa Bone-Bone sebagai sistem dari struktur sosial awalnya
memandang penggunaan pohon suren sebagai bahan untuk membangun sebuah rumah
merupakan hal yang lumrah sebagai kebutuhan. Hal tersebut sudah bertahan lama
karena setiap lapisan masyarakat di Desa Bone-Bone yang meiliki keluarga baru, ketika
ingin membuatkan rumah maka menggunakan poho suren saja. Dengan biaya yang
dikeluarkan cukup murah ditambah nilai-nilai masyarakat masih kental dengan gotong
royong. Namun kepala desa yang menjabat pada saat itu sadar bahwa hal yang
dilakukan oleh masyarakat harus diubah, karena melihat dampak yang telah
ditimbulkan mengimplikasi ke seluruh bagian kehidupan masyarakat.
Proses pelaksanaan peraturan desa Bone-Bone dapat dijelaskan bahwa,
Peraturan Desa No. 2 Tahun 2009 tentang Pelestarian Hutan yang ditetapkan
di Desa Bone-Bone pada 11 September 2009 memang telah dilaksanakan
secara resmi sejak tahun 2009, namun demikian pelaksanaan kebijakan ini
masih dianggap kurang efektif dalam memberikan pemahaman bagi masyarakat pada
saat itu.
Adapun pola penerapan yang dilakukan oleh pemerintah desa yaitu
melalui sosialisasi. Sosialisasi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
untuk menarik dan memperkenalkan pihak atau objek yang diajak, agar pihak atau
objek tersebut dapat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku
dan dianut oleh masyarakat. Tujuan pokok adanya sosialisasi bukan
semata-mata agar kaidah-kaidah dan nilai-nilai diketahui serta dimengerti.
Tujuan akhir adalah agar manusia bersikap dan bertindak sesuai dengan
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta agar yang bersangkutan dapat
menghargainya.
Sosialisasi dilaksanakan agar seluruh masyarakat dapat mengetahui dan
memahami apa yang menjadi arah, tujuan dan sasaran kebijakan, tetapi yang lebih
penting mereka akan dapat menerima, mendukung, dan bahkan
mengamankan pelaksanaan kebijakan tersebut. Perlu dilaksanakan usaha-usaha
penyadaran kepada seluruh komponen masyarakat baik masyarakat lokal
maupun para pemangku kepentingan lainnya, untuk membuat masyarakat
menerima, memahami dan mendukung suatu kebijakan yang telah dibuat.
Sistem sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Desa Bone-Bone untuk
melaksanakan usaha-usaha penyadaran kepada masyarakat melalui berbagai teknik
sosialisasi yaitu melalui sosialisasi langsung maupun sosialisasi tidak
langsung.
Sosialisasi secara langsung yang dilakukan oleh pemerintah desa Bone-Bone
dalam mensosialisasikan peraturan desa Bone-Bone No. 2 Tahun 2009 tentang
pelestarian hutan adalah dengan melalui dialog atau diskusi dengan seluruh komponen
masyarakat terkait dampak yang disebabkan oleh rokok terhadap berbagai aspek
kehidupan, baik kesehatan, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
Metode yang dilaksanakan oleh pemerintah desa Bone-Bone dalam sosialisasi
langsung kepada masyarakat, dilakukan dengan berbagai cara salah
satunya adalah dengan tatap muka secara langsung (diskusi) yang
dilakukan oleh pemerintah desa Bone-Bone dengan tokoh-tokoh masyarakat
Desa Bone-Bone. Dalam proses diskusi yang dilakukan oleh pemerintah desa bersama
masyarakat, dilakukan di setiap ada kesempatan, hal ini sebenarnya memberikan
dampak bagi tingkat pemahaman masyarakat terkait dampak yang diakibatkan
dari penebangan pohon yang berlebihan tanpa adanya upaya pengembalian atau
perbaikan keadaan.
Pelaksanaan sosialisasi langsung mengenai kebijakan bebas asap rokok
yang dilakukan oleh pemerintah desa dilakukan dengan tatap muka
seperti diskusi, rapat, penyuluhan, pengajian bersama dengan masyarakat desa.
Proses diskusi dilakukan pada setiap ada kesempatan seperti pada waktu kerja
bakti, gotong royong, dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Hal ini
dilakukan agar masyarakat bisa paham dengan kebijakan yang
disampaikan karena dilakukan dengan santai dan dalam keadaan yang
tidak kaku atau formal, sehingga hal tersebut dapar mempengaruhi tingkat
pemahaman masyarakat.
Sosialisasi tidak langsung dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode, baik
melalui media cetak seperti poster, stiker, brosur atau melalui media lainnya.
Berdasarkan hal tersebut, dalam melakukan proses sosialisasi tidak langsung yang
dilakukan oleh pemerintah desa Bone-Bone dalam mensosialisasikan
Peraturan Desa No. 2 Tahun 2009 tentang pelestarian hutan dilakukan dengan
beberapa cara, salah satunya adalah dengan melalui media cetak
berupa poster, brosur, stiker dan lain sebagainya yang dibuat oleh pemerintah desa
dan disebar di seluruh pelosok desa Bone-Bone.
Kegiatan sosialisasi melalui media cetak berupa poster merupakan salah satu
media untuk meningkatkan kesadaran bagi masyarakat dengan gambar
dan menggunakan kata-kata yang singkat, jelas, serta mudah dimengerti, gambar yang
ditampilkan menggunakan warna-warna yang mencolok dan menarik
perhatian, walaupun hal tersebut terkesan sederhana namun maksud yang ingin
disampaikan sangat jelas. Namun demikian, proses sosialisasi tidak langsung
dengan menggunakan poster ini kurang ditanggapi oleh masyarakat, apalagi
masyarakat desa Bone-Bone yang mayoritas bekerja sebagai petani kebanyakan
aktifitasnya dilakukan di ladang sehingga mereka tidak bereaksi dengan
penempelan poster tersebut. Selain poster, brosur juga menjadi sarana sosialisasi lain
yang cukup membantu.
Barulah pada tahun 2011 masyarakat mulai memahami dan secara
perlahan mulai mentaati aturan tersebut. Dari setiap pernikahan yang
dilangsungkan, setiap pengantin laki-laki dan perempuan harus menanam pohon
sebanyak 5 pohon. Kemudian masyarakat yang ingin menebang dan menggunakan
pohon suren tidak lagi menebang secara sembarangan. PERDES no. 2 tahun 2009 Desa
Bone-Bone ini sampai sekarang masih dilakukan dan sudah menjadi budaya sistem
sosial masyarakat Desa Bone-Bone.

PUSTAKA
Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2009 Tentang Pelestarian Hutan di Desa
Bone-Bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang.

Sidi, Purnomo. 2014. Krisis Karakter Dalam Perspektif Teori Struktural Fungsional.
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai