Laporan Kasus: Bagus Ngurah Brahmantara
Laporan Kasus: Bagus Ngurah Brahmantara
Pembimbing:
iii
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
PENDAHULUAN
1
2
dikemudian hari, salah satunya yaitu ruptur uteri spontan pada kehamilan
berikutnya.2
Pada kesempatan ini penulis akan membahas sebuah laporan kasus dimana
seorang wanita yang telah menjalani tindakan operatif laparoskopi sebanyak dua
kali dengan rentang waktu 1 tahun. Dimana tindakan yang pertama dilakukan
operasi laparoskopi kistektomi karena kista endometrioma duplek dan yang kedua
operasi laparoskopi miomektomi. 1 tahun pasca operasi pasien berhasil hamil.
Pada umur kehamilan 21-22 minggu pasien mengalami ruptur uteri spontan dan
harus kehilangan janin yang dikandung. Untuk detailnya, penulis akan membahas
di bab berikut.
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien :
Anamnesa
Pasien datang membawa pengantar dari dr. Sp.OG dengan diagnosis Susp.
Kehamilan Intra ekstra uterin + IUFD dengan saran evaluasi lebih lanjut di RSUP
Sanglah. Pasien datang dengan keluhan nyeri perut (+) sejak 2 hari sebelum
MRS, riwayat perdarahan flek pervaginam (+), buang air besar maupun buang air
kecil dikatakan normal. Riwayat telat haid (+)
HPHT : 11/12/14
TP : 18/9/15
Riwayat Menstruasi
• Menarche umur 13 tahun
• Volume ± 50cc
• Siklus 28 hari, teratur, lama 3-5 hari
• Keluhan saat haid tidak ada
Riwayat Pemakaian alat kontrasepsi tidak ada
3
4
Riwayat Obstetri :
1. Ini
Riwayat Penyakit :
• Kista endometrioma duplek
• Mioma uteri + adenomiosis
Riwayat Operasi :
• Operasi kistektomi bilateral ec kista endometrioma duplek (13/10/2012)
• Operasi laparoskopi miomektomi ec mioma uteri (17/01/2014) →
didapatkan mioma uteri di korpus anterior Ø 1,5 cm dilakukan
miomektomi → hasil PA (20/01/2014) : tampak sel otot polos miometrium
hiperplasia, dengan diantaranya menunjukkan fokus-fokus kelenjar serta
stroma endometrium, kesan Leimyoma Uteri
Riwayat alergi disangkal
Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tensi : 110/70 mmHg Respirasi : 20 kali per menit
Nadi : 80 kali/menit Suhu Axila/Rektal : 36,7 / -
BB/TB : 83 kg/165 cm (BMI : 30,5)
Status General
Mata : anemis -/-
Thorak : cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Po : ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Status obstetri
Ekstremitas : Hangat +/+
+/+
5
Status obstetri
Tinggi Fundus uteri : setinggi pusat (± 20cm)
DJJ (-), HIS (-)
Pemeriksaan dalam
PØ (-) Kesan Kepala
Pemeriksaan penunjang
o Lab
o USG
PPT
PPT 9.1
INR 0.85
KONTROL PPT 9.6
APTT
KONTROL APPT 30.9
APTT 27.7
USG :
Tampak gambaran fetus intra uterin, FHB(-), FM(-)
Tampak gambaran fetus ekstra uterin (cavum abdomen), FHB (-), FM (-)
FL~21 minggu
Tampa gambaran massa bulat ukuran 16x7mm, hiperechoic, whore like
appereance (+) vaskularisasi (+), kesan mioma uteri.
Kesimpulan USG :
1. Ruptur di anterior → abdominal pregnancy
2. Uterus duplex + septus
3. Abdominal pregnancy
9
Rencana Intervensi
o Pro laparotomi (17/5/2015)
Status present :
TD : 117/63 R : 18x/menit
N : 74x/menit Tax : 36,6
Status general :
Mata : anemis -/-
Thorak : cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Po : ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Status obstetri
Ekstremitas : Hangat +/+
+/+
Status obstetrik :
Abdomen : distensi (-), bising usus (+),luka operasi terawat
Vagina : perdarahan aktif (-)
Terpasang DC (+)
Diagnosis :
Post laparatomi, adhenolisis, kuretase, debridemen,repair uterus hari 0
Terapi :
- IVFD RL + oksitosin 20 IU drip 20 tts/menit s/d 12 jam post op
- Inj ampicillin 1 gram iv @ 8 jam
- Inj asam tranexamat 1 amp iv @ 8 jam
- Analgetik sesuai anasthesi
- Puasa 6 jam post op lanjut minum sedikit – sedikit
- DC 1 x 24 jam
Monitor : keluhan, vital sign
14
Ruptur uteri merupakan kasus yang jarang terjadi. Sebagian besar kasus
ruptur uteri terjadi saat proses persalinan, yang berhubungan dengan persalinan
lama dan macet, penggunaan obat-obatan untuk induksi atau augmentasi
persalinan dan persalinan dengan bantuan instrumentasi. Namun, pada pasien ini
terjadi ruptur uteri spontan pada kehamilan trimester dua. Meskipun jarang,
pernah dilaporkan kasus serupa yang terjadi sebelumnya, yakni ruptur uteri
spontan pada usia kehamilan 16 minggu.5
Faktor risiko yang kami dapatkan pada pasien ini adalah dengan parut
uterus paska laparoskopi miomektomi. Pasien menjalani operasi laparoskopi
miomektomi kurang lebih satu tahun sebelum terjadinya kehamilan. Hal ini sesuai
dengan data epidemiologi dimana parut uterus merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya ruptur uteri. Meskipun sebagian besar kasus parut uterus
merupakan bekas operasi seksio sesarea, namun parut uterus seperti pada pasien
ini juga dapat disebabkan akibat operasi ginekologi yakni paska laparoskopi
miomektomi.1
Gejala yang ditimbulkan dari ruptur uteri sangat bervariasi dan kadang
tidak spesifik. Pada pasien ini kami hanya mendapati adanya nyeri perut yang
disertai dengan flek-flek pervaginam. Hal ini juga sesuai dengan literatur dimana
pada ruptur uteri dengan riwayat parut uterus, gejala yang ditimbulkan adalah
nyeri perut, perdarahan pervaginam dan kadang disertai gangguan denyut janin.
Sementara, pada ruptur uteri tanpa riwayat parut uterus gejala yang ditimbulkan
biasanya lebih dramatis, dan perdarahan yang terjadi lebih hebat dan tidak jarang
disertai dengan syok hipovolemik. 6,7
Pada pasien ini, jenis ruptur uteri yang terjadi adalah ruptur uteri komplit,
dengan sebagian janin berada di rongga abdomen. Lokasi ruptur adalah pada
16
17
Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah dengan kematian janin
dalam rahim. Dengan pertimbangan kondisi hemodinamik ibu yang stabil dan
tidak ada tanda-tanda akut abdomen, maka pada pasien ini tindakan operatif yakni
penjahitan ruptur uteri tersebut dilakukan secara elektif dengan tujuan agar
persiapan pasien lebih optimal dalam menjalani tindakan operatif.
TINJAUAN PUSTAKA
18
19
Sebagian besar uterus terbentuk dari miometrium yang merupakan otot polos yang
dihubungkan oleh jaringan ikat elastis. Pembuluh darah miometrium dibungkus
oleh anyaman-anyaman otot miometrium, yang pada saat kontraksi akan menekan
pembuluh darah tersebut. Hal ini sangat penting, terutama pada partus kala III
untuk mencegah perdarahan post partum. Otot miometrium terdiri dari tiga lapis
otot polos yang masing-masing lapisan memiliki arah yang berbeda, dimana
lapisan paling luar merupakan longitudinal, tengah seperti anyaman dan paling
dalam sirkuler. Jumlah otot miometrium bervariasi sesuai dengan lokasinya.
Semakin ke caudal jumlah miometrium semakin sedikit.8
Kavum uteri diselubungi oleh endometrium yang terdiri atas jaringan
epitel, kelenjar dan struma vaskular. Endometrium akan mengalami perubahan
sesuai dengan siklus menstruasi dan kehamilan. Endometrium dibagi menjadi dua
lapisan, yakni lapisan fungsionalis, yang akan meluruh selama menstruasi dan
lapisan basalis yang akan beregenerasi setelah siklus menstruasi.8
mortalitas ibu yang terjadi lebih rendah.7 Kematian janin berhubungan erat
dengan interval waktu sejak terjadinya ruptur uteri sampai bayi lahir. Hasil terbaik
akan didapatkan bila bayi lahir 15-30 menit sejak ditemukannya tanda gawat
janin. 6
Bahkan, pada pasien yang infertil akibat mioma uteri, dilaporkan angka fertilitas
17
paska miomektomi cukup tinggi, yakni sebesar 50%. Miomektomi merupakan
prosedur ginekologi yang sering dikerjakan. Miomektomi dapat dilakukan dengan
cara laparotomi maupun laparoskopi. 4 Miomektomi, baik secara laparotomi
maupun laparoskopi dapat menyebabkan bekas luka (scar) pada miometrium,
yang mengakibatkan lemahnya otot uterus dan pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya ruptur uteri. 3
Dengan berkembangnya teknik dan peralatan operasi, laparoskopi
miomektomi saat ini sudah banyak dilakukan di seluruh dunia. Laparoskopi
miomektomi pertama kali diperkenalkan oleh Semm dkk pada akhir tahun
2
1970an. Laparoskopi miomektomi dapat dilakukan pada mioma intra mural atau
sub serosa tunggal dengan ukuran < 15 cm atau jumlah mioma < 4 dengan
diameter masing-masing kurang dari 5 cm. 17
Keuntungan dari dilakukannya laparoskopi miomektomi adalah akses yang
minimal dibandingkan dengan laparotomi miomektomi. Hal ini berhubungan
dengan lebih sedikitnya perdarahan yang terjadi, nyeri paska operasi, waktu
perawatan dan pemulihan. Namun, sampai saat ini masih diperdebatkan tentang
25
kekuatan dari penjahitan uterus dengan teknik laparoskopi, hal tersebut yang
sampai saat ini dianggap merupakan penyebab dari ruptur uteri. 18,19,20
Faktor-faktor lain yang juga berperan penting pada terjadinya ruptur uteri
paska laparoskopi miomektomi adalah faktor-faktor umum yang berhubungan
dengan proses penyembuhan luka. Seperti yang telah kita ketahui, proses
penyembuhan luka harus melewati 4 tahap, yakni hemostasis, inflamasi,
proliferasi, dan remodeling. Agar luka bekas operasi dapat sembuh dengan
sempurna, maka keempat tahap tersebut harus terjadi. Banyak faktor yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka tersebut. Faktor yang mempengaruhi
proses penyembuhan luka tersebut dibagi menjadi dua yakni faktor lokal dan
faktor sistemik. Faktor lokal terdiri dari oksigenasi, infeksi, adanya benda asing,
dan insufisiensi vena. Sementara faktor sistemik antara lain usia, tua, stres,
penyakit penyerta (diabetes, keloid, kanker, AIDS), obesitas, penggunaan obat-
obatan (anti inflamasi, steroid, kemoterapi), konsumsi alkohol dan rokok, serta
22
nutrisi.
Data dari berbagai literatur menunjukkan ruptur uteri paska miomektomi
termasuk kejadian yang jarang, hal ini mendasari untuk mendukung wanita yang
ingin memiliki anak setelah dilakukan miomektomi. Namun data yang didapatkan
saat ini perlu diteliti lebih jauh untuk dinilai efektifitasnya sebelum dapat
digunakan sebagai guideline kehamilan paska laparoskopi miomektomi. 3
27
Sebagian dari klinisi memilih untuk melakukan seksio sesarea primer pada
pasien dengan riwayat miomektomi untuk menghindari risiko terjadinya ruptur
uteri. Hal ini dapat menjadi bias dari berbagai penelitian, karena dapat
menurunkan insidens ruptur uteri paska miomektomi yang terjadi pada saat proses
persalinan. 3
BAB V
KESIMPULAN
Pasien wanita, 32 tahun hamil 21-22 minggu datang dengan keluhan nyeri
perut dan flek-flek pervaginam. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang pasien kami dapatkan dengan ruptur uteri. Pasien
sebelumnya pernah menjalani operasi laparoskopi miomektomi sekitar satu tahun
sebelum hamil. Pada pasien ini komplikasi yang terjadi adalah kematian janin
dalam kandungan, namun kondisi ibu masih dalam kondisi yang stabil. Pasien
kemudian diputuskan untuk dilakukan tindakan laparotomi untuk penjahitan
ruptur uteri secara elektif.
Kasus ruptur uteri paska laparoskopi miomektomi merupakan kasus yang
jarang terjadi. Dengan angka kejadian diperkirakan hanya berkisar 1%. Ruptur
uteri biasanya terjadi pada saat proses persalinan, dan merupakan akibat dari
proses persalinan tersebut. Namun, pada pasien dengan riwayat laparoskopi
miomektomi, sebagian besar rasus ruptur uteri yang terjadi adalah pada saat
kehamilan, yakni pada akhir trimester dua atau pada trimester ke tiga. Yang
menarik dari kasus ini adalah pada pasien ini ditemukan ruptur uteri pada usia
kehamilan 21-22 minggu.5
Asuhan antenatal yang baik merupakan dasar dari penatalaksanaan yang
tepat. Pada pasien ini telah dilakukan asuhan antenatal yang baik sehingga
diagnosis dapat ditegakkan dengan cepat dan tepat, sehingga morbiditas dan
mortalitas pada ibu dapat dihindarkan. Namun sayangnya, kematian janin dalam
kandungan tidak dapat terhindarkan.
Ruptur uteri yang terjadi pada pasien ini berlokasi di korpus anterior. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan tindakan miomektomi yang sebelumnya juga
dilakukan pada daerah korpus anterior. Kejadian ruptur uteri paska laparoskopi
miomektomi banyak dihubungkan dengan teknik operasi yang dilakukan
sebelumnya. Aproksimasi dan penjahitan yang baik akan menurunkan insidens
terjadinya ruptur uteri paska laparoskopi miomektomi. Penjahitan single layer
28
29
30
31
18. Kiseli, M., Artas, H., Armagan, F., and Dogan, Z. Spontaneous rupture of
uterus in mid trimester pregnancy due to increased uterine pressure with
previous laparoscopic myomectomy. Int J Fertil Steril, 2013; 7 (3): 239-
242.
19. Dubuisson, J., Fauconnuer, A., Deffarges, J., Norgaad, C., Kreiker, G., and
Chapron, C. Pregnancy outcome and deliveries following laparoscopic
myomectomy. Human Reproduction, 2000; 15 (4) : 869-873.
20. Yoon, H.J., Kyung, M.S., Jung, U.S., and Choi, J.S. Laparoscopic
myomectomy for large myomas. J Korean Med Sci, 2007; 22: 706-712.
21. Zhang, Y. and Huaa, K.Q. Patients’ age, myoma size, myoma location,
and interval between myomectomy and pregnancy may influence the
pregnancy rate and live birth rate after myomectomy. Journal of
Laparoendoscopic and Advanced Surgical Techniques, 2014; 24 (2).
22. Guo, S. and DiPietro, L.A. Factors affecting wound healing. J Dent Res,
2010; 89(3) : 219-29.