Anda di halaman 1dari 11

2.

3 Analisis keragaman genetik

Setiap makhluk hidup memiliki ciri khas. Ciri khas tersebut ada yang sama

dan ada yang berbeda degan makhluk hidup lain. Berdasarkan persamaan dan

perbedaan yang dimiliki, beberapa jenis makhluk hidup dapat dikelompokkan

menjadi satu kelompok. Perbedaan atau variasi dan persamaan yang tampak di antara

makhluk hidup dalam kelompok itulah yang dijadikan dasar untuk pembagiannya

menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil. (Riandari, 2009).

Variabilitas adalah sifat beda dari organisme dalam satu spesies atau populasi.

Dengan adanya sifat beda akan terjadi variasi atau keanekaragaman organisme dalam

satu spesies. Keanekaragaman dapat terjadi dalam tingkat gen, populasi, atau

komunitas (Widianti, 2015). Efisiensi pemuliaan tanaman dapat ditingkatkan dengan

memperhatikan nilai keragaman genetik dan fenotipik, heritabilitas, dan korelasi

antarkarakter pada tiap tahapan pelaksanaan (Nzuve et al., 2014).

Keragaman genetik merupakan modal dasar dalam pemuliaan tanaman.

Berhasil tidaknya program pemuliaan tanaman sangat tergantung pada keragaman

genetik yang tersedia pada populasi dasar (Suprapto dan Kairudin, 2007; Tiwari,

2015). Keragaman genetik dapat menggambarkan variasi antar individu dalam suatu

populasi (Litrico dan Violle, 2015; Sa’diyah et al., 2013). Selain berasal dari plasma

nutfah yang ada, keragaman genetik dapat diinduksi melaui proses introduksi,

persilangan, dan rekayasa genetika. Keragaman genetik yang tinggi selain

memperbesar peluang kombinasi sifat-sifat baik yang diinginkan juga memungkinkan

perbaikan karakter tanaman melalui seleksi secara langsung.


Contoh dari keragaman genetik: keanekaragaman warna pada bunga tanaman

mawar. Tanaman ini memiliki warna bunga yang ber macam-macam, misalnya

berwarna merah, putih, kuning dan sebagainya. Begitupun keanekaragaman pada

ayam, terdapat perbedaan  bentuk dan ukuran tubuk, warna bulu dan bentuk pial

(jengger) antara ayam kampong, ayam cemani, ayam hutan, ayam leghorn, ayam

Bangkok, dan ayam kate (Sridianti, 2014).

Kenekaragaman dipengaruhi baik faktor dari dalam (gen) dan faktor luar

(pengaruh lingkungan). Faktor lingkungan seperti makanan, suhu, cahaya,

kelembapan, curah hujan, derajat keasaman tanam (pH) bersama faktor keturunan

(gen) sangat berpengaruh terhadap fenotip. Fenotip merupakan hasil interaksi antara

genotip dengan lingkungan. Setiap makhluk hidup, baik itu tumbuhan, hewan, dan

manusia memiliki persamaan dan perbedaan. Hal tersebut terjadi karena genotip yang

dimiliki individu berbeda, adanya gen yang bersifat dominan dan resesif, adanya

penetrasi dan ekspresivitas, adanya rekombinasi gen dan lainnya. Keanekaragaaman

sifat genetic sangat penting karena tanpa adanya variasi sifat makhluk hidup, ilmu

genetika tidak mungkin berkembang. Berbagai pola pewarisan sifat dapat ditemukan

dan diketahui karena adanya variasi sifat pada makhluk hidup. (Widianti, 2015).

Variasi genetik yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan suatu jenis

untuk beradaptasi. Variasi genetik yang tinggi akan menghasilkan sifat resisten atau

tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, sehingga serangan hama dan

penyakit dapat dihindari.Penanda molekuler sudah digunakan secara luas untuk

identifikasi keragaman genetik, pemetaan genetik dan hubungan kekerabatan.

Penanda mikrosatelityang didasarkan pada PCR dengan primer acak tidak


dipengaruhi oleh lingkungan dan efektif untuk analisis keragaman genetik (Boer,

2007).

Nilai heritabilitas dapat menentukan waktu dan metode seleksi sifat tanaman

karena memberikan gambaran tentang proporsi ragam genetik dan ragam fenotipik

yang dapat diwariskan kepada keturunannya (Crowder, 1979; Phoelman, 1979;

Puspodharsono, 1988). Nilai heritabilitas berkisar antara 0-1. Heritabilitas dengan

nilai 0 berarti keragaman fenotipe disebabkan terutama oleh faktor lingkungan,

sedangkan nilai 1 berarti keragaman genotipe disebabkan oleh faktor genetik. Jika

nilai heritabilitas tinggi, seleksi dapat dilakukan pada generasi awal menggunakan

metode seleksi massa atau seleksi galur murni. Sementara itu, jika nilai heritabilitas

rendah maka seleksi dilakukan pada generasi lanjut dengan metode pedigree, singlet

seed descent, progeny test (Aryana, 2010).

2.4 Seleksi

Hardy di inggris (1908) dan Wienberg di Jerman (1909) mempelajari

keturunan dari hasil persilangan dan menghasilkan Hukum Hardy – weinberg.

Hukum ini menyatakan bahwa suatu populasi besar yang individu- individu kawin

secara acak (random mating) maka frekuensi gen dan genotipenya akan tetap dari

generasi kegenerasi selanjutnya, apabila tidak ada gaya-gaya yang mengubah

frekuensi. Gaya-gaya tersebut antara lain : seleksi, mutasi, dan migrasi. Apabila

frekuensi gen A =  p dan a = 1 – p = q, maka frekuensi genotipenya adalah p 2 AA +

2pq Aa + q2 aa = 1. Populasi demikian dikatakan dalam keadaan equilibrium

(Indrawati, 1999).
Seleksi adalah memilih serta mencari keuntungan tanaman atau ternak yang

memiliki karakterbaik, yang berguna untuk meningkatkan hasil serta mutunya.

karakter-karakter baik ditentukan genotipe, tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor

lingkungan. oleh karena itu, dakam mencari serta memilih sifat genetik yang baik,

sekaligus disertai dengan menentukan lingkungan yang cocok dan paling ekonomis

terhadap yang diseleksi. seleksi dapat juga disebut dengan usaha pemuliaan(Yatim,

1983).

Hallaeur (1981) menyatakan bahwa tujuan utama dari kegiatan seleksi adalah

untuk mengidentifikasi genotipe yang diinginkan. Penggunaan metode seleksi sangat

tergantung pada beberapa hal, yaitu arah kegiatan pemuliaan yang dilakukan, pola

pewarisan sifat atas sifat yang akan diperbaiki, individu dalam  populasi, sejarah

seleksi, serta tujuan spesifik dari program pemuliaan yang dikehendaki. Tujuan

seleksi tanaman yaitu memilih dan mengumpulkan tanaman yang mempunyai sifat-

sifat unggul untuk dijadikan tanaman induk. Memilih  populasi yang kemampuan

ekspresi gen yang diinginkan maksimal (Hairmansis et al., 2015).

Seleksi berperan sangat penting dalam keberhasilan pada kegiatan pemuliaan

tanaman. Menurut Syukur et al. (2011) seleksi akan efektif jika populasi tersebut

mempunyai keragaman genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi. Heritabilitas

yang tinggi dapat diartikan penampilan fenotipik lebih dipengaruhi oleh genetik

dibandingkan pengaruh lingkungan. Seleksi pada karakter dengan keragaman luas

dan heritabilitas tinggi akan menghasilkan kemajuan seleksi atau peningkatan nilai

tengah setelah dilakukan seleksi.


Terdapat dua bentuk seleksi untuk memperbaiki sifat tanaman, yaitu pertama,

seleksi antara populasi yang sudah ada untuk meningkatkan sifat yang diinginkan,

dan kedua, seleksi dalam populasi untuk memperoleh tanaman yang digunakan guna

menciptakan varietas atau galur baru. Untuk yang kedua, populasi yang dimaksud

berupa keturunan hasil persilangan, yang biasanya terdiri dari tanaman hasil

segregasi. Tanaman budidaya yang sudah ada saat ini pada dasarnya merupakanhasil

seleksi selama berabad-abad. Seleksi ini dapat berlangsung secara alami atau buatan

berdasarkan individu atau kelompok dari populasi campuran. Efektifitas seleksi

sangat tergantung pada adanya keragaman genetik yang dapat bersumber dari jenis

lokal, koleksi, atau populasi bersegregasi (Puspodarsono, 1988).

Nilai heritabilitas dapat dijadikan landasan dalam menentukan program

seleksi. Seleksi pada generasi awal dilakukan bila heritabilitas tinggi, sebaliknya  jika

rendah maka seleksi pada generasi lanjut akan berhasil karena adanya peluang terjadi

peningkatan keragaman dalam populasi (Kakiuchi dan Kobata, 2004). Nilai

heritabilitas suatu sifat dipengaruhi oleh metode dan populasi yang digunakan. Nilai

duga heritabilitas menunjukkan apakah sesuatu karakter dikendalikan oleh faktor

genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana karakter

tersebut dapat diturunkan ke keturunan selanjutnya. Seleksi terhadap sifat yang

mempunyai nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada generasi awal, sedangkan

bila nilai heritabilitasnya rendah seleksi dapat dilaksanakan pada generasi akhir

(Widyawati et al., 2014).

Tanaman tipe menyerbuk sendiri menghasilkan individu yang homozigot,

apabila dilakukan persilangan maka keturunannya akan bersegregasi dari generasi ke


generasi. Penyerbukan sendiri terus menerus mengakibatkan proporsi heterozigot

akan berkurang dan proporsi homozigot meningkat. Keragaman genetik yang luas

dari hasil persilangan mempermudah melakukan seleksi. Metode seleksi yang

digunakan tergantung pada tipe penyerbukan (Miladivonic et al., 2011).

Metode seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri terbagi menjadi dua yaitu

seleksi untuk populasi campuran dan seleksi untuk populasi hasil hibridisasi (generasi

bersegregasi). Macam seleksi untuk populasi campuran antara lain:

1. Seleksi Massa

Seleksi massa merupakan metode pemuliaan yang paling tua dan paling

sederhana. Pemulia dapat memperbaiki suatu sifat dari populasi yang diseleksi

dengan tetap mempertahankan ciri populasi tersebut. Seleksi massa dilakukan  pada

populasi homozigot heterogen, biasanya berupa varietas yang tercampur. Seleksi

massa bertujuan mengurangi keragaman genetik dari suatu populasi dan

meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan. Kegunaan seleksi massa dapat

memperbaiki populasi landrace, memurnikan varietas galur murni untuk

mempertahankan identitas varietas, dan mendapatkan varietas yang memiliki

horizontal serta mempunyai adaptasi luas pada lingkungan baru (Syukur et al., 2012).

2. Seleksi Galur Murni

Seleksi galur murni merupakan seleksi tanaman tunggal dari populasi

homozigot heterogen. Seleksi ini berdasarkan pada teori bahwa keragaman dalam

suatu populasi heterozigot disebabkan oleh keragaman genetik dan lingkungan,

sedangkan keragaman dalam galur murni disebabkan oleh keragaman lingkungan.

Seleksi galur murni ditujukan pada populasi sebelum hibridisasi, tetapi dapat juga
untuk populasi bersegregasi (Syukur et al., 2012). Macam seleksi untuk populasi hasil

hibridisasi (generasi bersegregasi) antara lain: Metode Silsilah (Pedigree), Metode

Bulk, Metode Silang Balik (Back Cross), danSeleksi Single Seed Descent (SSD).

Tanaman tipe menyerbuk silang disusun oleh individu-individu yang

heterozigositasnya tinggi dan apabila dipaksa untuk melakukan inbreeding maka akan

terjadi penurunan vigor dan kerugian lainnya. Heterosigositas merupakan ciri utama

dari tanaman ini, sehingga keadaan ini harus tetap dipertahankan selama  program

pemuliaan atau dipulihkan pada tahap akhir dan program pemuliaan (Sparrow, 1979).

Metode seleksi pada tanaman menyerbuk silang antara lain:

1. Seleksi Massa

Seleksi massa pada tanaman menyerbuk silang merupakan seleksi individu

berdasarkan fenotipe dalam suatu populasi kawin acak. Biji diperoleh dari tanaman

yang telah dipilih dan sejumlah biji yang sama dari setiap tetua (tanaman terpilih)

dicampur untuk membentuk bahan pertanaman generasi  berikutnya. Tidak ada

penyerbukan yang dikendalikan dan diasumsikan bahwa tetua betina yang diseleksi

dikawinkan dengan sampel acak gamet-gamet  jantan dalam seluruh populasi (Nasir,

2001).

2. Seleksi Tongkol-Baris (Ear to Row Selection)

Seleksi tongkol-baris merupakan modifikasi dari seleksi massa. Seleksi ini

membutuhkan dua musim dan digunakan untuk tanaman jagung yang memiliki

tongkol. Seleksi ear to row hingga saat ini dapat digunakan untuk tanaman

menyerbuk silang secara umum. Karakter seleksi tongkol ke baris (ear to row

selection) pada jagung yang dapat digunakan untuk kriteria seleksi adalah : tinggi
tongkol, panjang tangkai tongkol, jumlah daun diatas tongkol, diameter tongkol dan

diameter janggel.Iindividu-individu yang sesuai dengan kriteria seleksi yang

diinginkan dipilih (Kristiari et al., 2013).

3. Seleksi Silang-Berulang (Recurrent Selection)

Teknik pemuliaan dengan metode seleksi silang berulang (SSB) atau recurrent

selection (RS) adalah suatu metode seleksi dan penyilangan tanaman terpilih dari

suatu populasi secara sistematik untuk membentuk populasi baru yang lebih baik.

Metode ini merupakan prosedur pengumpulan sifat-sifat yang diharapkan dari suatu

kombinasi persilangan dengan menyilangkan antara segregan-segregan terpilih secara

terus-menerus sehingga diperoleh populasi yang lebih baik dari populasi sebelumnya,

karena terdiri dari tanaman-tanaman yang memiliki kombinasi sifat-sifat yang

diharapkan (Fehr, 1987).


DAFTAR PUSTAKA

Aryana, I. M. 2010. Uji keseragaman, heritabilitas dan kemajuan genetik galur padi
beras merah hasil seleksi silang balik di lingkungan gogo. Crop Agro 17:
13–20.
Boer, D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi JatiSulawesi Tenggara
berdasarkan Marka Mikrosatelit. Disertasi Pascasarjana Departemen
Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Crowder, L. V. 1979. Genetika Tumbuhan Terjemahan oleh L Kusdiarti dan
Sutarso 1986. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman: : 323 -
351.
Fehr, W.R. 1987. Principle of Cultivar Development: Theory and Technique.
McMilan Publ. Co. A Division of McMilan Inc, New York.
Hairmansis, A., Supartopo., Yullianida., Sunaryo., Warsono., Sukirman., Suwarno.
2015. Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi (Oryza sativa) untuk Perbaikan
Sifat Padi Gogo. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas
Indonesia. Vol 1(1): 14-18.
Hallauer, A. R. dan J.B. Miranda Fo. 1981.Quantitative Genetics in Maize Breeding .
Iowa State University Press, USA.
Indrawati, 1999. Perbaikan Komponen Teknologi untuk Meningkatkan Produkifitas
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian dan
penggembangan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang.
Kristiari, D., Kendarini, N., Sugiharto, A. N. 2013. Seleksi Tongkol ke Baris ( Ear to
Row Selection) Jagung Ungu ( Zea mays varCeratina Kulesh). Jurnal
Produksi Tanaman. Vol 1(5): 408-414.
Litrico, I. and C. Violle. 2015. Diversity in Plant Breeding: A New Conceptual
Framework. Trends in Plant Science 20 (10): 604–613.
Miladinovic, J., Burton, J.W., Tubic, S.B., Miladinovic, D., Djordjevic, V., Djukic,
V. 2011. Soybean Breeding: Comparison of The Efficiency of Different
Selection Methods. Turkish Journal of Agriculture and Forestry. Vol 35:
469-480.
Nasir, M. 2001. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Nzuve, F., S. Githiri, D.M. Mukunya and J. Gethi. 2014. Genetic Variability and
Correlation Studies of Grain Yield and Related Agronomic Traits in Maize.
Journal of Agricultural Science 6 (9): 166–176.
Phoelman, J. M. 1979. Breeding Field Crops. New York: Van Nostrand Reinhold.
Puspodharsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: Pusat
Antar Universitas IPB bekerja sama dengan Lembaga Sumber Daya
Informasi IPB. Halaman: 99-112.
Riandari, Henny. 2009. Biologi Kelas X SMA dan MA. Yogyakarta : Erlangga.
Sitohang, R.D.S., Nawawi, M., Sitompul, S.M. 2015. Keragaman Hasil pada Uji 3
Galur Tanaman Kedelai (Glycine max L.Merril) Generasi F3 Hasil
Persilangan Tanggamus x Anjasmoro, Tanggamus x Argopuro, Tanggamus
x UB. Jurnal Produksi Tanaman. Vol 3(5): 377-382.
Sparrow, D. H. B. 1979. Special Techniques in Plant Breeding. Brookhaven
Symposia, New York.
Suprapto dan N. M. Kairudin. 2007. Variasi Genetik, Heritabilitas, Tindak Gen
dan Kemajuan Genetik Kedelai (Glycine max Merrill) Pada Ultisol. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9(2): 183–190.
Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, D.A. Kusumah. 2011. Pendugaan ragam
genetik dan heritabilitas karakter komponen hasil beberapa genotipe cabai.
J. Agrivigor 10:148-156.
Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, P. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Widianti, Tuti dan Noor Aini. H. 2015. Petunjuk Praktikum Genetika. Semarang:
Jurusan Biologi FMIPA UNNES.
Widyawati, Z.,Yuliana,I., Respatijart. 2014. Heritabilitas dan Kemajuan Genetik
Harapan Populasi F2 pada Tanaman Cabai Besar (Capsicum annuum L.).
Jurnal Produksi Tanaman. Vol 2(3): 247-252.
Yatim, W. 1983. Genetika. Tarsito, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai