Anda di halaman 1dari 6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kuda (Equus caballus)


Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging,
alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan
sebagai hobi serta sarana olahraga. Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat
di seluruh dunia berasal dari binatang kecil yang oleh beberapa ilmuwan disebut
sebagai Eohippus atau Dawn horse yang telah mengalami proses evolusi sekitar
60 juta tahun yang lalu (Hasan, 2014). Menurut Ensminger (1962), klasifikasi
zoologis ternak kuda adalah :
Kerajaan : Animalia
Filum : chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Perissodactyla
Famili : Equidae
Genus : Equus
Spesies : Equus caballus
Kuda dapat diklasifikasikan menjadi kuda tipe ringan, tipe berat maupun
kuda poni dengan ukuran, bentuk tubuh, dan kegunaan yang berbeda. Kuda tipe
ringan mempunyai tinggi 1,45-1,70 m saat berdiri, bobot badan 450-700 kg dan
sering digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik atau kuda pacu. Kuda tipe
ringan secara umum lebih aktif dan lebih cepat dibanding kuda tipe berat. Kuda
tipe berat mempunyai tinggi 1,45-1,75 m saat berdiri, dengan bobot badan lebih
dari 700 kg dan biasa digunakan sebagai kuda pekerja. Kuda poni memiliki tinggi
kurang dari pada 1,45 m jika berdiri dengan bobot badan 250-450 kg, beberapa
kuda berukuran kecil biasanya juga terbentuk dari keturunan kuda tipe ringan
(Astuti, 2011).
Ternak kuda merupakan salah satu jenis ternak yang perlu mendapatkan
perhatian dan potensial untuk produksi daging. Ternak kuda dapat menjadi
alternatif penyedia daging, selain itu ternak kuda juga berfungsi sebagai ternak
5

kerja dan bisa juga dijadikan sebagai ajang perlombaan di kalangan masyarakat
seperti pacuan kuda. Kuda berkaitan erat dengan manusia yang secara ekonomis
berperan dalam transportasi (kuda delman, kuda tunggang) dan pengangkut beban
dan bahkan di beberapa tempat digunakan sebagai sumber protein hewani
(penghasil daging dan susu) (Hasan, 2014).

Gambar 2.1. Ternak Kuda di Desa Sempajaya Berastagi

Bahan pangan hasil ternak memegang peranan penting untuk


pengembangan sumber daya manusia, antara lain : (a) meningkatkan sistem
ketahanan tubuh untuk mencegah penyakit, (b) mengoptimalkan produktifitas
kerja, (c) meningkatkan kualitas kemampuan intelektual, (d) pertumbuhan fisik
yang optimal dan (e) peningkatan usia harapan hidup. Penyediaan bahan pangan
ini juga dapat menimbulkan resiko bagi kesehatan manusia, karena beberapa
penyakit yang dijumpai pada ternak dapat ditularkan kepada manusia atau
sebaliknya. Oleh karena itu penyediaan bahan pangan hasil ternak selain bermutu
juga harus aman bagi konsumen (Suradi, 2004).
Banyak kendala yang dihadapi para peternak di dalam mengembangkan
usaha peternakannya. Umumnya faktor-faktor kendala yang dihadapi berkisar
pada problem pakan, tatalaksana /manajemen pemeliharaan, dan masalah
penyakit. Salah satu serangan penyakit yang bisa merugikan peternak yakni
penyakit parasit. Penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan
6

tetapi kerugiannya dipandang dari segi ekonomi sangat besar dan dapat
menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi
susu, kualitas daging, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja serta bahaya
penularan terhadap manusia/zoonosis (Rozi, 2013).

2.2. Zoonosis
Produk hasil peternakan seperti daging, susu, telur dan kulit dapat menjadi sumber
penyebaran zoonosis (Suradi, 2004). Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang
ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia, dengan
demikian zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia.
Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda
bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan
oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang
dapat menulari manusia (Widodo, 2008).
Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara,
yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak
langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari hewan sakit,
atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang
tercemar. Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis dibedakan atas zoonosis yang
disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur
(Suharsono, 2002; Nicholas & Smith, 2003). Pencegahan zoonosis dapat
dilakukan dengan : a) melakukan isolasi ternak yang baru tiba, b) kesehatan dan
kebersihan pekerja, c) sanitasi kandang, e) pemberian pakan dengan kualitas dan
kuantitas yang baik, f) tes penyakit dan vaksinasi, g) higiene hasil produksi dan
pengolahan, h) sanitasi peralatan, transportasi, penyajian dan penyimpanan
(Suradi, 2004).

2.3. Parasit Gastrointestinal


Penyakit parasiter adalah penyakit (pada hewan, manusia) yang disebabkan oleh
parasit. Parasit adalah organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh
7

organisme lain (inang). Parasit merupakan organisme yang mengganggu


kehidupan inang. Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kualitas dan kesehatan
inang yang terinfeksi (Natadisastra & Agus, 2009). Parasit ini dapat menghambat
kemajuan di bidang peternakan, terutama dalam hubungannya dengan
peningkatan populasi dan produksi ternak (Sari dkk, 2015).
Secara umum parasitisme dapat terjadi bila terpenuhi komponen-
komponen sebagai berikut (1) adanya parasit, (2) adanya sumber parasit untuk
hospes yang rentan (reservoir: hospes antara atau hospes definitif), (3) proses
pembebasan stadium parasit dari reservoir, (4) proses penularan terhadap hospes
yang rentan, (5) cara parasit memasuki tubuh hospes yang rentan, (6) adanya
hospes yang rentan. Adanya parasit di dalam hospes yang rentan tidak harus
diikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis. Banyak proses parasitisme yang bila
diukur dari jumlah parasit yang ada di dalam tubuh hospes definitif cukup banyak,
akan tetapi perubahan klinisnya tidak dapat dikenali dari luar. Pada umumnya
penderita demikian dalam jangka panjang akan kurang mampu bertumbuh baik,
hingga dilihat dari segi peternakan akan merugikan (Subronto, 2007).
Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang masuk ke dalam tubuh
hospes definitive melalui mulut, melalui pakan yang tercemar larva. Parasit
tersebut meliputi cacing cambuk, cacing pita, cacing hati, protozoa seperti
trichomonas, Balantidium coli dan lain-lain (Subronto, 2007). Faktor utama
terjadi peningkatan penyebaran penyakit parasit terutama nematoda
gastrointestinal karena pengaruh topografi, geografis, kondisi lingkungan,
temperatur, kepadatan kandang, kelompok umur, penanganan yang tidak tepat dan
pola pemeliharaan yang tidak sesuai dalam upaya memutuskan siklus hidup
cacing (Zulfikar dkk, 2012).
Infeksi parasit di saluran gastrointestinal terjadi bila intensitas infeksi
parasit tersebut sedang dan tinggi (Suriptiastuti, 2006). Parasit nematoda
gastrointestinal turut menghasilkan toksin dalam jumlah yang banyak, toksin
tersebut dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah serta turut membantu
masuknya bakteri patogen atau virus patogen ke dalam jaringan yang dapat
menimbulkan infeksi sekunder (Zulfikar dkk, 2012).
8

2.4. Penyakit Parasit Gastrointestinal


2.4.1. Strongylosis pada Kuda
Strongyloides merupakan agen penyebab Strongiloidiasis yang terdapat pada
usus. Strongyloides menginfeksi manusia, kucing, anjing, dan satwa sejenisnya
serta dapat ditularkan dari manusia ke satwa atau sebaliknya. Strongyloidiasis
bertanggung jawab untuk kematian sekitar 60-85 % atau sekitar 100 juta orang di
seluruh dunia. Tingkat kematian untuk pasien yang membutuhkan rawat inap
dengan infeksi Strongyloides adalah sekitar 16,7 %. Parasit ini endemik di daerah
beriklim tropis dan subtropis dimana pada daerah tersebut terdapat kelembapan
yang tinggi seperti Eropa Timur, Eropa Selatan, Asia Tenggara, Amerika Tengah,
dan Afrika (Iriemenam et al. 2010).
Infeksi cacing Strongylus pada kuda, dan spesies lain dari Equidae,
terutama oleh S. vulgaris, merupakan kejadian yang sangat sering dalam praktek
di hampir semua bagian dunia. Strongylosis dapat menyebabkan kolik
aneurismata bila infeksinya berat. Bila infeksi juga diperberat oleh cacing sejenis
dari genus Strongylus, yaitu Triodontophorus dan Trichonema akan
mengakibatkan kekurusan dan anemia. Pada peternakan kuda yang padang
penggembalanya sudah tercemar berat oleh telur cacing secara masif sangat sulit
membebaskan kuda-kuda dari kejadian Strongylosis (Subronto, 2007).

2.4.2. Fascioliasis (Distomatosis, Liver Fluke Disease, Liver Rot, Penyakit


Cacing Hati)
Fascioliasis (hepatik) atau penyakit hati (PCH) merupakan penyakit yang
berlangsung akut, subakut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus
Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium (Subronto, 2007). Fasciola spp
merupakan cacing hati asli Indonesia. Infeksi Fasciola spp pada umumnya
menyerang sapi, domba dan kambing. Fasciola spp juga dapat menyerang hewan
lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci, marmot, dan hewan sejenisnya. Telur
Fasciola juga berhasil ditemukan pada tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa
Ujung Kulon. Infeksi Fasciola pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis
Selatan, Inggris, dan Aljazair. Fasciola spp hidup didalam tubuh satwa yang
terinfeksi sebagai parasit di dalam saluran empedu hidup dari cairan empedu,
9

merusak sel-sel epitel, dinding empedu untuk mengisap darah penderita (Sayuti,
2007).

2.4.3. Paramfistomiasis (Porangen, Stomach Fluke Disease, Intestinal


Amphistomiasis)
Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Paramphistomum sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda.
Paramphistomum sp. hidup di dalam rumen, retikulum, usus, saluran empedu atau
kandung kemih hewan yang diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen
menjadi terganggu sehingga pakan tidak dapat dicerna dengan sempurna (Darmin,
2014). Menurut Widnyana (2013), Parasit cacing Paramphistomum sp. Dari kelas
termatoda ini dapat mengakibatkan ternak tersebut menjadi lemah, mudak capek,
badan makin kurus dan mencret. Infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua
fase, yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intensital, cacing muda
menyebabkan pendarahan, bengkak serta merah di dalam duodenum dan
abomasum. Hal ini dapat menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada fase
ruminal, cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen yang menganggu
kapasitas resorbsi (Darmin, 2014).

2.4.4. Askariasis
Ascaris sp. merupakan salah satu penyebab infeksi cacing usus yang
penularannya dengan perantara tanah (Soil Transmited Helminths). Menurut
Soedarto (1995), penularan Ascariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu
masuknya telur yang infektif kedalam mulut bersama makanan atau minuman
yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur
infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada
saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan
memasuki aliran darah. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak
menunjukan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar akan
menimbulkan kekurangan gizi (Syamsu, 2006).

Anda mungkin juga menyukai